Kondisi Lingkungan Perairan TINJAUAN PUSTAKA

11 reef flat, reef edge dan reef slope. Peristiwa ini biasanya sangat rawan terutama pada terumbu karang yang letaknya di pantai pulau terpencil yang langsung menuju atau berhadapan ke lautan bebas. Sedangkan kerusakan terbesar kedua adalah adanya fenomena El Nino dimana terjadi peningkatan suhu yang ekstrim sehingga terumbu karang tersebut mengalami proses bleaching. Di samping faktor fisik-kimia, faktor biologis yaitu predator karang diketahui juga tidak kalah pentingnya andil pada kerusakan karang. Bintang laut berduri Acanthaster plancii cukup terkenal sebagai perusak karang di daerah Indo-Pasifik. Selain Acanthaster plancii, beberapa jenis hewan lainnya seperti gastropoda Drupella rugosa, bulu babi Echinometra mathaei, Diadema setosum, dan Tripneustes gratilla, dan beberapa jenis ikan karang seperti ikan kakak tua Scarrus sp., Kepe-kepe Chaetodon sp. dapat mengakibatkan kerusakan pada area terumbu karang Supriharyono 2000. Faktor kerusakan lainnya disebabkan oleh kegiatan manusia secara langsung yang dapat menyebabkan bencana kematian pada terumbu melalui kegiatan penambangan karang batu, penangkapan ikan dengan bahan peledak dan bahan kimia beracun, penggunaan jangkar dan eksploitasi berlebihan pada sumberdaya tertentu. Pengeboran minyak lepas pantai, tumpahan minyak baik kecelakaan kapal di laut, kebocoran pipa penyalur atau tumpahan ketika pengisian bahan bakar dapat mengganggu kesehatan karang. Disamping itu kegiatan pertanian dan perkebunan di daerah dataran tinggi dapat menyebabkan sedimentasi di daerah pesisir Supriharyono 2000.

2.3 Kondisi Lingkungan Perairan

Kondisi suatu perairan merupakan faktor kunci yang mendukung kehidupan flora dan fauna. Kondisi perairan tersebut meliputi sifat fisika, kimia dan biologi. Sifat fisika yang penting antara lain adalah suhu, salinitas, kecerahan, kekeruhan, kecepatan arus dan kedalaman. Suhu suatu badan air di pengaruhi oleh musim, lintang latiude, ketinggian dari permukaan air laut altitude, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan dan aliran serta kedalaman air. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia dan biologi badan air. Organisme akuatik memiliki kisaran suhu 12 tertentu batas atas dan bawah yang disukai bagi pertumbuhannya. Misalnya, algae dari filum Clorophyta dan diatom akan tumbuh dengan baik pada kisaran suhu berturut-turut 30-35 o C dan 20-30 o C. Filum Cyanophyta lebih dapat bertoleransi terhadap kisaran suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan Chlorophyta dan diatom Haslam 1995 in Hefni Effendi 2003. Suhu juga sangat berperan mengendalikan kondisi ekosistem perairan. Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi dan volatilisasi. Peningkatan suhu juga menyebabkan penurunan kelarutn gas dalam air, misalnya O 2 , CO 2 , N 2 , CH 4 dan sebagainya Haslam 1995 in Effendi 2003. Selain itu suhu juga menyebabkan peningkatan kecepatan metabolism dan respirasi organisme air, dan selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan suhu perairan sebesar 10 o Pada Perairan laut dan limbah industri, salinitas perlu diukur. Salinitas adalah konsentrasi total ion yang terdapat di perairan Boyd 1998 in Effendi 2003. Salinitas menggambarkan padatan total di dalam air, setelah semua korbonat dikonversi menjadi oksida, semua bromide dan iodide digantikan oleh klorida dan semua bahan organik telah dioksidasi. Salinitas dinyatakan dalam satuan gkg atau promil C menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sebesar 2-3 kali lipat. Namun, peningkatan suhu ini disertai dengan penurunan kadar oksigen terlarut sehingga keberadaan oksigen sering kali tidak mampu memenuhi kebutuhan oksigen bagi organisme akuatik untuk melakukan proses metabolism dan respirasi. Peningkatan suhu juga mengakibatkan terjadinya peningkatan dekomposisi bahan organik oleh mikroba Effendi 2003. o oo . Nilai salinitas perairan tawar biasanya kurang dari 0,5 o oo, perairan payau antara 0,5-30 o oo , dan perairan laut 30-40 o oo. Pada Perairan hipersaline, nilai salinitas dapat mencapai kisaran 40-80 o oo. Kecerahan air tergantung pada warna dan kekeruhan. Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan, yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk. Nilai kecerahan dalam satuan meter. Nilai ini sangat dipengaruhi oleh Pada perairan pesisir, nilai salinitas sangat dipengaruhi oleh masukan air tawar dari sungai Effendi 2003. 13 keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan dan padatan tersuspensi, serta ketelitian orang yang melakukan pengukuran. Pengukuran kecerahan sebaiknya dilakukan pada saat cuaca cerah Effendi 2003. Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat di adalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut misalnya lumpur dan pasir halus, maupun bahan anorganik dan organik yang berupa plankton dan mikroorganisme lain APHA 1976; Davis Cornwel 1991 in Effendi 2003. Kekeruhan dinyatakan dalam satuan turbiditas, yang setara dengan 1 mgliter SiO 2. Sedangkan sifat kimia yang penting adalah pH, pada dasarnya keasaman tidak sama dengan pH. Asiditas keasaman melibatkan dua komponen yaitu jumlah asam baik asam kuat maupun asam lemah, dan konsentrasi ion hydrogen. Menurut APHA 1976 in Effendi 2003, pada dasarnya asiditas menggambarkan kapasitas kuantitatif air untuk menetralkan basa hingga pH tertentu. Mackereth et al. 1989 in Effendi 2003 berpendapat bahwa pH juga berkaitan erat dengan karbondioksida dan alkalinitas. Pada pH 5, alkalinitas dapat mencapai nol. Semakin tinggi nilai pH, semakin tinggi pula nilai alkalinitas dan semakin rendah kadar karbondioksida bebas. Larutan bersifat asam pH rendah bersifat korosif. Peralatan yang pertama kali digunakan untuk mengukur kekeruhan adalah Jackson Candler Turdimeter dengan satuan 1 JTU. Selain dengan menggunakan Jackson Candler Turdimeter, kekeruhan sering diukur dengan metode Nephelometric. Satuan kekeruhan yang diukur dengan metode Nephelometric adalah NTU Nephelometric Turbidity Unit Sawyer McCarty 1978 in Effendi 2003. Satuan JTU dan NTU sebenarnya tidak dapat saling mengkonversi, akan tetapi, menurut Sawyer dan McCarty 1978 in Effendi 2003 mengemukakan bahwa 40 NTU setara dengan 40 JTU. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7 – 8,5. Nilai pH sangat mempengaruhi proses biokimiawi perairan, misalnya proses nitrifikasi akan berakhir jika pH rendah. Pengaruh pH terhadap komunitas biologi perairan ditunjukan dalam Tabel 1. 14 Tabel 1 Pengaruh pH terhadap komunitas biologi perairan Nilai pH Pengaruh Umum 6,0 – 6,5 1. Keanekaragaman plankton dan bentos sedikit menurun. 2. Kelimpahan total, biomassa dan produktvitas tidak mengalami perubahan. 5,5 – 6,0 1. Penurunan nilai keanekaragaman plankton dan bentos semakin tampak. 2. Kelimpahan total, biomassa dan produktvitas tidak mengalami perubahan yang berarti. 3. Algae hijau berfilamen mulai tampak pada zona litoral. 5,0 – 5,5 1. Penurunan keanekaragaman dan komposisi jenis plankton, perifiton dan bentos semakin besar. 2. Terjadi penurunan kelimpahan total dan biomassa zooplankton dan bentos. 3. Algae berfilamen semakin banyak. 4. Proses nitrifikasi terhambat. 4,5 – 5,0 1. Penurunan keanekaragaman dan komposisi jenis plankton, perifiton dan bentos semakin besar. 2. Penurunan kelimpahan total dan biomassa zooplankton dan bentos. 3. Algae berfilamen semakin banyak. 4. Proses nitrifikasi terhambat. Sumber : Modifikasi Baker et al 1990 in Effendi 2003 Pada pH 4, sebagian besar tumbuhan air mati karena tidak dapat bertoleransi terhadap pH rendah. Namun, algae Clamydomonas acidophila masih dapat bertahan hidup pada pH yang sangat rendah yaitu 1, dan algae Euglena masih dapat bertahan pada pH 1,6 Haslam 1995 in Effendi 2003.

2.4 Hubungan Ikan Kerapu dengan Terumbu Karang