Pelarangan Kartel Konsep Kartel Dan Pelarangannya

38 sama-suka di antara kamu. Danjanganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu 41 ” Makna dari lafazh طٰ ۡٱبmengisyaratkan kepada kita bahwa penguasaan atau perpindahan kekayaan tidak boleh dilakukan “…Secara zalim melalui dominasi, pencurian, kecurangan, riba, penimbunan, judi, suap, tindak perugian, penipuan, pencurangan, segala cara lain yang mengandung kezaliman atau penipuan, jual beli sesuatu yang tidak diperbolehkan, atau sewa-menyewa sesuatu yang tidak diperbolehkan.” 42 Kartel juga dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang terlarang atau haram dilakukan, ini dapat dilihat dari sabda Rasulullah SAW yang berbunyi; تحيَ اق س هي ع ه ي ص ه س ع ه ع ه يض ه د ع ب ع ع ئطاخَا 43 “Dari Ma’mar bin Abdillah dari Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda:”Tidaklah seorang menimbun Ihtikar kecuali dia berdosa”. Ihtikar seringkali diterjemahkan sebagai monopoli danatau penimbunan, padahal sesungguhnya ihtikar tidak identik dengan itu. Dalam Islam seseorang boleh saja menjadi penjual satu-satunya dipasar demikian pula memiliki stock barang untuk keperluan persediaan. Yang dilarang adalah ihtikar, yaitu mengambil keuntungan diatas keuntungan normal dengan cara menjual lebih sedikti barang untuk harga yang 41 Q.S. An Nisa, 29. 42 Yusuf Al Qardhawi, Yusuf Al-Qardhawi, 7 Kaidah Utama Fikih Muamalat, Penerjemah Ferdian Hasmand, Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2014.h. 85 43 Shahih Muslim Hadits Nomor 1605. 39 lebih tinggi. 44 Di zaman Rasullulah SAW, salah satu cara melakukan ihtikar adalah dengan cara menimbun agar harga naik akibat kelangkaan tersebut. 45 Pendapat ini diperkuat lewat hadits Rasulullah SAW yang berbunyi; ئطاخ ف ي س ا ى ع ا ب ي اغي أ دي ي ح تحا 46 Barangsiapa menimbun suatu timbunan supaya menjualnya dengan harga yang tinggi kepada kaum muslimin, maka dia telah berbuat dosa Perilaku ihtikar yang dilakukan secara berkelompok itulah yang memiliki kesamaan dengan perilaku kartel, yang mana keduanya memiliki kesamaan tujuan yaitu “bermaksud mempengaruhi harga” di pasar agar lebih tinggi dari harga semestinya. Oleh karena itu, pada dasarnya Islam juga mengharamkan praktek kartel.

C. Perjanjian Kartel

Kartel pada dasarnya merupakan perjanjian satu pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menghilangkan persaingan antara keduanya. 47 Oleh karena itu dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, tindakan kartel dikategorikan sebagai suatu perjanjian yang dilarang. Maka dari itu, pemahaman tentang konsep perjanjian sangatlah penting 44 Adiwarman Azwar Karim, Ekonomi Mikro Islami, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007, h. 185. 45 Ibid, h. 174. 46 Musnad Ahmad Hadits Nomor 8617. 47 Farid Nasution dan RetnoWiranti, Kartel dan Problematikanya, Majalah Kompetisi Jakarta, 2008, h. 4. 40 Sebagaimana dalam pasal 1313 Burgerlijkwetboek atau Kitab Undang- Undang Hukum Perdata “Suatu Perjanjian adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”Dengan kata lain perjanjian atau kontrak merupakan peristiwa hukum dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. 48 Suatu perjanjian atau kontrak terlahir pada saat terjalinnya kesepakatan. Oleh karena itu, apabila tercapai kesepakatan antara para pihak maka lahirlah suatu perjanjian, walaupun perjanjian tersebut belum dilaksanakan. 49 Oleh sebab itu consensus atau kesepakatan menjadi dasar yang sangat penting bagi suatu perjanjian. Dalam hukum persaingan usaha di Indonesia, sebagaimana Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, dalam pasal 1 angka 7 dikatakan bahwa; “Perjanjian adalah suatu perbuatan dari satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun baik tertulis maupun tidak tertulis .” Walaupun secara sepintas definisi perjanjian dalam pasal 1313 BW dengan definisi perjanjian menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, terlihat sama namun sesungguhnya terdapat perbedaan mendasar diantara keduanya. 48 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta: Rajawali Press, 2010, h. 2. 49 Ibid, h. 3. 41 Menurut Kamal Rokan, perjanjian dalam teori persaingan usaha adalah upaya atau lebih pelaku usaha dalam konteks strategi pasar. Oleh karenanya, esensi dari perjanjian dalam persaingan usaha yaitu kesepakatan antara para pelaku usaha, yang seharusnya bersaing, tentang tingkah laku pasar mereka baik keseluruhannya maupun sebagian dari keseluruhan tingkah laku pasar. 50 Sehingga persaingan diantara pelaku usaha, pada akhirnya, menghilang. Kartel merupakan akibat dari struktur pasar yang oligopolis. 51 Oleh karena itu, “Perjanjian” pada pasar oligopoli lebih mengarah pada perjanjian yang bersifat horizontal. Pada struktur pasar ini pun biasanya tidak terjadi perjanjian yang bersifat tertulis atau lisan antar pelaku usaha, namun biasanya di tentukan oleh “saling keterkaitan reaksi tanpa perjanjian” dan perilaku yang saling disesuaikan. 52 Perjanjian dalam persaingan usaha terkadang hanya didasarkan pada “feeling” ekonomi untuk menyamakan harga dan mengikuti pola pesaing lainnya. Sehingga tak jarang perjanjian dapat terjalin tanpa memerhatikan apakah pihak yang menjalin perjanjian melakukannya dengan suka rela atau tidak. Inilah yang membedakan perjanjian dalam pengertian KUHperdata dengan perjanjian dalam hukum anti monopoli. 53 50 Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha; Teori dan Praktiknya Di Indonesia, h. 86. 51 Andi Fahmi Lubis, Dkk, Hukum Persaingan Usaha: Antara Teks dan Konteks , Jakarta; GTZ, 2009, h. 106. 52 Mustafa Kamal Rokan,Hukum Persaingan Usaha; Teori dan Praktiknya Di Indonesia, h. 89. 53 Ibid, h. 86. 42 Karenanya, dalam Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha nomor 4 tahun 2010 tentang pedoman pasal 11 Undang-undang nomor 5 tahun 1999, salah satu syarat terjadinya kartel adalah terjadinya perjanjian atau kolusi antara pelaku usaha, yang mana terdapat dua bentuk kolusi dalam kartel yaitu kolusi eksplisit dan kolusi diam-diam. 54 Kolusi eksplisit, dimana para anggota mengkomunikasikan kesepakatan mereka secara langsung yang dapat dibuktikan dengan adanya dokumen perjanjian, data mengenai audit bersama, kepengurusan kartel, kebijakan-kebijakan tertulis, data penjualan dan data-data lainnya. 55 Sedangkan kolusi diam-diam, dimana pelaku usaha anggota kartel tidak berkomunikasi secara langsung, pertemuan-pertemuan juga diadakan secara rahasia. Biasanya yang dipakai sebagai media adalah asosiasi industri, sehingga pertemuan- pertemuan anggota kartel dikamuflasekan dengan pertemuan-pertemuan yang legal seperti pertemuan asosiasi. Bentuk kolusi yang kedua ini sangat sulit untuk dideteksi oleh penegak hukum. Namun pengalaman dari berbagai negara membuktikan bahwa setidaknya 30 kartel adalah melibatkan asosiasi. 56 54 KPPU Perkom Nomor 4 Tahun 2010, h. 4. 55 KPPU Perkom Nomor 4 Tahun 2010, h.8. 56 Ibid, h. 8-9.