Penyelesaian Konflik dalam Masyarakat Menurut Hukum Adat

Sinergitas Ninik Mamak dan Aparat Kepolisian dalam Menyelesaian Konflik Hukum Pidana di Sumatera Barat 2011 39 | P a g e Berdasarkan Surat Keputusan LKAAM Sumbar di atas terlihat bahwa Kepala Adat yang bertugas dalam penegakan hukum adalah Pangulu dan Dubalang. Pangulu bertugas untuk memberikan keadilan kepada anak kamanakan yang bersengketa menghukum adia bakato bana. Dubalang berfungsi sebagai petugas keamanan dan ketertiban untuk mencapai kedamaian dalam kampung polisi. Penegakan syarak hukum Islam dipimpin oleh Khadi yang “1 Bertanggungjawab dengan baik sesuai dengan syarat dan rukun yang ditentukan, dan memahami ilmu syaria’at; 2 Menjadi hakim bila ada pertengkaran tentang agama antar umat atau antar jamah; 3 Menjadi Wali Nikah pada saat berlangsungnya pernikahan; 4 Memberi bimbingan rohani atau nasehat kepada masyarakat menyangkut dengan Nikah Talak dan Ruuk NTR; 5 Mengajak umat membayat hutang fardhu kifayah bila ada warga yang meninggal; 6. Bertanggungjawab kepada niniak mamak, Pengurus Masjid atau Pengurus surau yang mengangkatnya. 72

4. Penyelesaian Konflik dalam Masyarakat Menurut Hukum Adat

Minangkabau Seperti telah diuraikan sebelumnya, dalam hukum adat, tidak terkecuali hukum adat Minangkabau, dalam penyelesaian konflik tidak dibedakan antara sengketa perdata dengan sengketa pidana, sengketa tanah maupun bukan tanah. Menurut Pasal 12 Perda Sumbar Nomor 6 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya, sengketa tanah ulayat di nagari diselesaikan oleh KAN menurut ketentuan sepanjang adat yang berlaku, “bajanjang naiak batanggo turun” dan diusahakan dengan jalan perdamaian melalui musyawarah dan mufakat dalam bentuk keputusan perdamaian. Berdasarkan pasal ini, prinsip penyelesaian sengketa adalah berjenjang naik bertangga turun, artinya bertahap mulai dari tingkat paling bawah ke tingkat yang lebih tinggi dan akhirnya ke tingkat paling tinggi. Bila pada suatu tingkatan dapat dicari penyelesaian, perkara tidak perlu dibawa ke tingkat yang lebih tinggi. Dari yang paling rendah, tingkatan itu mulai dari perundingan negosiasi para pihak, rapat Sarumah dipimpin Tungganai, Rapat Paruik dipimpin Pangulu, Rapat Suku dipimpin Pangulu Pucuak di Lareh 72 Ibid., hlm. 46. Sinergitas Ninik Mamak dan Aparat Kepolisian dalam Menyelesaian Konflik Hukum Pidana di Sumatera Barat 2011 40 | P a g e Koto Piliang dan Kerapatan Adat Nagari dipimpin oleh Ketua atau Ketua Tim yang ditunjuk. Perundingan negosiasi dilakukan oleh para pihak yang bersengketa secara langsung atau dengan bantuan pimpinan kelompok yang bersengkata. Dalam perundingan pihak yang merasa dirugikan akan meminta pihak lain untuk melakukan perbuatan tertentu, seperti membayar ganti rugi luko batambak, rusuah babujuk, utang babai, piutang batarimo. Bila pihak yang dituntut merasa bersalah, dia akan bersedia memenuhi permintaan penuntut, paling-paling meminta jumlah ganti rugi dikurangi. Namun sering terjadi bahwa pihak yang menimbulkan kerugian akan memberi alasan bahwa kerugian bukan ditimbulkan oleh kesalahannya, tatapi oleh kesalahan pihak yang dirugikan itu sendiri, sehingga tidak merasa wajib membayar kerugian. Bila hal ini terjadi, maka penyelesaian dilanjutkan ke dalam Rapat Sarumah, Rapat Paruik Kaum, Rapat Suku, dan KAN. Penyelesaian sengketa dalam kerapatan-kerapatan sebetulnya adalah pelaksanaan mediasi yang mediatornya adalah pimpinan kelompok itu, yakni tungganai, pangulu, pangulu pucuak dan Ketua KAN. Prosedur yang dilalui pada setiap kerapatan itu tidak beda dengan prosedur mediasi, yakni : 1. Pihak Penggugat menghubungi Mediator, baik yang berbasis pengadilan ataupun tidak. 2. Mediator berdiskusi dengan Penggugat untuk meneliti duduk perkara menurut versi penggugat dan minta keinginan minimal dari penggugat dalam penyelesaian perkara itu. 3. Mediator mengundang jangan memanggil, karena yang berwenang memanggil orang hanyalah penegak hukum Tergugat untuk meneliti duduk perkara menurut versi tergugat dan minta keinginan maksimal dari tergugat mengenai penyelesaian perkara itu. 4. Jika para pihak ada kemungkinan untuk berdamai, mediator menyusun draft Surat Perdamaian. Sinergitas Ninik Mamak dan Aparat Kepolisian dalam Menyelesaian Konflik Hukum Pidana di Sumatera Barat 2011 41 | P a g e 5. Mediator menyampaikan draf Surat Perdamaian kepada pihak-pihak yang berperkara untuk dikoreksi sesuai kemauannya. 6. Para pihak dan mediator menandatangani Surat Perdamaian di hadapan notaris untuk legalisasi. 7. Pelaksanaan isi perdamaian secara sukarela oleh para pihak. 8. Jika ada pihak yang tidak mau melaksanakan isi perdamaian yang telah ditandatangani, pihak lawan dapat minta fiat eksekusi ke Pengadilan Negari dengan mengajukan permohonan eksekusi.

B. Diskresi Polisi Police Discreation dan Pemolisian Masyarakat

Community Policing

1. Sistem Peradilan Pidana Sebagai Mekanisme Konvensional

Penyelesaian Konflik Hukum Pidana Penegakan hukum pidana berlangsung dalam sebuah mekanisme yang disebut dengan sistem peradilan pidana. Sistem Peradilan Pidana adalah sebuah sistem yang didalamnya terdapat subsistem yang saling terkait satu sama lain, yakni subsistem Kepolisian, Kejaksaan, Peradilan dan sub sistem pendukung lainnya seperti Lembaga Pemasyarakatan, Imigrasi, dan instansi lain yang terkait. 73 Sementara Mardjono Reksodiputro mengatakan bahwa Sistem Peradilan Pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan. 74 Sebagai suatu sistem seharusnya Sistem Peradilan Pidana merupakan satu kesatuan yang mempunyai misi yang sama, yaitu penegakan hukum pidana. Sebagai suatu sistem, semua sub-sistem yang terlibat di dalamnya seharusnya berada dalam satu mata rantai yang terpadu, saling mendukung serta terdapatnya suatu sinkronisasi dan koordinasi pelaksanaan tugas dan wewenang. 75 Kadri Husin mengatakan bahwa dengan menggunakan kata ”sistem” maka kita 73 Ronald Jay Allen, dkk, 2002. Comprehensive Criminal Procedure. New York: Aspen Law and Bussiness, hlm 4. 74 Mardjono Reksodiputro, 1994. Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Lembaga Kriminologi dan Pengkajian Peradilan Indonesia, hlm 5 75 Ibid, hlm 85.