Deskripsi dan klasifikasi Alat Tangkap Bubu

8 Hasil tangkapan umumnya bernilai ekonomis tinggi, dan pertimbangan lainnya. Menurut Tiku 2004, ada beberapa alasan ikan atau hewan laut lainnya masuk ke dalam bubu, yaitu: a. Sifat dasar ikan atau hewan laut lainnya yang selalu mencari tempat untuk berlindung; b. Ikan atau hewan laut lainnya masuk karena tertarik oleh umpan yang berada di dalam perangkap; c. Ikan terkejut karena ditakuti sehingga mencari tempat berlindung; dan d. Ikan masuk karena digiring oleh nelayan.

2.3.1 Deskripsi dan klasifikasi

Secara umum, bubu terdiri dari mulut dan badan bubu. Adapun tempat umpan dan pintu khusus untuk mengeluarkan hasil tangkapan tidak terdapat pada setiap bubu. Schlack dan Smith 2001 menyatakan bahwa bubu terdiri dari: a Rangka Rangka dibuat dari material yang kuat dan dapat mempertahankan bentuk bubu ketika dioperasikan dan disimpan. Pada umumnya rangka bubu dibuat dari besi atau baja. Namun demikian dibeberapa tempat rangka bubu dibuat dari papan atau kayu. Salah satunya di Barat laut Brazil, nelayan tradisional setempat menggunakan kayu mangrove sebagai rangka pada bubu rock lobster. Lain halnya dengan nelayan tradisional di Kanada dan Barat laut Amerika Serikat, rangka bubu lobster yang semula dibuat dari kayu, kini digantikan dengan material yang terbuat dari plastik. Rangka beberapa jenis bubu dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dilipat ketika bubu tersebut tidak dioperasikan. Hal ini bertujuan untuk mempermudah ketika bubu tersebut disimpan di atas kapal. Beberapa jenis bahan seperti bambu digunakan sebagai rangka pada bubu loster Brandt, 1984. Di Indonesia bubu untuk menangkap ikan karang sebagian besar terbuat dari besi, karena biasanya untuk menangkap ikan karang diperlukan bubu dengan ukuran besar. Di Kepulauan Seribu bubu untuk menangkap ikan karang menggunakan rangka yang terbuat dari bambu dan besi, bahkan untuk bubu tambun, hampir seluruhnya terbuat dari bambu Susanti, 2005. b Badan Badan pada bubu modern biasanya terbuat dari kawat, nylon, baja, bahkan plastik. Pemilihan material badan bubu tergantung dari kebudayaan atau kebiasaaan masyarakat setempat, kemampuan pembuat dan ketersediaan material, serta biaya dalam pembuatan. Selain itu, pemilihan material tergantung pula pada target hasil tangkapan dan kondisi daerah penangkapan. Dibeberapa tempat masih dijumpai badan bubu yang terbuat dari anyaman rotan dan bambu. c Mulut Salah satu bentuk mulut pada bubu adalah corong. Lubang corong bagian dalam biasanya mengarah ke bawah dan dipersempit untuk menyulitkan ikan keluar dari bubu. Jumlah mulut bubu bervariasi ada yang hanya satu buah dan ada pula yang lebih dari satu. d Tempat umpan Tempat umpan pada umumnya terletak di dalam bubu. Umpan terdiri dari dua macam yaitu umpan yang dicacah menjadi potongan­potongan kecil dan umpan yang tidak dicacah. Untuk umpan yang dicaca biasanya dibungkus menggunakan tempat umpan yang terbuat dari kawat atau plastik. Sedangkan untuk umpan yang tidak dicacah biasanya umpan tersebut hanya diikatkan pada tempat umpan dengan menggunakan kawat atau tali. Tempat umpan tidak terdapat pada semua jenis bubu, misalnya pada bubu gurita dan beberapa bubu ikan karang. e Pintu untuk mengeluarkan hasil tangkapan f Celah pelolosan Celah pelolosan dibuat agar ikan–ikan yang belum layak tangkap dari segi ukuran dapat keluar dari bubu. Pada beberapa negara seperti Australia, New Zealand, dan Kuba, celah pelolosan digunakan pada bubu rock lobster untuk meloloskan lobster yang masih juvenil. Di Australia dan New Zealand, rock lobster dengan ukuran lebar karapas kurang dari 76 mm tidak boleh ditangkap. g Pemberat Pemberat dipasang pada bubu untuk mengatasi pengaruh pasang surut, arus laut, dan gelombang, sehingga posisi bubu tidak berpindah­pindah dari tempat setting semula. Pemberat diperlukan terutama untuk bubu yang terbuat dari kayu dan material ringan lainnya. Pemberat pada bubu bisa terbuat dari besi, baja, batu bata, dan jenis­jenis batuan lainnya. Pemasangan pemberat juga berfungsi untuk memastikan bubu mendarat di dasar perairan secara benar. Bagian­bagian bubu secara detail dapat dilihat pada Gambar 3. Sumber: Schlack dan Smith, 2001 Gambar 3 Bagian­bagian bubu. Ciri khas bubu adalah mempunyai satu atau lebih catching chambers dan apabila ikan atau hewan laut lainnya sudah masuk, maka sukar bagi hewan tersebut untuk keluar. Jadi pada dasarnya alat ini dimodifikasi sedemikian rupa sehingga dapat mencegah atau mempersulit hewan tersebut untuk keluar Tiku, 2004. Modifikasi yang dilakukan untuk mempersulit ikan keluar pada umumnya dilakukan pada bagian mulut bubu. Letak dan bentuk mulut bubu disesuaikan dengan tingkah laku dan habitat ikan yang menjadi target hasil tangkapan. Alat tangkap bubu banyak digunakan oleh nelayan Indonesia, baik oleh nelayan skala kecil, menengah, dan skala besar. Perikanan bubu skala kecil Rangka Tempat umpan Pintu untuk mengeluarkan hasil tangkapan Celah pelolosan Mulut umumnya ditujukan untuk menangkap kepiting, udang, keong, dan ikan dasar di perairan yang tidak begitu dalam. Adapun untuk perikanan bubu skala menengah dan skala besar biasanya dilakukan di lepas pantai yang ditujukan untuk menangkap ikan dasar, kepiting, atau udang pada kedalaman 200 m sampai 700 m Martasuganda, 2003. Subani dan Barus 1988, membagi bubu ke dalam tiga golongan, yaitu bubu dasar ground fishpot, bubu apung floating fishpot, dan bubu hanyut drifting fishpot. 1 Bubu Dasar ground fishpot Bubu dasar merupakan bubu yang diopersikan di dasar perairan. Ukuran bubu dasar bervariasi dan dibuat berdasarkan kebutuhan. Menurut ukurannya, bubu dasar digolongkan kedalam dua kelompok, yaitu bubu kecil dan bubu besar. Bubu kecil umumnya berukuran panjang 1 m, lebar 0.50­0.75 m, dan tinggi antara 0.25­0.30 m. Adapun bubu besar dapat mencapai ukuran panjang 3.5 m, lebar 2 m, dan tinggi 0.75­1 m. Bubu dasar dioperasikan di perairan karang, berpasir atau berlumpur. Nelayan biasanya melengkapi bubu dengan pelampung tanda. Hal ini bertujuan untuk memudahkan menemukan bubu ketika akan dilakukan hauling. Pengambilan hasil tangkapan dilakukan 2­3 hari setelah bubu dipasang, kadang bahkan sampai beberapa hari setelah dipasang. 2 Bubu Apung Floating Fishpot Bentuk bubu apung ada yang silindris dan ada pula yang berbentuk seperti kurung­kurung. Bubu apung dilengkapi dengan pelampung dari bambu. Dalam pengoperasiannya ada pula bubu yang diikatkan pada rakit bambu, kemudian rakit bambu tersebut dirangkai dan diikatkan pada jangkar. Panjang tali jangkar tergantung dari kedalaman perairan, namun panjang tali pada umumnya 1.5 kali dalam perairan. 3 Bubu Hanyut Drifting Fishpot Dalam operasional penangkapannya bubu ini dihanyutkan, sehingga dinamakan bubu hanyut. Bubu hanyut yang umumnya dikenal dengan sebutan “pakaja”, “luka”, atau “patorani”. “Pakaja” atau “luka” artinya sama yaitu “bubu”, sedangkan “patorani” karena ia dipergunakan untuk menangkap ikan “torani”, “tuing­tuing”, atau ikan terbang flying fish. Pakaja merupakan bubu ukuran kecil, berbentuk silindris dengan panjang 0.75 m. Pada saat operasi penangkapan dilakukan, bubu ini disatukan menjadi beberapa kelompok. Menurut lokasi pemasangannya, bubu dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu bubu yang dipasang di dekat pantai inshore potting dan bubu yang dipasang jauh dari pantai offshore potting Sainsbury, 1996. a. Bubu yang dipasang di dekat pantai inshore potting Lokasi pemasangan bubu biasanya di daerah estuari, pantai, dan teluk. Kedalaman perairan tempat bubu ini dipasang berkisar antara 1.8 m hingga 75. Karakteristik bubu inshore potting adalah berukuran kecil dan ringan sehingga dapat dioperasikan menggunakan kapal yang berukuran kecil pula. Begitupun nelayan yang mengoperasikannya hanya berjumlah 1 sampai 2 orang. b. Bubu yang dipasang jauh dari pantai offshore potting Bubu yang termasuk offshore potting berukuran lebih besar dan lebih berat jika dibandingkan dengan bubu inshore potting. Kapal yang digunakan berukuran besar dan dilengkapi dengan perlengkapan yang mendukung operasi penangkapan di laut lepas. Bubu yang termasuk ke dalam kelompok ini dioperasikan hingga kedalaman 900 m atau lebih. Sainsbury 1996 menambahkan bahwa menurut metode pengoperasiannya, bubu digolongkan menjadi dua, yaitu sistem tunggal dan sistem rawai. a. Sistem tunggal Pada pengoperasian bubu dengan sistem tunggal, bubu dipasang satu per satu serta tidak hanyut di dasar perairan. Agar posisi bubu tepat ketika berada di dasar perairan, maka bubu tersebut biasanya diberi pemberat. Setiap bubu dilengkapi dengan pelampung tanda yang dihubungkan dengan tali. Menurut Martasuganda 2003, salah satu bubu yang dipasang dengan sistem tunggal adalah bubu pintur. Bubu ini dioperasikan di daerah pantai dengan target hasil tangkapan berupa kepiting dan udang. Susanti 2005 menambahkan selain bubu pintur, bubu yang dipasang dengan sistem tunggal adalah bubu tambun. Adapun target hasil tangkapan bubu tambun adalah ikan karang. b. Sistem rawai Pengoperasian bubu dengan sistem rawai dilakukan dengan cara merangkai bubu yang satu dengan lainnya dengan menggunakan tali utama. Jarak antar bubu disesuaikan dengan kebutuhan dan jumlah bubu. Pemasangan bubu dengan sistem rawai diawali dengan menurunkan jangkar, tali pelampung, dan pelampung tanda. Kemudian dilanjutkan dengan penurunan tali utama dan bubu yang diikatkan pada tali tersebut. Selanjutnya bubu yang diikat pada tali utama diturunkan ke dalam perairan. Setelah seluruh bubu selesai diturunkan, selanjutnya diikuti dengan penurunan jangkar dan pelampung tanda terakhir. Contoh bubu yang dipasang dengan sistem rawai adalah bubu rajungan Prakoso, 2005. Martasuganda 2003 menambahkan bahwa bubu paralon adalah salah satu jenis bubu yang dipasang dengan sistem rawai. Bubu ini dibuat dari paralon dengan diameter antara 10–15 cm dan panjang antara 60­80 cm. Pada kedua sisi paralon dipasang mulut bubu yang terbuat dari plastik atau bambu. Hasil tangkapan utama dari bubu ini adalah belut laut.

2.3.2 Konstruksi bubu