Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Pencemaran Lintas Batas Akibat Kebocoran The Montara Well Head Platform Di Laut Timor.

(1)

“TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PENCEMARAN LINTAS BATAS AKIBAT KEBOCORAN THE MONTARA WELL HEAD

PLATFORM DI LAUT TIMOR”

S K R I P S I

Diajukan Dalam Rangka Memenuhi Dan Melengkapi Syarat-Syarat Untuk Mencapai

Gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

O L E H :

FADHILAH ASTRID SITOMPUL 070200119

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

“TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PENCEMARAN LINTAS BATAS AKIBAT KEBOCORAN THE MONTARA WELL HEAD

PLATFORM DI LAUT TIMOR”

O L E H :

FADHILAH ASTRID SITOMPUL

070200119

DIKETAHUI DAN DISAHKAN OLEH :

KETUA DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

( ARIF, SH.MH) NIP: 1964033019931002

DOSEN PEMBIMBING I, DOSEN PEMBIMBING II,

(PROF.DR.SYAMSUL ARIFIN,SH.MH) (ARIF,SH.MH) NIP : 195209101980031001 NIP : 1964033019931002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbilalamin,

Puji dan syukur selalu kita panjatkan kepada ALLAH SWT karena atas segala Rahmat dan Ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini dalam rangka menyudahi kewajiban penulis sebagai seorang mahasiswa pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dengan berbekal ilmu pengetahuan yang telah penulis terima selama ini, penulis memberanikan diri untuk memberi judul: “TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PENCEMARAN LINTAS BATAS AKIBAT KEBOCORAN THE MONTARA WELL HEAD PLATFORM DI LAUT TIMOR”.

Selama penulisan dan penyusunan skripsi ini, waktu, tenaga dan pikiran telah penulis tumpahkan, namun demikian penulis menyadari bahwa apa yang telah dihasilkan ini belumlah dapat mencapai suatu penilaian yang serupa. Untuk itulah penulis mengharapkan segala kritik dan saran yang membangun kebaikan.

Tulisan ini terselesaikan tidak terlepas dari bimbingan, petunjuk, bantuan, saran dan kritik serta dorongan dari semua pihak yang telah turut membantu penulis. Kiranya, bukanlah hal yang berlebihan pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah bersusah payah dengan berbagai upaya untuk dapat memajukan tempat penulis menimba ilmu.


(4)

2. Arif SH.M.H, sebagai Ketua Jurusan Bagian Hukum Internasional yang juga selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan perhatian, nasehat, bimbingan dan dukungan moril kepada penulis baik dalam perkuliahan terutama dalam proses penyelesaian skripsi ini.

3. Prof. Dr. Syamsul Arifin, SH.M.H, sebagai Dosen Pembimbing I yang telah meluangkan waktunya kepada penulis untuk membimbing, mengarahkan dan memberi masukan yang berguna kepada penulis sehingga skripsi ini selesai.

4. Seluruh Dosen dan Staf Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mengajarkan dan membimbing penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Seluruh Staf Tata Usaha dan Staf Administrasi Perpustakaan serta para pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada sahabat-sahabat yang telah mengiringi perjalanan penulis di dalam menempuh dinamika perkuliahan: Ivo Farah Zara, Desi Syahrina Lubis, Kemala Atika Hayati, Donny Irawan, M Suhaji Utama, Dearma Sinaga, Ananda Jakaria, Yudi Trianantha, Fajar Soefani, Febri Dermawan, Rio Randy Rahardja, Diandra Navarro dan semua teman-teman stambuk 2007 yang tidak bisa penulis sebutkan namanya satu persatu.

7. Juga kepada Keluarga besar Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak


(5)

memberikan ilmu-ilmu yang tidak penulis dapatkan di bangku perkuliahan.

8. Khusus penulis ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada Orang Tua yang sangat penulis sayangi, Ayahanda Drs. Bagi Astra Sitompul dan Ibunda Dra.Hj. Sri Muliani M.Pd yang selama ini dengan sangat bersusah payah dan penuh kesabaran menempuh dinamika hidup, hanya untuk keberhasilan penulis di bangku kuliah. Juga terima kasih penulis ucapkan kepada adik-adik penulis: Taufik Akbar Sitompul, Fahmi Idris Sitompul, Yaumil Rizky Sitompul.

Akhirnya penulis mengharapkan kritik dan saran dalam upaya melengkapi karya yang sederhana ini agar berguna bagi penambahan wawasan dan ilmu pengetahuan. Penulis berharap apa yang penulis kerjakan mendapat Ridho dari Allah SWT.

Akhirul kalam, Wabilahitaufik walhidayah Wassalamualaikum, Wr,Wb.

Medan, Agustus 2011 Hormat Penulis


(6)

ABSTRAKSI

Prof.Dr.Syamsul Arifin,SH,MH. Arif,SH,MH.

Fadhilah Astrid Sitompul.

Tragedi kandasnya kapal tanker Showa Maru di Selat Malaka pada awal Januari 1975 memperlihatkan pentingnya bagi Indonesia dan dunia internasional untuk memberikan perhatian pada isu pencemaran lingkungan laut beserta aspek lain yang mengikutinya, seperti eksplorasi dan eksploitasi laut serta skema ganti rugi terhadap aktivitas negara-negara atas laut. Masalah pencemaran laut kembali terulang dalam perairan wilayah Indonesia. Kasus kebocoran ladang minyak dan gas lepas pantai yang terjadi di Laut Timor pada tanggal 21 Agustus 2009 oleh operator kilang minyak PTT Exploration and Production (PTTEP) Australia merupakan contoh pencemaran lingkungan laut lintas batas yang melibatkan 3 negara, yaitu Indonesia, Timor Leste dan Australia. Kebocoran ladang minyak tersebut mencemari 16.420 kilometer persegi wilayah Indonesia dan mempunyai implikasi pada banyak hal antara lain pencemaran lingkungan laut dan biota laut, kematian terhadap organisme laut dan makhluk hidup lainnya, serta implikasi langsung pada kondisi ekonomi nelayan Indonesia yang mengandalkan penghidupan pada sektor perikanan di daerah tersebut.

PTTEP merupakan operator kilang minyak Thailand yang berlokasi di Ladang Montara (The Montara Well Head Paltform) Laut Timor atau 200 km Pantai Kimberley, Australia. Dari sudut kepentingan Indonesia, tumpahan minyak dengan volume 500.000 liter per hari menimbulkan efek pencemaran yang besar di wilayah perairan Indonesia, terutama di wilayah Kabupaten Rode Ndao dan Kabupaten Sabu Raijua. Perlu diadakan penelitian guna mengetahui pengaruh serta kerugian yang ditimbulkan bencana ini sehingga pemerintah Indonesia dapat mengajukan klaim ganti rugi kepada PTTEP tersebut dengan tetap menjaga komunikasi diplomatik dengan Pemerintah Australia dan Thailand.

Untuk itu dilakukan penelitian kepustakaan guna memperoleh data sekunder dengan mempelajari konvensi-konvensi internasional, peraturan perundang-undangan nasional, buku-buku, teks, baik yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus. Di samping itu juga menggunakan pendekatan secara deskriptif analisa untuk menggambarkan secara menyeluruh berbagai fakta yang berkenaan dengan terjadinya peristiwa pencemaran tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian dari kasus Montara tersebut, terdapat suatu kenyataan bahwa belum ada suatu instrumen atau mekanisme khusus yang mengatur pencemaran minyak di laut yang bersumber dari anjungan minyak lepas pantai yang sifatnya lintas batas. Kasus Montara merupakan suatu tonggak bagi pemerintah Indonesia untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna menjamin kepentingan nasional Indonesia.

        Dosen Pembimbing I

 Dosen Pembimbing II


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……….. i

DAFTAR ISI ……… iv

ABSTRAKSI ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ………. 9

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ……… 10

D. Keaslian Penulisan ……….. 11

E. Tinjauan Kepustakaan ……….... 11

F. Metode Penulisan ………... 13

G. Sistematika Penulisan ………... 14

BAB II DAMPAK PENCEMARAN LINTAS BATAS LINGKUNGAN LAUT AKIBAT TUMPAHAN MINYAK A. Pengertian dan Batasan Pencemaran Lingkungan Laut ……. 17

B. Sejarah Perkembangan Hukum Pencemaran Laut yang Bersifat Lintas Batas ……… 25

C. Dampak Pencemaran Lingkungan di Laut Timor akibat Tumpahan Minyak Mentah ……… 30


(8)

BAB III PERTANGGUNGJAWABAN PTTEP AUSTRALIA TERHADAP PENCEMARAN LINTAS BATAS OLEH MINYAK DI LAUT TIMOR MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

A. Konsep Pertanggungjawaban Negara Menurut Hukum Internasional ……… 41 B. Pengaturan Hukum Internasional Mengenai Ganti Rugi

Terhadap Pencemaran Minyak di Laut ……….. 52 C. Pertanggungjawaban PTTEP Australia Terhadap Kasus Montara

……… 59

BAB IV ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAN

MEKANISME GANTI RUGI TERHADAP PENCEMARAN LINTAS BATAS DI LAUT TIMOR

A. Bentuk-bentuk Penanganan dan Penyelesaian Sengketa Pencemaran Lingkungan Laut Lintas Batas (UNCLOS)…... 66 B. Bentuk-bentuk Penyelesaian Sengketa dalam Hukum

Lingkungan Internasional ………... 73 C. Mekanisme Ganti Rugi Terhadap Pencemaran Laut Timor

……….… 83

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ………... 99

B. Saran ………... 100


(9)

ABSTRAKSI

Prof.Dr.Syamsul Arifin,SH,MH. Arif,SH,MH.

Fadhilah Astrid Sitompul.

Tragedi kandasnya kapal tanker Showa Maru di Selat Malaka pada awal Januari 1975 memperlihatkan pentingnya bagi Indonesia dan dunia internasional untuk memberikan perhatian pada isu pencemaran lingkungan laut beserta aspek lain yang mengikutinya, seperti eksplorasi dan eksploitasi laut serta skema ganti rugi terhadap aktivitas negara-negara atas laut. Masalah pencemaran laut kembali terulang dalam perairan wilayah Indonesia. Kasus kebocoran ladang minyak dan gas lepas pantai yang terjadi di Laut Timor pada tanggal 21 Agustus 2009 oleh operator kilang minyak PTT Exploration and Production (PTTEP) Australia merupakan contoh pencemaran lingkungan laut lintas batas yang melibatkan 3 negara, yaitu Indonesia, Timor Leste dan Australia. Kebocoran ladang minyak tersebut mencemari 16.420 kilometer persegi wilayah Indonesia dan mempunyai implikasi pada banyak hal antara lain pencemaran lingkungan laut dan biota laut, kematian terhadap organisme laut dan makhluk hidup lainnya, serta implikasi langsung pada kondisi ekonomi nelayan Indonesia yang mengandalkan penghidupan pada sektor perikanan di daerah tersebut.

PTTEP merupakan operator kilang minyak Thailand yang berlokasi di Ladang Montara (The Montara Well Head Paltform) Laut Timor atau 200 km Pantai Kimberley, Australia. Dari sudut kepentingan Indonesia, tumpahan minyak dengan volume 500.000 liter per hari menimbulkan efek pencemaran yang besar di wilayah perairan Indonesia, terutama di wilayah Kabupaten Rode Ndao dan Kabupaten Sabu Raijua. Perlu diadakan penelitian guna mengetahui pengaruh serta kerugian yang ditimbulkan bencana ini sehingga pemerintah Indonesia dapat mengajukan klaim ganti rugi kepada PTTEP tersebut dengan tetap menjaga komunikasi diplomatik dengan Pemerintah Australia dan Thailand.

Untuk itu dilakukan penelitian kepustakaan guna memperoleh data sekunder dengan mempelajari konvensi-konvensi internasional, peraturan perundang-undangan nasional, buku-buku, teks, baik yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus. Di samping itu juga menggunakan pendekatan secara deskriptif analisa untuk menggambarkan secara menyeluruh berbagai fakta yang berkenaan dengan terjadinya peristiwa pencemaran tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian dari kasus Montara tersebut, terdapat suatu kenyataan bahwa belum ada suatu instrumen atau mekanisme khusus yang mengatur pencemaran minyak di laut yang bersumber dari anjungan minyak lepas pantai yang sifatnya lintas batas. Kasus Montara merupakan suatu tonggak bagi pemerintah Indonesia untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna menjamin kepentingan nasional Indonesia.

        Dosen Pembimbing I

 Dosen Pembimbing II


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan hukum lingkungan tidak dapat dipisahkan dari gerakan sedunia untuk memberikan perhatian lebih besar kepada lingkungan hidup, mengingat kenyataan bahwa lingkungan hidup telah menjadi masalah yang perlu ditanggulangi bersama demi kelangsungan hidup di dunia ini.1

Sumber daya alam harus dijamin kelestariannya antara lain dengan tetap mempertahankan lingkungan laut. Pada kondisi yang menghubungkan bagi hakikat laut, juga sistem pengelolaan dalam mengupayakan sumber daya alam yang ada. Tumbuhnya kesadaran yang diciptakan mengordinasikan laut ataupun dalam memenuhi kebutuhan dari laut, merupakan langkah untuk mewujudkan pelestarian lingkungan laut, sekalian sumber yang terkandung dalam laut tidak terbatas. Didalam mengupayakan laut misalnya penangkapan ikan, jenis ikan yang berlebihan dengan menggunakan pukat harimau sangatlah berbahaya dan dapat menimbulkan kepunahan itu tidak dapat dirasakan dalam jangka waktu yang pendek.2

Pencemaran lingkungan laut sangat mendapat perhatian dunia dewasa ini, apakah itu secara Nasional, Regional maupun Internasional disebabkan karena dampak yang ditimbulkannya terhadap kelestarian lingkungan dan manfaat dari

      

1

  J.G.Strake, Pengantar Hukum Internasional (Jakarta, Sinar Grafika, 1999), hal.3

2


(11)

sumber daya alam yang ada di laut menjadi terganggu baik untuk kepentingan nasional negara pantai maupun bagi umat manusia keseluruhannya.3

Gejala pencemaran lingkungan laut (the pollution of marine environment) dalam dasawarsa terakhir ini banyak mendapat perhatian dari berbagai pihak. Seperti terlihat dalam pembahasan melalui seminar dan symposium yang diselenggarakan baik di tingkat nasional, regional dan internasional, semua perhatian itu membahas dan mengkaji masalah lingkungan laut, sehingga mempertajam pengertian dan membangkitkan kesadaran tentang masalah lingkungan laut.

Pengertian dan kesadaran ini secara umum mengandung arti bahwa masalah pencemaran lingkungan laut tersebut mengandung ancaman terhadap perikehidupan baik kehidupan manusia, hewan (fauna), maupun tumbuh-tumbuhan (flora)4. Ketiga jenis perikehidupan ini mengisi lingkungan hidup atau “biosphere” diatas bola bumi menjadi terancam kelangsungan serta kelestariannya, karena terkena racunnya yang menimbulkan kemusnahan. Oleh karena itu arus dan angin air laut yang tercemar itu disebarkan kemana-mana secara merata dan mempengaruhi lingkungan laut.5

Telah kita maklumi bersama bahwa laut mempunyai beberapa fungsi, termasuk fungsi vital bagi kehidupan bangsa. Peningkatan pemanfaatan laut untuk

      

3

  Dimulai sejak peristiwa kapal tanker “Torrey Canyon” 1967 yang menabrak batu karang dan menumpahkan sekitar 120.000 ton minyak di Barat Daya perairan Inggris. Inilah bencana pencemaran laut terbesar, sehingga mendorong negara-negara untuk lebih serius dalam menangani masalah pencemaran laut karena tumpahan minyak.

4

   Arifin Siregar, Hukum Pencemaran Laut di Selat Malaka (Medan, Kelompok Studi Hukum Dan Masyarakat, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 1996) hal.1

5


(12)

kehidupan suatu bangsa berdasarkan fungsi-fungsinya dapat berpengaruh langsung bagi lingkungan laut beserta biota-biota yang ada didalamnya. Memang pada awalnya pemanfaatan laut tidak merupakan masalah bagi kehidupan manusia. Hal ini dikarenakan laut masih mampu membersihkan dirinya sendiri tanpa mengubah serta mempengaruhi sifat dan fungsi laut sebagaimana semula. Namun akhir-akhir ini dikarenakan tingkat pemakaian laut yang semakin tinggi membawa masuknya zat-zat baru kedalam laut ditambah lagi zat-zat yang telah ada menyebabkan laut tidak mampu lagi membersihkan dirinya sehingga laut menjadi kotor, yang adakalanya sampai pada tingkat perobahan pada fungsi laut. Pada saat itu laut akan menjadi sumber masalah yang mengancam kehidupan manusia, sehingga timbullah masalah baru bagi kehidupan manusia yaitu pencemaran laut.

Pencemaran lingkungan laut merupakan masalah yang dihadapi oleh masyarakat bangsa-bangsa. Pengaruhnya dapat menjangkau seluruh aktifitas manusia di laut dan karena sifat laut yang berbeda dengan darat, maka masalah pencemaran laut dapat mempengaruhi semua negara pantai baik yang sedang berkembang maupun negara-negara maju, sehingga perlu disadari bahwa semua negara pantai mempunyai kepentingan terhadap masalah pencemaran laut.6

Lingkungan laut selain merupakan sumber kekayaan alam, juga merupakan sarana penghubung, media rekreasi dan lain sebagainya, karena itu sangat penting untuk melindungi lingkungan laut, misalnya perlindungan terhadap lingkungan

      

6

Juarir Sumardi, Hukum Pencemaran Laut Transnasional (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1996), hal.1


(13)

laut dari pencemaran yang bersumber dari kapal, hal ini dilakukan agar pemanfaatan sumber-sumber kekayaan dapat dinikmati secara berkelanjutan.7

Berdasarkan Peraturan Pemerintah (selanjutnya disebut PP) No.19/1999 tentang “Pencemaran Laut” diartikan sebagai masuknya/dimasukkannya makhluk hidup, zat energi dan atau komponen lain kedalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ketingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya.8

Masalah perlindungan lingkungan laut ini terutama hal pencemaran karena tumpahan minyak sudah diatur sejak “Konvensi Jenewa 1958” mengenai rezim laut lepas yaitu pada pasal 24, yang berbunyi :

“Every state shall draw up regulations to prevent pollution of the seas by

the discharge oil from ships of pipelines or resulting from the exploitation and exploration of the seabed and its subsoil taking account to the existing treaty provisions on the subject”.

(setiap negara wajib mengadakan peraturan-peraturan untuk mencegah pencemaran laut yang disebabkan oleh minyak yang berasal dari kapal atau pipa laut atau yang disebabkan oleh eksplorasi dan ekploitasi dasar laut dan tanah dibawahnya dengan memperhatiakn ketentuan-ketentuan perjanjian internasional yang ada mengenai masalah ini)

Secara umum, masalah perlindungan lingkungan laut juga diatur dalam “Deklarasi Stockholm 1972” dalam asas nomor 7 disebutkan bahwa setiap negara berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan guna mencegah pencemaran laut yang membahayakan kesehatan dan kesejahteraan manusia, sumber kekayaan hayati laut terhadap penggunaan lingkungan laut.

      

7

   Mochtar kusumaatmadja, Perlindungan dan Pelertarian Lingkungan Laut Dilihat dari

Sudut Hukum Internasional, Regional, dan Nasional, (Jakarta, Sinar Grafika dan Pusat Studi

Wawasan Nusantara, 1992), hal.7-8

8

   Pasal 1 ayat 2 Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan laut.


(14)

Perhatian bangsa-bangsa terhadap tindakan eksplorasi dan ekploitasi dasar laut untuk menemukan dan mengambil minyak bumi diawali saat tindakan pemerintah Amerika Serikat yang mengeluarkan Proklamasi Truman tahun 1948 tentang Continental Self. Tindakan ini bertujuan mencadangkan kekayaan alam pada dasar laut dan tanah dibawahnya yang berbatasan dengan pantai Amerika Serikat untuk kepentingan rakyat dan bangsa Amerika Serikat, terutama kekayaan mineral khususnya minyak bumi.

Tindakan ini didasarkan atas pendapat ahli-ahli geologi minyak bumi yang menyatakan bahwa bagian-bagian tertentu dari dataran kontinen diluar batas 3 mill mengandung endapan-endapan minyak bumi yang sangat berharga. Tindakan itu memungkinkan untuk mengeksploitasi secara teratur suatu daerah dibawah permukaan laut (sub marine area) yang luasnya 750.000 mill persegi yang ditutup oleh air yang dalamnya tidak lebih dari 100 fathom (200 mill).9

Peningkatan yang telah dicapai manusia dalam mengeksploitasi minyak bumi di dasar laut tidak lepas dari suatu resiko. Resiko penggunaan teknologi pengeboran minyal lepas pantai dan penggunaan kapal-kapal tanker pengangkat minyak menyebabkan pencemaran laut yang tentunya akan menurunkan kualitas dan kuantitas sumber daya alam hayati dan nabati yang menjadi objek untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.

Kasus pencemaran lingkungan laut baru mendapat perhatian yang serius dari Negara Indonesia adalah sejak terjadinya kecelakaan Kapal Tanker Showa

      

9


(15)

Maru pada tahun 1975 di Selat Malaka10, yang menyebabkan kerusakan lingkungan laut Indonesia yang sangar parah sehingga mengakibatkan kerugian yang sangat besar yang harus di derita oleh lingkungan laut Indonesia.

Dalam kasus ini, Indonesia tidak bisa menuntut ganti rugi kepada pemilik kapal, dikarenakan waktu itu negara kita belum ada undang-undang yang mengatur tentang pencemaran lingkungan.

Perlindungan terhadap lingkungan laut, selain upaya yang dilakukan secara nasional, juga diperlukan kerjasama regional maupun global, baik secara teknis langsung dalam menangani kasus pencemaran lingkungan laut, maupun dalam menangani kasus pencemaran lingkungan laut, maupun dalam merumuskan ketentuan-ketentuan internasional, guna melindungi lingkungan laut.11

Sekitar dua tahun yang lalu, masalah pencemaran laut akibat tumpahan minyak kembali terulang dalam perairan wilayah Indonesia. Tepatnya pada tanggal 21 Agustus 2009 sumur minyak Montara yang bersumber dari Ladang Montara (The Montara Well Head Platform) di Blok “West Atlas Laut Timor” perairan Australia bocor dan menumpahkan minyak jenis light crude oil. Tumpahan minyak tersebut meluas hingga perairan Celah Timor (Timor Gap) yang merupakan perairan perbatasan antara Indonesia, Australia dan Timor Leste. Luas efek cemaran tumpahan minyak dari sumur yang terletak di Blok Atlas Barat Laut Timor tersebut sekitar 75% masuk wilayah perairan Indonesia.

      

10

   Suhaidi, Perlindungan terhadap Lingkungan Laut Dari Pencemaran Yang Bersumber

Dari Kapal (Jakarta, Pustaka Bangsa Press, 2004), Hal.7. 11


(16)

Pencemaran ini menjadi masalah yang penting bagi Bangsa Indonesia, karena telah mencemari Lingkungan Laut Indonesia yang memasuki Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia. Landasan filosofis berdasarkan pasal 192 United

Nations Convention on the Law of The Sea (UNCLOS), dinyatakan bahwa setiap

Negara harus menjaga lingkungan laut, yang berarti bahwa dalam pasal ini memberikan penekanan bahwa ekosistem laut merupakan bagian yang wajib dijaga dan dilestarikan oleh setiap negara.

Tumpahan minyak yang berasal dari ladang minyak montara, di Laut Timor di lepas pantai utara Western Australia, disebabkan oleh suatu ledakan pada tanggal 21 Agustus 2009. Akibatnya terjadi kebocoran sekitar 400 barrels minyak mentah setiap harinya sampai akhirnya berhasil ditutup 74 hari kemudian. Perkiraan tentang luasnya wilayah yan tertutup lapisan minyak berkisar antara 6,000 km2 menurut Australian Maritime Safety Authority (AMSA), 28,000 km2 berdasarkan pencitraan satelit, sampai 90,000 km2 menurut World Wildlife Fund

(WWF).12 Sejumlah besar lapisan minyak tersebut memasuki perairan yang berada

dibawah yurisdiksi Indonesia, dan diperkirakan mengakibatkan kerugian pada mata pencaharian dari sedikitnya 18,000 nelayan,13 dan yang masih memerlukan estimasi kerugian terhadap lingkungan laut itu sendiri.

      

12

   Mustoe, Simon, Biodiversity Survey of the Montara Field Oil Leak, Survey repost prepared on behalf of the World Wildlife Fund (WWF)-Australia, Melbourne: Applied Ecology Solutions Pty Ltd., 2009, sebagaimana dimuat dalam http://www.wwf.org.au/publications/montaraoilspillreport.pdf; Simamora, Adianto P.,”RI to Make Formal Claim in East Timor Spill”, The Jakarta Post, diakses Pada Tanggal 14 Agustus 2010

13

  NTS Alert, “’Crying Over Spilt Milk’ : Responses to Oil Spills in East Asia”, October 2010, dengan menggunakan sebagai sumber Satriastanti, Fidelis E., ‘Team Travels to Perth for Montara Oil Spill Negotiations’, Jakarta Globe, 27 July, 2010, sebagaimana dimuat dalam


(17)

Pemerintah Indonesia mengancam akan melaporkan perusahaan asal Australia, Montara, akibat meledaknya sumur minyak tersebut ke forum internasional jika solusi belum juga tercapai. Ini merupakan suatu tindakan tegas dari Indonesia dalam menghadapi Pencemaran Lingkungan yang terjadi dalam yurisdiksi wilayah Indonesia.

Pengaturan mengenai perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup di laut Indonesia terdapat pada UU No. 23/1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 5/1983 Tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), UU No. 9/1985 Tentang Perikanan, UU No.5/1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, UU No. 6/1996 Tentang Perairan Indonesia, serta UU No.21/1992 Tentang Pelayaran. Yang kesemua ini telah diratifikasi Indonesia. Sementara mengenai tanggung jawab dan ganti rugi pencemaran lingkungan laut belum secara khusus diatur dalam UU tersebut.

Secara khusus pengaturan mengenai penerapan ganti rugi atas pencemaran lingkungan laut sangat perlu ditangani segera, guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan mengingat banyaknya kecelakaan dan kandasnya kapal berakibat tumpahnya minyak ke laut agar lebih dipahami.14

Berdasarkan uraian diatas penulis merasa tertarik untuk mendalami dan mengangkat masalah pencemaran laut oleh minyak yang bersifat lintas batas dalam suatu skripsi yang berjudul :

      

14

  Komar Kantaatmadja, Ganti Rugi Internasional Pencemaran Minyak di Laut (Bandung, Alumni 1981), hal.22


(18)

TINJAUAN HUKUM INTERNASIONAL TERHADAP PENCEMARAN LINTAS BATAS AKIBAT KEBOCORAN THE MONTARA WELL HEAD PLATFORM DI LAUT TIMOR.

B. Perumusan Masalah

Menurut kenyataannya dewasa ini lingkungan laut tidak hanya dijadikan sebagai sarana pelayaran dan penyediaan bahan-bahan makanan, lebih dari itu laut telah dipergunakan sebagai sumber energi yang diperoleh dari arus, gelombang dan riaknya. Laut juga dipergunakan sebagai tempat peletakan kabel telekomunikasi dan pipa saluran minyak dan gas bumi serta berbagai kegiatan ilmiah. Dengan perkataan lain lingkungan laut dewasa ini tidak hanya menjalankan fungsinya secara tradisional akan tetapi pemakaian laut jauh lebih berkembang mengikuti gerak perkembangan pemikiran manusia itu sendiri.

Tingkat kemungkinan pencemaran lingkungan laut akan berbanding lurus dengan tingkat aktifitas manusia di laut. Artinya semakin tinggi aktifitas manusia di laut semakin besar kemungkinan laut akan tercemar.

Demikian luas dan kompleksnya masalah pencemaran laut bila ditinjau dari kacamata hukum sehingga penulis dalam hal ini membatasi permasalahan pada persoalan bagaimana hukum internasional mengatur tentang pencemaran laut oleh minyak yang bersumber dari kegiatan lepas pantai seperti yang terjadi di laut timor yang bersifat lintas batas. Selain dari itu bagaimana mekanisme untuk meminta tanggungjawab pencemar termasuk pembayaran ganti ruginya. Lebih


(19)

khusus lagi penulis memusatkan perhatian pada kasus kebocoran The Montara

Well Head Platform di Laut Timor.

Berdasarkan uraian diatas penulis membatasi permasalahan yang mencakup: 1. Bagaimanakah dampak dari pencemaran di Laut Timor akibat

tumpahan minyak ?

2. Bagaimanakah tanggung jawab PTTEP Australia terhadap pencemaran oleh minyak di Laut Timor ?

3. Bagaimanakah alternatif penyelesaian sengketa dan mekanisme ganti rugi terhadap pencemaran oleh minyak di Laut Timor ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui pengaruh serta kerugian yang ditimbulkan bencana ini,

tidak hanya membawa kerugian ekonomis, tetapi lebih dari itu akan terjadi pula kerugian ekologis yang secara langsung dapat mengancam kehidupan manusia. Akibatnya tidak saja dirasakan di negara tempat terjadinya peristiwa tetapi dirasakan di negara tempat terjadinya peristiwa tetapi akan dirasakan pula oleh negara lain yang berada diluar yurisdiksi negara tempat terjadinya pencemaran. Kondisi seperti ini dikarenakan pencemaran lingkungan laut yang bersifat

transfrontier atau lintas batas.

2. Bertolak dari adanya resiko kerugian yang sangat besar ini diperlukan perlindungan bagi negara pantai juga kepastian hukum bagi pihak pencemar


(20)

(pollunter). Untuk itu diperlukan peraturan-peraturan yang tegas untuk menyelesaikan kerugian-kerugian yang timbul.

3. Disamping itu pembahasan juga ditujukan guna mengetahui penyelesaian sengketa di Laut Timor antara Pemerintah Indonesia dan Perusahaan Australia

Adapun manfaat yang ingin dicapai adalah sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis, yaitu melihat keterkaitan norma hukum lingkungan internasional dan hukum lingkungan nasional serta dampak dari pencemaran laut.

2. Manfaat Praktis, yaitu sebagai bahan masukan bagi pemerintah terkait tentang perlunya upaya perlindungan laut dari pencemaran yang menyebabkan terjadinya pencemaran lintas batas.

D. Keaslian Penulisan

Adapun judul tulisan ini adalah Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Pencemaran Lintas Batas Akibat Kebocoran The Montara Well Head Platform di Laut Timor. Judul skripsi ini belum pernah ditulis dan dianalisis dalam bentuk yang sama khususnya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Sehingga tulisan ini asli, dengan demikian skripsi ini dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakaan

Lingkungan hidup adalah ruang yang ditempati oleh makhluk hidup bersama dengan benda tak hidup lainnya. Makhluk hidup tidak berdiri sendiri dalam proses kehidupannya, melainkan berinteraksi dengan lingkungan tempat hidupnya. Kehidupan yang ditandai dengan interaksi atau hubungan timbal balik,


(21)

yang teratur antara makhluk hidup dengan lingkungannya yang disebut hubungan ekosistem.

Indonesia sebagai Negara kepulauan yang memiliki laut teritorial yang diukur dari pulau-pulau terluar dan memiliki kedaulatan penuh atas pulau-pulau terluar tersebut. Kedaulatan suatu Negara pantai, selain wilayah daratan dan perairan pedalamannya dan dalam hal suatu Negara Kepulauan, perairan kepulauannya, meliputi pula suatu jalur laut yang berbatasan dengannya dinamakan laut territorial.15

Luas wilayah laut Indonesia dapat dirinci menjadi 0,3 juta km laut territorial, 2,8 juta km perairan nusantara dan 2,7 km Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.16

Pada mulanya orang berfikir bahwa dengan melihat luasnya lautan, maka semua hasil buangan sampah dan sisa-sisa industri yang berasal dari aktifitas manusia yang berada di daratan seluruhnya dapat di tampung oleh lautan tanpa membuat suatu akibat yang membahayakan. Bahan pencemar yang masuk ke dalam lautan akan diencerkan dan kekuatan mencemarnya secara perlahan-perlahan akan diperlemah sehingga membuat mereka menjadi tidak berbahaya. Dengan makin cepatnya pertumbuhan penduduk dunia dan makin meningkatnya lingkungan industri mengakibatkan makin banyak bahan-bahan yang bersifat

      

15

  Pasal 2 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut 1982.

16

   Kasjian Romimohtarto, Pengelolaan Pemanfaatan Kekayaan Hayati dan Nabati di


(22)

racun yang dibuang ke laut dalam jumlah yang sangat banyak dan sangat sulit untuk dapat dikontrol secara tepat.

Pada dasarnya lingkungan memang mempunyai kemampuan untuk mengabsorbsi limbah yang dibuang kedalamnya, namun kemampuaan tersebut pastilah sangat terbatas, apabila jumlah dan kualitas limbah yang dibuang kedalam lingkungan tersebut telah melampaui batas kemampuannya untuk mengabsorbsi maka dikatakanlah lingkungan itu tercemar. Merupakan suatu kenyataan bahwa setiap bagian lingkungan hidup sebagai suatu keseluruhan yang tidak dapat dipisahkan. Setiap bagian lingkungan merupakan bagian dari suatu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan dan satu sama lain, membentuk satu kesatuan tempat hidup yang disebut lingkungan hidup.17

F. Metode Penulisan

Dalam menyelesaikan karya tulis ini, penulis melakukan penelitian hukum normatif dengan pendekatan yang bersifat kualitatif. Metode penelitian yuridis normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilan.

Dalam penelitian ini metode yuridis normatif yang dipergunakan terutama adalah yang menunjuk pada sumber yang telah disebutkan, yakni penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam berbagai perangkat peraturan perundang-undangan yang antara lain berupa : konvensi internasional,

      

17

    Ida Bagus Wyasa Putra, Hukum Lingkungan Internasional Perspektif Bisnis


(23)

konvensi-konvensi internasional dan juga peraturan perundang-undangan nasional.

Penelitian ini juga menggunakan pendekatan secara deskriptif analisa untuk menggambarkan secara menyeluruh berbagai fakta yang berkenaan terjadinya peristiwa pencemaran laut. Pengumpulan dan penggambaran fakta-fakta ini dianggap penting sebab ini merupakan bagian dari pengumpulan data-data informasi secara keseluruhan dalam suatu penelitian. Pengumpulan data informasi dilakukan melalui studi pustaka. Bahan-bahan yang dikumpulkan dibidang hukum dapat dibedakan sumber data dan informasi dari mana sumber data atau informasi itu diperoleh.

G. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis membaginya dalam beberapa bab, yang masing-masing bab diuraikan masalahnya sendiri.

Akan tetapi tetap dalam satu kaitan yang saling menunjang dan tidak terlepas antara satu bab dengan yang lainnya. Sehingga secara sistematis ia akan menggambarkan keseluruhan isi yang akan menunjang tercapainya sasaran penulisan skripsi ini.

BAB I : PENDAHULUAN

Sebagaimana lazimnya sebuah skripsi, pada bab ini penulis memaparkan hal-hal yang bersifat umum serta hal-hal yang menyangkut teknis pelaksanaan untuk penyelesaian penulisan skripsi ini. Dalam hal ini di mulai dari mengemukakan latar


(24)

belakang pemilihan judul, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan, metode penulisan dan diakhiri dengan sistematika penulisan skripsi.

BAB II : DAMPAK PENCEMARAN LINTAS BATAS LINGKUNGAN LAUT AKIBAT TUMPAHAN MINYAK

Pada bab ini penulis terlebih dahulu menjelaskan pengertian serta batasan pencemaran lingkungan laut yang kemudian dilanjutkan sejarah perkembangan hukum pencemaran laut yang bersifat lintas serta pengaruh dan dampak lingkungan yang disebabkan oleh minyak terhadap lingkungan laut. BAB III : PERTANGGUNGJAWABAN PTTEP AUSTRALIA

TERHADAP PENCEMARAN LINTAS BATAS OLEH MINYAK DI LAUT TIMOR MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

Dalam bab ini diuraikan tentang bagaimana tanggung jawab suatu negara jika melakukan pencemaran yang merugikan lingkungan laut negara lain sesuai dengan hukum internasional yang berlaku.


(25)

BAB IV : ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAN MEKANISME GANTI RUGI PENCEMARAN LINTAS BATAS DI LAUT TIMOR

Bab ini membahas mengenai bagaimana bentuk penanganan terhadap percemaran yang telah terjadi di Laut Timor, bagaimana suatu negara menuntut ganti rugi dan bagaimana bentuk penyelesaian sengketanya.

BAB V : PENUTUP

Pada bab ini merupakan bagian akhir dari tulisan ini yang memuat kesimpulan yang merangkum keseluruhan dari pembahasan-pembahasan yang terdahulu, serta beberapa saran-saran untuk menyempurnakan pelaksanaan dari penyelesaian masalah pencemaran laut tersebut.


(26)

BAB II

DAMPAK PENCEMARAN LINTAS BATAS LINGKUNGAN LAUT AKIBAT TUMPAHAN MINYAK

A. Pengertian Dan Batasan Pencemaran Lingkungan Laut

Pada dasarnya laut secara alamiah mempunyai kemampuan untuk menetralisir zat pencemar yang masuk ke dalamnya, akan tetapi bila zat yang masuk tersebut melampaui batas kemampuan laut untuk menetralisir dan telah melampaui ambang batas, maka kondisi ini mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan laut.

Undang-undang nomor 4 tahun 1982 pada pasal 1 ayat 7 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup memberikan pengertian yang lebih konkrit dan luas mengenai pencemaran lingkungan yaitu :

“Pencemaran lingkungan adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain kedalam lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai ketingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai peruntukannya.”18

Menurut Munadjat Danusaputro yang dimaksud dengan pencemaran (Pollution) itu adalah suatu keadaan, dalam mana suatu zat dan/atau energi diintroduksikan ke dalam suatu lingkungan oleh proses alam sendiri dalam konsentrasi sedemikian rupa, hingga menyebabkan terjadinya perubahan dalam

      

18

  Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 1 Ayat (7).


(27)

keadaan termaksud yang mengakibatkan lingkungan itu tidak berfungsi seperti semula dalam arti kesehatan, kesejahteraan (comfort) dan keselamatan hayati.19

Undang-undang No. 23 tahun 1997 tentang ketentuan-ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup memberikan pengertian pencemaran secara umum sebagai berikut :

“Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup,zat atau komponen lainnya kedalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ketingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukkannya”20

Pengertian dari pencemaran lingkungan, pada prinsipnya sama dengan pengertian dari pencemaran laut. Karena laut adalah juga merupakan bagian integral lingkungan hidup. Oleh sebab itu apabila disebut pencemaran laut maka hal tersebut berarti pencemaran lingkungan, dalam hal ini pencemaran lingkungan laut.

Adapun yang dimaksud dengan pencemaran lingkungan laut, terdapat beberapa batasan yang menarik dikemukakan. Disebut menarik karena terdapat perbedaan terhadap pengertian pencemaran laut itu sendiri.

Menurut sidang para menteri OECD (Organization for Economic Coorporation and Development), 13-14 November 1874 pencemaran laut yaitu :

      

19

  Munadjad Danusaputro, Hukum Pencemaran Dan Usaha Merintis Pola Pembangunan

Hukum Oencemaran Nusantara (Bandung, Litera, 1979), hal.92 20


(28)

“Pollution is introduction by man directly or indirectly of substansces or energy in to the environtment, resulting in deleterious effects of such a nature as to endangerous human health, harm living resources and ecosystem and impair or interfere with aminities and other legitimate of the environment.”21

Berdasarkan pengertian ini, pencemaran laut terjadi apabila dimasukkannya oleh manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung, sesuatu benda, zat atau energi ke dalam lingkungan laut, sehingga menimbulkan akibat sedemikian rupa kepada alam dan membahayakan kesehatan serta kehidupan manusia dan ekosistem serta merugikan lingkungan yang baik dan fungsi laut sebagaimana mestinya.

Sementara menurut IMCO (Inter Govermental Maritime Consultative Organization), memberikan batasan pencemaran laut sebagai berikut :

“Marine pollution has been defined as the “introduction by man, directly

or indirectly of substances or energy into the maritime environment (including estuaries) hazard to human health. Hindrance to marine activities, including fishing, impairment quality of sea water and reduction of aminities.”

Sedangkan Mochtar Kusumaatmadja berpendapat, bahwa pencemaran laut adalah perubahan pada lingkungan laut yang terjadi akibat dimasukkannya oleh manusia secara langsung maupun tidak bahan atau energi ke dalam laut (termasuk muara sungai) yang menghasilkan akibat buruk terhadap kekayaan hayati kesehatan manusia, sehingga mengganggu kegiatan di laut termasuk perikanan dan lain-lain, penggunaan laut yang wajar serta pemburukan kualitas air laut dan kualitas tempat pemukiman dan rekreasi.22

      

21

  Munadjad Danusaputro, Op.Cit., hal. 9

22

  Mochtar Kusumaadmadja, Pencemaran Laut dan Pengaturan Hukumnya (Bandung, Padjajaran, 1983), hal.8


(29)

Apabila diperhatikan pendapat diatas, maka akan terlihat adanya kesatuan pandangan mengenai penyebab umum pencemaran laut. Penyebab timbulnya keadaan tersebut adalah karena perbuatan manusia. Sedangkan segala aktifitas alam seperti letusan gunung, gempa, erosi dan sebagainya tidak disebut sebagai faktor yang dapat mencemarkan laut.

Pengertian pencemaran laut yang cukup luas dikemukakan oleh Group of Export on Scientific Aspect of Marine (GESAM)23 dalam rangka persiapan konferensi PBB mengenai lingkungan hidup manusia, yang mengemukakan sebagai berikut :

“The introduction by man, directly or indirectly, of substences or energy in

to the marine environment (including estuaries) resulting in such deleterious or harm to living resources, hazard to human health, hindrance to marine activities, including fishing, impairment of quality or use of water, and reduction of aminities.”24

(dimasukkannya oleh manusia, secara langsung ataupun tidak langsung bahan-bahan atau energi kedalam lingkungan laut (termasuk kuala) yang mengakibatkan dampak kerugian sedemikian rupa terhadap kekayaan hayati, bahaya terhadap kesehatan manusia, gangguan terhadap kegiatan manusia, gangguan terhadap kegiatan di laut termasuk perikanan, pemburukan kualitas atau penggunaan air laut dan pengurangan kenyamanan).

Pengertian yang diberikan GESAM merupakan pengertian laut yang diakibatkan oleh aktifitas manusia (introduction by man) yang menyebabkan akibat yang tidak diharapkan pada lingkungan laut berupa bahay terhadap sumber daya hayati, kesehatan manusia, menghalangi aktifitas di laut, menurunnya kualitas air laut dan mengurangi kegiatan rekreasi laut.

      

23

   GESAMP (Group of on Scientific Aspects of Marine Pollution) yang dibentuk dari IMCO, FAO, UNECO dan WMO dan bertugas untuk memberikan nasihat kepada Dewan Sponsor.

24

   UNESCO doc : sc/MD/19, 1 Juni 1970 pada annex IV, hal. 12, sebagaimana dikutip Juarir Sumardi, Op.cit, hal.27


(30)

Salah satu defenisi pencemaran laut yang cukup jelas dan maju terdapat pada konvensi hukum laut PBB tahun 1982, pada pasal 1 ayat 4 disebutkan :

“Pollution of the marine environment means the introduction by man,

directly or indirectly, of substances or energy in to the marine environment, including estuaries, wich results or is likely to result in such deleterious effect as to human health, hindrance to marine activities, including fishing and other legitimate use of the sea, impairment of quality use of sea water and reduction of aminities”

(pencemaran lingkungan laut berarti dimasukkannya oleh manusia secara langsung atau tidak langsung bahan atau energi kedalam lingkungan laut, termasuk kuala, yang mengakibatkan atau mungkin membawa akibat buruk sedemikian rupa seperti kerusakan pada kekayaan hayati laut, bahaya bagi kesehatan manusia, gangguan terhadap kegiatan di laut termasuk penangkapan ikan dan penggunaan laut yang sah lainna, menurunnya kualitas kegunaan air laut dan pengurangan kenyamanan)

Atas dasar pengertian di atas, maka ada tiga butir pokok mengenai batasan pengertian pencemaran laut. Pertama, pencemaran laut dapat terjadi karena perbuatan manusia baik sengaja maupun tidak sengaja, langsung maupun tidak langsung. Kedua, pencemaran laut dapat juga terjadi akibat aktivitas atau proses alam itu sendiri. Ketiga, baru dapat disebut pencemaran laut, apabila terjadi penurunan kualitas lingkungan laut sehingga mengganggu fungsi laut sebagai sumber kehidupan manusia dan lingkungannya.

Perkembangan lain dalam pengertian pencemaran adalah digunakannya istilah transnasional. Istilah ini pertama sekali digunakan oleh Myres Mac. Dougal dan lebih lanjut dipopulerkan oleh Philip C.Jessup. Di Indonesia istilah ini pertama sekali diperkenalkan oleh Sunaryati Hartono dalam disertasi Beliau yang berjudul “Beberapa Masalah Transnasional Dalam Penanaman Modal Asing di Indonesia” tahun 1972.


(31)

Penggunaan istilah transnasional kedalam pencemaran lingkungan selaras dengan perkembangan yang menunjukkan adanya perubahan masal dari masalah nasional menuju kearah permasalahan internasional. Dengan demikian pada pencemaran transnasional, penanggulangannya tidak hanya didasarkan secara apriori melalui penanganan nasional semata, melainkan harus mempertimbangkan aspek-aspek internasional dari pencemaran tersebut. Oleh karena itu, adanya kerjasama antara negara (terutama negara tetangga) mutlak diperlukan.

Sehubungan dengan pencemaran laut, maka Pencemaran Laut Transnasional dapat diartikan dimasukkannya oleh manusia secara langsung ataupun tidak langsung bahan atau energi ke dalam lingkungan laut, termasuk kuala, secara sedemikian rupa sehingga mengakibatkan atau mungkin membawa akibat buruk berupa kerusakan pada kekayaan hayati laut, bahaya bagi kesehatan manusia, gangguan terhadap penggunaan laut yang sah lainnya, menurunnya kualitas kegunaan air laut dan pengurangan rasa kenyamanan yang akibatnya tidak saja dirasakan di negara tempat terjadinya pencemaran tetapi juga dirasakan di wilayah yang berada di luar yurisdiksi negara tempat terjadinya pencemaran.

Dari beberapa zat pencemar yang didentifikasi dan diklasifikasikan sebagai zat pencemar, minyak bumi merupakan zat pencemar yang paling dominan dalam pencemaran laut. Bertambah besarnya ukuran kapal, bobot, kecepatan dan jumlah yang beroperasi di lautan, ditambah lagi dengan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak lepas pantai, tidak saja meningkatkan jumlah dan sumber pencemaran lingkungan laut, tetapi juga mengancam kelestarian lingkungan laut.


(32)

Selama ini tumpahan minyak di laut terus menerus meningkat dalam jumlah dan frekuensinya, sehingga mengakibatkan kerusakan terhadap sejumlah besar wilayah pesisir dan laut. Beberapa kejadian yang telah menimbulkan tumpahan minyak di laut dan memerlukan biaya pembersihan yang cukup besar antara lain adalah kecelakaan kapal Torrey Canyon di sekitar English Channel, ledakan sumur minyak di Santa Barbara, California (AS), tenggelamnya kapal Metula di Selat Magellan, tumpahan minyak di Teluk Chesapeake, Virginia (AS), tumpahan minyak yang berasal dari Argo Merchant, di sekitar Nantucket, Massachusetts (AS), tenggelamnya kapal Amoco Cadiz di sekitar pantai Brittany, Perancis, peristiwa Exxon Valdez di Alaska (AS). Tumpahan minyak yang berasal dari kapal juga banyak terjadi di perairan Selat Malaka dan Selat Singapura. Sebagian besar tumpahan minyak ini berasal dari tanker. Antara tahun 1990-1999, rata-rata tumpahan minyak ke laut menunjukkan persentase sebagai berikut 25

1. Natural seeps : 47 %

2. Consumption activities (land-based run-off, non tanker

operational releases and spills) : 33 %

3. Tanker spills : 8 %

4. Other (atmospheric deposition and jettisoned aircraft fuel) : 5 %

      

25

National Research Council, Oil in The Sea III: Inputs, Fates and Effects, National Academies Press, Washington D.C.,2003, sebagaimana dikutip dalam Action Againts Oil


(33)

5. Transportation (cargo washings, coastal facility and

pipeline spills) : 4 %

6. Extraction (platforms and produced water) : 3 %

Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi kelautan yang dicapai dewasa ini, mengakibatkan pemanfaatan laut tidak hanya terbatas pada usaha-usaha di bidang perikanan dan pelayaran saja, tetapi juga sebagai sumber kekayaan alam khususnya minyak dan gas bumi yang dapat dikuasai dengan teknologi instalasi dan bangunan lepas pantai.26

Teknologi instansi sangat terasa manfaatnya bagi industri minyak lepas pantai yang dapat beroperasi pada bagian-bagian laut yang makin dalam.27 Kekhawatiran semakin berkurangnya kekayaan alam telah menyebabkan peningkatan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi secara ekstensif dan hingga mencapai bagian laut dalam yang hanya dapat dilakukan dengan teknologi canggih. Karena teknologi instalasi bangunan lepas pantai semakin maju, maka semakin meningkat pula kegiatan ekonomi dan penggunaan laut lainnya, seperti pembangunan dan penggunaan instalasi lepas pantai bagi keperluan eksplorasi dan eksploitasi.28

      

26

   Mochtar Kusumaatmadja, Bunga Rampai Hukum Laut, (Bandung, Binacipta, 1978), hal.174

27

    Daud Silalahi, Pengaturan Hukum Lingkungan Laut Indonesia dan Beberapa

Implikasinya Secara Regional, Suatu Disertasi Unibersitas Padjadjaran, (Bandung, 1988), hal.315 28

   Marcel Hendrapaty dkk,”Pengaturan Hukum Internasional Mengenai Pemindahan

Instalasi Lepas Pantai Serta Implementasinya Di Indonesia” (Ujung Pandang, Lembaga Penelitian


(34)

Usaha eksplorasi dan eksploitasi sumber daya minyak dan gas melalui industri lepas pantai disadari ataupun tidak telah memberikan pengaruh terhadap tata lingkungan laut yang ada disekitarnya. Bocornya instalasi yang mengakibatkan minyak merembes ke luar lingkungan laut, tumpahnya minyak karena proses pengoperasian industri, serta kecelakaan-kecelakaan yang terjadi terhadap industri lepas pantai ini, telah membawa pengaruh pula bagi perkembangan hukum baik dalam skala global maupun nasional.29

B.Sejarah Perkembangan Hukum Pencemaran Laut yang Bersifat Lintas Batas

1. Periode 1954 Sampai 1971

Masalah pencemaran laut diatur secara hukum internasional pertama kali pada tahun 1954.30 Ketentuan internasional yang mengatur masalah pencemaran laut pada periode ini masih berada dalam kerangka hukum internasional yang tradisional.31

Periode ini dimulai dengan terbentuknya konvensi internasional pertama mengenai pencemaran laut, yaitu the International Convention for the

Prevention of the Sea by Oil yang ditanda tangani di London pada tahun 1954

      

29

  Juarir Sumardi, Op.cit., hal.117

30

  Timagenis, International Control of Marine Pollution (Netherlands, Eceana Publication, 1980), hal, 4

31


(35)

yang melarang pembuangan minyak dan campurannya secara sengaja dari kapal tertentu dan pada kawasan tertentu pula.

Konvensi tahun 1954 ini mengharuskan dibawanya Oil Record Book oleh kapal yang telah diregistrasi oleh suatu negara.32 Disamping itu, Konvensi tahun 1954 ini juga mengatur :

a. Kapal-kapal yang diregistrasikan pada negara-negara peserta harus dilengkapi dengan alat yang berguna untuk menghindarkan terjadinya pencemaran;

b. Dalam jangka waktu tiga tahun setelah konvensi berlaku maka pelabuhan-pelabuhan utama negara-negara peserta harus telah dilengkapi dengan fasilitas penampungan untuk pembuangan bahan-bahan yang mengandung minyak;

c. Oil Record Book dapat sewaktu-waktu diperiksa oleh pihak yang

berwenang dari negara-negara di wilayah pelabuhannya.

Instrumen hukum internasional selanjutnya dari periode ini adalah dilaksanakannya suatu konferensi hukum internasional mengenai kerugian yang disebabkan oleh pencemaran laut, yang diselenggarakan di Brussel pada bulan November 1969 dan telah menghasilkan lebih dari dua konvensi mengenai pencemaran laut. Satu dari konvensi tersebut adalah “the Internastional

Convention Relating to Intervention on the High Seas in Cases of Oil Pollution Casualities”. Menurut konvensi ini negara pantai mempunyai hak untuk

      

32

   Oil Record Book yang disyaratkan tersebut bertujuan untuk mencatat setiap buangan minyak oleh kapal-kapal saat melakukan pelayaran.


(36)

melakukan langkah-langkah di laut lepas dalam rangka mencegah, mengurangi atau menghapuskan setiap pencemaran yang dianggap cukup berbahaya bagi negara pantai.

Konvensi kedua yang dihasilkan dari pertemuan di Brussel 1969 tersebut, pada tahun 1971 di Brussel telah dibentuk “the International Convention on the

Establishment of an International Fund for Oil Pollution Damage”,33 dimana konvensi ini dipersiapkan untuk mengatur masalah tanggung jawab mutlak (strict liability) bagi para pemilik kapal tanker yang karena kecelakaan mengakibatkan pencemaran, termasuk di laut wilayah suatu negara.

Periode tahun 1954 sampai 1971, terlihat pula adanya pembentukan persetujuan antar negara yang sifatnya hanya ditujukan pada kawasan tertentu (persetujuan regional). Persetujuan regional tersebut antara lain “the Agreement

for Co-operation in dealing with Pollution of the North Sea by Oil” (the Bonn Agreement) tahun 1969.34 Juga tahun 1971 dibentuk “the Agreement between

Denmark, Finland, Norway and Sweden concerning Co-operation in Measure the deal with Pollution of the Sea by Oil”. Kedua persetujuan ini hanya mengatur

pencemaran laut yang disebabkan oleh minyak.

Periode 1954 sampi 1971 juga telah menghasilkan sejumlah konvensi yang berkaitan dengan pencemaran yang disebabkan oleh bahan radioaktif, antara lain pada tahun 1960 telah dibentuk “the Convention on Third Party Liability in the

      

33

  Timagenis, Op.cit., hal.6

34


(37)

Field of Nuclear Energy” yang dibentuk di Paris. Pada tahun 1962 juga telah

dibentuk “the Convention on the Liability of Operators of Nuclear Ships”, yang ditanda tangani di Brussel. Pada tahun 1063 dibentuk “the Convention on Civil

Liability for Nuclear Damage” di Wina dan akhirnya tahun 1971 dibentuk “the International Convention to Civil Liability in Field of Maritime Carriage of Nuclear Materials”, yang ditanda tangani di Brussel.35

Seluruh konvensi yang dibentuk sejak tahun 1954 sampai 1971 yang bertujuan untuk keselamatan pelayaran di Laut dan merupakan ketentuan yang mempunyai kaitan dengan masalah perlindungan lingkungan laut.36

2. Periode tahun 1972 sampai 1982

Pada periode ini sejumlah konvensi atau instrument hukum internasional mengenai lingkungan dan perlindungan serta pelestariannya telah dibentuk. Bahkan perkembangan ketentuan internasional mengenai lingkungan pada kurun waktu 1972 sampai 1982 sangatlah pesat, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin spektakuler.

Pada bulan Juni 1972 di Stockholm dilaksanakan suatu konferensi PBB mengenai Lingkungan Manusia. Dalam konferensi tersebut telah diterima suatu deklarasi yaitu “Deklaration of Human Environment” dimana masalah pencemaran laut mendapat perhatian yang cukup serius, serta resolusi mengenai kelembagaan dan susunan keuangan yang di bentuk oleh Majelis Umum PBB dari

      

35

  Ibid., hal. 7.

36


(38)

program lingkungan yang disebut “United Nations Environment Programme (UNEP)”.

Berdasarkan rekomendasi-rekomendasi dari konferensi Stockholm tersebut maka pada 30 Oktober sampai 13 November 1972 dilaksanakan suatu konferensi antar pemerintah dan konferensi tersebut menghasilkan “Convention on the

Prevention of Marine Pollution by Dumping of Wastes and other Matter” yang

lebih dikenal dengan nama “London Convention on Dumping” karena diselenggarakan di London.37

Pada periode 1972 sampai 1982 sejumlah persetujuan-persetujuan regional juga telah dibentuk. Persetujuan-persetujuan tersebut antara lain adalah : “the

Convention for the Prevention of Marine Pollution from Land Based Sources”

yang ditanda tangani pada tanggal 4 juni 1974 dan lebih dikenal dengan nama “the

Paris Convention on Land Based Pollution.38

Konvensi regional yang cukup penting adalah “the Kuwait Regional

Convention for Co-operation on the Protection of the Marine Environment from Pollution 1978” yang dibentuk oleh sejumlah negara-negara Arab. Konvensi ini

hanya dilengkapi oleh satu protocol yaitu : “the Protocol Concerning Regional

Co-operation in Combating Pollution by Oil and Other Harmful Substances in Cases of Emergency”.39

      

37

  Juarir Sumardi., Op.cit., hal.49

38

  Ibid., hal. 50

39


(39)

Akhirnya “the Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage Resulting from Exploration and Exploitation of Seabed Mine-Resources” di

negosiasikan oleh sejumlah besar negara-negara Eropa bagian Utara, dimana negosiasi tersebut diselenggarakan di London pada tanggal 13 sampai 17 Desember 1976, dan persetujuan tersebut dibuka untuk ditandatangani pada tanggal 1 Mei 1977.

Konvensi Hukum Laut PBB tahun 1982 merupakan puncak dari perkembangan hukum pencemaran yang bersifat lintas batas dalam periode 1972 sampai 1982. Setelah melalui perundingan kurang lebih 9 tahun, konferensi telah berhasil mengesahkan suatu naskah konvensi hukum laut yang baru dengan 130 suara mendukung, 4 suara menentang dan 17 negara abstain. Kemudian pada tanggal 11 Desember 1982, setelah mendengarkan pernyataan-pernyataan dari negara-negara peserta, konferensi membuka kesempatan untuk penandatanganan naskah konvensi sejumlah hukum laut yang baru di Montego Bay, Jamaika. Pada waktu itu ada sejumlah 119 negara termasuk Indonesia yang menandatanganinya, termasuk ketentuan-ketentuan penutup.40

C.Dampak Pencemaran Lingkungan di Laut Timor akibat Tumpahan Minyak Mentah

Sejalan dengan kemajuan pengetahuan dan teknologi, kemudahan yang diperoleh manusia untuk mencapai suatu tujuan dengan melalui lautan dapat juga

      

40

   Syahmin A.K, Beberapa Perkembangan dan Masalah Hukum Laut Internasional (Bandung, Binacipta, 1988), hal.6


(40)

menimbulkan akibat-akibat yang merugikan lingkungan hidup di laut. Kenyataan itu bukan hanya disebabkan karena pelayaran oleh kapal-kapal yang semakin banyak tetapi juga kapal-kapal yang berlayar tersebut kurang memperhatikan aspek pencemaran yang diakibatkannya. Selain itu, kenyataan tersebut juga disebabkan karena pencemaran yang terjadi akibat eksplorasi dan eksploitasi minyak di lautan.

Dengan terjadinya tumpahan minyak di laut maka menimbulkan akibat langsung atau seketika maupun tidak langsung. Sebagai akibat langsung dari pencemaran itu adalah :

1. Di bidang perikanan, hilangnya kesempatan nelayan untuk menangkap ikan.

2. Rusaknya pertanian dan peternakan di laut, seperti pengambilan rumput laut dan ganggang laut, peternakan kerang, ikan, udang dan lain sebagainya.

3. Matinya burung-burung laut terutama camar laut dan sebangsa bebek yang keracunan akibat makanan.

4. Matinya binatang-binatang laut seperti elephansteal, singa laut dan binatang-binatang lainnya.

Sedangkan akibat tidak langsung dari pencemaran laut tersebut adalah dalam hubungannya dengan ekologi. Terjadinya penurunan terhadap kualitas air laut dan lingkungan yang berlangsung terus menerus tanpa disadari.


(41)

Laut Timor adalah perpanjangan Samudera Hindia yang terletak antara pulau Timor, kini terbagi antara Indonesia dan Timtim, dan Northen Territory Australia. Di timur berbatasan dengan Laut Arafuru, secara teknis perpanjangan Samudera Pasifik. Laut Timor Sea memiliki 2 teluk kecil di pesisir Australia Utara, Teluk Joseph Bonaparte dan Teluk Van Diemen. Kota Australia Darwin ialah satu-satunya kota besar yang terletak di tepi laut adjoin.41

Laut ini memiliki luas 480 km (300 mil), meliputi daerah sekitar 610.000 km persegi (235.000 mil persegi). Titik terdalamnya ialah Palung Timor di utara laut ini, yang mencapai kedalaman 3.300 m (10.800 kaki). Bagian lainnya lebih dangkal, dengan rata-rata kedalaman yang kurang dari 200 m (650 kaki). Merupakan tempat utama untuk badai tropis dan topan.

Sejumlah pulau terletak di laut ini, termasuk Pulau Melville di laut lepas pantai Australia dan Kepulauan Ashmore dan Cartier yang diperintah Australia. Diperkirakan penduduk asli Australia mencapai Australia dengan “loncatan pulau” menyeberangi Laut Timor.

Di dasar Laut Timor terdapat cadangan minyak dan gas dalam jumlah besar. Australia dan Timor Timur telah mengalami pertentangan panjang atas hak eksploitasi di daerah yang terkenal sebagai Celah Timor. Klaim wilayah Australia meluas ke sumbu batimetrik (garis kedalaman punggung laut terbesar) di Palung Timor. Ini melengkapi klaim territorial Timor Timur, yang mengikuti bekas

      

41

  Wikipedia, “Laut Timor”, sebagaimana dimuat dalam,

http://id.wikipedia.org/wiki/LautTimor, diakses pada tanggal 28 Februari 2011.


(42)

koloninya Portugal dalam mengklaim bahwa garis yang membagi itu harus ditengah-tengah kedua negara.

Sekitar dua tahun yang lalu, masalah pencemaran laut akibat tumpahan minyak kembali terulang dalam perairan wilayah Indonesia. Tepatnya pada tanggal 21 Agustus 2009 sumur minyak Montara yang bersumber dari Ladang Montara (The Montara Well Head Platform) di Blok “West Atlas Laut Timor” perairan Australia bocor dan menumpahkan minyak jenis light crude oil, dengan kandungan sulfur 0,5% hydrogen sulfide dan carbon dioxide, lebih rendah dari kandungan sulfur dalam sour crude oil. Kandungan tersebut sangat berbahaya bagi kehidupan keragaman hayati laut, terutama jika terdampar dipesisir. Ladang minyak Montara dioperasikan oleh PTT Public Company Limited (PTT PCL atau PTT). 42

Tumpahan minyak tersebut meluas hingga perairan Celah Timor (Timor Gap) yang merupakan perairan perbatasan antara Indonesia, Australia dan Timor Leste. Luas efek cemaran tumpahan minyak dari sumur yang terletak di Blok Atlas Barat Laut Timor tersebut sekitar 75% masuk wilayah Indonesia, merugikan nelayan di Nusa Tenggara Timur, khususnya di perairan Rote Ndao.43

      

42

  PTT merupakan perusahaan milik negara Thailand, yang semula bernama The Petroleum Authority of Thailand, yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang gas dan minyak. PTT merupakan afiliasi dari PTT Eksploration and Production, PTT Chemicals, PTT Aromatics dan Refining and PTT Green Energy. PTT merupakan perusahaan kelas dunia yang masuk kedalam 500 perusahaan Fortune Global dan berada pada renking 118 dalam 500 perusahaan tersebut.

43

   Dari berbagai sumber: Wikipedia (06/11/2010, 01:23); Tribunenews.Com, Kupang; upstreamonline.com, Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) (06/11/2010, 01:23). Masing-masing sumber menyajikan data yang berbeda-beda.


(43)

Dampak tumpahan minyak mentah terhadap Perairan Indonesia akibat pencemaran di Laut Timor menimbulkan beberapa hal, yakni :

a. Kerusakan Ekosistem Laut yang ada di Perairan Laut Indonesia

b. Tumpahan minyak yang memasuki wilayah perairan Indonesia dari 30 Agustus s/d 3 Oktober 2009 seluas 16.420 km2.

c. Adanya penurunan pendapatan nelayan dan petani rumput laut di sekitar pulau Timor dan Rote yang diakibatkan menurunnya jumlah tangkapan ikan dan kegagalan panen rumput laut.

Air laut adalah suatu komponen yang berinteraksi dengan lingkungan daratan, dimana buangan limbah dari daratan akan bermuara ke laut. Selain itu air laut juga sebagai tempat penerimaan polutan (bahan cemar) yang jatuh dari atmosfir. Limbah tersebut yang mengandung polutan kemudian masuk ke dalam ekosistem perairan pantai dan laut. Sebagian larut dalam air, sebagian tenggelam ke dasar dan terkonsentrasi ke sedimen, dan sebagian masuk ke dalam jaringan tubuh organisme laut (termasuk fitoplankton, ikan, udang, cumi-cumi, kerang, rumput laut dan lain-lain). Kemudian, polutan tersebut yang masuk ke air diserap langsung oleh fitoplankton.

Fitoplankton adalah produsen dan sebagai tropik level pertama dalam rantai makanan. Kemudian fitoplankton dimakan zooplankton. Konsentrasi polutan dalam tubuh zooplankton lebih tinggi dibanding dalam tubuh fitoplankton karena zooplankton memangsa fitoplankton sebanyak-banyaknya. Fitoplankton dan zooplankton dimakan oleh ikan-ikan planktivores (pemakan plankton) sebagai tropik level kedua. Ikan planktivores dimangsa ikan karnivores (pemakan ikan


(44)

atau hewan) sebagai tropik level ketiga, selanjutnya dimangsa oleh ikan predator sebagai tropik level tertinggi. Ikan predator dan ikan yang berumur panjang mengandung konsentrasi polutan dalam tubuhnya paling tinggi di antara seluruh organism laut. Kerang juga mengandung logam berat yang tinggi karena cara makannya dengan menyaring air masuk ke dalam insangnya setiap saat dan fitoplankton ikut tertelan.

Polutan ikut masuk ke dalam tubuhnya dan terakumulasi terus-menerus dan bahkan bisa melebihi konsentrasi yang di air. Polutan tersebut mengikuti rantai makanan mulai dari fitoplankton sampai ikan predator dan pada akhirnya sampai ke manusia. Bila polutan ini berada dalam jaringan tubuh organisme laut tersebut dalam konsentrasi yang tinggi, kemudian dijadikan sebagai bahan makanan maka akan berbahaya bagi kesehatan manusia. Karena kesehatan manusia sangat dipengaruhi oleh makanan yang dimakan. Makanan yang berasal dari daerah yang tercemar kemungkinan besar juga tercemar. Demikian juga makanan laut (seafood) yang berasal dari pantai dan laut yang tercemar juga mengandung bahan polutan yang tinggi. Salah satu polutan yang paling berbahaya bagi kesehatan manusia adalah logam berat.

Pada waktu minyak yang terkilang tinggi tumpah dipermukaan air bersih, minyak tersebut akan membentuk lensa yang tebalnya bergantung dari jenis minyak. Kecepatan penyebaran akan bergantung pada suhu udara dan laut, angin dan arus laut serta jenis minyak.


(45)

Komponen minyak yang tidak dapat larut di dalam air akan mengapung yang menyebabkan air laut berwarna hitam. Beberapa komponen minyak tenggelam dan terakumulasi di dalam sedimen sebagai deposit hitam pada pasir dan batuan-batuan di pantai. Komponen hidrokarbon yang bersifat toksin berpengaruh pada reproduksi, perkembangan, pertumbuhan dan perilaku biota laut terutama pada plankton bahkan dapat mematikan ikan dengan sendirinya dapat menurunkan produksi ikan. Proses emulfikasi merupakan sumber mortalitas bagi organism, terutama pada telur, larva dan perkembangan embrio karena pada tahap ini sangat rentan pada lingkungan tercemar, akibatnya terjadi pencemaran minyak yang dapat digolongkan menjadi 2 bagian yaitu :

- Akibat jangka pendek. Molekul hidrokarbon minyak dapat merusak membrane sel biota laut, mengakibatkan keluarnya cairan sel dan berpenetrasinya bahan tersebut kedalam sel. Berbagai jenis udang dan ikan akan beraroma dan berbau minyak, sehingga menurun mutunya oksigen, keracunan karbon dioksida dan keracunan langsung oleh bahan berbahaya.

- Akibat jangka panjang. Lebih banyak mengancam biota muda. Minyak dalam laut dapat termakan oleh biota laut, sebagian senyawa minyak dapat dikeluarkan bersama-sama makanan, sedang sebagian lagi dapat terakumulasi dalam senyawa lemak dan protein. Sifat akumulasi ini dapat dipindahkan dari organisma satu ke organisma yang lainnya melalui rantai makanan. Akumulasi minyak didalam zooplankton dapat berpindah ke ikan pemangsanya. Demikian seterusnya bila ikan yang lebih kecil dimakan oleh ikan yang lebih besar, hewan-hewan laut lainnya atau dimakan oleh manusia.


(46)

Di air laut yang bersih, minyak dapat menyebar dengan cepat menjadi pola-pola sirkular. Misalnya 1 M minyak mentah Timur Tengah dalam 10 menit dapat menyebar menjadi lingkaran yang bergaris tengah 48 M dengan ketebalan rata-rata 0,5 mm dan dalam 100 menit lingkaran ini membesar sehingga bergaris tengah 100 M dengan ketebalan rata-rata 100 mm.44 Secara tidak langsung, pencemaran laut akibat minyak mentah dengan susunannya yang sangat kompleks dapat membinasakan kekayaan laut dan mengganggu kesuburan lumpur di atas laut. Ikan yang hidup disekitar laut akan tercemar atau mati dan banyak pula yang berimigrasi ke daerah lain.

Minyak yang tergenang di atas permukaan laut akan menghalangi sinar matahari masuk sampai ke lapisan air dimana ikan berdiam. Lapisan minyak juga akan menghalangi pertukaran gas dari atmosfer dan mengurangi kelarutan oksigen yang akhirnya sampai pada tingkat yang tidak cukup untuk mendukung bentuk kehidupan laut yang aerob. Lapisan minyak yang tergenang tersebut juga akan mempengaruhi pertumbuhan rumput laut dan tumbuhan laut lainnya jika menempel pada permukaan daunnya, karena dapat mengganggu proses metabolisme pada tumbuhan tersebut seperti respirasi, selain itu juga akan menghalangi masuknya sinar matahari ke dalam zona euphotik, sehingga rantai makanan yang berawal pada plankton akan terputus jika lapisan minyak tersebut tenggelam dan menutupi substrat selain akan mematikan organism benthos juga akan terjadi pembusukan akar pada tumbuhan yang ada di laut.

      

44


(47)

Pencemaran minyak juga akan merusak ekosistem mangrove. Minyak tersebut berpengaruh terhadap sistem pengakaran mangrove yang berfungsi dalam pertukaran CO2 dan O2, dimana akar tersebut akan tertutup minyak sehingga kadar oksigen dalam akar berkurang. Jika minyak mengendap dalam waktu yang cukup lama akan menyebabkan pembusukan pada akar mangrove yang mengakibatkan kematian pada tumbuhan mangrove tersebut. Tumpahan minyak juga aka menyebabkan kematian fauna-fauna yang hidup berasosiasi dengan hutan mangrove, seperti moluksa, kepiting, ikan , udang dan biota lainnya. Bukti-bukti dilapangan menunjukkan bahwa minyak yang terperangkap di dalam habitat berlumpur tetap mempunyai pengaruh racun selama 20 tahun setelah pencemaran terjadi.45

Ekosistem terumbu karang juga tidak akan luput dari pengaruh pencemaran minyak. Jika terjadi kontak langsung antara minyak dan terumbu karang secara langsung maka akan terjadi kematian terumbu karang secara meluas.46 Akibat jangka panjang yang paling potensial dan paling berbahaya adalah jika minyak masuk ke dalam sedimen. Burung laut merupakan komponen kehidupan pantai yang langsung dapat dilihat dan sangat terpengaruh akibat tumpahan minyak. Akibat yang paling nyata terhadap burung laut adalah terjadinya penyakit fisik. Minyak yang mengapung terutama sekali amat berbahaya bagi kehidupan burung laut yang suka berenang diatas permukaan air seperti burung camar.

      

45

  Ibid

46


(48)

Tubuh burung akan tertutup oleh minyak kemudian dalam usaha membersihkan tubuh mereka dari minyak mereka biasa akan menjilat bulu-bulunya akibat mereka meminum banyak minyak dan akhirnya meracuni diri sendiri. Disamping itu dengan minyak yang menempel pada bulu burung makan burung akan kehilangan kemampuan untuk mengisolasi temperature sekitar, sehingga mengakibatkan hilangnya panas burung tersebut, yang terjadi secara terus-menerus akan menyebabkan burung tersebut kehilangan nafsu makan dan penggunaan cadangan makanan dalam tubuhnya.

Peristiwa yang sangat besar akibatnya terhadap kehidupan burung laut adalah peristiwa pecahnya kepal tanki Torrey Canyon yang mengakibatkan matinya burung-burung laut sekitar 10.000 ekor di sepanjang pantai dan sekitar 30.000 tertutupi genangan minyak dipermukaan laut yang tercemar oleh minyak.

World Health Organization (selanjutnya disebut WHO) atau Organisasi

Kesehatan Dunia dan Food Agriculture Organization (selanjutnya disebut FAO) atau Organisasi Pangan Dunia merekomendasikan untuk tidak mengkonsumsi makanan laut yang tercemar logam berat. Logam berat telah lama dikenal sebagai suatu elemen yang mempunyai daya racun yang sangat potensial dan memiliki kemampuan terakumulasi dalam organ tubuh manusia. Bahkan tidak sedikit yang menyebabkan kematian.


(49)

BAB III

PERTANGGUNGJAWABAN PTTEP AUSTRALIA TERHADAP PENCEMARAN LINTAS BATAS OLEH MINYAK DI LAUT TIMOR

MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

A.Konsep Pertanggungjawaban Negara Menurut Hukum Internasional Sampai saat ini walaupun belum ada ketentuan yang mapan, tanggung jawab negara tetap merupakan suatu prinsip fundamental dalam hukum internasional. Dalam hal ini baru bisa dikemukakan mengenai syarat-syarat atau karakteristik tanggung jawab negara, seperti dikemukakan oleh Shaw yang dikutip oleh Huala Adolf sebagai berikut :47

1. Ada suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku antara dua negara tersebut;

2. Ada suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar kewajiban hukum internasional tersebut yang melahirkan tanggung jawab negara; dan

3. Ada kerusakan atau kerugian sebagai akibat adanya tindakan yang melanggar hukum atau kelalaian

Persyaratan-persyaratan ini kerapkali digunakan untuk menangani sengketa yang berkaitan dengan tanggung jawab negara. Misalnya dalam kasus the Spanish Zone of Morocco Claims. Hakim Huber dalam kasus ini menegaskan bahwa tanggung jawab ini merupakan konsekuensi logis dari adanya suatu hak. Hak-hak yang bersifat internasional tersangkut di dalamnya tanggung jawab Internasional.

      

47

   Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional (Jakarta, Radha Grafindo Persada, 1996) hal.174


(50)

Tanggung jawab ini melahirkan kewajiban untuk mengganti kerugian manakala suatu negara tidak memenuhi kewajibannya.48

Negara sebagai subjek hukum internasional adalah pihak yang dapat dibebani hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum internasional. Hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum internasional itu mencakup hak dan kewajiban yang di atur oleh hukum internasional material dan hukum internasional formal.49

Adapun pandangan lain dinyatakan oleh Kelsen yang menyatakan bahwa individu merupakan subjek hukum yang sesungguhnya dari hukum internasional, karena individu merupakan subjek dari segala hukum nasional maupun internasional. Hal ini bertitik tolak dari anggapan bahwa negara dijalankan dan dibentuk oleh sekumpulan individu yang terikat hukum. Namun pandangan di atas tidak bisa diberlakukan begitu saja mengingat pengaturan hukum internasional sudah mengatur mengenai hak dan kewajiban negara. Tanggung jawab secara harfiah dapat diartikan keadaan wajib menanggung segala sesuatunya jika terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan atau juga berarti hak yang berfungsi menerima pembebanan sebagai akibat sikapnya oleh pihak lain.50

Menurut Sugeng Istanto, pertanggungjawaban berarti kewajiban memberikan jawaban yang merupakan perhitungan atas semua hal yang terjadi dan kewajiban untuk memberikan pemulihan atas kerugian yang mungkin ditimbulkan. Menurut hukum internasional pertanggungjawaban negara timbul

      

48

  Huala Adolf, ibid., hal. 174-175

49

  F, Soegeng Istanto, Hukum Internasional, (Yogyakarta, UAJ, 1994) hal. 16 

50


(51)

dalam hal negara itu merugikan negara lain. Pertanggungjawaban negara dibatasi pada pertanggungjawaban atas perbuatan yang melanggar hukum internasional saja. Perbuatan suatu negara yang merugikan negara lain tetapi tidak melanggar hukum internasional tidak menimbulkan pertanggungjawaban. Misalnya perbuatan negara menolak seorang warga negara asing yang masuk ke dalam wilayah negaranya.51

Pertanggungjawaban negara atas responsibility of states mengandung kewajiban dalam bagian dari suatu negara untuk memperbaiki kerusakan yang dihasilkan sari sebuah serangan yang dilakukan dalam wilayah yurisdiksinya dan melawan anggota lainnya dari komunitas internasional.52 Prinsip bahwa setiap negara adalah berdaulat memang diakui dan dilindungi oleh hukum internasional. Oleh karena itu semua negara yang menjadi bagian dari masyarakat internasional harus menghormati dan mengetahui hal tersebut.

Namun kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara itu tidak terbatas. Artinya dalam melaksanakan hak berdaulat itu terkait di dalamnya kewajiban untuk tidak menyalahgunakan kedaulatan tersebut. Suatu negara dapat dimintai pertanggungjawaban untuk tindakan-tindakannya yang melawan hukum akibat kelalaian-kelalaiannya. Latar belakang timbulnya tanggung jawab di dalam hukum internasional adalah bahwa tidak ada satu negara pun di dunia yang dapat menikmati hak-haknya tanpa menghormati hak negara lain. Setiap perbuatan atau

      

51

  F. Sugeng Istanto, Op.cit., hal. 77

52

   Joseph.P. Haris, Introduction to the Law of Nations, McGraw Hill SeriesInc (New York-Toronto-London, 1935), hal. 133


(52)

kelalaian terhadap hak negara lain, menyebabkan negara wajib untuk memperbaiki pelanggaran hak tersebut.

Ketentuan hukum internasional yang mengatur masalah tanggung jawab negara hingga kini belum ada yang mapan, dan terus mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan zaman. Para ahli hukum internasional mengakui bahwa tanggung jawab negara merupakan suatu prinsip fundamental hukum internasional.53 International Law Commision (ILC) merupakan sebuah badan PBB yang bertugas mengurusi dan membahas draft tentang ketentuan tanggung jawab negara. Walaupun masih dalam bentuk draft tetapi karena disusun oleh para ahli hukum terkemuka yang mewakili berbagai kebudayaan terpenting di dunia dan mempunyai nilai tinggi serta tergabung dalam panitia hukum internasional, seperti yang tergabung dalam kepanitiaan penyusunan draft tentang tanggung jawab negara di dalam ILC, maka ketentuan tanggung jawab negara ini dapat digunakan sebagai sumber tambahan di dalam hukum internasional.54

Menurut Sharon Wiliiams, ada empat kriteria yang dapat digunakan untuk menetapkan adanya pertanggungjawaban negara, yaitu :55

1. Subjective fault criteria 2. Objective fault criteria

      

53

  M.N. Shaw, International Law (Butterworths, 1986), hal. 466, Ian Brownlie, Principles

of Public International Law, (1978), hal. 431, seperti yang dikutip oleh Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional (Jakarta, Radja Grafindo, 1996), hal. 174

54

  Mochtar Kusumaatmadja, op.cit., hal. 143

55

  Sharon Williams, Public International Governing Trans-boundary Pollution (University of Queensland L.J, 1984), hal. 114-118, dikutip oleh Marsudi Triatmodjo, ibid, hal. 177


(53)

3. Strict Liability 4. Absolute Liability

Subjective fault criteria menentukan arti pentingnya kesalahan, baik dolus

maupun culpa si pelaku untuk menetapkan adanya pertanggungjawaban negara. Dalam konsep objective fault criteria ditentukan adanya pertanggungjawaban negara yang timbul dari adanya suatu pelanggaran terhadap suatu kewajiban internasional. Jika suatu negara dapat menunjukkan adanya force majeure atau adanya tindakan pihak ketiga, negara yang bersangkutan dapat dibebaskan dari pertanggungjawaban tersebut.

Konsep strict liability membebani negara dengan pertanggungjawaban terhadap perbuatan atau tidak berbuat yang terjadi di wilayahnya yang menimbulkan pencemaran dan mengakibatkan kerugian di wilayah negara lain, meskipun berbagai persyaratan pencegahan pencemaran telah diterapkan. Dalam konsep ini acts of God, tindakan pihak ketiga atau force majeure dapat digunakan sebagai alasan pemaaf (exculpate). Menurut konsep absolute liability tidak ada alasan pemaaf yang dapat digunakan seperti dalam strict liability, sehingga dalam konsep ini terdapat total pertanggungjawaban walaupun segala standar telah dipenuhi.56

Daud Silalahi menyatakan bahwa konsep state responsibility-liability (tanggung jawab negara atas lingkungan) dalam kerangka hukum lingkungan internasional mengacu pada pembahasan the principle of sovereignity dan the

      

56


(54)

freedom high-seas. Pelaksanaan kegiatan di dalam suatu wilayah negara terhadap

lingkungannya merupakan perwujudan kedaulatan dari suatu negara. Jika kegiatan tersebut menimbulkan kerugian bagi negara lainnya (the act injuries to another

states) maka timbullah tanggung jawab negara

Prinsip responsibility-liability dikaitkan pula dengan legal strategy, yakni upaya untuk melakukan pencegahan terhadap aktifitas dengan cara menetapkan/mengatur standar permissible injury atau ambang batas dari kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkunagn (environmental injuries) dapat pula dianggap sebagai ongkos eksternal yang timbul dari kegiatan ekonomi. Adanya kerusakan lingkungan ditetapkan berdasarkan ambang batas atau baku mutu lingkungan.57

Penetapan permisible level of injury (ambang batas kerusakan dari lingkungan) dilakukan melalui hasil putusan pengadilan internasional, atau penetapan standar perbuatan/tindakan yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan, dan melalui pelaksanaan fungsi pengaturan oleh badan-badan internasional. Sebagian besar tanggung jawab negara ini didasarkan pada ketentuan larangan injury of one state to another. Jika akibat timbul di luar wilayah suatu negara, pada wilayah yang termasuk common heritage to mankind

      

57

 Daud Silalahi, 1996, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan


(55)

(wilayah-wilayah yang merupakan warisan bersama umat manusia) maka tanggung jawab yang timbul adalah tanggung jawab internasional.58

Salah satu prinsip yang terkenal dari hukum lingkungan internasional adalah

sic utere tuo, ut alienum non laedas atau principles of good neighbourliness. Pada

intinya prinsip ini mengatakan kedaulatan wilayah suatu negara tidak boleh diganggu oleh negara lain. Hal ini patut berlaku pada saat terjadi aktifitas dalam negara yang mengganggu negara lain. Ada juga prinsip lain yakni preservation

and the protection of environment yang menegaskan bahwa tindakan-tindakan

perlu diambil untuk mencegah dampak buruk kerusakan lingkungan bagi kondisi yang baik di masa depan. Kemudian prinsip preventif yang menekankan tindakan pencegahan bagi kerusakan lingkungan.

Selanjutnya pelanggaran prinsip-prinsip ini akan membawa kepada penerapan prinsip berlakunya yakni prinsip ke 21 Deklarasi Stockholm yang menuntut negara pencemar untuk melakukan usaha perbaikan kerusakan lingkungan yang dibuatnya. Pendekatan yang sama ini bisa juga dilihat dalam artikel 2 (1) dari Konvensi ECE tentang pengendalian Dampak Lingkungan yang menyatakan setiap negara harus mengambil tindakan pencegahan untuk mengurangi dampak pencemaran lintas batas. Pada umumnya kewajiban setiap

      

58


(1)

pencemaran di lingkungan laut Indonesia, Pemerintah Indonesia sudah mempunyai dasar kekuatan hukum yang baik dan kuat.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

1. BUKU

Adolf, Huala, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional (Jakarta, Radha Grafindo Persada, 1996).

__________, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, (Jakarta, Sinar Grafika, 2004).

A.K, Syahmin, Beberapa Perkembangan dan Masalah Hukum Laut Internasional (Bandung, Binacipta, 1988).

Birnie, W. Patricia, International Law and the Environment (Oxford, 1992).

Danusaputro, Munadjad, Hukum Pencemaran Dan Usaha Merintis Pola Pembangunan Hukum Pencemaran Nusantara (Bandung, Litera, 1979). Djalal, Hasyim, Tindakan-Tindakan Lanjutan Sebagai Ratifikasi Hukum Laut

Indonesia (Jakarta, 1996).

Haris, P. Joseph, Introduction to the Law of Nations, McGraw Hill SeriesInc (New York-Toronto-London, 1935).

Hendrapaty, Marcel, Pengaturan Hukum Internasional Mengenai Pemindahan Instalasi Lepas Pantai Serta Implementasinya Di Indonesi, (Ujung Pandang, Lembaga Penelitian Unhas, 1994).

Istanto, F. Soegeng, Hukum Internasional (Yogyakarta, UAJ, 1994).

Kantaatmadja, Komar, Ganti Rugi Internasional Pencemaran Minyak di Laut (Bandung, Alumni, 1981).

Kusumaatmadja, Mochtar, Perlindungan dan Pelertarian Lingkungan Laut Dilihat dari Sudut Hukum Internasional, Regional, dan Nasional, (Jakarta,


(3)

______________________, Hukum Laut Internasional (Bandung, Bina Cipta, 1986).

______________________, Pencemaran Laut dan Pengaturan Hukumnya (Bandung, Padjajaran, 1983).

______________________, Bunga Rampai Hukum Laut (Bandung, Binacipta, 1978).

Mauna, Boer, Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global ( Bandung, Alumni, 2001).

Putra Wyasa Bagus Ida, Hukum Lingkungan Internasional Perspektif Bisnis Internasional (Bandung, Refika Aditama, 2002).

Romimohtarto, Kasjian, Pengelolaan Pemanfaatan Kekayaan Hayati dan Nabati di Perairan Indonesia (Jakarta, Seminar Hukum Nasional V, 1990).

Silalahi, Daud, Pengaturan Hukum Lingkungan Laut Indonesia dan Beberapa Implikasinya Secara Regional, Suatu Disertasi Unibersitas Padjadjaran, (Bandung, 1988).

Siregar, Arifin, Hukum Pencemaran Laut di Selat Malaka (Medan, Kelompok Studi Hukum Dan Masyarakat, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 1996).

Subagyo, P.Joko, SH. Hukum Laut Indonesia (Jakarta, Reneka Cipta, 1991). Suhaidi, Perlindungan terhadap Lingkungan Laut Dari Pencemaran Yang

Bersumber Dari Kapal (Jakarta, Pustaka Bangsa Press, 2004).

Strake, J.G, Pengantar Hukum Internasional (Jakarta, Sinar Grafika, 1999).

Sumardi, Juarir, Hukum Pencemaran Laut Transnasional (Bandung, Citra Aditya Bakti, 1996).


(4)

Timagenis, International Control of Marine Pollution (Netherlands: Eceana Publication, 1980).

Williams, Sharon, “Public International Governing Trans-boundary Pollution” (University of Queensland L.J, 1984)

2. MAKALAH

Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional, Studi Kasus Pencemaran Laut Timor (Bali, Seminar Perspektif Hukum Internasional terhadap Pencemaran Lingkungan Lintas Batas, 12 November 2010 ).

Djundjunan, AKN, Bebeb, Pencemaran Lingkungan Lintas Batas Dalam Perspektif Prosedur Penyelesaian Sengketa UNCLOS 1982 Dan Proses-Proses Mitigasi (Bali, Seminar Perspektif Hukum Internasional terhadap Pencemaran Lingkungan Lintas Batas, 12 November 2010).

Ramdan, Andri, G.W, M, Ganti Kerugian Dalam Penegakan Hukum Lingkungan Secara Perdata, Beberapa Analisis Atas Teori Pertanggungjawaban Asuransi, dan Dana Ganti Kerugian ( Jurnal Hukum Lingkungan, 1999)

3. INTERNET

Depdagri, “Presiden Pastikan Ajukan Klaim atas Kasus Montara”, sebagaimana dimuat dalam, http://www.depdagri.go.id/news/2010/07/22/presiden-pastikan-ajukan-klaim-atas-kasus-montara.

Mustoe, Simon, “Biodiversity Survey of the Montara Field Oil Leak, Survey repost prepared on behalf of the World Wildlife Fund (WWF)-Australia, Melbourne: Applied Ecology Solutions Pty Ltd., 2009”, sebagaimana dimuat dalam http://www.wwf.org.au/publications/montaraoilspillreport.pdf; Simamora, Adianto P.,”RI to Make Formal Claim in East Timor Spill”, The Jakarta Post.


(5)

NTS Alert, “Team Travels to Perth for Montara Oil Spill Negotiations”, sebagaimana dimuat dalam http://www.thejakartaglobe.com/home/team-travels-to-perth-for-montara-oil-spill-negotiation/388124; Pasandaran, Cameli, Jakarta Globe.

Okezone, “Indonesia Meminta Ganti Rugi Rp23 T ke Montara”, sebagaimana dimuat dalam, http://news.okezone.com/read/2010/11/25/337/396975/indonesia-meminta-ganti-rugi-rp23-t-ke-montara.

Okezone, “DP Ganti Rugi Pencemaran Laut Timor USD 5 Juta”, sebagaimana dimuat dalam, http://economy.okezone.com/read/2010/07/27/320/356991/320/dp-ganti-rugi-pencemaran-laut-timor-usd5-juta.

Siwi Tri Puji, “Australia umumkan rekomendasi soal Pencemaran Laut Timor”,

sebagaimana dimuat dalam

http://www.republika.co.id/berita/breakingnews/australia-umukan-rekomendasi-soal-pencemaran-laut-timor.

Surjono, “Akankah Pencemaran Di Laut Timor Diselesaikan”, sebagaimana

dimuat dalam,

http://www.metronews.com/read/analisdetail/2010/11/26/111/Akankah-Pencemaran-Laut-Timor-Diselesaikan.

Tanoni, Ferdi, “Autralia Langgar UNCLOS 1982 terkait pencemaran Laut

Timor”, sebagaimana dimuat dalam


(6)

Walhi, ”Pernyataan Sikap Walhi Laut Timor”, sebagaimana dimuat dalam http://www.walhi.or.id/in/kampanye/pesisir-dan-laut/149-siaran -pers/1703-pernyataan-sikap-walhi-nusa-tenggara-timur.

Watu, Wilvridus, “MoU Ganti Rugi Pencemaran Laut Timor Ditunda”,

sebagaimana dimuat dalam,

http://www.nttonlinenews.com/read/analisdetail/2011/08/03/mou-ganti-rugi-pencemaran-laut-timor-ditunda

Wikipedia, “Laut Timor”, sebagaimana dimuat dalam, http://id.wikipedia.org/wiki/LautTimor.

Winarto, Yudho, “Pemerintah Kembali Tegaskan Penyelesaian Kasus Montara”,

sebagaimana dimuat dalam,


Dokumen yang terkait

Tinjauan Hukum Internasional Tentang Akibat Hukum Suksesi Negara Timor Leste Terhadap Negara Indonesia

36 251 84

Pencemaran Lintas Batas Akibat Kebakaran Hutan: Suatu Perspektif Dari Ekologi Dan Hukum Lingkungan Internasional

2 69 89

PERLINDUNGAN LINGKUNGAN LAUT SELAT MALAKA DARI PENCEMARAN MINYAK LINTAS BATAS

1 11 19

PENGATURAN TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH AUSTRALIA TERHADAP PENCEMARAN LAUT LINTAS BATAS SEBAGAI AKIBAT SEABED OIL MINING YANG MERUGIKAN INDONESIA (STUDI KASUS PENCEMARAN LINTAS BATAS OLEH PT. T. EXPLORATION AND PRODUCTION AUSTRALASIA).

0 4 14

PENDAHULUAN PENGATURAN TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH AUSTRALIA TERHADAP PENCEMARAN LAUT LINTAS BATAS SEBAGAI AKIBAT SEABED OIL MINING YANG MERUGIKAN INDONESIA (STUDI KASUS PENCEMARAN LINTAS BATAS OLEH PT. T. EXPLORATION AND PRODUCTION AUSTRALASIA).

0 2 19

TANGGUNG JAWAB JEPANG TERHADAP PENCEMARAN LINGKUNGAN LAUT LINTAS BATAS AKIBAT BOCORNYA REAKTOR NUKLIR FUKUSHIMA PADA GEMPA DAN TSUNAMI JEPANG 2011 DALAM PERSPEKTIF HUKUM LINGKUNGAN INTERNASIONAL.

1 1 15

Pertanggungjawaban Indonesia Atas Pencemaran Lintas Batas Negara Akibat Kebakaran Hutan Dalam Perspektif Hukum Lingkungan Internasional.

0 0 19

TANGGUNG JAWAB AUSTRALIA ATAS PENCEMARAN LAUT OLEH MINYAK DARI KILANG MINYAK MONTARA MENURUT HUKUM INTERNASIONAL.

0 0 2

Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab Negara Terhadap Pencemaran Udara Lintas Batas Menurut Hukum Internasional ; Studi Kasus Asean.

0 0 1

Tinjauan Yuridis Atas Pencemaran di Laut Timor Berdasarkan Hukum Internasional

0 0 95