2.2.2.2 Zat Pengatur Tumbuh
Zat pengatur tumbuh pada tanaman adalah senyawa organik bukan hara, yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung, menghambat, dan dapat merubah
proses fisiologi tumbuhan. Tanaman memiliki kemampuan merubah zat pengatur tumbuh itu menjadi lebih aktif atau kurang aktif. Kemampuan metabolisme
tanaman itu sangat tergantung pada genetik tanaman Wattimena 1992. Wattimena 1988 membedakan enam kelompok zat pengatur tumbuh, yaitu
auksin, sitokinin, giberelin, asam abisik ABA, etilen dan retardan. Zat pengatur tumbuh yang banyak digunakan yaitu dari golongan auksin dan sitokinin.
Auksin berperan dalam pembelahan dan pembesaran sel yang terdapat di pucuk serta merangsang pembentukan akar. Selain itu auksin sangat dikenal
sebagai hormon yang mampu meinduksi terjadinya kalus, menghambat kerja sitokinin klorofil dalam kalus, menghambat morfogenesis kalus membentuk akar
atau tunas dan mendorong proses embriogenesis Santoso dan Nurshandi 2003. Golongan auksin seperti 2,4 D, dan NAA dapat menyebabkan pertumbuhan kalus
dari eksplan dan menghambat regenerasi pucuk Nasir 2002. Bentuk susunan kimia zat pengatur tumbuh dapat dilihat pada lampiran 1.
Sitokinin berperan dalam proses pembelahan sel, pembentangan sel, dan pembesaran sel. Selain itu sitokinin dapat mendorong proses morfogenesis,
pertunasan, pembentukan kloroplas, serta menghambat pembentukan akar. Golongan
sitokinin diantaranya
AdSO
4
adenin sulfat,
BAP 6-
benzylaminopurine, kinetin 6-furfurylaminopurine dan thidiazuron N-phenyl- N’-1,2,3-thiadiazol-5-penylurea Santoso dan Nursandi 2003.
AdSO
4
Adenin sulfat merupakan salah satu unsur hara yang terkandung dalam media Anderson dan dapat berfungsi sebagai sitokinin. Menurut Wetherell
1982 AdSO
4
termasuk ke dalam golongan sitokinin lemah. Berdasarkan penelitian Damayanti dkk 2007 pemberian AdSO
4
dengan konsentrasi 143 mgl dalam media ½ MS + 2,4-D 10 mgl + sukrosa 6 + myo inositol 50 mgl +
glutamine 400 mgl pada media kultur tanaman pepaya dapat menghasilkan persentase pembentukan kalus tertinggi, yaitu 100 kalus dan persentase kalus
embriogenik tertinggi yaitu 80.
BAP 6-benzylaminopurine merupakan sitokinin sintesis yang memiliki berat molekul sebesar 255,26 gmol dengan rumus molekul C
12
H
11
N
5
Santoso dan Nursandi 2003 berfungsi dalam mendorong pembelahan sel. Menurut
Bhojwani dan Razdan 1983 dalam Rohmah 2007 BAP merupakan sitokinin yang paling banyak digunakan dalam kultur jaringan karena paling efektif untuk
merangsang pembentukan tunas, lebih stabil, dan tahan terhadap oksidasi serta paling murah diantara jenis sitokinin lainnya.
Kinetin 6-furfurylaminopurine merupakan hormon golongan sitokinin yang pertama kali ditemukan Wetherell 1982 dan jenis sitokinin alami yang
dihasilkan pada jaringan yang tumbuh aktif terutama pada akar, embrio dan buah. Kinetin berfungsi untuk pengaturan pembelahan sel dan morfogenesis. Dalam
pertumbuhan jaringan, sitokinin bersama-sama dengan auksin memberikan pengaruh interaksi terhadap deferensiasi jaringan Sriyanti dan Wijayani 1994
dalam Nisa dan Rodinah 2005. Thidiazuron
N-phenyl- N’-1,2,3-thiadiazol-5-penylurea
merupakan sitokinin aktif yang biasa digunakan untuk tumbuhan berkayu dalam kutur
jaringan. Jenis sitokinin ini efektif dalam mikropropagasi untuk jenis tumbuhan kayu yang rekalsitran. Dengan konsentrasi yang rendah dapat menginduksi
dengan baik jika dibandingkan dengan sitokinin jenis lainnya. Selain itu thidiazuron dapat digunakan untuk kegiatan elongasi dan dapat menstimulasi
pembentukan kalus Huetteman and Preece 1993.
2.2.3. Pembentukan Plantlet Tanaman yang Lengkap