Kajian dan rekonstruksi konsep Eco village dan Eco house pada permukiman Baduy dalam berdasarkan community sustainability assesment

(1)

KAJIAN DAN REKONSTRUKSI KONSEP ECO-VILLAGE DAN

ECO-HOUSE PADA PERMUKIMAN BADUY DALAM

BERDASARKAN COMMUNITY SUSTAINABILITY

ASSESSMENT

MEISKE WIDYARTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi ‖Kajian dan Rekonstruksi Konsep Eco-village dan Eco-house pada Permukiman Baduy Dalam Berdasarkan Community Sustainability Assessment‖ adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir disertasi ini.

Bogor, 12 Agustus 2011

Meiske Widyarti NIM. F161050011


(3)

ABSTRACT

MEISKE WIDYARTI. Evaluation & Reconstruction of Eco-village and

Eco-house Concept in Inner Baduy Settlement based on Community Sustainability Assesment. Under BUDI INDRA SETIAWAN, as Chairman of Advisory Commission, HADI SUSILO ARIFIN, and ARIEF SABDO YUWONO as Members of the Advisory Commision.

Environment quality has been worsening year to year; building’s sector contributes 66 % of fossil fuels pollution’s sources. The technique in building constructions needs to be changed in more environmental friendly manner. Global Eco-village Network (GEN) has developed tool, which is called Community Sustainability Assessment (CSA). GEN has defined ways that can bring the world to be more sustainable and popularly known as Eco-village and Eco-house. Indigenous people, such as the Inner Baduy community, from longstanding experience have developed systems as their local wisdoms adapting to its environment and buildings in a sustainable manner. This study is emphasized the importance of traditional knowledge in terms of providing low input energy buildings and settlement. The objective of this study are: (1) Evaluation of sustainability of the Inner Baduy community base on Community Sustainability Assesment., (2) Reconstruction of Inner Baduy’s site plan and houses, (3) Evaluation of local wisdom concept in housing based on CSA. The study results are, CSA criteria have reached total number 1196 in level of sustainability; which is 432 on ecological aspect, 348 on social aspect, and 414 on spiritual aspect. Therefore, the Inner Baduy settlement shows a very good progress towards sustainability. A reconstruction of the Inner Baduy house and settlement has been drawn by technical drawings with a computer program called SketchUp 8. The technical drawings consist of site plan, plan, section and details drawings. A distribution profile of ventilation and temperature is simulated using SolidWork 2010 software. Validation on errors between measured and simulation’s data has been done by root mean square errors and umber of confident reach R2= 0,96 means that simulation result is not diferent from measured data. Simulation result describe that maximum ventilation rate is 0,75 m/sec and room temperature are evenly distributed throughout the house at maximum rate 34,16 o C at noon and the minimum relative humidity is 60 %. The inside climatic condition is distributed well inside the house and it has very much impact by outside condition. The stage and porous bamboo houses has a very good ventilation and suitable for usage in tropical region

Keywords: ecological design, environmental friendly, local wisdom, passive cooling, traditional settlement.


(4)

RINGKASAN

MEISKE WIDYARTI. Kajian dan Rekonstruksi Konsep Eco-village dan

Eco-house pada Permukiman Baduy Dalam berdasarkan Community

Sustainability Assessment. Di bawah bimbingan Budi Indra Setiawan, sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Hadi Susilo Arifin dan Arief Sabdo Yuwono sebagai Anggota Komisi Pembimbing.

Cara berinteraksi dengan lingkungan seperti yang dilaksanakan saat ini telah membawa banyak masalah di dunia dan diyakini oleh mayoritas masyarakat dunia akan menyebabkan kehidupan di bumi ini tidak akan berkelanjutan untuk waktu yang panjang. Masyarakat dunia berpendapat bahwa salah satu pencegahan dalam meningkatnya pemanasan global adalah kebutuhan akan suatu pemukiman manusia yang berkelanjutan yang disebut eco-village. Menurut definisi Gilman, eco-village adalah permukiman yang berkarakteristik aktifitas manusia dapat secara aman terintegrasi dengan alam dengan cara yang mendukung pembangunan kesehatan manusia. Interaksi yang demikian akan membuat bumi beserta isinya berkelanjutan sampai waktu yang tidak terbatas. Eco-village merupakan wilayah suatu komunitas manusia pada daerah perkotaan atau perdesaan, yang berintegrasi dengan lingkungannya. Global Eco-village Network (GEN) membuat suatu alat untuk mengukur taraf keberkelanjutan dari suatu komunitas dalam dimensi ekologis, sosial dan spiritual.disebut Community Sustainability Assessment (CSA). Suku asli Indonesia (Indeginous) telah berabad-abad lamanya hidup dalam komunitas yang bersahabat dengan alam dengan struktur sosial yang saling mendukung. Salah satunya adalah masyarakat Baduy Dalam. Masyarakat Baduy Dalam sejak berabad-abad silam hidup di Desa Kanekes tanpa bantuan dari manapun. Masyarakat Baduy dikenal dengan kearifan lokalnya yang mengutamakan konservasi alam sehingga pernah mendapatkan penghargaan Upakarti. Hingga saat ini masyarakat Baduy Dalam masih tetap mempertahankan adat dan budayanya dan belum terpengaruh modernisasi. Pertambahan populasi masyarakat Baduy antara 2 -3 % per tahun. Lahan mereka tetap tidak bertambah sehingga dikuatirkan di masa mendatang daya dukung lahan tidak akan mencukupi kebutuhan hidup mereka sehingga kelak akan mengakibatkan terjadinya pergeseran adat dan budaya pada masyarakat Baduy Dalam.

Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk menemukan masyarakat yang

hidup pada suatu wilayah permukiman yang berkelanjutan serta

mendokumentasikannya agar dapat menjadi pedoman dimasa mendatang. Tujuan khusus penelitian ini antara lain; 1. Mengkaji tingkat keberlanjutan masyarakat Baduy Dalam berdasarkan CSA, 2. Merekonstruksi tata letak, desain dan struktur rumah Baduy Dalam, 3. Menganalisis kearifan lokal konsep desain rumah Baduy Dalam berdasarkan CSA.

Untuk menganalisis tingkat keberlanjutan masyarakat Baduy Dalam dipergunakan kuesioner Community Sustainability Analysis dari GEN. Merekonstruksi tata letak dan desain bangunan dibuat dengan gambar teknik menggunakan program SketchUp. Menganalisis kearifan lokal konsep desain rumah dari gambar teknik dan analisa pengudaraan dengan program SolidWork.


(5)

Berdasarkan hasil analisa data yang diperoleh dari kuesioner CSA, maka dalam aspek ekologis diperoleh nilai 432, aspek sosial 348 dan aspek spiritual 414. Pencapaian total nilai setiap aspek adalah 1196 yang menunjukkan bahwa masyarakat Baduy Dalam dan wilayah Desa Kanekes menunjukkan progress yang sangat baik dalam keberlanjutan dan sudah sesuai dengan konsep eco-village dari Global Eco-village Network. Kearifan lokal dan aturan adat Baduy Dalam dalam yang mengutamakan konservasi dalam penggunaan lahan serta aturan-aturan yang lengkap merupakan faktor utama dalam keberlanjutan masyarakat Baduy. Hasil rekonstruksi berupa gambar teknik antara lain gambar piktorial denah, tampak, struktur beserta detail elemen-elemen konstruksi. Selanjutnya dibuat miniatur bangunan dengan ukuran 1: 10. Kondisi iklim mikro rumah dianalisis dengan teknik simulasi. Hal ini dilakukan karena pada kampung Baduy Dalam tidak diperkenankan untuk mengambil data dengan menggunakan alat modern. Sebelum melakukan simulasi dilakukan validasi data hasil pengukuran suhu dengan hasil simulasi pada miniatur bangunan untuk mengetahui besar eror dari hasil simulasi. Hasil validasi menggunakan root mean square error diperoleh rata-rata nilai R2 = 0,96 yang berarti nilai hasil simulasi tidak jauh berbeda dengan hasil pengukuran sehingga teknik simulasi dapat dipergunakan untuk mengetahui kondisi iklim mikro rumah Baduy Dalam.

Hasil simulasi menunjukkan suhu terendah terjadi pada jam 5.00 sebesar 22

o

C. Suhu terpanas pada jam 12 mencapai 34,16o C pada ruang Sosoro Timur dengan kelembaban relatif 63% dan aliran udara 0,54 m/detik. Rumah Baduy Dalam mendapat aliran ventilasi yang baik sepanjang hari akibat rumah berbentuk panggung yang ditutup dengan lantai dan dinding yang bercelah.


(6)

©Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atauseluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya


(7)

Judul Disertasi : Kajian dan Rekonstruksi Konsep Eco-village dan Eco- house pada Permukiman Baduy Dalam Berdasarkan Community Sustainability Assesment

Nama : Meiske Widyarti

NIM : F161050011

Disetujui:

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Budi Indra Setiawan, M.Agr. Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, M.S.

Ketua Anggota

Dr. Ir. Arief Sabdo Yuwono M.Sc. Anggota

Diketahui:

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Keteknikan Pertanian


(8)

Tanggal Ujian : 12 Agusturs 2011 Tanggal Lulus :

Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. Erizal Rangkayo Basa, M.Agr.

2. Dr Ir. Nuhayati H.S. Arifin, M.Sc.

Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr.Ir.Ahmad Indra Siswantara MT.


(9)

KAJIAN DAN REKONSTRUKSI KONSEP

ECO-VILLAGE DAN ECO-HOUSE PADA PERMUKIMAN

BADUY DALAM BERDASARKAN COMMUNITY

SUSTAINABILITY ASSESSMENT

MEISKE WIDYARTI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadlirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmah, hidayah, dan inayah-Nya, sehingga penelitian dan disertasi ini dapat diselesaikan. Penulis menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Budi I. Setiawan, M. Agr, Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo Arifin, M.S, Dr. Ir. Arief Sabdo Yuwono, M.Sc yang telah banyak memberikan bekal ilmu pengetahuan dan arahan kepada penulis sampai pada penyelesaian disertasi.

2. Pejabat Departemen Pendidikan Tinggi, Dekan Pascasarjana, Dekan Fakultas Teknologi Pertanian yang telah memberikan kesempatan dan Beasiswa Program Pascasarjana pada penulis untuk dapat tugas belajar di IPB dan mengikuti program Sandwich ke Jepang.

3. Ketua Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan dan Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian dan Head of Landscape Ecology and Management Laboratory, Iwate University yang telah memberikan ijin, bantuan, fasilitas, kesempatan dan dukungannya selama pendidikan.

4. Kepala dan Sekertaris Desa Kanekes yang telah memberikan ijin untuk mengambil data dan para pemuka adat di Kampung Cibeo, khususnya ayah Mursid, Jaro Sami, Sarpin yang telah memberikan data yang diperlukan untuk penelitian ini.

5. Teman-teman di Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, HSA’s students serta staf Pengajar IPB khususnya Dr. Eti, Dr. Nora P., Dr Satyanto K. S., Chusnul A., M.Si, Allen K. M.T., Muhammad F. M.T. yang telah banyak memberikan bantuan, dorongan dan semangat kepada penulis selama pelaksanaan penelitian,

6. Teman-teman di Wisma Wageningen: Dr. Kudrat, Gardjito, M.Sc, Dr. Popi. M.Agr., Yanto , MS, Muh. Sakti M.T., Taufik M.Si, Fadli, MS., dan Mas Mulyawatulah atas kebersamaan, persahabatan, bantuannya.

7. Kepada Bapak, ibu (alm.) dan suami, anak penulis tercinta Dewa, Giri, dan Maulana atas pengorbanan, dorongan, kasih sayang dan doanya.

Akhirnya kepada semua pihak yang memberi masukan, saran, dan kritik membangun yang telah mengilhami dan menginspirasi penulis, disampaikan penghargaan dan terimakasih yang tulus atas semua kontribusinya. Kepada Allah SWT kita pasrahkan usaha dan niat yang baik ini, dengan harapan semoga karya ilmiah ini bermanfaat adanya. Amin.

Bogor, 12 Agustus 2011


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sukabumi Jawa Barat pada tanggal 9 Pebruari 1952, sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Alm. Haris Tirtadiredja dan Sari Suanti.

Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia Jakarta, lulus pada tahun 1982. Pada tahun 1999 menyelesaikan pendidikan di Asian Institute of Technology, Thailand. Pada tahun 2005 mendapat kesempatan untuk melanjutkan Program Doktor pada Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan S3 diperoleh dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan Kementerian Pendidikan Nasional. Pada tahun 2009 mendapatkan beasiswa dari DIKTI untuk Sandwich Program di Iwate University.

Penulis mulai bekerja di, Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) sejak tahun 1987 sebagai staf pengajar pada Laboratorium Lingkungan dan Bangunan Pertanian. Mulai tahun 1990 penulis diangkat menjadi PNS di Departemen Teknik Pertanian dengan Jabatan Fungsional yang pertama diperoleh tahun 1990 sebagai Asisten Ahli, tahun 1999 sebagai Lektor dan pada tahun 2000 sampai saat ini menjadi Lektor Kepala. Pada tahun 1990 sampao 2002 aktif pada pembangunan Kampus IPB Darmaga. Pada tahun 2008 hingga sekarang menjadi staf pengajar pada Bagian Teknik Struktur dan Infrastruktur, Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.

Selama mengikuti program S3, penulis menyajikan karya ilmiah sebagai berikut:

(1) Rekonstruksi Kearifan Lokal Konstruksi Rumah Masyarakat Baduy Dalam (Eco-house), pada Jurnal Ilmiah Forum Pascasarjana IPB, Vol. 34 No 4, Oktober 2011.

(2) Analisis Kondisi Pengudaraan Pasif pada Rumah Baduy Dalam dengan Teknik Simulasi, pada Jurnal Keteknikan Pertanian, Vol 25, No 2, Oktober 2011.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... XII DAFTAR GAMBAR ... XIII DAFTAR TABEL ... XV DAFTAR LAMPIRAN ... XVI

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Hipotesis ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

Kebaruan Penelitian (Novelty) ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Masyarakat Baduy ... 5

Eco-village ... 17

Eco-house ... 21

Desain Ekologis ... 22

Faktor yang Mempengaruhi Kenyamanan Termal (SNI, 2001) ... 32

Temperatur Udara Kering. ... 32

METODE PENELITIAN ... 34

Tempat dan Waktu Penelitian ... 34

Metode Penelitian ... 35

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 47

Kesesuaian Masyarakat Baduy dengan Konsep Global Eco-village Network ... 47

Rekonstruksi Desain Rumah Baduy Dalam ... 69

Kearifan lokal desain rumah berdasarkan CSA ... 80

Desain Rumah ... 82

SIMPULAN DAN SARAN... 100

Simpulan ... 100

Saran ... 101

DAFTAR PUSTAKA ... 102


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Struktur organisasi masyarakat Baduy ... 11

Gambar 2 Peta Desa Kanekes ... 36

Gambar 3 Kerangka penelitian... 37

Gambar 4 Titik pengambilan data ruang ... 42

Gambar 5 Titik pengambilan data atap ... 42

Gambar 6 Titik Pengambilan data di atap dan dinding luar... 42

Gambar 7 Hybrid Recorder ... 42

Gambar 8 Weather station ... ... 43

Gambar 9 Baling-baling ... 43

Gambar 10Tahapan simulasi ... 46

Gambar 11 Tata letak rumah di lokasi ... 70

Gambar 12 Perspektip denah bangunan ... 71

Gambar 13 Perspektip tampak ... 72

Gambar 14 Perspektip tampak samping ... 72

Gambar 15 Perspektif bangunan ... 72

Gambar 16 Perspektip potongan melintang ... 73

Gambar 17 Perspektif potongan memanjang ... 73

Gambar 18 Potongan melintang ... 74

Gambar 19 Perspektif konstruksi rumah ... 74

Gambar 20 Piktorial detail konstruksi atap ... Error! Bookmark not defined. Gambar 21 Perspektip sambungan dinding ... 77

Gambar 22 Konstruksi lantai ... 78

Gambar 23 Pondasi ... 79

Gambar 24 Miniatur rumah Baduy Dalam... 80

Gambar 25 Radiasi wilayah Darmaga tanggal 13 Nopember 2009 ... 85

Gambar 26 Validasi suhu atap ... 88

Gambar 27 Validasi suhu ruang Sosoro ... 88

Gambar 28 Validasi suhu ruang Tepas ... 88

Gambar 29 Validasi suhu ruang Imah ... 88

Gambar 30 Aliran udara di bawah rumah ... 90


(14)

Gambar 32 Kondisi suhu di dalam rumah ... 89

Gambar 34 Aliran udara jam 13 ... 90

Gambar 35 Aliran udara di dalam rumah ... 91

Gambar 37 Aliran udara atap ... 92

Gambar 39 Skema eco-village Baduy Dalam ... 93

Gambar 40 Skema pengudaraan jam 12... 97


(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Standard comfort ASHRAE ... Error! Bookmark not defined.

Tabel 2 Parameter aspek-aspek dalam CSA ... 43

Tabel 3 Nilai dan kondisi keberlanjutan masyarakat ... 44

Tabel 4 Nilai keberlanjutan dalam aspek ekologis ... 47

Tabel 5 Nilai keberlanjutan dalam aspek sosial ... 47

Tabel 6 Nilai keberlanjutan dalam aspek spiritual ... 48

Tabel 7 Kearifan lokal dalam keberlanjutan masyarakat Baduy Dalam ... 49

Tabel 8 Tata guna lahan ... 49

Tabel 9 Sistem kalender dan aktivitas berladang ... 54

Tabel 10 Kearifan lokal dalam aspek sosial ... 61

Tabel 11 Kearifan lokal dalam keberlanjutan aspek spiritual ... 65

Tabel 12 Aktivitas harian orang Baduy Dalam ... 83

Tabel 13 Sistim konstruksi & pembangunan yang ramah lingkungan ... 60


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Hasil pengisian kuesioner menggunakan Community Sustainability

Assessment ... 107

Lampiran 2 Data kondisi lingkungan penelitian tanggal 12 Nopember 2009 ... 144

Lampiran 3 Data kondisi lingkungan penelitian tanggal 13 Nopember 2009 .... 145

Lampiran 4 Data kondisi lingkungan penelitian tanggal 14 Nopember 2009 .... 146

Lampiran 5 Data temperatur miniatur tanggal 12 Nopember 2009 ... 147

Lampiran 6 Data temperatur miniatur tanggal 13 Nopember 2009 ... 147

Lampiran 7 Data hasil pengukuran miniatur tanggal 14 Nopember 2009 ... 149

Lampiran 8 Data hasil pengukuran dan simulasi ... 150

Lampiran 9 Hasil simulasi temperatur (oC) ... 151

Lampiran 10 Hasil simulasi kecepatan angin (m/s) ... 152

Lampiran 11 Hasil simulasi kelembaban relatif ( %)... 153

Lampiran 12 Input simulasi CFD; General Setting ... 154

Lampiran 13 Input CFD; Engineering Data Base ... 155

Lampiran 14 Input CFD; Mesh Setting ... 156

Lampiran 15 Hasil simulasi kondisi pengudaraan jam 12 dan jam 20 ... 157

Lampiran 16 Data hasil survey masyarakat Baduy Dalam; Desa Cibeo ... 158


(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pemanasan global akibat efek rumah kaca terjadi mengakibatkan bencana alam diseluruh dunia. Cara berinteraksi dengan lingkungan seperti yang dilaksanakan saat ini diyakini oleh mayoritas masyarakat dunia akan menyebabkan kehidupan di bumi ini tidak akan berkelanjutan untuk waktu yang panjang. Untuk mencegah semakin buruknya kondisi ini maka praktek interaksi dengan alam seperti yang dilaksanakan saat ini harus dirubah. Masyarakat dunia menganggap hal tersebut saat ini kondisinya sudah sangat serius dan hal ini dibuktikan dengan diadakannya beberapa konferensi tentang masalah pemanasan global salah satunya di Bali pada bulan Desember tahun 2007. Menurut Papulous (2007), tidak ada suatu strategi teknispun memungkinkan untuk mengurangi penggunaan sumber daya alam yang sedemikian besar sementara gaya konsumerisme dari masyarakat dan kapitalis berlangsung terus. Harus dimulai suatu penyederhanaan hidup (Simpler Way) yaitu suatu cara yang lebih baik di mana kita hidup sangat ekonomis dan efisien dan dapat mandiri dalam ekonomi yang berlimpah. Masyarakat di dunia ini berpendapat bahwa salah satu pencegahan dalam meningkatnya pemanasan global ini adalah kebutuhan akan suatu model yang positif dalam pemukiman manusia yang berkelanjutan yang disebut eco-village. Gilman (1991), dalam bukunya berjudul Eco-villages and Sustainable Communities mendefinisikan bahwa suatu eco-village adalah permukiman yang berskala manusia, permukiman berkarakteristik aktifitas manusia secara aman terintegrasi dengan alam sehingga dan bumi beserta isinya dapat dengan sukses berkelanjutan sampai waktu yang tidak terbatas. Eco-village yang terdapat di dunia ini hanya sedikit saja yang dapat memenuhi definisi Gilman (1991) secara lengkap.

Semenjak tahap awal jaringan eco-village telah memikirkan untuk menetapkan suatu kriteria untuk kesesuaian suatu komunitas dan menetapkan jalur pencapaian minimum komunitas dalam prinsip pembangunannya dalam dimensi ekologis, sosial dan spiritual agar komunitas dapat mengidentifikasikan dirinya sebagai suatu eco-village. Global Eco-village Network (GEN) menciptakan suatu


(18)

alat sebagai pendekatan untuk mengukur taraf keberkelanjutan dari suatu komunitas disebut Community Sustainability Assessment (CSA). CSA menjadi alat pengaudit keberlanjutan masyarakat yang dapat dipergunakan untuk mengukur, mengidentifikasi dan memberikan langkah yang dapat dilakukan.

Desain bangunan saat ini sudah banyak kehilangan sentuhan dan pengetahuan khusus tentang suatu tempat, angin, air dan kehidupan alam. Kecenderungan saat ini adalah dalam mengatasi masalah lingkungan pada umumnya diambil keputusan untuk penggunaan alat yang banyak mengkonsumsi energi dan menghasilkan polusi. Untuk membangun komunitas yang berkelanjutan manusia harus secara aktif bertanggung jawab terhadap dampak lingkungan dari desain yang dibuat (eco-house).

Telah berabad - abad lamanya manusia hidup dalam komunitas yang dekat dengan alam dengan struktur sosial yang saling mendukung. Banyak dari komunitas ini yang kita sebut ―eco-villages‖, masih ada saat ini dan mereka berjuang untuk tetap hidup termasuk di Indonesia. Saat ini eco-village kembali digalakkan agar manusia dapat hidup dalam komunitas yang selaras dengan alam untuk menjamin keberadaan seluruh mahluk hidup hingga masa yang tak terbatas. Kondisi eco-village dan eco-house yang ada di Indonesia perlu digali kebaikan - kebaikannya dan kesesuaiannya dengan definisi Gilman (1991), salah satumya adalah permukiman masyarakat Baduy. Masyarakat Baduy merupakan suku asli Indonesia (Indeginous) yang sejak berabad-abad silam hidup di Desa Kanekes tanpa bantuan dari manapun (survive). Masyarakat Baduy dikenal dengan kearifan lokalnya yang mengutamakan konservasi dengan gaya hidup terintergrasi dengan alam sehingga pernah mendapatkan Upakarti. Hingga saat ini sebagian masyarakat Baduy masih tetap mempertahankan adat dan budayanya dan belum terpengaruh modernisasi. Mata pencaharian utama suku Baduy adalah berladang (ngahuma). Pertambahan populasi masyarakat Baduy Dalam antara 2 -3 % per tahun sedangkan lahan mereka tetap tidak bertambah. Dikuatirkan di masa mendatang daya dukung lahan tidak akan mencukupi kebutuhan hidup mereka.

Indonesia membutuhkan model suatu wilayah permukiman dan bangunan yang berkelanjutan. Kekayaan budaya milik bangsa Indonesia juga harus terdokumentasikan dengan baik sehingga tidak punah di masa mendatang. Oleh


(19)

karena itu perlu dilakukan studi tentang kesesuaian permukiman dan rumah masyarakat Baduy Dalam dengan konsep eco-village dan eco-house dari GEN.

Tujuan Penelitian

Penelitian yang dilakukan memiliki tujuan sebagai berikut :

1. Mengkaji tingkat keberlanjutan masyarakat Baduy Dalam berdasarkan CSA 2. Merekonstruksi tata letak, desain dan struktur rumah Baduy Dalam

3. Menganalisis kearifan lokal konsep desain rumah Baduy Dalam berdasarkan CSA.

Hipotesis

Tiga hipotesis yang dikemukakan adalah sebagai berikut :

1. Permukiman masyarakat Baduy Dalam sudah sesuai dengan konsep eco-village dari Global Eco-village Network.

2. Permukiman dan rumah masyarakat Baduy Dalam dapat dijadikan model eco-village dan eco-house yang ada di Indonesia.

3. Konsep desain rumah Baduy Dalam sesuai untuk rumah di daerah beriklim tropis

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan akan bermanfaat untuk :

1. Mendapat informasi tentang tingkat keberlanjutan masyarakat Baduy Dalam berdasarkan konsep eco-village dari GEN.

2. Mendapatkan faktor- faktor yang mendasari (driven factor) keberlanjutan 3. Mendapatkan dokumentasi konsep eco-house didalam suatu eco-village di

Indonesia yang sesuai dengan konsep GEN.

Kebaruan Penelitian (Novelty)

Penelitian tentang eco-village dan eco-house secara menyeluruh belum banyak dilakukan di Indonesia terutama pada permukiman masyarakat Baduy Dalam. Dengan dilakukannya penelitian ini akan diketahui tingkat keberlanjutan


(20)

masyarakat Baduy Dalam dalam aspek ekologis, sosial dan spiritual. Selain itu akan diketahui kearifan lokal konsep permukiman tradisional masyarakat Baduy Dalam dan kesesuaiannya dengan konsep desain ekologis (eco-house) dari GEN. Hasil dari penelitian ini akan membuat terdokumentasikannya kearifan lokal dalam tata letak permukiman dan rumah masyarakat Baduy Dalam. Konsep kearifan lokal Baduy Dalam penting untuk diketahui karena merupakan suatu aset kekayaan milik bangsa Indonesia yang sangat berharga.


(21)

TINJAUAN PUSTAKA

Masyarakat Baduy

Masyarakat Baduy hidup di pengunungan Kendengan, Banten Selatan. Masyarakat Baduy bukan masyarakat terasing tetapi mereka adalah masyarakat yang sengaja mengasingkan diri. Masyarakat Baduy tidak terisolir dalam berkomunikasi tetapi mereka dengan sengaja mengasingkan diri dari masyarakat lain disekitarnya. Mereka dengan sengaja menjadikan daerahnya sebagai tempat suci dan keramat. Menurut Suhada (2002), sejak sekitar abad XVI mereka tetap bertahan seperti yang dapat kita saksikan saat ini. Sandang, pangan dan papan mereka upayakan sendiri, hutan dan alam sekitarnya merupakan sumber hidup dan kehidupan mereka. Mereka dijaga oleh sebuah sistem adat yang amat kuat dan merupakan (sistem norma) batasan pola hidup mereka. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari- hari mereka belum pernah mengharapkan bantuan dari luar karena mereka mampu untuk mandiri. Pleyte (diacu dalam Garna,1987) menduga nenek moyang mereka berasal dari daerah Bogor atau Pajajaran dengan bukti adanya tempat yang disebut Arca Domas didekat Cikopo Tengah dikaki gunung Pangrango. Pendapat Jacobs dan Meijer (diacu dalam Garna, 1987); orang Baduy berasal dari Banten Utara yang melarikan diri dari pengaruh Islam pada masa pemerintahan Maulana Hasanuddin (1552-1570). Adapun menurut kepercayaan orang Baduy sendiri adalah Kanekes merupakan pusat dunia, tempat awal terciptanya dunia. Orang Baduy bersama Nabi Adam adalah manusia pertama yang lahir ke dunia sebagai Ambu Luhur yang tinggal di Nagara Suci atau Buana Nyungcung, Tuhan merekalah yang menciptakan alam dunia ini. Setelah jadi mengutus Batara yang bertugas mengurus dunia ciptaanya. Pada awalnya manusia bertempat tinggal di Cikeusik, kemudian Cikartawana dan akhirnya di Cibeo. Ketiga tempat pusat dunia itu dititipkan pada para Puun sebagai pimpinan tertinggi orang Baduy yang dianggap keturunan Batara. Desa Kanekes juga adalah tanah suci (kancana) yang mengandung banyak kekayaan. Maka orang yang tinggal di dalamnya harus menjaga kesucian itu dengan mematuh larangan (buyut). Hidup tidak boleh sombong dan berlebihan. Ada amanat leluhur (karuhun) yang telah menjadi ketentuan mutlak (pikukuh) yang


(22)

harus dipegang teguh oleh setiap insan Kanekes. Sebagai tanah suci, bumi Kanekes tidak boleh dibolak balik. Orang Baduy membatasi teknologi dalam upaya menjaga keutuhan alam dan lingkungan Kanekes. Orang Tangtu adalah yang paling ketat menjaga amanat leluhur dengan sikap dan tindakan yang teu wasa yaitu sikap tak berdaya melanggar pantangan adat atau buyut. Ini adalah salah satu ajaran dari Sunda Wiwitan yang merupakan agama orang Baduy. Kondisi Geografis

Kanekes merupakan nama desa yang keseluruhannya dihuni oleh masyarakat Baduy. Desa tersebut termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Perkampungan masyarakat Baduy pada umumnya terletak pada daerah aliran sungai Ciujung di pengunungan Kendeng- Banten Selatan. Letaknya sekitar 172 km sebelah Barat ibukota Jakarta. Sekitar 65 km sebelah Selatan ibukota propinsi Banten, sekitar 38 km sebelah Selatan kota kabupaten Lebak dan 17 km sebelah Selatan kota kecamatan Leuwidamar. Kampung Baduy Tangtu terletak pada kawasan sebelah Selatan sedangkan panamping tersebar disisi Barat dan Timur kampung Tangtu. Luasnya Desa Kanekes sekitar 5101,85 ha. Tata guna lahan dibagi tiga yaitu lahan usaha pertanian, hutan tetap, dan permukiman. Lahan usaha pertanian merupakan yang terbesar, yakni mencapai 2585,29 ha Lahan ini yang ditanami hanya 709,04 ha. Penggunaan lahan terkecil adalah untuk permukiman yaitu 24,5 ha. Hutan tetap sebesar 2492,06 ha yang merupakan hutan lindung yang tidak boleh digarap (Purnomohadi, 1985).

Kampung Tangtu terdiri atas kampung Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Urutan tersebut menunjukkan keletakan berturut turut dari Utara ke Selatan. Masing masing kampung terletak di dekat sungai Ciparahiang, Cikatawana dan Ciujung.

Batas Desa Kanekes :

1. Di sebelah Barat, berbatasan dengan desa Parakan Beusi; desa Kebon Cau dan desa Karangnunggal Kecamatan Bojongmanik

2. Di sebelah Utara berbatasan dengan desa Bojong Menteng; desa Cisimeut dan desa Nayagati Kecamatan Leuwidamar.


(23)

3. Di sebelah Timur berbatas dengan desa Karangcombong dan desa Cilebang kecamatan Muncang

4. Di sebelah Selatan, desa ini berbatasan dengan desa Cikateu Kecamatan Cijaku kabupaten Lebak.

Di kawasan Baduy terdapat banyak sungai yang kebanyakan berakhir di sungai Ciujung. Di antaranya adalah sungai Cimangseuri; Ciparahiang; Cibeueung; Cibarani serta beberapa anak sungai lainya. Daerah ini juga memiliki beberapa gunung dan banyak perbukitan yang keseluruhannya merupakan bagian dari pegunungan Kendeng yang membentang sampai keujung Timur pulau Jawa, dengan ketinggian mencapai 1200 meter dari permukaan air laut. Di hulu sungai Ciujung disebut Leuweung Kolot (hutan larangan), di mana di sana terletak Panembahan Arca Domas yang juga disebut Sasaka Domas. Daerah ini merupakan daerah yang dikeramatkan dan menjadi kiblat bagi orang Baduy. Permukiman masyarakat Baduy berada di daerah perbukitan dan berada pada ketinggian di atas 250 meter di atas permukaan air laut. Terletak di sekitar pegunungan Kendeng dan merupakan kawasan yang kaya akan sumber air yang masih bebas dari polusi. Secara geografis, lokasi masyarakat Baduy ini terletak pada 6o27’27‖ – 6o30’ Lintang Selatan dan 108o3’ 9‖ – 106o4’55‖ Bujur Timur (Bakosurtanal, 2005). Keadaan suhu udara berkisar antara 23o sampai 28 o Celcius. Keadaan tanah pada umumnya selalu lembab, berlumut dan basah. Topografi wilayah Baduy pada umumnya berbukit dengan kemiringan lereng rata rata 49,1%, kemiringan lereng paling datar sebesar 0%, dan yang paling curam 55% (Purnomohadi, 1986).

Kondisi Sosial & Ekonomi

Masyarakat Baduy bagaikan dalam sebuah negara tersendiri yang tatanan hidupnya diatur oleh hukum adat yang sangat kuat. Semua kewenangan yang berlandaskan kebijaksanaan dan keadilan, berada ditangan pimpinan tertinggi yaitu Puun. Puun adalah pucuk pimpinan masyarakat Baduy, baik Baduy Dalam maupun Baduy Luar, sebagai pengendali hukum adat dan tatanan hidup masyarakat. Dalam menjalankan tugasnya beliau dibantu oleh beberapa tokoh adat lainnya. Puun, sebagai penguasa agama dan pemuka yang paling suci, harus


(24)

ditaati segala perintah dan perkataannya. Pikukuh, adalah ketentuan mutlak dari aspek kehidupan yang harus ditaati orang Baduy. Pikukuh yang berlaku antara lain; dilarang mengubah jalan air, membuat kolam dan irigasi, mengubah bentuk tanah, menggali, meratakan tanah, masuk hutan larangan, menebang pohon atau mengambil hasil hutan larangan, menggunakan alat alat pertanian, mengubah jadwal tanam, menebang sembarang jenis tanaman, memelihara binatang berkaki empat, menggunakan zat kimia, menggunakan bahan bakar minyak, membuat sumur, membuang sampah dan menuba ikan, mandi dan gosok gigi dengan bahan kimia di sungai. Panutan tersebut merupakan penjabaran dari pandangan hidup tata ajaran Sunda Wiwitan. Rukun agama Sunda Wiwitan adalah syahadat, puasa dan tapa di bulan kawalu, ngalaksa, seba, ngukus, ziarah ke Sasaka Domas. Pola prilaku masyarakat Baduy tidak bervariasi, lebih bertumpu pada sistem adat yang sudah berabad-abad mengakar dan mendarah daging pada setiap individu. Pandangan hidup masyarakat Baduy mengandung azas kekeluargaan dan gotong- royong serta saling melindungi. Tugas hidup mereka di antaranya adalah untuk menghayati dan mengamalkan titipan Adam Tunggal (yang maha kuasa) melalui upaya menjaga kelestarian lingkungan alamnya. Masyarakat Baduy terbagi mendjadi tiga bagian, yaitu Tangtu, Panamping dan Dangka. Tangtu dan Panamping berada pada wilayah Desa Kanekes, sedangkan Dangka terdapat di luar Desa Kanekes. Pembagian ini berdasarkan kesuciannya dan ketaatannya kepada adat, Tangtu (Baduy Dalam) lebih tinggi dibanding Panamping (Baduy Luar) dan Panamping lebih tinggi daripada Dangka.

Baduy Dalam (Tangtu). Masyarakat Baduy Dalam menurut Suhada

(2002), bertugas untuk bertapa, dan memiliki karakteristik tersendiri. Berdasarkan territorial kampung masyarakat Baduy Dalam tinggal di dalam tiga kampung yaitu: 1. Kampung Cikeusik, 2. Kampung Cibeo, dan 3. Kampung Cikartawana. Kampung Cikeusik disebut Tangtu Pada Ageng, Kampung Cibeo disebut Tangtu Parahiang dan Kampung Cikartawana disebut Tangtu Kadu Kujang. Ketiganya disebut sebagai Tangtu Tilu. Setiap kampung Baduy Dalam dipimpin oleh seorang Puun disebut Tri Tunggal. Ketiganya mempunyai tugas dan fungsi masing masing untuk keseluruhan masyarakat Baduy, baik Baduy Dalam maupun Baduy Luar. Pola dan perilaku anggota kelompok juga tidak terdapat perbedaan signifikan.


(25)

Semuanya terikat oleh batin yang padu sebagaimana tersirat namun tak tersurat dalam prinsip hidup mereka yakni menghayati dan mengamalkan titipan dari Adam Tunggal. Pakaian orang Tangtu adalah destar putih hasil tenunan sendiri

Baduy Luar (panamping). Menurut Suhada (2002) Baduy Luar ditugaskan

oleh adat untuk menjaga orang yang sedang bertapa (Baduy Dalam) sekaligus membantu meneguhkan adat. Tugas hidup tersebut membawa pengaruh terhadap berbagai aspek kehidupannya, terutama dalam masalah pola prilaku serta sistem sosial yang ada. Panamping adalah masyarakat yang tinggal diluar wilayah tanah suci mereka disebut urang kaluaran atau Baduy Luar. Meskipun begitu Tangtu dan Panamping tetap dalam satu kesatuan ekonomi, sosial, politik, religi dan sistem nilai.Pakaian Panamping warna hitam atau biru tua dan membeli sebagian pakaiannya dari penjahit yang tinggal diluar Kanekes. Masyarakat Baduy Luar sedikit lebih terbuka bila dibandingkan dengan sistem sosial masyarakat Baduy Dalam. Mereka dituntut untuk berhadapan langsung dengan faktor faktor yang setiap saat dapat mempengaruhi dan merongrong sistem yang ada. Faktor faktor tersebut antara lain semakin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang setiap saat memberikan dampak bagi setiap komunitas manusia. Begitu juga dengan permasalahan yang berkenaan dengan upaya baik yang dilakukan oleh pemerintah atau pihak lain.

Orang Dangka. Orang Dangka adalah orang Baduy yang tinggal di daerah

luar wilayah Baduy. Mereka tinggal di perkampungan diluar Desa Kanekes. Orang Dangka berfungsi sebagai benteng untuk menahan penetrasi kebudayaan luar. Dangka mempunyai arti kotor atau rangka. Orang Dangka adalah orang Baduy yang melanggar aturan pikukuh atau orang yang sudah tidak mau melaksanakan adat Baduy sehingga mereka tidak diperbolehkan tinggal di Desa Kanekes baik sementara ataupun untuk selamanya.

Organisasi Sosial

Dalam masyarakat Baduy dikenal dua sistem pemerintahan yaitu sistem nasional dan sistem tradisional (adat). Dalam sistem nasional masyarakat Baduy termasuk dalam wilayah Desa Kanekes yang terdiri dari beberapa kampung Tangtu, kampung Panamping dan kampung Dangka. Desa Kanekes dipimpin oleh


(26)

Jaro Pamarentah. Jaro Pamarentah berada dibawah Camat, kecuali untuk urusan adat harus tunduk kepada kepala pemerintahan tradisional adat yang disebut Puun. Kepala Desa Kanekes bertugas untuk menerima tamu dari luar atau wisatawan dan hubungan dengan pemerintahan untuk pengangkatannya berdasarkan persetujuan para Puun dan di SK kan oleh Camat setempat baru kemudian diajukan kepada Bupati. Secara tradisonal, pemerintahan adat masyarakat Baduy disebut Kapuunan dan Puun menjadi pimpinan tertinggi. Puun diwilayah Baduy ada tiga orang masing masing Puun Cikeusik, Puun Cibeo dan Puun Cikartawan. Puun tersebut merupakan Tri Tunggal karena secara bersama sama memegang pemerintahan tradisional. Ketiga Puun mempunyai wewenang tugas berlainan. Kapuunan Cikeusik mempunyai tugas yang menyangkut urusan keagamaan dan pengadilan adat dan memutuskan hukuman bagi pelanggaran adat dan pelaksanaa upacara adat. Kapuunan Cibeo mempunyai tugas yang menyangkut pelayanan kepada warga dan tamu kawasan Baduy termasuk administrator tata tertib pelintas batas dan berhubungan dengan daerah luar. Kapuunan Cikartawana mempunyai tugas yang menyangkut urusan pembinaan warga, kesejahteraan, keamanan atau badan pelaksana langsung di lapangan yang memonitor permasalahan yang berhubungan dengan kawasan Baduy.

Organisasi Desa Kanekes adalah (Gambar 1) :

a. Puun (kepala adat) dianggap sebagai pimpinan tertinggi, sifatnya turun temurun dan dipilih oleh masyarakat Baduy sendiri dan bila diganti ditentukan dari keturunannya. Setelah tidak menjabat mantan Puun menjabat sebagai penasehat (kokolot). Puun dibantu oleh dua orang yaitu girang serat untuk urusan dalam dan untuk urusan luar adalah jaro Tangtu.

b. Girang serat bertugas di bidang kesejahteraan sosial budaya dan penyelenggaraan upacara adat membantu dalam urusan peramalan dan siasat.

c. Jaro tangtu sebagai penghubung aspirasi warga Baduy mempertimbangkan kepada Puun tentang putusan hukum adat.

d. Jaro tujuh sebagai pembantu tugas girang serat pada pelaksanaan upacara adat dan sosial budaya


(27)

Gambar 1 Struktur organisasi masyarakat Baduy

e. Jaro dangka bertugas dibidang keagamaan, tradisi adat dan mengawasi masuknya budaya dari luar.

f. Jaro tanggungan dua belas bertugas dalam bidang keagamaan menjaga dan menindak para pelanggar adat dan pengawasan lingkungan hidup

g. Baresan sembilan berjumlah sembilan orang merupakan dewan pertimbangan untuk memutuskan segala putusan dalam hal ini sebagai ketua dan jaro warega sebagai wakil ketua.

Mata Pencaharian

Mata pencaharian utama orang Baduy adalah pertanian lahan kering yang berpindah-pindah dalam suatu waktu tertentu. Tidak semua lahan dapat dipergunakan sebagai ladang atau disebut dengan huma. Hutan tua dan hutan lebat tabu untuk dibuat huma, yang boleh hanya hutan muda, bekas huma dan kebun. Terdapat tiga jenis huma yaitu huma serang, huma puun dan huma tangtu.

Telah berabad-abad orang Baduy menjaga adat leluhur dengan mematuhi larangan agar tanah titipan Batara agar tetap tak ternoda. Selain buyut, pedoman


(28)

hidup mereka juga bersandar pada kolenjer alat keramat dari kayu bergambar kotak-kotak yang disilang dan diberi titik-titik. Segala perilaku dan kegiatan sehari-hari dapat dikaji baik buruknya lewat penafsiran dari titik, kotak dan garis silang yang ada pada kolenjer. Kebutuhan hidup masyarakat Baduy akan sandang pangan dan papan maupun kesehatan mengandalkan hasil pertanian dan huma yaitu mengawinkan dewi padi dengan bumi sesuai dengan ketentuan karuhun. Padi hanya boleh ditanam dilahan kering. Di sana tidak terdapat sawah karena letak geografisnya yang merupakan daerah pegunungan dan dilarang mencangkul tanah. Untuk menjaga kesehatannya mereka biasa meramu akar akaran serta daun daun yang steril dari unsur kimiawi. Padi tidak boleh dijual dan harus disimpan dengan baik. Untuk keperluan sehari hari mereka terpenuhi oleh kerajinan tangan yang dijajakan pada wisatawan, membuat gula merah yang dijual kekota dan berburu. Proses berladang yang dilakukan masyarakat Baduy adalah mulai dari awal persiapan ladang dikenal narawas dan nyacar sampai pada ngakut yaitu mengangkut hasil panen kerumah. Pada penghujung musim kemarau mereka mulai membuka semak belukar dan hutan belantara. (tidak termasuk hutan larangan) dengan menebangi pepohonan untuk dijadikan tempat bercocok tanam. Dalam mengolah tanah mereka menggunakan golok atau parang serta tongkat yang runcing/aseuk. Ketika musim penghujan mulai datang, masyarakat Baduy mulai melakukan penanaman benih padi, jagung atau jenis tanaman kacang- kacangan lainya, dengan cara melubangi lahan dengan aseuk. Sistem kalender dan sebagian upacara keagamaan orang Baduy tidak terlepas dari hubungan dengan padi dan perladangan. Seperti awal penyiapan lahan juga merupakan awal masuknya tahun baru orang Baduy yaitu bulan kapat.yaitu saat matahari berada di bumi Utara. Saat itu keadaan tanah sudah dingin sehingga sudah siap untuk kegiatan perladangan. Tidak ada jual beli ataupun sewa menyewa. Lahan dibuka untuk digarap semampunya. Kepemilikan bukan pada lahan tetapi pada tanamannya, terutama tanaman keras. Hanya tanaman durian dan petai yang dijual. Tidak memakan binatang mamalia besar hanya ayam dan ikan. Peralatan dan teknologi dibuat dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada misalnya kayu, bambu, pandan, tempurung kelapa, rotan, dan lampu dari minyak picung.


(29)

pokok saja, hal ini akibat aturan adat bahwa mereka harus sanggup mengamalkan dan siap meneguhkan titipan dari Adam Tunggal.

Permukiman

Lokasi yang dijadikan pemukiman pada umumnya berada di lereng gunung, celah bukit serta lembah yang ditumbuhi pohon pohon besar, yang dekat dengan sumber mata air semak belukar yang hijau di sekitarnya turut mewarnai keindahan serta kesejukan suasana yang tenang itu. Permukiman Baduy mencerminkan suasana keheningan, kedamaian dan kehidupan yang bersahaja (Permana, 2006).

Tata Ruang Permukiman. Perkampungan adalah suatu unit tempat tinggal

sekelompok masyarakat dalam suatu lingkungan tertentu. Permukiman masyarakat Baduy terdiri dari sejumlah rumah, bangunan balai kampung (bale), bangunan tempat menumbuk padi (saung lisung), bangunan tempat menyimpan padi (leuit) dan lingkungan sekitarnya berupa leuweung lembur. Tata ruang suatu permukiman atau kampung orang Baduy pada dasarnya merupakan semacam miniatur dari penataan yang lebih besar yaitu dari tata ruang kawasan. Pola yang nyata terlihat adalah adanya daerah terbuka, orientasi dan penataan bangunan dan jalan masuk keluar. Tata letak kampung pada kawasan lebih banyak di sebelah Barat daripada di daerah Timur. Penataan rumah warga Baduy banyak terdapat pada sisi Barat alun alun dan hanya beberapa saja yang di sisi sebelah Timur. Di kampung Cibeo pada sisi Timur hanya terdapat enam buah rumah dari 74 buah. Di Cikartawana 5 buah dari 22 buah yang membentuk satu baris dari Utara ke Selatan. Sementara di Cikeusik terdapat sembilan buah rumah dari 62 buah yang membentuk dua baris, lima rumah pada baris depan, dan dibelakangnya terdapat empat rumah (Permana, 2006). Arah depan dari setiap deret atau baris rumah selalu saling berhadapan. Oleh karenanya arah depan rumah ada yang berada disisi Utara dan disisi Selatan. Wilayah sebelah Selatan hanya ada rumah Puun yang merupakan wilayah sakral dan tidak boleh dilewati. Penataan kawasan daerah Selatan ditandai dengan permukiman yang dianggap sakral yakni permukiman tangtu. Di sebelah Utara alun alun terdapat bangunan yang bersifat profan yakni bale. Bangunan ini merupakan tempat menginap dan menerima pengunjung. Berbeda dengan bangunan lain orientasi bale adalah Barat -Timur


(30)

sedangkan rumah lainnya berorientasi Utara-Selatan.

Luas ketiga permukiman Tangtu berbeda-beda. Kampung Cibeo memiliki luas sekitar 100 x 250 meter, Cikeusik berukuran sekitar 100 x 150 meter dan Cikartawana berukuran paling kecil sekitar 70 x 100 meter.

Kepadatan rumah di Cikeusik lebih tinggi, bahkan ada bagian ujung atap antar rumah yang berdekatan dan saling berhimpitan. Di Cibeo walaupun jumlah rumahnya lebih banyak, tetapi karena lahan permukimannya lebih luas maka jarang sekali ada bagian atap rumah yang saling berhimpit seperti Cikeusik. Di Cikartawana kepadatan rumah cukup rendah karena jumlah rumah sedikit sedang lahan cukup luas. Kampung kampung Baduy umumnya berada di kaki suatu bukit atau lereng, terletak sedikit lebih tinggi daripada aliran sungai atau anak sungai yang mengalir, sehingga mudah untuk dipergunakan kegiatan mandi, cuci dan keperluan lainnya. Selain itu warga kampung sering menggunakan pancuran air yang terbuat dari bambu untuk mandi dan cuci atau untuk memasak. Batas antar kampung kebanyakan adalah sungai.

Fungsi Ruang. Pada permukiman Baduy terdapat beberapa fungsi ruang maupun bangunan. Perbedaan fungsi ini di terapkan pada penataan kawasan, penataan permukiman maupun penataan bangunan termasuk rumah. Letak kampung Tangtu pada umumnya serupa. Kampung Tangtu terletak pada lokasi yang relatif datar, berbatu dekat aliran sungai dan dikelilingi hutan. Letak huma sekitar 0,5 – 2 km dengan ukuran yang juga beda beda 0,75 – 1,5 ha. Di sebelah Timur hanya terdapat huma serang ladang bersama, dan di sebelah Selatan terdapat huma Puun

Sebagaimana penataan bangunan oleh perancang masa kini, pada permukiman masyarakat Baduy dikenal kawasan dan bangunan yang bersifat pribadi, sosial dan ditambah dengan fungsi sakral.

Bangunan

Teknologi yang dimiliki orang Baduy masih tergolong sederhana, namun sangat menjunjung tinggi kearifan lingkungan. Struktur bangunan adalah sistem rangka yang terbuat dari kayu berupa balok dan tiang persegi empat. Sementara penutup dinding terbuat dari anyaman bambu (bilik), yang dibiarkan pada warna


(31)

dan karakter aslinya. Detail pengakhiran anyaman bambu untuk penutup dinding adalah bambu yang di belah. Konstruksi bangunan disambung dengan menggunakan sistem ikatan, tumpuan, pasak, tumpuan berpaut dan sambungan berkait. Selain sistem tersebut di atas maka dilarang untuk digunakan. Bahan bangunan yang dipergunakan untuk mengikat suatu sambungan adalah bahan rotan dan bambu. Struktur penutup lantai mengunakan bambu disebut palupuh. Untuk penutup atap digunakan rumbia, yang didukung oleh konstruksi bambu dan di ikat dengan menggunakan rotan. (Permana, 2006).

Rumah. Rumah bagi orang Baduy hanya berfungsi sebagai tempat untuk beristirahat pada malam hari karena sejak sekitar pulul 5.30 WIB warga masyarakat Baduy Dalam sudah beranjak menuju lahan huma. Tatkala senja bergerak menyongsong gelapnya malam, secara bertahap mereka pulang. Aktifitas yang dilakukan masyarakat seragam. Pada siang hari, situasi perkampungan nampak sunyi, kecuali beberapa orang yang secara bergiliran melakukan penjagaan (ronda) karena di siang hari semua anggota keluarga berada di huma atau sedang menyadap air nira sebagai bahan baku untuk membuat gula merah. Rumah orang Baduy lebih banyak difungsikan sebagai tempat beristrirahat pada malam hari, selebihnya mereka berada di luar rumah atau ketika sakit ataupun saat ada keperluan yang mengharuskan mereka untuk tetap tinggal.

Rumah Tangtu berupa rumah panggung sederhana dari bahan kayu ringan dan bambu. Bangunan rumah berdiri di atas tiang setinggi 40 cm sampai 150 cm yang berjumlah 13, 17, atau 25 buah termasuk tiang golodog. Rumah pada umumnya berukuran antara 4,5 m dan 9 m. Besar kecil ukuran rumah tergantung pada kemampuan pemilik dan kesediaan lahan.

Rumah Baduy secara vertikal merupakan cerminan pembagian jagad raya. Kaki atau tiang melambangkan dunia bawah (dunia kegelapan, neraka), badan atau dinding dan ruang di dalamnya melambangkan dunia tengah ( dunia kehidupan alam semesta) dan atap melambangkan dunia atas (dunia abadi, kahyangan) jika rumah tanpa tiang dianggap sama saja dengan hidup di dunia bawah, atau jika rumah menggunakan atap genting, sama artinya dengan dikubur hidup-hidup ( karena genting terbuat dari tanah) (Permana, 2006).


(32)

Ruang. Secara horisontal bagian rumah yang terpenting adalah Imah, kemudian berturut turut Tepas, Sosoro, dan terakhir Golodog. Hirarkhi kepentingan itu ditunjukkan pula dalam proses pendirian sebuah rumah. Semua bagian konstruksi rumah (tiang, lantai, dinding dan atap) selalu dimulai dari ruang Imah, kemudian ruang Tepas, Sosoro dan Golodog. Rumah orang Baduy hanya memiliki dua kemungkinan arah depan. Apabila pintu terletak di sebelah Selatan, maka rumah yang berada di depannya umumnya memiliki pintu di sebelah Utara. Pintu terdapat di bagian depan selain berfungsi jalan masuk, juga sebagai jalan keluar, karena rumah hanya memiliki satu pintu.

a. Golodog.

Bila memasuki rumah Baduy pertama kita akan menaiki taraje, yaitu suatu tangga bambu yang terdiri dari 2 – 5 injakan dan berdiri di atas 6 – 10 buah susunan lonjoran bambu bulat ( diameter 6 cm) yang berorientasi Barat-Timur yang disebut Golodog. Golodog berukuran 200 x 75 cm. Di atas Golodog bersandar ke dinding rumah terdapat beberapa kelek (tabung air dari seruas bambu). Air dalam kelek diambil dari pancuran dan digunakan untuk keperluan memasak dan untuk mencuci kaki yang kotor sebelum masuk ke dalam rumah. Pencucian kaki dilakukan di atas golodog atau di tangga.

b. Sosoro

Untuk memasuki rumah Baduy, sebelum memasuki Sosoro, kita akan melewati sebuah panthok berukuran 180 x 70 cm. Daun pintu dibuat dari rangkaian bilah bambu. Di atas gawang pintu sebelah dalam biasanya terdapat daun kelapa, katomas atau daun hanjuang, kembang merak kembang sepatu yang diselipkan antara kayu dan dinding. Daun tersebut disebut babay atau palias. Fungsinya untuk menolak bala agar penghuni terjaga keselamatannya. Janur biasanya juga menunjukkan waktu, karena satu rangkaian daun kelapa dipasang hanya pada waktu kawalu. Untuk tiga rangkai berarti rumah telah selama dihuni tiga tahun. Setelah melewati pantok langsung memasuki lantai Sosoro yang lebih tinggi dari lantai Golodok. Lantai pada ruang Sososro terdiri atas jajaran bambu bulat, berorientasi Barat -Timur, beberapa bilah bambu sebagai penjepit atau penguat susunan palupuh. Ruang Sosoro meliputi sepertiga bagian rumah pada


(33)

sisi depan (depan Imah dan Tepas). Ruang Sosoro berfungsi sebagai tempat menerima tamu, mengerjakan kerajinan, meletakkan barang barang seperti bubu, menggantungkan pakaian kotor atau basah, meletakkan tikar, meletakkan bakul berisi gabah. Pada dinding Sosoro bagian depan biasanya terdapat beberapa lubang kecil berukuran 10 x 10 cm untuk melihat ke luar (lolongok). Di atas sosoro biasanya terdapat para-para pada ruang yang sejajar dengan Imah. Pada para- para disimpan tikar, nyiru, bakul, panci, gabah yang tidak muat didalam lumbung.

c. Tepas.

Ruang Tepas lebih kecil, tanpa sekat dan lantainya sejajar dengan Sosoro. Memiliki ketinggian lantai sama tetapi orientasi palupuhnya berbeda. Orientasi palupuh Sosoro Barat-Timur, sedangkan Tepas Utara -Selatan. Ruang Tepas biasanya untuk menerima tamu, makan dan tidur. Sering terdapat perapian tanpa tungku untuk tempat membakar ubi, pisang, jagung bila ada tamu.

d. Imah.

Merupakan pusat atau inti dari rumah. Di ruang ini keluarga memasak, makan, tidur dan berkumpul. Imah bersifat pribadi dan hanya diperuntukkan bagi anggota keluarga. Orang luar tidak diperkenankan masuk. Di sini disimpan keperluan untuk sehari-hari termasuk peralatan ladang. Tempat untuk memasak disebut parako yang terletak di pojok ruang, tepat dimuka pintu masuk. Konstruksi dan arah lantai ruang Imah lebih tinggi sekitar daripada lantai Tepas.

Eco-village

Menurut Capra (2003) eco-village adalah suatu komunitas manusia pada daerah perkotaan atau perdesaan, yang mengutamakan untuk mengintegrasikan suatu lingkungan sosial yang mendukung dengan gaya hidup yang berdampak rendah terhadap lingkungan. Mereka mengintegrasikan berbagai aspek seperti desain ekologis, permaculture, bangunan ekologis, produksi hijau, energi alternatif, membangun komunitas setempat dan lain- lain. Dalam Global Eco-village Network (GEN) (2000) dikatakan bahwa motivasi eco-village adalah pilihan dan komitmen untuk mengubah disintegrasi antar budaya dan sosial tertentu dan praktek yang merusak lingkungan hidup di bumi ini. Istilah


(34)

eco-village mulai diperkenalkan oleh Gilman dan Diane (1991) dalam, suatu seminar di Denmark. Eco-village merupakan solusi dari kebanyakan permasalahan yang ada di bumi. Eco-village merupakan contoh bagaimana meniadakan degradasi dari masalah lingkungan dengan dimensi sosial, ekologi, dan spiritual untuk menuju keberlanjutan di abad ke 21. Menurut Gilman (1991), prinsip pembangunan dalam dimensi ekologis dalam eco-village antara lain:

a. Menggunakan tanah secara benar/memadai

b. Melakukan efisiensi terhadap sumber daya alam yang terbatas c. Mengutamakan kesehatan manusia untuk pembangun dan pemilik d. Menggunakan material lokal non toxic untuk menunjang ekonomi lokal e. Preservasi tumbuhan, hewan, spesies kritis dan habitat alam

f. Mengurangi penggunaan energi fosil dan memanen energi alam g. Membuat struktur ekonomis untuk dibangun dan dioperasikan h. Menerapkan sistem daur ulang pada seluruh produk yang digunakan

Suatu eco-village menyerupai sebuah ekosistem alami, karena keduanya merupakan interaksi timbal balik antara komunitas suatu organisme dengan lingkungannya. Suatu eco-village terbentuk dalam cara yang sama dengan suatu ekosistem yang merupakan komponen dasar, baik yang hidup maupun tidak, butuh untuk diperlihara siklusnya agar dapat berkelanjutan untuk waktu yang tak terbatas. Randla (2002) menyatakan bahwa pemikiran mendasar tentang keberlanjutan adalah pemahaman yang mendalam bahwa seluruh sumber daya alam, baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak jumlahnya terbatas, oleh sebab itu aktivitas manusia tidak boleh melebihi kapasitas pendukungan ekosistem dibumi. Dan potensi dari penggantian dari siklus suatu material, terutama untuk material yang tidak dapat diperbaharui harus dijaga agar selalu dalam tingkatan minimum akan menjaga dari kepunahan. White and Masset (2003), menyinggung tentang semakin besar derajat dari masyarakat untuk dapat mampu berkecukupan dan berdiri sendiri, semakin tinggi tingkat keberlanjutan dari masyarakat tersebut. Menurut Gallent and Show (2007), untuk menganggulangi kemiskinan perlu pengaturan jumlah penduduk, karena


(35)

kemiskinan akan cenderung bertambah dengan bertambahnya jumlah dalam keluarga terutama apabila kurangnya pendidikan.

Masyarakat dalam eco-village mendapatkan energi dari sumber non fosil, memproduksi makanan seimbang dengan kebutuhan kalori dari penduduk, mendapatkan material bangunan dan membelanjakan uangnya di lokal sebanyak mungkin, berinteraksi positif dengan penduduk lokal sekitarnya dan lingkungan alam dan mendaur ulang air, limbah cair dan produk limbah lainnya selama memungkinkan, sehingga mereka dapat menjadi sumberdaya untuk bagian lain dari komunitas.

Menurut Gilman (1991) definisi Eco-village yang sekarang diterima oleh anggota dari Global Eco-village Network (GEN) adalah; Pemukiman berskala manusia yang berkwalitas (full-featured settlement) di dalamnya aktifitas manusia terintegrasi dengan alam dengan tidak merusak dalam cara yang mendukung perkembangan kesehatan manusia dan dapat berhasil untuk berlangsung sampai waktu yang tidak terbatas.

Prinsip Eco-village dapat diterapkan secara sama untuk lokasi kota dan desa, baik untuk negara berkembang maupun negara maju, dan memberikan solusi untuk kebutuhan manusia dan sosial, sementara memproteksi lingkungan dan memberikan perbaikan hidup yang baik untuk seluruhnya.

Gilman (1991) menggambarkan sulit untuk mendapatkan suatu yang lebih menyenangkan, dan lagi pula sulit dibayangkan kemungkinan untuk hidup harmonis dengan alam dan dengan sesama manusia. Suatu pendekatan khusus yang kuat untuk mencapai impian ini adalah eco-village, yang akan ditentukan dengan skala manusia, pemukiman yang (full-featured settlement) berkarakteristik penuh di mana aktifitas manusia terintegrasi dengan alam dengan cara yang mendukung pembangunan kesehatan dan dapat dengan sukses berlanjut sampai waktu yang tidak terbatas.

Gilman (1991), melihatnya sebagai memasukkan keseimbangan dan pengintegrasian pembangunan ke dalam seluruh aspek kehidupan manusia seperti fisik, emosi, spiritual dan mental. Perkembangan yang sehat ini harus dicerminkan tidak hanya dalam kehidupan individual tetapi dalam kehidupan masyarakat


(36)

secara menyeluruh. Dalam hal ini berarti dapat dengan sukses berlanjut sampai masa yang tidak terbatas. Prinsip keberlanjutan akan sukses bila memegang komitmen awal untuk berlaku adil dan tidak mengeksploitasi bagian lain dari dunia ini, manusia lain, mahluk lain, dan kepada kehidupan mendatang.

Global Eco-village Network

Global Eco-village Network (GEN) adalah suatu assosiasi global dari manusia dan masyarakat yang berdedikasi untuk hidup berkelanjutan dengan merestorasi lahan, dan menambahkan lebih dari yang diambil. Anggotanya bertukar informasi dan mentransfer teknologi dan mengembangkan pertukaran budaya dan pendidikan. Visi dari Global Eco-village Network (GEN) adalah agar seluruh mahluk hidup bersatu dalam suatu komunitas di mana satu dengan lainnya dan dengan bumi hidup secara harmonis, sementara dapat mecapai kebutuhan masa kini dan generasi masa yang akan datang. Hal ini dapat tercapai dengan cara mengidentifikan, membantu, dan mengkoordinasikan usaha dari suatu komunitas untuk mencapai harmonisasi sosial, spiritual, ekonomi dan ekologi. GEN mentransformasi keseluruh dunia menuju keberlanjutan, dengan mendukung eco-village, bergabung dengan partner yang sesuai pemikirannya dan memperluas program pendidikan dan demonstrasi dalam kehidupan berkelanjutan. Global Ecovillge Network mengembangkan suatu konsep tentang cara mengaudit suatu keberlanjutan untuk memberikan dasar untuk menilai individual, perdesaan yang ada dan masyarakat untuk dibandingkan statusnya saat ini dengan tujuan ideal dari keberlanjutan ekologi, sosial dan spiritual. Alat ini merupakan instrumen pembelajaran untuk pengambilan tindakan agar individual dan masyarakat dapat menjadi lebih berkelanjutan disebut Community Sustainability Assessment (CSA).

Community Sustainability Assessment (CSA)

Community sustainability assessment (CSA) adalah suatu alat yang dapat membantu masyarakat dalam mengevaluasi dalam memetakan arah menuju dan meningkatkan keberlanjutan. Dalam CSA terdapat aspek yang semuanya sama pentingnya yaitu aspek ekologi, sosial dan spiritual dari masyarakat. CSA merupakan alat yang bersifat subjektif, artinya bahwa pertanyaan di dalamnya ada


(37)

yang dapat dijawab dengan keputusan dan perkiraan individu maupun kelompok tentang apa yang benar untuk masyarakat mereka. Namun demikian alat ini sangat berguna sebagai evaluasi terhadap kondisi keberlanjutan suatu masyarakat. CSA bersifat universal sehingga akan sesuai dengan kondisi alami suatu masyarakat. Hasil evaluasi pada masyarakat tertentu akan mendapatkan nilai rendah pada beberapa aspek dan sebaliknya mendapatkan nilai yang tinggi pada aspek lainnya (GEN, 2000 ). Diharapkan hasil evaluasi yang dilakukan dapat menjadi dasar bagi masyarakat untuk berkembang. Sebagai alat penilaian, CSA terdiri dari sejumlah pertanyaan dengan variabel dan parameter tertentu.

Menurut Svensson (2000) tercapainya suatu keberlanjutan dalam masyarakat suatu tempat dapat diukur dari kondisi keseimbangan tiga aspek penting yaitu aspek ekologis, sosial dan spiritual.

Eco-house

Eco-house adalah sistem membangun yang ramah lingkungan dan efisien dalam penggunaan sumber daya. Hal ini dapat tercapai dengan melalui pendekatan terintegrasi dalam desain. Eco-house dikenal juga dengan bangunan yang berkelanjutan (sustainable building). Praktek ini mengarah pada keuntungan dalam mengurangi biaya operasional (dengan penggunaan energi dan air yang minim), memperbaiki kesehatan penghuni, dengan memperbaiki kwalitas udara dalam bangunan, dan mengurangi dampak lingkungan (dengan mengurangi buangan limbah cair dan dampak pemanasan dalam bangunan) sehingga manusia dan mahluk lainnya di bumi dapat hidup berkelanjutan.

Telah banyak dilakukan penelitian penelitian yang bertujuan untuk menghasilkan bangunan yang lebih ramah lingkungan. Antara lain adalah Kim (2005), yang berpendapat bahwa saat ini arsitektur modern tidak mempunyai kapasitas untuk mengontrol lingkungan mikro di dalam suatu bangunan tanpa penggunaan suatu metoda yang mengkonsumsi energi banyak dan hal ini akan berdampak pada masalah lingkungan. Para Arsitek harus memperbaiki kapasitas dan kemampuannya dalam mengontrol lingkungan dengan cara yang lebih ramah terhadap lingkungan. Arsitektur tradisional Korea telah membuat suatu sistem untuk mengontrol lingkungan mereka dengan cara yang ramah lingkungan yang


(38)

bersumber dari pengalaman mereka selama bertahun-tahun. Kim melakukan penelitian untuk menganalisa metoda yang digunakan untuk mengontrol lingkungan dalam bangunan pada arsitektur tradisional di Korea dan membandingkannya dengan arsitektur modern di Korea. Penelitian lainnya dilakukan oleh Mahdavi (2008) yang meneliti tentang aktifitas penghuni untuk mengontrol kondisi iklim didalam bangunan. Biasanya pengoperasian dari elemen elemen bangunan seperti jendela, naungan, penerangan dan sumber panas dan kipas angin akan dilakukan untuk mengkondisikan ruang agar tercapai kondisi dalam bangunan sesuai dengan yang diinginkan. Prilaku pengontrolan ini dapat membuat dampak yang sangat signifikan dalam pengkondisian iklim mikro dalam bangunan dan penghematan penggunaan energi. Menurut pendapatnya pengetahuan yang baik dari kelakuan pengontrolan udara oleh penghuni akan memfasilitasi keakuratan prediksi dari performance bangunan, dan juga mendukung keefektifan dari operasional dalam bangunan dan sistem servis. Gaitani (2007) melakukan penelitian tentang pentingnya pelaksanaan proses desain untuk menggunakan teknik teknik untuk menerapkan kriteria bioklimatik arsitektur dan sistem pendinginan pasif dan prinsip konservasi energi dalam rangka meningkatkan kondisi kenyamanan pada lokasi luar suatu bangunan. Penelitian ini dilakukan di Great Athens. Dia membandingkan struktur konvensional dengan lainnya yaitu desain yang memperbaiki prinsip bioklimat. Untuk itu dia menggunakan program Comfa untuk mengestimasi biaya energi bagi seseorang yang berada diluar bangunan dan sensasi thermal mereka. Penelitian ini dibuat berdasarkan terdapatnya ketidak puasan terhadap sensasi kondisi iklim diluar bangunan.

Desain Ekologis

Menurut Ryn (1998), pada saat ini kita sudah banyak kehilangan sentuhan dan pengetahuan khusus tentang tempat tertentu dan hasilnya adalah kita menjadi kehilangan identitas. Dalam desain yang ekologis kita harus terikat pada tempat kita, angin, air dan denyut kehidupan alam dan sejarah. Dalam membangun komunitas yang berkelanjutan manusia harus secara aktif untuk selalu bertanggung jawab dalam melaksanakan aktifitasnya sehari-hari dan dalam segala yang dilakukan. Air, energi, limbah dan tanah harus diperlakukan sebaik


(39)

memperlakukan milik kita, atau keluarga kita. Prilaku yang sederhanapun akan berkontribusi pada budaya keberlanjutan dan dapat memberikan kontribusi pada kesehatan manusia dan ekosistem. Budaya keberlanjutan adalah menumbuhkan suatu budaya yang sesuai untuk dilakukan pada suatu tempat tertentu. Desain bangunan yang berkelanjutan adalah desain yang memastikan bahwa dilakukan penelusuran terhadap dampak lingkungan dari desain yang dibuat.

Ada 5 prinsip utama dalam desain ekologis yaitu antara lain:

1. Prinsip pertama adalah harus membuat desain yang sesuai untuk detail tempatnya. Harus selalu dipertanyakan tentang ; bagaimana kondisi tempat tersebut, perbuatan apa yang tidak merusak alam. Aktifitas apa sajakah yang didukung oleh alam ditempat itu.

2. Prinsip kedua adalah menyajikan kriteria untuk mengevaluasi dampak ekologis dari desain yang dibuat.

3. Prinsip ketiga menyarankan bahwa dampak ini dapat diminimalkan dengan bekerja dalam keserasian dengan alam.

4. Prinsip keempat adalah bahwa desain ekologis berimplikasi untuk tidak hanya dikerjakan oleh para ahli saja, tetapi seluruh komunitas harus turut berpartisipasi.

5. Prinsip kelima bahwa transformasi efektif dan kepedulian terhadap kelanjutan desain yang dibuat dengan memberikan kemungkinan pada masyarakat untuk belajar dan berpartisipasi.

Kelima prinsip di atas membantu para perancang untuk berfikir guna mengintegrasikan antara ekologi dan desain. Menurut Orr (2004) desain yang ekologis adalah:

- mendesain suatu bangunan yang meminimalkan dalam menggunakan sumberdaya dan energi dari luar.

- mendaur ulang seluruh limbah yang dihasilkan oleh penghuni,

- mengkonstruksikan bangunan dari sumber material lokal yang ada, material yang ramah lingkungan.


(40)

- mengembangkan direktori suatu wilayah bio dari material bangunan - menginventarisir aliran sumberdaya

- merestorasi ekosistem yang terdegradasi dalam atau dekat permukiman - mendesain suatu sistem yang dapat berkelanjutan (low input- system)

Beberapa penelitian yang dilakukan untuk perbaikan desain seperti dilakukan oleh Smeds (2007) meneliti tentang kunci keberhasilan dari suatu desain untuk menghasilkan suatu rumah yang ramah lingkungan untuk menghasilkan efisiensi dalam penggunaan energy didaerah yang beriklim dingin penelitian dini dilakukan di Stockholm, Sweden . Ia membandingkan antara konstruksi perumahan apartment dengan desain tipikal dengan perumahan yang menggunakan teknologi yang terbaik untuk apartment yang tercantum dalam aturan Nordic Building codes of 2001 dan desain untuk rumah yang baik yang memenuhi IEA Task 28, dan bangunan berkelanjutan (sustainable solar housing). Ia juga melakukan simulasi bangunan menggunakan program DEROB-LTH dan hasil dari simulasi menunjukkan berapa jam pemanasan dibutuhkan didalam rumah dan kapan dan besar dari kebutuhan puncaknya. Hasil dari penelitian ini membuktikan bahwa rumah yang dirancang dengan baik dapat mengurangi lebih dari 85% penggunaan energi. Engin (2007) melakukan penelitian tentang pengaruh faktor iklim seperti hujan, angin dan kelembaban dan matahari di daerah yang beriklim tropika panas dan lembab yang mempunyai curah hujan yang tinggi. Kondisi iklim ini memberikan dampak yang berbeda pada setiap ruang, elemen dan naungan dari rumah tipe tradisional di daerah sebelah Timur dari Laut Hitam. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan informasi tentang arsitektur tradisional wilayah Timur Laut Hitam dan hubungan antara bentuk arsitektur tradisional tersebut dengan iklim. Berbagai kelompok etnik dan suku yang berbeda latar belakang budaya dan agamanya akan mengembangkan kebiasaan dan kebutuhan sosial yang berbeda. Kebutuhan budaya dari keluarga dan sosial harus dapat terakomodasi sehingga dapat memberikan kenyamanan optimal bagi penghuninya. Analisis terhadap kehidupan sehari-hari di rumah, termasuk kebutuhan yang ada sekarang dan mendatang akan membantu menyeleksi faktor penting sebagai dasar untuk mendesain rumah yang memadai.


(41)

Hal yang penting untuk dievaluasi dalam setiap desain adalah terpenuhinya ruang untuk melaksanakan aktifitas sehari-hari. Dalam hal ini termasuk juga terpenuhinya kondisi setiap ruang sesuai dengan fungsinya untuk memberikan kenyamanan bagi penghuni. Sozen (2007) membuat penelitian untuk memastikan adaptasi dari rumah tradisional yang lama terhadap iklim setempat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menekankan pentingnya suatu bangunan tradisional dalam hal membuat desain bangunan yang efisien penggunaan energinya untuk membuat suatu bangunan yang ramah lingkungan. Penelitian ini dilakukan di Diyarbakkir, sebelah Selatan dari wilayah Turki. Rumah tradisional Diyarbakir merupakan suatu contoh kesuksesan dari bangunan yang dapat beradaptasi dengan iklim panas dan kering. Hal ini dapat tercapai dengan gaya hidup lama dan dengan kebutuhan dan penggunaan material lokal. Dalam penelitian ini, seluruh bagian dari arsitektur tradisional rumah Diyarbakir, seperti tata letak, denah, dinding, atap dan elemen naungan dievaluasi sebagai suatu kriteria fisik sebuah bangunan. Kondisi sekarang di Diyarbakir, dengan perkembangan teknologi baru, teknik dan material yang modern, bangunan sejenis masih dibangun tanpa memperhitungkan faktor iklim. Sebagai akibatnya bangunan ini tidak dilengkapi dengan naungan dan ruang untuk pendinginan, dan mengakibatkan ketidak nyamanan atau peningkatan penggunaan energi. Xia (2008) melakukan penelitian tentang sejauh mana melakukan simulasi di dalam bangunan dapat membantu perancang dalam tahap pembuatan konsep desain. Hasil dari penelitian tersebut membuktikan bahwa untuk mendapatkan suatu hasil desain yang baik maka penting untuk dilakukan simulasi di saat tahap perancangan bangunan. Selain itu terbukti bahwa dengan dilakukannya simulasi pada tahap awal yaitu saat pembuatan konsep perancangan bangunan maka akan dapat dilakukan efisiensi dalam penggunaan energi dalam bangunan. Proses simulasi bangunan akan sangat membantu perancang dalam membuat rancangan pengkondisian udara.

Ventilasi alamiah

Ventilasi alamiah pada dasarnya berarti pergerakan udara dalam bangunan yang dipacu oleh perbedaan temperatur dalam bangunan atau oleh tekanan angin diluar atau sekitar bangunan. Hal ini berlangsung tanpa ada proses tekanan atau pemadatan udara. Udara segar masuk kedalam bangunan melalui kisi kisi atau


(42)

jendela dengan efek perbedaan thermal didalam bangunan ataupun oleh tekanan angin yang bekerja pada sisi bangunan. Udara panas akan keluar dari bangunan melalui jendela, cerobong ventilasi atau kisi yang terletak di bagian atas. Kadang kadang penting untuk menentukan beban tekanan angin, hal ini akan dapat tercapai dengan membuat model dari bangunan. Tekanan pada setiap sisi bangunan dapat ditentukan menggunakan suatu wilayah domain. Coffey (2007) melakukan penelitian tentang keefektifan suatu aliran ventilasi dalam hal sifat apung udara (buoyancy) yaitu pindah panas dalam ruang. Tiga pengukuran baru dibuat berdasarkan pada kemampuan dari aliran udara untuk mengalirkan panas secara buoyancy dari suatu ruang yang berlubang ventilasi. Pengukuran dilakukan tentang efektifitasnya aliran dalam ukuran skala dan waktu untuk seluruh ruang dan keefektifan dari penempatan aliran disetiap ketinggian tertentu pada ruang. Hasil dari pengukuran ini mendapatkan suatu perbandingan secara kuantitatif tentang perbedaan aliran dan hal ini dapat dipergunakan apabila terjadi perbedaan kerapatan udara antara lingkungan luar dan dalam bangunan. Livermore (2006) melakukan penelitian tentang penggunaan cerobong dalam meningkatkan ventilasi alam didalam bangunan. Cerobong dapat juga digunakan untuk mengarahkan ventilasi pada lantai bangunan dimana terdapat beban panas yang sedikit untuk menambah besaran tekanan gaya apung (buoyancy) yang ada untuk memacu aliran. Udara akan keluar dari ruang yang lebih hangat melalui cerobong sehingga akan mengakibatkan aliran melalui lantai yang bersuhu rendah. Percobaan lain yang dilakukan membuktikan dengan menggunakan cerobong akan meningkatkan besaran ventilasi untuk suatu lantai bangunan, yaitu meningkatnya besaran ventilasi yang melalui lantai di atasnya, terutama bilamana lantai dibawahnya mempunyai inlet yang luas. Tenorio (2007) melakukan penelitian tentang penggabungan pengudaraan aktif dan pasif dalam mendesain suatu bangunan. Pengoperasian kedua model tersebut dijalankan dengan parallel dan konsep ini telah dikembangkan untuk percobaan pada sebuah bangunan prototipe di daerah beriklim tropika di Brasil. Tingkat kenyamanan termal dan penggunaan energi dibandingkan dalam hal lamanya penggunaan, kelebihan pemanasan atau kekurangan pemanasan dan pendinginan. Penggunaan sumber daya lainnya seperti air, dan material pada bangunan prototipe juga diamati dalam sistem desain


(43)

berkelanjutan. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa untuk daerah beriklim tropis, strategi penggunaan energi campuran telah mengoptimisasi penggunaan energi dan memberikan level kenyamanan thermal yang baik. Untuk beberapa kasus, penggudaraan energi campuran dapat mengurangi penggunaan energi untuk pendinginan sampai mencapai 80%, dan kenyamanan thermal dapat meningkat sampai 65%. Andersen (2007) menganalisa kemungkinan dari besaran aliran udara dengan mengkombinasikan ventilasi alam dengan menggunakan ventilasi silang dalam ruang. Ruang yang diteliti membuktikan bahwa bukaan ganda pada ruang memperlihatkan hasil bahwa terjadinya ketidak stabilan dan histeria pada penghuni.

Simulasi dalam Bangunan

Simulasi dalam bangunan (building simulation) adalah praktek yang biasanya dilakukan saat proses desain suatu bangunan. Simulasi dibuat untuk menganalisa aliran udara, kelembaban dan suhu atau aliran fluida lainnya yang terjadi didalam bangunan yang dirancang. Praktek simulasi banyak dilakukan belakangan ini untuk mengurangi pemakaian energi yang berasal dari bahan bakar fosildalam bangunan. Dengan simulasi dapat diketahui kondisi lingkungan dalam bangunan sebelum pelaksanaan pembangunan. Praktek ini penting untuk dilakukan dalam membantu perancang untuk mengambil keputusan dalam pembuatan desain bangunan dan untuk mendapatkan hasil desain yang optimal. Perancang dapat menggunakan simulasi komputer yang canggih seperti yang banyak digunakan akhir akhir ini adalah Computational Fluid Dynamic (CFD) sebagai alat untuk membantu dalam proses desain. Dengan bantuan simulasi ini perancang dapat membuat keputusan desain yang tepat seperti orientasi bangunan (relatif pada matahari), tipe jendela dan penempatannya, lebar teritis, nilai insulasi dari elemen bangunan, kerapatan udara, efisiensi dari pemanasan, penerangan dan alat lainnya sesuai dengan iklim lokal. Simulasi ini sangat membantu perancang untuk mengetahui bagaimana kondisi bangunan sebelum pembangunan dilaksanakan, dan berimplikasi besar pada biaya pembangunan dan pemeliharaan. Pada umumnya penelitian penelitian untuk melakukan simulasi ini dilaksanakan dengan menggunakan suatu program komputer antara lain yang akhir akhir ini banyak dipergunakan adalah program Computational


(44)

Fluid Dynamic.(CFD). Wong (2007), membuat pengukuran lapang dan simulasi energi dengan program komputer CFD untuk mengevaluasi keefektifan dari metoda yang banyak digunakan memakai pengudaraan pasif dalam pendinginan bangunan. Dipelajari dampak dari orientasi dan penempatan bangunan, konstruksi naungan, sistem atap dan pembayangan bagian jendela dalam bangunan untuk mengkondisikan lingkungan mikro dalam bangunan dan beban pendinginan. Temperatur diluar pada permukaan dinding luar dan di lingkungan dalam bangunan diukur untuk dianalisa tentang kinerja thermal dari efek naungan atau teritis. Beban pendinginan disimulasi untuk mengevaluasi keefektifitas dari berbagai metode pasif. Hasil dari penelitian ini menemukan tentang penggunaan sistem spesial untuk atap sebagai penghalang panas merupakan metoda yang paling efisien untuk mengurangi beban pendinginan ruang. Hirano (2006) melakukan penelitian tentang kinerja dari efek dari bangunan perumahan yang berpori (porous) untuk mendapatkan ventilasi alam dan pengurangan beban pendinginan pada bangunan. Dia mengevaluasi pada dua model perumahan dengan rasio bukaan 0% dan 50 % . Ia menganalisis tentang aliran dan jaringan termal dan udara yang terjadi dengan menggunakan program komputer untuk aliran fluida (CFD). Analisis pada komponen dari beban panas menunjukkan dan bahwa peningkatan kualitas dari ventilasi alam meningkat dengan sangat akibat bukaan dengan rasio 50% dan mengurangi beban pendinginan untuk ruangan. Bastide (2006) melakukan penelitian tentang cara mengoptimisasi penggunaan energi pada bangunan di daerah beriklim tropis dengan cara mengurangi perioda pemberian pendingin udara (AC) dan mengganti dengan penggunaan ventilasi alam dan desain bioklimatik yang baik. Dalam penelitian ini dilakukan perhitungan tentang persentasi dari ruang yang membutuhkan pendinginan dan dianalisis tentang bagaimana jalannya aliran udara dalam bangunan dengan menggunakan CFD. Metoda ini sangat membantu para arsitek dalam mendesain ruang yang sesuai dengan penggunaan ruang tersebut dan kondisi iklim mikro dalam ruang yang diinginkan. Menurut pendapatnya sangat penting untuk mengatur agar penutup bangunan dilimitasi kontribusi energinya dan optimisasi aliran udara berdasarkan pada analisis dari jaringan ventilasi alamiah. Untuk itu dia mengimplementasikan alat seperti model nodal dan zonal dalam kode energi


(45)

dalam bangunan dan mengevaluasi transportasi energi antara luar dan dalam bangunan. Untuk menganalisis aliran udara dalam dua dimensional dia menggunakan model tiga dimensi yang mendetail seperti program CFD.

Computational Fluid Dynamic

Computational fluid dynamics (CFD) merupakan salah satu cabang dari ilmu mekanika fluida yang menggunakan metoda numerikal dan algoritma untuk menyelesaikan dan menganalisis masalah masalah yang menyangkut aliran fluida. Computational Fluid Dynamics (CFD) merupakan suatu sistem simulasi yang berbasis computer. CFD dilakukan untuk menganalisis tentang aliran fluida, pindah panas dan fenomena yang lain seperti reaksi kimia (Versteeg and

Malalasekera,1995). Komputer dipergunakan untuk mengkalkulasikan

perhitungan yang jumlahnya jutaan yang dibutuhkan untuk mensimulasi interaksi dari fluida, gas dengan permukaan yang kompleks di bidang teknik. Dengan persamaan yang disederhanakan dan komputer dengan kecepatan sangat tinggi semakin hari hasil simulasi semakin membaik dan akurat seperti pada perhitungan aliran transonik dan turbulensi. CFD merupakan alat yang mampu untuk mendukung pembuatan model pengudaraan menggunakan granularity untuk lingkungan dan ruang dengan tingkat halus. Manajemen dan seluruh proses fisika untuk keseluruhan masalah tidak hanya dapat menggambarkan kondisi elemen bangunan yang berbeda, tetapi juga dapat menghitung secara tepat perpindahan antar permukaan (inter facial transfer). CFD dapat juga menggambarkan aliran antar ruang dengan menggunakan model zonal yang menggunakan pendekatan butiran kasar. Alat ini dapat memberikan simulasi fluida seluruhnya secara tipikal, fluida dan sekelilingnya dapat berubah propertinya seperti bentuk, dan temperatur secara simultan dan lingkungan sekeliling yang berbeda dapat mengkarakterisasi interaksi yang berbeda yang akan mengubah bentuk, kecepatan fluida dalam cara yang berbeda dan interaksi campuran. Berbagai macam fluida akan memberikan prilaku yang komprehensif seperti padatan (solid) dan fluida, termasuk juga cairan dan gas. Bentuk dan aliran dari fluida akan lebih sulit untuk diprediksi karena fluida tidak dapat menanggung beban geser, dan bentuknya biasanya sangat berubah-ubah. Dasar yang fundamental dari setiap perhitungan masalah CFD adalah persamaan


(46)

Navier-Strokes.

Teknik Simulasi CFD

CFD sebenarnya mengganti persamaan-persamaan diferential parsial dari kontinuitas, momentum, dan energi dengan persamaan-persamaan aljabar. CFD merupakan pendekatan dari persoalan yang asalnya kontinum (kondisi jumlah sel tak terhingga) menjadi model diskrit (jumlah sel hingga). Pemecahan simulasi dan pendefinisian geometri bangunan menggunakan software CFD SolidWork 2010 CFD memiliki tiga elemen utama, yaitu pre-processor, solver dan post-processor. a. Pre-processor

Komponen pre-processor merupakan komponen input dari permasalahan aliran ke dalam program CFD dengan menggunakan interface yang memudahkan operator, berfungsi sebagai pengubah input berikutnya ke dalam bentuk yang sesuai pemecahan oleh solver. Hal-hal yang dilakukan dalam tahap pre-processor adalah sebagai berikut:

1. Mendefinisikan geometri dari domain (daerah) yang akan dianalisis 2. Pembentukan grid (meshing) pada setiap domain

3. Pemilihan fenomena kimia-fisika yang diinginkan

4. Menentukan sifat-sifat fluida (konduktivitas, viskositas, massa jenis, panas jenis, dan sebagainya)

5. Menentukan kondisi batas (boundary condition) yang sesuai dengan fungsi masing-masing.

Jumlah grid dari geometri yang dibangun akan menentukan ketepatan aliran fluida yang dibentuk dalam CFD. Semakin banyak jumlah sel yang dibentuk, akan semakin tinggi pula tingkat ketepatannya. Pengoptimalan grid (mesh) dapat dilakukan dengan memperhalusnya pada bagian yang bersifat variatif cukup besar (sensitif), sedangkan bagian yang tidak sensitif terhadap perubahan tidak perlu diperhalus.

b. Solver


(1)

Lampiran 11 Hasil simulasi kelembaban relatif ( %)

Jam Lingk. Imah Tepas SosT SosB Atap 1,00 96,00 95,00 95,00 95,00 95,90 99,54 2,00 96,00 95,87 96,00 96,01 95,99 98,42 3,00 95,00 95,60 96,00 96,00 95,70 96,00 4,00 96,00 96,01 96,00 96,00 96,00 96,00 5,00 96,00 96,08 96,05 96,08 96,00 96,00 6,00 96,00 80,66 91,97 91,98 91,94 96,36 7,00 88,00 86,90 87,00 87,00 87,94 86,00 8,00 74,00 70,50 70,00 70,20 70,00 69,00 9,00 67,00 68,08 68,70 68,00 68,00 66,00 10,00 66,00 67,48 67,50 67,39 67,69 66,89 11,00 61,00 60,33 60,19 60,13 60,58 58,81 12,00 64,00 63,47 63,46 63,37 63,64 62,28 13,00 63,00 62,52 62,52 62,43 62,68 61,82 14,00 65,00 64,86 64,87 64,82 64,88 62,00 15,00 92,00 91,35 91,34 91,34 91,23 91,58 16,00 94,00 91,70 91,60 92,00 91,60 91,50 17,00 95,00 92,60 92,60 92,50 92,60 92,50 18,00 94,00 94,05 94,06 94,07 94,03 94,15 19,00 96,00 95,00 95,00 95,00 94,00 95,60 20,00 96,00 96,48 96,00 96,04 96,34 96,01 21,00 96,00 96,50 96,80 96,00 97,00 97,00 22,00 96,00 96,08 100,00 100,00 98,88 99,78 23,00 96,00 98,00 97,00 98,00 97,00 98,80 24,00 96,00 96,90 96,81 97,91 98,67 96,74


(2)

(3)

(4)

Lampiran 14 Input CFD; Mesh Setting


(5)

Lampiran 15 Hasil simulasi kondisi pengudaraan jam 12 dan jam 20 a. Hasil simulasi Jam 12


(6)

Lampiran 16 Data hasil survey masyarakat Baduy Dalam; Desa Cibeo

1. Jumlah penduduk Kampung Cibeo;

Tahun 2004, 117 kk, jumlah penduduk 507 orang Tahun 2008, 132 kk, jumlah penduduk 573 orang

2. Kondisi iklim Temperatur

Baduy Dalam Baduy Luar

Siang jam 13. 28-29o C 32-31,6 o C malam jam 24 24o C 24o C pagi jam 3-4 22 o C 23,5o C Lampiran 17 Grafik kenyamanan termal Olgyay