Pengaruh Jenis Kemasan Plastik dan Kondisi Pengemasan Terhadap Kualitas Mi Sagu Selama Penyimpanan

(1)

“Pandanglah kepada orang yang keadaannya lebih rendah

dari dirimu, dan janganlah memandang orang yang lebih tinggi

(keadaannya) dari dirimu. Karena (cara) ini lebih layak

bagimu, agar tidak memandang remeh nikmat Allah yang

telah dianugerahkan untukmu.” (HR. Muslim)

“Kupesembahkan karya kecil ini

untuk Mam dan Pap serta kakak

dan adik tersayang”


(2)

PENGARUH JENIS KEMASAN PLASTIK DAN

KONDISI PENGEMASAN TERHADAP KUALITAS

MI SAGU SELAMA PENYIMPANAN

Oleh

YULNIA AZRIANI F34101086

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(3)

Yulnia Azriani. F34101086. Pengaruh Jenis Kemasan Plastik dan Kondisi Pengemasan Terhadap Kualitas Mi Sagu Selama Penyimpanan. Di bawah bimbingan Ade Iskandar dan Evi Savitri Iriani. 2006.

RINGKASAN

Indonesia adalah salah satu pemilik areal sagu terbesar, dengan luas areal sekitar 1.128 juta ha (http://perkebunan.litbang.deptan.go.id, 2004). Sebagai sumber karbohidrat, sagu merupakan komoditas potensial sebagai bahan substitusi pangan dan bahan baku untuk industri. Salah satu produk olahan dari tepung sagu yaitu mi sagu. Mi ini dikenal dengan nama mi gleser, mi golosor, mi leor, atau mi pentil. Mi sagu merupakan makanan khas daerah Bogor, Sukabumi dan Cianjur.

Saat ini, mi sagu hanya dijual di pasar tradisional dan tidak dikemas dengan baik, sehingga kurang bersaing dengan mi basah dari tepung terigu. Selama ini, sebagian besar mi sagu diproduksi oleh industri kecil. Umur simpan mi sagu yang ada di pasaran kurang lebih selama 1–3 hari dengan kondisi penyimpanan pada suhu ruang (Yuniar, 2004).

Mi sagu termasuk makanan basah, sehingga selama penyimpanan mi akan mengalami penurunan mutu seperti kehilangan tekstur yang dikehendaki dan tumbuhnya jamur. Salah satu cara untuk mencegah atau menghambat kerusakan tersebut, antara lain dengan membungkusnya dengan bahan kemasan yang kedap udara dan air, misalnya lembaran plastik. Permeabilitas plastik memberikan gambaran tentang mudah atau tidaknya gas, uap air, cairan, ion-ion, dan molekul terlarut yang menembus bahan pangan. Udara yang terdapat di dalam kemasan dapat menimbulkan kerusakan pada mi antara lain adanya proses oksidasi. Untuk mencegahnya, dapat dilakukan dengan membuang udara dari dalam kemasan, sehingga kemasannya menjadi kemasan yang kedap udara (vakum).

Pada penelitian ini digunakan dua perlakuan yaitu jenis kemasan dan kondisi pengemasan. Jenis kemasan yang digunakan yaitu plastik laminasi OPP/PE/LLDPE, Polipropilen dan Low Density Polyethylene (LDPE). Kondisi pengemasan yang digunakan yaitu pengemasan vakum dan non vakum. Penyimpanan dilakukan selama 50 hari pada suhu lemari es (5 oC) dan dilakukan pengamatan setiap 5 hari sekali. Selama penyimpanan pengamatan yang dilakukan yaitu sineresis, cooking loss, pH, ketengikan (nilai TBA), warna, total kapang dan total bakteri.

Selama penyimpanan, nilai sineresis, ketengikan (nilai TBA) dan cooking loss mi sagu mengalami peningkatan. Derajat keasaman (pH) cenderung tidak mengalami perubahan selama penyimpanan, sedangkan nilai kecerahan (L) mi sagu mengalami penurunan.

Pengemasan terbaik untuk mengemas mi sagu adalah dengan menggunakan kemasan polipropilen vakum. Penentuan perlakuan ini diperoleh berdasarkan hasil analisa dan biaya pengemasan masing-masing sampel yang kemudian dilakukan pembobotan. Kemasan polipropilen vakum mampu mempertahankan umur simpan mi sagu lebih dari 50 hari pada suhu lemari es dengan rata-rata nilai sineresis 0,03 %, cooking loss 0,46 %, ketengikan (nilai TBA) 0,831 mg malonaldehid/kg sampel, nilai kecerahan (L) 47,40, total bakteri 36,33 x 102 koloni/g, total kapang 10,67 x 102 koloni/g dan derajat keasaman (pH) 4,804.


(4)

Yulnia Azriani. F34101086. Effect of Different Flexible Package and Packaging Condition to Sago Starch Noodle Quality during Storage. Under Supervision of Ade Iskandar and Evi Savitri Iriani. 2006

SUMMARY

Indonesia is one of largest owner areas sago, broadly the large of sago areas about 1.128 million ha (http://perkebunan.litbang.deptan.go.id, 2004). As carbohydrate source, sago represent potential commodity upon which the raw material and food substitution to industrial. One of product that processed from sago flour is sago starch noodle. This noodle is recognized by the name of “mi gleser”, “mi golosor”, “mi leor”, or “mi pentil”. Sago starch noodle represent typical food at Bogor, Sukabumi and Cianjur. Currently, sago starch noodle only sold at traditional market and do not packaged properly, so that less vies with wet wheat noodle. Nowadays, mostly produce sago starch noodle is conducted by small scale industry. Shelf life of commercial sago starch noodle is between 1-3 days at room temperature (Yuniar, 2004).

Sago starch noodle is inclusive of wet food, so that during storage noodle will occurring degradation of quality, like loss of desirable texture and growth of mould. One of way of to prevent or pursue the damage is with using hermetically sealed package, such as plastic film. Plastic permeability described about effortless of the gas, aqueous vapors, dilution, ion, and the dissolve molecule penetrating food substance. Air, which in package, can generate damage of noodle, such as existence of oxidation.To prevent it, can be conduct by remove air from the package, so that the package becomes airtight (vacuum).

This research was used two factors that are different of flexible package and packaging condition. Package films that used are plastic laminate OPP/PE/LLDPE, Polypropylene and Low Density Polyethylene (LDPE). Conditions of packaging that used are vacuum and non-vacuum packaging. Samples were storage for 50 days at refrigerator temperature (5oC) and evaluated every 5 days. The analyses that conducted are syneresis, cooking loss, pH, rancidity (TBA value), color, total of mold and total of bacteria.

Results indicated that most of quality changes during storage were affected by different flexible package and packaging condition. Some quality changes (syneresis, cooking loss, rancidity, total of bacteria and total of mould) were increase during storage, but color of noodle was decrease. Degree of acidity (pH) leans not change during storage. Different permeability of flexible package and absence of oxygen at vacuum packaging were estimated the major cause of different value each parameter.

The best packaging technique for sago starch noodle was using polypropylene which under vacuum packaging condition, this technique decided by considering value of parameter that measured and packaging cost of each samples. Polypropylene able to maintain shelf life of sago starch noodle more than 50 days at low temperature (5 oC) with mean of syneresis 0,03 %, cooking loss 0,46 %, rancidity (TBA value) 0,831 mg malonaldehid/kg sampel, brightness value ( L) 47,40, total of bacteria 36,33 x 102 colony/g, total of mould 10,67 x 102 colony/g and pH 4,804.


(5)

PENGARUH JENIS KEMASAN PLASTIK DAN

KONDISI PENGEMASAN TERHADAP KUALITAS

MI SAGU SELAMA PENYIMPANAN

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh

YULNIA AZRIANI

F34101086

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(6)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

PENGARUH JENIS KEMASAN PLASTIK DAN KONDISI

PENGEMASAN TERHADAP KUALITAS

MI SAGU SELAMA PENYIMPANAN

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh

YULNIA AZRIANI F34101086

Tanggal lulus : Februari 2006

Disetujui oleh : Bogor, Februari 2006

Ir. Ade Iskandar, MSi Ir. Evi Savitri Iriani, MSi


(7)

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul “Pengaruh Jenis Kemasan Plastik dan Kondisi Pengemasan Terhadap Kualitas Mi Sagu Selama Penyimpanan” adalah karya asli saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya.

Bogor, Februari 2006

Nama : Yulnia Azriani NRP : F34101086


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Yulnia Azriani. Dilahirkan di Bogor pada tanggal 24 Juli 1983 di Bogor, sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Prof. Dr. Ir. H. Sudarsono, MSc dan Hj. Lilis Nurhayati. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Polisi 4 Bogor pada tahun 1995. Kemudian penulis memasuki sekolah lanjutan pertama di SLTP Negeri 1 Bogor dan lulus pada tahun 1998. Pendidikan lanjutan atas diselesaikan pada tahun 2001 di SMU Negeri 3 Bogor. Pada tahun 2001 melalui jalur USMI penulis diterima sebagai mahasiswi Institut Pertanian Bogor, pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian.


(9)

i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang dengan rahmah dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan, bimbingan dan dorongan semua pihak maka skripsi ini tidak mungkin terwujud. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ir. Ade Iskandar, MSi, sebagai dosen pembimbing utama, yang telah banyak memberikan saran dan bimbingan dalam penulisan skripsi ini. 2. Ir. Evi Savitri Iriani, MSi, sebagai dosen pembimbing kedua, yang

telah banyak memberikan bimbingan dan saran dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Farah Fahma, STP, MT sebagai dosen penguji, yang telah memberikan saran-saran demi kesempurnaan skripsi ini.

4. Bapak Ridwan Thaher atas kesediaannya memberikan izin penelitian. 5. Ibu Endang Yuli Purwani dari BB Penelitian dan Pengembangan

Pascapanen Pertanian, yang telah banyak memberikan bantuan dan saran dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Bapak Falik dari PT. Interkemas Flexipack, Tangerang atas kesediaannya membantu penulis selama penelitian.

7. Papah, mamah, kakak, adik, keponakan dan nenek penulis yang selalu mendukung dan mengiringi langkah penulis dengan do’a yang tak pernah putus.

8. Bapak Ato, Teh Ika, Ibu Ning, Pak Yudi, Mba Meli, dan staf lainnya dari BB Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian yang telah banyak membantu penulis selama penelitian.

9. Teman-teman satu bimbingan (Ani, Agus, dan Hendra) atas dukungan dan bantuannya.

10. Teman-teman selama penelitian (Kiki, Nugie, Rizka, Wini, Iyus, Tria, Mas Ando, Alice, Neni, Jhon dan lain-lain) yang telah berbagi suka dan duka selama penelitian.


(10)

ii

11. Teman smp (Widi, Aya, Mimil), teman sma (Ara, Windy dan Ali), Nisa, Uchi, Heni, O’o, Arya dan teman kuliah lainnya atas dukungannya.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, sehingga penulis sangat berbesar hati menerima tanggapan, saran dan kritik untuk perbaikan di masa datang. Semoga apa yang penulis lakukan ini mendapat ridlo Allah SWT dan dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, Februari 2006


(11)

iii DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TUJUAN PENELITIAN ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA A. SAGU ... 3

B. MI 1. Mi Berdasarkan Bahan Baku ... 4

2. Mi Berdasarkan Proses Pengolahannya ... 5

C. MI SAGU ... 7

D. PENGEMASAN 1. Kemasan Plastik ... 10

a. Polietilen ... 10

b. Polipropilen ... 11

2. Pengemasan Vakum ... 12

D. PENYIMPANAN MI SAGU ... 13

III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan ... 14

2. Alat ... 14

B. TEMPAT ... 14

C. METODE PENELITIAN 1. Penentuan Waktu Pasteurisasi ... 15


(12)

iv IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PENENTUAN WAKTU PASTEURISASI ... 19

B. PENELITIAN UTAMA ... 20

1. Sineresis ... 22

2. Cooking loss ... 25

3. Derajat Keasaman (pH) ... 26

4. Ketengikan ... 27

5. Warna ... 28

6. Total Mikroba ... 31

C. BIAYA PENGEMASAN ... 33

D. PENENTUAN PERLAKUAN TERBAIK ... 34

IV. KESIMPULAN DAN SARAN ... 36

DAFTAR PUSTAKA ... 38


(13)

v

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Karakteristik dari beberapa jenis sagu ... 4

Tabel 2. Syarat mutu mi basah menurut SNI 01-2987-1992 ... 6

Tabel 3. Komposisi gizi mi basah ... 7

Tabel 4. Komposisi bahan aci sagu, tapioka dan aci garut setiap 100 g ... 8

Tabel 5. Sifat mi pati sagu komersial, Sukabumi, 2003 ... 9

Tabel 6. Permeabilitas bahan kemasan (ml µ/cm2 hari atm) pada 10oC ... 12

Tabel 7. Total mikroba (koloni/g) ... 20

Tabel 8. Analisa awal mi sagu ... 21

Tabel.9. Biaya pengemasan untuk masing-masing perlakuan ... 33

Tabel 10. Penilaian kepentingan setiap parameter mi sagu ... 34


(14)

vi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Diagram alir penelitian ... 17

Gambar 2. Produk mi sagu ... 22

Gambar 3. Diagram rata-rata sineresis mi sagu selama penyimpanan... 24

Gambar 4. Diagram rata-rata cooking loss mi sagu selama penyimpanan ... 25

Gambar 5. Diagram pH rata-rata mi sagu selama penyimpanan ... 26

Gambar 6. Diagram rata-rata nilai TBA mi sagu selama penyimpanan ... 28

Gambar 7. Diagram rata-rata nilai L mi sagu selama penyimpanan ... 30

Gambar 8. Diagram rata-rata derajat hue mi sagu selama penyimpanan ... 30

Gambar 9. Diagram rata-rata nilai chroma rata-rata mi sagu selama penyimpanan ... 31


(15)

vii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Prosedur Analisis ... 42

Lampiran 2. Rekapitulasi data analisa sineresis mi sagu (%) ... 48

Lampiran 3. Rekapitulasi data cooking loss mi sagu (%) ... 48

Lampiran 4. Rekapitulasi data derajat keasaman (pH) mi sagu ... 49

Lampiran 5. Rekapitulasi data ketengikan (mg malonaldehid/kg sampel) mi sagu ... 49

Lampiran 6. Rekapitulasi data warna mi sagu ... 50

Lampiran 7. Rekapitulasi data derajat hue mi sagu ... 51

Lampiran 8. Rekapitulasi data nilai chroma mi sagu ... 51

Lampiran 9. Rekapitulasi total bakteri ... 52

Lampiran 10. Rekapitulasi total kapang ... 52


(16)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sagu (Metroxylon sp.) merupakan tanaman asli Asia Tenggara dimana Indonesia memiliki areal tanaman sagu terbesar di dunia yaitu 1.128 juta ha atau 51,3 % areal sagu dunia (http://perkebunan.litbang.deptan.go.id/, 2004). Sentra penanaman tanaman sagu di Indonesia adalah Papua, Maluku, Riau, Sulawesi Tengah dan Kalimantan. Tanaman ini merupakan salah satu penghasil karbohidrat terbesar selain beras, gandum dan umbi-umbian.

Sebagai sumber karbohidrat, sagu merupakan komoditas potensial sebagai bahan substitusi pangan dan bahan baku untuk industri. Salah satu produk olahan dari tepung sagu yaitu mi sagu. Mi ini banyak dijual di daerah Bogor, Cianjur dan Sukabumi, dan dikenal dengan nama mi gleser, mi golosor, mi leor, atau mi pentil. Mi sagu dijual di pasaran dalam bentuk basah dan memiliki harga yang lebih murah bila dibandingkan dengan mi yang terbuat dari tepung terigu.

Saat ini, mi sagu hanya dijual di pasar tradisional dan tidak dikemas dengan baik, sehingga kurang bersaing dengan mi basah dari tepung terigu. Sebagian besar mi sagu diproduksi oleh industri kecil. Umur simpan mi golosor yang ada di pasaran saat ini kurang lebih selama 1–3 hari dengan kondisi penyimpanan pada suhu ruang.

Mi sagu termasuk makanan basah, sehingga selama penyimpanan mi akan mengalami penurunan mutu seperti kehilangan rasa dan flavour, perubahan tekstur serta tumbuhnya jamur atau mikroorganisme lain. Salah satu cara untuk mencegah atau menghambat kerusakan tersebut, antara lain dengan membungkusnya dengan bahan kemasan yang kedap udara dan air, seperti lembaran plastik. Plastik mempunyai nilai permeabilitas tertentu yang memberikan gambaran tentang mudah atau tidaknya gas, uap air, cairan, ion-ion, dan molekul terlarut yang menembus bahan pangan.

Udara yang terperangkap di dalam kemasan dapat menimbulkan kerusakan pada mi antara lain mendorong terjadinya proses oksidasi. Untuk


(17)

mencegahnya, dapat dilakukan dengan membuang udara dari dalam kemasan, sehingga kemasannya menjadi kemasan yang vakum. Kemasan yang divakum dapat membatasi atau menghambat faktor-faktor penyebab rusaknya makanan yang dikemas.

Melalui pengemasan yang efektif diharapkan daya simpan mi sagu akan meningkat. Selain itu dengan penggunaan kemasan yang sesuai, diharapkan dapat meningkatkan penampilan dan daya saing mi sagu terhadap mi basah lain yang ada di pasaran saat ini.

B. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh jenis kemasan dan kondisi pengemasan terhadap kualitas mi sagu, sehingga dapat diperoleh pengemasan yang dapat memperpanjang umur simpan mi sagu.


(18)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. SAGU

Sagu merupakan komoditas potensial sebagai bahan substitusi pangan dan bahan baku untuk industri. Indonesia adalah pemilik areal sagu terbesar, dengan luas areal sekitar 1.128 juta ha atau 51,3% dari 2.201 juta ha areal sagu dunia, disusul oleh Papua New Guinea 43,3%. Namun dari segi pemanfaatannya, Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan Malaysia dan Thailand yang masing-masing hanya memiliki areal seluas 1,5% dan 0,2%. Daerah potensial penghasil sagu antara lain Riau, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku dan Papua. Diperkirakan 90% areal sagu di Indonesia berada di Papua (http://perkebunan.litbang.deptan.go.id/).

Pohon sagu (Metroxylon sp.) merupakan tumbuhan yang berkembang biak melalui tunas akar sehingga tumbuh berkelompok atau dengan bijinya. Haryanto et al. (1992) menyatakan bahwa pohon sagu termasuk :

Divisio : Spermathophyta Ordo : Spadiciflorae Klas : Angiospermae Subklas : Monocotyledoneae Famili : Palmae

Genus : Metroxylon

Batang tanaman sagu merupakan bagian terpenting karena merupakan tempat penyimpanan pati atau karbohidrat. Kandungan aci dalam empulur batang sagu berbeda-beda, tergantung dari umur, jenis dan lingkungan tempat sagu itu tumbuh. Makin tua umur tanaman sagu, kandungan aci dalam empulur makin besar, dan pada umur tertentu kandungan aci tersebut akan menurun (Haryanto et al., 1992).

Ada beberapa spesies sagu yang memiliki kandungan aci yang tinggi yaitu Metroxylon rumphii Martius (sagu tuni), Metroxylon sagus Rottbol (sagu


(19)

molat) dan Metroxylon sylvester Martius (sagu ihur). Karakteristik dari jenis sagu tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik dari beberapa jenis sagu

No Jenis sagu Kadar

empulur (%)

Kandungan aci (%)

Warna aci

1 M. rumphii Martius 82 20 putih 2 M. sagus Rottbol 80 18 putih 3 M. sylvester Martius 81 17-18

kemerah-merahan Sumber : Haryanto et al., 1992

Jenis lain yang memiliki kandungan aci tinggi adalah genus Arenga terutama tanaman aren (Arenga pinnata). Sagu jenis ini banyak ditemukan di Filipina dan Indonesia, seperti Jawa, Sumatra dan Kalimantan. (Sastrapraja dan Mogea, 1977). Pati yang dihasilkan tanaman aren relatif lebih sedikit dibandingkan dengan sumber pati lainnya. Pati aren memiliki kadar pati rata-rata sekitar 75,18 %, kadar amilosa 24,08 %, kadar air 18,38 % dan derajat putih 86,25 (Hendrarsono, 1984).

B. MI

Mi merupakan salah satu bentuk pangan yang cukup populer dan disukai oleh berbagai kalangan masyarakat. Mi merupakan salah satu jenis produk pasta yang ditemukan pertama kali oleh bangsa Tiongkok 5000 tahun SM, lalu berkembang ke daerah Asia yang lain, sampai akhirnya terkenal di seluruh dunia.

Mi dapat diklasifikasikan berdasarkan 2 kategori yaitu berdasarkan bahan baku dan proses pengolahannya.

1. Mi berdasarkan bahan baku

Berdasarkan bahan bakunya, mi dapat dibagi menjadi 2 jenis mi yaitu mi terigu dan mi non-terigu. Mi terigu yaitu mi yang bahan baku utamanya menggunakan terigu atau campuran dengan tepung yang lain (buckwheat flour). Yang termasuk ke dalam mi terigu ini yaitu mi Jepang dan China. Mi Jepang biasanya berwarna putih dan memiliki tekstur yang lebih lunak. Mi ini terbuat dari tepung terigu soft dan medium yang memiliki kandungan


(20)

protein 8-10 % dan kadar abu sekitar 0.33-0.45, air dan garam. Mi China biasanya berwarna kuning dan memiliki tekstur yang lebih keras. Tepung terigu yang digunakan untuk membuat mi ini biasanya tepung terigu jenis hard. Tepung terigu jenis hard memiliki kandungan protein 10.5 -12.0 % dan kadar abu 0.33-0.38 % (Virtucio, 2004).

Ada jenis lain yang tergolong ke dalam mi terigu yaitu soba. Mi jenis ini memiliki warna coklat muda atau abu-abu dengan rasa dan flavour yang unik. Mi ini campuran antara tepung terigu dan buckwheat flour, dengan berbagai variasi sesuai dengan produk yang diinginkan. Kelebihan dari buckwheat flour yaitu memiliki nutrisi yang sangat bagus seperti daya cerna tinggi, kandungan lisin dan lesitin tinggi, dan kadar mineral tinggi (Virtucio, 2004).

Di benua Eropa terdapat jenis mi yang biasa disebut dengan pasta. Pasta berbentuk helaian dikenal dengan nama spaghetti, fettucine dan vermicelli. Perbedaan antara pasta dengan mi terigu antara lain pasta terbuat dari durum (Triticum durum) semolina dan air, sedangkan mi terigu terbuat dari tepung gandum (Triticum aestivum), air dan alkali (Kruger et al., 1996).

Mi non-terigu terkadang disebut juga dengan mi berbasis pati. Yang tergolong ke dalam mi non terigu antara lain bihun dan soun. Bihun merupakan makanan yang terbuat dari beras, sedangkan soun terbuat dari kacang hijau atau kentang dan terkadang juga terbuat dari pati ubi jalar (di Korea disebut dangmyun atau tangmyon) (Virtucio, 2004). Yang termasuk ke dalam mi non-terigu yang lain yaitu mi sagu. Mi sagu adalah mi yang terbuat dari pati sagu.

2. Mi berdasarkan proses pengolahannya

Berdasarkan proses pengolahannya, mi yang dipasarkan di Indonesia terdiri dari mi mentah (Raw Chinese Noodles), mi basah (Boiled Noodle), mi kering (Steamed and dried Noodles) dan mi instant (Steamed and Fried Noodle/instant noodle) (Haryanto et al., 1992).

Proses pembuatan mi yaitu semua bahan dicampur dan diaduk dalam mixer sampai terbentuk adonan seperti dalam pembuatan roti. Kemudian


(21)

ditekan-tekan sampai permukaan adonan halus. Adonan digiling membentuk lembaran, lalu dilipat dua kali dan digiling kembali. Proses ini dilakukan beberapa kali sampai permukaan lembaran adonan betul-betul halus, bintik-bintik tepung atau aci tidak kelihatan lagi. Lembaran adonan diistirahatkan selama kurang lebih 15 menit supaya semua bahan tercampur secara sempurna, lalu diroll sampai mencapai ketebalan kurang lebih 0,5 mm. Akhirnya pada tahap ini jenis mi yang dihasilkan adalah mi mentah (raw noodle) (Haryanto et al., 1992).

Mi mentah yang diperoleh dapat diproses lebih lanjut untuk menghasilkan jenis atau bentuk-bentuk mi lainnya. Untuk memproduksi mi basah, mi mentah tersebut dibiarkan dulu kurang lebih 30 menit lalu direbus dalam air mendidih selama kurang lebih 5 menit. Kemudian dicuci dengan air dingin sampai semua pati yang tidak tergelatinisasi terbuang. Setelah ditiriskan, mi diolesi minyak goreng supaya lembaran-lembaran mi tidak lengket (Haryanto et al., 1992).

Tabel 2. Syarat mutu mi basah menurut SNI 01-2987-1992

No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan

1. Keadaan : 1.1 Bau 1.2 Rasa

1.3 Warna -

Normal Normal Normal

2. Air % b/b 20-35

3. Abu (basis kering) % b/b Maks. 3 4. Protein ((N x 6.25) basis

kering)

% b/b Min. 3

5. Bahan tambahan pangan 5.1 Boraks dan asam borat 5.2 Pewarna

5.3 Formalin

-

Tidak boleh ada

Sesuai SNI-0222-M dan peraturan MenKes. No. 722/Men/Kes/Per/IX/88

Tidak boleh ada 6. Cemaran logam

6.1 Timbal (Pb) 6.2 Tembaga (Cu) 6.3 Seng (Zn) 6.4 Raksa (Hg)

mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg Maks. 1,0 Maks. 10,0 Maks. 40,0 Maks. 0,05 7. Arsen (As) mg/kg Maks. 0,05 8. Cemaran mikroba

8.1 Angka lempeng total 8.2 E.coli

8.3 Kapang

Koloni/g APM/g Koloni/g

Maks. 1,0 x 106 Maks. 10 Maks. 1,0 x 104


(22)

Tabel 3. Komposisi gizi mi basah Zat Gizi Mi Basah Energi (kkal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Besi (mg) Vitamin A (SI) Vitamin B1 (mg) Vitamin C (mg) Air 86 0,6 3,3 14 14 13 0,8 0 0 0 80

Sumber : Direktorat Gizi, Depkes RI (1979)

Proses pengolahan mi kering (steam and dried noodle) hampir sama dengan pengolahan mi instant. Untuk menghasilkan mi kering, mi mentah yang telah didiamkan selama kurang lebih 30 menit dikukus lalu dikeringkan pada suhu kurang lebih 40 oC. Sedangkan untuk mi instant, setelah proses pengukusan (steam) dilanjutkan dengan proses penggorengan (fried) (Haryanto et al., 1992).

C. MI SAGU

Jenis mi ini banyak ditemukan di Bogor, Cianjur dan Sukabumi, yang dikenal dengan nama mi golosor. Mi sagu memiliki harga yang lebih murah bila dibandingkan dengan mi yang terbuat dari tepung terigu. Bila dilihat secara sekilas, penampakan mi ini tidak berbeda jauh dengan mi terigu, namun bila dilihat lebih seksama mi ini memiliki warna yang lebih mengkilap dan keras. Hasil pengolahan dari mi sagu memiliki tekstur yang lebih kenyal tapi tidak elastis dan licin ketika dimakan. Oleh karena itu masyarakat menyebutnya mi golosor (Hendrasari, 2000).

Sebagian besar bahan baku mi sagu adalah pati sagu. Pati sagu mengandung sekitar 27 persen amilosa dan sekitar 73 persen amilopektin (Wirakartakusumah et al., 1986). Rasio amilosa dan amilopektin akan mempengaruhi sifat-sifat pati itu sendiri. Apabila kadar amilosa tinggi maka


(23)

pati akan bersifat kering, kurang lekat dan cenderung menyerap air lebih banyak (higroskopis).

Tabel 4. Komposisi bahan aci sagu, tapioka dan aci garut setiap 100 g

Komponen Tapioka Aci Garut Aci Sagu

Kalori (kal) 362 355 353

Protein (g) 0,5 0,7 0,7

Lemak (g) 0,3 0,2 0,2

Karbohidrat (g) 86,9 85,2 84,7

Air (g) 12,0 13,6 14,0

Fosfor (mg) - 22 13

Kalsium (mg) - 8 11

Besi (mg) - 1,5 1,5

Sumber : Direktorat Gizi DepKes R.I (1979)

Mi berbasis pati sangat berbeda dengan mi dari bahan terigu. Kekhasan mi berbasis pati adalah dibuatnya adonan dari campuran “binder” (berupa pati tergelatinisasi) dengan pati mentah (native). Binder berfungsi seperti halnya gluten pada terigu sehingga dapat dibentuk adonan yang mudah ditangani (Purwani et al., 2004).

Pati sagu sesuai untuk diolah menjadi produk mi, namun memiliki keterbatasan yang dapat diatasi dengan menambahkan aditif atau memodifikasi pati yang bersangkutan. Aditif yang digunakan untuk memperbaiki kualitas mi berbasis pati adalah alum potas (Anonim, 2003).

Alkali dalam pembuatan mi berfungsi untuk menguatkan adonan supaya dapat mengembang dengan baik, mempercepat proses gelatinisasi pati dan meningkatkan viskositas adonan yang akan memperbaiki kekenyalan mi. Fungsi alkali ini terutama diperlukan dalam pembuatan mi dari tepung non-terigu yang tidak mengandung gluten. Jenis alkali yang digunakan dalam pembuatan mi terutama Sodium atau Kalium Karbonat dan biasanya di pasaran dikenal dengan nama air abu (Haryanto et al., 1992).

Mi sagu memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi, tetapi sangat rendah kandungan protein, lemak dan zat gizi lainnya (Hendrasari, 2000).


(24)

Tabel 5. Sifat mi pati sagu komersial, Sukabumi, 2003

Sifat Min. Maks. Rata-rata Standar

Deviasi Tes Laboratorium :

Warna : Nilai L Nilai a Nilai b Kekerasan (Kg) Kelengketan (g.cm) Kadar Air (%) Kadar Abu (%) Protein (%) Lemak (%) Tes Panelis : Warna Tekstur Aroma 69,98 4,03 -38,12 10,20 202,43 72,86 0,38 0,31 3,13 3,9 5,1 3,8 81,83 16,63 -22,73 45,1 272,80 81,09 0,71 0,74 5,18 7,0 6,2 5,3 77,33 11,29 -30,17 24,63 233,21 79,00 0,51 0,74 5,18 4,9 5,2 4,5 4,09 4,80 5,54 11,92 233,21 5,22 0,11 0,74 5,18 1,3 0,8 0,5 Sumber : Purwani et al. (2004)

Mi sagu termasuk ke dalam mi berbasis pati, oleh karenanya terdapat resistant starch (pati resisten). Mi sagu mengandung pati resisten sekitar 45 mg/g. Kadar resistant starch di dalam mi sagu 4-5 kali lebih besar dibanding kadar resistant starch mi instant terigu (Purwani et al., 2005).

Menurut Munarso (2004) manfaat kesehatan yang dapat ditimbulkan oleh pati resisten, antara lain meliputi:

- Kesehatan saluran pencernaan

Pati resisten dapat memperbaiki kesehatan kolon dengan cara mendorong perkembangan sel-sel sehat yang kuat.

- Manfaat prebiotik

Pati resisten menstimulasi pertumbuhan dan aktivitas bakteri menguntungkan (seperti bifidobacteria), serta menurunkan konsentrasi bakteri patogen (misal Escherichia coli dan Clostridia). - Pengelolaan energi dan respon glisemik

Penambahan pati resisten dapat menurunkan ketersediaan karbohidrat tercerna, yang hasilnya adalah tingkat respon glisemik yang rendah. Sehingga pemanfaatan pati resisten dapat diarahkan pada


(25)

pengembangan pangan untuk penderita diabetes maupun untuk mereka yang melakukan diet.

C. PENGEMASAN

1. Kemasan Plastik

Pengemasan merupakan salah satu cara memberikan kondisi yang tepat bagi pangan untuk mempertahankan mutunya dalam jangka waktu yang diinginkan (Buckle et al., 1987).

Penggunaan plastik sebagai pengemas untuk adalah melindungi produk terhadap cahaya, udara atau oksigen, perpindahan panas, kontaminasi dan kontak dengan bahan-bahan kimia. Plastik juga dapat mengurangi kecenderungan bahan pangan kehilangan sejumlah air dan lemak, serta mengurangi kecenderungan bahan pangan mengeras. Menurut Syarief et al. (1989) penggunaan plastik untuk makanan cukup menarik karena sifat-sifatnya yang menguntungkan seperti luwes mudah dibentuk, mempunyai adaptasi yang tinggi terhadap produk, tidak korosif seperti wadah logam, serta mudah dalam penanganannya.

a. Polietilen

Polietilen dibuat dengan proses polimerisasi adisi dari gas etilen yang diperoleh sebagai hasil samping industri arang dan minyak. Polietilen merupakan jenis plastik yang paling banyak digunakan dalam industri karena sifat-sifatnya yang mudah dibentuk, tahan terhadap berbagai bahan kimia, penampakannya jernih dan mudah digunakan sebagai laminasi (Syarief et al., 1989).

Polietilen diklasifikasikan menjadi tiga tipe yaitu High Density Polyethylene (HDPE), Low Density Polyethylene (LDPE), dan Linear Low Density Polyethylene (LLDPE). Plastik LDPE baik terhadap daya rentang, kekuatan retak, ketahanan putus, dan mampu mempertahankan kestabilannya hingga di bawah suhu -60 oC. Jenis plastik ini memiliki ketahanan yang baik terhadap air dan uap air, namun kurang terhadap gas (Robertson, 1993). Briston et al. (1974)


(26)

menyatakan titik leleh dari plastik LDPE yaitu 85-87 oC. Menurut Harrington et al. (1991) kemasan yang terbuat dari LDPE memiliki ciri khas lembut, fleksibel dan mudah direntangkan, jernih, penahan uap air yang baik namun bukan penahan oksigen yang baik, tidak menyebabkan aroma atau bau terhadap makanan, serta mudah di-seal.

LLDPE mempunyai struktur yang sebanding dengan LDPE dan dibuat pada tekanan rendah, perbedaannya tidak mempunyai rantai bercabang yang panjang. Kelebihan LLDPE dibandingkan dengan LDPE adalah lebih tahan terhadap bahan kimia, permukaan yang mengkilat, memiliki kekuatan yang lebih tinggi dan tahan pecah karena tekanan (Robertson, 1993). Harington et al. (1991) menjelaskan bahwa plastik LLDPE memiliki kekuatan seal yang sama dengan plastik LDPE dan memiliki kekuatan dan kekerasan yang sama dengan plastik HDPE.

Polietilene dengan kepadatan tinggi (suhu dan tekanan rendah) (HDPE) memberi pelindungan yang baik terhadap air dan meningkatkan stabilitas terhadap panas (Buckle et al., 1987). Titik leleh plastik jenis ini yaitu 120-130 oC (Briston et al., 1974). Menurut Robertson (1993), HDPE lebih tahan terhadap zat kimia dibandingkan dengan LDPE, dan memiliki ketahanan yang baik terhadap minyak dan lemak

b. Polipropilen

Polipropilen termasuk jenis olefin dan merupakan polimer dari propilen dengan sifat utama ringan dan mudah dibentuk, kekuatan tarik lebih mudah daripada polietilen, tidak mudah sobek sehingga mudah untuk penanganan dan distribusi, tahan terhadap asam kuat, basa dan minyak serta pada suhu tingi akan bereaksi dengan benzene, tolen, terpentin dan asam nitrat (Syarief et al., 1989). Menurut Robertson (1993), polipropilen memiliki densitas yang lebih rendah (900 kg m-3) dan memiliki titik lunak lebih tinggi (140o-150 oC) dibandingkan polietilen, transmisi uap air rendah, permeabilitas gas sedang, tahan terhadap lemak dan bahan kimia, tahan gores, dan stabil


(27)

pada suhu tinggi, serta memiliki kilap yang bagus dan kecerahan tinggi.

Polipropilen lebih kaku, kuat dan ringan daripada polietilen, serta stabil terhadap suhu tinggi. Plastik polipropilen yang tidak mengkilap mempunyai daya tahan yang cukup rendah terhadap suhu tetapi bukan penahan gas yang baik (Buckle et al.,1987).

Untuk memperbaiki sifat-sifatnya, polipropilen dapat dimodifikasi menjadi OPP (oriented polypropylene) jika dalam pembuatannya ditarik satu arah (Syarief et al., 1989). Dijelaskan oleh Brown (1992) bahwa orientasi menghasilkan kemasan yang lebih kuat, lebih cerah dan meningkatkan ketahanan terhadap uap air.

OPP film sering digunakan untuk kemasan keripik kentang, dimana membutuhkan ketahanan yang baik terhadap oksigen dan cahaya (untuk mencegah kerusakan oksidatif), dan tahan terhadap uap air (untuk mencegah peningkatan kelembaban dan menjaga kerenyahannya) (Eskin et al., 2001). Pada penggunaannya, plastik OPP sering diaplikasikan untuk multi-layer laminasi, coated films, dan metallized film.

Tabel 6. Permeabilitas bahan kemasan (ml µ/cm2 hari atm) pada 10oC

Plastik tipis Permeablitas

terhadap O2 Linear low density polyethylene (LLDPE) 15,7 High density polyethylene (HDPE) 0,1 Low density polyethylene (LDPE) 6,7 Polypropylene (PP) 3,2 Oriented polypropylene (OPP) 2,1 Sumber : Yam et al. (1995)

2. Pengemasan Vakum

Salah satu usaha untuk mencegah kerusakan oksidatif adalah dengan menurunkan kandungan oksigen di sekitar bahan yaitu dengan menggunakan gas atau vakum dan kemudian mengemasnya. Menurut Sacharow et al. (1978) pengemasan vakum adalah sistem pengemasan


(28)

dengan gas hampa (tekanan kurang dari 1 atm) dengan mengeluarkan O2

dari kemasan sehingga dapat menambah umur simpan. Plastik yang digunakan untuk pengemasan vakum adalah plastik yang memiliki permeabilitas O2 rendah dan tahan terhadap bahan yang dikemas.

Menurut Brown (1992) dengan pengemasan vakum membuang udara dari “head space” dalam kemasan dan dari produk itu sendiri, untuk mengurangi kerusakan oksidatif pada makanan. Pengemasan vakum dapat menghindari pertumbuhan organisme aerobik pada makanan yang merupakan media yang potensial untuk pertumbuhannya.

Bureau et al. (1995) menyatakan bahwa pada dasarnya pengemasan vakum dapat mengurangi kontaminasi bakteri. Akan tetapi teknik ini dapat mengakibatkan warna produk menjadi lebih gelap, namun tidak menyebabkan penurunan kualitas produk.

D. PENYIMPANAN MI SAGU

Mi sagu merupakan salah satu produk mi basah, sehingga memiliki umur simpan yang relatif pendek. Menurut Yuniar (2004) kerusakan yang terjadi pada mi basah yaitu perubahan warna menjadi gelap, aroma berubah menjadi asam diikuti dengan pembentukan lendir, dan tumbuhnya kapang. Kerusakan-kerusakan tersebut dapat dijadikan parameter menentukan umur simpan mi basah.

Yuniar (2004) dalam penelitiannya menyatakan bahwa penyimpanan mi pada suhu lemari es dapat memperpanjang umur simpan mi basah. Parameter kerusakan untuk mi basah yang disimpan di lemari es adalah mulai terlihat tumbuhnya kapang. Pada suhu kamar mi dinyatakan rusak pada jam ke-30 sedangkan pada mi penyimpanan suhu lemari es mi dinyatakan rusak pada jam ke-288.


(29)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT

1. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan baku pembuatan mi sagu berupa tepung sagu dari tanaman Metroxylon yang diperoleh dari industri mi sagu di daerah Pancasan (Bogor), tawas diperoleh dari toko bahan kimia di Bogor dan minyak goreng merk Tropical diperoleh dari supermarket di Bogor. Bahan kemasan yang digunakan yaitu kemasan laminasi LLDPE (Linier Low Density Polyethylene), PE (polyethylene) dan OPP (Oriented Polypropylene) yang diperoleh dari PT. Alcan Packaging (Tangerang), dan plastik polipropilen (PP) serta plastik Low Density Polyethylene (LDPE) diperoleh dari toko plastik di Bogor. Bahan kimia yang digunakan yaitu TBA, asam asetat glasial, HCL 4 N, PDA, NA, NaCl 0,85 %, air destilata dan bahan untuk analisa proksimat.

2. Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat pembuatan mi dan alat untuk analisa. Alat yang digunakan dalam pembuatan mi yaitu panci, kompor gas, pencetak mi, pengaduk kayu, saringan plastik, sedangkan alat yang digunakan untuk analisa yaitu waring blender, saringan, pemanas listrik, cawan petri, desikator, oven, tanur, timbangan, spektrofotometer, pH meter, thermometer, chromameter Minolta CR-300, alat destilasi, soxlet, dan rotavapor.

B. TEMPAT

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Oktober 2005 di Laboratorium Pengemasan IPB dan Laboratorium Balai Besar (BB) Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Cimanggu – Bogor.


(30)

C. METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan dalam dua tahap dengan tahap pertama yaitu penentuan waktu pasteurisasi dan dilanjutkan dengan tahap kedua yaitu penelitian utama. Penentuan waktu pasteurisasi bertujuan untuk mengurangi total mikroba yang ada pada mi, sehingga dapat mengurangi kerusakan pada mi akibat aktivitas mikroba.

1. Penentuan Waktu Pasteurisasi

Pemilihan waktu pasteurisasi diperoleh berdasarkan Kruger et al. (1996), menurutnya kombinasi suhu dan waktu untuk membunuh Staphilococcus pada pasta segar, antara lain : 45 menit pada suhu 60-61 oC; 10 menit pada suhu 65-66 oC; 2 menit pada suhu 71-73 oC. Dengan mengasumsikan kontaminasi mikroba pada produk mi sagu sama dengan pasta, maka waktu pasteurisasi yang digunakan adalah 3 menit, 5 menit, 7 menit dan 9 menit pada suhu 70-75 oC.

Pasteurisasi dilakukan dengan mengukusnya di dalam panci. Pada penentuan waktu pasteurisasi ini akan diamati efek lama pasteurisasi terhadap jumlah bakteri dan kapang pada mi sagu setelah pasteurisasi. Lama pasteurisasi yang dapat membunuh bakteri dan kapang lebih banyak dengan tekstur mi yang tidak terlampau lembek akan digunakan pada penelitian selanjutnya.

2. Penelitian Utama

Sebelum melakukan penyimpanan mi sagu, dilakukan pembuatan mi sagu. Dalam pembuatan mi diawali dengan pembuatan binder. Campuran binder yaitu tepung sagu, air, dan tawas. Mula-mula air panas dicampurkan ke dalam tawas, lalu ditambahkan tepung sagu dan diaduk hingga campuran merata. Selanjutnya ditambahkan tepung sagu sedikit demi sedikit hingga adonan menjadi kalis. Setelah adonan kalis, dilakukan pencetakan mi. Mi yang telah dicetak kemudian direbus di dalam air mendidih hingga mi mengapung, lalu dimasukkan ke dalam air dingin. Setelah mi dingin, selanjutnya ditiriskan dan dilumuri minyak sayur agar


(31)

tidak lengket. Mi yang telah diberi penambahan minyak kemudian dikemas dalam tiga jenis kemasan plastik yaitu kemasan laminasi OPP/PE/LLDPE, PP (Polipropilen), dan LDPE (Low Density Polyethylene). Selain kemasan tanpa vakum, mi juga dikemas dengan kondisi pengemasan vakum. Mi sagu yang telah dikemas, kemudian dipasteurisasi dengan waktu pasterurisasi diperoleh dari penelitian sebelumnya.

Setelah dilakukan pasteurisasi, kemudian diakukan analisa proksimat dan penghitungan total bakteri dan kapang. Setelah itu mi disimpan selama 50 hari di dalam refrigerator (5 oC) dan setiap lima hari sekali dilakukan pengamatan. Pengamatan yang dilakukan adalah sineresis, cooking loss, ketengikan (nilai TBA), pH, dan warna. Analisa yang pertama kali dilakukan setiap pengambilan sampel dari lemari es adalah sineresis. Selanjutnya, dilakukan persiapan sampel untuk analisa berikutnya. Persiapan sampel yang dilakukan yaitu membilas sampel dengan air panas hingga setiap helai mi saling terpisah. Selain analisa-analisa terebut, juga dilakukan penentuan total bakteri dan total kapang pada awal penyimpanan, penyimpanan hari ke-25 dan akhir penyimpanan (hari ke-50). Diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Perlakuan yang akan diterapkan pada penelitian ini adalah : A = Jenis kemasan

A1 = Kemasan OPP/PE/LLDPE A2 = Kemasan Poliprolilen (PP) A3 = Kemasan LDPE

B = Kondisi pengemasan B1 = vakum


(32)

Tepung sagu

Tawas Air panas

Pencampuran

Binder

Tepung sagu Pencampuran hingga adonan kalis

Pencetakan mi

Perebusan

Perendaman

Penirisan

Pelumuran

Pengemasan Minyak goreng

Jenis kemasan : A1 : OPP/PE/LLDPE A2 : Polipropilen A3 : LDPE

Kondisi pengemasan : B1 : Vakum

B2 : Non vakum

Pasteurisasi

A Penirisan


(33)

Gambar 1. Diagram alir penelitian A

Penyimpanan selama 50 hari (5oC) dengan pengamatan :

- Sineresis

- Cooking loss

- Ketengikan (nilai TBA) - pH

- Warna

- Total bakteri dan kapang Analisa proksimat :

- Kadar air - Kadar lemak - Kadar protein - Kadar abu

Analisa awal : - Cooking loss - pH

- Ketengikan (nilai TBA) - Warna


(34)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PENENTUAN WAKTU PASTEURISASI

Salah satu usaha yang dilakukan untuk memperpanjang umur simpan adalah dengan proses pasteurisasi. Pasteurisasi adalah proses pemanasan pada suhu dan waktu tertentu dimana semua patogen yang berbahaya bagi manusia akan terbunuh, misalnya bakteri penyebab tuberkulosis dan bruselosis (Fardiaz, 1992). Menurut Labuza (1982) pasteurisasi adalah perlakuan pemanasan yang bertujuan untuk mengurangi jumlah mikroorganisme hidup pada makanan sehingga dapat memperpanjang daya simpannya dan membunuh mikroorganisme patogen.

Dari sekian banyak bakteri patogen, Staphilococcus aureus merupakan bakteri yang paling berbahaya, karena memproduksi enterotoksin. Enterotoksin adalah toksin yang spesifik terhadap sel intestin, dan menimbulkan gejala keracunan makanan (Fardiaz, 1992). Pada pasta (seperti spaghetti dan fettuccini), toksin ini tidak dapat dihancurkan dengan pengeringan HT (high temperature) maupun pemasakan, dan terus hidup hingga di dalam kemasan hingga lebih dari satu tahun. Oleh karena itu, salah satu cara untuk mencegah kontaminasi pada pasta dari enterotoksin adalah dengan mencegah kontaminasi bakteri terhadap bahan baku dan menjaga proses produksi untuk mengurangi pertumbuhan bakteri. Lama pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri S. aureus tidak konstan, namun cepat, sekitar 20-25 menit. Kombinasi suhu dan waktu penting untuk membunuh Staphilococcus, antara lain : 45 menit pada suhu 60-61 oC; 10 menit pada suhu 65-66 oC; 2 menit pada suhu 71-73 oC (Kruger et al., 1996).

Penelitian pendahuluan ini bertujuan untuk mencari waktu pasteurisasi yang paling efektif. Waktu pasteurisasi yang digunakan sebagai perlakuan adalah 3 menit, 5 menit, 7 menit dan 9 menit. Suhu pasteurisasi yang digunakan 70-75 oC.


(35)

Tabel 7. Total mikroba (koloni/g) Jumlah

(koloni/g)

Mikroba

Bakteri Kapang

T1 53,5x103 5,5x102

T2 41x103 6,5x102

T3 2,5x103 1,5x102

T4 2x103 4x102

Keterangan :

T1: Waktu pasteurisasi 3 menit T2 : Waktu pasteurisasi 5 menit T3 : Waktu pasteurisasi 7 menit T4 : Waktu pasteurisasi 9 menit

Hasil pengamatan diperoleh dengan menghitung total bakteri dan kapang pada mi setelah mengalami proses pasteurisasi. Dari hasil pengamatan, bakteri dan kapang masih terdapat pada sebagian besar perlakuan. Semakin lama waktu pasteurisasi, bakteri yang terdapat pada mi semakin sedikit. Total bakteri pada mi dengan perlakuan waktu pasteurisasi selama 3 menit dan 5 menit jauh lebih tinggi dibandingkan dengan mi dengan perlakuan waktu pasteurisasi selama 7 menit dan 9 menit, sedangkan total kapang pada mi dengan perlakuan waktu pasteurisasi selama 7 menit lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan waktu pasteurisasi selama 3 menit, 5 menit dan 9 menit. Data hasil pengamatan disajikan pada Tabel 7. Secara visual mi yang dipasteurisasi selama 7 menit memiliki tesktur yang tidak terlalu lembek dibandingkan dengan mi yang dipasteurisasi selama 9 menit. Oleh karena itu ditentukan waktu pasteurisasi untuk penelitian ini yaitu selama 7 menit.

B. PENELITIAN UTAMA

Pengemasan mi sagu pada penelitian ini dilakukan dengan dua faktor yaitu jenis kemasan dan kondisi pengemasan. Setelah dilakukan pembuatan mi sagu, selanjutnya mi dikemas dalam tiga jenis kemasan yaitu kemasan laminasi OPP/PE/LLDPE, polipropilen dan LDPE. Ketiga jenis kemasan tersebut dikemas dengan dua kondisi pengemasan, yaitu vakum dan non


(36)

vakum. Setelah dilakukan pengemasan, selanjutnya mi dipasteurisasi dengan waktu pasteurisasi berdasarkan hasil penelitian sebelumnya dan kemudian disimpan selama 50 hari pada suhu lemari es (5 oC). Perubahan karakteristik mi diamati setiap 5 hari sekali yang meliputi sineresis, cooking loss, derajat keasaman (pH), ketengikan (nilai TBA) dan warna.

Mi sagu sebelum penyimpanan perlu dianalisa untuk mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi selama penyimpanan. Hasil analisa awal mi sagu dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Analisa awal mi sagu

No. Analisa Nilai 1 Cooking loss (%) 0,68

2 Derajat keasaman (pH) 4,695

3 Ketengikan (mg malonaldehid/kg

sampel) 0,559

4 Warna :

- L (kecerahan) - Derajat Hue - Nilai Chroma

51,32 86,02 6,20

5 Kadar Air (% bb) 69,08

6 Kadar Abu (%) 0,18

7 Kadar Lemak (% bk) 5,64

8 Kadar Protein (% bb) 0,97

9 Kadar Karbohidrat, by difference (%) 25,86

Mi sagu merupakan produk yang mengandung kadar air yang tinggi. Tingginya kadar air pada produk akan menyebabkan produk mudah rusak, baik karena pertumbuhan mikroba maupun terjadinya penguapan air. Kadar air mi sagu berada di atas standar mutu mi basah (SNI 01-2987-1992), sedangkan kadar abu masih memenuhi standar. Kadar abu menunjukkan banyaknya abu atau kandungan mineral yang terdapat dalam bahan pangan.


(37)

Kadar abu yang tinggi berarti kandungan mineral yang tinggi pula (Winarno, 1984).

Adanya air dalam mi dapat mempengaruhi kadar lemaknya karena dapat terjadi hidrolisis. Widjajanti (1993) menyatakan bahwa terhidrolisanya lemak dapat mengurangi jumlah kandungan lemak. Hidrolisa lemak dapat terurai menjadi gliserol dan asam lemak bebas.

Mi sagu memiliki kadar protein yang rendah namun kadar karbohidratnya tinggi yaitu di bawah satu persen. Rata-rata derajat hue mi sagu yang diperoleh yaitu sebesar 86,02 dan rata-rata nilai chroma yaitu sebesar 6,02. Berdasarkan derajat hue dan nilai chroma tersebut maka dapat dilihat warna mi sagu pada diagram warna pada Gambar 10. Warna mi sagu ditunjukkan dengan titik berwarna kuning pada diagram. Mi sagu yang dibuat dalam penelitian dapat dilihat pada Gambar 2..

Gambar 2. Produk mi sagu

1. Sineresis

Sineresis adalah perbandingan banyaknya air yang keluar dari mi per volume mi-nya. Sineresis merupakan fenomena yang menggambarkan retrogradasi gel dan melibatkan peristiwa penyusunan kembali molekul amilosa dan amilopektin. Sineresis akan meningkat sejalan dengan penyusunan kembali amilosa. (Dufour et al., 1996). Semakin lama penyimpanan, terjadi peningkatan interaksi antar rantai pati dan pada


(38)

akhirnya terjadi pembentukan kristal. Peristiwa ini disebut dengan retrogradation, yaitu kristalinasi dari rantai pati dalam gel (Christensen, 1974).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sineresis mi cenderung meningkat selama penyimpanan. Dari Gambar 3 terlihat pada hari ke-15 mulai terjadi peningkatan nilai sineresis, hal ini diduga mulai hari ke-15 pati mulai rapuh. Pada saat pati berada pada suhu rendah, struktur rantai pati menjadi rapuh dan ikatan hidrogennya semakin kuat, sehingga membentuk gel yang rapat. Semakin lama penyimpanan, rantai pati akan mengalami kecenderungan untuk memperkuat ikatannya, sehingga memaksa air yang berada dalam gel untuk keluar(Hoseney, 1998).

Sineresis sangat erat kaitannya dengan tekstur dari mi. Semakin lama penyimpanan, tekstur mi semakin keras dan keelastisannya menurun. Kemasan polipropilen cenderung memiliki nilai sineresis yang tinggi selama penyimpana terutama dengan kondisi pengemasan non vakum. Hal ini menunjukkan perlakuan kemasan polipropilen non vakum memberikan nilai sineresis yang lebih tinggi pada penyimpanan suhu rendah.

Nilai sineresis terendah yaitu terdapat pada perlakuan kemasan LDPE. Permeabilitas kemasan LDPE lebih tinggi dibandingkan kemasan polipropilen, namun memiliki nilai sineresis yang rendah. Nilai sineresis yang rendah untuk kemasan LDPE ini diduga karena terjadi penguapan air ke luar kemasan akibat perbedaan kelembaban antara produk dengan sistem (refrigerator). LDPE memiliki permeabilitas yang tinggi terhadap uap air, maka penguapan air sineresis ke luar bahan kemasan juga menjadi lebih tinggi.

Kondisi pengemasan vakum memberikan rata-rata nilai sineresis terendah dibandingkan dengan kondisi pengemasan non vakum. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi pengemasan vakum mampu menghambat terjadinya sineresis. Rendahnya nilai sineresis pada perlakuan vakum diduga karena proses pemvakuman menyebabkan kemasan menjadi rapat dengan memperkecil ruang kosong di dalam kemasan. Sehingga pada saat


(39)

terjadi sineresis, air yang terdesak ke luar produk menjadi sulit untuk mengisi sisa ruang antara mi dan kemasan.

0 1 2 3 4 5 6 7 8

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

Hari

ke-Nila

i Sin

e

re

s

is

(

%

)

A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A3B1 A3B2

Gambar 3. Diagram rata-rata sineresis mi sagu selama penyimpanan

Jenis kemasan tidak mempengaruhi sineresis mi sagu secara langsung akan tetapi akan mempengaruhi perpindahan massa uap air dari luar ke dalam kemasan maupun dari dalam ke luar kemasan. Pada kemasan OPP/PE/LLDPE terlihat terjadi peningkatan nilai sineresis, terutama untuk perlakuan non vakum. Pada kemasan polipropilen terlihat terjadi peningkatan nilai sineresis hingga hari ke-40, selanjutnya hingga hari ke-50 terjadi penurunan nilai sineresis. Hal ini juga terjadi pada kemasan LDPE yang mengalami penurunan nilai sineresis lebih cepat daripada kemasan polipropilen. Penurunan nilai sineresis diduga karena air sineresis dalam kemasan dikonsumsi oleh kapang yang mulai tumbuh pada mi dalam kemasan tersebut.


(40)

2. Cooking loss

Pada saat tahap pemasakan, sebagian kecil dari mi akan terpisah dari mi dan tersuspensi ke dalam air. Mi kemudian menjadi lembek dan licin, dan air rebusan menjadi keruh dan kental. Peristiwa ini disebut sebagai cooking loss (Chen et al., 2002).

Cooking loss menunjukkan jumlah padatan yang hilang selama pemasakan. Mi yang bermutu baik adalah mi yang memiliki integritas yang baik selama perebusan, antara lain memiliki jumlah padatan yang hilang yang terdapat pada air rebusannya sangat rendah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, cooking loss cenderung mengalami peningkatan selama penyimpanan. Hal ini disebabkan karena selama penyimpanan struktur pati semakin rapuh. Cooking loss tertinggi yaitu pada kemasan polipropilen non vakum di hari ke-50, sedangkan cooking loss terendah yaitu pada kemasan LDPE non vakum di hari ke-25.

Rata-rata cooking loss cenderung tinggi untuk kemasan dengan kondisi pengemasan non vakum. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Luchsinger et al.(1996) mengenai pastel daging sapi, bahwa pastel daging sapi yang dikemas vakum memiliki nilai cooking loss yang lebih rendah dibandingkan dengan yang non vakum.

0.20 0.40 0.60 0.80 1.00

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

Hari

Ke-C

o

o

k

in

g

lo

s

s

(%

)

A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A3B1 A3B2


(41)

3. Derajat Keasaman (pH)

Dari hasil pengamatan, pH rata-rata mengalami penurunan pada hari ke-5, kemudian cenderung meningkat hingga hari ke-50, namun masih berkisar antara pH 4-5,5. Menurut Winarno (1980), keaktifan enzim terletak di antara pH 4-8. Beberapa mikroorganisme seperti kapang dan khamir dapat memecah asam sehingga akan meningkatkan pH. Kapang akan mengisolasi asam dan menghasilkan produk akhir yang bersifat basa karena reaksi proteolisis. Selain itu kenaikan pH terjadi karena terbentuknya senyawa-senyawa hasil peruraian protein oleh mikroorganisme yang bersifat basa seperti amoniak.

Rata-rata nilai pH untuk kemasan LDPE cenderung lebih rendah dibandingkan dengan kemasan OPP/PE/LLDPE. Hal ini menunjukkan bahwa permeabilitas kemasan LDPE lebih tinggi daripada kemasan OPP/PE/LLDPE. Rendahnya derajat keasaman mi sagu pada kemasan LDPE karena jenis kemasan LDPE memiliki permeabilitas yang tinggi, sehingga mudah terjadi penyerapan uap air dan O2 yang dapat

mempercepat laju pertumbuhan mikroorganisme. Pertumbuhan mikroorganisme yang cepat dapat menaikkan pH karena jumlah amoniak yang terbentuk sebagai hasil metabolisme mikroorganisme meningkat.

4.00 4.50 5.00 5.50

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 Hari

ke-N

ila

i p

H

A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A3B1 A3B2


(42)

4. Ketengikan

Pada tahap akhir pembuatan mi sagu, dilakukan penambahan minyak sayur ke permukaan mi agar setiap helai mi tidak saling lengket. Adanya minyak sayur tersebut dapat menyebabkan terjadinya ketengikan pada mi.

Lemak yang tengik mengandung aldehid dan kebanyakan sebagai malonaldehid. Malonaldehid bila direaksikan dengan thiobarbiturat akan membentuk kompleks berwarna merah. Intensitas warna merah sesuai dengan jumlah malonaldehid yang ada dan absorbansinya dapat ditentukan dengan Spektrofotometer pada panjang gelombang 528 nm (Tarladgis et al., 1960).

Ketengikan mi selama penyimpanan mula-mula meningkat hingga hari ke-5, namun kemudian menurun tajam di hari berikutnya. Hal ini diduga karena adanya zat lain yang terdapat dalam produk yang teroksidasi dan kemudian bereaksi dengan TBA (Thiobarbituric acid) sehingga ikut memberikan warna merah (Kohne et al., 1944, Bernheim et al., 1947, dan Buttkus et al., 1972).

Dahle et al. (1962) mengemukakan bahwa kemungkinan adanya aldehide lain yang ikut bereaksi dengan TBA juga dapat memberikan warna merah. Kandungan air yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya hidrolisis pada lemak yang menghasilkan asam-asam lemak jenuh dan tidak jenuh. Degradasi asam-asam lemak tidak jenuh akan menyebabkan terbentuknya aldehide, yang ditandai dengan bilangan TBA yang tinggi.

Zat lain yang mungkin berpengaruh besar ikut teroksidasi pada awal penyimpanan, sehingga memberikan warna merah adalah hasil degradasi pati. Nawar (1985) menyatakan bahwa sukrosa telah diketahui memberikan warna merah ketika bereaksi dengan TBA.

Setelah hari ke-20, nilai TBA mengalami penurunan dan cenderung tidak mengalami peningkatan yang signifikan hingga pengamatan hari ke-50. Hal ini diperkirakan karena komponen gula hasil degradasi dari pati mi sagu telah menghambat ketengikan dan tidak ikut bereaksi lagi dengan TBA. Oleh karena itu penyimpangan nilai TBA akibat adanya gula diduga tidak terjadi lagi. Menurut Janero (1990) penurunan nilai TBA selama


(43)

penyimpanan dapat terjadi akibat adanya reaksi antara malonaldehid dengan protein dan gula.

0 1 2 3 4 5 6

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

Hari ke-N ilai T B A ( m g m a lonalde hide/ k g s a m p el )

A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A3B1 A3B2

Gambar 6. Diagram rata-rata Nilai TBA mi sagu selama penyimpanan

Selama penyimpanan, mi sagu tidak mengalami perubahan aroma karena kerusakan oksidasi pada minyak. Hal ini dapat saja terjadi karena hasil oksidasi masih merupakan senyawa-senyawa antara seperti peroksida dan hidroperoksida dan belum terdekomposisi menjadi senyawa-senyawa penyebab bau tengik seperti aldehid, keton, dan asam lemak bebas. (Ketaren, 1986). Mi dengan penambahan alkali termasuk ke dalam makanan daerah tropis, dimana selama penyimpanan tidak beraroma (Kruger et al., 1996).

5. Warna

Menurut Hoseney (1998) selain timbulnya kapang, kerusakan pada mi basah mentah adalah perubahan warna menjadi lebih gelap setelah


(44)

disimpan selama 50-60 jam pada suhu lemari es (5oC). Mi yang bermutu baik pada umumnya berwarna putih atau kuning terang. Perubahan warna yang terjadi selama penyimpanan ini diperkirakan karena adanya aktivitas enzim polifenoloksidase. Enzim polifenol mengkatalisis polifenol menjadi kuinon dan selanjutnya terpolimerisasi menjadi warna merah.

Dari hasil pengamatan, tingkat kecerahan mi yang diperoleh dari nilai L, menunjukkan terjadi penurunan selama penyimpanan. Perubahan warna ini dapat diamati secara visual yaitu warna mi berubah menjadi agak lebih gelap, terutama untuk mi yang dikemas secara vakum, walaupun perubahannya tidak signifikan. Perubahan yang tidak signifikan ini diduga karena mi sebelumnya mengalami proses pasteurisasi sehingga enzim polifenoloksidase telah rusak. Proses pasteurisasi yang mempengaruhi enzim polifenoloksidase, mengakibatkan proses browning pada mi menjadi lambat.

Rata-rata nilai L untuk kemasan dengan kondisi pengemasan non vakum lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi pengemasan vakum. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi vakum memberikan kecerahan yang lebih rendah dibandingkan dengan kondisi pengemasan non vakum.

Kemasan polipropilen non vakum memiliki rata-rata nilai hue yang tinggi. Hal ini disebabkan karena kemasan polipropilen memiliki permeabilitas yang rendah sehingga penguapan uap air dari dalam ke luar kemasan rendah. Migrasi uap air yang tinggi mengakibatkan warna produk menjadi lebih gelap.


(45)

40.00 45.00 50.00 55.00

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

Hari

ke-N

ila

i L

A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A3B1 A3B2

Gambar 7. Diagram rata-rata nilai L mi sagu selama penyimpanan

Dari hasil pengamatan, derajat hue mi sagu termasuk ke dalam kelompok warna Yellow red atau kuning kemerahan. Selama penyimpanan warna mi sagu tidak mengalami perubahan yang signifikan. Perlakuan vakum cenderung memiliki derajat hue yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan non vakum. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan vakum berwarna lebih merah dibandingkan dengan perlakuan non vakum.

80.00 82.00 84.00 86.00 88.00 90.00

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

Hari

ke-De

ra

ja

t Hu

e

A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A3B1 A3B2


(46)

Nilai chroma menunjukkan ketajaman warna dari produk. Nilai chroma mi sagu selama penyimpanan cenderung menurun, hal ini berarti berkurangnya intensitas warna kuning pada mi.

Kondisi pengemasan non vakum memiliki rata-rata nilai chroma tertinggi dibandingkan dengan kondisi pengemasan vakum. Hal ini berarti kondisi pengemasan non vakum memberikan warna yang lebih cerah dibandingkan dengan kondisi pengemasan vakum.

0.00 2.00 4.00 6.00 8.00

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

Hari

ke-N

ila

i C

h

ro

m

a

A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A3B1 A3B2

Gambar 9. Diagram rata-rata nilai chroma rata-rata mi sagu selama penyimpanan

6. Total Mikroba

Setelah terjadinya perubahan warna, perubahan yang timbul pada mi adalah aroma mi menjadi asam diikuti dengan pembentukan lendir. Pembentukan lendir menandakan bahwa adanya pertumbuhan bakteri dan diikuti dengan timbulnya bau asam (Hoseney, 1998). Pertumbuhan kapang ditandai dengan adanya miselium kapang pada permukaan mi.

Pertumbuhan kapang pada mi ditandai dengan munculnya bercak-bercak berwarna kuning kemerahan pada permukaan mi. Mi yang dikemas


(47)

dengan kemasan LDPE non vakum mengalami pertumbuhan kapang lebih cepat dibandingkan dengan kemasan lainnya. Pada pengamatan hari ke-25, jamur sudah tumbuh pada kemasan LDPE non vakum. Selanjutnya pada pengamatan hari-35, mi yang dikemas dengan plastik LDPE yang divakum ditumbuhi jamur. Mi yang dikemas dengan plastik polipropilen non vakum telah ditumbuhi jamur pada pengamatan hari ke-40, sedangkan yang vakum hingga pengamatan hari ke-50 masih terlihat baik.

Hingga hari ke-25 terjadi laju penurunan total kapang, namun hari berikutnya terjadi peningkatan laju pertumbuhan kapang. Hal ini diduga pada kurun waktu awal penyimpanan hingga hari ke-25 terjadi tahapan dimana kapang mengalami tahap tumbuh reda, dimana nutrisi yang tersedia menurun atau karena racun metabolisme sendiri. Jumlah kapang akan meningkat selama penyimpanan mi sagu. Pada pengamatan hari ke-50, total rata-rata kapang untuk kemasan LDPE non vakum sudah melebihi batas maksimal cemaran mikroba dalam syarat mutu mi basah menurut SNI 01-2987-1992.

Mikroba yang terdapat pada mi diduga berasal dari bahan baku mi yaitu tepung sagu. Menurut Christensen (1974) mikroorganisme yang terdapat pada tepung yaitu kapang, khamir, dan bakteri. Bakteri yang biasa terdapat pada tepung yaitu Pseudomonas, Micrococcus, Lactobacillus serta beberapa spesies Achromobacterium, sedangkan kapang yang ditemukan pada tepung antara lain berasal dari genus Aspergillus, Rhizopus, Mucor, Fusarium, Penicillium.

Jenis kemasan dengan permeabilitas rendah dan dikemas secara vakum yaitu kemasan OPP/PE/LLDPE dan PP vakum memiliki total mikroba yang lebih rendah dibandingkan dengan kemasan LDPE. Hal ini menunjukkan bahwa permeabilitas yang rendah dapat menekan laju pertumbuhan mikroorganisme yang terdapat pada mi yang sebagian besar bersifat aerobik.


(48)

C. BIAYA PENGEMASAN

Biaya pengemasan merupakan salah satu elemen dari biaya produksi, dimana nantinya dapat menentukan harga produk. Salah satu cara untuk memperoleh keuntungan yang tinggi adalah dengan menekan biaya produksi. Oleh karenanya biaya untuk pengemasan diusahakan agar serendah mungkin, namun tetap memberikan perlindungan yang baik terhadap produk. Unsur-unsur yang dimasukkan dalam biaya pengemasan adalah biaya bahan kemasan, biaya mesin pengemas, dan biaya proses pengemasan.

Berdasarkan Tabel 9 biaya pengemasan tertinggi adalah perlakuan kemasan OPP/PE/LLDPE, sedangkan. biaya pengemasan yang terendah adalah perlakuan kemasan polipropilen non vakum dan kemasan LDPE non vakum. Oleh karena itu, dari segi biaya pengemasan maka pengemasan yang murah namun dapat mempertahankan umur simpan mi sagu yaitu kemasan polipropilen dengan kondisi pengemasan non vakum.

Tabel 9. Biaya pengemasan untuk masing-masing perlakuan Jenis kemasan Kondisi pengemasan Harga kemasan /unit Biaya pengemasan /unit Total biaya pengemasan /unit

OPP/PE/LLDPE Vakum 121 1,55 122,55

Non vakum 121 1,46 122,46

Polipropilen Vakum 60 1,55 61,55

Non vakum 60 1,46 61,46

LDPE Vakum 60 1,55 61,55

Non vakum 60 1,46 61,46

Keterangan :

Ukuran plastik : 20,5 cm x 11,8 cm

Harga kemasan : OPP/PE/LLDPE = Rp. 2.500,00/m2 Polipropilen = Rp. 24.000,00/kg LDPE = Rp. 24.000,00/kg Sealer : 300 watt


(49)

Pengemas vakum : 750 watt Listrik : Rp. 450/kwh

Tenaga kerja : 1 orang (Rp. 25.000,00/hari)

D. PENENTUAN PERLAKUAN TERBAIK

Penentuan perlakuan terbaik diperoleh dari hasil pembobotan secara subjektif. Jumlah pembobotan tersebut diperoleh berdasarkan penilaian 3 peneliti sagu di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor. Untuk menentukan perlakuan terbaik, setiap parameter yang diuji diberikan bobot dari 0,01 hingga 1 berdasarkan penilaian kepentingannya. Semakin besar jumlah bobotnya maka semakin tinggi nilai kepentingannya.

Nilai rata-rata hasil analisa dari setiap parameter selama penyimpanan kemudian diurutkan berdasarkan ranking. Peringkat pertama diberi nilai 6, peringkat kedua diberi nilai 5, peringkat ketiga diberi nilai 4 dan seterusnya hingga peringkat yang terendah bernilai 1. Secara umum semakin rendah nilai hasil analisa maka nilai peringkatnya semakin tinggi.

Nilai total akhir diperoleh dari akumulasi perkalian antara nilai peringkat dikalikan dengan bobot setiap parameter pengujian. Nilai total kemudian diranking hingga diperoleh perlakuan terbaik. Perlakuan terbaik ditunjukkan dengan ranking terbesar (nilai 6). Tabel perhitungan penentuan perlakuan terbaik dengan cara pembobotan dapat dilihat pada Lampiran 11. Dari hasil pembobotan secara subjektif diperoleh kemasan polipropilen yang dikemas dengan cara vakum sebagai cara pengemasan terbaik untuk mengemas mi sagu.

Tabel 10. Penilaian kepentingan setiap parameter mi sagu

Parameter Dasar Pertimbangan Kepentingan Bobot

(W) Sineresis Mi yang berair dapat mengurangi daya tarik

konsumen

0,16

Biaya pengemasan Biaya pengemasan berpengaruh terhadap harga produk

0,14

Cooking loss Kualitas pemasakan mi dipengaruhi cooking

loss


(50)

Tabel 10. Penilaian kepentingan setiap parameter mi sagu (lanjutan)

Parameter Dasar Pertimbangan Kepentingan Bobot

(W) Derajat keasaman Mi yang asam menunjukkan adanya aktivitas

mikroba

0,07

Ketengikan Lemak yang tengik menyebabkan perubahan aroma

0,10

Total kapang

Menentukan umur simpan produk 0,17

Total bakteri 0,12

Kecerahan Mempengaruhi tingkat kesukaan warna 0,11

Total 1,00

Tabel 11. Skor hasil pembobotan dari tiap perlakuan

Ranking Perlakuan Skor

1 A3B2 3,01

2 A2B2 3,07

3 A3B1 3,23

4 A1B2 3,72

5 A1B1 3,83

6 A2B1 4,14

Keterangan :

A1 = Jenis kemasan OPP/PE/LLDPE A2 = Jenis kemasan Polipropilen A3 = Jenis kemasan LPDE B1 = Kondisi pengemasan vakum B2 = Kondisi pengemasan non vakum


(51)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

1. Nilai sineresis mengalami kenaikan selama penyimpanan. Perubahan nilai sineresis dipengaruhi oleh jenis kemasan dan kondisi pengemasan. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa kemasan LDPE vakum memiliki nilai sineresis terendah. Permeabilitas kemasan yang tinggi menyebabkan air sineresis mudah menguap ke luar bahan kemasan.

2. Selama penyimpanan, cooking loss mi sagu cenderung mengalami peningkatan. Peningkatan cooking loss mi sagu dapat dihambat dengan mengemasnya secara vakum.

3. Nilai TBA mengalami peningkatan pada awal penyimpanan namun kemudian menurun tajam setelah hari ke-20. Peningkatan nilai TBA ini diduga karena adanya zat lain yang terdapat dalam produk yang teroksidasi dan kemudian bereaksi dengan TBA sehingga memberikan warna merah yang terukur sebagai malonaldehid. Selama penyimpanan, secara keseluruhan ketengikan mi sagu cenderung tidak berubah namun pada akhir penyimpanan terjadi peningkatan. Hal yang sama juga terjadi pada derajat keasaman (pH). pH mi sagu selama penyimpanan cenderung tidak mengalami perubahan yaitu berkisar antara 4,7-4,8.

4. Selama penyimpanan warna yang dihasilkan dari mi sagu berkisar antara yellow red dan yellow. Kecerahan (L) dan nilai chroma mengalami penurunan, sedangkan derajat hue tidak mengalami perubahan secara nyata. Kecerahan mi sagu dapat dipertahankan dengan menggunakan kemasan polipropilen non vakum. Rata-rata kecerahan (nilai L) mi sagu yaitu 48,68, derajat hue 84,92 dan nilai chroma 3,85.

5. Total bakteri dan kapang mengalami peningkatan selama penyimpanan. Secara visual, kemasan OPP/PE/LLPDE baik vakum maupun non vakum


(52)

dan kemasan polipropilen vakum mampu mempertahankan umur simpan mi sagu hingga akhir penyimpanan (hari ke-50).

6. Perlakuan terbaik yang diperoleh untuk mengemas mi sagu yaitu menggunakan kemasan polipropilen dengan kondisi pengemasan vakum dengan rata- rata nilai sineresis 0,03 %, cooking loss 0,46 %, ketengikan (nilai TBA) 0,831 mg malonaldehid/kg sampel, nilai kecerahan (L) 47,40, derajat hue 86,03, nilai chroma 3,29, total bakteri 36,33 x 102 koloni/g, total kapang 10,67 x 102 koloni/g dan derajat keasaman (pH) 4,804.

B. SARAN

1. Perlu dilakukan penelitian penerimaan konsumen terhadap mi sagu secara umum dan jenis kemasan serta kondisi pengemasan terhadap mi sagu secara khusus.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui umur simpan mi sagu yang dikemas dengan kemasan plastik polipropilen vakum, dengan menambah waktu penyimpanan.


(53)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2003. Dietary Fiber and Resistant Starch Analysis. http://www.fao/deocrep/w8079e/8079e0i.html.

Apriyantono, A., Dedi Fardiaz, Ni luh Puspitasari, Sedarnawati, dan Slamet Budiyanto. 1989. Analisis Pangan. IPB Press, Bogor.

Badan Standarisasi Nasional. 1992. SNI. SNI 01-2987-1992. Mi Basah. BSN, Jakarta.

Briston, John H., dan Leonard L. Katan. 1974. Plastic in Contact With Food. The Anchor Press Ltd., Great Britain.

Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet and Wooton. 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan UI-Press, Jakarta.

Buttkus, H. dan R.J. Rose. 1972. JAOCS 50: 387.

Chen, Z, L. Sagis, A. Ledder, J.P.H. Linssen, H. A. Schols dan A. G. J. Voragen. 2002. Phsycochemical Properties of Sweet Potato Starches and Their Application in Noodle Products. Journal of Food Science 67 : 3342-3347.

Collado, L. S., L. B. Mabesa, C. G. Oates dan H. Corke. 2001. Bihon-Types Noodles From Heat-Moisture Treated Sweet Potato Starch. Journal of Food Science 66(4):604-609.

Christensen, C. M. 1974. Storage of Cereal Grains and Their Products. American Association of Cereal Chemist, Inc. St. Paul, Minnesota, USA.

Dahle, L. K., E. G. Hill dan R.T. Holman. 1962. Arch. Biochem. Biophys 98 : 253.

Dennis, Colin dan Michael Stringer. 1992. Chilled Foods a Comprehensive Guide. Ellis Horwood Limited, England.

Dick, J. W., Shelke, K., Holm, Y. dan K. S. Loo. 1986. The Effect of Wheat Flour Quality, Formulation and Processing on Chinese Wet Noodle Quality. Research report, Dept. of Cereal Science and Food Technology, North Dakota State University, Fargo, ND.

Direktorat Gizi Dep Kes R.I .1979. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Bharata Karya Aksara, Jakarta.


(54)

Dufour, D., Amani, N. G., Tetchi, F. A.., dan Kamenan, A. A Comparative Study of the Syneresis of Yam Starches and Other Modified Starches. 2002. The Journal of Food Technology in Africa 7 : 4-8.

Eskin, N.A. Michael dan David S. Robinson. 2001. Food Shelf Life Stability. CRC Press LLC., Florida.

Fardiaz, Srikandi. 1992. Mikrobiologi Pangan. PT. Gramedia, Jakarta.

Gracecia, Daniel. 2005. Profil Mie Basah Yang Diperdagangkan di Bogor dan Jakarta. Skripsi. FATETA – IPB, Bogor.

Harrington, James P., dan Wilmer A. Jenkins. 1991. Packaging Foods with Plastics. Technomic Publishing Co., Inc., Lancaster, USA.

Haryanto, Bambang dan Philipus Pangloli. 1992. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Kanisius, Yogyakarta.

Hendrasari, R. 2000. Pengaruh Penambahan Tepung Kedelai terhadap Sifat Fisik, Kimia, dan Daya Terima Bihun dan Mie Golosor. Skripsi. FATETA-IPB, Bogor.

Hoseney, R. C. 1998. Principles Cereal Science and Technology. Second Edition. American Association of Cereal Chemist, Inc. St. Paul, Minnesota, USA. Hutchings, John B. 1999. Food Color and Appearance. Second Edition. Aspen

Publisher, Inc., Gaithersburg, Maryland.

Janero, D. R. 1990. Malonaldehyde and Thiobarbituric Acid Reactivity as Diagnostic Indices of Lipid Peroxidation and Peroxidative Tissue Injury. Free Radicals and Biological Medicine 9 : 515-540.

Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI-Press, Jakarta.

Kohne, H. I., dan M. Liversedge, 1944. J. Pharmacol. and Exp. Therap. 82 : 292. Kruger, James E., Robert B. Matsuo dan Joel W. Dick. 1996. Pasta and Noodle

Technology. American Association of Cereal Chemist, Inc. St. Paul, Minnesota, USA.

Labuza, 1982. Shelf Life Dating of Foods. Food and Nutrition Press Inc., Westport, Connecticut.


(55)

Luchsinger, S. E, D. H. Kropf, C. M. García Zepeda, J. L. Marsden, S. L. Stroda, M. C. Hunt, E. Chambers IV ,M. E. Hollingsworth, dan C. L. Kastner.1996. Sensory Traits, Color, and Shelf Life of Low-Dose Irradiated, Raw, Ground Beef Patties.

http://www.oznet.ksu.edu/ANSI/CatlDay/luc3.pdf.

Munarso, S Joni. 2004. Pati Resistan dan Peluang Perbaikan Mutu Pangan Tradisional. Prosiding Seminar Nasional. Peningkatan Daya Saing Pangan Tradisional.

Nawar, W. 1985. Lipids. Fennema, O. R (ed.). Food Chemistry. Marcel Dekker, Inc., New York.

Nova, Andi. 2002. Studi Umur Simpan Tepung Cincau Hitam dalam Kemasan Plastik. Skripsi. FATETA-IPB, Bogor.

Purwani, E. Y., Y. Setiawati, H. Setianto, S. J. Munarso, N. Richana dan Widaningrum. 2004. Utilization of Sago Starch For Transparent Noodle in Indonesia. Balai Besar (BB) Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Cimanggu – Bogor.

Robertson, Gordon. L. 1993. Food Packaging : Principles and Practice. Marcel Dekker, Inc., New York.

Sacharow, S., and R.C. Griffin. 1978. Food Packaging. AVI Publ. Inc., Westport. Sastrapraja, S. dan J.P. Mogea. 1977. Present Uses en Future Development of

Metroxylon Sago in Indonesia. Sago-76 : Papers of the First International Sago Symposium.

Syarief, R., S. Santausa dan St Isyana. 1989. Teknologi Pengemasan Pangan. Laboratorium Rekayasa Proses Pangan, PAU Pangan dan Gizi, IPB, Bogor.

Tarladgis, B. G., Watts, B. M., Younathan, M.T., dan L.R. Dugan, Jr. 1960. A Distillation Method for the Quantitative Determination of Malonaldehyde in Rancid Foods. Journal of American Oil Chemistry Society. 37 : 44-48.

Virtucio, L. 2004. Oriental Noodles. http//www.pavan.com

Walpole, Ronald E. 1982. Pengantar Statistika. Terjemahan. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Widjajanti, Ratih. 1993. Mempelajari Pengaruh Minyak Goreng, Kemasan Plastik, dan Atmosfer Termofidikasi terhadap Umur Simpan Kacang Telur. Skripsi. Fateta, IPB, Bogor.


(56)

Winarno, F. G., S. Fardiaz dan D. Fardiaz. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Gramedia, Jakarta.

Wirakartakusumah, M. A., A. Apriantono, M. S., Ma’arif , Suliantari, D. Muchtadi dan K. Otaka. 1985. Isolation and Characterization of Sago Starch and its Utilization for Production of Liquid Sugar. The Development of the Sago Palm and its Products. Report of the FAO/BPP Teknologi Consultation, Jakarta, January 16-21, 1984.

K.L. Yam, D.S. Lee. 1995. Design of Modified Atmosphere Packaging for Fresh Produce. Active Food Packaging. Chapman & Hall.

Yuniar, Kiki. 2004. Kondisi Industri Rumah Tangga Pangan serta Aplikasi Penggunaan Pewarna dan Pengawet Pada Mie Basah. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian - IPB, Bogor.


(57)

(58)

Lampiran 1. Prosedur Analisis

1. Kadar Air Dengan Metode Oven (AOAC, 1995)

Cawan aluminium kosong dipanaskan dalam oven pada suhu 105 oC selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang. Prosedur pengeringan cawan ini diulangi sampai didapatkan bobot tetap.

Contoh sebanyak 2-10 g ditimbang dalam cawan tersebut, kemudian dipanaskan dalam oven pada suhu 105 oC selama 3-5 jam. Setelah itu cawan dikeluarkan dari oven dan didinginkan, diulangi sampai didapatkan bobot tetap bahan.

Untuk menghitung persentase kadar air, digunakan rumus sebagai berikut :

% Air (b/b) = A-B x 100 % C

Keterangan :

A : bobot cawan berisi contoh sebelum dioven, dalam g B : bobot cawan berisi contoh setelah dioven, dalam g C : bobot contoh, dalam g

2. Kadar Abu (AOAC, 1995)

Contoh bahan sebanyak 2 gram dihitung dalam cawan yang bobotnya konstan. Dibakar sampai berasap di atas bunsen dengan api kecil, kemudian dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 600 oC selama 2 jam. Cawan yang berisi abu didinginkan dalam desikator selama 15 menit kemudian ditimbang. Persentae abu dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

% Abu (b/b) = A-B x 100 % C

Keterangan :

A : bobot cawan berisi abu, dalam g B : bobot cawan, dalam g


(59)

3. Kadar Protein (AOAC, 1995)

Contoh sebanyak 0,1 gram ditimbang, kemudian dimasukkan ke dalam labu kjehdahl dan ditambahkan 2,5 ml asam sulfat pekat serta katalis dan batu didih. Setelah itu didestruksi pada suhu 450 oC selama 2 jam atau lebih atau sampai didapat cairan jernih tidak berwarna atau berwarna hijau muda.

Labu beserta isinya didinginkan sampai suhu kamar, kemudian isinya dipindahkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan 50 ml aquades dan larutan NaOH 15 ml. Hasil destilasi ditampung dalam labu Erlenmeyer dalam labu Erlenmeyer yang berisi 25 ml HCL 0.02 N sampai diperoleh destilat sebanyak + 50 ml. Destilat dititrasi dengan NaOH 0.02 N dengan indikator metil merah.

Kadar Protein = a x N x 14.006 x 6.25 x 100 % M

Keterangan :

A = selisih ml NaOH yang digunakan untuk titrasi blanko dengan contoh N = normalitas larutan NaOH

M = berat contoh (mg)

4. Kadar lemak (AOAC, 1995)

Bahan ditimbang seberat 5 gram, dibungkus dalam kertas saring tahan minyak, kemudian dimasukkan ke dalam ekstraksi soxhlet. Bahan diekstraksi dengan larutan heksan selama 4-6 jam. Bahan dikeluarkan dan dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC sampai bobotnya tetap.

Kadar lemak = M1-M2 x 100 % M0

Keterangan :

M1 = Berat contoh sebelum ekstraksi (g) M2 = Berat contoh setelah ekstraksi (g) M0 = Berat contoh awal (g)


(60)

5. Kadar Karbohidrat, by difference (Winarno, 1995)

Kadar karbohidrat dihitung dengan menggunakan rumus : Kadar karbohidrat = 100% - (%air - %abu -%lemak - %protein)

6. pH (Kruger et al., 1996)

Pengukuran dilakukan menggunakan pH meter. Mi sagu sebanyak 10 gram yang akan diukur pH-nya, dihancurkan dengan blender kemudian dilarutkan dalam 100 ml aquades sampai homogen, contoh didiamkan dan diukur pH-nya.

7. Sineresis (Chen, 2003 dengan modifikasi)

Pengujian sineresis dilakukan dengan menyimpan mi yang telah dikemas dan disimpan di dalam refrigerator dan kemudian dihitung jumlah air yang keluar dari mi.

Sineresis (%) = volume air yang keluar / volume mi x 100%

8. Ketengikan (Tarladgis et al. , 1960)

Bahan ditimbang sebanyak 10 gram dengan teliti lalu dimasukkan ke dalam waring blender, ditambahkan 50 ml aquades dan dihancurkan selama 2 menit. Sampel dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu destilasi dambil dicuci dengan 47,5 ml aquades. Ditambahkan + 2,5 ml HCL 4M sampai pH menjadi 1,5. Kemudian ditambahkan batu didih dan pencegah buih (anti foaming agent) secukupnya dan dipasangkan labu destilasi pada alat destilasi.

Destilasi dijalankan dengan pemanasan tinggi sehingga diperoleh 50 ml destilat selama 10 menit pemanasan. Destilat yang dieroleh diaduk merata, kemudian 5 ml destilat dipipet ke dalam tabung reaksi bertutup. Ditambahkan 5 ml pereaksi TBA, ditutup dan dicampur merata lalu dipanaskan selama 35 menit dalam air mendidih. Dibuat blanko dengan menggunakan 5 ml aquades dan 5 ml pereaksi, lakukan seperti pada penetapan sampel.

Tabung reaksi didinginkan dengan pendingin selama + 10 menit, kemudian diukur absorbansinya (D) pada panjang gelombang 528 nm dengan


(61)

larutan blanko sebagai titik nol. Digunakan sample sel berdiameter 1 cm. bilangan TBA dihitung dan dinyatakan dalam mg malonaldehid per kg sample. Bilangan TBA = 7,8 D.

9. Cooking loss (AACC dalam Collado et al., 2001 dengan modifikasi)

Mi (10 g) direbus dimasukkan dalam air mendidih selama 3 menit kemudian ditiriskan. Jumlah padatan yang ada pada air sisa rebusan diukur dengan cara gravimetri.

10.Warna Metode Hunter (Hutching, 1999)

Sampel ditempatkan di wadah transparan. Pengukuran menghasilkan nilai L, a, b dan Ho. L menyatakan parameter kecerahan (warna akromatis, 0: hitam sampai 100: putih). Warna kromatik campuran merah hijau ditunjukkan oleh nilai a (a+ = 0-100 untuk warna merah, a- = 0-(-80) untuk warna hijau). Warna kromatik campuran biru kuning ditunjukkan oleh nilai b (b+ = 0-70, untuk warna kuning, b- = 0-(-70) untuk warna biru.

o

Hue Warna produk

18-54 o 54-90 o 90-126 o 126-162 o 162-198 o 198-234 o 234-270 o 270-306 o 306-342 o 342-18 o

Red ( R )

Yellow Red ( YR ) Yellow (Y)

Yellow Green (YG) Green (G)

Blue Green (BG) Blue (B)

Blue Purple (BP) Purple (P) Red Purple (RP)


(62)

(63)

11.Total Mikroba (Fardiaz, 1989)

Metoda yang digunakan untuk menghitung total mikroba adalah dengan metoda hitungan cawan yang dilakukan dengan cara metoda tuang. Sebanyak 1 gram bahan dihancurkan, selanjutnya dilakukan pengenceran 1:10 (1 gram bahan dalam 9 ml larutan garam fisiologis 0,85%). Setelah itu, sebanyak 1 ml larutan tersebut dipipet ke dalam tabung reaksi yang berisi 9 ml larutan garam fisiologis 0,85% menggunakan pipet 1 ml. Pengenceran berikutnya dilakukan dengan cara memipet sebanyak 1 ml larutan dari pengenceran sebelumnya.

Dari masing-masing pengenceran dipipet 1 ml ke dalam cawan petri. Kemudian ke dalam cawan tersebut dimasukkan agar cair steril yang telah didinginkan sampai 50 oC sebanyak kira-kira 15 ml. Media yang digunakan untuk menumbuhkan bakteri adalah dengan menggunakan agar NA (Nutrient Agar) dan untuk menumbuhkan kapang dengan agar PDA (Potato Dextrose Agar). Selama penuangan medium, tutup cawan tidak boleh dibuka terlalu lebar untuk menghindari kontaminasi dari luar. Segera setelah penuangan, cawan petri digerakkan di atas meja secara hati-hati untuk menyebabrkan sel-sel mikroba secara merata, yaitu dengan gerakan melingkar atau gerakan seperti angka delapan. Setelah agar memadat, cawan-cawan tersebut dapat diinkubasikan di dalam inkubator dengan posisi terbalik.


(1)

PENGARUH JENIS KEMASAN PLASTIK DAN

KONDISI PENGEMASAN TERHADAP KUALITAS

MI SAGU SELAMA PENYIMPANAN

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh

YULNIA AZRIANI

F34101086

2006

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

PENGARUH JENIS KEMASAN PLASTIK DAN KONDISI

PENGEMASAN TERHADAP KUALITAS

MI SAGU SELAMA PENYIMPANAN

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh

YULNIA AZRIANI F34101086

Tanggal lulus : Februari 2006

Disetujui oleh : Bogor, Februari 2006

Ir. Ade Iskandar, MSi Ir. Evi Savitri Iriani, MSi Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II


(3)

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul “Pengaruh Jenis Kemasan Plastik dan Kondisi Pengemasan Terhadap Kualitas Mi Sagu Selama Penyimpanan” adalah karya asli saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya.

Bogor, Februari 2006

Nama : Yulnia Azriani NRP : F34101086


(4)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Yulnia Azriani. Dilahirkan di Bogor pada tanggal 24 Juli 1983 di Bogor, sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Prof. Dr. Ir. H. Sudarsono, MSc dan Hj. Lilis Nurhayati. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Polisi 4 Bogor pada tahun 1995. Kemudian penulis memasuki sekolah lanjutan pertama di SLTP Negeri 1 Bogor dan lulus pada tahun 1998. Pendidikan lanjutan atas diselesaikan pada tahun 2001 di SMU Negeri 3 Bogor. Pada tahun 2001 melalui jalur USMI penulis diterima sebagai mahasiswi Institut Pertanian Bogor, pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian.


(5)

i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang dengan rahmah dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan, bimbingan dan dorongan semua pihak maka skripsi ini tidak mungkin terwujud. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ir. Ade Iskandar, MSi, sebagai dosen pembimbing utama, yang telah banyak memberikan saran dan bimbingan dalam penulisan skripsi ini. 2. Ir. Evi Savitri Iriani, MSi, sebagai dosen pembimbing kedua, yang

telah banyak memberikan bimbingan dan saran dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Farah Fahma, STP, MT sebagai dosen penguji, yang telah memberikan saran-saran demi kesempurnaan skripsi ini.

4. Bapak Ridwan Thaher atas kesediaannya memberikan izin penelitian. 5. Ibu Endang Yuli Purwani dari BB Penelitian dan Pengembangan

Pascapanen Pertanian, yang telah banyak memberikan bantuan dan saran dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Bapak Falik dari PT. Interkemas Flexipack, Tangerang atas kesediaannya membantu penulis selama penelitian.

7. Papah, mamah, kakak, adik, keponakan dan nenek penulis yang selalu mendukung dan mengiringi langkah penulis dengan do’a yang tak pernah putus.

8. Bapak Ato, Teh Ika, Ibu Ning, Pak Yudi, Mba Meli, dan staf lainnya dari BB Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian yang telah banyak membantu penulis selama penelitian.

9. Teman-teman satu bimbingan (Ani, Agus, dan Hendra) atas dukungan dan bantuannya.

10. Teman-teman selama penelitian (Kiki, Nugie, Rizka, Wini, Iyus, Tria, Mas Ando, Alice, Neni, Jhon dan lain-lain) yang telah berbagi suka dan duka selama penelitian.


(6)

ii

11. Teman smp (Widi, Aya, Mimil), teman sma (Ara, Windy dan Ali), Nisa, Uchi, Heni, O’o, Arya dan teman kuliah lainnya atas dukungannya.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, sehingga penulis sangat berbesar hati menerima tanggapan, saran dan kritik untuk perbaikan di masa datang. Semoga apa yang penulis lakukan ini mendapat ridlo Allah SWT dan dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, Februari 2006