Sistem Peradilan Pidana Sebagai Mekanisme Konvensional

Sinergitas Ninik Mamak dan Aparat Kepolisian dalam Menyelesaian Konflik Hukum Pidana di Sumatera Barat 2011 41 | P a g e 5. Mediator menyampaikan draf Surat Perdamaian kepada pihak-pihak yang berperkara untuk dikoreksi sesuai kemauannya. 6. Para pihak dan mediator menandatangani Surat Perdamaian di hadapan notaris untuk legalisasi. 7. Pelaksanaan isi perdamaian secara sukarela oleh para pihak. 8. Jika ada pihak yang tidak mau melaksanakan isi perdamaian yang telah ditandatangani, pihak lawan dapat minta fiat eksekusi ke Pengadilan Negari dengan mengajukan permohonan eksekusi.

B. Diskresi Polisi Police Discreation dan Pemolisian Masyarakat

Community Policing

1. Sistem Peradilan Pidana Sebagai Mekanisme Konvensional

Penyelesaian Konflik Hukum Pidana Penegakan hukum pidana berlangsung dalam sebuah mekanisme yang disebut dengan sistem peradilan pidana. Sistem Peradilan Pidana adalah sebuah sistem yang didalamnya terdapat subsistem yang saling terkait satu sama lain, yakni subsistem Kepolisian, Kejaksaan, Peradilan dan sub sistem pendukung lainnya seperti Lembaga Pemasyarakatan, Imigrasi, dan instansi lain yang terkait. 73 Sementara Mardjono Reksodiputro mengatakan bahwa Sistem Peradilan Pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan. 74 Sebagai suatu sistem seharusnya Sistem Peradilan Pidana merupakan satu kesatuan yang mempunyai misi yang sama, yaitu penegakan hukum pidana. Sebagai suatu sistem, semua sub-sistem yang terlibat di dalamnya seharusnya berada dalam satu mata rantai yang terpadu, saling mendukung serta terdapatnya suatu sinkronisasi dan koordinasi pelaksanaan tugas dan wewenang. 75 Kadri Husin mengatakan bahwa dengan menggunakan kata ”sistem” maka kita 73 Ronald Jay Allen, dkk, 2002. Comprehensive Criminal Procedure. New York: Aspen Law and Bussiness, hlm 4. 74 Mardjono Reksodiputro, 1994. Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Lembaga Kriminologi dan Pengkajian Peradilan Indonesia, hlm 5 75 Ibid, hlm 85. Sinergitas Ninik Mamak dan Aparat Kepolisian dalam Menyelesaian Konflik Hukum Pidana di Sumatera Barat 2011 42 | P a g e menyetujui untuk menggunakan pendekatan sistemik dalam melakukan manajemen administrasi peradilan pidana kita, dan ini berakibat perlunya keterpaduan dalam gerak langkah masing-masing subsistem ke arah tercapainya tujuan bersama. 76 Sementara itu Muladi mengatakan bahwa dalam Sistem Peradilan Pidana yang terpadu integrated criminal justice system harus terdapat sinkronisasi atau keselarasan dalam tiga hal berikut, yaitu: 77 a. Keselarasan subtansial; b. Keselarasan struktural; dan c. Keselarasan kultural. Yang dimaksud Muladi dengan keselarasan subtansial adalah keselarasan dalam peraturan perundangan yang melandasi jalannya proses dalam sistem tersebut. Sedangkan keselarasan struktural adalah keselarasan di antara penegak hukum yang berada dalam masing-masing sub sistem, terkait dengan tugas dan kewenangannya. Sementara keselarasan kultural berkenaan dengan keselarasan persepsi di antara penegak hukum tentang peraturan perundangan dan asas atau prinsip yang berlaku dalam hukum pidana dan pelaksanaannya. Sementara koordinasi yang dimaksud adalah adanya kerjasama di antara subsistem pada SPP untuk mencapai tujuan bersama yang telah ditetapkan sebelumnya oleh politik hukum pidana masing-masing negara. Dalam Hukum Acara Pidana yang berlaku di Indonesia dapat ditemui banyak pasal yang mengatur tentang koordinasi antara subsistem dalam SPP. Di antaranya adalah ketentuana tentang keharusan peyampaian SPDP Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan oleh penyidik kepada JPU, keharusan meminta persetujuan perpanjangan penahanan oleh penyidik kepada JPU, atau oleh JPU kepada hakim, dan lain-lain. Terhadap konsep ”integrated approach” pada SPP, Hiroshi Ishikawa mengatakan bahwa komponen-komponen fungsi itu subsistem walaupun 76 Kadri Husin, 1985. Sistem Peradilan Pidana Menurut KUHAP. Tesis S2 Program Pascasarjana UI, Jakarta, hlm 6. 77 Muladi, 1998. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Penerbit Undip, hlm 4. Sinergitas Ninik Mamak dan Aparat Kepolisian dalam Menyelesaian Konflik Hukum Pidana di Sumatera Barat 2011 43 | P a g e fungsinya berbeda-beda dan berdiri sendiri diversity, harus mempunyai satu tujuan dan persepsi yang sama, sehingga merupakan satu kekuatan yang utuh unity yang saling mengikat erat. 78 Dengan kata lain harus dicegah terjadinya fragmentasi dalam pelaksanaan tugas masing-masing subsistem dalam SPP, agar tujuannya tercapai. Meski pendekatan SPP dilakukan secara terpadu dan sistemik, praktik penegakan hukum pidana memperlihatkan bahwa SPP masih menghendaki peranserta masyarakat agar tujuan tadi tercapai. La Patra mengatakan bahwa unsur-unsur SPP itu bekerja dipengaruhi oleh lapisan-lapisan yang hidup di dalam masyarakat, dalam arti pelaku kejahatan, petugas LP maupun hukumnya sendiri dipengaruhi oleh lapisan-lapisan sosial yang ada dalam masyarakat seperti kehidupan ekonomi, teknologi, pendidikan, politik dan sebagainya, yang keseluruhannya juga merupakan suatu sistem. 79 Berkenaan dengan hal ini, Alan Cofey mengatakan bahwa SPP hendaknya bekerja secara luwes flexible dan berpandangan ke depan predictable terutama dalam menghadapi problem ekonomi, sosial, dan teknologi yang sangat berpengaruh terhadap perilaku manusia. 80 Praktik penegakan hukum pidana dengan mengedepankan proses dalam SPP yang dikatakan integrated selama ini ternyata masih menimbulkan persoalan dalam realitasnya. Tujuan SPP yang disepakati selama ini seperti pencegahan kejahatan, resosialisasi pelaku tindak pidana, apalagi keadilan bagi pihak korban, ternyata belum terealisasi. Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan proses yang berlangsung dalam SPP mencapai tujuan tersebut, yang paling relevan adalah kurangnya keikutsertaan masyarakat dalam proses tersebut. Dalam sistem peradilan pidana kita, yang dilandaskan pada KUHAP, ternyata sangat offender oriented berorientasi kepada pelaku yang tercermin dalam banyak aturan yang memberikan perlindungan kepada pelaku, tapi justru mengabaikan pihak korban baik individu maupun masyarakat. Pendekatan SPP demikian yang berdampak pada kegagalan SPP mencapai tujuannya, yang dibuktikan dengan semakin 78 Hiroshi Ishikawa sebagaimana dikutip dalam Mardjono Reksodiputro, op.cit, hlm 27. 79 J.W. Lapatra, Analysing the Criminal Justice System, dalam Mardjono Reksodiputro, ibid. hlm 86. 80 M. Faal, op.cit., hlm 20. Sinergitas Ninik Mamak dan Aparat Kepolisian dalam Menyelesaian Konflik Hukum Pidana di Sumatera Barat 2011 44 | P a g e meningkatnya kriminalitas baik kualitatif maupun kuantitatif, LP yang semakin padat penghuninya overloaded, dan diskrepansi keadilan menurut penegak hukum dan yang dirasakan oleh masyarakat banyak. Kegagalan tersebut menghendaki dilakukannya evaluasi terhadap pelaksanaan proses peradilan pidana yang berlangsung dalam mekanisme SPP selama ini. Beberapa kelemahan yang disadari selama ini menumbuhkan perlunya suatu pendekatan baru dalam proses penyelesaian perkara pidana, yang tidak hanya mengedepankan kepastian hukum, dengan menerapkan semua aturan hukum pidana secara kaku, tapi juga membuka peluang bagi alternatif penyelesaian lain yang lebih berkeadilan. Suatu mekanisme yang mengakomodir kebutuhan semua pihak, tidak hanya perlindungan terhadap pelaku kejahatan, tapi juga rasa keadilan pada pihak korban, dan kembalinya keseimbangan dalam masyarakat yang terganggu karena terjadinya tidak pidana tadi. Mekanisme sistem peradilan pidana bekerja dalam beberapa tahapan, sebagaimana dikatakan oleh Herbert L. Packer, yang akan menentukan keberhasilan penegakan hukum pidana. Tahapan mana yang menjadi bagian terpenting dalam proses tersebut diketahui dari peraturan yang menjadi dasar berlangsungnya proses dalam sistem tersebut. 81 Dalam sistem peradilan pidana Indonesia tahapan tersebut terbagi atas 3, yaitu tahap pra adjudikasi atau tahap pemeriksaan permulaan yang di dalamnya terjadi proses penyelidikan dan penyidikan oleh Kepolisian, tahap adjudikasi yang di dalamnya berlangsung proses penuntutan dan persidangan oleh Kejaksaan dan Pengadilan, serta tahap purna adjudikasi yang berlangsung dalam Lembaga Pemasyarakatan. Penyelesaian alternatif bagi proses peradilan pidana selayakanya harus dapat dimulai pada tahapan awal, yaitu pada tahap pra adjudikasi, atau ketiak penangan perkara pidana masih berada di tangan pihak kepolisian, baik dalam proses penyelidikan maupun penyidikan.

2. Diskresi Polisi dalam Penyelesaian Konflik Hukum Pidana