tersebut hanya diobati dengan obat tradisional yang berasal dari dedaunan dan akar dari hutan.
Kesehatan masyarakat Kasepuhan Citorek secara umum termasuk kategori baik. Pada umumnya, masyarakat Kasepuhan Citorek pada kisaran umur 50an
tahun masih melakukan aktifitas meladang dengan kondisi bugar. Hal ini diduga dapat karena adanya budaya jalan kaki masyarakat Kasepuhan Citorek. Selain itu,
kondisi sarana transportasi yang sangat minim di Kasepuhan Citorek. Sebagai contoh, pada rentang tahun 1980-1990 masyarakat Kasepuhan Citorek harus
berjalan kaki puluhan kilometer untuk pergi sekolah SMP. Namun, sekitar tahun 2000, keadaan sedikit bergeser dalam hal budaya jalan kaki. Sarana transportasi
mulai banyak masuk seperti mobil, motor, dan transportasi umum lainnya. Akibat dari adanya perubahan budaya tersebut terhadap tingkat kesehatan masyarakat
Kasepuhan Citorek belum dapat dipastikan. Namun, diduga terdapat sedikit penurunan tingkat kesehatan seiring hilangnya budaya jalan kaki tersebut.
Penurunan tingkat kesehatan dapat diukur dengan membandingkan dua generasi masyarakat Kasepuhan Citorek generasi sebelum dan setelah masuknya sarana
transportasi pada usia yang sama.
4.1.2 Sumberdaya Alam
Pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat Kasepuhan Citorek sangat bergantung kepada kebutuhan masyarakat itu sendiri. Hal ini berkaitan dengan
kondisi potensi sumberdaya alam yang terdapat di sekitar wewengkon Kasepuhan Citorek. Kajian penelitian membatasi ruang lingkup penelitian pada sumberdaya
sosial yang ada di Kasepuhan Citorek, maka sumberdaya lain yang terdapat dalam konsep pendekatan livelihoods lain didasarkan pada data sekunder dan hasil
pengamatan secara langsung. Beberapa potensi sumberdaya alam yang terdapat di Citorek salah satunya ialah sumberdaya tanah yang subur karena dikelilingi oleh
hutan alam yang merupakan bagian dari Taman Nasional Gunung Halimun Salak TNGHS.
Potensi sumberdaya tanah tersebut dimanfaatkan dengan beberapa kegiatan pertanian dan perkebunan oleh masyarakat Citorek. Kegiatan pertanian di Citorek
memiliki kekhasan dalam sistem pertaniannya yang hanya menggunakan lahan taninya setahun sekali dengan lama tanam enam bulan. Bibit padi yang digunakan
adalah bibit lokal yang turun temurun dipakai sebagai bibit utama dalam menanam padi. Bibit lokal ini menghasilkan beras yang berwarna merah dan
berukuran lebih besar dan padat dari beras yang umum dikonsumsi masyarakat Indonesia. Sistem pertanian yang telah digunakan secara turun temurun tersebut
yang menjadikan sistem pertanian ini diadopsi menjadi adat Kasepuhan Citorek secara keseluruhan. Pada kenyataannya, tidak seluruh warga kasepuhan memakai
sistem pertanian adat tersebut. Terdapat 2-3 keluarga di Kasepuhan Citorek yang menggunakan sistem pertanian rekomendasi pemerintah panen 2-3 kali dalam
setahun. Tabel 5 menginformasikan luas penggunaan lahan menurut desa di Kasepuhan Citorek.
Tabel 5 Luas tanah masing-masing desa menurut penggunaannya dalam hektar ha di Kasepuhan Citorek
No. Desa
Sawah Lahan Bukan
Sawah Lahan Non
Pertanian Jumlah
1. Citorek Tengah
992 1.024
207 2.223
2. Citorek Timur
145 1.549
18 1.712
3. Citorek Kidul
750 1.357
5 2.112
4. Citorek Barat
308 1.904
10 2.222
5. Citorek Sabrang
275 1.407
16 2.698
Tabel 5 menunjukan Kasepuhan Citorek masih memiliki luasan lahan untuk sawah cukup tinggi. Penggunaan lahan non pertanian diartikan sebagai lahan yang
diperuntukan untuk toko, peternakan, atau usaha lainnya. Angka tersebut masih menunjukan trend positif untuk bidang pertanian bagi masyarakat. Namun, perlu
diperhitungkan juga untuk 10-20 tahun kemudian dimana kebutuhan lahan untuk pemukiman dan lahan non pertanian lainnya yang akan meningkat. Hal yang akan
terjadi ialah peningkatan kebutuhan lahan untuk pemukiman. Oleh karena itu, peruntukan lahan untuk sawah atau lahan lainnya akan semakin berkurang.
Adanya kecenderungan peningkatan kebutuhan lahan untuk pemukiman dan status enclave Kasepuhan Citorek yang berbatasan langsung dengan kawasan
taman nasional, dirasa perlu dilakukan proyeksi kependudukan untuk menghindari overlap pendudukan lahan antara masyarakat dengan taman nasional di masa
mendatang. Kajian penelitian ini mencoba melakukan proyeksi kependudukan hingga 10 tahun kemudian dan kelipatannya. Namun, data terkait kebutuhan
penghitungan proyeksi tidak dapat ditemukan baik di tingkat desa ataupun di
tingkat BPS. Hal tersebut dikarenakan proyeksi penduduk biasanya dilakukan di tingkat kabupaten, provinsi atau nasional.
Masyarakat Kasepuhan Citorek memiliki kalender tani dalam istem pertanian mereka yang kemudian menjadi adat. Kalender tani ini diartikan sebagai
tahapan pasti yang diatur secara adat menggunakan mekanisme musyawarah lembaga adat dalam penentuan tanam dan panen padi. Oleh karena itu, kalender
tani ini pun tidak memiliki kepastian tanggal atau bulan kapan tanam atau panen padi. Pihak kasepuhan memiliki kalender astronomi sendiri berdasarkan tanda
alam yang terjadi. Adapun tahapan sistem pertanian Kasepuhan Citorek adalah sebagai berikut:
a. Ngagalengananmopog: Membetulkan atau merapikan pembatas pematang sawah yang menjadi batas dengan sawah yang lainnya.
b. Macul: Macul menyangkut macul badag dan macul alus di sawah. c. Nyogolan: Meratakan seluruh permukaan tanah di sawah bagian sawah yang
belum rata. d. Musyawarah Titiba Binih: Musyawarah baris kolot petinggi kasepuhan untuk
menentukan waktu tebar. e. Tebarsebar: Menumbuhkan bibit padi pada persemaian atau pabinihan
membibitkan awal. f. Cabut: Mengambil bibit padi pabinihan atau tempat persemaian untuk ditandur
atau ditanam. g. Tandur: Menanam bibit padi yang sudah tumbuh setelah tebar.
h. Ngoyos 1ngaramet: Membersihkan tanaman penggangu dan gangguan rumput yang menghambat pertumbuhan tanaman padi.
i. Babad: Membersihkan rumputan atau tanaman pengganggu di pematang sawah.
j. Ngoyos 2: Membersihkan tanaman pengganggu dan gangguan rumput yang menghambat pertumbuhan tanaman padi.
k. Mipit: Mipit merupakan prosesi upacara adat untuk memulai masa panen. l. Dibuat: Panen padi yang matang.
m. Ngalantaymoe: menjemur padi setelah dipanen di atas lantayan semacam batang kayu yang dibuat horizontal.
n. Ngunjal: Mengangkut padi dari lantayan ataupun sawah setelah dipocong. Pocong merupakan gabungan tiga ikat padi menjadi satu.
o. Asup leuit: Memasukan padi yang sudah kering dari jemuran lantayan. p. Nganjaran: Syukuran untuk padi yang baru dipanen dan memasak nasi dari
padi yang dipanen pada tahun tersebut. q. Badamian seren taun: Musyawarah untuk merencanakan acara seren tahun.
Sistem pertanian tradisional tersebut sejalan dengan sistem perkebunan yang ada di Kasepuhan Citorek dengan penggunanaan mekanisme tumpang sari seperti
huma. Pada dasarnya huma merupakan sistem tanam padi yang menggunakan lahan kering sebagai media tanamnya. Namun, dengan sistem tersebut masyarakat
memanfaatkan lahan secara optimal dengan menggunakan beberapa lahan kosongnya dengan tanaman lain yang bersifat produksi baik buah ataupun kayu
sebagai hasil panennya. Tanaman yang biasa di tanam di lahan huma adalah jenis palawija dan kayu produksi jengjeng, jagung, ubi jalar, ubi, dan sayur-sayuran
seperti kacang panjang, cabe, tomat dan ketimun. Dalam pengelolaannya huma memiliki beberapa tahapan kagiatan meliputi:
a. Nyacar: Membersihkan lahan dari tanaman yang tumbuh pada lahan yang akan dijadikan huma
b. Ngaduruk: Membakar bekas-bekas tanaman yang ditebang pada lahan yang akan dijadikan huma tetapi menunggu sampai keringnya sisa-sisa tanaman
tersebut. c. Ngaseuk: Menanam padi pada lubang-lubang yang sudah disediakan dengan
menggunakan alat aseuk kayu dengan ukuran sebesar kepalan tangan dengan ujungnya diruncingkan.
d. Ngored: Membersihkan tanaman pengganggu yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman padi huma ngored 1 dan 2.
e. Mipit: Mipit merupakan prosesi upacara adat untuk memulai masa panen padi huma.
f. Panen: Panen mengambil memetik tanaman padi yang sudah matang atau sudah layak untuk dipanen.
4.1.3 Sumberdaya Ekonomi