Analisis Wacana Kritis Tentang Perbudakan Modern Dari Segi Kognisi Sosial

Pada percakapan di atas terlihat bahwa Elman Saragih sebagai pembedah dalam Program Bedah Editorial Media Indonesia mengkritik keras pemerintah. Dalam kritikannya, pemerintah telah gagal dalam menangani masalah sosial dan kemanusiaan. kita juga dapat melihat penekanan serta ekspresi menyalahkan pada kalimat yang diberi tanda di atas. Hal ini menunjukkan bahwa pesan pokok yang ingin disampaikan oleh si pembedah ada pada kalimat tersebut. Elman Saragih menyampaikan opini pribadi yang sebenarnya mewakili Media Indonesia. Kekuatan hegemoni media secara langsung dipegang oleh Elman Saragih sebagai pembedah. Kita lanjutkan ke percakapan selanjutnya, berikut ini. Gilang Ayunda : karena yang di depan mata ibukota saja bisa terjadi, begitu ya, apalagi yang di daerah-daerah terpe... Interupsi oleh Elman Elman Saragih : apalagi yang di daerah-daerah tidak terjangkau, berapa banyak lagi anak manusia, yang tidak berdaya, betul-betul di jajah kembali seperti jaman dahulu, jaman penjajahan aja tidak seperti ini, Nah, Saya heran lho, artinya, Pemerintah selalu mengatakan pertumbuhan penduduk, bagus, pembangunan ekonomi negara, bagus, Toto Tentram kartoraharjo, nah, di depan mata sendiri, budak Saya tidak tau lagi bagaimana pemerintah, bagaimana menteri tenaga kerja melihat kasus ini, dan yang terjadi sekarang kan, begitu ada kejadian, wah, semua menghakimi, hukum, semua sepertinya jadi pahlawan, selama ini kamu dimana? Kok diam? Kok gak tau? Begitu kejadian baru rame, semua dari delapan penjuru mata angin, yang tidak pernah ngomong juga ngomong, yang tidak ngerti persoalan juga sok ngerti. Gilang Ayunda : oke, baik, dan ini akhirnya membuat beberapa pihak juga mempertanyakan komitmen negara dalam melindungi tenaga kerjanya, jangankan melindungi TKI yang ada di luar negeri, Tenaga Kerja yang ada di rumah sendiri pun tidak terawasi, mengapa sebetulnya hal ini bisa luput dari pengawasan?, begitu pak. Elman Saragih : kalo saya sih, memang ya, mungkin juga, sudah lama juga kita tidak lagi memikirkan rakyat gitu ya, , contoh misalnya, kita kan, selama ini kan bangga kan, mengekspor TKI, saya heran juga, kok katanya negara maju, kok bangga juga mengekspor TKI murahan ke luar negeri, dan yang paling aneh lagi mbak gilang ya, setiap kali ada perlakuan tidak manusiawi terhadap TKI kita di luar negeri, waduh, marahnya semua, semuaa marah. Nah, Ketika perbudakan itu terjadi di tanah air, gimana dong? Gimana? Mana? Apa bedanya lagi, perlakuan terhadap TKI kita di luar negeri, dengan perlakuan rakyat kita di dalam negeri, dan di pusat kota indonesia lagi, jakarta, sekitar jakarta, jadi saya sih mbak gilang ya, iya, itu makanya saya katakan tadi, kita sebetulnya sudah kehabisan kata-kata, dan yang kita saksikan, itu tadi yang saya bilang, betapa kemudian pemimpin kita sangat bangga sekali, wah, kita dapat penghargaan, disanjung, ini silahkan ni. Apa kata pemimpin kepada budak-budak ini, mau ngomong apa? Gimana kita mau berbicara tentang memperjuangkan kemanusiaan di luar negeri, tentang kemanusiaan di dalam negeri aja tidak terselesaikan. Jadi menurut saya sih, itu sebenarnya, saya gak tahu, mereka masih punya indera penglihatan gak? atau masih punya telinga? masih punya hati? Atau jangan-jangan semua sudah habis, yang tinggal hanya, sosok yang tidak bisa melihat. Gilang Ayunda : ya, menutup segala-galanya interupsi Elman Saragih : ya, tidak punya rasa, begitu. Gilang Ayunda : baik, bang elman, nanti kita akan lanjutkan kembali, kita harus jeda terlebih dahulu, pemirsa jangan kemana-mana, bedah editorial media indonesia akan kembali setelah jeda berikut ini. Pada segmen pertama percakapan ini terlihat bahwa Elman Saragih sebagai dewan redaksi media grup yang mewakili suara Media Indonesia sangat bersemangat dalam mengomentari isu perbudakan ini. Elman Saragih terlihat menyalahkan pemimpin-pemimpin yang tidak peka dan kurang sadar terhadap kasus ini. Konsep hegemoni juga terdapat dalam percakapan, hal ini terlihat pada pada penguasaan percakapan oleh Elman Saragih sebagai pembedah dalam percakapan ini yang juga secara umum mewakili suara Media Grup. b. Percakapan pada segmen kedua Pembawa Acara : Gilang Ayunda; Pembedah: Elman Saragih Dewan Redaksi Media Grup; Penelpon I: Pak Ones Rote, NTT; Penelpon II: Pak Heri Tuban, Jawa Timur; Penelpon III: Pak Viktor Jakarta; Penelpon IV: Pak Yono Kendal, Jawa Tengah Gilang ayunda : ya kembali lagi di bedah Editorial Media Indonesia pemirsa, terima kasih anda masih bersama kami, dan langsung saja kita buka sesi penelfon pada hari ini. sudah tersambung bersama kami pak ones dari rote, NTT. Selamat pagi pak ones. Pak ones : selamat pagi metro TV, Gilang Ayunda : ya, silahkan Pak Ones : jadi begini, negeri ini sudah merdeka, kita lagi perangi yang namanya perbudakan, jadi seolah-olah negeri ini masih terdapat inkarnasi-inkarnasi rodi dan juga romusha di negeri ini, yang seolah-olah terjadi perbudakan kembali di negeri sendiri yang sudah merdeka ini. Nah, sehingga pemerintah itu jangan hanya tinggal diam, tetapi memperhatikan para pekerja-pekerja yang seperti ini yang harus diperhatikan. Kemudian yang berikut, tentara kemudian polisi yang ada di belakang usaha ini, jangan seolah-olah seperti tentara-tentara jepang dan tentara-tentara belanda yang mau kembali menjajah negeri ini. Sehingga Kami minta supaya kalau bisa pemerintah menindak tegas oknum-oknum seperti ini. Pada sesi telfon interaktif ini yang merupakan ruang untuk publik berkomentar, terlihat bahwa “hegemoni media” telah berhasil memberikan pandangan yang sama kepada khalayak, dalam hal ini terbukti pada penelpon. Penelpon pertama setuju dengan isu yang diangkat Editorial Media Indonesia ini. Dalam pendapatnya, pemerintah seharusnya berada pada posisi yang sadar, tidak tinggal diam dan segera menindak orang-orang yang berada di belakang atau oknum yang menjadi penyebab pada kasus ini. Pada wacana ini tampak bahwa Media Grup berhasil mempengaruhi satu pemirsa yang menonton program acara ini. Gilang Ayunda : baik, baik terima kasih pak ones untuk komentarnya pagi hari ini dan Kita langsung ke penelpon kedua, ada pak heri di tuban Jawa Timur. Ya, selamat pagi pak heri. Pak Heri : selamat pagi metro , Gilang Ayunda : iya, silahkan pak heri Pak Heri : gimana bung elman? Selamat pagi bang elman. Elman Saragih : baik, pagi pak heri Pak Heri : ya, gimana negaramu ini, ini negaraku juga kan? Bukan negara buta ini, waduh, gimana pak presiden juga ini?, dengarkan lah?, hati nurani yang orang-orang kecil itu, sudah terhimpit hak-haknya, terhimpit kemerdekaannya, disitu ada oknum polisi, ada pembela yang ikut dengan pengusaha, berarti mereka makan tulangnya orang-orang buruh yang hina di negeri indonesiaku. Terima kasih bung elman. Selanjutnya pada percakapan dengan penelpon kedua di atas, terlihat bahwa Media Indonesia berhasil mengangkat emosi penonton, hal ini terlihat pada komentar pak heri yang menyebutkan presiden, dan terlihat bahwa dia beranggapan presiden tidak sadar dengan keadaan para pekerja yang dijadikan budak. Dia juga berasumsi dan mengutuk pengusaha yang memberlakukan para buruh secara tidak wajar. Gilang Ayunda : baik terima kasih pak heri dari tuban jawa timur, dan kini kita langsung ke penelpon selanjutnya ada pak viktor dari jakarta. Pak Viktor : Selamat pagi metro TV Elman Saragih : pagi, pagi pak viktor Gilang ayunda : Silahkan Pak Pak Viktor : Gini mbak, kejadian di tangerang ini sebenarnya perlu ada evaluasi dari pemerintah khususnya pemimpin ABRI dan Polri, untuk lebih memperhatikan aparatnya, bahkan bila perlu ada evaluasi, bagi mereka yang sudah tidak ”capable” lagi bertugas, ya di berhentikan aja, karena bukan hanya masalah tenaga kerja yang ada di Tangerang ini menjadi kasus, banyak hal, para aparat tidak bertindak sebagai penegak hukum, bahkan menakut-nakuti masyarakat, jadi tidak mendidik, nah, bagi kasus tangerang ini sebenarnya semua oknum yang terlibat, terkait, baik itu dinas perindustrian atau yang memegang legalitas, bahkan tingkat RT pun RW, itu juga harus diselidiki kok bisa kecolongan ada aktifitas yang tidak legal dan bahkan merampas hak azasi manusia, demikian pak. Terima kasih. Selanjutnya kita akan bahas komentar penelpon ketiga dalam ruang publik ini. Komentar pak viktor ini tampak tidak menyalahkan pemerintah tetapi lebih kepada menyalahkan oknum penegak hukum seperti polisi atau ABRI dan juga sistem organisasi sosial seperti RT dan RW, dia berharap agar sistem legalisasi industri di Indonesia harus lebih ketat. Penelpon ketiga ini tidak terpancing untuk menyalahkan pemerintah dan menyebut-nyebut presiden seperti penelpon sebelumnya. Penelpon seperti ini lebih kritis dalam berkomentar dan tidak menelan mentah-mentah apa yang disajikan oleh Editorial Media Indonesia. Gilang Ayunda : Baik, terima kasih pak Viktor dari Jakarta untuk komentar anda pagi hari ini, dan sekarang kita langsung ke pak yono dari kendal, selamat pagi pak yono...... iya , pak yono..... baik rupanya terputus, mohon maaf pemirsa, nanti kita akan membahas kembali apa yang disampaikan oleh para penelfon kita pagi hari ini dan juga kita akan membedah topik pagi hari ini yang berjudul perbudakan modern tapi setelah jeda berikut ini, tetaplah di Editorial Media Indonesia. c. Percakapan pada segmen ketiga Pembawa Acara : Gilang Ayunda; Pembedah: Elman Saragih Dewan Redaksi Media Grup; Penelpon IV: Pak Baringin Medan, Sumatera Utara; Penelpon V: Pak Alex Padang, Sumatera Barat; Gilang Ayunda : yak, kembali lagi di bedah editorial media Indonesia pemirsa, terima kasih anda masih bersama kami, langsung kita bahas topik kita pagi hari ini. Bang elman, ada yang namanya undang-undang ketenagakerjaan, yang seharusnya mengatur semuanya, tapi sebetulnya seberapa kuat sih undang-undang ketenagakerjaan ini bisa melindungi para pekerja yang ada di Indonesia? Elman Saragih : ya, kalau undang-undang ini, setahu saya sudah mengatur semuanya, kalau undang-undangnya itu dilaksanakan, pasti tidak akan ada ini, perbudakan ini, mana boleh diperbudak, tapi ketika undang-undang itu tidak diawasi pelaksanaannya, maka undang-undang itu, ya tidak berarti apa-apa gitu kan, nah disini yang sebetulnya kita mau bertanya kepada menteri tenaga kerja, apa yang telah dibuat menaker terhadap perlindungan pada tenaga kerja di Indonesia, nah tadi kata pak ones, dari NTT tadi kan, tidak kurang dan tidak lebih seperti romusha, rodi. Hari gini masih ada pekerja rodi dan semacam perlakuan terhadap romusha, sebetulnya sih kalau saya menteri tenaga kerja, saya mundur aja saya, karena ini sebetulnya gagal gitu lho, ada perbudakan di depan mata menteri tenaga kerja, jadi kalau menteri tenaga kerja ini juga memandang soal ini, ini menjadi soal yang lain, “ah, itukan urusan pemda, itukan urusan apa” nah lho, urusan sampeyan apa dong? Pada segmen ini, Elman Saragih sebagai pembedah yang masih menjalankan perannya sebagai pelaku hegemoni dimana posisinya sebagai dewan redaksi media grup lanjut menyalahkan menteri tenaga kerja, yang berasumsi pemerintah selalu melempar-lempar tanggung jawab dan tidak memandang soal ini. Kata yang digarisbawah adalah monolog yang dia perankan sebagai menteri tenaga kerja. Gilang Ayunda : akhirnya lempar, lempar.... Elman Saragih : nah, inikan ketika ditanya polisi kan, saya inikan kalo tidak ada laporan mana tahu kan, padahal mestinya kan, seperti yang dikatakan oleh pak heri tadi, disitu ada kegiatan, kegiatan bisnis, pabrik lagi, masa tidak ada kecurigaan dari lingkungan, kok gak pernah keluar itu karyawannya?, ada 33 atau 34 orang, jumlah yang sangat besar, masak tidak curiga sih, berhari-hari tidak pernah bersosialisasi kan, dulu saya sih ada keanehan, mungkin RTRWnya juga atau jangan-jangan kita ini sudah kehilangan rasa sosial, sudah masa bodoh, jadi gak ada lagi rasa iba, gak ada lagi perasaan senasib sepenanggungan sebagai rakyat indonesia, jadi jangan-jangan sudah hilang, jadi makanya kasus ini jujur aja sebetulnya membuat negara ini mestinya harus malu, di tengah-tengah negara ini mau menyelesaikan persoalan-persoalan yang berkaliber internasional ya toh?, di timur tengah, ingin menjadi penengah, di myanmar, dimana-mana, woaa, gagah Gilang Ayunda : dengan banyak penghargaan... interupsi Elman Saragih : dengan banyak penghargaan, lah, ada perbudakan, ada romusha, ada rodi di sekitar jakarta, dan saya lihat tenang- tenang saja, dan senyum-senyum, ngopi-ngopi masih, masih merencanakan ini, ini rakyat kecil, memang dia tidak tahu hak politiknya, ini orang yang terpinggirkan. Lebih lanjut lagi pada bagian ini Elman Saragih kembali menyindir kinerja pemerintah dan rencana-rencana negara yang pada saat ini menurutnya adalah sebuah kegagahan yang hanya tampak diluar saja. Pada kalimat yang ditandai terlihat penekanan intonasi suara, ekspresi, mimik dan gestur dari Elman Saragih yang begitu dominan dan menggebu-gebu. Elman saragih seperti emosi, dan semakin menjatuhkan kelompok yang berkuasa, seperti presiden dan petinggi lainnya. Gilang ayunda : ya, baik, lalu sejauh mana sebenarnya bicara mengenai pengawasan tadi, sejauh mana pemerintah ini melakukan pengawasan tidak hanya di sektor formal saja tentunya, tetapi juga di sektor-sektor informal? Elman saragih : kalo menurut saya seperti yang kita katakan tadi, dimana ada aktifitas, disitu harus ada pengawasan, jangankan 34 orang, ada orang punya buruh 10 orang saja harus diawasi, Jadi aneh juga buat kita gitu, jadi makanya tadi kita katakan mbak gilang, ini jangan-jangan peristiwa yang sama di Tangerang ini ada juga di tempat lain mbak gilang, belum kita tahu, di pelosok- pelosok, di dusun-dusun sana, jangan-jangan perlakuan lebih gawat dari sini, dan kita masa bodoh gitu kan. Itu sebabnya saya bilang, Janganlah kita lebih banyak menilai orang lain, mengomentari kejadian yang ada di luar negeri, tetapi tenaga kerja di dalam negeri ini lebih parah, perbudakan, ini budak ini, budak betul itu, terserah pemerintah, wah ini kan tidak ada, ini budak. Elman Saragih memang mengkritik langsung kinerja pemerintah, Pada kalimat yang ditandai di atas, terlihat makna eufisme atau sindiran secara tersirat kepada pemerintah yang terlalu sibuk mengurus urusan di luar negeri, padahal urusan dalam negeri saja belum terurus dengan baik dan benar. Kekuatan menanamkan ideologi kepada penonton mulai semakin kuat. Gilang Ayunda : Dari sisi upah tidak layak, standar keselamatan tidak ada, semuanya benar-benar dilakukan secara tidak manusiawi begitu ya. Elman Saragih : Tidak ada lagi kemerdekaan, jadi kemerdekan dari 34 orang buruh ini telah dirampas oleh pengusaha itu, betul-betul ke 34 orang buruh ini hanya tinggal nyawa, dia tidak punya hak politik, hak perdatanya sudah habis, dan kita diam begitu, pemerintah pun diam, baru sekarang berkohar-kohar,tindak, saya juga heran, DPRDnya dimana ini? Ada DPRD di Tangerang sana, ada DPRD pusat, sekarang baru berkohar- kohar, wah kita tidak terima ini, tindak, anak-anak TK juga tahu, kalau sudah di ujung, merespon, anak-anak juga pandai merespon, ndak perlu kita orang sekolahan, Gilang Ayunda : Yang menjadi pertanyaan selama ini kemana? gitu ya. Elman Saragih : Dimana? Tidur? Ngopi-ngopi? Apa? Studi banding? Atau kemana aja ini semua ini? Ngomong besar semua ini. Gilang ayunda : baik, kita terima penelpon dulu bang elman. Sudah tersambung, ada pak baringin di medan, selamat pagi pak baringin. Baringin : selamat pagi, Gilang Ayunda : ya silahkan Pak Baringin : mungkin ada beberapa hal yang kita ingin kasih komentar, mungkin mengenai pengawasan dari pemerintah kita, itu memang betul, seperti yang saya lihat tadi pembahasannya, itu memang lemahnya kontrol dari pemerintah kita terhadap masalah yang terjadi di sekitar kita, nah, kalau pun masalah lemahnya kontrol yang terjadi ini, mungkin juga dari aparat yang juga terlibat di dalamnya, menurut saya ini juga harus betul-betul diselidiki secara tuntas, karena ini menarik, saya yakin ini ada orang-orang yang juga membekingi, dan ini juga harapan kita juga terbuka untuk diselidikin, kemudian mbak, dari pihak perusahaan, kita juga harus memikirkan mengenai mental dari para pekerja, psikis dan psikologinya , ini juga harus ada suatu terapi, dan juga harus ada tanggung jawabnya dari pihak yuki untuk memberikan suatu ganti rugi kepada kondisi psikologis dari anak-anak yang bekerja di perusahaan tersebut, Kemudian mbak, dan ini juga secepatnya juga di gelar di pengadilan, seluruh yang terlibat, dan terbuka dipabrik, agar kita tahu juga bagaimana proses hukumnya dan harapan kita juga ini harus ditindak seberat-beratnya pada pihak perusahaan mbak. Pada kalimat yang ditandai terlihat pak baringin juga sependapat dengan Editorial Media Indonesia ini, terlihat bahwa penelpon keempat ini mulai kritis ikut memikirkan kasus ini, dia mulai membuat praduga atau anggapan bahwa ada oknum yang membekingi kasus ini. Dan meminta pemerintah segera menindak yang bersalah dan dihukum seberat-beratnya. Pada hal ini terlihat penelpon juga mulai ter”hegemoni” oleh opini Media Indonesia. Dalam hal ini penelpon tidak sadar bahwa dia sedang dikuasai oleh opini Media Indonesia. Gilang Ayunda : baik, terima kasih pak baringin untuk komentar anda pagi hari ini, selamat pagi. Dan kita langsung ke penelpon berikutnya ada pak alex di Padang. Selamat pagi pak alex, Pak Alex : Selamat pagi juga buk, Gilang Ayunda : ya silahkan dengan komentarnya pak Alex : Selamat pagi juga pak saragih Elman Saragih : pagi pak Alex Alex : Ini terlalu bener ini, orang-orang mana itu? Seharusnya DPRD setempat wajib lah bertanggung jawab hal itu, jadi kita harapkan itu dituntaskan secepat mungkin lah pak ya, tolong bener lah sama pemerintah, bagaimana itu? Udah zaman kayak gini masih juga ada perbudakan, itu zaman-zaman nabi itu, zaman nabi perbudakan itu, memang yaa semau dia aja, mau diperkosanyalah perempuan-perempuan kan, itu memang perbudakan itu, jadi kita mintak tolonglah pada pemerintah gimana sebaiknya mungkinlah tuntaskanlah masalah itu , seandainya belum selesai terlalu bener itu pemerintah, gimana itu? Penelpon terakhir yaitu pak Alex, meminta pemerintah untuk sesegera mungkin menyelesaikan kasus ini, pak alex juga mengutuk tindakan ini dan meminta pemerintah untuk segera menyelesaikan masalah ini. Lagi-lagi Media Indonesia berhasil melempar opini yang disetujui oleh penelpon ini. Gilang Ayunda : Baik, terima kasih pak Alex untuk komentarnya pagi hari ini, selamat pagi, dan Bang Elman ada yang menyedihkan juga, tadi dari yang beberapa disampaikan oleh para penelpon, ini ada dugaan keterlibatan aparat yang mebekingi. Aparat yang seharusnya melindungi rakyat justru malah membekingi hal- hal yang seperti ini, ini bagaimana? Elman Saragih : ya, itu yang harus diusut kan? Tapi kan, proses beking membeking ini bukan hal yang baru, tetapi, pandangannya gak pernah tuntas, jadi disorot, trus ditangani, hilang begitu aja itu kasus itu, jadi ini juga nanti saya rasa, pasti nanti dia bilang, oh, ternyata tidak benar, ternyata itu mereka memang biasa kesana mengontrol, tidak dalam rangka membekingi, kita sudah tau jawabannya itu, Gilang Ayunda : Baik, nanti kita lanjutkan kembali Bang Elman, pemirsa jangan kemana-mana, kami akan segera kembali usai jeda pariwara berikut ini, tetaplah di bedah editorial media indonesia. d. Percakapan pada segmen keempat Pembawa Acara : Gilang Ayunda, Pembedah: Elman Saragih Dewan Redaksi Media Grup Gilang ayunda : iya, anda kembali lagi di bedah editorial media indonesia, pemirsa, langsung saja kita bedah topik pagi ini. bang elman, melanjutkan yang tadi, berbicara mengenai peran serikat pekerja, kemarin pada hari buruh internasional, ada beberapa tuntutan yang disampaikan oleh buruh, ada penghapusan outsourcing, penghapusan upah minimum dan lain sebagainya, lalu sejauh mana peran serikat pekerja terhadap tindakan–tindakan atau praktek perbudakan seperti ini? Pada segmen keempat ini Gilang Ayunda sebagai pembawa acara mulai mengangkat sebuah wacana baru yang juga berkaitan dengan kasus perburuhan ini. Isu ini yaitu wacana penghapusan outsourcing dan penghapusan upah minimum yang menurutnnya merupakan tuntutan yang disampaikan oleh para buruh pada hari buruh internasional kemaren. Elman Saragih : Ya, ini yang kita perhatikan juga ya, jadi kalau di awal tadi kan kita pertanyakan dimana keberadaan serikat pekerja? Kok tidak mampu menjangkau penderitaan teman-temannya di Tangerang ini, artinya kan gini, ya serikat pekerja itu jangan hanya menutup itu dini ya, tetapi kejadian seperti ini mereka juga harus ikut mengawasi kan gitu kan, kalau tidak ya memang benar pasti tidak ada serikat pekerja di pabrik ini kan, tapi kan di sekitar pabrik ini kan pasti ada basis-basis serikat pekerja, dan serikat pekerja kita ini kan banyak sekali kan, masa mereka tidak ada perhatian, nah setelah ada, baru, itu tadi kita katakana memang kita prihatinlah, di tengah kegemilangan, kehiruk-pikukan pemerintah berpidato pertumbuhan enam koma sekian persen, nyatanya kan masih ada, jangan-jangan masih banyak perburuhan yang terpaksa, tidak ada pilihan, mau gaji berapapun, mau dijadikan budakpun, semua boleh, kenapa? tidak tersedia lapangan pekerjaan di tempat lain, ini kan sebetulnya kan, kalau ada pilihan mbak gilang, ke 34 orang ini pasti tidak mau bekerja disini, tapi gak ada pilihan, pertama, dia tidak punya latarbelakang pendidikan yang cukup, tidak mempunyai informasi yang cukup, yang dia dengar adalah ada lapangan pekerjaan yang digaji segini, dia tidak tahu banyak, sebetulnya pabrik ini bagaimana kondisinya, yang dia tahu dia bakal mendapat duit, nah ini kan situasi yang betul-betul menyedihkan, inilah yang terjadi di republik ini, makanya saya kadang-kadang heran, kok pemerintah selalu bangga dengan pertumbuhan lebih hebat daripada negara-negara lain tapi kok lapangan pekerjaan kita tidak bertambah gitu toh, kalau ada lapangan pekerjaan yang cukup tersedia, seperti yang kita katakan tadi, TKI itu tidak akan bertambah terus di republik ini, tidak akan bertambah, dan buruh yang seperti di pabrik ini tidak akan ada, karena ketika ada pilihan, pasti tidak ada yang masuk ke pabrik ini kan? Kalau masih ada pilihan, pasti pabrik ini gak laku. Pada segmen ini, Elman saragih sebagai dewan redaksi media grup dan juga sebagai pembedah mulai mengemukan solusi sesuai pemahaman kognisinya. Dia mengemukakan pendapat bahwa jika ada lapangan yang cukup tersedia, maka kasus perbudakan seperti ini tidak akan terjadi, karena buruh akan mencari pekerjaan yang lebih baik jika ada pilihan yang lebih baik. Gilang Ayunda : artinya karena tidak ada pilihan lagi dan terpaksa supaya dapur tetap mengebul Elman Saragih : dapur tetap ngebul, perut harus diisi, orangtua kita kan bilang, setajam-tajamnya pisau, lebih tajam perut, jadi setajam- tajamnya pisau, perut kita ini lebih tajam, artinya apa? Ketika tidak ada lagi pilihan lain, yasudah, jadi budak pun jadi, nah ini yang terjadi, maka itu kita mohon kepada pemerintah, janganlah terlalu sering lagi mengumbar-umbar pertumbuhan kita terhebat di negara-negara di dunia ini, kita, enam koma sekian persen, dimana terjemahan enam koma sekian persen itu di dalam lapangan pekerjaan, tunjukkan dong? Kalau itu ada gilang, tidak ada buruh ini yang mau tidak mau dia bekerja di tempat, dia diperbudak, jadi romusha, jadi rodi. Gilang Ayunda : Baik, jadi perlu digarisbawahi adalah minimnya lapangan pekerjaan yang masih terjadi di negara kita. Elman Saragih : mm, gak ada lagi Gilang Ayunda : Baik, terima kasih banyak, namun sayang sekali waktunya sudah habis, kita akan kembali lagi di episode berikutnya pemirsa, terima kasih anda sudah bersama kami, demikianlah bedah editorial media indonesia. Atas nama seluruh tim kerabat kerja yang bertugas, kami undur diri, saya gilang ayunda sampai jumpa. Dari keempat segmen program bedah editorial media indonesia ini terlihat bahwa semua penelpon interaktif yang terlibat dalam argumentasi wacana perbudakan modern ini, mendukung dan setuju dengan editorial media indonesia yang sejatinya merupakan pendapat atau sikap Media Indonesia terhadap kasus ini. Fungsi media sebagai kekuatan kontrol sosial diperankan dengan baik oleh Media Indonesia, pengetahuan dan wawasan para awak media dan penulis media indonesia terpaparkan dengan baik dan berhasil mempengaruhi pemirsa yang menonton tayangan program bedah editorial media indonesia. Media Indonesia berhasil dalam melakukan hegemoni media hingga akhirnya semua penelpon sepakat dengan ide-ide yang dilemparkan oleh Media Indonesia.

C. Analisis Wacana Kritis Tentang Perbudakan Modern Dari Segi Konteks Sosial

Berbicara mengenai konteks tidak akan jauh dari teks, karena konteks adalah bagian dari suatu kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna yang dapat menghubungkan pesan antara komunikator dan komunikan. Definisi dari konteks sosial itu sendiri yaitu relasi sosial dan latar setting yang melengkapi hubungan antara pembaca penutur dengan pendengar. Penulisan editorial ini didasari oleh adanya peristiwa pemberlakuan manusia secara tidak manusiawi oleh para majikan dan pengusaha pabrik alumunium. Hal ini tentu akan menarik perhatian publik, karena isu yang diangkat adalah mengenai perbudakan, padahal perbudakan adalah sesuatu yang terjadi di zaman dahulu kala. Melihat latarbelakang seperti itu maka wajarlah editorial ini berfungsi sebagai kritikan terhadap pemerintah. Editorial perbudakan modern ini semacam katalisator, atau pelampiasan dari publik yang mungkin memiliki pandangan yang sama, mereka mungkin jengkel terhadap perbudakan, mereka jengkel terhadap kasus ini. Metro TV dan Media Indonesia mengangkat kasus tersbut supaya kejengkelan itu tersalurkan. 5 Dalam hal ini terlihat jelas bahwa konteks perbudakan yang diangkat oleh Metro TV dan Media Indonesia dilatarbelakangi oleh peristiwa yang luar biasa jarang 5 Hasil wawancara dengan Direktur Pemberitaan Media Indonesia, Usman Kansong, Jakarta, 3 Oktober 2013 terjadi, yaitu perbudakan. Hal ini diharap bisa mewakili kejengkelan-kejengkelan publik terhadap kasus perbudakan, dan juga berfungsi sebagai pengubah kebijakan para pengambil keputusan seperti polisi, kementrian tenaga kerja, dan secara umum yaitu negara. Secara umum konteks perbudakan ini telah berhasil dalam menghegemoni konsumen media yaitu para pemirsa dan pembaca. Kasus perbudakan ini telah menyita perhatian publik dan terlihat pada bagian ruang publik di atas yaitu sesi telfon interaktif, semua penelpon setuju dan mengecam pemerintah baik dari sisi kinerja dan lainnya. Semua ide-ide dan opini ini berhasil disampaikan dengan baik oleh Media Grup Media Indonesia dan Metro TV. 69

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah peneliti menyelesaikan pembahasan dalam skripsi ini, maka kiranya dapat diambil kesimpulan : 1. Wacana perbudakan modern dalam program bedah editorial Media Indonesia di Metro TV ini jika ditinjau dari segi konstruksi teks dapat kita ketahui bahwa, Pertama, secara tematik, Media Indonesia mengangkat kata perbudakan karena menurut mereka, kasus yang terjadi di pabrik kuali ini sudah layak dikatakan sebagai perbudakan. Ini adalah salah satu bentuk hegemoni media dalam mengangkat sebuah agenda menjadi agenda yang langsung disepakati oleh masyarakat, padahal belum tentu kasus ini pantas dikatakan “Perbudakan” bagi sebagian khalayak. Selanjutnya bagaimana wacana dirangkai dan disusun secara skematik, terlihat bahwa Media Indonesia Menyusun dengan baik mulai dari awal hingga akhir yang berhasil membuat para penonton terpengaruh dan sepakat dengan ide-ide Media Indonesia. Kemudian, bagaimana makna ditekankan dalam sebuah teks editorial secara semantik, terjawab dengan beberapa elemen yang pertama, latar dalam editorial ini yaitu kondisi atau bentuk perampasan hak asasi manusia yang terungkap dan lalainya sikap pemerintah dalam menangani