Efektivitas Pelaksanaan Program Pelatihan Keterampilan Bagi Penyandang Cacat Tunanetra di Sekolah Luar Biasa/A (SLB/A) Karya Murni Medan Johor

(1)

EFEKTIVITAS PELAKSANAAN POGRAM PELATIHAN KETERAMPILAN BAGI PENYANDANG CACAT TUNANETRA DI SEKOLAH LUAR BIASA/A

(SLB/A) KARYA MURNI MEDAN JOHOR

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Sosial

Universitas Sumatera Utara

Disusun oleh

DENTI MONICA HUTAHAEAN

100902029

DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL Nama : Denti Monica Hutahaean

Nim : 100902029

ABSTRAK

Efektivitas Pelaksanaan Program Pelatihan keterampilan Bagi Penyandang Cacat Tunanetra Di Sekolah Luar Biasa/A (SLB/A) Karya Murni Medan Johor

Penyandang cacat perlu mendapatkan perhatian yang khusus dari keluarga, masyarakat dan pemerintah, karena penyandang cacat mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam segala aspek kehidupan. Diantaranya adalah mengembangkan kemampuan fisik, mental dan sosialnya sehingga penyandang cacat mampu bekerja sesuai dengan tingkat kemampuan, pendidikan dan keterampilan yang dimilikinya sesuai dengan minat dan pengalamannya. Melalui Sekolah Luar Biasa/A (SLB/A) Karya Murni Medan Johor khusus tunanetra, penyadang cacat tunanetra mendapatkan program pelatihan keterampilan sehingga mencapai kemandirian ditengah kehidupan masyarakat.

Penelitian ini berbentuk penelitian deskriptif yang mengkaji masalah program pelatihan keterampilan bagi penyandang cacat tunanetra. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas pelaksanaan program pelatihan keterampilan bagi penyandang cacat tunanetra di Sekolah Luar Biasa/A Karya Murni Medan johor. Sampel penelitian ini adalah siswa tunanetra yang mengikuti pelatihan keterampilan terdiri dari 15 orang. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner dan dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif. Indikator yang digunakan untuk mengukur efektivitas program pelatihan keterampilan tersebut adalah reaksi, proses belajar, perilaku dan dampak organisasi terhadap responden. Untuk mengetahui tingkat efektivitas program, pengukuran data dilakukan dengan menggunakan skala likert.

Hasil penelitian menyimpulkan, efektivitas pelaksanaan program pelatihan keterampilan bagi penyandang cacat tunanetra di Sekolah Luar Biasa/A (SLB/A) Karya Murni Medan Johor yaitu efektif dengan nilai skala likert 3,79. Reaksi responden adalah efektif sebanyak 3,82. Proses belajar responden berjalan efektif sebanyak 3,78. Perubahan perilaku sebanyak 3,71. Dampak program pelatihan keterampilan bagi responden juga efektif sebanyak 3,88. Responden yang mengikuti pelatihan keterampilan kini telah memiliki keterampilan dan lebih percaya diri. Kata kunci : Efektivitas, Pelaksanaan Program Pelatihan Keterampilan, Penyandang


(3)

UNIVERSITY OF NORTH SUMATRA

FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE SCIENCE DEPARTMENT OF SOCIAL WELFARE Name: Denti Monica Hutahaean

Nim : 100902029

ABSTRACT

The Effectiveness Of Implementation Skills Training Program For Disabilities Visually Impaired At Outstanding School/A (SLB/A) Karya Murni Medan

Johor

Disabled people need to get special attention from family, society and government, because people with disabilities have the same rights and obligations in all aspects of life. Among them are the ability to develop physical, mental and social so that people with disabilities are able to work according to their ability, education and skills in accordance with their interests and experience. Through of Outstanding School /A (SLB /A) Karya Murni Medan Johor special for visually impaired, the disabilities of visually impaired got the skills training program so as to achieve self-sufficience in public life.

This study examines the form of descriptive research problem skills training programs for visually impaired. This study aims to determine the effectiveness of skills training programs for visually impaired at Outstanding School/A (SLB/A) Karya Murni Medan Johor. The sample of this study are the visually impaired students who attend training skills consists of 15 people. Data were collected using a questionnaire and analyzed using descriptive statistics. Indicators used to measure the effectiveness of the skills training program is a reaction, learning, behavior and organizational impact on respondents. To determine the level of effectiveness of the program, the measurement data is done by using a likert scale.

The study concluded, the effectiveness of skills training programs for persons with disabilities visually impaired at the Outstanding School/A (SLB/A) Karya Murni Medan Johor work effectively with a likert scale value 3,79. Reaction respondent is effective as 3,82. The learning process of respondents is effective as 3,78. Behavior change as much as 3,71. The impact of skills training programs for the respondents also effective as 3,88. Respondents who attend the skills training now have the skills and more confidence.

Keyword : Effectiveness, Implementation Skills Training, Disabilities visually impaired


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur yang sangat teristimewa kepada Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa memberikan berkat melimpah kepada penulis sehingga sampai pada saat ini dapat menyelesaikan skripsi dengan judul, “Efektivitas Pelaksanaan Program Pelatihan Keterampilan Bagi Penyandang Cacat Tunanetra di Sekolah Luar Biasa/A (SLB/A) Karya Murni Medan Johor. Skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan studi pada program strata satu (S1), Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

Selama menyelesaikan skripsi ini penulis telah banyak menerima bantuan, bimbingan, serta dukungan dari berbagai pihak baik moril maupun materil. Maka dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Hairani Siregar, S.Sos, M.SP selaku Ketua Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial

3. Ibu Dra. Berlianti, M.SP selaku dosen pembimbing skripsi yang telah bersedia membimbing, meluangkan waktu, tenaga, kesabaran dan dukungan dalam penyelesaian skripsi ini.

4. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen serta Pegawai Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara untuk segala ilmu pengetahuan selama perkuliahan. 5. Kepala Sekolah Luar Biasa/A (SLB/A) Karya Murni Suster Leoni Silaen dan


(5)

Terimakasih banyak atas bantuan, dan arahannya dalam mendapatkan data-data yang dibutuhkan dalam penulisan skripsi ini.

6. Seluruh adik-adik siswa tunanetra Sekolah Luar Biasa/A (SLB/A) yang telah bersedia membantu dan bekerjasama dengan menjadi responden dalam penelitian penulis. Semoga adik-adik semua selalu dalam penyertaan Tuhan dan sukses selalu buat kalian semua ya… Terkhusus buat Grasella Monica Nainggolan, terimakasih ya dek sudah mengajari kakak bagaimana membaca huruf braille, meskipun kakak kurang mengerti tapi itu suatu pengalaman berharga bagi kakak. 7. Teristimewa luar biasa kepada kedua orangtuaku, Ayah N.S Hutahaean dan ibu

R.Sibarani yang telah merawat penulis dengan penuh kasih sayang serta telah banyak mengorbankan waktu dan materi yang tak terhitung nilainya demi keberhasilan penulis dalam meraih cita-cita. Semoga harapan, doa dan perjuangan ayah dan ibu akan terus menjadi motivasi penulis untuk menjadi yang terbaik. 8. Kakak dan adekku, Kak Riana Hutahaean, Kak Herlina Hutahaean yang telah

membantu penulis baik dari materi dan motivasinya yang selalu mendukung penulis. Adekku Benni Hutahaean sukses buat kuliahmu, dan Adekku Rio Eduart Hutahaean tetap semangat belajar dek. Semoga cita-cita dan harapan kita tercapai yaa…

9. Kelompok Abigael (Kak Lenta, Esther Silaban, Grace Hutagalung, Megawati Sitinjak dan Sartika br. Karo) banyak waktu yang telah kita lalui bersama sehingga seperti keluarga yang saling berbagi dan melengkapi. Semoga arti dari nama abigael “wanita cantik dan bijaksana” dapat kita lakukan dalam kehidupan kita.

10. Sahabat-sahabatku yang satu kos ( Kak Evi, Kak Inest, Kak Priska, Sherli) maupun mantan-mantan satu kos (Kak Rina, Kak Rayu, Kak Reni, Santi dan Ana


(6)

yang paling hobby jalan-jalan smoga cepat siap skripsimu ya na) terimasih buat kebersamaan, canda tawa dan belajar bersamanya.

11. Senior-senior 09 Ilmu Kesejahteraan Sosial, terimakasih buat dukungan yang diberikan kepada penulis.

12. Teristimewa buat sahabatku juga dan teman seperjuangan satu stambuk 2010 lainnya di Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial Halason, Riada, Desi Ginting, Desi Hutajulu, Hana, Intan, Yuli, Silva, Yohana, Erlince, Prima , Liberson, Feri, Dwi, Eni, Weni, Foniah, Leo, Ardi, Noven, Helen, Davit, Pera, Jonathan, Sintong,, Dimas, Umi, Angga, Iin, dan lainnya yang belum saya sebutkan namanay, semoga kita semua dapat mengejar cita-cita dan terima kasih setulusnya atas kebersamaannya.

13.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, namun banyak membantu dalam memberikan bantuan moril maupun materil bagi terselesainya skripsi ini, penulis banyak ucapkan terimakasih.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memerlukan kritik dan saran yang sifatnya membangun, untuk itu sangat diharapkan masukannya. Akan tetapi penulis telah semaksimal mungkin berusaha memberikan yang terbaik, semoga skripisi ini dapat memberikan manfaat bagi rekan-rekan mahasiswa dan semua pihak yang membutuhkannya. Semoga Tuhan Yesus Kristus memberi perlindungan, kesehatan dan berkatNya kepada kita semua.

Medan, Juni 2014 Penulis


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ………. i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR BAGAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang ... 1

1.1Perumusan Masalah ... 8

1.1 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

1.3.1 Tujuan Penelitian ... 8

1.3.2 Manfaat Penelitian ... 8

1.4 Sistematika Penulisan ... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Efektifitas ... 10

2.1.1 Pengertian Efektivitas ... 10

2.1.2 Pengukuran Terhadap Efektivitas ... 13

2.2 Program Pelatihan Keterampilan Penyandang Cacat ... 14

2.3 Penyang Cacat ... 17

2.3.1 Pengertian Penyandang Cacat ... 17

2.3.2 Jenis-Jenis Penyandang Cacat ... 19

2.4 Tunanetra ... 25

2.4.1 Pengertian Tunanetra ... 25


(8)

2.4.3 Faktor Penyebab Tunanetra ... 30

2.4.4 Dampak Ketunanetraan ... 32

2.5 Pendidikan Anak Tunanetra ... 33

2.6 Pelayanan Sosial ... 36

2.7 Kesejahteraan Sosial ... 39

2.8 Kerangka Pemikiran ... 41

2.9 Definisi Konsep dan Definisi Operasional ... 44

2.9.1 Definisi Konsep ... 44

2.9.2 Definisi Operasional ... 45

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian ... 48

3.2 Lokasi Penelitian ... 48

3.3 Populasi dan Sampel ... 49

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 49

3.5 Teknik Analisa Data ... 50

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah Berdirinya Lembaga ... 52

4.2 Visi, Misi dan Motto Lembaga ... 54

4.3 Struktur Organisai ... 56

4.4 Sumber Dana Lembaga ... 60

4.4 Daftar Guru/ Pegawai Lembaga ... 62

4.5 Sarana dan Prasarana Lembaga ... 63

BAB V ANALISIS DATA 5.1 Pengantar ... 70


(9)

BAB VI PENUTUP

6.1 Kesimpulan ... 114 6.2 Saran ... 115 DAFTAR PUSTAKA


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel Judul Tabel

Hal

Tabel 4.1 Daftar Guru/Pegawai SLB/A Karya Murni ... 62

Tabel 5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Usia ... 71

Tabel 5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis kelamin ... 72

Tabel 5.3 Distribusi Responden Berdasarkan Kelas ... 72

Tabel 5.4 Distribusi Responden Berdasarkan Agama ... 73

Tabel 5.5 Distribusi Responden Berdasarkan Suku Bangsa ... 74

Tabel 5.6 Distribusi Responden Berdasarkan Daerah Asal ... 75

Tabel 5.7 Distibusi Responden Berdasarkan Pengetahuan Akan Lembaga .... 77

Tabel 5.8 Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan Tentang Tujuan Program ... 79

Tabel 5.9 Distribusi Responden Berdasarkan Tehnik Keterampilan yang Diajarkan ... 80

Tabel 5.10 Distribusi Responden Berdasarkan Perlengkapan Keterampilan Musik Tabel 5.11 Distribusi Responden Berdasarkan Perlengkapan Keterampilan Masege/Pijat ... 82

Tabel 5.12 Distibusi Responden Berdasarkan Perlengkapan Keterampilan Meronce ... 83

Tabel 5.13 Distibusi Responden Berdasarkan Kesesuaian Teori dan Praktek . 84 Tabel 5.14 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pemahaman Materi .... 85

Tabel 5.15 Distribusi Responden Berdasarkan Peningkatan Kemampuan Keterampilan ... 86


(11)

Tabel 5.16 Distribusi Responden Brdasarkan Mejelaskan/mempersentasekan Pelajaran ... 87 Tabel 5.17 Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan Keterampilan

Terhadap Perkembangan Zaman ... 88 Tabel 5.18 Distribusi Responden Berdasarkan Pembelajaran Keteraampilan .. 90 Tabel 5.19 Distribusi Responden Berdasarkan Pembelajaran Hubungan Interaksi Sosial dan Kemandirian ... 91 Tabel 5.20 Distribusi Responden Berdasarkan Kesesuaian Materi Keterampilan

... 92 Tabel 5.21 Distribusi Responden Berdasarkan Kemampuan Mengikuti

Keterampilan ... 93 Tabel 5.22 Distribusi Responden Berdasarkan Kemampuan Menghasilkan Suatu

Karya ... 94 Tabel 5.23 Distribusi Responden Berdasarkan Pembantuan Pelatihan

Keterampilan Untuk Bersosialisasi di Ligkungan Luar Panti Sekolah

... 95 Tabel 5.24 Disrtibusi Responden Berdasarkan Pembantuan Penambahan Aspek

Ekonomis ... 96 Tabel 5.25 Distribusi Responden Berdasarkan Kepercayaan Diri Resonden

dengan Mengikuti Pelatihan Keterampilan ... 97 Tabel 5.26 Distribusi Responden Berdasarkan Peningkatan Kreativitas

Sehari-hari Responden ... 98 Tabel 5.27 Distibusi Responden Berdasarkan Kemampuan Menghasilkan

Sebuah Karya Inovasi ... 99 Tabel 5.28 Distribusi Responden Berdasarkan Progran yang Diterima


(12)

Membantu dalam Mendapatkan Pekerjaan ... 101 Tabel 5.29 Distribusi Responden Berdarkan Kemampuan Menyelesaikan

Pembelajaran dengan Waktu yang Ditentukan ... 102 Tabel 5.30 Distribusi Responden Berdasarkan Ketepatan Waktu Pelatihan

Keterampilan ... 103 Tabel 5.31 Distribusi Responden Berdasarkan Keberlanjutan Program Pelatihan

Keterampilan ... 104 Tabel 5.32 Distribusi Responden Berdasarkan Kesiapan Diri (Kemandirian)

Sebelum dan Sesudah Prgram ... 106 Tabel 5.33 Distribusi Responden Berdasarkan Kemampuan Bersosialisasi

(Interaksi Sosial) Sehari-hari Sebelum dan Sesudah Menerima Program ... 108 Tabel 5.34 Distribusi Responden Berdasarkan Kepercayaaan Diri (Pada


(13)

DAFTAR BAGAN

BAGAN Judul Bagan Hal

Bagan 2.1 Bagan Kerangka Berpikir ... 43 Bagan 4.1 Struktur SLB/A Karya Murni ... 56


(14)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL Nama : Denti Monica Hutahaean

Nim : 100902029

ABSTRAK

Efektivitas Pelaksanaan Program Pelatihan keterampilan Bagi Penyandang Cacat Tunanetra Di Sekolah Luar Biasa/A (SLB/A) Karya Murni Medan Johor

Penyandang cacat perlu mendapatkan perhatian yang khusus dari keluarga, masyarakat dan pemerintah, karena penyandang cacat mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam segala aspek kehidupan. Diantaranya adalah mengembangkan kemampuan fisik, mental dan sosialnya sehingga penyandang cacat mampu bekerja sesuai dengan tingkat kemampuan, pendidikan dan keterampilan yang dimilikinya sesuai dengan minat dan pengalamannya. Melalui Sekolah Luar Biasa/A (SLB/A) Karya Murni Medan Johor khusus tunanetra, penyadang cacat tunanetra mendapatkan program pelatihan keterampilan sehingga mencapai kemandirian ditengah kehidupan masyarakat.

Penelitian ini berbentuk penelitian deskriptif yang mengkaji masalah program pelatihan keterampilan bagi penyandang cacat tunanetra. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas pelaksanaan program pelatihan keterampilan bagi penyandang cacat tunanetra di Sekolah Luar Biasa/A Karya Murni Medan johor. Sampel penelitian ini adalah siswa tunanetra yang mengikuti pelatihan keterampilan terdiri dari 15 orang. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner dan dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif. Indikator yang digunakan untuk mengukur efektivitas program pelatihan keterampilan tersebut adalah reaksi, proses belajar, perilaku dan dampak organisasi terhadap responden. Untuk mengetahui tingkat efektivitas program, pengukuran data dilakukan dengan menggunakan skala likert.

Hasil penelitian menyimpulkan, efektivitas pelaksanaan program pelatihan keterampilan bagi penyandang cacat tunanetra di Sekolah Luar Biasa/A (SLB/A) Karya Murni Medan Johor yaitu efektif dengan nilai skala likert 3,79. Reaksi responden adalah efektif sebanyak 3,82. Proses belajar responden berjalan efektif sebanyak 3,78. Perubahan perilaku sebanyak 3,71. Dampak program pelatihan keterampilan bagi responden juga efektif sebanyak 3,88. Responden yang mengikuti pelatihan keterampilan kini telah memiliki keterampilan dan lebih percaya diri. Kata kunci : Efektivitas, Pelaksanaan Program Pelatihan Keterampilan, Penyandang


(15)

UNIVERSITY OF NORTH SUMATRA

FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE SCIENCE DEPARTMENT OF SOCIAL WELFARE Name: Denti Monica Hutahaean

Nim : 100902029

ABSTRACT

The Effectiveness Of Implementation Skills Training Program For Disabilities Visually Impaired At Outstanding School/A (SLB/A) Karya Murni Medan

Johor

Disabled people need to get special attention from family, society and government, because people with disabilities have the same rights and obligations in all aspects of life. Among them are the ability to develop physical, mental and social so that people with disabilities are able to work according to their ability, education and skills in accordance with their interests and experience. Through of Outstanding School /A (SLB /A) Karya Murni Medan Johor special for visually impaired, the disabilities of visually impaired got the skills training program so as to achieve self-sufficience in public life.

This study examines the form of descriptive research problem skills training programs for visually impaired. This study aims to determine the effectiveness of skills training programs for visually impaired at Outstanding School/A (SLB/A) Karya Murni Medan Johor. The sample of this study are the visually impaired students who attend training skills consists of 15 people. Data were collected using a questionnaire and analyzed using descriptive statistics. Indicators used to measure the effectiveness of the skills training program is a reaction, learning, behavior and organizational impact on respondents. To determine the level of effectiveness of the program, the measurement data is done by using a likert scale.

The study concluded, the effectiveness of skills training programs for persons with disabilities visually impaired at the Outstanding School/A (SLB/A) Karya Murni Medan Johor work effectively with a likert scale value 3,79. Reaction respondent is effective as 3,82. The learning process of respondents is effective as 3,78. Behavior change as much as 3,71. The impact of skills training programs for the respondents also effective as 3,88. Respondents who attend the skills training now have the skills and more confidence.

Keyword : Effectiveness, Implementation Skills Training, Disabilities visually impaired


(16)

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang masalah

Di perjalanan kehidupan suatu Bangsa selalu terjadi proses regenerasi yang pada dasarnya menunjukkan hukum alam yang telah menunjukkan kepastian. Dengan kata lain ada yang datang, yang berarti generasi tua senantiasa digantikan oleh generasi muda. Generasi muda inilah yang akan menjadi penerus kehidupan bangsa. Dengan demikian kedudukan generasi muda sangat penting artinya dalam kaitannya dengan kesinambungan kehidupan suatu bangsa.

Anak dikatakan sebagai cikal bakal lahirnya suatu generasi muda. Dimana anak menjadi generasi baru penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan nasional. Oleh karena itu generasi muda perlu dibina agar dapat bertumbuh dan berkembang secara wajar. Setiap anak mempunyai hak untuk mendapatkan penghargaan dan kepentingan yang terbaik untuknya. Hak anak untuk di dengar atau penghargaan atas pendapat anak merupakan hal yang penting agar tumbuh kembangnya dapat tercapai secara maksimal. Dengan kata lain, tidak mungkin tercapai suatu keputusan yang terbaik bagi anak maupun tidak mungkin tumbuh kembang anak maksimal jika pendapat anak tidak didengar dan pendapatnya tidak dihargai dalam pengambilan keputusan bagi dirinya (Save The Children, 2010: 30). Hak-hak anak tersebut dapat terbentuk melalui lingkungannya, keluarga terutama orang tua.

Secara sosiologis anak terlahir melalui orang tua, tapi dia bukan milik orang tua. Anak adalah pribadi lain,memiliki pandangan dan pemikiran sendiri, walaupun dia dilahirkan melalui orang tua (Sunarti, 2004: 123). Manusia tidak semua terlahir normal. Ada yang sejak lahir mengalami kecacatan atau pada masa perkembangan


(17)

mengalami kecacatan. Anak yang lahir demikian disebut dengan anak yang berkebutuhan khusus . Anak yang berkebutuhan khusus harus diberi kesempatan yang sama, sebab mereka mempunyai bakat dan talenta yang sama dengan anak yang lainnya (Analisa, 2014; 6)

Anak dengan berkebutuhan khusus perlu dikenal dan diidentifikasi dari kelompok anak pada umumnya, oleh karena mereka memerlukan pelayanan yang bersifat khusus. Pelayanan tersebut dapat berbentuk pertolongan medik, latihan-latihan therapikc, maupun program pendidikan khusus, yang bertujuan untuk membantu mereka mengurangi keterbatasannya dalam hidup bermasyarakat.

Dalam rangka mengidentifikasi (menemukan) anak dengan kebutuhan khusus, diperlukan pengetahuan tentang berbagai jenis dan gradasi (tingkat) kelainan organis maupun fungsional anak melalui gejala-gejala yang dapat diamati sehari-hari. Anggapan akan keberadaan anak berkebutuhan khusus merupakan beban, aib, bencana dan kutukan, mengakibatkan masih banyak orang tua, keluarga dan masyarakat yang menyembunyikannya, sehingga anak berkebutuhan khusus mengalami diskriminasi dan tidak terpenuhi haknya untuk memperoleh pendidikan dan kesehatan sebagaimana anak lain seusianya, termasuk hak untuk memperoleh akta kelahiran. Anggapan ini juga mengakibatkan anak berkebutuhan khusus mendapatkan kekerasan termasuk penelantaran dan pemasungan karena anak tersebut sering melakukan perusakan dan tidak bisa diatur serta meresahkan lingkungan sekitarnya. Salah satu bagian dari berkebutuhan khusus adalah tunanetra.

Tunanetra adalah tidak berfungsinya indra penglihatan yaitu mata. Mata sebagai indara penglihatan dalam tubuh manusia menduduki peringkat utama, sebab sepanjang waktu selama manusia terjaga mata akan membantu manusia untuk beraktivitas, disamping itu indra sensoris lainnya seperti pendengaran, perabaan,


(18)

penciuman, dan perasa. Begitu besar peran mata sebagai salah satu indra yang sangat penting, maka dengan terganggunya indra penglihatan seseorang berarti ia akan kehilangan fungsi kemampuan visualnya untuk merekam objek dan peristiwa fisik yang ada dilingkungannya ( Efendi 2006: 29).

Kehadiran anak tunanetra tidak mengenal suku bangsa, agama, golongan, ras, atau status. Mereka hadir tanpa harus memberikan tanda- tanda khusus bagaimana layaknya fenomena alam lainnya. Menyikapi keadaan tersebut, sebaiknya tidak perlu mempersoalkan perihal ia hadir dengan keterbatasan fungsi penglihatannya, tetapi perlu dipikirkan bantuan apa yang dapat diberikan agar mereka dapat menerima ketunanetraannya.

Menurut Survei Departemen Sosial RI (1978), populasi penyandang disabilitas adalah 3,11% dari total penduduk Indonesia. Sementara WHO (2004) memperkirakan, populasi penyandang disabilitas 10% dari total penduduk Indonesia. Menurut PUSDATIN Kemensos RI (2008), jumlah penyandang disabilitas di 14 provinsi adalah 1.167.111 jiwa, di antaranya 59,8% tidak sekolah atau tidak tamat SD, dan 74,4% dari mereka tidak bekerja. Data PUSDATIN Kemensos RI (2010) menunjukkan, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia adalah 1.163.508 jiwa, dan data ini digunakan dalam Renstra Kemensos RI dan PRJMN 2010- 2015 (http://berkas.dpr.go.id/pengkajian. Diakses tanggal 23 April 2014, pukul 10.00 Wib)

Menurut data dari Kementerian Sosial RI, pada tahun 2011, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 3,11%, atau sebesar 6,7 juta jiwa. Sedangkan menurut Kementerian Kesehatan RI, jumlah penyandang disabilitas lebih besar, yaitu: 6% dari total populasi penduduk Indonesia. Akan tetapi, bila mengacu pada standar Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO) yang lebih ketat, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 10 juta jiwa, sementara rata-rata


(19)

jumlah penyandang disabilitas di negara berkembang sebesar 10% dari total populasi penduduk. Menurut data terbaru ( Juli 2012), jumlah penyandang disabilitas di Indonesia tercatat sebagai berikut :

1. Tunanetra : 1.749.981 jiwa 2. Tunarungu/wicara : 602.784 jiwa 3. Tunadaksa : 1.652.741 jiwa

4. Tunagrahita : 777.761 jiwa (http://rehsos.kemsos.go.id, diakses pada 01 Maret 2014. Pukul 9:19)

Jumlah penyandang cacat yang begitu besar tersebut perlu mendapatkan perhatian yang memadai dari pemerintah agar mereka tidak selamanya terbelunggu dengan kecacatannya, sehingga menjadi beban keluarganya, masyarakat maupun pemerintah. Langkah yang dianggap paling efekif adalah dengan memberikan pendidikan dan pelatihan keterampilan yang memadai bagi mereka, sehingga mereka dapat melayani dirinya sendiri dan tidak tergantung pada orang lain, baik secara ekonomi maupun social. Mereka juga perlu mendapatkan pembinaan yang lebih baik dari pemerintah, masyarakat maupun keluarga untuk meningkatkan kepercayaan diri dan kreatifitasnya.

Pada hakekatnya keadaan cacat yang dimiliki oleh seseorang hanya sekedar kelainan belaka. Sebenarnya mereka juga mempunyai kemempuan untuk mepertahankan diri. Hanya saja yang mereka perlukan untuk itu adalah adanya suatu pembinaan dan pelayanan yang intensif, dalam arti lebih tinggi intensitasnya dari orang yang normal, sehinggga mereka mempunyai suatu bekal untuk hidup secara mandiri, tanpa perlu lagi bergantung sama orang lain. Disamping itu juga supaya dapat berinteraksi dengan sesama anggota masyarakat lainnya.


(20)

Hal ini sesuai dengan apa yang di tulis dalam Undang- Undang Dasar 1945 Pasal 28 ayat (1) yang berbunyi “ setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia” (Marsono, 2003: 89).

Pada tahun 2008, Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa Jumlah tunanetra di Indonesia mencapai 3,5 Juta orang atau 1,5% dari populasi penduduk. Banyaknya jumlah tunanetra di Indonesia tidak menjadikan negara ini menjadi pasrah dan membiarkan para penyandang tunanetra tersebut hidup dengan tidak mengecap pendidikan dan keterampilan.

Keterbatasan (kecacatan) tersebut sesungguhnya merupakan pribadi yang utuh seperti individu pada umumnya, mereka memiliki potensi, bakat, minat dan cita-cita untuk berkembang. Mereka memiliki kemampuan dalam melakukan berbagai aktivitas dan pekerjaan sesuai denga potensinya masing-masing. Kondisi ini sudah dibuktikan dalam bidang olah raga misalnya, kaum disabillitas dapat mengharumkan nama baik Indonesia di kancah Internasional. Tahun 2011 Indonesia sukses meraih medali 15 emas, 13 perak dan 11 perunggu dalam ajang olimpiade Tunagrahita (disabilitas intelektual) yang digelar di Athena, Yunani. Dalam bidang seni, saudara Alam dan istrinya sebagai penyandanag tunanetra sangat piawai dalam bermain musik, sehingga mampu mengantarkannya keliling dunia. Begitu pula banyak prestasi dan reputasi lain yang diraih penyandang cacat disabilitas dalam berbagai bidang.

Pendidikan dan keterampilan merupakan hal yang terpenting bagi tunanetra. Hal ini didapat mereka dari lembaga- lembaga sosial seperti panti asuhan, sekolah luar biasa dan lain-lain yang memberikan pelayanan sosial bagi tunanetra agar dapat


(21)

mengembangkan potensi dalam diri mereka sehingga tunetra tetap eksis ditengah- tengah masyarakat. Setelah selesai mendapatkan pendidiakan, mereka tidak memiliki pekerjaan formal yang sesuai dengan kemampuan tunanetra. Sesuai dengan Undang- Undang RI No.43 pasal 30 Tahun 1997 tentang Penyandang cacat yang mengatur peluang kerja bagi tunanetra atau cacat fisik lainnya, pengusaha wajib memberikan kesempatan yang sama kepada tenaga kerja penyandang cacat yang memenuhi persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan untuk memperoleh pekerjaan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.

Penanganan penyandang disabilitas saat ini masih terkesan diskriminatif, misalnya dalam mendapatkan pelayanan pendidikan, kesehatan dan layanan umum lainnya. Dalam lingkungan keluarga masih, ada keluarga yang menganggap anak disabilitas sebagai aib atau kutukan, sehingga anak tersebut disembunyikan dan kehilangan haknya terhadap kelangsungan hidup dan tumbuh kembang secara wajar. Penanganan disabilitas juga cenderung belas kasihan (charity). Penaganan disabilitas seharusnya menggunakan pendekatan human right, dimana hak-hak dan potensi mereka sebagai individu mendapat tempat yang sama dengan yang lainnya. Penyandang disabilitas merupakan salah satu sumber daya manusia yang kualitasnya harus ditingkatkan agar dapat berperan sebagai subjek pembangunan ( Oos, 2013 : 140).

Keterampilan sangat dibutuhkan oleh setiap individu terutama pada saat ini. Keterampilan bagi sebagian orang adalah suatu kelebihan yang harus dimiliki karena dalam segala aspek kita sebagai individu dituntut untuk terampil menyikapi segala hal. Berbeda dengan anak dengan kecacatan tunanetra, ada kecenderungan penyesuaian dirinya terhadap lingkungan menjadi terhambat sehingga kurang optimal dalam mengekspresikan kemampuan yang merek amiliki. Tujuan dilakukan


(22)

keterampilan bagi anak tunanetra untuk memudahkan mereka dalam pemenuhan kebutuhan hidup mereka sehari-hari sehingga diharapkan dengan adanya keterampilan tersebut, mereka bisa hidup mandiri. Keterbatasan anak tunanetra menjadikan pemberian atau pengajaran akan skill atau keterampilan sedikit berbeda dengan anak yang normal. Perlu adanya metode atau cara-cara yang khusus yang dilakukan pengajar. Oleh sebab itu, perlu dibentuk sebuah lembaga atau yayasan yang dapat memberikan anak berkebutuhan khusus seperti anak tunanetra sebuah pelatihan akan keterampilan.

Di indonesia secara umum banyak terdapat lembaga sosial maupun organisasi sosial baik non pemerintah maupun yang pemerintah, namun dalam operasionalnya tidak sesuai dengan tujuan yang hendak diharapkan. Hal ini dikarenakan banyak lembaga sosial maupun organisasi sosial yang masih bersifat penerimaan saja dan memiliki sarana dan prasarana yang minim dan kurang memiliki pengembangan untuk kedepannya. Karya Murni merupakan salah satu bentuk yayasan yang memberikan perhatian khusus kepada anak penyandang tunanetra. Karya Murni mempunyai Panti Asuhan dan Sekolah Luar Biasa/A (SLB/A), yang dikhususkan bagi penyandang tunanetra. Anak tunanetra tinggal di Panti Asuhan ini dan mempunyai asrama dan melakukan kegiatan pendidikan maupun keterampilan di SLB/A Karya Murni.

Sekolah Luar Biasa/A (SLB/A) Karya Murni Medan Johor merupakan suatu lembaga pendidikan yang memberikan pertolongan dalam memenuhi kebutuhan anak tunanetra, seperti pendidikan, kesehatan, pembinaan mental/ kerohananian dan keterampilan dalam meningkatkan potensi tunanetra dan menciptakan tunanetra yang mandiri. Melalui SLB/A tunanetra ini diharapkan kepada tunanetra dapat berkembang dan mendapatkan binbingan serta menanamkan


(23)

rasa percaya diri penderita tunanetra sehingga dapat berswadaya dan eksis dalam masyarakat. Diharapkan juga kepada tunanetra dapat berinteraksi dengan masyarakat luas dan dapat mengaktualisasikan diri dengan potensi yang mereka miliki.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka penulis merumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana efektivitas pelaksanaan program keterampilan terhadap penyandang cacat tunanetra di Sekolah Luar Biasa/A (SLB/A) Karya Murni Medan Johor”?.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui :

1. Untuk mengetahui sejauh mana program keterampilan di Sekolah Luar Biasa/A (SLB/A) Karya Murni Medan Johor.

2. Untuk mengetahui efektivitas Pelaksanaan program keterampilan terhadap penyandang cacat tunanetra di Sekolah Luar Biasa/A (SLB/A) Karya Murni Medan Johor.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang akan diperoleh dalam penelitian ini adalah:

a. Secara teoritis, dapat menambah wawasan dan pemahaman mengenai keterampilan yang dilakukan oleh anak tunanetra untuk mencapai kemandirian hidup anak tunanetra.


(24)

b. Secara akademis, dapat memberikan kontribusi keilmuan dalam menambah referensi dan bahan kajian bagi para peneliti atau bagi mahasiswa yang tertarik terhadap penelitian yang berkaitan dengan masalah ini.

1.4 Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisikan Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian serta Sistematika Penulisan.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini berisikan teori-teori yang berkaitan dengan penelitian, kerangka pemikiran, definisi konsep dan definisi operasional.

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab ini berisikan uraian metodologi penelitian yang terdiri dari tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi dan sampel, teknik pengumpulan data dan teknik analisa data.

BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini berisikan uraian sejarah geografis dan gambaran umum tentang lokasi dimana peneliti melakukan penelitian.

BAB V : ANALISA DATA

Bab ini berisikan tentang uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian dan analisanya.

BAB VI : PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan dan saran dari hasil penelitian yang dilakukan.


(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Efektivitas

2.1.1 Pengertian Efektivitas

Pada kamus besar Bahasa Indonesia, efektivitas diartikan sebagai sesuatu yang ada efeknya (akibatnya,pengaruhnya) dapat diartikan dapat membawa hasil, berhasil guna serta dapat pula berarti mulai berlaku. Selanjutnya Bahasa Inggris, kata efektif yaitu effective yang berarti berhasil atau sesuatu yang dilakukan itu berhasil dengan baik. Efektivitas merupakan unsur pokok untuk mencapai tujuan atau sasaran yang telah ditentukan di dalam setiap organisasi.

Organisasi biasanya berada dalam lingkungan yang bergejolak dengan sumber data yang terbatas. Lingkungan yang berubah-ubah sesuai dengan perkembangan zaman, perubahan tersebut akan mempengaruhi efektivitas organisasi. Dalam lingkungan demikian organisasi harus tanggap dan pandai mengantisipasi perubahan agar organisasi tetap dapat mempertahankan keberadaannya dan dapat berfungsi maka organisasi itu harus efektif (Thoha, 2007:98).

Efektivitas adalah hubungan antara output dan tujuan. Dalam artian efektivitas merupakan ukuran seberapa jauh tingkat output, kebijakan dan prosedur dari organisasi mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam pengertian teoritis dan praktis, tidak ada persetujuan yang universal mengenai apa yang dimaksud dengan efektivitas. Berbagai pandangan yang dikemukakan oleh para ahli berbeda-beda tentang pengertian dan konsep efektivitas dipengaruhi oleh latar belakang dari keahlian yang berbeda pula.

Hidayat menyatakan efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target kuantitas, kualitas dan waktu telh tercapai. Semakin besar


(26)

persentase target yang dicapai, maka semakin tinggi efektivitasnya. Gibson juga berpendapat efektivitas adalah pencapaian sasaran yang telah disepakati atas usaha bersama (Ibnu, 2009).

Berdasarkan berbagai pengertian tersebut, ada empat hal yang merupakan unsur-unsur efektifitas yaitu sebagai berikut:

1. Pencapaian tujuan, suatu kegiatan dikatakan efektif apabila dapat mencapai tujuan atau sasaran yang telah ditentukan sebelumnya.

2. Ketepatan waktu, sesuatu yang dikatakan efektif apabila penyelesaian atau tercapainya tujuan sesuai atau bertepatan dengan waktu yang telah ditentukan.

3. Manfaat, sesuatu yang dikatakan efektif apabila tujuan itu memberikan manfaat bagi masyarakat sesuai dengan kebutuhannya.

4. Hasil, sesuatu kegiatan dikatakan efektif apabila kegiatan itu memberikan hasil. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan efektifitas adalah tercapainya tujuan yang telah di tetapkan. Adanya ketentuan waktu dalam memberikan pelayanan serta adanya manfaat yang dirasakan oleh masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan padanya.

Dilihat dari perspektif efektivitas organisasi, Gaertner dan Ramnarayan mengatakan, efektifitas dalam suatu organisasi bukan suatu benda, atau suatu tujuan, atau suatu karakteristik dari output atau perilaku organisasi, tetapi cukup suatu pernyataan dari relasi-relasi di dalam dan di antara jumlah yang relevan dari organisasi tersebut. Suatu organisasi yang efektif adalah yang dapat membuat laporan tentang dirinya dan aktivitas-aktivitasnya menurut cara-cara dalam mana jumlah-jumlah tersebut dapat diterima. Pandangan efektivitas sebagai suatu proses ini mencerminkan aspek politik dari pada aspek ekonomi atas bidang produktivitas.


(27)

Gerakan produktivitas tidak begitu disebabkan oleh dorongan ekonomi. Menjadi produktif adalah menjadi tanggap secara politik. (Gomes,2003:163).

Unsur yang penting dalam konsep efektivitas adalah; yang pertama adalah pencapaian tujuan yang sesuai dengan apa yang telah disepakati secara maksimal, tujuan merupakan harapan yang dicita-citakan atau suatu kondisi tertentu yang ingin dicapai oleh serangkaian proses. Diketahui bahwa efektivitas merupakan suatu konsep yang sangat penting karena mampu memberikan gambaran mengenai keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai sasarannya atau dapat dikatakan bahwa efektivitas merupakan tingkat ketercapaian tujuan dari aktivasiaktivasi yang telah dilaksanakan dibandingkan dengan target yang telah ditetapkan sebelumnya. Pada beberapa literatur ilmiah mengemukakan bahwa efektivitas merupakan pencapaian tujuan secara tepat atau memilih tujuan-tujuan yang tepat dari serangkaian alternatif atau pilihan cara dan menentukan pilihan dari beberapa pilihan lainnya. Efektivitas juga bisa diartikan sebagai pengukuran keberhasilan dalam pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditentukan. Sebagai contoh jika sebuah tugas dapat selesai dengan pemilihan cara-cara yang sudah ditentukan, maka cara tersebut adalah benar atau efektif.

Dalam pengukuran efektifitas terdapat kompetensi pengelolaan pembelajaran yaitu kemampuan agen pemberdayaan dalam memciptakan proses belajar kepada masyarakat dalam mengubah perilakunya yaitu meningkatkan kemampuan, kualitas hidup, dan kesejahteraannya. Melalui belajar masyarakat diharapkan mampu menguasai dan menerapkan inovasi yang lebih menguntungkan bagi diri dan keluarganya.

Ada juga kompetisi pengelolaan pelatihan, dalam organisasi kegiatan pelatihan merupakan aspek penting sebagai upaya meningkatkan kinerja pegawainya.


(28)

Begitupula dalam kehidupan dimasyarakat seperti petani atau nelayan, kegiatan pelatihan dan kursus lainnya, atau istilah sejenis lainnya merupakan aspek penting guna meningkatkan kemampuan mereka menuju peningkatan kualitas hidupnya.

Dalam pelaksanaan pelatihan seringkali dihadapkan dalam permasalahan. Menurut Rothell (1994 ) ada empat permasalahan dalam pendekatan pelatihan yaitu: 1) kegiatan pelatihan seringkali tidak fokus terutama berkaitan dengan materi yang diberikan, 2) lemahnya dukungan manajemen, 3)pelatihan kadang tidak direncanakan dan diselenggarakan secara sistematis, 4) dan materi pelatihan tidak sesuai dengan kebutuhan ( Oos, 2013: 68- 70).

2.1.2 Pengukuran Terhadap Efektifitas

Pencapaian hasil (efektivitas) yang dilakukan oleh suatu organisasi menurut Jones (1994) terdiri dari tiga tahap, yakni input, conversion, dan output atau masukan, perubahan dan hasil. Input meliputi semua sumber daya yang dimiliki, informasi dan pengetahuan, bahan-bahan mentah serta modal. Pada tahap input, tingkat efisiensi sumber daya yang dimiliki sangat menentukan kemampuan yang dimiliki. Tahap conversion ditentukan oleh kemampuan organisasi untuk memanfaatkan sumber daya yang dimiliki, manajemen dan penggunaan teknologi agar dapat menghasilkan nilai. Tahap ini, tingkat keahlian SDM dan daya tanggap organisasi terhadap perubahan lingkungan sangat menentukan tingkat produktifitasnya. Sedangkan dalam tahap output, pelayanan yang diberikan merupakan hasil dari penggunaan teknologi dan keahlian SDM (http//pengukuran+efektivitas, diakses pada tanggal 13 maret 2014. Pukul 16.00)

Organisasi yang dapat memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya secara efisien dapat meningkatkan kemampuannya untuk meningkatkan pelayanan dengan memuaskan kebutuhan pelanggan. (http://pengukuran+efektifitas.com diakses pada


(29)

tanggal 13 Maret 2014 pukul 16:30). Gomes (2003:209) memberi tipe-tipe kriteria efektivitas program pelatihan. Suatu program pelatihan bisa dievaluasi berdasarkan: (1) reactions, (2) learning, (3) behaviors, (4) organizational results. Melalui

reactions (reaksi) dapat diketahui opini dari para peserta mengenai program pelatihan yang diberikan. Proses learning memberikan informasi yang ingin diperoleh melalui penguasaan konsep-konsep, pengetahuan, dan keterampilan-keterampilan yang diberikan selama pelatihan. Perilaku (behaviors) dari peserta pelatihan, sebelum dan sesudah pelatihan, dapat dibandingkan guna mengetahui tingkat pengaruh pelatihan terhadap peserta pelatihan. Dampak pelatihan (organizational results) untuk menguji dampak pelatihan terhadap peserta pelatihan secara keseluruhan dan ketepatan waktu dalam pelaksanaan pelatihan, kualitas dan kepuasaan dalam pelatihan keterampilan.

2.2 Program Pelatihan Keterampilan Penyandang Cacat

Pelatihan adalah setiap usaha untuk memperbaiki performansi pekerja pada suatu pekerjaan tertentu yang sedang menjadi tanggungjawabnya, atau satu pekerjaan yang ada kaitannya dengan pekerjaannya. Supaya efektif, pelatihan biasanya harus mencakup pengalaman belajar (learning experience), aktivitas yang terencana (be a planned organizational activity), dan didesain sebagai jawaban atas kebutuhan-kebutuhan yang berhasil diidentifikasikan. Secara ideal, pelatihan harus didesain untuk mewujudkan tujuan-tujuan organisasi, yang pada waktu yang bersamaan juga mewujudkan tujuan-tujuan dari para pekerja secara perorangan (Gomes,2003:197).

Pelatihan sering dianggap sebagai aktivitas yang paling dapat dilihat dan paling umum dari semua aktivitas. Para penyelenggara menyokong pelatihan karena


(30)

melalui pelatihan para peserta, dalam hal ini penyandang cacat, akan menjadi lebih terampil, dan karenanya lebih produktif. Pelatihan lebih sebagai sarana yang ditujukan pada upaya untuk lebih memberdayakan seseorang yang kurang berdaya dari sebelumnya, mengurangi dampak-dampak negatif yang dikarenakan kurangnya pendidikan, pengalaman yang terbatas, atau kurangnya kepercayaan diri dari penyandang cacat. Keterampilan ialah kegiatan yang berhubungan dengan urat-urat syaraf dan otot-otot (neuromuscular) yang lazimnya tampak dalam kegiatan jasmaniah seperti menulis, mengetik, olahraga, dan sebagainya. Meskipun sifatnya motorik, namun keterampilan itu memerlukan koordinasi gerak yang teliti dan kesadaran yang tinggi. Dengan demikian, siswa yang melakukan gerakan motorik dengan koordinasi dan kesadaran yang rendah dapat dianggap kurang atau tidak terampil. Sedangkan Reber (dalam Syah,2005:121) mengatakan, keterampilan adalah kemampuan melakukan pola-pola tingkah laku yang kompleks dan tersusun rapi secara mulus dan sesuai dengan keadaan untuk mencapai hasil tertentu.

Belajar keterampilan adalah belajar menggunakan gerakan-gerakan motorik yakni yang berhubungan dengan urat syaraf dan otot-otot/neuromuscular. Tujuannya adalah memperoleh dan menguasai keterampilan jasmani tertentu. Dalam jenis ini latihan-latihan intensif dan teratur amat diperlukan. Supaya efektif, pelatihan harus merupakan solusi yang tepat bagi permasalahan organisasi, yakni bahwa pelatihan tersebut harus dimaksudkan untuk memperbaiki kekurangan keterampilan. (Syah, 2005:126) Keterampilan bergerak dari yang sangat sederhana ke yang sangat kompleks. Keterampilan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu psikomotor dan intelektual. Keterampilan psikomotor antara lain adalah menggergaji, mengecat tembok, menari, mengetik. Sedangkan keterampilan intelektual ialah memecahkan soal hitungan, melakukan penelitian, membuat kesimpulan dan sebagainya. Namun,


(31)

sebenarnya hampir semua keterampilan terdiri atas kedua unsur tersebut. Hanya saja ada keterampilan yang lebih menonjol unsur psikomotornya sedangkan keterampilan yang lain lebih menonjol unsur intelektualnya.

Keterampilan merupakan mata pelajaran yang memberikan kesempatan kepada anak asuh untuk terlibat dalam berbagai pengalaman apresiasi maupun pengalaman berkreasi untuk menghasilkan suatu produk berupa benda nyata yang bermanfaat langsung bagi kehidupan mereka. Anak asuh melakukan interaksi dengan benda-benda produk kerajian dan teknologi yang ada di lingkungannya saat pelatihan keterampilan, kemudian berkreasi menciptakan berbagai produk kerajinan maupun produk teknologi, sehingga diperoleh pengalaman konseptual, pengalaman apresiatif dan pengalaman kreatif. Pembelajaran keterampilan dirancang sebagai proses komunikasi belajar untuk mengubah perilaku anak asuh cekat, cepat dan tepat melalui pembelajaran kerajinan, teknologi rekayasa dan teknologi pengolahan (Sudjana, 1996:17 ).

Perilaku terampil ini dibutuhkan dalam keterampilan hidup manusia di masyarakat. Melihat uraian tersebut, secara substansi bidang keterampilan mengandung kinerja kerajinan dan teknologis. Istilah kerajinan berangkat dari kecakapan melaksanakan, mengolah dan menciptakan dengan dasar kinerja keterampilan psimotorik. Maka, keterampilan kerajinan berisi kerajinan tangan membuat benda pakai atau fungsional. Keterampilan teknologi terdiri dari teknologi rekayasa dan teknologi pengolahan.

Metode pelatihan merupakan bentuk yang dipilih dalam pelatihan-pelatihan yang menyediakan langsung keterampilan untuk para peserta. Adapun prinsip umum bagi metode pelatihan harus memenuhi sebagai berikut:


(32)

2. memperlihatkan keterampilan-keterampilan yang diinginkan untuk dipelajari, 3. harus konsisten dengan isi (misalnya, dengan menggunakan pendekatan

interaktif untuk mengajarkan keterampilan-keterampilan interpersonal), 4. memungkinkan partisipasi aktif,

5. memberikan kesempatan berpraktek dan perluasan keterampilan, 6. memberikan feedback mengenai performansi selama pelatihan,

7. mendorong adanya pemindahan yang positif dari pelatihan ke pekerjaan, dan 8. harus efektif dari segi biaya (Gomes, 2003:208).

Sehingga metode pelatihan tidak terlepas dari pelatihan-pelatihan yang menyediakan langsung keterampilan untuk peserta. Menjadikan peserta perilaku-perilaku yang terampil untuk kemandirian diri sendiri dalam kehidupan sehari-hari dan dalam hidup bermasyarakat.

2.3 Penyandang Cacat

2.3.1 Pengertian Penyandang Cacat

Istilah “Disabilitas” mungkin kurang akrab di sebagian masyarakat Indonesia berbeda dengan “Penyandang Cacat”, istilah ini banyak yang mengetahui atau sering digunakan di tengah masyarakat. Istilah Disabilitas merupakan kata bahasa Indonesia berasal dari serapan kata bahasa Inggris disability (jamak: disabilities) yang berarti cacat atau ketidakmampuan. Namun, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “Disabilitas” belum tercantum. Disabilitas adalah istilah baru pengganti Penyandang Cacat. Penyandang cacat dapat diartikan individu yang mempunyai keterbatasan fisik atau mental/intelektual (  http://bahasa.kompasiana.com. Diakses tanggal 01 Juni 2014 pukul 10.00 wib).


(33)

Dalam UU RI No. 4 tahun 1977 disebutkan tentang “Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari:

a. penyandang cacat fisik; b. penyandang cacat mental;

c. penyandang cacat fisik dan mental.

Mengenai hak dan kewajiban penyandang cacat disebutkan bahwa setiap penyandang cacat mempunyai kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Sedangkan kesamaan kesempatan bagi penyandang cacat dalam aspek kehidupan dan penghidupan dilaksanakan melalui penyediaan aksesbilitas. Selanjutnya yang dimaksud dengan aspek kehidupan dan penghidupan adalah meliputi antara lain aspek agama, kesehatan, politik, pertahanan keamanan, olahraga, rekreasi dan informasi yang layak sesuai dengan derajat kecacatan, pendidikan dan kemampuannya.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 1997 (tentang penyandang cacat) Bab II Pasal 6 menyatakan “Setiap penyandang cacat berhak memperoleh :

1. Pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis dan jenjang pendidikan

2. Pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan dan kemampuannya.

3. Perlakuannya yang sama untuk bergerak dalam pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya.

4. Aksesbilitas dalam rangka kemandirian.


(34)

6. Hak yang sama untuk menumbuhkankembangkan, kemampuan dan kehidupan sosialnya, terutama penandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.

2.3.2 Jenis-Jenis Penyandang Cacat A. Cacat Tubuh/Kelainan Fisik

Kelainan fisik adalah kelainan yang terjadi pada satu atau lebih organ tubuh tertentu. Akibat kelainan tersebut timbu suatu keadaan pada fungsi fisik tubuhnya tidak dapat menjalankan tugasnya secara normal. Tidak berfungsinya anggota fisik terjadi pada:

a. Alat fisik indra, misalnya kelainan pada indra pendengaran (tunarungu),kelainan pada indra penglihatan (tunanetra), kelainan pada fungsi organbicara (tunawicara).

b. Alat motorik tubuh, misalnya kelainan otot dan tulang (poliomyelitis), kelainan pada sistem saraf di otak yang berakibat gangguan pada fungsi motorik (cerebral palsy), kelainan anggota badan akibat pertumbuhan yang tidak sempurna, misal lahir tanpa tangan/kaki. Untuk kelainan pada alat motorik tubuh ini dikenal dalam kelompok tunadaksa.

Penyandang cacat tubuh secara umum memiliki kecenderungan dan karakteristik sosial psikologis sebagai berikut:

a. Rasa ingin disayang yang berlebihan dan mengarah over protection

b. Rasa rendah diri c. Kurang percaya diri d. Mengisolir diri

e. Kehidupan emosional yang labil f. Berperilaku agresif


(35)

g. Ada perasaan tidak aman h. Cepat menyerah

i. Kekanak-kanakan (Sumber: Rothman dalam Buku Bimbingan Sosial Bagi Penyandang Cacat dalamPanti)

Faktor-faktor yang mempengaruhi karakteristik penyandang cacat tubuh, meliputi: a. Faktor bawaan

b. Penyakit

c. Waktu terjadinya kecacatan

d. Perlakuan lingkungan/masyarakat setempat e. Perlakuan anggota keluarga

f. Iklim dan keadaan alam

g. Ekologi dan tradisi setempat (Sumber: Rothman dalam Buku Bimbingan Sosial Bagi Penyandang Cacat dalam Panti)

Adapun permasalahan kecacatan yang dialami penyandang cacat dibagi menjadi masalah internal dan masalah eksternal, yaitu:

a. Masalah Internal 1) Kondisi jasmani

Kecacatan yang disandang seseorang dapat mengakibatkan gangguan kemampuan fisik untuk melakukan sesuatu perbuatan atau gerakan tertentu yang berhubungan dengan kegiatan hidup sehari-hari (activity daily living).

2) Kondisi kejiwaan

Kecacatan yang disandang dapat mengganggu kejiwaan/mental seseorang, sehingga seseorang menjadi rendah diri atau sebaliknya, menghargai dirinya terlalu berlebihan, mudah tersinggung, kadang-kadang agresif, pesimistis labil, sulit untuk


(36)

mengambil keputusan dan sebagainya. Keadaan seperti ini sangat merugikan, khususnya yang berkenaan dengan hubungan antar manusia yang ditandai oleh:

a) Ketidakmampuan hubungan antar perseorangan (interpersonal relationship)

b) Ketidakmampuan didalam mengambil peranan di dalam kegiatan sosial/kelompok (partisipasi sosial)

c) Ketidakserasian hubungan antar manusia di masyarakat (human relation) d) Ketidakmampuan di dalam mengambil peranan didalam kegiatan

sosial/kelompok. 3) Masalah pendidikan

Karena kecacatan fisiknya, hal ini sering menimbulkan kesulitan khususnya pada anak usia sekolah. Mereka memerlukan perhatian khusus baik dari orang tua maupun guru di sekolah. Sebagian besar kesulitan ini juga menyangkut transportasi antara tempat tinggal ke sekolah, kesulitan mempergunakan alat-alat sekolah, maupun fasilitas umum lainnya.

4) Masalah ekonomi

Kecacatan pada seseorang dapat menyebabkan hambatan dalam mobilitas fisik. Hal ini semakin sukar tatkala dunia kerja belum menyediakan lapangan pekerjaan sebagaimana mestinya untuk orang cacat. Hambatan dan rendahnya apresiasi dunia kerja ini dapat menimbulkan masalah pada penyandang cacat dalam memperoleh pekerjaan yang pada gilirannya berpengaruh pada kondisi sosial ekonomi mereka.

b. Masalah Eksternal 1) Masalah keluarga


(37)

Beberapa keluarga yang mempunyai anak yang menyandang kecacatan tubuh merasa malu, yang mengakibatkan penyandang cacat tersebut tidak dimasukkan sekolah, tidak boleh bergaul dan bermain dengan teman sebaya, kurang mendapatkan kasih sayang seperti yang diharapkan oleh anak-anak pada umumnya, sehingga tidak dapat berkembang kemampuan dan kepribadiannya. Pada akhirnya, penyandang cacat tubuh tersebut akan tetap menjadi beban bagi keluarganya.

2) Masalah masyarakat

Masyarakat yang memiliki warga yang menyandang kecacatan tubuh akan turut terganggu kehidupannya, selama penyandang cacat tersebut belum dapat berdiri sendiri dan masih selalu menggantungkan dirinya pada orang lain. Dipandang dari segi ekonomi, sejak seseorang terutama yang telah dewasa menjadi cacat tubuh, masyarkat mengalami kerugian ganda, yaitu kehilangan anggota yang produktif dan bertambah anggota yang non produktif, ini berarti menambah berat beban bagi masyarakat. Perlu usahausaha rehabilitasi yang dapat merubah penyandang cacat tubuh dari kondisi non produktif menjadi produktif. Disamping itu masih ada sikap dan anggapan sebagian masyarakat yang kurang menguntungkan bagi penyandang cacat tubuh, antara lain:

a) Masih adanya sikap ragu-ragu terhadap kemampuan penyandang cacat tubuh, mengakibatkan kesulitan memperoleh pekerjaan.

b) Masih adanya sikap masa bodoh di sebagian lapisan masyarakat terhadap permasalahan penyandang cacat tubuh.

c) Belum meluasnya partisipasi masyarakat di dalam menangani permasalahan penyandang cacat tubuh

d) Masih lemahnya sebagian organisasi sosial yang bergerak dibidang kecacatan di dalam melaksanakan kegiatannya.


(38)

e) Pengguna jasa tenaga kerja penyandang cacat tubuh umumnya belum menyediakan kemudahan/sarana bantu yang diperlukan bagi tenaga kerja penyandang cacat tubuh.

f) Program pelayanan rehabilitasi medis, sosial dan vokasional yang dilaksanakan oleh pemerintah dan masyarakat belum menjangkau seluruh populasi penyandang cacat tubuh.

3) Pelayanan umum

Sarana umum seperti: sekolah, rumah sakit, perkantoran, tempat rekreasi, perhotlan, kantor pos, terminal, telepon umum, bank, dan tempat lainnya belum seluruhnya memiliki aksesibilitas bagi penyandang cacat tubuh.

B. Cacat Mental

Anak berkelainan mental adalah anak yang memiliki penyimpangan kemampuan berpikir secara kritis, logis dalam menanggapi dunia sekitarnya. Kelainan mental ini dapat menyebar ke dua arah, yaitu kelainan mental dalam arti lebih (supernormal) dan kelainan mental dalam arti kurang (subnormal). Kelainan mental dalam arti lebih atau anak unggul, menurut tingkatannya dikelompokkan menjadi: (a) anak mampu belajar dengan cepat (rapid learner), (b) anak berbakat (gifted), dan (c) anak genius (extremely gifted). Karakteristik anak yang termasuk dalam kategori mampu belajar dengan cepat jika hasil kecerdasan menunjukkan bahwa indeks kecerdasannya yang bersangkutan berada pada rentang 110-120, anak berbakat jika indeks kecerdasannya berada pada rentang 120-140, dan anak sangat berbakat atau genius jika indeks kecerdasannya berada pada rentang di atas 140.

Secara umum Tirtonegoro (dalam Efendi, 2006:8-9) membagi karakteristik anak dengan kemampuan mental lebih, di samping memiliki potensi kecerdasan yang tinggi dalam prestasi, juga memiliki kemampuan menonjol dalam bidang tertentu,


(39)

antara lain (1) kemampuan intelektual umum, (2) kemampuan akademik khusus, (3) kemampuan berpikir kreatif produktif, (4) kemampuan dalam salah satu bidang kesenian, (5) kemampuan psikomotorik, dan (6) kemampuan psikososial dan kepemimpinan. Anak yang berkelainan mental dalam arti kurang atau tunagrahita, yaitu anak yang diidentifikasi memiliki tingkat kecerdasan yang sedemikian rendahnya (dibawah normal) sehingga untuk meniti tugas perkembangannya memerlukan bantuan atau layanan secara khusus, termasuk di dalamnya kebutuhan program pendidikan dan bimbingannya. Kondisi ketunagrahitaan dalam praktik kehidupan sehari-hari di kalangan awam seringkali disalahpersepsikan, terutama bagi keluarga yang mempunyai anak tunagrahita, yakni berharap dengan memasukkan anak tunagrahita ke dalam lembaga pendidikan, kelak anaknya dapat berkembang sebagaimana anak normal lainnya.

Harapan semacam ini wajar saja karena mereka tidak mengetahui karakteristik anak tunagrahita. Kirk menyatakan kondisi tunagrahita tidak dapat disamakan dengan penyakit, tetapi keadaan tunagrahita suatu kondisi sebagaimana yang ada, “Mental retarded is not disease but a condition” (dalam Efendi,2006:9). Atas dasar itulah tunagrahita dalam gradasi manapun tidak bisa disembuhkan atau diobati dengan obat apapun.

C. Kelainan Perilaku Sosial

Kelainan perilaku atau tunalaras sosial adalah mereka yang mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan, tata tertib, norma sosial dan lain-lain. Manifestasi dari mereka yang dikategorikan dalam kelainan perilaku sosial ini, misalnya kompensasi berlebihan, sering bentrok dengan lingkungan, pelanggaran hukum/norma maupun kesopanan. Mackie (dalam Efendi,2006:10) mengemukakan, bahwa anak yang termasuk dalam kategori kelainan perilaku sosial adalah anak yang


(40)

mempunyai tingkah laku yang tidak sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku di rumah, di sekolah dan di masyarakat lingkungannya. Hal yang penting dari itu adalah akibat tindakan atau perbuatan yang dilakukan dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain. Klasifikasi anak yang termasuk dalam kategori mengalami kelainan perilaku sosial di antaranya anak psychotic dan neurotic, anak dengan gangguan emosi dan anak nakal (delinquent). Berdasarkan sumber terjadinya tindak kelainan perilaku sosial secara penggolongan dibedakan menjadi:

a) tunalaras

emosi, yaitu penyimpangan perilaku sosial yang ekstrem sebagai bentuk gangguan emosi,

b) tunalaras sosial, yaitu penyimpangan perilaku sosial sebagai bentuk kelainan dalam penyesuaian sosial karena bersifat fungsional.

2.4 Tunanetra

2.4.1 Pengertian Tunanetra

Dalam bidang pendidikan luar biasa, anak dengan gangguan penglihatan lebih akrab disebut anak tunanetra. Pengertian tuna netra tidak saja mereka yang buta, tetapi mencakup juga mereka yang mampu melihat tetapi terbatas sekali dan kurang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup sehari-hari terutama dalam belajar. Jadi, anak-anak dengan kondisi penglihatan yang termasuk “setengah melihat”, “Low Vision”, atu rabun adalah bagian dari kelompok anak tunanetra.

Dari uraian di tersebut, pengertian anak tunanetra adalah individu yang indra penglihatannya (kedua-duanya) tidak berfungsi sebagai saluran penerimaan informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti halnya orang awas. Anak- anak dengan gangguan penglihatan ini dapat diketahui kondisinya berikut:


(41)

1. Ketajaman penglihatannya kurang dari ketajaman yang dimiliki orang awas 2. Terjadi kekeruhan pada lensa mata atau terdapat cairan tertentu

3. Posisi mata sulit dikendalikan oleh syaraf otak 4. Posisis mata sulit dikendalikan oleh syaraf otak

5. Terjadi kerusakan susunan syaraf otak yang berhubungan dengan penglihatan Dari kondisi-kondisi diatas, pada umumnya yang digunakan sebagai patokan apakah seorang anak termasuk tunanetra atau tidak ialah berdasarkan pada tingkat ketajaman penglihatannya. (Somantri, 2006:65). Untuk mengetahui ketunanetraan dapat digunakan suatu tes yang dikenal sebagai tes Snellen Card. Perlu ditegaskan bahwa anak dikatakan tunanetra bila ketajaman penglihatannya (visusnya) kurang dari 6/21. Artinya, berdasarkan tes, anak hanya mampu membaca huruf pada jarak 6 meter yang oleh orang awas dapat dibaca pada jarak 21 meter.

Berdasarkan acuan tersebut, anak tunanetra dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu :

1. Buta

Dikatakan buta jika anak sama sekali tidak mampu menerima rangsangan cahaya dari luar (visusnya = 0)

2. Low Vision

Bila anak masih mampu menerima rangsang cahaya dari luar, tetapi ketajamannya lebih dari 6/21, atau jika anak hanya mampu membaca headline pada surat kabar. (Somantri, 2006:66).


(42)

2.4.2 Klasifikasi Tunanetra

Klasifikasi ketunanetraan secara garis besar yaitu dibagi menjadi 4 antara lain:

1. Terjadinya kecacatan, yakni sejak kapan anak menderita tunanetra yang dapat digolongkan sebagai berikut :

a) Penderita tunanetra sebelum dan sejak lahir, yakni mereka yang sama sekali tidak memiliki pengalaman melihat.

b) Penderita tunanetra sesudah lahir atau pada usia kecil, yaitu mereka yang sudah memiliki kesan-kesan serta penglihatan visual, tetapi belum kuat dan mudah terlupakan .

c) Penderita tunanetra pada usia sekolah atau pada masa remaja, kesan kesan pengalaman visual meninggalkan pengaruh yang mendalam terhadap proses perkembangan pribadi.

d) Penderita tunanetra pada usia dewasa, yaitu mereka yang dengan segala kesadaran masih mampu melakukan latihan-latihan penyesuaian diri.

e) Penderita tunanetra dalam usia lanjut, yaitu mereka yang sebagian besar sudah sulit mengalami latihan-latihan penyesuaian diri.

2. Pembagian berdasarkan kemampuan daya lihat yaitu :

Ukuran ketajaman pengelihatan : Normal: Jarak pengelihatan 200 feet/kaki tes atau 60 meter Terbatas pengelihatan : 20 feet/kaki atau 6 meter. Ukuran ketajaman pengelihatan dengan menggunakan kartu Snellen: 1. kartu bentuk E yang paling sering digunakan 2. kartu abjad : 3. kartu gambar-gambar bisa kurang efektif karena tidak semua gambar benda dikenal oleh anak- anak. Untuk pembagian anak tunanetra adalah:


(43)

a) Tunanetra dengan ketajaman penglihatan 6/20m- 6/60m atau 20/70 feet-20/200 feet, yang disebut kurang lihat (low vision). (20/70 feet artinya jika anak normal mampu melihat hingga jangkauan 70 feet tapi anak tunanetra kategori di atas hanya dapat melihat pd jarak 20 feet).

b) Tunanetra dengan ketajaman penglihatan antara 6/60 m atau 20/200 feet atau kurang, yang disebut buta (blind).

c) Tunanetra yang memiliki visus 0, atau yang disebut buta total (tolally blind).(  http://www.slideshare.karakteristik-dan-pendidikan-anak-tuna-netra, diakses pada tanggal 02 Juni 2014, pukul 17.00 Wib)

Secara umum Cruickshank (dalam Efendi, 2006:44) membagi karakteristik kecerdasan anak tunanetra terhadap struktur kecakapan anak tunanetra yang dapat digunakan sebagai dasar untuk mengkomplarasikan dengan anak normal yaitu:

a. Anak tunetra mengalami kenyataan nyata yang sama dengan anak normal, dari pengalaman tersebut kemudian di integrasikan kedalam pengertiaannya sendiri. b. Anak tunanetra cenderung menggunakan pendekatan konseptual yang abstrak

menuju ke konkrit, kemudian menuju fungsional serta terhadap konsekuensinya, sedangkan pada anak normal yang terjadi sebaliknya.

c. Anak tunanetra perbendaharaan kata- katanya terbatasa pada definisi kata.

d. Anak tunanetra tidak dapat mebandingkan, tetutama dalam hal kecakapan numerik.

Penegasan tentang tingkat kecerdasan anak tunanetra lebih rendah dari anak normal ( awas) pada umumnya ( Tilman, dalam Efendi 2006) anak tunanetra mengalami hambatan persepsi, berpikir secara konferensif dan mencari rangkaian sebab akibat. Bahkan jika dikonfirmasikan dengan fase perkembangan kognitif Piaget, perkembangan kognitif anak tunanetra pada tingkat sensomotorik terhambat


(44)

kurang lebih 4 tahun, dan fase intuitif terhambat 2 tahun. Meskipun dalam proses berpikirnya tidak berbeda dengan anak normal.

3. Berdasarkan pemeriksaan klinis

1. Tunanetra yang memiliki ketajaman penglihatan kurang dari 20/200 dan atau memiliki bidang penglihatan kurang dari 20 derajat.

2. Tunanetra yang masih memiliki ketajaman penglihatan antara 20/70 sampai dengan 20/200 yang dapat lebih baik melalui perbaikan.

4. Berdasarkan kelainan-kelainan pada mata

1. Myopia; adalah penglihatan jarak dekat, bayangan tidak terfokus dan jatuh di belakang retina. Penglihatan akan menjadi jelas kalau objek didekatkan. Untuk membantu proses penglihatan pada penderita Myopia digunakan kacamata koreksi dengan lensa negatif.

2. Hyperopia; adalah penglihatan jarak jauh, bayangan tidak terfokus dan jatuh di depan retina. Penglihatan akan menjadi jelas jika objek dijauhkan. Untuk membantu proses penglihatan pada penderita Hyperopia digunakan kacamata koreksi dengan lensa positif.

3. Astigmatisme; adalah penyimpangan atau penglihatan kabur yang disebabkan karena ketidakberesan pada kornea mata atau pada permukaan lain pada bola mata sehingga bayangan benda baik pada jarak dekat maupun jauh tidak terfokus jatuh pada retina. Untuk membantu proses penglihatan pada penderita astigmatisme digunakan kacamata koreksi dengan lensa silindris (http://www.pkplkdikmen.di akses tanggal 04 Juni 2014, Pukul 10.00 Wib).


(45)

2.4.3 Faktor Penyebab Tunanetra 1. Pre-natal

Faktor penyebab ketunanetraan pada masa pre-natal sangat erat hubungannya dengan masalah keturunan dan pertumbuhan seorang anak dalam kandungan, antara lain:

a. Keturunan

Ketunanetraan yang disebabkan oleh faktor keturunan terjadi dari hasil perkawinan bersaudara, sesama tunanetra atau mempunyai orang tua yang tunanetra. Ketunanetraan akibat faktor keturunan antara lain Retinitis Pigmentosa, penyakit pada retina yang umumnya merupakan keturunan. Penyakit ini sedikit demi sedikit menyebabkan mundur atau memburuknya retina. Gejala pertama biasanya sukar melihat di malam hari, diikuti dengan hilangnya penglihatan periferal, dan sedikit saja penglihatan pusat yang tertinggal.

b. Pertumbuhan seorang anak dalam kandungan

Ketunanetraan yang disebabkan karena proses pertumbuhan dalam kandungan dapat disebabkan oleh:

1. Gangguan waktu ibu hamil.

2. Penyakit menahun seperti TBC, sehingga merusak sel-sel darah tertentu selama pertumbuhan janin dalam kandungan.

3. Infeksi atau luka yang dialami oleh ibu hamil akibat terkena rubella atau cacar air, dapat menyebabkan kerusakan pada mata, telinga, jantung dan sistem susunan saraf pusat pada janin yang sedang berkembang.

4. Infeksi karena penyakit kotor, toxoplasmosis, trachoma dan tumor. Tumor dapat terjadi pada otak yang berhubungan dengan indera penglihatan atau pada bola mata itu sendiri.


(46)

5. Kurangnya vitamin tertentu, dapat menyebabkan gangguan pada mata sehingga hilangnya fungsi penglihatan.

2. Post-natal

Penyebab ketunanetraan yang terjadi pada masa post-natal dapat terjadi sejak atau setelah bayi lahir antara lain:

a. Kerusakan pada mata atau saraf mata pada waktu persalinan, akibat benturan alat-alat atau benda keras.

b. Pada waktu persalinan, ibu mengalami penyakit gonorrhoe, sehingga baksil gonorrhoe menular pada bayi, yang pada ahkirnya setelah bayi lahir mengalami sakit dan berakibat hilangnya daya penglihatan.

c. Mengalami penyakit mata yang menyebabkan ketunanetraan, misalnya: 1. Xeropthalmia; yakni penyakit mata karena kekurangan vitamin A. 2. Trachoma; yaitu penyakit mata karena virus chilimidezoon trachomanis.

3. Catarac; yaitu penyakit mata yang menyerang bola mata sehingga lensa mata menjadi keruh, akibatnya terlihat dari luar mata menjadi putih.

4. Glaucoma; yaitu penyakit mata karena bertambahnya cairan dalam bola mata, sehingga tekanan pada bola mata meningkat.

5. Diabetik Retinopathy; adalah gangguan pada retina yang disebabkan karena diabetis. Retina penuh dengan pembuluh-pembuluh darah dan dapat dipengaruhi oleh kerusakan sistem sirkulasi hingga merusak penglihatan.

6. Macular Degeneration; adalah kondisi umum yang agak baik, dimana daerah tengah dari retina secara berangsur memburuk. Anak dengan retina degenerasi masih memiliki penglihatan perifer akan tetapi kehilangan kemampuan untuk melihat secara jelas objek-objek di bagian tengah bidang penglihatan.


(47)

7. Retinopathy of prematurity; biasanya anak yang mengalami ini karena lahirnya terlalu prematur. Pada saat lahir masih memiliki potensi penglihatan yang normal. Bayi yang dilahirkan prematur biasanya ditempatkan pada inkubator yang berisi oksigen dengan kadar tinggi, sehingga pada saat bayi dikeluarkan dari inkubator terjadi perubahan kadar oksigen yang dapat menyebabkan pertumbuhan pembuluh darah menjadi tidak normal dan meninggalkan semacam bekas luka pada jaringan mata. Peristiwa ini sering menimbulkan kerusakan pada selaput jala (retina) dan tunanetra total.

d. Kerusakan mata yang disebabkan terjadinya kecelakaan, seperti masuknya benda keras atau tajam, cairan kimia yang berbahaya, kecelakaan dari kendaraan, dll(http://www.pkplkdikmen.di akses tanggal 04 Juni 2014, Pukul 10.00 Wib).

2.4.4 Dampak Ketunanetraan

Aktvitas manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitar akan efektif apabila mengikutsertakan alat- alat indra yang dimiiki, seperti penglihatan, perabaan, pembau, pengecap, baik dilakukan secara sendiri- sendiri mupun bersama- sama. Dengan pemanfaatan beberapa alat indra secara simultan memudahkan seseorang melakukan apersepsi terhadap peristiwa atau objek yang diobservasi, terutama untuk membentuk suatu penglihatan yang utuh.

Dengan tanggungnya salah satu atau lebih alat indranya ( penglihatan, pendengaran, pengecap, pembau maupun peraba), akan mempengaruhi terhadap indra- indra yang lain. Pada gilirannya akan membawa konsekuensi tersendiri terhadap kemempuan dirinya berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Misalnya, pada anak tunanetra dengan kehilangan sebagian atau keseluruhan fungsi penglihatan pada anak tunanetra akan menimbulkan dampak negatif atas kemampuaanya yang lain, seperti pengembangan psikis dan penyesuaian sosial ( Efendi, 2005: 36-37)


(48)

2.5 Pendidikan Anak Tunanetra

Sekolah merupakan lembaga pendidikan formal yang secara sistematik melaksanakan program bimbingan, pengajaran, dan latihan dalam rangka membantu anak tunanetra agar mampu mengembangkan potensinya secara optimal, baik yang menyangkut aspek moral, spiritual, intelektual, emosional maupun sosial. Melalui program bimbingan, pengajaran, dan latihan anak tunanetra mendapatkan perhatian khusus dalam meningkatkan kemampuan anak tunanetra.

Tunanetra memiliki keterbatasan dalam indra penglihatan maka proses pembelajaran menekankan pada alat indra yang lain yaitu indra peraba dan indra pendengaran. Alat-alat pendidikan juga harus menunjang kebutuhan anak tunanetra, karena itulah yang akan menjadi media bagi pembelajaran anak. Alat-alat pendidikan tunanetra meliputi alat khusus, alat bantu, dan alat peraga.

a. Alat pendidikan khusus anak tunanetra antara lain: 1. reglet dan pena

2. mesin tik Braille,

3. computer dengan program Braille, 4. printer Braille,

5. abacus,

6. calculator bicara, 7. kertas braille, 8. penggaris Braille, 9. kompas bicara. b. Alat Bantu

Alat bantu pendidikan bagi anak tunanetra sebaiknya menggunakan materi perabaan dan pendengaran.


(49)

1. Alat bantu perabaan sebagai sumber belajar menggunakan buku-buku dengan huruf Braille.

2. Alat bantu pendengaran sebagai sumber belajar diantaranya talking books (buku bicara), kaset (suara binatang), CD, kamus bicara

c. Alat Peraga

Alat peraga tactual atau audio yaitu alat peraga yang dapat diamati melalui perabaan atau pendengaran. Alat peraga tersebut antara lain:

1. benda asli : makanan, minuman, binatang peliharaan (kucing, ayam, ikan hias, dll) tubuh anak itu sendiri, tumbuhan/tanaman, elektronik, kaset, dll. 2. benda asli yang diawetkan : binatang liar/buas atau yang sulit di dapatkan, 3. benda asli yang dikeringkan (herbarium, insektarium)

4. benda/model tiruan; model kerangka manusia, model alat pernafasan, dll. 5. gambar timbul sesuai dengan bentuk asli; grafik, diagram dll.

6. Gambar timbul skematik; rangkaian listrik, denah, dll. 7. Peta timbul; provinsi, pulau, negara, daratan, benua, dll. 8. Globe timbul

9. Papan baca

10.Papan paku (http://www.pkplkdikmen.net/berita-pendidikan. di akses tanggal 04 Juni pukul 14.00 Wib)

Anak tunanetra memerlukan tenaga kependidikan yang sesuai dengan bidangnya untuk membantu mereka dalam menggunakan media-media pembelajarannya. Hal-hal yang dibutuhkan dalam tenaga kependidikan antara lain: 1. Guru dengan kualifikasi:

1. SGPLB (Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa) 2. Sarjana (S-1) PLB


(50)

3. Pasca Sarjana (S-2) PLB

4. Sarjana (S-1) bukan PLB tetapi memiliki latar belakang keahlian tertentu/khusus yang dibutuhkan anak tunanetra, seperti; Pendidikan Agama, Musik, Massage, dll.

5. Guru sekolah umum yang diberi training minimal 6 bulan 2. Psikolog

Psikolog diperlukan untuk mengetahui sejauh mana kemampuan intelegensi anak tunanetra. Disamping itu membantu guru dalam assessment. Tujuan assessment adalah untuk mengetahui sejauhmana potensi dan kekurangan/hambatan yang dimiliki anak tunanetra, sehingga dapat diketahui apa kebutuhan anak tunanetra dalam proses pembelajaran.

3. Dokter mata

Rekomendasi dari dokter mata sangatlah diperlukan bagi lembaga penyelenggara pendidikan tunanetra. Seorang dokter mata memiliki kewenangan untuk menentukan bahwa seseorang memiliki hambatan dalam penglihatan.

4. Optometris

Kemampuan penglihatan anak tunanetra dapat dikatehui salah satunya dari hasil assessment klinis yang dilakukan oleh seorang optometris. Kondisi anak tunanetra dapat diketahui melalui laporan hasil assessment, misalnya:

a. Ketajaman penglihatan b. lapang pandang

c. kebutuhan media baca tulis

d. alat bantu yang diperlukan sesuai dengan kebutuhan anak e. alat peraga yang dibutuhkan


(51)

f. penempatan di dalam kelas ((http://www.pkplkdikmen.net/berita-pendidikan. di akses tanggal 04 Juni pukul 14.00 Wib)

2.6 Pelayan Sosial

Alfred J.Khan memberikan pengertian pelayanan sosial sebagai berikut: “Pelayanan sosial terdiri dari program-program yang diadakan tanpa mempertimbangkan kriteria pasar untuk menjamin suatu tingkatan dasar dalam penyediaan fasilitas pemenuhan kebutuhan akan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan untuk meningkatkan kebutuhan masyarakat serta kemampuan perorangan untuk pelaksanaan fungsi-fungsinya, untuk memperlancar kemampuan menjangkau dan menggunakan pelayanan-pelayanan serta lembaga-lembaga yang telah ada dan membantu warga masyarakat yang mengalami kesulitan dan keterlantaran” (Khan, dalam Soetarso, 1982: 34).

Pelayanan sosial pada hakekatnya dibuat untuk memberikan bantuan kepada individu dan masyarakat untuk menghadapi permasalahan-permasalahan yang semakin rumit. Y.B. Suparlan mengatakan bahwa pelayanan adalah usaha untuk memberikan bantuan atau pertolongan kepada orang lain baik materi atau non materi agar orang lain dapat mengatasi masalahnya sendiri. (Suparlan, 1983: 91).

Pada umumnya pelayanan sosial diklasifikasikan sebagai berikut: a. Kesejahteraan keluarga

b. Pelayanan pendidikan orang tua c. Pelayanan penitipan bayi atau anak d. Pelayanan kesejahteraan anak

e. Pelayanan rehabilitasi bagi penyalahgunaan NAPZA f. Pelayanan kepada lanjut usia


(52)

g. Pelayanan rehabilitasi bagi penderita cacat dan pelanggar hukum h. Pelayanan bagi para migrant dan pengungsi

i. Kegiatan kelompok bagi para remaja j. Pekerjaan sosial medis

k. Pusat-pusat pelayanan kesejahteraan sosial masyarakat

l. Pelayanan sosial yang berhubungan dengan proyek-proyek perumahan (sumber: catatan mata kuliah Pekerja Sosial Industri).

Fungsi pelayanan sosial dapat dibagi menjadi berbagai cara, tergantung kepada tujuan pembagian itul. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengemukakan fungsi pelayanan sosial sebagai berikut:

a. Perbaikan secara progresif pada kondisi-kondisi kehidupan orang b. Pengembangan terhadap perubahan sosial dan penyesuaian diri

c. Penggerakan dan penciptaan sumber-sumber komunitas untuk tujuan-tujuan pembangunan

d. Penyediaan struktur-struktur institusional untuk pelayanan-pelayanan yang terorganisir lainnya (Soetarso, 1982: 41).

Bentuk-bentuk pelayanan sosial sesuai dengan fungsi-fungsinya adalah sebagai berikut:

a. Pelayanan akses yang mencakup pelayanan informasi, rujukan pemerintah, nasehat, dan partisipasi. Tujuannya adalah membantu orang agar dapat mencapai atau menggunakan pelayanan yang tersedia

b. Pelayanan terapi yang mencakup pertolongan dan terapi atau rehabilitasi, termasuk didalamnya perlindungan dan perawatan, misalnya pelayanan yang diberikan oleh badan-badan yang menyediakan konseling pelayanan


(53)

kesejahteraan anak, pelayanan kesejahteraan sosial mendidik, dan sekolah perawatan bagi orang-orang jompo dan lanjut usia

c. Pelayanan sosialisasi dan pengembangan, misalnya taman penitipan bayi dan anak, keluarga bencana, pendidikan keluarga, pelayanan reaksi bagi pemudah dan masyarakat yang dipusatkan atau community.

2.7 Kesejahteraan Sosial

Istilah kesejahteraan sosial bukanlah hal baru, baik dalam wacana global maupun nasional. Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) misalnya telah mengatur masalah ini sebagai salah satu bidang kegiatan masyarakat internasional.Di Indonesia, konsep kesejahteraan sosial juga telah lama dikenal. Ia telah ada dalam sistem ketatanegaraan Indonesia (Suharto,2009:1).

Perserikatan Bangsa-Bangsa memberi batasan kesajahteraan sosial sebagai kegiatan-kegiatan yang terorganisasi yang bertujuan untuk membantu individu atau masyarakat guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya dan meningkatkan kesejahteraan selaras dengan kepentingan keluarga dan masyarakat. Defenisi ini menekankan bahwa, kesejahteraan sosial adalah suatu institusi atau bidang kegiatan yang melibatkan aktivitas yang terorganisir yang diselenggarakan baik oleh lembaga-lembaga pemerintah maupun swasta yang bertujuan untuk mencegah, mengatasi atau memberikan kontribusi terhadap pemecahan masalah sosial, dan peningkatan kualitas hidup individu, kelompok dan masyarakat.

Kesejahteraan sosial dalam artian luas mencakup berbagai tindakan yang dilakukan manusia untuk mencapai taraf hidup yang lebih baik. Taraf kehidupan yang lebih baik ini tidak hanya diukur secara ekonomi, dan fisik belaka, tetapi juga ikut memperhatikan aspek sosial, mental dan segi kehidupan spiritual (Adi,2003:40).


(54)

Kesejahteraan sosial dapat dilihat dalam empat sudut pandang yaitu: 1. Kesejahteraan sosial sebagai suatu keadilan (kondisi)

Kesejahteraan sosial sebagai suatu kondisi, kesejahteraan sosial dapat dilihat dari rumusan Undang-Undang No 6 tahun 1974 tentang ketentuan-ketentuan pokok kesejahteraan sosial, pasal 2 ayat 1: Kesejahteraan sosial adalah sebagai suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial material maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir dan batin yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah,rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan menjungjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila.

2. Kesejahteraan sosial sebagai suatu ilmu

Sebagai suatu ilmu, pada dasarnya suatu ilmu yang mencoba mengembangkan pemikiran, strategi dan teknik untuk meningkatkan kesejahteraan suatu masyarakat, baik dari level mikro, mezzo, maupun makro.

3. Kesejahteraan sosial sebagai suatu kegiatan

Sebagai suatu kegiatan, pengertian kesejahteraan sosial dapat dilihat antara lain dari defenisi yang dikembangkan oleh Friedlander (dalam Adi,2003): “Kesejahteraan sosial merupakan sisitem yang terorganisir dari berbagai institusi dan usaha-usaha kesejahteraan sosial yang dirancang guna membantu individu ataupun kelompok agar dapat mencapai standar hidup dan kesehatan yang lebih memuaskan.” Pengertian ini sekurang-kurangnya menggambarkan kesejahteraan sosial sebagai suatu sistem pelayanan yang dirancang guna meningkatkan taraf hidup masyarakat. Meskipun dalam pengertian yang dikemukakan Friedlender secara eksplisif menyatakan bahwa target dari kegiatan tersebut adalah individu dan


(55)

kelompok, tetapi dalam arti luas pengertian Friedlender juga melihat masyarakat sebagai suatu totalitas.

4. Kesejahteraan sosial sebagai suatu gerakan

Sebagai suatu gerakan, isu kesejahteraan sosial sudah menyebar luas hampir ke seluruh penjuru dunia sehingga menjadi gerakan tersendiri yang bertujuan memberitahukan kepada dunia bahwa masalah kesejahteraan sosial merupakan hal yang perlu diperhatikan secara seksama oleh masyarakat dunai, baik secara global maupun parsial. Oleh karena itu, muncullah berbagai macam gerakan dalam wujud organisasi lokal, regional maupun internasional yang berusaha menangani isu kesejahteraan sosial ini.

2.8 Kerangka Pemikiran

Tidak semua manusia lahir kedunia dalam keadaan normal. Ada yang lahir dengan ketidaksempurnaan ataupun yang mengalami kecelakaan yang mengakibatkan kecacatan. Hal ini membuat mereka merasa tidak berguna atau dianggap tidak memiliki potensi yang perlu dikembangkan. Tunanetra merupakan suatu keadaan yang tidak sempurna yang dialami oleh sebagian manusia. Dengan ketunaan mereka banyak permasalahan yang muncul yang mempengaruhi perkembangan diri mereka. Untuk mengembangkan kemampuan mereka, tunanetra sangat mengharapkan kesempatan dalam mengaktualisasikan potensi yang dimiliki, dan menunjukkan kepada masyarakat bahwa mereka mampu sama seperti orang-orang yang bisa melihat.

Sistem pelayanan rehabilitasi sosial anak dengan kecacatan tunanetra adalah suatu bentuk perwujudan dari tanggung jawab dan kewajiban bersama: antara orangtua/keluarga, masyarakat dan pemerintah. Selain itu dalam prosesnya,


(56)

pelayanan dan rehabilitasi sosial yang diselenggarakan juga harus didukung oleh kemudahan/aksebilitas bagi penyandang cacat tunanetra dalm menjalankan kehidupannya secara mandiri.

Pemberian pelayanan sosial itu sendiri diselenggarakan untuk membantu keluarga/orangtua dan anak dengan kecacatan. Pelayanan sosial, disamping ditujukan untuk member bantuan pelalayan sosial juga dilakukan untuk memberikan upaya rehabilitasi sosial maupun memberikan perlindungan anak. Disisi lain, pelayanan sosial diselenggarakan agar anak terpenuhi kebutuhan perlindungannya. Melalui perlindungan juga diharapkan akan terpeliharanya taraf kesejahteraan anak dan keluarganya, dan perlu adanya penyelenggaraan pelayanan soial maupun rehabilitasi sosial.

Sebagai kelompok rentan, anak dengan kecacatan tunanetra juga membutuhkan serangkaian rehabilitasi sosial. Rehabilitasi sosial dilakukan secara utuh dan terpadu dan berkesinambungan melaui pendekatan fisik, mental, sosial, agar penyandang cacat dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara optimal dalam hidup bermasyarakat. Untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan rehabilitasi sosial, maka perlu ada dilakukan rehabilitasi lain yang mencakup rehabilitasi medik, pendidikan dan keterampilan.

Sekolah Luar Biasa (SLB/A) Karya Murni merupakan suatu lembaga sosial yang bergerak dalam bidang kemanusia yang memegang prinsip bahwa hidup harus dihormati tanpa memandang asal usul, atau keadaan fisik warga secara lahiriah. Sebagai lembaga sosial kemanusian, Karya Murni meberikan perhatian khusus kepada para penyandang cacat tunanetra, anak-anak yatim piatu dan ekonomi. Di Karya Murni anak-anak yang lahir dalam keadaan demikan, dididik, dibesarkan, diberdayakan dan dimungkinan untuk menjadi mandiri dan menemukan jatinya.


(1)

e) Sangat tidak mempelajari Alasan ………

24. Apakah keterampilan sesuatu hal yang baru bagi anda? a. Sangat baru

b. Baru c. Cukup baru d. Tidak baru e. Sangat tidak baru

25. Apakah program kemandirian di Panti/Sekolah juga mempelajari hubungan interaksi sosial dan kemandirian?

a) Sangat mempelajari b) Mempelajari

c) Cukup mempelajari d) Tidak mempelajari e) Sangat tidak mempelajari

Alasan ………

26. Apakah materi- materi keterampilan yang anda pelajari sesuai dengan kondisi dimasa sekarang ini dengan kondisi keterbatasan fisik anda?

a) Sangat sesuai b) Sesuai

c) Cukup sesuai d) Tidak sesuai e) Sangat tidak sesuai

Alasan ………

B.3 Perilaku ( Behavior )

27. Apakah anda dapat mampu program keterampilan yang diajarkan di Sekolah?

a) Sangat mengikuti b) Mengikuti


(2)

d) Tidak mengikuti e) Sangat tidak mengikuti

Alasan ……….

28. Apakah anda mampu menghasilkan sebuah karya, setelah anda menerima pelatihan keterampilan?

a) Sanga mampu b) Mampu c) Cukup mampu d) Tidak mampu e) Sangat tidak mampu

Alasan ………

29. Apakah program yang telah anda ikuti dapat membantu anda bersosialisasi dilingkungan diluar Panti/Sekolah?

a) Sangat membantu b) membantu

c) cukup membantu d) Tidak membantu e) Sangat tidak membantu Alasan ……….

30 Apakah dengan adanya pelatihan keterampilan, anda dapat membantu diri anda sendiri dari aspek ekonomis?

a) Sangat membantu b) Membantu

c) Cukup membantu d) Tidak membantu e) Sangat tidak membantu Alasan ………

31.Apakah dengan mengikuti program keterampilan menjadikan anda memiliki kepercayaan diri dan kemandirian yang meningkat dari keterampilan yang diperoleh?


(3)

a) Sangat meningkat b) Meningkat

c) Cukup meningkat d) Tidak meningkat e) Sangat tidak meningkat

Alasan ………

32.Apakah anda sudah dapat meningkatkan kreativitas anda sehari- hari dengan lebih baik dari sebelumnya setelah mendapatkan program keterampilan yang diberikan?

a) Sangat meningkat b) Meningkat

c) Cukup meningkat d) Tidak meningkat e) Sangat tidak meningkat

Alasan ………

33. Apakah anda dapat mampu sebuah karya inovasi dari pengetahuan keterampilan-keterampilan dasar yang telah anda peroleh?

a) Sangat mampu b) Mampu

c) cukup mampu d) Tidak mampu e) Sangat tidak mampu Alasan ………

B.4 Dampak Organisasi ( Organization Result )

34.Apakah yang anda lakukan setelah menerima program pelatihan secara keseluruhan?

a)Wirausaha

b)Mencari pekerjaan c)Keterampilan diri sendiri d)Berdagang

e)bertani


(4)

35.Apakah keterampilan yang anda terima akan membantu dalam mendapatkan pekerjaan?

a) Sangat membantu b) Membantu

c) Cukup membantu d) Tidak membantu e) Sangat tidak membantu Alasan ……….

36.Apakah menurut anda program keterampilan sperti ini memiliki manfaat yang besar bagi penyandang keterbatasan fisik seperti anda?

a. Sangat membantu b. Membantu

c. Cukup membantu d. Tidak membantu e. Sangat tidak membantu

Alasan ………

37.Apakah anda mampu menyelesaikan pembelajaran dengan waktu yang ditentukan?

a. Sangat mampu b. Mampu

c. Cukup mampu d. Tidak mampu e. Sangat tidak mampu Alasan ……….

38.Apakah waktu yang diberikan untuk pelatihan keterampilan sudah tepat? a. Sangat tepat

b. Tepat c. Cukup tepat d. Tidak tepat e. Sangat tidak tepat


(5)

39.Apakah program pelatihan keterampilan ini perlu dilanjutkan? a. Sangat perlu

b. Perlu

c. Cukup perlu d. Tidak perlu e. Sangat tidak perlu

Alasan ……….

40.Bagaimana menurut anda akan kesiapan diri ( kemandirian) atas perolehan mendapat program?

Sebelum Sesudah

a) Sangat lebih baik b) Lebih baik c) Cukup baik d) Tidak baik e) Sangat tidak baik

Alasan

41.Apakah anda mampu bersoalisasi/berkomunikasi (interaksi sosial) dalam kehidupan anda sehari-hari?

Sebelum Sesudah

a) Sangat mampu b) Mampu

c) Cukup mampu d) Tidak mampu e) Sangat tidak mampu


(6)

42.Apakah anda dapat percaya diri (pada keterbatasan yang anda miliki) dalam kehidupan sehari-hari?

Sebelum Sesudah

a) Sangat percaya diri b) Percaya diri

c) Cukup percaya diri d) Tidak percaya diri

e) Sangat tidak percaya diri

Alasan


Dokumen yang terkait

Efektivitas Pelaksanaan Program Pelatihan Keterampilan Bagi Penyandang Cacat Tunanetra di Sekolah Luar Biasa/A (SLB/A) Karya Murni Medan Johor

6 79 143

Efektivitas Pelaksanaan Program Pelatihan Keterampilan Bagi Anak Tunanetra di Yayasan Pendidikan Tunanetra Sumatera (YAPENTRA) Tanjung Morawa Sumatera Utara

8 90 130

Efektivitas Program Pelatihan Keterampilan Bagi Penyandang Cacat Tuna Rungu Wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lanjut Usia Pematang Siantar

8 67 136

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Efektivitas 2.1.1 Pengertian Efektivitas - Efektivitas Pelaksanaan Program Pelatihan Keterampilan Bagi Penyandang Cacat Tunanetra di Sekolah Luar Biasa/A (SLB/A) Karya Murni Medan Johor

0 0 38

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang masalah - Efektivitas Pelaksanaan Program Pelatihan Keterampilan Bagi Penyandang Cacat Tunanetra di Sekolah Luar Biasa/A (SLB/A) Karya Murni Medan Johor

0 0 9

Efektivitas Pelaksanaan Program Pelatihan Keterampilan Bagi Penyandang Cacat Tunanetra di Sekolah Luar Biasa/A (SLB/A) Karya Murni Medan Johor

0 0 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Efektivitas 2.1.1 Pengertian Efektivitas - Efektivitas Pelaksanaan Program Pelatihan Keterampilan Bagi Anak Tunanetra di Yayasan Pendidikan Tunanetra Sumatera (YAPENTRA) Tanjung Morawa Sumatera Utara

2 3 28

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Efektivitas Pelaksanaan Program Pelatihan Keterampilan Bagi Anak Tunanetra di Yayasan Pendidikan Tunanetra Sumatera (YAPENTRA) Tanjung Morawa Sumatera Utara

0 2 10

Efektivitas Pelaksanaan Program Pelatihan Keterampilan Bagi Anak Tunanetra di Yayasan Pendidikan Tunanetra Sumatera (YAPENTRA) Tanjung Morawa Sumatera Utara

0 0 16

Efektivitas Program Pelatihan Keterampilan Bagi Penyandang Cacat Tuna Rungu Wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lanjut Usia Pematang Siantar

0 0 14