Potensi Pengembangan Sagu PROFIL KOMODITAS SAGU DI PALOPO

PEMERINTAH KOTA PALOPO SAGU TEKNOPARK PALOPO 2017-2021 | 9

BAB II PROFIL KOMODITAS SAGU DI PALOPO

2.1. Potensi Pengembangan Sagu

Tanaman sagu Metroxylon sp. merupakan salah satu potensi besar pangan lokal Indonesia. Sebanyak 51,3 dari 2,2 juta ha areal lahan sagu di dunia, terdapat di Indonesia. Daerah potensial penghasil sagu di Indonesia meliputi Riau, Sulawesi, Maluku dan Papua. Terdapat 90 areal sagu Indonesia berada di Papua Sumaryono, 2007. Berdasarkan data Perhimpunan Pendayagunaan Sagu Indonesia PPSI, produksi sagu nasional saat ini mencapai 400.000 ton per tahun atau baru mencapai sekitar 8 persen dari potensi sagu nasional. Sementara di Sulawesi Selatan sendiri, berdasarkan data Badan Ketahanan Pangan, terdapat sekitar 10 ribu hektar lahan yang berpotensi untuk ditanami sagu. Akan tetapi, hanya 4,1 ribu hektar lahan yang telah digunakan untuk penanaman sagu BPS, 2015. Di Kota Palopo, produksi tanaman sagu dari tahun ke tahun semakin menurun seiring berkurangnya areal tumbuh tanaman sagu. Data Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kota Palopo memperlihatkan bahwa pada tahun 2013, produksi sagu Kota Palopo mencapai 85,20 ton. Angka ini berturut-turut menurun menjadi 70,81 ton, 50,74 dan 31,24 ton pada tahun 2014, 2015 dan 2016. Sedangkan jika dilihat dari luas areal tumbuh, tanaman sagu di Kota Palopo hilang hingga 236 ha selama kurun 4 tahun terakhir. Jika melihat kecenderungan rata-rata penurunan areal tumbuh tanaman sagu di Kota Palopo ini, maka diperkirakan 6 enam tahun ke depan, tanaman sagu di Kota Palopo akan habis. PEMERINTAH KOTA PALOPO SAGU TEKNOPARK PALOPO 2017-2021 | 10 Tabel 2. Luas Areal dan Produksi Tanaman Sagu Kota Palopo No Tahun Luas Areal Ha Produksi Ton Produktifitas TonHa 1 2013 552,34 85,20 154,25 2 2014 397,24 70,81 178,25 3 2015 319,75 50,74 158,69 4 2016 316,60 31,24 98,67 Rata-rata 396,48 59,49 147,47 Sumber: Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kota Palopo 2016 Di Sulawesi Selatan sendiri pemanfaatan sagu juga telah dikenal sangat lama. Di sebagian masyarakat, khususnya pada daerah yang banyak ditemukan tumbuhan sagu seperti Luwu, makanan berbahan sagu pernah merupakan makanan utama masyarakat di daerah tersebut. Namun demikian, sejalan dengan perkembangan zaman, saat ini masyarakat telah menggunakan beras sebagai bahan pangan utama. Sementara peran sagu sebagai bahan pangan alternatif tetap tidak hilang. Bahkan di Kota Makassar yang sangat dikenal dengan keragaman kulinernya, kapurung yang merupakan makanan khas dari tanah Luwu dan berbahan utama tepung sagu, telah menjadi salah satu makanan khas dan unik yang sejajar dengan kuliner khas lainnya. Dari perspektif sejarah dan kebudayaan, sejak dahulu Tana Luwu memiliki ikatan emosional dengan tanaman sagu. Hal ini dimungkinkan karenadi sepanjang wilayah Tana Luwu hingga ke sebagian Sulawesi Tengah dan Tenggara ditumbuhi oleh banyaknya tanaman sagu sehingga masyarakatnya pada umumnya menjadikan sagu sebagai makanan pokok. Padi atau beras ketika itu menjadi makanan ekslusif bagi kalangan atas elit atau keluarga-keluarga bangsawan pembesar. Dalam catatan sejarah, keberadaaan sagu juga menjadi salah satu alasan perpindahan pusat pemerintahan Kerajaan Luwu ke Pattimang, Malangke saat ini menjadi salah satu kecamatan di wilayah pesisir Kabupaten Luwu Utara. Salah satu faktor yang mendorong pemindahan ibukota kerajaan Luwu ke Pattimang adalah PEMERINTAH KOTA PALOPO SAGU TEKNOPARK PALOPO 2017-2021 | 11 karena potensi agrikultur bagi produk sagu di daerah tersebut. Jauh sebelumnya diprediksi bahwa daerah Pattimang akan menjadi daerah kosmopolit dengan populasi penduduk yang besar. Diperkirakan pada abad XVI penduduk Pattimang mencapai 14.500 jiwa. Dengan demikian maka kebutuhan atau permintaan sagu juga besar, dan daerah Pattimang dinilai mampu menyuplai kebutuhan sagu warga ibukota Kerajaan Luwu tersebut. Dari fakta tersebut, selain menegaskan bahwa saat itu makanan pokok masyarakat Luwu adalah sagu, hal lain yang dapat menjadi perhatian adalah bahwa komoditas sagu merupakan salah satu kekayaan sumber daya alam Tana Luwu selain rotan, madu, lilin, damar dan kayu yang merupakan sumber penghasilan yang sepertinya tidak pernah habis. Sagu menjadi komoditas andalan Tana Luwu sejak zaman dahulu kala. Data Gubernur Celebes pada tahun 1888, pelabuhan Palopo mencatatkan ekspor sagu kurang lebih sebanyak 15.000 pikul. Tujuan ekspor komoditas sagu Luwu salah satunya adalah ke Singapura. Perdagangan sagu ini dilakukan oleh orang-orang Arab, Cina, Makassar dan Bugis. Selain memasok sagu, masyarakat Luwu saat itu juga mengolah bagian tanaman sagu menjadi barang kerajinan, seperti atap rumbia dan keranjang dari pelepah pohon sagu.Kebiasaan mengolah dan memiliki kekayaan sumber daya sagu di Tana Luwu juga menurunkan produk budaya berupa sambe atau alatperkakas berbentuk mirip kapak yang digunakan saat menghancurkan isi batang sagu. Kegiatan mengolah atau memproduksi tepung atau pati sagu sendiri disebut massambe. Sambe sendiri diyakini merupakan turunan dari budaya teknologi neolitik. Kemiripan tersebut dapat dilihat dari segi bentuk alu, gagang, serta cara dan model ikatan. Dari data-data tersebut, dapat disimpulkan bahwa bahwa sagu telah mewarnai kebudayaan masyarakat di Tana Luwu. Dari peranannya untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok, hingga memengaruhi aktifitas ekonomi dan bahkan politik kewilayahan.

2.2 Peluang dan Tantangan Pengembangan Sagu