Analisis Wacana Pada Teks dan Video Editorial Perbudakan Modern

pemilihan redaksi pada judul editorial perlu dipertimbangkan dengan matang sebelum dipublikasikan kepada khalayak.

b. Skematik

“Sering, pembaca surat kabar hanya membaca bagian yang merupakan poin utama atau ringkasan dari laporan berita ketika mereka menyaring sebuah surat kabar. Mereka menginterpretasikan topik utama dari sebuah laporan, setelah memilih mereka barangkali memutuskan untuk terus membaca atau untuk berhenti membaca sisa dari laporan berita. Eksperimen telah menunjukkan bahwa para pembaca setelah beberapa hari akan jauh lebih susah mengingat kembali dari topik-topik utama ini, sama ketika mereka telah membaca keseluruhan laporan berita Kintsch van Dijk, 1978. Semenjak Headline dan Lead memberikan giliran seperti sebuah peran yang krusial atau gawat dalam interpretasi dan pengingatan kembali, Headline dan Lead adalah wajib dan merupakan kategori yang krusial dari skema berita.” 1 Pada lead editorial ini, terdapat berbagai elemen yang dapat dibahas dan dikupas secara lebih mendalam. Mari kita perhatikan alinea berikut ini: “APA yang ada dibenak kita ketika mendengar kata perbudakan? Hampir semua orang akan membayangkan sebuah peristiwa kerja paksa yang banyak dilakukan ratusan tahun yang lalu. Tapi, yang terjadi di Tangerang, Banten, ialah peristiwa hari-hari ini , bukan kejadian masa lampau. Bukan hanya itu, peristiwa tersebut terjadi di beranda rumah kita sendiri, bukan di tempat nun jauh di sana.” Pada lead editorial ini, terlihat bahwa Media Indonesia langsung menggunakan kalimat tanya pada awal paragraf. Penggunaan kalimat tanya ini tentu punya makna tersendiri dalam teknik penulisan. Pembaca dan penonton diajak untuk berimajinasi dengan kata perbudakan dan tentu pembaca dan penonton mudah untuk mengingatnya dikarenakan terletak di awal kalimat. Setelah kalimat tanya, Media Indonesia memberikan sebuah opini yang menjawab pertanyaan tersebut. 1 Teun A. Van Dijk, News Schemata Amsterdam: Amsterdam University Press, 2005, h. 159-160 Untuk beberapa frasa yang ditebalkan di atas terdapat penekanan atau intonasi yang sengaja dibedakan pelafalannya oleh dubber dalam VTR Video Tape Recording editorial ini sehingga memperkuat makna kata-kata itu sendiri. Penggunaan intonasi seperti ini menggambarkan sebuah hal penting yang ingin ditekankan dalam suatu teks, kritik yang dapat kita tangkap dalam hal ini adalah penyadaran akan ketidaksadaran seorang tuan rumah. Menurut peneliti, “sang tuan rumah” yang dimaksud dalam editorial ini adalah para petinggi atau pemerintah yang mempunyai tanggung jawab pada masalah-masalah ketenagakerjaan. Selanjutnya pada paragraf kedua dalam editorial ini. “Pada Jumat 35 lalu, aparat kepolisian berhasil membongkar praktik perbudakan di sebuah industri pengolahan limbah menjadi perangkat aluminium yang berlokasi di Kampung Bayur Opak RT 03 RW 06, Desa Lebak Wangi, Kecamatan Sepatan Timur, Tangerang, Banten. Sebanyak 34 buruh dibebaskan. Para buruh itu ditemukan dalam kondisi tidak terurus dan tertekan. Mereka dipaksa bekerja sekitar 16 jam dalam sehari dan tidak diperbolehkan menjalin kontak dengan dunia luar. Para buruh juga tidak menerima fasilitas hidup yang layak, tidak diizinkan beribadah shalat , bahkan dilarang istirahat. Sebagian besar dari mereka juga mengaku tidak menerima gaji.” Pada alinea kedua ini penulis editorial memaparkan fakta-fakta yang terjadi di lapangan, data-data yang dipaparkan adalah data yang sama dengan laporan berita yang didapatkan oleh reporter. Pada alinea kedua ini belum ada unsur opini yang kuat, yang ada hanya penggambaran kasus dan penggambaran kondisi buruh-buruh yang tertekan. Dalam kasus ini, yang dapat kita tangkap adalah buruh-buruh di pabrik itu tidak dapat berbuat apa-apa, padahal mereka dalam kondisi yang tertekan. Ini juga merupakan konsep dari hegemoni, dimana sekelompok orang sadar bahwa mereka dikuasai oleh kelompok lain tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa dengan kondisi yang mereka alami. Kondisi ini diperkuat dengan visualisasi di bawah ini: Pada gambar di atas terlihat bahwa para buruh pabrik pasrah dengan apa yang mereka alami, demi mengharapkan gaji yang dijanjikan oleh pemilik modal. Masalah sosial seperti ini belum bisa membuktikan ramalan Karl Marx tentang revolusi sosial yang beranggapan bahwa suatu saat nanti kaum proletar atau buruh akan menentang kaum kapitalis yang semena-mena, sehingga pada akhirnya kaum buruh akan berkurang dengan sendirinya. Kemudian, pada paragraf selanjutnya yang terdapat pada badan Body Editorial, kita dapat melihat bahwa editorial ini mulai mengangkat topik human traficking yang didukung oleh berbagai fakta. Berikut teksnya: Sampai saat ini polisi telah menetapkan lima tersangka. Para tersangka dikenai Pasal 333 KUHP tentang perampasan kemerdekaan dan Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan. Polisi juga sudah memeriksa tiga anggota aparat negara, yakni seorang tentara dan dua polisi yang sering berhubungan dengan sang pemilik pabrik panci itu. Polisi tengah menelusuri apakah ketiga aparat tersebut menjadi beking dalam kasus perbudakan modern itu. Bukan hanya itu, polisi juga tengah mendalami kemungkinan adanya aksi perdagangan manusia human traficking. Hal itu diperkuat oleh fakta soal keberadaan perekrut tenaga kerja non institusional yang berkeliling kampung menjaring calon-calon buruh.” Pada bagian ini terlihat bahwa si penulis memberikan pendugaan terhadap isu atau kemungkinan adanya perdagangan manusia human traficking. Hal pendugaan seperti ini sedang melakukan fungsi dari sebuah media yaitu to persuade yang bermaksud mengajak pembaca dan penonton untuk lebih kritis terhadap isu ini, sehingga merangsang fikiran audiens untuk lebih ingin mengetahui kasus ini. Jelas bahwa peristiwa di SepatanTimur, Tangerang, itu kian menampar wajah Republik ini. Ia seolah menjadi penegas bahwa urusan manusia dan kemanusiaan kerap terabaikan. Jangankan komitmen melindungi tenaga kerja Indonesia TKI di luar negeri, peristiwa di rumah sendiri saja terabaikan . Rakyat di negeri ini seperti hidup dalam situasi darurat. Mereka seolah tidak punya induk lagi untuk menjamin kelangsungan hidup, baik bagi diri maupun anak cucu mereka. Dalam paragraf selanjutnya yang dipaparkan di atas, kelihatan sebuah argumen yang berbentuk opini pada frasa “menampar wajah”. Frasa “Menampar wajah” adalah bentuk metafora atau kiasan yang melambangkan bahwa kasus di Tangerang ini sangat membuat malu republik ini. Kata “republik” dalam hal ini adalah kiasan kepada kaum elit yang sedang memegang kekuasaan dalam pemerintahan. Kemudian pada kalimat “Jangankan komitmen melindungi tenaga kerja Indonesia TKI di luar negeri, peristiwa di rumah sendiri saja terabaikan”. Pada kalimat ini terlihat bahwa ada opini yang merupakan kritikan pribadi dari penulis. Dalam hal ini, editorial juga berfungsi untuk melakukan kontrol sosial, karena dengan ini akan membuat pembaca dan penonton untuk mengikuti pandangan atau opini dari penulis. Kemudian pada bagian penutupnya, editorial ini memberikan sebuah argumen berbentuk opini yang juga melayangkan kritikan kepada pemerintah. Hal ini terlihat pada alinea ini: “Kita tidak punya banyak waktu untuk terus membiarkan langkah-langkah pengingkaran terhadap harkat manusia dan kemanusiaan terus berlangsung. Ketika negara lain sudah berbicara kompetisi sumber daya manusia, kita malah mundur kepraktik masa silam praperadaban dengan peristiwa konyol ‘perbudakan’ .” Alinea dan kalimat terkahir ini menyatakan perbandingan atau membandingkan Indonesia dengan negara lain, dalam hal ini Indonesia pada posisi yang buruk dalam bidang sumber daya manusia. Opini seperti ini akan membuat pembaca dan penonton untuk menyetujui opini Media Indonesia karena pada kalimat terakhir di atas, “backsound” video menjadi lebih heboh dan intonasi vokal yang diisi oleh dubber ini lebih variatif yang kemudian menjadi penutup tayangan editorial ini. Kekuatan penutup closing power dalam video ini cukup kuat dengan didukung oleh visualisasi di bawah ini.

c. Semantik

Makna yang ingin ditekankan dalam teks ini adalah pemerintah yang tidak peka terhadap sistem tenaga kerja dan kurangnya perhatian pemerintah dalam mengawasi masalah ketengakerjaan dan masalah kemanusiaan. Pada teks ini banyak terlihat secara implisit bahkan ada yang dipaparkan secara eksplisit. Untuk lebih lanjutnya akan kita bahas dengan elemen semantik berikut. 1. Latar Latar berita ini adalah praktek perbudakan dalam bentuk pemaksaan atau pelanggaran hak asasi manusia yang terungkap dan bagaimana sikap pemerintah dalam menangani kasus ini, inti latar editorial ini adalah sebuah opini tentang ketidakpekaan pemerintah terhadap kasus yang berkaitan dengan kemanusian yaitu perbudakan. 2. Detil Semantik mempunyai strategi wacana selanjutnya yaitu detail. Detil suatu wacana berkaitan dengan kontrol informasi yang disampaikan komunikator. Komunikator akan menampilkan secara berlebihan informasi yang menguntungkan dirinya atau citra yang baik. Detil ini ada pada perincian kondisi pekerja yang dipaparkan bahwa jam istirahat pekerja sangat minim, waktu untuk beribadah tidak ada, makanannya tidak layak, serta tidak diperbolehkan bersosialisasi dengan dunia luar. 3. Maksud Strategi wacana selanjutnya adalah elemen maksud. Elemen maksud melihat apakah wacana disampaikan secara eksplisit atau tidak. Pada umumnya, informasi yang menguntungkan komunikator akan dikemukakan secara eksplisit dan jelas, sebaliknya, informasi yang merugikan komunikator akan disampaikan secara implisit atau tersamar. Pada editorial ini, pesan yang disampaikan secara eksplisit adalah pada pemaparan fakta seperti dalam paragraf kedua yang menyatakan fakta tentang pengungkapan kasus tersebut. Sedangkan untuk pesan yang bersifat implisit terlihat pada beberapa argumen opini yang merupakan kiasan atau metafora seperti pada kalimat “jangankan melindungi Tenaga Kerja Indonesia TKI di luar negeri, peristiwa di rumah sendiri saja terabaikan”. 4. Presuposisi praduga atau pengandaian Presuposisi atau praduga dalam editorial ini terlihat pada paragraf di bawah ini: “Polisi juga sudah memeriksa tiga anggota aparat negara, yakni seorang tentara dan dua polisi yang sering berhubungan dengan sang pemilik pabrik panci itu. Polisi tengah menelusuri apakah ketiga aparat tersebut menjadi beking dalam kasus perbudakan modern itu. Bukan hanya itu, polisi juga tengah mendalami kemungkinan adanya aksi perdagangan manusia human traficking. Hal itu diperkuat oleh fakta soal keberadaan perekrut tenaga kerja non institusional yang berkeliling kampung menjaring calon-calon buruh”. Dari teks di atas dapat kita tangkap bahwa ada sebuah praduga yakni tentang adanya unsur keterlibatan aparat sebagai “beking” dan adanya kemungkinan aksi perdagangan manusia human traficking dalam kasus tersebut yang sebetulnya masih dalam penanganan polisi. Pengandaian ini didukung oleh fakta tentang keberadaan perekrut tenaga kerja.

d. Sintaksis

Dari segi sintaksis yang pada konsepnya memahami penggunaan kata, letak kata ganti dan lainnya. Dapat kita amati bahwa ada pemarginalan posisi pemerintah yang terdapat dalam kalimat “Mereka seolah tidak punya induk lagi untuk menjamin kelangsungan hidup, baik bagi diri maupun anak cucu mereka.”. Dari pernyataan ini terlihat bahwa “induk” dalam kalimat itu adalah kaum elit atau pemerintah. Praktik pemarginalan mengimplikasikan adanya pembagian antara pihak kita di satu sisi dan pihak mereka di sisi lain, yang akibat lanjutannya ialah penggambaran buruk kepada pihakkelompok lain. Ada empat strategi wacana yang digunakan dalam pemarginalan. 2 Salah satunya yang terdapat dalam teks yaitu: pengahlusan makna eufisme yaitu pemakaian bahasa secara halus untuk menandai suatu realitas, dalam hal ini nampak kata “induk” dalam kalimat “Mereka seolah tidak punya induk lagi untuk menjamin kelangsungan hidup, baik bagi diri maupun anak cucu mereka.” induk dalam hal ini adalah kata ganti dari pemerintah dalam penghalusan makna. 2 Aris Badara, Analisis Wacana: Teori, Metode dan Penerapannya pada Wacana Media, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2012 h. 58

e. Stilistik

Pusat perhatian stilistika adalah style, yaitu cara yang digunakan seorang pembicara atau penulis untuk menyatakan maksudnya dengan menggunakan bahasa sebagai sarana. Dengan demikian style dapat diterjemahkan sebagai gaya bahasa. Dalam hal ini kita dapat melihat dalam leksikal atau penggunaan kata “aparat” dalam kalimat “Polisi tengah menelusuri apakah ketiga aparat tersebut menjadi beking dalam kasus perbudakan modern itu”. Kata aparat itu sendiri dalam KBBI mempunyai pengertian sebagai “alat pemerintahan”. Pilihan kata dan gaya bahasa yang dipakai menunjukkan sikap dan ideologi tertentu. Peristiwa sama dapat digambarkan dengan pilihan kata yang berbeda-beda. Dalam hal ini media mempunyai kekuatan hegemoni dalam menentukan gaya bahasa yang tepat dipakai oleh khalayak.

f. Retoris

Strategi dalam level retoris di sini adalah gaya yang diungkapkan ketika seseorang berbicara atau menulis. Misalnya, dengan pemakaian kata yang berlebihan hiperbolik, atau bertele-tele. Retoris mempunyai fungsi persuasif, dan berhubungan erat dengan bagaimana pesan itu ingin disampaikan kepada khalayak. Ada beberapa elemen dari retoris diantaranya: metafora, grafis dan ekspresi. Wacana terakhir yang menjadi strategi dalam level retoris ini adalah menampilkan apa yang disebut visual image. Dalam elemen ini ditampilkan dengan penggambaran detail berbagai hal yang ingin ditonjolkan. 3 Elemen retoris dalam bentuk grafis, metafora dan ekspresi akan dipaparkan dalam analisis di bawah ini: 1. Grafis Dalam analisis grafis ini penulis hanya menampilkan beberapa gambar yang cukup berkesan dalam VTR perbudakan modern berikut ini : Dari kedua gambar di atas, kita akan bahas gambar yang pertama. Gambar yang pertama ini tidak cocok dengan konteks perbudakan modern, karena menurut peneliti gambar di atas bukanlah perbudakan melainkan adalah pemberontakan yang dilakukan oleh kaum proletar atau kaum buruh, karena jika kita lihat secara teliti, yang memegang pisau dan melakukan gerakan penusukan adalah orang yang tidak 3 Alex Sobur, Analisis Teks Media : Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotika dan Analisis Framing, cet ke-5; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009 h. 84 berbaju atau bisa kita sebut kaum proletar. Hal ini yang disebut hiperbola atau melebih-lebihkan dari segi grafis. 2. Metafora Metafora adalah kiasan dan ungkapan yang memperkuat pesan pokok. Dalam hal ini terlihat dalam kalimat “Hak konstitusional para buruh yang diperbudak itu untuk memperoleh hidup layak dan memperoleh jaminan perlindungan dari negara pun bertepuk sebelah tangan”. Kiasan dalam kalimat ini ada pada kata “bertepuk sebelah tangan”. Maksud dari bertepuk sebelah tangan adalah tidak ada kerjasama atau bantuan dari pemerintah dalam menjamin hak buruh dalam memperoleh hidup layak dan jaminan perlindungan dari negara. Kiasan ini juga merupakan sindiran kerasa kepada pemerintah. 3. Ekspresi Ekpresi adalah elemen wacana yang berfungsi untuk melihat penekanan atau penonjolan suatu hal yang dianggap penting oleh seseorang. Untuk elemen ekspresi akan lebih dalam kita bahas dalam analisis percakapan dibawah yang menganalisis wacana perbudakan modern dari segi kognisi sosial.

B. Analisis Wacana Kritis Tentang Perbudakan Modern Dari Segi Kognisi Sosial

Melihat dari segi kognisi sosial, para awak penulis editorial di Media Indonesia ingin mengungkapkan bahwa tidak ada lagi kepedulian atau kurangnya kepekaan pemerintah dalam menangani kasus ketenagakerjaan yang ada di Indonesia. Media Indonesia ingin mendorong para pengambil keputusan untuk mengambil kebijakan, misalnya polisi, untuk mengusut tuntas kasus tersebut, kemudian kementrian tenaga kerja, karena ini terkait dengan perburuhan, dan kemudian diharapkan bisa mengambil kebijakan, kemudian negara ini secara umum sebagai sebuah negara yang menjamin hak konstitusi para buruh, bagaimana mungkin membiarkan ada warga negaranya yang diperlakukan seperti itu, ini kan terkait dengan masalah kemiskinan dan juga masalah pembangunan di pedesaan atau luar ibukota. 4 Editorial yang disampaikan oleh Media Indonesia adalah mencoba untuk mewakili publik. Penonton Metro TV dan pembaca Media Indonesia juga diberi ruang untuk mengomentari. Kemudian mereka berharap ada perubahan dari pemerintah karena adanya pemberitaan mengenai kasus ini, baik perubahan itu dari segi kebijakan dan lain sebagainya. Untuk lebih lanjut dan mendalam mengenai kognisi sosial, penulis akan menganalisis percakapan dalam program bedah editorial Media Indonesia. Berikut 4 Hasil wawancara dengan Direktur Pemberitaan Media Indonesia wacana perbudakan modern dalam percakapan pada program Bedah Editorial Media Indonesia. a. Percakapan pada segmen pertama Pembawa Acara : Gilang Ayunda, Pembedah: Elman Saragih Dewan Redaksi Media Grup Gilang Ayunda : Ya kembali lagi pemirsa dalam Bedah Editorial Media Indonesia. pemirsa, Terima kasih anda masih bersama kami, dan langsung saja kita membedah topik kita pagi hari ini. Opening Ya, bang Elman, ini sudah zaman modern, di abad modern ini masih ada saja praktek perbudakan seperti yang kemaran terjadi di Tangerang Banten, lalu dan mirisnya lagi ini terjadi di bumi pertiwi Indonesia. Dan Mengapa urusan kemanusiaan di negeri ini kerapkali bisa terabaikan? Elman Saragih : Ya, sebetulnya mbak gilang ya, kasus perbudakan yang terjadi di sekitar jakarta ini, Tangerang kan sebenarnya sekitar jakarta juga kan?. ya jujur aja sebenarnya kita sudah kehabisan kata-kata sebetulnya, kita mau ngomong apa lagi, ya budak ya budak, begitu ya, di tengah pemimpin kita disanjung di luar negeri ini, mendapat penghargaan, anu anu anu, waa, diterima oleh raja inggris, diterima, ini bahkan mendapat penghargaan ini , hebat sekali ini pemimpin kita ini, tetapi dia lupa di depan mata sendiri, di depan hidungnya sendiri terjadi perbudakan, dan itu bukan cerita, fakta dengan nada penegasan. Perbudakan, ada sejumlah orang tidak berdaya yang diperkerjakan secara tidak manusiawi, ini, tidak bisa shalat, tidak bisa bersosialisasi dengan warga sekitar, diperas, jadi tinggal mati aja mereka sebenarnya. Yang heran buat kita adalah dimana kehadiran negara?, pemerintah daerah dimana?, dimana polisi?, yang paling lucu serikat pekerja dimana? Kok, Mereka kok abai gitu? kok membiarkan?, jadi buat saya mbak gilang ya, jadi saya tidak lagi melihat kasusnya, tapi begitu kejadian ada di tangerang ini, Saya khawatir juga hal yang sama, bukan tidak mungkin terjadi di pelosok2 tanah air kita. Apakah di sekitar bandung, apakah jogjakarta, di sekitar semarang, dan sebagainya. Pada percakapan di atas terlihat bahwa Elman Saragih sebagai pembedah dalam Program Bedah Editorial Media Indonesia mengkritik keras pemerintah. Dalam kritikannya, pemerintah telah gagal dalam menangani masalah sosial dan kemanusiaan. kita juga dapat melihat penekanan serta ekspresi menyalahkan pada kalimat yang diberi tanda di atas. Hal ini menunjukkan bahwa pesan pokok yang ingin disampaikan oleh si pembedah ada pada kalimat tersebut. Elman Saragih menyampaikan opini pribadi yang sebenarnya mewakili Media Indonesia. Kekuatan hegemoni media secara langsung dipegang oleh Elman Saragih sebagai pembedah. Kita lanjutkan ke percakapan selanjutnya, berikut ini. Gilang Ayunda : karena yang di depan mata ibukota saja bisa terjadi, begitu ya, apalagi yang di daerah-daerah terpe... Interupsi oleh Elman Elman Saragih : apalagi yang di daerah-daerah tidak terjangkau, berapa banyak lagi anak manusia, yang tidak berdaya, betul-betul di jajah kembali seperti jaman dahulu, jaman penjajahan aja tidak seperti ini, Nah, Saya heran lho, artinya, Pemerintah selalu mengatakan pertumbuhan penduduk, bagus, pembangunan ekonomi negara, bagus, Toto Tentram kartoraharjo, nah, di depan mata sendiri, budak Saya tidak tau lagi bagaimana pemerintah, bagaimana menteri tenaga kerja melihat kasus ini, dan yang terjadi sekarang kan, begitu ada kejadian, wah, semua menghakimi, hukum, semua sepertinya jadi pahlawan, selama ini kamu dimana? Kok diam? Kok gak tau? Begitu kejadian baru rame, semua dari delapan penjuru mata angin, yang tidak pernah ngomong juga ngomong, yang tidak ngerti persoalan juga sok ngerti. Gilang Ayunda : oke, baik, dan ini akhirnya membuat beberapa pihak juga mempertanyakan komitmen negara dalam melindungi tenaga kerjanya, jangankan melindungi TKI yang ada di luar negeri, Tenaga Kerja yang ada di rumah sendiri pun tidak terawasi, mengapa sebetulnya hal ini bisa luput dari pengawasan?, begitu pak.