pemilihan redaksi pada judul editorial perlu dipertimbangkan dengan matang sebelum dipublikasikan kepada khalayak.
b.  Skematik
“Sering, pembaca surat kabar hanya membaca bagian yang merupakan poin  utama  atau  ringkasan  dari  laporan  berita  ketika  mereka  menyaring
sebuah  surat  kabar.  Mereka  menginterpretasikan  topik  utama  dari  sebuah laporan,  setelah  memilih  mereka  barangkali  memutuskan  untuk  terus
membaca  atau  untuk  berhenti  membaca  sisa  dari  laporan  berita.  Eksperimen telah menunjukkan bahwa para pembaca setelah beberapa hari akan jauh lebih
susah mengingat kembali dari topik-topik utama ini, sama ketika mereka telah membaca  keseluruhan  laporan  berita  Kintsch    van  Dijk,  1978.  Semenjak
Headline dan Lead memberikan giliran seperti sebuah peran yang krusial atau gawat dalam interpretasi dan pengingatan kembali, Headline dan Lead adalah
wajib dan  merupakan kategori yang krusial dari skema berita.”
1
Pada  lead  editorial  ini,  terdapat  berbagai  elemen  yang  dapat  dibahas  dan dikupas secara lebih mendalam. Mari kita perhatikan alinea berikut ini:
“APA  yang    ada  dibenak  kita  ketika  mendengar  kata  perbudakan?  Hampir  semua orang  akan  membayangkan  sebuah  peristiwa  kerja  paksa  yang  banyak  dilakukan
ratusan  tahun  yang  lalu.  Tapi,  yang  terjadi  di  Tangerang,  Banten,  ialah  peristiwa hari-hari  ini
,  bukan  kejadian  masa  lampau.    Bukan  hanya  itu,  peristiwa  tersebut
terjadi di beranda rumah kita sendiri, bukan di tempat nun jauh di sana.”
Pada  lead  editorial  ini,  terlihat  bahwa  Media  Indonesia  langsung menggunakan kalimat tanya pada awal paragraf. Penggunaan kalimat tanya ini tentu
punya makna tersendiri dalam teknik penulisan. Pembaca dan penonton diajak untuk berimajinasi dengan kata perbudakan dan tentu pembaca dan penonton mudah untuk
mengingatnya  dikarenakan  terletak  di  awal  kalimat.  Setelah  kalimat  tanya,  Media Indonesia memberikan sebuah opini yang menjawab pertanyaan tersebut.
1
Teun A. Van Dijk, News Schemata Amsterdam: Amsterdam University Press, 2005,  h. 159-160
Untuk beberapa frasa yang ditebalkan di atas terdapat penekanan atau intonasi yang  sengaja  dibedakan  pelafalannya  oleh  dubber  dalam  VTR  Video  Tape
Recording  editorial  ini  sehingga  memperkuat  makna  kata-kata  itu  sendiri. Penggunaan  intonasi  seperti  ini  menggambarkan  sebuah  hal  penting  yang  ingin
ditekankan  dalam  suatu  teks,  kritik  yang  dapat  kita  tangkap  dalam  hal  ini  adalah penyadaran  akan  ketidaksadaran  seorang  tuan  rumah.  Menurut  peneliti,  “sang  tuan
rumah” yang dimaksud dalam editorial ini adalah para petinggi atau pemerintah yang mempunyai tanggung jawab pada masalah-masalah ketenagakerjaan.
Selanjutnya pada paragraf kedua dalam editorial ini.
“Pada Jumat 35 lalu, aparat kepolisian berhasil membongkar praktik perbudakan di sebuah industri pengolahan limbah menjadi perangkat aluminium yang berlokasi
di  Kampung  Bayur  Opak  RT  03  RW  06,  Desa  Lebak  Wangi,  Kecamatan  Sepatan Timur,  Tangerang,  Banten.  Sebanyak  34  buruh  dibebaskan.  Para  buruh  itu
ditemukan dalam kondisi tidak terurus dan tertekan. Mereka dipaksa bekerja sekitar 16  jam  dalam  sehari
dan  tidak  diperbolehkan  menjalin  kontak  dengan  dunia  luar.
Para  buruh  juga  tidak  menerima  fasilitas  hidup  yang  layak,  tidak  diizinkan beribadah  shalat
,  bahkan  dilarang  istirahat.  Sebagian  besar  dari  mereka  juga
mengaku tidak menerima gaji.”
Pada alinea kedua ini penulis editorial memaparkan fakta-fakta yang terjadi di lapangan,  data-data  yang  dipaparkan  adalah  data  yang  sama  dengan  laporan  berita
yang  didapatkan  oleh  reporter.  Pada  alinea  kedua  ini  belum  ada  unsur  opini  yang kuat,  yang  ada  hanya  penggambaran  kasus  dan  penggambaran  kondisi  buruh-buruh
yang tertekan. Dalam  kasus  ini,  yang  dapat  kita  tangkap  adalah  buruh-buruh  di  pabrik  itu
tidak  dapat  berbuat  apa-apa,  padahal  mereka  dalam  kondisi  yang  tertekan.  Ini  juga merupakan  konsep  dari  hegemoni,  dimana  sekelompok  orang  sadar  bahwa  mereka
dikuasai  oleh  kelompok  lain  tetapi  mereka  tidak  dapat  berbuat  apa-apa  dengan kondisi yang mereka alami.
Kondisi ini diperkuat dengan visualisasi di bawah ini:
Pada gambar di atas terlihat bahwa para buruh pabrik pasrah dengan apa yang mereka alami, demi mengharapkan gaji yang dijanjikan oleh pemilik modal. Masalah
sosial seperti ini belum bisa membuktikan ramalan Karl Marx tentang revolusi sosial yang beranggapan bahwa suatu saat nanti kaum proletar atau buruh akan  menentang
kaum  kapitalis  yang  semena-mena,  sehingga  pada  akhirnya  kaum  buruh  akan berkurang dengan sendirinya.
Kemudian,  pada  paragraf  selanjutnya  yang  terdapat  pada  badan  Body Editorial,  kita  dapat  melihat  bahwa  editorial  ini  mulai  mengangkat  topik  human
traficking yang didukung oleh berbagai fakta. Berikut teksnya: Sampai  saat  ini  polisi  telah  menetapkan  lima  tersangka.  Para  tersangka
dikenai  Pasal  333  KUHP  tentang  perampasan  kemerdekaan  dan  Pasal  351 KUHP  tentang  penganiayaan.  Polisi  juga  sudah  memeriksa  tiga  anggota
aparat  negara,  yakni  seorang  tentara  dan  dua  polisi  yang  sering berhubungan dengan sang pemilik pabrik panci itu. Polisi tengah menelusuri
apakah  ketiga  aparat  tersebut  menjadi  beking  dalam  kasus  perbudakan modern  itu.  Bukan  hanya  itu,  polisi  juga  tengah  mendalami  kemungkinan
adanya aksi perdagangan manusia human traficking. Hal itu diperkuat oleh fakta  soal  keberadaan  perekrut  tenaga  kerja  non  institusional  yang
berkeliling kampung menjaring calon-calon buruh.”
Pada bagian ini terlihat bahwa si penulis memberikan pendugaan terhadap isu atau kemungkinan adanya perdagangan  manusia human traficking. Hal pendugaan
seperti  ini  sedang  melakukan  fungsi  dari  sebuah  media  yaitu  to  persuade  yang bermaksud  mengajak  pembaca  dan  penonton  untuk  lebih  kritis  terhadap  isu  ini,
sehingga merangsang fikiran audiens untuk lebih ingin mengetahui kasus ini.
Jelas  bahwa  peristiwa  di  SepatanTimur,  Tangerang,  itu  kian  menampar wajah
Republik  ini.  Ia  seolah  menjadi  penegas  bahwa  urusan  manusia  dan kemanusiaan  kerap  terabaikan.  Jangankan  komitmen  melindungi  tenaga
kerja  Indonesia  TKI  di  luar  negeri,  peristiwa  di  rumah  sendiri  saja terabaikan
. Rakyat di negeri ini seperti hidup dalam situasi darurat. Mereka seolah tidak punya induk lagi untuk menjamin kelangsungan hidup, baik bagi
diri maupun anak cucu mereka. Dalam  paragraf  selanjutnya  yang  dipaparkan  di  atas,  kelihatan  sebuah
argumen  yang  berbentuk  opini  pada  frasa  “menampar  wajah”.  Frasa  “Menampar wajah”  adalah  bentuk  metafora  atau  kiasan  yang  melambangkan  bahwa  kasus  di
Tangerang  ini  sangat  membuat  malu  republik  ini.  Kata  “republik”  dalam  hal  ini adalah  kiasan  kepada  kaum  elit  yang  sedang  memegang  kekuasaan  dalam
pemerintahan. Kemudian  pada  kalimat  “Jangankan  komitmen  melindungi  tenaga  kerja
Indonesia  TKI  di  luar  negeri,  peristiwa  di  rumah  sendiri  saja  terabaikan”.  Pada kalimat  ini  terlihat  bahwa  ada  opini  yang  merupakan  kritikan  pribadi  dari  penulis.
Dalam hal ini, editorial juga berfungsi untuk melakukan kontrol sosial, karena dengan ini akan membuat pembaca dan penonton untuk mengikuti pandangan atau opini dari
penulis. Kemudian pada bagian penutupnya, editorial ini memberikan sebuah argumen
berbentuk opini  yang  juga  melayangkan kritikan  kepada pemerintah. Hal  ini terlihat pada alinea ini:
“Kita  tidak  punya  banyak  waktu  untuk  terus  membiarkan  langkah-langkah pengingkaran terhadap harkat manusia dan kemanusiaan terus berlangsung.  Ketika
negara lain sudah berbicara kompetisi sumber daya manusia, kita malah mundur kepraktik masa silam praperadaban dengan peristiwa konyol ‘perbudakan’
.”
Alinea dan
kalimat terkahir
ini menyatakan
perbandingan atau
membandingkan  Indonesia  dengan  negara  lain,  dalam  hal  ini  Indonesia  pada  posisi yang  buruk  dalam  bidang  sumber  daya  manusia.  Opini  seperti  ini  akan  membuat
pembaca dan penonton untuk menyetujui opini Media Indonesia karena pada kalimat terakhir di atas, “backsound” video menjadi lebih heboh dan intonasi vokal yang diisi
oleh dubber ini lebih variatif yang kemudian menjadi penutup tayangan editorial ini. Kekuatan penutup closing power dalam video ini cukup kuat dengan didukung oleh
visualisasi di bawah ini.
c.  Semantik
Makna  yang  ingin  ditekankan  dalam  teks  ini  adalah  pemerintah  yang  tidak peka  terhadap  sistem  tenaga  kerja  dan  kurangnya  perhatian  pemerintah  dalam
mengawasi  masalah ketengakerjaan dan  masalah  kemanusiaan. Pada teks ini  banyak terlihat  secara  implisit  bahkan  ada  yang  dipaparkan  secara  eksplisit.  Untuk  lebih
lanjutnya akan kita bahas dengan elemen semantik berikut. 1.  Latar
Latar  berita  ini  adalah  praktek  perbudakan  dalam  bentuk  pemaksaan  atau pelanggaran  hak  asasi  manusia  yang  terungkap  dan  bagaimana  sikap  pemerintah
dalam  menangani  kasus  ini,  inti  latar  editorial  ini  adalah  sebuah  opini  tentang ketidakpekaan  pemerintah  terhadap  kasus  yang  berkaitan  dengan  kemanusian  yaitu
perbudakan. 2.  Detil
Semantik  mempunyai  strategi  wacana  selanjutnya  yaitu  detail.  Detil  suatu wacana  berkaitan  dengan  kontrol  informasi  yang  disampaikan  komunikator.
Komunikator  akan  menampilkan  secara  berlebihan  informasi  yang  menguntungkan dirinya  atau  citra  yang  baik.  Detil  ini  ada  pada  perincian  kondisi  pekerja  yang
dipaparkan  bahwa  jam  istirahat  pekerja  sangat  minim,  waktu  untuk  beribadah  tidak ada,  makanannya  tidak  layak,  serta  tidak  diperbolehkan  bersosialisasi  dengan  dunia
luar.
3.  Maksud Strategi wacana  selanjutnya  adalah elemen  maksud. Elemen  maksud  melihat
apakah  wacana  disampaikan  secara  eksplisit  atau  tidak.  Pada  umumnya,  informasi yang  menguntungkan  komunikator  akan  dikemukakan  secara  eksplisit  dan  jelas,
sebaliknya, informasi yang merugikan komunikator akan disampaikan secara implisit atau tersamar. Pada editorial ini, pesan yang disampaikan secara eksplisit adalah pada
pemaparan  fakta  seperti  dalam  paragraf  kedua  yang  menyatakan  fakta  tentang pengungkapan  kasus  tersebut.  Sedangkan  untuk  pesan  yang  bersifat  implisit  terlihat
pada  beberapa  argumen  opini  yang  merupakan  kiasan  atau  metafora  seperti  pada kalimat  “jangankan  melindungi  Tenaga  Kerja  Indonesia  TKI  di  luar  negeri,
peristiwa di rumah sendiri saja terabaikan”.
4.  Presuposisi praduga atau pengandaian Presuposisi  atau  praduga  dalam  editorial  ini  terlihat  pada  paragraf  di  bawah
ini: “Polisi  juga  sudah  memeriksa  tiga  anggota  aparat  negara,  yakni  seorang
tentara dan dua polisi yang sering berhubungan dengan sang pemilik pabrik panci  itu.  Polisi  tengah  menelusuri  apakah  ketiga  aparat  tersebut  menjadi
beking
dalam  kasus  perbudakan  modern  itu.  Bukan  hanya  itu,  polisi  juga
tengah mendalami kemungkinan adanya aksi  perdagangan manusia human traficking.  Hal  itu  diperkuat  oleh  fakta  soal  keberadaan  perekrut  tenaga
kerja  non  institusional  yang  berkeliling  kampung  menjaring  calon-calon buruh”.
Dari teks di atas dapat kita tangkap bahwa ada sebuah praduga yakni tentang adanya  unsur  keterlibatan  aparat  sebagai  “beking”  dan  adanya  kemungkinan  aksi
perdagangan manusia human traficking dalam kasus tersebut yang sebetulnya masih dalam  penanganan  polisi.  Pengandaian  ini  didukung  oleh  fakta  tentang  keberadaan
perekrut tenaga kerja.
d.  Sintaksis
Dari  segi  sintaksis  yang  pada  konsepnya  memahami  penggunaan  kata,  letak kata ganti dan  lainnya. Dapat kita  amati  bahwa  ada  pemarginalan posisi pemerintah
yang terdapat dalam kalimat “Mereka seolah tidak punya induk lagi untuk menjamin
kelangsungan hidup, baik bagi diri maupun anak cucu mereka.”. Dari pernyataan ini terlihat bahwa “induk” dalam kalimat itu adalah kaum elit atau pemerintah.
Praktik pemarginalan  mengimplikasikan adanya pembagian antara pihak kita di satu sisi dan pihak mereka di sisi lain, yang akibat lanjutannya ialah penggambaran
buruk  kepada  pihakkelompok  lain.  Ada  empat  strategi  wacana  yang  digunakan dalam  pemarginalan.
2
Salah  satunya  yang  terdapat  dalam  teks  yaitu:  pengahlusan makna eufisme yaitu pemakaian bahasa secara halus untuk menandai suatu realitas,
dalam hal ini nampak kata “induk” dalam kalimat “Mereka seolah tidak punya induk
lagi untuk menjamin kelangsungan hidup, baik bagi diri maupun anak cucu mereka.” induk dalam hal ini adalah kata ganti dari pemerintah dalam penghalusan makna.
2
Aris Badara, Analisis Wacana: Teori, Metode dan Penerapannya pada Wacana Media, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2012  h. 58
e.  Stilistik
Pusat  perhatian  stilistika  adalah  style,  yaitu  cara  yang  digunakan  seorang pembicara  atau  penulis  untuk  menyatakan  maksudnya  dengan  menggunakan  bahasa
sebagai sarana. Dengan demikian style dapat diterjemahkan sebagai gaya bahasa. Dalam  hal  ini  kita  dapat  melihat  dalam  leksikal  atau  penggunaan  kata
“aparat”  dalam  kalimat  “Polisi  tengah  menelusuri  apakah  ketiga  aparat  tersebut
menjadi beking dalam kasus perbudakan modern  itu”. Kata aparat itu sendiri dalam KBBI  mempunyai  pengertian  sebagai  “alat  pemerintahan”.  Pilihan  kata  dan  gaya
bahasa  yang dipakai  menunjukkan  sikap dan  ideologi tertentu. Peristiwa sama dapat digambarkan  dengan  pilihan  kata  yang  berbeda-beda.  Dalam  hal  ini  media
mempunyai  kekuatan  hegemoni  dalam  menentukan  gaya  bahasa  yang  tepat  dipakai oleh khalayak.
f.  Retoris
Strategi  dalam  level  retoris  di  sini  adalah  gaya  yang  diungkapkan  ketika seseorang berbicara atau menulis. Misalnya, dengan pemakaian kata yang berlebihan
hiperbolik, atau bertele-tele. Retoris mempunyai fungsi persuasif, dan berhubungan erat dengan  bagaimana pesan  itu  ingin disampaikan kepada khalayak. Ada  beberapa
elemen dari retoris diantaranya: metafora, grafis dan ekspresi. Wacana terakhir yang menjadi strategi dalam  level retoris  ini adalah  menampilkan apa  yang disebut  visual
image. Dalam elemen ini ditampilkan dengan penggambaran detail berbagai hal yang ingin ditonjolkan.
3
Elemen  retoris  dalam  bentuk  grafis,  metafora  dan  ekspresi  akan  dipaparkan dalam analisis di bawah ini:
1.  Grafis Dalam  analisis  grafis  ini  penulis  hanya  menampilkan  beberapa  gambar  yang
cukup berkesan dalam VTR perbudakan modern berikut ini :
Dari  kedua  gambar  di  atas,  kita  akan  bahas  gambar  yang  pertama.  Gambar yang  pertama  ini  tidak  cocok  dengan  konteks  perbudakan  modern,  karena  menurut
peneliti gambar di atas bukanlah perbudakan melainkan adalah pemberontakan yang dilakukan  oleh  kaum  proletar  atau  kaum  buruh,  karena  jika  kita  lihat  secara  teliti,
yang  memegang  pisau  dan  melakukan  gerakan  penusukan  adalah  orang  yang  tidak
3
Alex Sobur, Analisis Teks Media : Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotika dan Analisis Framing, cet ke-5; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009 h. 84
berbaju  atau  bisa  kita  sebut  kaum  proletar.  Hal  ini  yang  disebut  hiperbola  atau melebih-lebihkan dari segi grafis.
2.  Metafora Metafora adalah kiasan dan ungkapan yang memperkuat pesan pokok. Dalam
hal  ini  terlihat  dalam  kalimat  “Hak  konstitusional  para  buruh  yang  diperbudak  itu untuk  memperoleh  hidup  layak  dan  memperoleh  jaminan  perlindungan  dari  negara
pun  bertepuk  sebelah  tangan”.  Kiasan  dalam  kalimat  ini  ada  pada  kata  “bertepuk
sebelah  tangan”.  Maksud  dari  bertepuk  sebelah  tangan  adalah  tidak  ada  kerjasama atau  bantuan  dari  pemerintah  dalam  menjamin  hak  buruh  dalam  memperoleh  hidup
layak  dan  jaminan  perlindungan  dari  negara.  Kiasan  ini  juga  merupakan  sindiran kerasa kepada pemerintah.
3.  Ekspresi Ekpresi adalah elemen wacana  yang berfungsi untuk melihat penekanan atau
penonjolan suatu  hal  yang dianggap penting oleh seseorang. Untuk elemen ekspresi akan  lebih  dalam  kita  bahas  dalam  analisis  percakapan  dibawah  yang  menganalisis
wacana perbudakan modern dari segi kognisi sosial.
B.  Analisis Wacana Kritis Tentang  Perbudakan  Modern Dari Segi Kognisi Sosial
Melihat  dari  segi  kognisi  sosial,  para  awak  penulis  editorial  di  Media Indonesia  ingin  mengungkapkan  bahwa  tidak  ada  lagi  kepedulian  atau  kurangnya
kepekaan pemerintah dalam menangani kasus ketenagakerjaan yang ada di Indonesia. Media  Indonesia  ingin  mendorong  para  pengambil  keputusan  untuk
mengambil  kebijakan,  misalnya  polisi,  untuk  mengusut  tuntas  kasus  tersebut, kemudian  kementrian  tenaga  kerja,  karena  ini  terkait  dengan  perburuhan,  dan
kemudian diharapkan  bisa  mengambil kebijakan,  kemudian  negara  ini  secara umum sebagai sebuah negara yang menjamin hak konstitusi para buruh, bagaimana mungkin
membiarkan  ada  warga  negaranya  yang  diperlakukan  seperti  itu,  ini  kan  terkait dengan  masalah  kemiskinan  dan  juga  masalah  pembangunan  di  pedesaan  atau  luar
ibukota.
4
Editorial  yang  disampaikan  oleh  Media  Indonesia  adalah  mencoba  untuk mewakili  publik.  Penonton  Metro  TV  dan  pembaca  Media  Indonesia  juga  diberi
ruang  untuk  mengomentari.  Kemudian  mereka  berharap  ada  perubahan  dari pemerintah  karena  adanya  pemberitaan  mengenai  kasus  ini,  baik  perubahan  itu  dari
segi kebijakan dan lain sebagainya. Untuk  lebih  lanjut  dan  mendalam  mengenai  kognisi  sosial,  penulis  akan
menganalisis  percakapan  dalam  program  bedah  editorial  Media  Indonesia.  Berikut
4
Hasil wawancara dengan Direktur Pemberitaan Media Indonesia
wacana perbudakan modern dalam percakapan pada program Bedah Editorial Media Indonesia.
a.  Percakapan pada segmen pertama Pembawa  Acara  :  Gilang  Ayunda,  Pembedah:  Elman  Saragih  Dewan
Redaksi Media Grup Gilang Ayunda
:  Ya  kembali  lagi  pemirsa  dalam  Bedah  Editorial  Media Indonesia.  pemirsa,  Terima  kasih  anda  masih  bersama  kami,
dan  langsung  saja  kita    membedah  topik  kita  pagi  hari  ini. Opening
Ya, bang Elman, ini sudah zaman modern, di abad modern ini masih  ada  saja  praktek  perbudakan  seperti  yang  kemaran
terjadi  di  Tangerang  Banten,  lalu  dan  mirisnya  lagi  ini  terjadi di  bumi pertiwi Indonesia. Dan Mengapa urusan  kemanusiaan
di negeri ini kerapkali bisa terabaikan?
Elman Saragih :    Ya,  sebetulnya  mbak  gilang  ya,  kasus  perbudakan  yang
terjadi di sekitar jakarta ini, Tangerang kan sebenarnya sekitar jakarta juga kan?. ya  jujur aja sebenarnya kita sudah kehabisan
kata-kata sebetulnya, kita mau ngomong apa lagi, ya budak  ya budak,  begitu  ya,  di  tengah  pemimpin  kita  disanjung  di  luar
negeri ini, mendapat penghargaan, anu anu anu, waa, diterima oleh  raja  inggris,  diterima,  ini  bahkan  mendapat  penghargaan
ini  ,  hebat  sekali  ini  pemimpin  kita  ini,  tetapi  dia  lupa  di depan  mata  sendiri,  di  depan  hidungnya  sendiri  terjadi
perbudakan,  dan  itu  bukan  cerita,  fakta  dengan  nada penegasan.  Perbudakan,  ada  sejumlah  orang  tidak  berdaya
yang  diperkerjakan  secara  tidak  manusiawi,  ini,  tidak  bisa shalat, tidak  bisa  bersosialisasi  dengan  warga  sekitar,  diperas,
jadi tinggal mati aja mereka sebenarnya. Yang heran buat kita adalah  dimana  kehadiran  negara?,  pemerintah  daerah
dimana?,  dimana  polisi?,  yang  paling  lucu  serikat  pekerja dimana? Kok, Mereka kok abai gitu? kok membiarkan?, jadi
buat  saya  mbak  gilang  ya,  jadi  saya  tidak  lagi  melihat kasusnya,  tapi  begitu  kejadian  ada  di  tangerang  ini,    Saya
khawatir  juga  hal  yang  sama,  bukan  tidak  mungkin  terjadi  di pelosok2  tanah  air  kita.  Apakah  di  sekitar  bandung,  apakah
jogjakarta, di sekitar semarang, dan sebagainya.
Pada  percakapan  di  atas  terlihat  bahwa  Elman  Saragih  sebagai  pembedah dalam  Program  Bedah  Editorial  Media  Indonesia  mengkritik  keras  pemerintah.
Dalam  kritikannya,  pemerintah  telah  gagal  dalam  menangani  masalah  sosial  dan kemanusiaan.  kita  juga  dapat  melihat  penekanan  serta  ekspresi  menyalahkan  pada
kalimat  yang  diberi  tanda  di  atas.  Hal  ini  menunjukkan  bahwa  pesan  pokok  yang ingin  disampaikan  oleh  si  pembedah  ada  pada  kalimat  tersebut.  Elman  Saragih
menyampaikan opini pribadi  yang  sebenarnya  mewakili  Media Indonesia.  Kekuatan hegemoni  media  secara  langsung  dipegang  oleh  Elman  Saragih  sebagai  pembedah.
Kita lanjutkan ke percakapan selanjutnya, berikut ini.
Gilang Ayunda :  karena  yang  di  depan  mata  ibukota  saja  bisa  terjadi,  begitu
ya,  apalagi  yang  di  daerah-daerah  terpe...  Interupsi  oleh Elman
Elman Saragih :  apalagi  yang  di  daerah-daerah  tidak  terjangkau,  berapa
banyak  lagi  anak  manusia,  yang  tidak  berdaya,  betul-betul  di jajah kembali seperti jaman dahulu, jaman penjajahan aja tidak
seperti  ini,    Nah,  Saya  heran  lho,  artinya,  Pemerintah  selalu mengatakan  pertumbuhan  penduduk,  bagus,  pembangunan
ekonomi negara, bagus, Toto Tentram kartoraharjo, nah, di depan  mata  sendiri,  budak  Saya  tidak  tau  lagi  bagaimana
pemerintah, bagaimana menteri tenaga kerja melihat kasus ini, dan yang terjadi sekarang kan, begitu ada kejadian, wah, semua
menghakimi, hukum, semua sepertinya jadi pahlawan, selama ini  kamu  dimana?  Kok  diam?  Kok  gak  tau?  Begitu  kejadian
baru rame, semua dari delapan penjuru mata angin, yang tidak pernah  ngomong  juga  ngomong,  yang  tidak  ngerti  persoalan
juga sok ngerti.
Gilang Ayunda :  oke,  baik,  dan  ini  akhirnya  membuat  beberapa  pihak  juga
mempertanyakan  komitmen  negara  dalam  melindungi  tenaga kerjanya,  jangankan  melindungi  TKI  yang  ada  di  luar  negeri,
Tenaga  Kerja  yang  ada  di  rumah  sendiri  pun  tidak  terawasi, mengapa  sebetulnya  hal  ini  bisa  luput  dari  pengawasan?,
begitu pak.