2.3.1 Asal usul Warga Panti
Panti Asuhan Karya Murni, yang secara geografis berada di kota Medan, Provinsi Sumatera Utara ini, jika ditelusuri dari aspek daerah, berada di kawasan suku batak. Yang
antara lain batak toba, Karo, Simalungun, Nias, Pakpak, dll. Sesuai dengan letak tempat tinggal ini maka pada umumnya anak-anak Panti Asuhan Karya Murni berasal dari
daerah daerah - tersebut di atas. Namun demikian ada juga suku lain di luar batak, seperti halnya suku Jawa, dan China.
Panti Asuhan Karya Murni menerima siapa saja anak tunanetra yang diantar dengan tujuan untuk menerima pembinaan dan pendidikan. Tidak membatasi penerimaan
baik dari segi ekonomi, bahasa, daerah, suku, agama, dan lainnya. Panti Asuhan Karya Murni terbuka untuk semua orang yang datang dan tinggal di panti dengan kategori anak
tersebut memiliki cacat netra. Hingga saat ini warga panti asuhan Karya Murni berasal dari berbagai daerah dan suku. Melihat buku induk registrasi anak-anak panti ini, mereka
berasal dari beberapa daerah dan suku, yang di antaranya adalah batak toba, karo, Simalungun, Nias, Pakpak China dan Jawa.dari seluruh anak panti ini.
2.3.2 Bahasa Warga Panti
Sehubungan dengan keterangan di atas yang menyatakan bahwa anak-anak panti berasal dari daerah yang berbeda-beda, maka sudah tentu bahasa bawaan mereka
beraneka ragam sesuai dengan bahasa ibu di daerah asal masing-masing. Walaupun mereka datang dengan bahasa masing masing, namun setelah berada di panti, mereka
diajari untuk mampu berbahasa Indonesia yang benar. Maka bahasa persatuan di panti asuhan Karya Murni adalah Bahasa Idonesia sebagai bahasa negara kita, Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
2.3.3 Sumber Dana
Panti asuhan Karya Murni yang dikelola oleh Suster-suster Kongregasi Suster- suster Santo Yosef ini merupakan yayasan sosial. Karya Murni sesuai namanya memang
sebuah karya yang betul-betul murni menolong mereka yang miskin dan menderita. Anak-anak di panti ini sebagian besar berasal dari keluarga-keluarga miskin di desa-desa
di pelosok-pelosok Sumatera Utara ini, bahkan banyak diantaranya berasal dari pulau Nias. Tak heran kalau hampir sepanjang usia mereka ini, tak satupun keluarga yang
datang untuk menjenguk ataupun menanyakan kabar tentang keadaan anak-anak ini. Semua seakan tak peduli lagi. Bagaimana mungkin membebankan biaya anak anak ini
pada mereka sedangkan untuk bisa datang melepas rindu saja tidak? Maka mau tak mau dan memang itu sudah menjadi bagian pengabdian dari
suster-suster Santu Yoseph ini untuk berusaha sendiri menanggulangi semua kebutuhan- kebutuhan mereka. Atas dasar itulah mereka harus rela bersakit-sakit, pontang panting
kesana kemari untuk mencari dana, mengetuk rumah para dermawan yang berbaik hati memberikan bantuan, bahkan tak segan-segan ikut bersama anak-anak tunanetra memikul
sapu dan keset kaki serta keranjang-keranjang bunga menjajakan untuk dibeli orang yang berbelas kasih. Masuk toko keluar toko, ikut pameran, dan lain-lain. Begitulah perjuangan
mereka di awal-awal berdirinya SLB-A ini. Memasuki era tahun 1975, angin segar sudah dapat dirasakan, usaha dan
pendekatan yang telah dibangun selama ini mulai menampakkan hasil. Para donatur mulai melirik. Badan-badan sosial baik dalam maupun luar negeri mulai mengulurkan
tangan dan memberi bantuan. Karya Murni boleh bernafas lega, cita-cita untuk lebih berkembang mulai diwujudkan tanpa harus pontang-panting lagi. Hingga saat ini Karya
Murni dapat bertahan berkat dana dari para donatur, dan masih berharap pada perhatian dan bantuan dari para donatur untuk pengembangan lebih lanjut ini.
Universitas Sumatera Utara
2.3.4 Tata Harian