3. Faktor alam, seperti : a. Api dari petir
b. Api dari gunung berapi c. Cuaca kering dan panas
2.2. Perlindungan Hutan
Perlindungan hutan adalah usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak,
kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit, serta mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan,
investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan PP No. 45 tahun 2004.
Perlindungan hutan bertujuan untuk menjaga hutan, hasil hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi, tercapai
secara optimal dan lestari. Prinsip-prinsip perlindungan hutan meliputi : a. Mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, yang
disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit.
b. Mempertahankan dan menjaga hak-hak negara dan masyarakat atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan
pengelolaan hutan.
Kegiatan-kegiatan perlindungan hutan antara lain adalah : a. Pencegahan gangguan dari pihak lain yang tidak berhak.
b. Pencegahan, pemadaman dan penanganan dampak kebakaran. c. Penyediaan personil dan sarana prasarana perlindungan hutan.
d. Mempertahankan dan memelihara sumber air. e. Melakukan kerjasama dengan sesama pemilik hutan hak, pengelola kawasan
hutan, pemegang izin pemanfaatan hutan, pemegang izin pemungutan, dan masyarakat.
2.3. Pengendalian Kebakaran Hutan
Pengendalian kebakaran hutan merupakan semua aktifitas untuk melindungi hutan dari kebakaran liar maupun penggunaan api secara sengaja, dalam upaya mencapai tujuan
yang telah ditetapkan dalam pengelolaan hutan ITTO 1999. Menurut PP Nomor 45 tahun 2004 tentang perlindungan hutan, kegiatan pengendalian kebakaran hutan meliputi
tindakan pencegahan, tindakan pemadaman, dan tindakan penanganan pasca kebakaran. Kegiatan pengendalian kebakaran hutan itu sendiri dilakukan pada tingkat nasional,
provinsi, kabupatenkota, dan unit atau kesatuan pengelolaan hutan. Dalam pelaksanaan pengendalian kebakaran hutan, Pemerintah membentuk
lembaga pengendalian kebakaran hutan pada tingkat pusat, provinsi, kabupaten dan unit pengelolaan hutan, yang kemudian disebut brigade pengendalian kebakaran hutan
PP No. 45 tahun 2004. Brigade tersebut bertugas menyusun dan melaksanakan program pengendalian kebakaran hutan. Koordinasi dan tata hubungan kerja brigade pengendalian
kebakaran hutan diatur oleh Keputusan Menteri. Adapun strategi yang mungkin dilakukan dalam upaya pengendalian kebakaran
Saharjo 2002 antara lain : 1. Pembentukan lembaga pengendalian kebakaran yang independen
Perlu dibangun lembaga yang bertanggung jawab langsung terhadap upaya pengendalian kebakaran hutan pada tingkat nasional, propinsi, dan
kabupaten berdasarkan hirarkinya. 2. Implementasi pelaksanaan kegiatan tanpa intervensi
Lembaga ini bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kegiatan pengendalian kebakaran hutan berdasarkan SOP yang ada. Kegiatan yang
dilakukan semata-mata untuk menekan timbulnya asap sehingga dampak negatif yang ada ditekan seminimal mungkin.
3. Upaya pengendalian bersama masyarakat Menjadikan upaya pengendalian kebakaran hutan merupakan kegiatan yang
tidak hanya melarang masyarakat untuk tidak membakar tapi merupakan kegiatan yang harus dilaksanakan untuk kepentingan bersama.
4. Political will pemerintah Pemerintah pusat diharapkan benar-benar memiliki political will dalam
upaya pengendalian kebakaran hutan termasuk upaya penegakan hukum serta penerapan sanksi yang tegas terhadap semua pelaku di lapangan.
2.3.1. Pencegahan Kebakaran Hutan
Pencegahan kebakaran hutan adalah semua usaha, tindakan, dan kegiatan yang dilakukan untuk mencegah dan mengurangi kemungkinan terjadinya kebakaran hutan
Dirjen PHPA 1983. Menurut Husaeni 2003 terdapat tiga metode pencegahan kebakaran hutan yaitu metode pendidikan, metode perundang-undangan, dan metode
pendekatan secara teknis, yang masing-masing dipaparkan dalam penjelasan berikut : 1. Pendidikan
Fokus dari metode pendidikan ini adalah upaya pengenalan dan peningkatan kesadaran tentang bahaya, akibat, dan besarnya kerugian akibat kebakaran hutan;
sumber api sebagai penyebab kebakaran hutan; serta cara-cara pencengahannya. Sasaran dari metode ini adalah masyarakat umum khususnya masyarakat sekitar
hutan. 2. Perundang-undangan
Segala peraturan dan undang-undang terkait pencegahan kebakaran hutan haruslah ditegakkan secara sungguh-sungguh, adil, dan tidak pandang bulu.
Perundangan ini sebaiknya didukung dengan upaya penyuluhan terkait pemasyarakatan peraturan-peraturan terkait.
3. Pendekatan secara teknis Maksud dari metode ini adalah upaya pencegahan kebakaran yang dititik
beratkan pada kegiatan-kegiatan di lapangan. Metodenya terdiri dari dua yakni manajemen bahan bakar meliputi isolasi bahan bakar, modifikasi bahan bakar,
maupun pengurangan bahan bakar; dan penerapan teknik silvikultur meliputi penyiangan, pendangiran, pemupukan untuk mempercepat penutupan tajuk,
pemangkasan cabang untuk memutus kontinuitas vertikal bahan bakar, bahkan penerapan sistem Tumpang Sari untuk penanaman.
Menurut Sumantri 2003 metode pencegahan kebakaran hutan dikelompokan menjadi pokok-pokok pencegahan kebakaran hutan meliputi :
1. Upaya untuk menggarap manusia sebagai sumber api yang dapat dilakukan dengan peningkatan pendapatan dan pendidikan, pola penyadaran dan
pembinaan, mendorong proses peran serta masyarakat, rekayasa sosial, dan penegakan peraturan;
2. Upaya untuk memodifikasi pemicu bahan bakar seperti kayu, gambut, batu bara, melalui teknik silvikultur, manajemen bahan bakar, fuel break, green
belt, maupun perencanaan sistem pengairan pada lahan gambut yang sesuai tapak;
3. Upaya untuk kewaspadaan seperti pemasangan rambu-rambu, patroli, memantau indeks kekeringan, peringatan dini, apel siaga; dan
4. Upaya untuk kesiap-siagaan dengan pengadaan sarana dan prasarana, metode dalam pencegahan, pendanaan, pengembangan Sumber Daya Manusia,
pelatihan, simulasi.
Pencegahan kebakaran hutan pada tingkat kesatuan pengelolaan hutan produksi, kesatuan pengelolaan hutan lindung, izin pemanfaatan hutan, izin penggunaan kawasan
hutan dan hutan hak, antara lain melakukan inventarisasi lokasi rawan kebakaran hutan; menginventarisasi faktor penyebab kebakaran; menyiapkan regu-regu pemadam
kebakaran; membuat prosedur tetap pemadaman kebakaran hutan; mengadakan sarana pemadaman kebakaran hutan; dan membuat sekat bakar PP No. 45 tahun 2004.
2.3.2. Pemadaman Kebakaran Hutan
Pemadaman kebakaran hutan adalah semua tindakan yang baru dapat dilakukan apabila telah diketahui adanya kebakaran hutan dan diketahui pula letaknya Suratmo
1974. Menurut ITTO 1999 terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pemadaman kebakaran hutan antara lain deteksi kebakaran hutan, komunikasi, penyiapan
organisasi pemadaman kebakaran, pelatihan petugas, penyiapan peralatan, dan penyiapan logistik, serta penyiapan lapangan. Prinsip dasar pemadaman kebakaran hutan terdiri dari
dua langkah yaitu menghentikan penjalaran api dan memadamkan seluruh api Anonim
1977. Prinsip dasar menghentikan penjalaran api yaitu menghilangkan satu atau lebih unsur dari segitiga api sehingga api tidak dapat menyala. Cara-cara yang dapat ditempuh
antara lain dengan pendinginan bahan bakar, pengurangan oksigen dengan memukul nyala api, menutupi dengan tanah, menyiram dengan air, menghilangkan pasokan bahan
bakar. Sedangkan prinsip dasar memadamkan seluruh api dapat dilakukan dengan cara- cara seperti :
1. Metode jalur Yaitu membuat jalur mekanik dengan membersihkan bahan-bahan yang
mudah terbakar. Jalur dibuat melintang atau memotong arah menjalarnya api sehingga penjalaran api akan terhenti. Lebar jalur mekanis adalah 10 sampai
15 meter. 2. Metode pembakaran balik
Yaitu membuat jalur mekanik yang tidak lebar terlebih dahulu, kemudian dilebarkan dengan pembakaran ke arah berlawanan datangnya api. Lebar jalur
mekanis ini adalah satu sampai dua meter. 3. Metode pemadaman api secara langsung
Yaitu dengan memadamkan bahan bakar yang telah terbakar dengan air, bahan kimia, atau tanah; atau memisahakan bahan bakar yang belum terbakar.
Metode ini dilaksanakan pada tepi api di areal kebakaran dan apabila skala nyala api masih kecil serta tenaga pemadam berjumlah besar.
Menurut ITTO 1999 terdapat dua metode pemadaman kebakaran hutan yaitu metode pemadaman langsung dan pemadaman tidak langsung. Perbedaan dasar dari
kedua metode ini adalah dalam hal penempatan lokasi ilaran api terhadap tepi api kebakaran. Pada pemadaman langsung dilakukan pada tepi areal kebakaran, bahan bakar
yang terbakar dipadamkan atau dipisahkan dari bahan bakar yang belum terbakar. Sedangkan pemadaman tidak langsung dilakukan pada bahan bakar yang tidak terbakar
yang letaknya diluar tepi api kebakaran.
Setiap Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan, Pemegang Izin Penggunaan Kawasan Hutan, Pemilik Hutan Hak, dan atau Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan, berkewajiban
melakukan rangkaian tindakan pemadaman dengan cara PP No. 45 tahun 2004 : a. Melakukan deteksi terjadinya kebakaran hutan
b. Mendayagunakan seluruh sumberdaya yang ada c. Membuat sekat bakar dalam rangka melokalisir api
d. Memobilisasi masyarakat untuk mepercepat pemadaman
Untuk membatasi meluasnya kebakaran hutan dan mempercepat pemadaman kebakaran setiap orang yang berada di dalam dan di sekitar hutan wajib melaporkan
kejadian kebakaran hutan kepada Kepala Desa setempat, Petugas Kehutanan, Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan, Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan, Pemegang Izin
Penggunaan Kawasan Hutan atau Pemilik Hutan Hak; dan membantu memadamkan kebakaran hutan PP No. 45 tahun 2004.
2.3.3. Penanganan Pasca Kebakaran Hutan
Penanganan pasca kebakaran hutan meliputi kegiatan identifikasi dan evaluasi, rehabilitasi, dan penegakan hukum PP No. 45 tahun 2004. Kegiatan identifikasi dan
evaluasi yang dilakukan berupa pengumpulan data dan informasi terjadinya kebakaran; pengukuran dan sketsa lokasi kebakaran; dan analisis tingkat kerusakan dan rekomendasi.
Berdasarkan hasil kegiatan identifikasi dan evaluasi maka dilakukan kegiatan rehabilitasi yang dilakukan oleh Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan, Pemegang Izin Pemanfaatan
Hutan, Pemegang Izin Penggunaan Kawasan Hutan, atau Pemilik Hutan Hak. Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan, Pemegang Izin Penggunaan Kawasan Hutan,
atau Pemilik Hutan Hak bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya. Pertanggungjawaban yang dimaksud meliputi tanggung jawab pidana, tanggung
jawab perdata, membayar ganti rugi, dan atau sanksi administrasi. Penegakan hukum terhadap tindakan pidana kebakaran hutan dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2.3. Peran Masyarakat
Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu dan yang terikat oleh rasa identitas
bersama Koentjaraningrat 1990. Menurut Soekanto 1990 masyarakat lokal menunjuk pada bagian masyarakat yang bertempat tinggal pada suatu wilayah dengan faktor utama
yang menjadi dasar adalah interaksi yang lebih besar anggotanya dibandingkan penduduk luar. Dasar masyarakat lokal adalah lokalitas; dan perasaan masyarakat lokal seperti
seperasaan, sepenanggungan, dan saling memerlukan. Masyarakat desa hutan adalah kelompok orang yang bertempat tinggal di desa
hutan dan melakukan aktifitas yang berinteraksi dengan sumber daya hutan untuk mendukung kehidupannya Perum Perhutani 2001. Masyarakat di dalam dan sekitar
hutan, disebut juga masyarakat setempat, adalah penduduk yang bermukim di dalam dan sekitar hutan yang memiliki kesatuan komunitas sosial dengan kesamaan mata
pencaharian yang bergantung pada hutan dan aktifitasnya dapat berpengaruh terhadap ekosistem hutan.
Pemberdayaan masyarakat adalah serangkaian upaya strategi dalam rangka memperluas akses masyarakat terhadap sumber daya pembangunan melalui penciptaan
peluang-peluang yang seluas-luasnya agar masyarakat lapisan bawah mampu berpartisipasi Sumodiningrat 1999. Pemberdayaan masyarakat dimaksudkan untuk
pengembangan kapasitas dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Tujuan dari pemberdayaan masyarakat antara lain :
1. Menciptakan masyarakat mandiri dan berkeadilan 2. Meningkatkan kapasitas masyarakat
3. Kemandirian menginginkan sedapat mungkin masyarakat menggunakan sumber daya yang tersedia dari dalam komunitas itu sendiri dan
meminimalisasi penggunaan sumber daya dari luar
Pemberdayaan merupakan upaya untuk membangun daya dengan mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki serta berupaya
untuk mengembangkannya Kartasasmita 1996. Pemberdayaan masyarakat harus selalu memaksimalkan partisipasi, dimana setiap orang dalam komunitas itu dapat dilibatkan
dalam proses dan kegiatan dalam komunitas tersebut. Semakin banyak orang yang berpartispasi semakin tinggi rasa kepemilikan dan tanggung jawabnya. Pemberdayaan
masyarakat dapat ditempuh melalui tahapan pemberdayaan sosial, partisipasi sosial, kemitraan sosial, dan advokasi sosial Safwan 2002. Pemberdayaan sosial adalah
peningkatan kemampuan individu maupun masyarakat dalam menangani permasalahan sosial. Kemitraan sosial adalah mengembangkan jalinan kerja sama atas dasar kesetaraan
dan kebersamaan melalui suatu jaringan kerja antar lintas pelaku. Partisipasi sosial adalah mengembangkan prakarsa, peran aktif, dan swadaya masyarakat dalam seluruh proses
kegiatan. Advokasi sosial adalah memberikan fasilitas dan perlindungan serta pembelaan terhadap individu maupun masyarakat untuk berperan aktif dalam kesejahteraan sosial.
III. METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan selama 2 dua bulan yaitu pada bulan April sampai Mei 2009 bertempat di RPH Oro Oro Ombo BKPH Pujon KPH Malang Perum Perhutani Unit
II Jawa Timur.
3.2. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian adalah lembar kuisioner, kamera, dan tape recorder. Bahan yang digunakan adalah profil desa, dan data statistik kebakaran dari
Perum Perhutani periode tahun 2004 sampai dengan tahun 2008.
3.3. Metode Penentuan Responden
Responden yang diwawancara adalah personil RPH Oro Oro Ombo yang meliputi KRPH dan mandor RPH Oro Oro Ombo; serta masyarakat sekitar hutan yang termasuk
anggota Kelompok Tani Hutan RPH Oro Oro Ombo sebanyak 30 orang responden yang ditentukan secara purposive sampling.
3.4.Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan studi pustaka mengenai materi yang bersangkutan dengan tema penelitian. Jenis data yang dikumpulkan yaitu data
primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung di lapangan dengan bantuan kuisioner mengenai upaya pengendalian kebakaran hutan, baik
pencegahan maupun pemadaman kebakaran hutan, dengan peningkatan peran masyarakat sekitar hutan yang dilakukan oleh pihak RPH Oro Oro Ombo.
Sedangkan data sekunder diperoleh melalui studi pustaka yang dilakukan di Perpustakaan LSI IPB dan di tempat penelitian. Data sekunder ini meliputi data statistik
kebakaran hutan tahun 2004 sampai dengan tahun 2008, data kondisi umum wilayah penelitian, data kondisi umum masyarakat sekitar hutan, dan data-data pendukung
lainnya.