National park management zoning by ecotourism approach (Case of Nantu-Boliyohuto National Park Candidate in Gorontalo Province)

(1)

DENGAN PENDEKATAN EKOWISATA

(

Kasus Calon Taman Nasional Nantu-Boliyohuto

di Provinsi Gorontalo

)

MARINI SUSANTI HAMIDUN

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Zonasi Pengelolaan Taman Nasional dengan Pendekatan Ekowisata (Kasus Calon Taman Nasional Nantu-Boliohuto di Provinsi Gorontalo) adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi dimanapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Februari 2012

Marini Susanti Hamidun P062030181


(4)

(5)

Ecotourism Approach (Case of Nantu-Boliyohuto National Park Candidate in Gorontalo Province), under the supervisors of; Cecep Kusmana, Ernan Rustiadi, Soehartini Sekartjakrarini, Nelson Pomalingo.

National Park is a nature conservation area which has a native ecosystem, managed by the zoning system and used for the purpose of research, science, education, culture, tourism, and recreation. Candidates for the National Park area covering 62,943 ha Nantu Boliyohuto located in Gorontalo Province, and has been proposed as a National Park under Proposal No. Letter.522.21/05/638/2003 April 8, 2003. In this regard, the main objective of this research is to produce a management zoning of CTN Nantu Boliyohuto by ecotourism based, with some of the operational objectives of the study, namely: 1) identification and analysis of ecological, social and cultural conditions in the Nantu Boliyohuto ; 2 ) review of the assessment area CTN-Nantu Boliyohuto as ecotourism area, and 3) the process of drafting zoning CTNNB region. Purposive sampling method used to select 6 villages and to select 45 respondents in each village. Techniques of data retrieval is done by observation and interviews (primary data), as well as by literature studies (secondary data). The analysis used are the analysis of vegetation, tourist attraction assessment, spatial analysis, and multicriteria analysis. The results of this study were: 1) in the region Nantu CTN-Boliyohuto much as 204 plant species were identified, of which there are 17 protected species, among others; Caryota mitis, Cycas rumphii, and Livistonia rotundifolia,; 32 species animals, some of which were endemic to Sulawesi and protected species, namely Babyrousa babyrussa, Bubalus depressicornis, Tarsius spectrum, and Macaca heckii; 49 species of birds and 24 species of which are endemic to Sulawesi; as well as the physical condition of the appeal of unique and beautiful, the salt-lick, scenery, waterfalls, harmonization of the township, fields, hills, mountains, and rivers; 2) community around the area generally consists of farmers with low education, interact with the region in the harvesting of timber and non timber, such as rattan, leaf woka, building materials, foodstuff, fruits, bamboo, honey and hunt, and use of land as a farm plantation / agriculture and residences; 3) the region has the potential of high tourist attraction, with a fairly smooth accessibility, supported by social conditions, interests and expectations of society towards the implementation of ecotourism activities, as well as support of Gorontalo Provincial Government through its superior programs in the fields of tourism, although tourism has not been supported by adequate facilities, and 4) establishment of zoning map initiated by combining elevation, slope maps, land cover map, and wildlife sensitivity map, which generates maps of ecological sensitivity. The consideration based on ecotourism criteria, namely conservation, economics, public participation, and control. The results of the ecological sensitivity map overlay of these criteria of ecotourism is CTN Nantu Boliyohuto Management Zone, which consists of a core zone covering an area of 48.380,3 Ha (76,99%), forest zone covering an area of 10.806,1 Ha (17,2%), use zone of 2.447,8 (3,9%), and traditional zone covering an area of 1.206,3 Ha (1,92%).


(6)

(7)

Pendekatan Ekowisata (Kasus Calon Taman Nasional Nantu-Boliyohuto di Provinsi Gorontalo), dibawah bimbingan: Cecep Kusmana, Ernan Rustiadi, Soehartini Sekartjakrarini, Nelson Pomalingo.

Taman Nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Untuk mengelola kawasan ini diperlukan sistem zonasi yang berupa perlindungan terhadap sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam (SDA) hayati dan ekosistemnya. Zonasi ditentukan sebagai hasil analisis spasial pengelompokan yang mempunyai kemampuan dan karakteristik yang sama, dengan tujuan memberikan arah pengelolaan dan perencanaan menyeluruh pada suatu wilayah. Pengelolaan taman nasional melalui sistem zonasi bukan hanya difokuskan pada potensi flora dan fauna khas yang dilindungi, namun juga pada kebutuhan sosial ekonomi masyarakat sekitar, baik secara langsung maupun tidak langsung. Paradigma baru pengelolaan taman nasional ini bertujuan untuk mengurangi ketergantungan dana pengelolaan dari pihak luar, sehingga mendorong kemandirian dalam mengelola atau membiayai sendiri. Konsep ekowisata merupakan konsep operasional dari pembangunan berkelanjutan yang dapat menjembatani kepentingan pemerintah dalam hal konservasi dan kepentingan masyarakat sekitar dalam hal pengembangan ekonomi.

Kawasan Calon Taman Nasional Nantu Boliyohuto seluas 62.943 Ha yang terletak di Provinsi Gorontalo, merupakan gabungan dari Suaka Margasatwa Nantu (32.627 Ha), Hutan Produksi Terbatas (10.346 Ha) dan Hutan Lindung (19.970 Ha). Kawasan ini telah diajukan sebagai Taman Nasional berdasarkan Surat Usulan No. 522.21/05/638/2003 tanggal 8 April 2003. Berkenaan dengan hal tersebut, maka tujuan utama penelitian ini adalah menghasilkan zonasi pengelolaan CTN Nantu-Boliyohuto yang berbasis ekowisata, dengan beberapa tujuan operasional penelitian, yaitu: 1) identifikasi dan analisis kondisi ekologi dan kondisi sosial budaya masyarakat di kawasan CTN Nantu-Boliyohuto; 2) kajian penilaian kawasan CTN Nantu-Boliyohuto sebagai kawasan ekowisata; dan 3) proses penyusunan zonasi kawasan CTNNB. Untuk pengambilan data masyarakat, enam desa dipilih secara purposive sampling, yaitu desa-desa yang berinteraksi intensif dengan kawasan CTN Nantu-Boliyohuto, yaitu Desa Pangahu, Desa Mohiyolo, Desa Saritani, Desa Sidohardjo, Desa Kasia, dan Desa Potanga. Sedangkan data responden masyarakat, setiap desa dipilih 45 responden yang dipilih secara purposive sampling, yaitu masyarakat yang berumur diatas 20 tahun. Teknik pengambilan data dilakukan dengan cara pengamatan dan wawancara (data primer), serta dengan cara studi literatur (data sekunder) yang berasal dari hasil-hasil penelitian sebelumnya dan instansi terkait lainnya. Analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis vegetasi, analisis penilaian daya tarik wisata, analisis spasial yang menggunakan sistem informasi geografis, dan analisis multikriteria.

Hasil penelitian ini yaitu: Pertama, dalam kawasan CTN Nantu-Boliyohuto terdapat 204 jenis tumbuhan yang teridentifikasi, yang diantaranya


(8)

Kjellbergiodendron celebicum, Shorea sp, Licualla flabelum, Cratoxylum celebicum, Dillenia serrata, Grammatophyllum speciosum, Diospyros celebica dan Dillenia sp.; 32 jenis satwa, yang diantaranya jenis endemik Sulawesi dan dilindungi, yaitu Babirusa (Babyrousa babyrussa), Anoa (Bubalus depressicornis), Tarsius (Tarsius spectrum), Kuskus Sulawesi (Strigocuscus celebensis) dan Monyet Hitam Sulawesi (Macaca heckii); 49 jenis burung dengan 24 jenis diantaranya merupakan endemik Sulawesi; serta daya tarik kondisi fisik yang unik dan indah, yaitu kubangan lumpur bergaram (salt-lick), panorama alam, air terjun, harmonisasi perkampungan, ladang, bukit, pegunungan, dan sungai.

Kedua, masyarakat sekitar kawasan umumnya terdiri dari petani dengan pendidikan yang masih rendah, berinteraksi dengan kawasan dalam pengambilan hasil hutan berupa kayu dan non kayu, seperti rotan, daun woka, bahan bangunan, bahan makanan, buah-buahan, bamboo, madu dan berburu, serta pemanfaatan lahan sebagai ladang perkebunan/pertanian dan tempat tinggal. Ketiga, sebagai kawasan yang akan dijadikan destinasi pariwisata, kawasan ini memiliki potensi daya tarik wisata yang tinggi, dengan aksesibilitas yang cukup lancar, didukung oleh kondisi sosial masyarakat, minat dan harapan masyarakat terhadap penyelenggaraan kegiatan ekowisata, serta dukungan Pemerintah Provinsi Gorontalo melalui program unggulannya di bidang pariwisata, meskipun semuanya itu belum didukung fasilitas wisata yang memadai. Keempat, proses penetapan zonasi diawali dengan menggabungkan (overlay) beberapa peta dasar/tematik kawasan, yaitu peta ketinggian, peta kelerengan, peta tutupan lahan, dan peta sensitivitas satwa, yang menghasilkan peta sensitivitas ekologi. Zonasi peta sensitivitas ekologi terbagi atas kelas sangat sensitif yang direkomendasikan menjadi zona inti, kelas sensitif yang direkomendasikan menjadi zona rimba, dan kelas tidak sensitif direkomendasikan menjadi zona pemanfaatan/zona lainnya. Setelah itu dilakukan pertimbangan berdasarkan kriteria ekowisata, yaitu konservasi, ekonomi, partisipasi masyarakat, dan kendali. Hasil overlay dari peta sensivitas ekologi dengan kriteria-kriteria ekowisata adalah Zona Pengelolaan CTN Nantu Boliyohuto, terdiri dari zona inti seluas 48.380,3 Ha (76,99%), zona rimba seluas 10.806,1 Ha (17,2%), zona pemanfaatan seluas 2.447,8 Ha (3,9%), dan zona tradisional seluas 1.206,3 Ha (1,92%).


(9)

@Hak Cipta Milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumberdaya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(10)

(11)

(

Kasus Calon Taman Nasional Nantu-Boliyohuto

di Provinsi Gorontalo

)

Oleh

MARINI SUSANTI HAMIDUN

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(12)

Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS 2. Dr. Omo Rusdiana, MS

Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. Bambang Supriyanto, MSc 2. Dr. Ir. Endes N. Dahlan, MS


(13)

Ekowisata (Kasus Calon Taman Nasional Nantu- Boliyohuto di Provinsi Gorontalo)

Nama Mahasiswa : Marini Susanti Hamidun

NRP : P062030181

Program Studi : Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan

Disetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr (Ketua) (Anggota)

Dr. Ir. Soehartini Sekartjakrarini, M.Sc Prof. Dr. Ir. Nelson Pomalingo, M.Pd (Anggota) (Anggota)

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Pengelolaan Sumber Daya Alam & Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc, Agr


(14)

(15)

Karunia-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan penelitian disertasi yang berjudul: ”Zonasi Pengelolaan Taman Nasional dengan Pendekatan Ekowisata (Studi Kasus di Calon Taman Nasional Nantu-Boliyohuto Provinsi Gorontalo)”.

Penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada kedua orang tua, Alm. Husain Hamidun - Alm. Hadidjah Machmud; Alm. Rudy Rudolf Manese; Anakda Muzdalifah Manese; Ibunda Salmah Manese Monoarfa; saudara-saudaraku: Affandi, Dewi, Norman, atas keikhlasan, kesetiaan, motivasi dan doanya selama ini. Terimakasih yang sedalam-dalamnya penulis haturkan kepada Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS; Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr; Dr. Ir. Soehartini Sekartjakrarini, M.Sc; dan Prof. Dr. Ir. Nelson Pomalingo, M.Pd. yang selama ini telah mengikhlaskan waktu, tenaga, dan pikiran yang begitu besar membimbing penulis, dan tak henti-hentinya memberi semangat hingga penulis berada pada tahap akhir. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ketua Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PS-PSL) selama masa studi saya, yaitu Alm. Prof. Dr. Ir. Sri Saeni, MS; Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS; dan Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS; Dr. Etty Riani, MS; Dr. Ir. Widiatmaka, DEA dan Dr. Ir. Lailan Syafina, MSc beserta seluruh staf PS-PSL. Terima kasih setinggi-tingginya kepada Rektor Universitas Negeri Gorontalo (UNG), rekan-rekan dosen UNG beserta seluruh staf, dan rekan-rekan dosen Universitas Gorontalo (UG) beserta mahasiswanya. Terima kasih yang setulus-tulusnya kepada Bapak H. Mulyono Lahay, SE dan keluarga, Bapak Ir. Lukman Baga dan keluarga; rekan-rekan Ririungan Mahasiswa Gorontalo Bogor (RMGB); rekan-rekan mahasiswa IPB tahun 2003; dan rekan-rekan alumni SMANSA ‘88 Gorontalo yang senantiasa membantu, mendampingi, memberi kritikan dan semangat; serta seluruh keluarga, sahabat dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu, baik materi maupun non materi, langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian studi.

Bogor, Februari 2012


(16)

(17)

Marini Susanti Hamidun dilahirkan di Gorontalo pada tanggal 4 Mei 1970, sebagai anak ke tiga dari empat bersaudara dari Ayah Drs. Husain Hamidun (Almarhum) dan Ibu Hadidjah Machmud (Almarhumah). Menikah dengan dr. Rudy Rudolf Manese (Almarhum) tahun 1994, dan dikaruniai seorang anak Muzdalifah Alya Amalia Manese.

Pendidikan Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) diselesaikan di Gorontalo. Pendidikan sarjana S-1 ditempuh di Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Hasanuddin, lulus pada tahun 1994. Pada tahun 1998, penulis melanjutkan pendidikan Magister di Program Studi Pengelolaan Lingkungan Hidup, Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin dan lulus pada tahun 2001. Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke program doktor diperoleh pada tahun 2003 pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor dengan bantuan beasiswa BPPS Ditjen Pendidikan Tinggi.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Jurusan Biologi, Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Gorontalo sejak tahun 2001.


(18)

(19)

Halaman

DAFTAR TABEL ...

DAFTAR GAMBAR ...

DAFTAR LAMPIRAN ...

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Kerangka Pikir ... 8

1.3 Perumusan Masalah ... 13

1.4 Tujuan Penelitian ... 14

1.5 Manfaat Penelitian ... 14

1.6 Kebaruan ... 15

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taman Nasional ... 17

2.1.1. Sejarah Taman Nasional ... 17

2.1.2. Kawasan Konservasi ... 18

2.1.3. Jenis-Jenis Kawasan Konservasi ... 21

2.1.4. Pemanfaatan Kawasan Konservasi ... 23

2.1.5. Peran Serta Masyarakat Terhadap Konservasi ... 25

2.1.6. Peranan dan Manfaat Taman Nasional ... 26

2.1.7. Perubahan Kebijakan Taman Nasional ... 28

2.2. Konsep Perwilayahan (Zonasi) ... 29

2.2.1. Zoning Regulation ... 33

2.2.2. Zonasi Taman Nasional ... 34

2.3. Pariwisata ... 42

2.3.1. Definisi Pariwisata ... 42

2.3.2. Perkembangan Pariwisata Dunia ... 43

2.3.3. Perubahan pola Kepariwisataan ... 47

2.3.4. Destinasi Pariwisata ... 48

2.3.5. Ekowisata ... 50

III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 59

3.2. Desain Penelitian ... 59

3.3. Teknik Pengambilan Data ... 59

3.4. Analisis Data ... 65

3.5. Analisis CTNNB sebagai Kawasan Ekowisata ... 69

3.6. Menyusun Zonasi CTN Nantu-Boliyohuto ... 69

IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak dan Luas ... 73


(20)

4.6. Struktur Organisasi ... 79

V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kondisi Eksisting ... 81

5.1.1. Kondisi Ekologi ... 81

5.1.2. Kondisi Sosial ekonomi dan Budaya ... 87

5.1.3. Ancaman Bagi Kawasan CTNNB ... 90

5.2. Kajian Ekowisata pada CTNNB ... 94

5.2.1. Daya Tarik Wisata Alam ... 95

5.2.2. Aksesibilitas ... 101

5.2.3. Fasilitas Wisata ... 103

5.2.4. Masyarakat dan Lingkungan ... 105

5.2.5. Potensi Pasar ... 109

5.3. Zonasi CTN Nantu-Boliyohuto ... 111

5.3.1. Analisis Sensitivitas Ekologi ... 111

5.3.2. Pertimbangan Penentuan Zona ... 125

5.3.3. Pembagian Zona Pengelolaan CTNNB ... 135

VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 143

6.2. Saran ... 144

DAFTAR PUSTAKA ... 147


(21)

2.1. 2.2.

Perubahan Paradigma Pengelolaan Kawasan Konservasi ... Daftar Penelitian Penyusunan Zonasi di Kawasan Konservasi...

24 38 2.3. Batasan dan Kreiteria Tipe Zona pada Taman Nasional ... 39 2.4. Peruntukan dan Jenis Kegiatan pada Zona-Zona Taman Nasional. 40 2.5. Data Kunjungan Wisatawan Mancanegara ... 44 2.6. Perkembangan Wisatawan Nusantara Tahun 2001-2009 ... 45

2.7. 2.8.

Bentuk Pariwisata Global ... Unsur-Unsur Penting dalam ekowisata...

48 53 3.1. 3.2. 4.1. 4.2. 4.3. 4.4. 5.1. 5.2. 5.3. 5.4. 5.5. 5.6. 5.7. 5.8. 5.9. 5.10. 5.11. 5.12. 5.13. .

Jenis Data dan Sumber Data... Variabel Kondisi Ekologis dan Sosial yang diamati di CTNNB.... Keadaan Iklim Kabupaten Gorontalo Tahun 2005... Sistem Lahan CTNNB... Data Kependudukan dan Kependidikan... Data Sarana Kesehatan... Jenis Flora Endemik dan Dilindungi pada Kawasan CTNB... Hasil Analisis Keanekaragaman Satwa Lokasi Saltlick... Data Kependudukan Desa Sekitar Kawasan CTNNB... Penilaian Daya Tarik Wisata di CTN Nantu-Boliyohuto... Penilaian Aksesibilitas CTN Nantu-Boliyohuto... Penilaian Fasilitas Wisata di CTN Nantu-Boliyohuto... Penilaian Lingkungan dan Masyarakat CTN Nantu-Boliyohuto... Kelas Ketinggian CTN Nantu-Boliyohuto... Klasifikasi Kelerengan di CTN Nantu-Boliyohuto ... Klasifikasi Penutupan Lahan di CTNNB... Hasil Penilaian Potensi Zona Berdasarkan Sensitivitas Ekologi... Penyebaran Daya Tarik Wisata Alam Pada Kawasan CTNNB... Zona Pengelolaan CTN Nantu-Boliyohuto...

60 65 74 75 77 77 82 84 87 96 102 105 108 112 114 116 123 133 140


(22)

(23)

1.1. Kerangka Pikir ... ... 12 2.1. Alternatif Pengelompokan dan Arah Pengelolaan Taman Nasional 27 2.2.

2.3.

Sistimatika Konsep Wilayah .... ... Flowchart Tahapan Penetapan Zonasi ...

30 41 2.4. 2.5. 2.6. 2.7. 3.1.

Trend Kunjungan Wisatawan Dunia ………... Diagram Kunjungan Wisatawan Provinsi Gorontalo ... Keterkaitan antar Unsur Pembangun Sistem Pariwisata ... Kepentingan Pelaku Pariwisata Terhadap Sumberdaya ... Lokasi Penelitian di CTN Nantu-Boliyohuto...

43 46 49 50 59 3.2. Desain Metode Garis Berpetak ... ... 61 3.3. Skema Analisis Multikriteria Zonasi CTNNB . ... 68 3.4. Kerangka Penilaian Zonasi CTNNB... ... ... 72 4.1. Peta Calon Taman Nasional Nantu-Boliyohuto... 73 5.1. 5.2. 5.3. 5.4. 5.5. 5.6 5.7. 5.8. 5.9. 5.10. 5.11. 5.12. 5.13. 5.14. 5.15. 5.16. 5.17. 5.18

Jenis Tumbuhan Endemik dan Dilindungi pada Kawasan CTNNB.. Jenis Satwa Endemik dan Dilindungi pada Kawasan CTNNB... Pembalakan dan Pencurian Liar... Kegiatan PETI dalam Kawasan CTNNB... Kegiatan Pengambilan Hasil Hutan Non-Kayu... Pemandangan Selama Perjalanan Jalur Sungai... Kubangan Saltlick... Air Terjun dalam Kawasan CTNNB... Diagram Kunjungan Wisatawan ke Provinsi Gorontalo... Peta Kelas Ketinggian...

Peta Kelas Lereng………..

Peta Penutupan Lahan... Jejak Kaki dan Kotoran Babirusa dan Anoa... Peta Sensivitas Satwa Endemik... Peta Sensitivitas Ekologi... Peta Penggunaan Lahan... Peta Sebaran Daya Tarik Wisata... Peta Zona Pengelolaan CTNNB...

83 85 91 92 94 96 98 99 102 113 115 117 120 122 124 130 134 141


(24)

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Dalam UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya, taman nasional merupakan kawasan pelestarian alam (KPA) yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Tujuan pengelolaan di atas dapat dikelompokkan ke dalam 4 (empat) aspek utama yaitu: konservasi, penelitian, pendidikan, dan kepariwisataan.

Sistem zonasi merupakan cara atau metode pengelolaan taman nasional untuk mewujudkan fungsi KPA, yaitu: perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam (SDA) hayati dan ekosistem. Sistem zonasi memegang peran penting dalam mengatur peruntukan kawasan dan akses pemanfaatan. Dengan menerapkan sistem zonasi sebagai kebijakan pengelolaan, maka kawasan taman nasional akan dipilah-pilah ke dalam beberapa zona sesuai dengan fungsinya. Dalam hal ini akan diperlukan zona-zona yang mempunyai fungsi utama perlindungan/konservasi, fungsi utama pendidikan, fungsi utama rekreasi dan zona dengan fungsi utama meredam aktifitas masyarakat yang bersifat negatif di sekitar kawasan. Zonasi ditentukan sebagai hasil analisis spasial pengelompokan yang mempunyai kemampuan dan karakteristik yang sama, dengan tujuan memberikan arah pengelolaan dan perencanaan menyeluruh pada suatu wilayah, yang membagi wilayah tersebut ke dalam zona-zona yang sesuai dengan peruntukan dan kegiatan yang bersifat saling mendukung (compatible) serta memisahkannya dari kegiatan yang saling bertentangan (incompatible) (Rustiadi et al., 2004).

Sistem zonasi pada taman nasional bukan berarti melarang penggunaannya dalam zona tertentu, tetapi menandakan adanya perbedaan tujuan pengelolaan pada bagian-bagian (zona) yang berbeda (Walter, 1986 dalam Bos, 1991). Zonasi juga merupakan penataan ruang pada setiap kawasan taman nasional dimana penerapan dan penegakan hukum dilaksanakan secara tegas dan pasti. Sebagai


(25)

konsekuensi dari sistem zonasi tersebut, maka setiap perlakuan atau kegiatan terhadap kawasan taman nasional, untuk kepentingan pengelolaan dan pemanfataan, harus bercermin pada aturan yang berlaku pada setiap zona dimana kegiatan tersebut dilakukan. Dengan demikian keberadaan zonasi dalam sistem pengelolaan taman nasional menjadi sangat penting, tidak saja sebagai acuan dalam menentukan gerak langkah pengelolaan dan pengembangan konservasi di taman nasional, tetapi sekaligus merupakan sistem perlindungan yang akan mengendalikan aktivitas di dalam dan di sekitarnya.

Namun kenyataannya tidak ada taman nasional yang tidak mengalami tekanan, dan tidak ada yang tanpa keberadaan masyarakat. Berbagai kerusakan sumberdaya alam (SDA) dan pencemaran lingkungan terus meningkat. Akar masalahnya kompleks, berbagai macam bentuk tekanan yang mempengaruhi laju kerusakan antara lain lemahnya upaya penegakan hukum, rendahnya tingkat kesadaran masyarakat terhadap lingkungan, belum adanya koordinasi yang terjalin secara sistematis antara pengelola taman nasional dengan pemerintah daerah, serta penunjukan taman nasional tanpa konsultasi dengan pihak lain dan tidak mempertimbangkan keberadaan masyarakat di kawasan tersebut. Selama dua dekade terakhir, kegiatan pembangunan yang ada telah mengakibatkan habitat alami dan keanekaragaman jenis mengalami penurunan akibat eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan. Terlebih lagi sejak munculnya era reformasi yang dipersepsikan oleh masyarakat sebagai era yang boleh melakukan apa saja. Penjarahan kayu dan hasil hutan semakin meningkat, sehingga sumber daya hutan yang masih tersisa dan berada dalam kawasan konservasi terancam (Dephut, 2004). Selain itu, pertumbuhan penduduk juga menimbulkan beberapa masalah dalam hal penggunaan ruang dan lahan yang semakin sempit, yang mengakibatkan wilayah-wilayah dan sumberdaya-sumberdaya yang termasuk pada kawasan konservasi telah berubah fungsi dan peruntukannya, baik secara legal maupun ilegal. Semua kawasan konservasi yang dikelola pemerintah untuk kepentingan umum mengalami kerusakan, pengurangan luas, atau diperebutkan berbagai pihak yang ingin memanfaatkan kawasan tersebut untuk kepentingan lain, seperti yang terjadi pada TN Rawa Aopa Watumohai yang mengalami kerusakan seluas 9000 Ha, TN Kerinci Seblat


(26)

mengalami kerusakan sebesar 41.303 Ha, atau TN Bukit Barisan yang mengalami total kerusakan seluas 50.000 Ha dengan laju kerusakan 4000 Ha pertahun.

Menyikapi kenyataan kondisi taman nasional tersebut, maka penyusunan zonasi tidak lagi hanya berisi pada “pelarangan atau perijinan” akses manusia terhadap pemanfaatan SDA hayati dan ekosistemnya, tetapi lebih mengarah

kepada “keberlanjutan atau ketidakberlanjutan”. Kesalahan paradigma menyebabkan pendekatan-pendekatan pengelolaan taman nasional selalu menempatkan masyarakat sebagai bawahan yang harus mengikuti keinginan atasan (penguasa). Akibatnya sering terjadi konflik antara pemegang kekuasaan, pengelola, dengan masyarakat setempat. Berbagai kasus yang terjadi pada beberapa taman nasional selama ini antara lain: pada TN Kutai terdapat areal Hak Pengusahaan Hutan dan pertambangan milik Pertamina dan seluruh fasilitasi perusahaan termasuk kompleks karyawan (http://www. Hamline.edu); pada TN Bogani Nani Wartabone terdapat pemukiman masyarakat Desa Pinogu yang berada dalam kawasan zona inti; pada zona inti TN Lore Lindu terdapat wilayah upacara adat Suku Toro dan melarang masyarakat masuk ke zona tersebut sehingga menimbulkan konflik antara pengelola dan masyarakat adat Suku Toro; perladangan liar dan konversi menjadi perkebunan, pertanian dan pemukiman yang menyebabkan hancurnya jutaan hektar hutan tropis pada taman nasional; serta perdagangan satwa liar yang tidak bisa dikendalikan.

Indonesia memiliki 50 taman nasional (TN) dengan kondisi status rencana pengelolaan (RP): 8% (4 TN) belum memiliki RP, 64% (32 TN) telah memiliki RP dan telah disahkan, dan 28% (14 TN) telah memiliki RP tapi belum disahkan. Sedangkan 50% (25 TN) belum memiliki zonasi, 44% (22 TN) sudah memiliki zonasi dan sudah disahkan, dan 6% (3 TN) sudah memiliki zonasi tapi belum disahkan (Dephut, 2008). Kenyataan ini menjelaskan bahwa pengelolaan suatu taman nasional tidak mudah dilakukan. Untuk menyempurnakan pengelolaan taman nasional, maka dibuatlah Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. 56 tahun 2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional yang merupakan pengembangan dari pedoman zonasi taman nasional yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 68 tahun 1968 tentang KSA dan KPA. Permenhut ini memberikan peluang cukup besar bagi akses masyarakat dan penyelesaian konflik


(27)

tenurial khususnya di kawasan taman nasional, juga memberi peluang yang lebih baik dan kemungkinan penerapannya jauh lebih mudah karena sudah ada zona pengelolaan yang disepakati oleh masyarakat, baik wilayahnya maupun regulasinya.

Dalam Permenhut No 56/2006, zonasi pada taman nasional terdiri dari zona inti, yaitu bagian dari kawasan taman nasional yang mempunyai kondisi alam baik biota atau fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh manusia yang mutlak dilindungi, berfungsi untuk perlindungan keterwakilan keanekaragaman hayati yang asli dan khas; zona rimba yaitu bagian taman nasional yang karena letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan zona pemanfaatan; zona pemanfaatan, yaitu bagian dari kawasan taman nasional yang letak, kondisi dan potensi alamnya, yang terutama dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata alam dan kondisi/jasa lingkungan lainnya; zona tradisional, yaitu bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan SDA;

zona rehabilitasi, yaitu bagian dari taman nasional yang karena mengalami kerusakan, sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan komunitas hayati dan ekosistemnya yang mengalami kerusakan; zona religi, budaya dan sejarah, yaitu bagian dari taman nasional yang didalamnya terdapat situs religi, peninggalam warisan budaya dan atau sejarah yang dimanfaatkan untuk kegiatan keagamaan, perlindungna nilai-nilai budaya atau sejarah; dan zona khusus, yaitu bagian dari taman nasional karena kondisi yang tidak dapat dihindarkan telah terdapat kelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditetapkan sebagai taman nasional, antara lain sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik.

Beberapa kawasan di Provinsi Gorontalo yaitu: Suaka Margasatwa (SM) Nantu seluas 33.891 Ha, Hutan Lindung (HL) Boliyohuto ( 19.641 Ha) dan Hutan Produksi Terbatas (HPT) Boliyohuto ( 9.991 Ha) akan digabung menjadi satu unit pengelolaan taman nasional dengan luas  63.523 Ha berdasarkan Surat Usulan No. 522.21/05/638/2003 tanggal 8 April 2003. Usulan ini diajukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Gorontalo sebagai Taman Nasional ke Menteri


(28)

Kehutanan dengan nama Taman Nasional Nantu-Boliyohuto (BKSDA, 2002). Sebagai kawasan yang sedang diusulkan sebagai kawasan taman nasional, Calon Taman Nasional (CTN) Nantu-Boliyohuto membutuhkan rencana pengelolaan yang menjamin tercapainya tujuan perlindungan sistem-sistem ekologis dan sistem penyangga kehidupan, pengawetan sumber plasma nutfah dan pelestarian sumberdaya hayati, dan pemanfaatan secara lestari.

Penelitian Clayton (1996) & Dunggio (2005) menemukan potensi keanekaragaman satwa yang umumnya merupakan jenis-jenis yang endemik, yaitu: babirusa (Babyrousa babyrussa), anoa (Bubalus depressicornis), monyet hitam sulawesi (Macaca heckii), tarsius (Tarsius spectrum), kuskus sulawesi (Strigocuscus celebensis), dan babi hutan sulawesi, serta 80 jenis burung (35 jenis diantaranya merupakan endemik Sulawesi). Selain itu, kawasan ini memiliki keanekaragaman tumbuhan, antara lain Caryota mitis, Cycas rumphii, dan

Livistonia rotundifolia atau daun woka (termasuk dalam appendix II CITES),

Macaranga crassistipulosa, Elmerillia ovalis,, Terminalia celebica, Diospyros hebecarpa, (endemik Sulawesi), pohon rao atau Dracontomelon dao dan

Palaquium obovatum atau yang lebih dikenal dengan nama pohon Nantu yang diameter batangnya dapat mencapai 150 cm, serta Anggrek Raksasa atau

Grammatophyllum speciosum(dilindungi berdasarkan PP No 7 tahun 1999). Keunikan anggrek ini adalah ukuran tubuhnya yang besar dimana panjang batangnya dapat mencapai 5 meter. Potensi lain yang dimiliki oleh CTN Nantu-Boliyohuto adalah panorama alam/karakteristik ekosistem (sungai, air terjun, perbukitan), dan kubangan air garam alami (salt-lick) sebagai tempat bermain dan berkumpulnya babirusa dan jenis-jenis mamalia lainnya.

Pengelolaan taman nasional bukan hanya difokuskan pada potensi spesies flora dan fauna khas yang dilindungi, namun juga kebutuhan sosial ekonomi masyarakat sekitar, baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga selain kondisi di dalam kawasan, penentuan zona taman nasional juga harus mempertimbangkan kondisi lingkungan daerah penyangga (buffer area). Pembagian kawasan taman nasional ke dalam zona bersifat khas untuk masing-masing kawasan (site spesific) sesuai dengan kondisi lingkungan (biofisik) serta sosial ekonomi dan budaya lokal. Pengaturan zonasi dapat berperan melalui


(29)

pemberian akses pemanfaatan sumberdaya hayati dan ekosistem yang lestari dalam bentuk alokasi lahan atau zona tertentu kepada masyarakat daerah penyangga. Upaya ini diharapkan dapat membantu peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat, membangun kesadaran konservasi, dan mendorong partisipasi sosial untuk ikut mengamankan kawasan taman nasional.

Paradigma baru pengelolaan kawasan konservasi bertujuan untuk mengurangi ketergantungan dana pengelolaan dari pihak luar dan melakukan konservasi dengan biaya sendiri. Ini dapat dilakukan melalui pengembangan pemanfaatan berbagai potensi kawasan dan mampu mengarahkan pada orientasi bisnis yang dilakukan dalam koridor-koridor pemanfaatan yang menjamin kelestariannya. Pola kemitraan yang melibatkan masyarakat lokal dan pihak swasta tampaknya merupakan peluang yang bisa dimanfaatkan. Melibatkan dan memberdayakan masyarakat merupakan proses untuk memfasilitasi dan mendorong masyarakat agar mampu menempatkan diri secara proporsional dan menjadi pelaku utama dalam memanfaatkan lingkungan strategisnya untuk mencapai suatu keberlanjutan dalam jangka panjang. Pemberdayaan masyarakat memiliki keterkaitan erat dengan pembangunan berkelanjutan dimana pemberdayaan masyarakat merupakan suatu prasyarat utama serta dapat diibaratkan sebagai gerbong yang akan membawa masyarakat menuju suatu keberlanjutan secara ekonomi, sosial dan ekologi yang dinamis.

Ekowisata merupakan konsep operasional dari konsep pembangunan berkelanjutan, yang merupakan kegiatan konservasi yang dapat menjembatani kepentingan pemerintah dalam hal konservasi dan kepentingan masyarakat lokal dalam hal pengembangan ekonomi. Pengembangan ekowisata, yang pelaksanaanya berbasis pada masyarakat merupakan salah satu alternatif bisnis konservasi yang potensinya sangat besar untuk dikembangkan. Ekowisata merupakan suatu konsep pengembangan dan penyelenggaraan kegiatan pariwisata berbasis pemanfaatan lingkungan untuk perlindungan, serta berintikan partisipasi aktif masyarakat, dan dengan penyajian produk bermuatan pendidikan dan pembelajaran, berdampak negatif minimal, memberikan konstribusi positif terhadap pembangunan ekonomi daerah, dan diberlakukan bagi kawasan lindung, kawasan terbuka, kawasan alam binaan, serta kawasan budaya. Ekowisata


(30)

diyakini mampu mempaduserasikan semua kepentingan dalam suatu hubungan timbal balik yang saling tergantung dan saling mempengaruhi dalam pengelolaan kawasan taman nasional yang berkelanjutan yang memperhatikan aspek ekologi, sosial budaya, dan ekonomi (Sekartjakarini, 2004).

Pendekatan konsep ekowisata digunakan pada perencanaan pengembangan pengelolaan kawasan CTNNB karena implementasi konsep ekowisata ini adalah : 1) dapat menghasilkan uang untuk mengelola dan melindungi habitat dan spesies; 2) melibatkan masyarakat dalam pengelolaannya; 3) memungkinkan masyarakat setempat memperoleh manfaat ekonomi dari kawasan; dan 4) memberikan sarana untuk meningkatkan kesadaran orang akan pentingnya pengetahuan dan pelestarian lingkungan. Beberapa contoh taman nasional yang menjadikan kegiatan ekowisata sebagai sumber ekonomi adalah Taman Nasional Virungan Rwanda, yang mempunyai kekayaan satwa jenis gorila. Tingginya arus wisatawan yang datang berkunjung pada tahun 1990 untuk melihat gorila telah menyumbangkan perolehan sejumlah 1 juta dollar AS. Pengelolaan ekowisata dapat juga dilakukan pada kawasan penyangga, contohnya pada Menjangan Jungle and Beach Resort yang terletak di zona penyangga Taman Nasional Bali Barat. Resort ini luasnya sekitar 300 Ha. Resort ini tidak menarik karcis masuk bagi wisatawan, tetapi setiap aktivitas yang ada dalam kawasan dikenakan tarif : 1) naik kuda untuk trekking US$ 45/jam, dan naik menjadi US$ 55/2 jam; 2) bersepeda bertualang dalam hutan US$ 50; 3) pengamatan burung US$ 40; dan menyelam US$ 45. Penghasilan dari perolehan belanja wisatawan ini sebagian dipergunakan untuk merehabilitasi kawasan. Contoh pengelolaan taman nasional yang melibatkan masyarakat adalah Taman Nasional Ayers Rock yang merupakan salah satu tempat yang sering di kunjungi di Australia. Sebagian besar pengelolaan dan manajemen taman nasional ini dilakukan oleh pendudukk asli (suku Aborigin), yang bekerja sama dengan pemerintah.

Potensi sumber daya alam hayati dan ekosistem yang dimiliki kawasan CTNNB menunjukkan bahwa kawasam ini memiliki obyek dan daya tarik wisata alam. Atraksi satwa liar dan pengamatan burung yang endemik, keunikan dan keindahan bentang alam, serta budaya masyarakat yang ada pada kawasan CTN Nantu-Boliyohuto ini jika di rancang dan dikembangkan akan mampu menarik


(31)

minat wisatawan untuk berkunjung sehingga dapat mendatangkan dampak ekonomi yang berarti. Hal ini juga sejalan dengan program Pemerintah Provinsi Gorontalo yang tercantum dalam Strategi dan Pengembangan Kepariwisataan Gorontalo (2005), yang menyebutkan bahwa air terjun Adudu Nantu dan Kawasan SM Nantu merupakan obyek dan daerah tujuan wisata.

1.2. Kerangka Pikir

Tujuan suatu kawasan ditetapkan sebagai taman nasional untuk dapat memberikan manfaat: 1) ekologis yang mampu melestarikan keanekagaraman hayati dan sekosistemnya; 2) ekonomi yang berarti mampu memenuhi berbagai kebutuhan hidup manusia; dan 3) sosial yang berarti mampu menciptakan kesempatan kerja dan berusaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun kenyataan menunjukkan bahwa tujuan tersebut belum terwujud. Keberadaan taman nasional justru sering dianggap sebagai sumber konflik antar berbagai pihak. Secara ekologi degradasi SDA hayati dan ekosistemnya terjadi hampir di seluruh taman nasional dan cenderung meningkat, baik yang disebabkan oleh illegal logging, perambahan kawasan, maupun karena desakan pembangunan sektor non kehutanan, diantaranya untuk perkebunan, pertambangan, perindustrian, dan pemukiman. Secara sosial ekonomi sistem pengelolaan taman nasional belum mampu mendukung peningkatan pendapatan atau kesejahteraan masyarakat di sekitar taman nasional secara optimal. Dari aspek persepsi dan partisipasi masyarakat tentang konservasi SDA dan ekosistem kawasan taman nasional masih rendah, yang ditunjukkan dengan masih maraknya illegal logging, penambangan emas tanpa ijin (PETI), perambahan kawasan, dan perburuan satwa.

Penetapan suatu kawasan sebagai taman nasional sama dengan menutup akses masyarakat terhadap pemanfaatan SDA dalam kawasan, sementara masyarakat masih memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap SDA tersebut. Keadaan ini menimbulkan kesan bahwa taman nasional tidak memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar, sehingga timbullah dikotomi antara konservasi dan ekonomi. Konservasionis memandang kawasan konservasi sebagai ekosistem yang harus dijaga keutuhan fisik dan kelestarian SDA hayatinya, sehingga kegiatan-kegiatan ekonomi yang terkait langsung dengan kawasan dibatasi bahkan dilarang sama sekali, karena akan menyebabkan terdegradasinya


(32)

kualitas SDA hayati dan ekosistem kawasan. Sebaliknya ekonom memandang kawasan konservasi dengan segala potensinya sebagai aset ekonomi yang akan memberikan manfaat ekonomi atau kesejahteraan diseksploitasi dan dimanfaatkan secara langsung. Dikotomi ini pada akhirnya hanya akan memastikan degradasi tetap terus terjadi. Widada (2008) menjelaskan bahwa dikotomi tidak perlu terjadi jika memahami 5 prinsip esensi konservasi dan ekonomi, yaitu : 1) konservasi merupakan landasan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, tanpa adanya jaminan ketersediaan SDA hayati, maka pembangunan ekonomi akan terhenti; 2) ekonomi merupakan landasan pembangunan konservasi yang berkelanjutan, tanpa adanya manfaat ekonomi bagi masyarakat secara berkelanjutan, maka program konservasi akan terhenti karena masyarakat tidak peduli; 3) kegiatan konservasi dan ekonomi, keduanya bertujuan meningkatkan mutu kehidupan dan kesejahteraan masyarakat; 4) dengan pengetahuan konservasi manusia akan lebih mampu memahami kompleksitas ekosistem alami sehingga menyadari bahwa SDA perlu dikelola secara hati-hati agar tetap lestari meskipun SDA tersebut dimanfaatkan secara terus menerus; dan 5) dengan pengetahuan ekonomi manusia akan mampu menentukan pilihan-pilihan kegiatan ekonomi yang paling rasional dalam penggunaan SDA untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraannya secara berkelanjutan.

Dengan memahami prinsip-prinsip di atas maka pengelolaan kawasan taman nasional seharusnya mampu mengembangkan program konservasi yang dapat mengkaitkan kegiatan ekonomi masyarakat, atau sebaliknya mengembangkan kegiatan ekonomi masyarakat yang dapat mengkaitkan program konservasi, yaitu suatu konsep pemberdayaan masyarakat yang dapat membuka alternatif peningkatan ekonomi bagi masyarakat sekitar taman nasional sekaligus berkontribusi pada konservasi dengan meningkatkan kepedulian dan dukungan perlindungan kawasan yang memiliki nilai biologis, ekologis, dan nilai sejarah yang tinggi.

Ekowisata merupakan konsep operasional dari konsep pembangunan berkelanjutan, yang merupakan kegiatan konservasi yang dapat menjembatani kepentingan pemerintah dalam hal konservasi dan kepentingan masyarakat lokal dalam hal pengembangan ekonomi. Ekowisata adalah perpaduan antara


(33)

konservasi dan pariwisata dimana pendapatan yang diperoleh dari pariwisata seharusnya dikembalikan kepada kawasan untuk perlindungan dan pelestarian keanekaragaman hayati serta perbaikan sosial ekonomi masyarakat di sekitarnya. Dalam pelaksanaannya, kegiatan ekowisata harus mempertimbangkan daya dukung lingkungan, melibatkan secara aktif masyarakat lokal dan budayanya, mempromosikan pendidikan lingkungan, serta memberikan manfaat ekonomi bagi pengelolaan taman nasional dan masyarakat sekitarnya (Sekatjakrarini, 2004; Ceballos-Lascurain, 1996; Boo, 1990). Hal ini sejalan dengan tujuan ditetapkannya suatu kawasan menjadi taman nasional, yaitu: perlindungan sistem-sistem ekologis dan sistem-sistem penyangga kehidupan, pengawetan sumber plasma nutfah, pelestarian sumberdaya hayati, dan pemanfaatan secara lestari.

Merujuk pada definisi taman nasional, yaitu kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi (UU No 5/1990, Permenhut No 56/2006, PP No 28/20911), maka sistem pengelolaan pada taman nasional dilakukan dengan sistem zonasi.

Permenhut No.56/Menhut-II/2006 tentang pedoman zonasi taman nasional, membagi taman nasional ke dalam tujuh zona, yaitu: zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, zona tradisional, zona rehabilitasi, zona religi, budaya dan sejarah, serta zona khusus. Proses penyusunan zona pengelolaan terbagi dalam beberapa tahapan.

Tahapan pertama yang dilakukan adalah mengidentifikasi dan menganalisis kondisi eksisting dan potensi kawasan dari aspek ekologi, aspek sosial ekonomi dan budaya masyarakat sekitar, dan aspek ekonomi berupa potensi jasa lingkungan.

Tahapan kedua adalah melakukan analisis pengelolaan kawasan berdasarkan konsep ekowisata. Analisis dilakukan berdasarkan pada beberapa unsur utama (Shelly et al., 2001), yaitu: 1) Kualitas dan keunikan sumber daya alam, peninggalan sejarah dan budaya sebagai obyek dan daya tarik wisata (ODTW). Kekayaan keanekaragaman hayati merupakan daya tarik utama bagi pangsa pasar ekowisata, sehingga kualitas, keberlanjutan dan pelestarian sumber daya alam,


(34)

peninggalan sejarah dan budaya menjadi sangat penting untuk ekowisata. Pengembangan ekowisata juga memberikan peluang yang sangat besar, untuk mempromosikan pelestarian keaneka-ragaman hayati Indonesia, khususnya kawasan CTNNB di tingkat internasional, nasional, regional dan lokal. 2) Pemberdayaan dan pelibatan masyarakat, mulai dari tingkat perencanaan hingga pada tingkat pengelolaan, dengan memanfaatkan pengetahuan tentang alam dan budaya serta kawasan daya tarik wisata, dimiliki oleh masyarakat setempat, 3) Pendidikan dan interpretasi untuk meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap alam, nilai-nilai peninggalan sejarah dan budaya. Ekowisata memberikan nilai tambah kepada pengunjung dan masyarakat setempat dalam bentuk pengetahuan dan pengalaman. Nilai tambah ini mempengaruhi perubahan perilaku dari pengunjung, masyarakat dan pengembang pariwisata agar sadar dan lebih menghargai alam, nilai-nilai peninggalan sejarah dan budaya. 4) Ekowisata sebagai sarana mewujudkan ekonomi berkelanjutan. Ekowisata memberikan peluang untuk mendapatkan keuntungan bagi penyelenggara, pemerintah dan masyarakat setempat, melalui kegiatan-kegiatan yang ekstraktif dan non-konsumtif sehingga meningkatkan perekonomian daerah setempat. Penyelenggaraan yang memperhatikan kaidah-kaidah ekowisata, mewujudkan ekonomi berkelanjutan; dan 5) Pertumbuhan pasar ekowisata di tingkat internasional dan nasional. Kenyataan memperlihatkan kecendrungan meningkatnya permintaan terhadap produk ekowisata baik ditingkat internasional maupun nasional. Hal ini disebabkan meningkatnya promosi yang mendorong orang untuk berprilaku positif terhadap alam dan berkeinginan untuk mengunjungi kawasan-kawasan yang masih alami agar dapat meningkatkan kesadaran, penghargaan dan kepeduliannya terhadap alam, nilai-nilai peninggalan sejarah dan budaya setempat.

Tahapan ketiga adalah menyusun zonasi pengelolaan CTNNB berdasarkan pada kriteria dan indikator zonasi taman nasional, yang dianalisis sesuai dengan kondisi eksisting kawasan dari aspek ekologi, sosial budaya, dan potensi ekonomi. Beberapa parameter yang dipertimbangkan adalah: 1) kriteria ekologi: penyebaran satwa & tumbuhan, penutupan lahan, kelerengan, ketinggian,; 2) kriteria sosial: penggunaan lahan oleh masyarakat; dan 3) kriteria ekonomi: penyebaran


(35)

ODTWA. Pembobotan dan penilaian kriteria-kriteria di atas harus dilakukan dengan teliti, akurat dan saling bersinergi antara aspek ekologi, sosial, dan ekonomi, sehingga akan menghasilkan zonasi pengelolaan yang tepat. Skema kerangka pikir penyusunan zonasi taman nasional dengan pendekatan ekowisata pada CTN Nantu-Boliyohuto dapat dilihat pada Gambar 5.1.

(+) (-) (-) (+)

Gambar 1.1. Kerangka pikir penyusunan zonasi CTNNB dengan pendekatan ekowisata

Hasil akhir dari proses penyusunan ini adalah ditetapkannya zonasi pengelolaan. Dalam kawasan taman nasional sekurang-kurangnya terdiri dari

zona inti, yang diperuntukkan pada perlindungan ekosistem, pengawetan flora dan fauna khas beserta habitatnya yang peka terhadap gangguan dan perubahan, sumber plasma nutfah dari jenis tumbuhan dan satwa liar, untuk kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya; zona rimba, kawasan penyangga antara zona inti dan zona pemanfaatan yang diperuntukan pada kegiatan pengawetan dan pemanfaatan

Kriteria Penyusunan Zonasi

Zonasi Pengelolaan Taman Nasional

Kerusakan/ degradasi; Kehati menurun; konflik antar stakeholder; konversi kawasan masyarakat sekitar terabaikan Kelestarian SDAHE; minat terhadap kegiatan WA meningkat; Pelibatan masyarakat bisa meningkatkan kesejahteraannya Kondisi kawasan Ekologi; Sosial budaya; Ekonomi Ekowisata Konservasi; Partisipasi; Edukasi, rekreasi; Ekonomi; Kendali Dikotomi Konservasi vs Ekonomi Dikelola dengan Sistem Zonasi MASYARAKAT TAMAN NASIONAL Kelestarian SDAHE;

Peluang kerja untuk kesejahteraan masy; Memenuhi kebutuhan hidup


(36)

sumberdaya alam dan lingkungan alam bagi kepentingan penelitian, pendidikan konservasi, wisata terbatas, habitat satwa migran dan menunjang budidaya serta mendukung zona inti; dan zona pemanfaatan, yang diperuntukkan pada pengembangan pariwisata alam dan rekreasi, jasa lingkungan, pendidikan, penelitian dan pengenmbangan yang menunjang pemanfaatan, kegiatan penunjang lainnya (Permenhut No 56/2006).

1.3. Perumusan Masalah

Sebagai kawasan yang sedang diusulkan menjadi kawasan taman nasional, pemerintah daerah harus bisa mengantisipasi dan mencegah terjadinya kesalahan pengelolaan pada kawasan CTNNB. Pemerintah daerah harus mempunyai draft perencanaan bagaimana arah pengelolaan kawasan ini kedepan, yang nantinya digunakan sebagai pedoman dalam penyusunan zonasi pengelolaan dan penyusunan rencana strategis pengelolaanya sesuai dengan kondisi kawasan dan fungsi peruntukannya. Penyusunan zonasi harus melalui proses check and recheck

kondisi eksisting kawasan, baik dari aspek ekologi, sosial budaya masyarakat, dan aspek ekonomi. Salah satu kendala bagi penyusunan zonasi pada kawasan CTN Nantu-Boliyohuto adalah masih kurangnya data-data tentang kondisi eksisting kawasan, yang merupakan hal penting dalam penyusunan zonasi. Hasil survey pada beberapa instansi pemerintah (Dinas Kehutanan, Bappeda, BKSDA) maupun di lokasi kawasan CTN, tidak ditemukan data-data yang akurat dan relevan. Clayton (1996), Hiola (2004) dan Dunggio (2005) melakukan penelitian hanya pada bagian kawasan SM Nantu. Sedangkan pada kawasan bagian HL Boliyohuto dan HPT Boliyohuto tidak ditemukan data eksisting dan rencana pengelolaan yang sedang berlaku.

Sebagai pendekatan yang digunakan pada penyusunan zonasi, perlu dilakukan kajian kelayakan penyelenggaraan kegiatan ekowisata pada kawasan CTNNB sesuai dengan persyaratan-persyaratan ekowisata. Selanjutnya menjabarkannya ke dalam proses penyusunan kriteria dan indikator penetapan zonasi.

Berdasarkan kondisi kawasan CTN Nantu-Boliyohuto, maka dapat dirumuskan permasalahan yang berkaitan dengan proses penyusunan zonasinya, yaitu:


(37)

1. Bagaimanakah kondisi eksisting ekologi dan kondisi sosial budaya masyarakat di kawasan CTN Nantu-Boliyohuto ?

2. Bagaimanakah kajian CTN Nantu-Boliyohuto sebagai kawasan ekowisata ? 3. Bagaimana proses penyusunan zonasi CTN Nantu-Boliyohuto ?

1.4. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan yang ada pada CTN Nantu-Boliyohuto, penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan zonasi pengelolaan CTN Nantu-Boliyohuto yang didasarkan pada keadaan kondisi ekologis (biofisik) kawasan, kondisi sosial budaya masyarakat, dan potensi ekonomi, yang menuju pada pengelolaan kawasan mandiri yang berbasis ekowisata. Untuk mencapai tujuan ini ditetapkan beberapa tujuan operasional penelitian, yaitu :

1. Mengkaji kondisi ekologi dan kondisi sosial budaya masyarakat di kawasan CTN Nantu-Boliyohuto.

2. Mengkaji penilaian kawasan CTN Nantu-Boliyohuto sebagai kawasan ekowisata.

3. Menentukan zonasi kawasan CTNNB.

1.5. Manfaat Penelitian

Secara umum, penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi pemikiran dan bahan kajian ilmu pengetahuan dan informasi kepada masyarakat, peneliti, wisatawan, pengusaha, pengelola, dan stakeholder lainnya. Secara khusus terhadap kebijakan pusat :

1. Memberikan informasi kepada pemerintah pusat tentang keberadaan CTN Nantu-Boliyohuto, yang diharapkan bisa ditindaklanjuti dengan menganggarkan dana bagi kegiatan pengembangan dan pengelolaan CTN. 2. Sebagai acuan untuk memberikan/menetapkan status hukum sebagai Taman

Nasional Nantu-Boliyohuto.

3. Merupakan sumbangan kajian terhadap penyusunan Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) dan penyusunan zonasi ketika kawasan ini telah ditetapkan sebagai kawasan Taman Nasional Nantu-Boliyohuto.


(38)

Terhadap kebijakan daerah :

1. Menindaklanjuti pengajuan kepada pemerintah pusat untuk segera menetapkan status kawasan menjadi Taman Nasional Nantu-Boliyohuto. 2. Bersama-sama dengan instansi terkait (para stakeholder) merancang peraturan

daerah yang mengatur tentang pengembangan dan pengelolaan kawasan CTN Nantu-Boliyohuto.

1.6. Kebaruan

Kebaruan (novelty) dari penelitian ini adalah: Mengembangkan proses/mekanisme penentuan kriteria penyusunan zonasi taman nasional dengan pendekatan yang dilakukan. Penelitian ini memadukan kriteria ekowisata sebagai pendekatannya dengan kriteria yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan yang tertuang dalam Permenhut No.56/Menhut-II/2006 tentang pedoman zonasi taman nasional. Perpaduan ini menghasilkan metodologi penyusunan zonasi taman nasional yang didasarkan pada kondisi ekologis kawasan, kondisi sosial budaya masyarakat setempat, dan potensi ekonomi kawasan, serta melibatkan masyarakat sebagai pelaku utama bersama para pihak yang berkepentingan. Zonasi pengelolaan yang terbentuk akan menghasilkan program pengelolaan yang dalam pelaksanaannya dapat meminimalkan konflik antar kepentingan para

stakeholder, tumpang tindihnya peruntukan dan pemanfatan kawasan, kerusakan kawasan, memberikan insentif ekonomi berupa PAD, serta mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar dengan tetap menjaga kelestarian keberadaan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, yang pada akhirnya terwujudnya


(39)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taman Nasional

2.1.1 Sejarah Taman Nasional

Yellowstone National Park di Amerika Serikat yang di bangun pada tahun 1872 merupakan pelaksanaan dari konsepsi Taman Nasional yang pertama di dunia. Kemudian sejarah mencatat bahwa Yellowstone National Park ini merupakan unsur pendorong sebagai model pembentukan Taman-Taman Nasional di negara-negara lain. Namun bagi beberapa negara ada kecenderungan bervariasi didalam penerapannya, yang dikarenakan baik oleh pola pengelolaannya maupun karena keadaan geografi, kekayaan sumber daya alam, dan pandangan masyarakat terhadap lingkungan hidupnya. Pada Sidang Umum IUCN (The International Union for Conservation of Nature Resources) yang diadakan di New Delhi pada tahun 1969, menetapkan batasan Taman Nasional sebagai prinsip pokok yang harus dipunyai oleh setiap Taman Nasional, sehingga mempunyai keseragaman di tiap Negara. Dalam Protect Area Category IUCN, taman nasional termasuk dalam kategori II (1994) dan didefinisikan sebagai wilayah alamiah di daratan atau lautan yang ditunjuk untuk: 1) melindungi integritas ekologi satu atau lebih untuk kepentingan generasi kini dan yang akan datang; 2) melarang eksploitasi dan okupasi yang bertentanan dengan tujuan penunjukkannya; 3) memberikan landasan untuk penembangan spiritual, ilmu pengetahuan, rekreasi, dan kesempatan bagi pengunjung yang ramah secara ekologi dan budaya (Wiratno et al., 2004).

Di Indonesia, sampai awal dekade tahun 1980-an, konsep taman nasional sebenarnya belum begitu dikenal dalam pengelolaan kawasan pelestarian alam. Undang-undang No.5 tahun 1967 menyebutkan bahwa kawasan pelestarian alam terdiri atas cagar alam, suaka margasatwa, serta hutan wisata yang terbagi lagi menjadi taman buru dan hutan wisata. Namun demikian, pemikiran kearah itu telah berkembang di jajaran Direktoret PPA, hingga pada tahun 1977 lembaga ini memunculkan kriteria taman nasional dengan definisi yang persis sama dengan

kesepakatan IUCN tahun 1969, yaitu ‘kawasan pelestarian yang luas, baik di darat


(40)

utuh tidak terganggu; didalamnya terdapat jenis-jenis tumbuhan atau satwa beserta habitatnya, juga tempat-tempat yang secara geomorfologis bernilai untuk kepentingan ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan, pendidikan, budaya, rekreasi dan pariwisata, panorama alam yang menonjol; dimana masyarakat diperbolehkan masuk kedalam kawasan untuk berbagai kepentingan tersebut. Didalam Indonesian Conservation Plan, taman nasional didefinisikan sebagai kawasan luas dan relatif belum terganggu yang memiliki nilai alam tinggi, mudah dikunjungi dan bermanfaatn bagi daerah. Sedangkan dalam UU No.5/1990 taman nasional didefinisikan sebagai kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi (Wiratno

et al., 2004).

Kriteria penunjukan suatu kawasan menjadi taman nasional tertuang dalam UU No 5/1990, Permenhut No 56/2006, PP No 28/2011, yaitu :

1. Kawasan yang ditetapkan mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami;

2. Memiliki sumber daya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan alami;

3. Memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh;

4. Memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam;

5. Merupakan kawasan yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba dan zona lain yang karena pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri.

2.1.2. Kawasan Konservasi

Istilah kawasan dalam Undang – Undang No.26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, diartikan sebagai wilayah dengan fungsi utama lindung atau budidaya. Dalam Ensiklopedia Indonesia (Redaksi Ensiklopedia Indonesia 1983),


(41)

dari kerusakan. Akibatnya banyak kalangan yang memandang pembangunan dan konservasi sebagai dua kutub yang bertentangan. Di satu sisi pembangunan menghendaki adanya perubahan dan di sisi lain konservasi tidak menghendaki adanya perubahan, karena perubahan dapat menimbulkan kerusakan. Pemahaman tersebut menimbulkan anggapan konservasi sebagai penghambat pembangunan. Padahal tujuan konservasi adalah menunjang pembangunan berkelanjutan.

Undang – Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, menggunakan istilah Kawasan Lindung, yaitu kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Sedangkan dalam Undang-Undang No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya cenderung menggunakan istilah konservasi. Aoyoma (2000) mendefinisikan

kawasan konservasi adalah kawasan yang ditetapkan untuk melindungi dan melestarikan sumber daya kehidupan, yang pada akhirnya menjamin kesejahteraan dan ketentraman masyarakat yang mempunyai kepentingan bersama (stakeholder) dengan pengelolaan secara berkelanjutan.

Menurut Mac Kinnon et al. (1993), kawasan konservasi didefinisikan sebagai kawasan yang dilindungi karena memiliki ciri-ciri tertentu, yaitu : 1) karakteristik atau keunikan ekosistem, misalnya hutan hujan tropik; 2) adanya spesies khusus yang terancam kepunahan, endemik, spesifik, dan/atau langka; 3) tempatnya memiliki keanekaragaman spesies (megabiodiversity); 4) landskap atau ciri geofisik yang bernilai estetik atau pengetahuan, misalnya glasier, air terjun; 5) fungsi perlindungan hidrologi untuk pengaturan air, erosi, dan kesuburan tanah; 6) fasilitas untuk rekreasi alam, misalnya danau, pantai, pemandangan pegunungan, satwa liar yang menarik, misalnya danau, pantai, sungai, pegunungan; dan 7) tempat peninggalan budaya, misalnya candi, kuil, atau galian purbakala.

Pada tahun 1980, World Wild Fund for Nature (WWF) bekerja sama dengan International Union for the Conservation of Nature (IUCN) dan United Nations Environmental Programme (UNEP) menerbitkan dokumen Strategi Konservasi Dunia (BAPPENAS, 2003; MacKinnon et al, 1993). Dokumen yang sangat penting itu menekankan bahwa umat manusia, yang merupakan bagian dari


(42)

alam, mungkin sekali tidak mempunyai masa depan di planet bumi ini, kecuali bila alam dan sumber daya alaminya dilindungi dan dipelihara. Strategi Konservasi Dunia juga menekankan pentingnya pesan baru bahwa konservasi tidak bertentangan dengan pembangunan dimana konservasi mencakup baik perlindungan alam maupun penggunaan sumber daya alam secara rasional dan bijaksana. Karena itulah, Strategi Konservasi Dunia memberi tekanan pada tiga tujuan utama, yaitu :

1. Perlindungan proses-proses ekologi dan sistem-sistem penyangga kehidupan.

Kehidupan adalah merupakan suatu sistem yang terdiri dari proses berkait satu dengan yang lainnya dan saling mempengaruhi, yang apabila terputus akan mempengaruhi kehidupan. Agar manusia tidak dihadapkan pada perubahan yang tidak diduga yang akan mempengaruhi kemampuan pemanfaatan sumber daya alam, maka proses ekologis yang mengandung kehidupan itu perlu dijaga dan dilindungi. Perlindungan sistem penyangga kehidupan ini meliputi usaha-usaha dan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan perlindungan mata air, tebing, tepian sungai, danau dan jurang, pengelolaan akiran sungai; perlindungan terhadap gejala keunikan dan keindahan alam, dan lain-lain.

2. Pelestarian keanekaragaman hayati dan sumber-sumber plasma nutfah.

Sumber daya alam terdiri dari unsur-unsur hayati dan nonhayati (fisik dan nonfisik). Semua unsur ini saling terkait dan saling mempengaruhi. Punahnya salah satu unsur tidak dapat diganti dengan unsur lain. pengawetan jenis tumbuhan dan satwa dapat dilakukan secara in-situ

ataupun ex-situ.

3. Pemanfaatan sumber daya alam dan ekosistem secara lestari.

Pada hakekatnya merupakan usaha pengendalian/pembatasan dalam pemanfaatan sumber daya alam sehingga pemanfaatan tersebut dapat dilakukan secara terus-menerus pada masa mendatang.


(43)

2.1.3. Jenis-Jenis Kawasan Konservasi

Berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh IUCN-The World Conservation Union (MacKinnon et al.,1993), ada sepuluh jenis kawasan konservasi yang dikenal di dunia, yaitu :

1. Cagar Alam, bertujuan untuk melindungi alam dan menjaga proses alami dalam kondisi yang tidak terganggu dengan maksud untuk memperoleh contoh-contoh ekologis yang mewakili lingkungan alami, yang dapat dimanfaatkan bagi keprluan studi ilmiah, pemantauan lingkungan, pendidikan, dan pemeliharaan sumberdaya plasma nutfah dalam suatu keadaan dinamis dan berevolusi;

2. Taman Nasional, bertujuan untuk melindungi kawasan alami dan berpemandangan indah yang terpenting secara nasional atau internasional serta memiliki nilai bagi pemanfaatan ilmiah, pendidikan, dan rekreasi; 3. Monumen Alam/Landmark Alam, bertujuan untuk melindungi cirri-ciri alami

yang bernilai secara nasional karena menarik perhatian atau mempunyai karakteristik yang unik;

4. Suaka Margasatwa, bertujuan untuk menjamin kondisi alami yang perlu bagi spesies, kumpulan spesies, komunitas hayati, atau cirri-ciri lingkungan fisik yang penting secara nasional, mungkin diperlukan campur tangan manusia yang spesifik untuk menjaga kelestariannya;

5. Bentang Alam, bertujuan untuk melindungi dan menjaga bentang alam yang penting secara nasional, yang memiliki karakteristik interaksi yang serasi antara manusia dan lingkungannya;

6. Cagar Sumberdaya, bertujuan untuk melindungi sumberdaya alam kawasan tersebut bagi penggunaan di masa depan dan mencagah kegiatan pembangunan yang dapat mempengaruhi sumberdaya;

7. Cagar Budaya, bertujuan untuk memungkinkan berlangsungnya cara hidup masyarakat yang serasi dengan lingkungannya;

8. Kawasan Pengelolaan Sumberdaya Ganda, bertujuan untuk menyediakan produksi air, kayu, satwa, padang penggembalaan dan obyek wisata secara berkelanjutan, dengan pelestarian alam terutama ditujukan untuk mendukung kegiatan ekonomi;


(44)

9. Cagar Biosfir, bertujuan untuk melestarikan keanekaragaman dan keutuhan komunitas tumbuhan dan satwa dalam ekosistem alaminya bagi penggunaan masa sekarang dan masa depan, dan untuk menjaga keanekaragaman plasma nutfah dari spesies yang merupakan bahan baku bagi evolusinya; dan

10. Taman Warisan Dunia, bertujuan untuk melindungi bentang alam yang dianggap memiliki nilai universal yang menonjol dan merupakan daftar pilihan dari kawasan alami dan budaya yang unik di bumi.

Di Indonesia, jenis-jenis kawasan konservasi disebutkan dalam UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yaitu:

1. Kawasan suaka alam yang memegang peranan penting dalam perlindungan sistem penyangga kehidupan selain berfungsi sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, terdiri atas : 1). Cagar Alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami; dan 2) Suaka Margasatwa merupakan kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan/atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya. Fungsi pokok suaka margasatwa adalah sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan, satwa beserta ekosistemnya dan sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan. Di dalam suaka margasatwa dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, wisata dan kegiatan lainnya yang menunjang budidaya.

2. Kawasan pelestarian alam yang terdiri atas : 1) Taman nasional, yaitu kawasan yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang digunakan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman nasional ditata dalam tiga zona, yaitu zona inti, zoba rimba, dan zona pemanfaatan. Zona inti dilindungi secara mutlak dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia. Zona rimba berfungsi sebagai penyangga zona inti dan zona pemanfaatan merupakan


(45)

bagian kawasan yang dapat dijadikan pusat rekreasi dan kunjungan wisata; 2).

Taman Wisata Alam adalah kawasan yang tujuan utamanya untuk dimanfaatkan bagi kepentingan pariwisata dan rekreasi alam; dan 3) Taman Hutan Raya

(Tahura) adalah kawasan untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli atau bukan asli (eksotik) yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi.

Setiap kategori kawasan konservasi memiliki fungsi, karakteristik, dan manajemen yang berbeda karena memiliki tujuan penetapan dan pengelolaan yang berbeda. Akan tetapi semua kawasan konservasi mempunyai fungsi pokok yang sama yaitu :

1. sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan;

2. sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya;

3. untuk pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

2.1.4. Pemanfaatan Kawasan Konservasi

Untuk mengakomodir adanya sejumlah masyarakat di dalam dan sekitar hutan dan kawasan konservasi yang masih menggantungkan hidupnya pada hutan dan hasil hutan, pemerintah mengeluarkan beberapa bentuk kebijakan antara lain: 1. Pada kawasan hutan produksi, masyarakat lokal diperbolehkan memungut hasil hutan (kayu, rotan, dan hasil hutan lainnya) untuk kepentingan hidup sehari-hari.

2. Pada kawasan konservasi (Taman Nasional) disediakan zona pemanfaatan tradisional.

3. Adanya program HPH Bina Desa Hutan sebagai upaya meningkatkan kehidupan masyarakat sekitar hutan

Pemanfaatan kawasan konservasi diluar fungsinya tidak jarang menimbulkan berbagai tekanan terhadap keutuhan kawasan dan potensinya. Tidak ada kawasan konservasi yang terbebas dari kegiatan illegal, baik berupa penebangan liar, perburuan liar, perambahan hutan untuk peladangan dan pemukiman, eksplorasi dan eksploitasi bahan tambang, maupun konflik


(46)

penggunaan lahan dan penggunaan lainnya. Tekanan terhadap kawasan konservasi semakin diperparah karena pihak yang berwenang mengelola kawasan konservasi berjalan di tengah kompleksnya konflik kepentingan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dan juga antara pemerintah daerah dengan masyarakat. Masalah ekologis terjadi pula, terutama disebabkan kesalahpahaman dan ketidakpedulian terhadap ekologi didalam merencanakan alokasi dan pemanfaatan lahan. Konflik-konflik kepentingan antara pembangunan dan konservasi akhirnya menghasilkan kesan bahwa kawasan konservasi hanya merupakan kawasan sisa dari alokasi lahan kegiatan lain.

Dari sudut pandang keefektifan pengelolaannya, keberadaan kawasan konservasi di Indonesia masih belum dikelola secara optimal. IUCN (2003) dalam

Soekmadi (2003) telah menganalisis berbagai permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan kawasan konservasi, khususnya di negara berkembang dan menawarkan sebuah pergeseran paradigma yang mendasar, seperti yang dikemukakan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Perubahan paradigma pengelolaan kawasan konservasi

Topik Paradigma Lama Paradigma Baru

Tujuan 1.Hanya untuk tujuan konservasi 2.Dibangun utamanya hanya untuk

perlindungan hidupan liar yang istimewa 3.Dikelola khusus untuk pengunjung

wisatawan

4.Nilai utamanya sifat liar 5. About protection

1.Mencakup tujuan sosial dan ekonomi 2.Dikembangkan juga untuk alasan ilmiah,

ekonomi, dan budaya

3.Dikelola bersama masyarakat lokal 4.Mencalkup nilai budaya dari sifat liar yang

dilindungi

5. Also about restoration, rehabilitation, and social economic purposes

Pengelolaan Oleh pemerintah pusat Melibatkan para pihak yang berkepentingan Masyarakat

lokal

1.Perencanaan & pengelolaan ’memusuhi’ masyarakat

2.Pengelolaan tanpa memperdulikan opini pendapat masyarakat

1.Dikelola bersama untuk dan dikelola oleh masyarakat setempat

2.Dikelola dengan mengakomodasikan kepentingan masyarakat setempat Cakupan

pengelolaan

1.Dikembangkan secara terpisah 2.Dikelola seperti ’pulau biologi’

1.Direncanakan & dikembangkan sebagai bagian dat sistem nasional, regional, & internasional 2.Dikembangkan dalam bentuk ’jaringan’ (PAN

Protected Area Network) Persepsi 1.Dipandang utamanya sebagai asset

nasional (milik pemerintah) 2.Dipandang hanya untuk kepentingan

nasional

1.Dipandang sebagai asset public

2.Dipandang sebagai kepentingan internasional

Teknik pengelolaan

1.Pengelolaan dilakukan sebagai respon jangka pendek

2.Orientasi pengelolaan hanya difokuskan pada orientasi teknis

1.Pengelolaan diadaptasikan menurut perspekti jangka panjang

2.Orientasi pengelolaan juga mempertimbangkan aspek politik Pendanaan Dibayarkan hanya dari pajak (taxpayer)

oleh pemerintah

Dibiayai dari berbagai sumber keuangan yang memungkinkan

Kemampuan manajemen

Dikelola oleh ilmuan dan para ahli SDA 1.Dikelola oleh multi-skilled individuals 2.Dikembangkan dari kearifan lokal Sumber : IUCN, 2003 dalam Soekmadi, 2003


(47)

2.1.5. Peran Serta Masyarakat Terhadap Konservasi

Di beberapa kawasan konservasi, seperti pada TN Bukit Tigapuluh, TN Siberut, TN Kayan Mentarang, dan TN Lorentz, peran masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya alam, termasuk yang berada dalam kawasan taman nasional, masih sangat dominan. Masyarakat ini umumnya memiliki kaitan sejarah dan hubungan sosal-ekonomi-religius yang erat dengan kawasan-kawasan taman nasional tersebut. Hubungan ini sudah terbangun selama puluhan tahun, bahkan ratusan tahun, jauh sebelum adanya penetapan kawasan tersebut menjad taman nasional, sehingga taman nasional telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat ini. Analisis historis terhadap peran beberapa sistem pengetahuan lokal dalam berbagai bentuk praktek penggunaan lahan oleh masyarakat tradisional menunjukkan bahwa telah terdapat cukup bukti pentingnya mengadopsi dan mengintegrasikan sistem-sistem tersebut dalam upaya pengelolaan kawasan konservasi atau upaya-upaya yang dikembangkan dalam starategi nasional (Wiratno et al., 2004).

Paradigma konservasi nasional saat ini harus diusahakan berpihak pada masyarakat lokal melalui berbagai instrumen kebijakan yang berorientasi pada pembagian keuntungan serta pembagian hak dan tanggung jawab yang adil dalam pengelolaan kawasan maupun produk-produk konservasi. Konsekuensinya, strategi konservasi harus diarahkan kepada upaya-upaya yang berproses bukan top-down, tetapi lebih mengutamakan dialog, penyelarasan visi dan persepsi yang semuanya memerlukan dukungan berbagai disiplin ilmu sosial. Dengan demikian konservasi bukan lagi menjad monopoli kaum konservasonis, rimbawan, atau pencinta lingkungan saja, karena isu dan masalah dalam pengelolaan kawasan konservasi sangat kompleks dan melebar pada aspek-aspek sosial-budaya dan ekonomi, psikologi, sejarah, hukum dan politik, yang masing-masing kasusnya sangat bervariasi.

Pemberdayaan dan peran serta masyarakat terhadap pengelolaan kawasan konservasi telah telah diakomodir oleh pemerintah, seperti yang tercantum pada perundangan dan peraturan pemerintah, antara lain:


(48)

1. Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam pada Pasal 49 (pemberdayaan masyarakat) dan pasal 50 (peran serta masyarakat).

2. Peraturan Menteri Kehutanan No 56 Tahun 2006 Tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional pada Pasal 19 (peran serta masyarakat)

3. Peraturan Menteri Kehutanan No P.19/Menhut-II/2004 Tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam pada Pasal 4 (Pelaksanaan kolaborasi pengelolaan).

4. Undang-Undang No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan pada Pasal 34, pasal 37 (pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan), pasal 47, pasal 48 (perlindungan hutan dan konserasi alam), pasal 60, pasal 62, pasal 64 (pengawasan), pasal 67 (masyarakat hukum adat), pasal 68, pasal 69, pasal 70 (peran serta masyarakat), pasal 71, pasal 72 (gugatan perwakilan). 5. Undang-Undang No 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi sumber Daya Alam

Hayati dan Ekosistemnya pada Pasal 37 (Peran serta masyarakat).

2.1.6. Peranan dan Manfaat Taman Nasional

Taman nasional pada setiap negara memegang peranan yang berbeda, tergantung pada keadaan dan perkembangan sosoial ekonomi negara yang bersangkutan serta tergantung pada kekayaan sumber daya alam yang dimilikinya. Di beberapa negara, pengelolaan taman nasional ditujukan langsung pada perlindungan dan pelestarian satwa dan habitatnya, dimana dengan satwa indah yang dapat berkembang biak menarik sejumlah wisatawan asing sehingga mendatangkan devisa bagi Negara. Negara-negara Afrika Timur (misalnya Kenya dan Tanzania) merupakan Negara yang kaya akan berbagai jenis satwa dengan padang rumputnya, sehingga peranan taman nasional di daerah itu diarahkan pada pemanfaatan satwanya. Negara lain menempatkan kegiatan pengelolaannya pada pelestarian dan perlindungan pemandangan alami yang indah dan menakjubkan dengan keunikan formasi geologi dan geomorfologinya, sehingga memberikan kesempatan kepada pengunjung untuk menikmati kehidupan spiritual dan menyaksikan kedasyatan alam sebagai warisan nasional negara itu. Amerika serikat mempunyai banyak taman nasional yang dikelola dengan tujuan demikian. Ada Negara yang karena kekurangan tempat-tempat berpemandangan indah dan


(1)

No Nama Lokal Nama Ilmiah

SM HL HPT Status

INP (%)

INP (%)

INP

(%) CTES StP E

47 Heade/kayu hitam Diospyros celebica + - -

48 Huabanga +

49 Huhito/kayubugis Koordersiodenron pinnatum Merr + +

50 Hulupahu +

51 Humua +

52 Hulu +

53 Hutia +

54 Hutonga + +

55 I'ito + +

56 Inengo Phoebe sp. + + + - -

57 Jambu Eugenia sp. + - -

58 Jati Tectona grandis + + - -

59 Jati Hutan Palaquium obovatum EngL

Varoriantale H.J.L +

- -

60 Kana + - -

61 Kayu Besi Mitroxideros vera Roxb + - -

62 Kayu bugis Koordesiodendron pinnatum +

63 Kayu bunga Madhuca phillippinensis Merr + + - -

64 Kayu Cina Podorcarpus nerifolius D. Don + + - -

65 Kayu Inggris +

66 Kayu Jambu Kjellbergiodendron celebicum + + + - -

67 Kayu Kelinci + +

68 Kayu Lawang + - -

69 Kayu Merah + - -

70 Kenanga Cananga odorata +

71 Kolokoa +

72 Kuma + - -

73 Purupu + - -

74 Labanu Neonauclea speciosa + + - -

75 Laluta Polyathia sp. + + +

76 Lamumu Madhuca betis + - -

77 Lamuta Maniltoa sp. + + + - -

78 Langsat Aglaia unifoliata +

79 Langsat hutan Aglaia sp. + + + - -

80 Landolo Eugenia sp. + + - -

81 Landolohuta Eugenia sp. +

82 Laoto + - -

83 Lebongo + - -

84 Leda Eucalyptus deglupta + - -

85 Lomuli + + - -

86 Longiti Legerstroemia speciosa + - +

87 Loto'o Heritiana littoralis Dryand + + - -

88 Loyo Dracontomelon mangiferum Bl. + + +

89 Lumulo + + +

90 Lungulo Heritiera litxolaris Dryand + - +

91 Luobuhulia/kudara + - +


(2)

No Nama Lokal Nama Ilmiah

SM HL HPT Status

INP (%)

INP (%)

INP

(%) CTES StP E

94 Makata Terminalia celebica + + + +

95 Molomelu +

96 Mantulangi + - -

97 Mata Putih Mallotus floribundus + + + - -

98

Matoa Hutan

/butongale + +

99 Mebongo +

100 Meme +

101 Meranti Shorea sp. + +

102 Malahengo Eugenia sp. +

103 Moleitihu Planchonella Oxyedra Dub + +

104 Molipohe +

105 Molipota Albizzia lebbeck Benth + +

106 Molokopi + + - -

107 Molondaluhu - -

108 Molondulingo - -

109 Molombiata + - -

110 Molomiama + - -

111 Molonggaile Radermachera sp. + + + - -

112 Molonggota Taxotrophis macrophilla + - -

113 Molopolapoi + - -

114 Molotembe + - -

115 Molotingo Spondias pinnata Kurz +

116 Molowahu + - -

117 Momali Homalium foetidum + - -

118 Mombingo Sindora kaledupa Frain + - -

119 Monggaile +

120 Moobi Xylopia sp. + + - -

121 Mumu + - -

122 Nahe + - -

123 Namu-namu Planchonia valida +

124 Nantu Palaquium obovatum EngL + + +

125 Nibong + + - -

126 Olobua + - -

127 Olohua +

128 Oloitoma Diospyros hebecarpa + +

129 Owoti + - -

130 Paalangi + - -

131 Pagoba Grewia sp. + - -

132 Pakis Haji Cycas sp. + - -

133 Palapi Kalappia celebica Kostern +

134 Palem + - -

135 Palem kipas Licualla flabelum + - -

136 Pandan Hutan Pandanus sp. + - +

137 Pangi Pangium edule Reinw + + - -

138 Patuhu Cycas rumphii +


(3)

No Nama Lokal Nama Ilmiah

SM HL HPT Status

INP (%)

INP (%)

INP

(%) CTES StP E

140 Pinang Arenga pinata + - +

141 Pinang Merah Arenga sp. + - +

142 Polapu + - -

143 Polobua +

144 Poluo + + +

145 Pongoli Ailantus + + - -

146 Pongopahu Diospyros malabarica +

147 Poobo Eugenia sp. +

148 Poobuhu +

149 Rao Dracontomelon dao +

150 Rambutan +

151 Rotan + +

152 Sarai Caryota mitis +

153 Seho = aren Arenga sp. +

154 Sempur Dillenia sp. +

155 Sengon Albizia falcataria +

156 Sirih Hutan Aristolochia s.p + + + - -

157 Sosoro = tahiputih Planchonela nitida + - -

158 Tagalolo + - -

159 Tahi Palaqium obtusifolium + + +

160 Talanggilala Alstonia scholaris N. Br + - -

161 Talipouta Terminalia belerica + - -

162 Tappalu Bishcoffia javanica Bl + + - -

163 Tapulotola + - -

164 Tayapu Trema orientalis + - -

165 Tilihua + - -

166 Timbuolo Manilkara celebica +

167 Tindibotu Eugenia polyantha +

168 Tindilo + + - -

169 Tinggalahe Rauwolfia amsoniifolia + - -

170 Toa = matoa + - -

171 Tohetutu +

172 Tohupo Artocarpus elasticus Reinw + + +

173 Tolitohia +

174 Tolotio Drypetes globosa Pax at Hoffm + + + - -

175 Tolotohia + - -

176 Tolutu Pterocymbium tinstorium Merr + +

177 Tombito + +

178 Tomboti + - -

179 Tombulilato Eucalyptus deglupta Bl. + - -

180 Tongale +

181 Tulawoto Vitex quinata F N Vill + + - -

182 Tuluponu Ficus minahasae Miq + +

183 Topalu + - -


(4)

No Nama Lokal Nama Ilmiah

SM HL HPT Status

INP (%)

INP (%)

INP

(%) CTES StP E

185 Uhito + + - -

186 Ulipohe + - -

187 Ulopulohu + - +

188 Umbalango + - -

189 Upo Elmerillia celebica Dandy + +

190 Utonga + + +

191 Walango + - +

192 Walongo Elmerillia ovalis + - +

193 Wambu Pale Glonchidion + - -

194 Woka Livistonia rotundifolia + - +

195 Wolato Vitex cofassus Reinw + +

197 Wondami Diospyros pilasanthera Blanco + + +

198 Wondipo + +

199 Wonggolo +

200 Wowoti +

202 Wubudu +

203 Wulu = cempaka Elmerrillia ovalis Dandy +

204 Wumbalango Baringstonia acutangolata Caenth +


(5)

Lampiran 4. Hasil Analisis Potensi Keanekaragaman Jenis Burung Pagi Hari

Sore Hari (Jam

06.00-17.30) di Sekitar Pos Jaga Adudu Suaka Margasatwa Nantu, Prop. Gorontalo

Nama Indonesia Nama Ilmiah Jumlah -pi.ln pi Status

IUCN StP E

Gagak Hitam Hutan Corvus enca 56 0.268 - - -

Layang Api Hirundo rustica 5 0.053 - - -

Kuntul Kerbau Bubulcus ibis 14 0.113 - + -

Kuntul Belang Egretta picata 3 0.035 - + -

Rangkong Rhyticeros cassidix 20 0.145 - + +

Bangau Sandang Lawe Ciconia episcopus 7 0.068 - + -

Belibis Kembang Dendrocygna arcuata 10 0.089 - - -

Pelatuk Sulawesi Mulleripicus fulvus 6 0.060 - - +

Perkutut Streptopelia chinensis 8 0.075 - - -

Kepudang Sungu Biru Coracina temminckiie 6 0.060 - - +

Elang Sulawesi Pernis celebensis 8 0.075 - - +

Tuwur Sulawesi Eudynamis melanorhinca 8 0.075 - - +

Srigunting Dicrurus hottentotus 28 0.180 - - -

Perkici Dora Trichoglassus ornatus 17 0.129 - + +

Anis Sulawesi Catanopera turtuides 3 0.035 - - +

Kekep Sulawesi Artamus monachus 20 0.145 - - +

Serindit Paruh Merah Loriculus exilis 2 0.025 NT + +

Raja Udang Merah Ceyx fallax 14 0.113 NT + +

Cabai Panggul Kelabu Dicaeum celebicum 9 0.082 - - +

Blibong Pendeta Streptocitta albicollis 20 0.145 - - +

Kepudang kuduk hitam Oriolus chinensis 15 0.119 - - -

Elang Bondol Haliastur indus 8 0.075 - - -

Delimukan Timur Calcophaps stephani 2 0.025 - - -

Betet Kelapa Tanygnathus sumatranus 6 0.060 - + +

Pergam Putih Ducula luctuosa 3 0.035 - - +

Walik Kembang Ptilinopus melanospila 2 0.025 - - -

Walik Raja Ptilinopus superbus 1 0.014 - - -

Merpati Hitam Sulawesi Turocoena manadensis 10 0.089 - - +

Pecuk Ular Asia Anhinga melanogaster 2 0.025

Dederuk Merah Streptopelia tranquebarica 1 0.014 - - +

Kipasan Sulawesi Rhipidura teysmanni 1 0.014 - - +

Decu Belang Saxicola caprata 7 0.068 - - -

Bubut Sulawesi Centropus celebensis 1 0.014 - - +

Uncal Ambon Macropygia amboinensis 2 0.025 - - -

Mandar Dengkur Aramidopsis plateni 2 0.025 VU + +

Raja Udang Erasia Alcedo atthis 1 0.014 - + +

Mandar Padi Zebra Gallirallus torquatus 5 0.053 - - -

Raja Perling Sulawesi Basilornis celebensis 2 0.025 - - +

Gagak Sulawesi Corvus typicus 5 0.053 - - +


(6)

Nama Indonesia Nama Ilmiah Jumlah -pi.ln pi IUCN Stp E

Pelanduk Sulawesi Trichastoma celebense 4 0.044 - - +

Kicuit Kerbau Motacilla flava 5 0.053 - - -

Layang - Layang Batu Hirundo tahitica 10 0.089 - - -

Madu Hitam Nectarinia aspasia 3 0.035 - + -

Kapasan Sulawesi Lalage leucopygialis 3 0.035 - - +

Kangkareng Sulawesi Penelopides exarhatus 2 0.025 - + +

Kepudang Sungu Belang Coracina bicolor 2 0.025 NT - +

Kapinis Jarum Ungu Hirundapus celebensis 5 0.053 - - +

Pergam Laut Ducula bicolor 10 0.089 - -

H’ 3.410

Keterangan: INP= indeks nilai penting, CITES= Konvensi International tentang Perlindungan Hidupan Liar, StP= Status Perlindungan (tanda “+” berdasarkan PP No 7 Tahun 1999), E: Endemik Sulawesi (tanda ”+”) Sumber : Dunggio, 2005