16
dilakukan Phommart dkk 2005, akar tanaman M. tanarius L. digunakan sebagai antipiretik dan antitusif, dan daun M. tanarius L. digunakan
sebagai antiinflamasi karena adanya aktivitas antioksidan, yang didukung oleh penelitian uji antiinflamasi pada tikus terinduksi karagenin
Kurniawati, 2011. Penelitian Puteri dan Kawabata 2010 melaporkan terdapat lima senyawa baru, yaitu asam mallotinic, corilagin, asam
chebulagic, macatannin A dan macatannin B. Senyawa tersebut berpotensi
sebagai antidiabetik, yaitu sebagai senyawa penghambat enzim α-
glucosidase . Penelitian Handayani 2012 melaporkan bahwa ekstrak
metanol-air daun M. tanarius dapat menurunkan kadar glukosa darah pada tikus yang terbebani glukosa.
E. Hepatotoksin
Hepatotoksin merupakan zat yang mempunyai efek toksik pada hati, dengan dosis yang berlebihan atau dalam jangka waktu lama dapat
menimbulkan kerusakan hati akut, subakut ataupun kronis. Ada dua golongan senyawa yang merupakan hepatotoksin, yaitu :
1. Hepatotoksin teramalkan, yaitu golongan senyawa yang mempunyai sifat dasar toksik terhadap hati dan dapat menyebabkan hepatitis pada semua
individu, contohnya karbon tetraklorida, etionin dan kloroform. 2. Hepatotoksin tak teramalkan, yaitu golongan senyawa yang mempunyai
sifat dasar toksik terhadap hati tapi dapat mengakibatkan hepatitis pada
17
individu yang hipersensitif terhadap senyawa ini, contohnya isoniazid dan sulfonamide Zimmerman, 1999.
Hepatotoksin teramalkan dapat dibagi menjadi dua golongan yakni hepatotoksin kerja langsung dan hepatotoksin kerja tak langsung.
Hepatotoksin kerja langsung meliputi zat beracun zat induk atau metabolitnya yang mampu menimbulkan luka secara langsung pada
membran plasma, retikuloendoplasma dan organel lain hepatosit, prototipenya adalah karbon tetraklorida. Sedangkan hepatotoksin kerja tak langsung
meliputi zat beracun yang menimbulkan luka dengan cara mengganggu jalur atau proses metabolic yang khas, yang mengakibatkan kerusakan atau
kekacauan struktur sel hati, prototipenya etionin dan galaktosamin Zimmerman, 1999.
F. Karbon tetraklorida
Karbon tetraklorida adalah halometana yang berbentuk cairan pada suhu kamar, tidak berwarna, bening, bau manis yang menyengat, aromatik,
dan bau eter yang cukup kuat. Senyawa ini sangat sedikit larut dalam air, dapat larut dalam etanol dan aseton dan larut dengan benzen, kloroform, eter,
karbon disulfida, petroleum eter dan minyak. Karbon tetraklorida tidak mudah terbakar dan stabil dibawah suhu dan tekanan normal. Karbon tetraklorida
digunakan sebagai senyawa intermediet atau bahan baku dalam produksi kloroflorokarbon pada refrigeran, penyulingan minyak bumi, pelarut industri,
18
pengolahan lemak, minyak dan karet dan dalam aplikasi laboratorium HSDB 2009.
Karbon tetraklorida digunakan sebagai hepatotoksin untuk menyelidiki penyakit hati. Karbon tetraklorida juga menginduksi nekrosis sel dan
apoptosis dan dapat digunakan untuk menginduksi fibrosis hepatik dengan pemberian berulang.
Karbon tetraklorida diaktifkan oleh CYP2E1, CYP2B1 atau CYP2B2 dan mungkin CYP3A untuk membentuk radikal triklorometil CCl
3 -
. Radikal ini dapat mengikat molekul seluler asam nukleat, protein, lemak, merusak
proses seluler penting seperti metabolisme lipid, dengan kemungkinan terjadinya degenerasi melemak steatosis. Ikatan antara CCl
3 -
dan DNA diperkirakan berfungsi sebagai inisiator kanker hati. Radikal ini juga dapat
bereaksi dengan oksigen untuk membentuk radikal triklorometilperoksi CCl
3
OO
-
yaitu suatu senyawa yang sangat reaktif. CCl
3
OO
-
memulai reaksi berantai peroksidasi lipid yang menyerang dan menghancurkan asam lemak
tak jenuh ganda khususnya yang terkait dengan fosfolipid. Hal ini mempengaruhi permeabilitas dari mitokondria, retikulum endoplasma dan
membran plasma yang mengakibatkan hilangnya akumulasi kalsium seluler dan homeostasis yang dapat memberikan kontribusi besar untuk kerusakan sel
berikutnya. Diantara produk degradasi asam lemak terdapat aldehid reaktif terutama 4-hydroxynonenal yang dapat dengan mudah mengikat gugus fungsi
protein dan menyebabkan terhambatnya aktivitas enzim. Keracunan CCl
4
juga
19
menyebabkan hipometilasi komponen seluler, misalnya pada RNA akan menyebabkan penghambatan sintesis protein dan pada fosfolipid akan
menghambat sekresi lipoprotein Zimmerman, 1999. Penghancuran sitokrom P-450 terjadi terutama di sentrilobular dan
daerah tengah hati. Senyawa ini selektif untuk isoenzim tertentu, pada tikus diketahui selektif untuk CYP2E1, sedangkan pada isozymes lain seperti
CYP1A1 tidak terpengaruh. Penghancuran CYP2E1 dipengaruhi oleh jumlah oksigen yang tersedia, yang mana menjadi lebih besar ketika lebih banyak
oksigen tersedia Timbrell, 2008. Sebagai enzim microsomal CYP2E1 akan mempengaruhi aktivasi
metabolit dari senyawa yang terbentuk, hal ini dapat meningkatkan atau mengurangi sifat toksik dari senyawa induk. Dalam hal ini CYP2E1 berfungsi
sebagai agen pereduksi dan mengkatalis adisi elekron dan mengakibatkan hilangnya satu ion klorin sehingga membentuk radikal bebas triklorometil
•
CCl
3
yang merupakan metabolit reaktif. Radikal bebas triklorometil ini jika dengan adanya O
2
oksigen akan berubah menjadi radikal bebas triklorometilperoksi
•
OOCCl
3
yang lebih reaktif Gregus dan Klaaseen, 2001.
20
Gambar 3. Metabolisme Karbon tetraklorida ATSDR, 1992
Radikal triklorometil yang dihasilkan dapat mengalami salah satu dari beberapa reaksi. Senyawa reaktif tersebut merusak sekitar dari sitokrom P-
450, termasuk enzim itu sendiri dan retikulum endoplasma. Dengan demikian, radikal bebas triklorometil berikatan secara kovalen dengan lemak
mikrosomal dan protein, dan akan bereaksi secara langsung dengan membran fosfolipid dan kolesterol yang bersifat toksik. Reaksi ini juga akan
menghasilkan kloroform, yang merupakan salah satu metabolit dari CCl
4
. Hasil lain dari reaksi ini adalah radikal lipid yang akan mengaktifkan senyawa
oksigen reaktif selanjutnya mengakibatkan peroksidasi lipid Timbrell, 2008.
21
Pembentukan peroksidasi lipid hasil dari pemecahan lemak tak jenuh dapat
memberikan senyawa
karbonil seperti
4-hidroksialkenal dan
hidroksinonenal lainnya. Senyawa-senyawa tersebut diketahui memiliki efek biokimia, seperti menghambat sintesis protein dan menghambat enzim
glukosa-6-fosfatase Timbrell, 2008. Setelah pemejanan CCl
4
selama satu sampai tiga jam, trigliserida menumpuk di hepatosit dan terlihat sebagai
droplet lipid. Lipid dalam hati yang terbentuk ini dapat menghambat sintesis protein sehingga menurunkan produksi lipoprotein, yang mana lipoprotein ini
bertanggung jawab dalam transport lipid untuk keluar dari hepatosit. Akibat menurunnya produksi lipoprotein akan terhambat sehingga menyebabkan
steatosis Timbrell, 2008. Hal ini akan mempengaruhi permeabilitas dari
mitokondria, retikulum
endoplasma dan
membran plasma
yang mengakibatkan hilangnya akumulasi kalsium seluler yang dapat memberikan
kontribusi besar untuk kerusakan sel. Hal ini menyebabkan terganggunya pembentukan membran plasma sehingga menyebabkan kebocoran enzim ALT
dan AST dari sel Naik dan Panda, 2007. Tubuh sebenarnya mempunyai sistem pertahanan untuk mengatasi
radikal bebas, salah satunya adalah glutation-S-transferase GSH sebagai antioksidan endogen. Jika terdapat radikal bebas di dalam tubuh senyawa ini
akan menangkap radikal bebas tersebut Timbrell, 2008. Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan kemampuan beberapa
hepatotoksin yang dapat meningkatkan aktivitas serum ALT dan AST
22
Tabel I. Peningkatan Aktivitas Serum ALT-AST oleh beberapa hepatotoksin Zimmerman, 1999.
Tabel di
atas menunjukkan
bahwa karbon
tetraklorida dapat
meningkatkan aktivitas ALT tiga kali lipat dari kadar normal, sedangkan untuk AST dapat ditingkatkan sampai empat kali lipat dari kadar normal.
Karbon tetraklorida terbukti dapat meningkatkan kadar serum ALT dan AST dalam beberapa penelitian, antara lain dalam penelitian Chaudari et al 2009,
Kavitha, Shruthi, Rai dan Ramachandra 2011, dan Janakat dan Al-Merie 2003.
G. Ekstraksi