Berdasarkan tabel 4.27 diatas dapat diketahui hubungan pendidikan non formal yang dilaksanakan dipanti asuhan terhadap kemandirian anak tunanetra. Dari frekuensi 35
responden 100 yang memberi keterangan ada pendidikan non formal, terdapat frekuensi 35 responden 100 mampu mandiri. Adapun program pendidikan yang disediakan dan
diterima anak tunanetra adanya pelatihan yang diterima, seperti: musik piano, organ, seruling, gitar, keyboard, dan band, olah vokal solo, duet, vocal group dan paduan suara
masagepijat, dan bina persepsi bunyi dan irama. Hal ini menunjukan pendidikan dan pelatihan yang disediakan bisa dinikmati oleh anak tunanetra untuk memandirikan mereka.
4.4 Analisis Data
Analisis data adalah proses menjadikan data dan memberikan pesan kepada pembaca. Melalui Analisis data, maka data yang diperoleh tidak lagi diam melainkan
“berbicara”. Analisis data menjadikan data itu mengeluarkan maknanya, sehingga para pembaca tidak hanya mengetahui data Siagian, 2011;227. Pada rumusan
masalah terdapat dua pertanyaan yaitu apa sajakah peran lembaga dalam proses pola sosialisasi kemandirian anak berkebutuhan khusus pada Yayasan Karya Murni dan
apakah bentuk kemandirian anak berkebutuhan khusus setelah keluar dari Yayasan Karya Murni?
Pada analisis data ini akan dijelaskan peran panti asuhan dalam pola sosialisasi kemandirian anak tunanetra melalui kegiatan yang mereka berikan dapat kita lihat
dari penyajian data diatas. Dalam penyajian data yang dijelaskan diatas ditinjau dari sarana dan prasarana, menyatakan mampu tentang kemampuan anak tunanetra dalam
Universitas Sumatra Utara
pekerjaan sehari-hari setelah keluar dari panti asuhan dengan presentase 100. Adanya sarana dan prasarana yang disediakan panti asuhan, anak tunanetra
mendapatkan pelayanan tempat tinggal asrama, mendapatkan pelayanan pendidikan SLB-A, dan mendapatkan kebutuhan hidup yang mendasar seperti: makan, minum,
pakaian, dan sebagainya dan anak tunanetra juga mempunyai kegiatan yang wajib diikuti setiap harinya. Hal ini menunjukan panti asuhan tidak hanya memberikan
keterampilan dan pelatihan saja tetapi juga memperhatikan kebutuhan yang dibutuhkan anak tunanetra yang ada dipanti asuhan tersebut.
Sarana dan prasarana yang ada membantu kemandirian anak tunanetra karena dengan adanya sarana dan prasarana yang ada dipanti asuhan memudahkan anak
tunanetra untuk melakukan tindakan secara langsung dari materi pelajaran yang mereka terima melalui pendidikan formal maupun non formal.
Ditinjau dari program ketrampilan dan pengetahuan, menyatakan ada pendidikan ketrampilan dan pengetahuan yang diberikan panti asuhan dengan presentase 100
untuk memandirikan anak tunanetra antara lain seperti membuat gantungan kunci dari manik-manik, kotak tisu, computer: mengetik braille, belajar internet dan BPBI
adalah bina persepsi bunyi dan irama latihan mendengar.
Ditinjau dari pendidikan fomal dan non formal, menyatakan mampu meningkatkan kemandirian tunanetra dalam pemenuhan kebutuhan hidup dengan
presentase 100. Hal ini menujukkan tersedianya pendidikan formal TKLB-SLTPLB dan non formal seperti: pelatihan musik, olah vokal, masagepijat, dan bina persepsi
Universitas Sumatra Utara
bunyi dan irama menjadikan anak tunanetra mandiri dan dapat berinteraksi dengan masyarakat awas.
Hal menarik dapat kita temukan dari peran panti asuhan dalam pola sosialisai kemandirian anak tunanetra adalah dengan memberikan sarana dan prasarana,
pendidikan dan pelatihan, serta memberikan motivasi kepada anak tunanetra. Hal yang menarik juga dapat kita temukan dari kemandirikan anak tunanetra dipanti
asuhan ini adalah walupun mereka memiliki keterbatasan dalam melihat tetapi mereka bisa mengerjakan pekerjaan sehari-hari, bisa meraih prestasi, bisa sekolah
sampai perguruan tinggi dan bisa memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dari penyajian dan analisis data diatas sama halnya dengan apa yang dikemukakan Parson mengenai empat fungsi penting untuk semua sistem “tindakan”,
terkenal dengan skema AGIL yaitu:
1. Adaptation Adaptasi: sebuah sistem harus menanggulangi situasi eksternal
yang gawat. Sistem harus menyesuiakn diri dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan itu dengan kebutuhannya. Hal ini dapat dilihat dari
peran panti asuhan yang merupakan wadah atau tempat anak-anak berkebutuhan khusus untuk dilatih, dibina dan dididik untuk menemukan jati
diri setiap anak tunanetra mampu menyesuaikan diri atau peranannya sebagai
panti asuhan yang memandirikan anak tunanetra.
2. Goal Attainment Pencapaian Tujuan: sebuah sistem harus mendefenisikan
dan mencapai tujuan utamanya. Hal ini dapat dilihat dari visi dan misi panti
Universitas Sumatra Utara
asuhan, melalui program dan pelatihan yang diberikan panti asuhan kepada anak tunanetra untuk mengembangkan dan menggali potensi yang ada dalam
diri anak tunanetra agar menjadi mandiri.
3. Integration Integrasi: sebuah sistem harus mengatur antar hubungan bagian-
bagian yang menjadi komponennya. Sistem juga harus mengelola antarhubungan ketiga fungsi lainnya A, G, L. Hal ini dapat dilihat dari peran
panti asuhan yang mengatur semua kebutuhan yang diperlukan oleh anak
tunanetra selama mereka berada dipanti asuhan.
4. Latency Latensi atau Pemeliharaan Pola: sebuah sistem harus
memperlengkapi, memelihara dan memperbaiki, baik motivasi individual maupun pola-pola kultur yang menciptakan dan menopang motivasi. Hal ini
dapat dilihat dari program dan pelatihan yang diberikan panti asuhan, motivasi yang diberikan oleh suster, pengasuh dan pengajar untuk memotivasi
semangat anak tunanetra, dan memberikan aturan-aturan yang wajib mereka patuhi dan lakukan setiap harinya, dengan demikian anak tunanetra bisa
disiplin dan bertanggungjawab terhadap diri sendiri, keluarga dan masyarakat.
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan