5.10. Pembahasan Hasil
Hasil analisis laboratorium tanah menunjukan sifat fisik tanah dengan fraksi pasir lebih dominan sebesar 44.2 Meskipun dengan berjalannya waktu,
lahan pasca tambang yang tidak direklamasi fraksi pasir lebih besar dibandingkan dengan fraksi debu dan liat. Analisis contoh tanah pada tahun ke sembilan fraksi
pasir justru menunjukan kenaikan berkisar antara 59 seperti pada Gambar 32 terdahulu.
Pengamatan di lapangan dan dengan data kelerengan pada tiap lokasi pasca tambang batubara yang tidak direklamasi dengan kemiringan rata-rata
45. Hal ini karena setelah aktifitas pengerukan, material yang menutupi mineral batubara dibiarkan menumpuk seperti bukit, sementara bagian yang
dikeruk dibiarkan menganga tidak ditimbun. Bentuk sebagian permukaan bumi seperti tersebut pada jarak pendek terdapat titik terendah dan tertinggi sehingga
relief topografi sangat ekstrim, dan tidak beraturan. Data curah hujan 1.500 mm tiap tahun serta frekwensi hari hujan yang
tinggi 97 hari tiap tahun, dan kenampakkan permukaan tanah dengan kemiringan yang terjal menjadi penyebab utama erosi yang berlanjut secara terus menerus.
Kondisi ini menyebabkan terkelupasnya lapisan per lapisan permukaan lahan pasca tambang yang tidak direklamasi, sehingga meskipun dengan berjalannya
waktu justru fraksi pasir masih tetap dominan. Analisis juga menunjukkan KTK Kapasitas Tukar Kation sebesar 12.11 me 100 gr, suatu nilai yang sangat kecil.
Hal ini karena dengan besarnya fraksi pasir kasar yang sangat dominan maka daya mengikat didalam struktur tanah sangat rendah. Kondisi lahan seperti itu akan
sulit menyimpan air tanah dan keterseediaan unsur hara sangat terganggu. Meningkatnya kadar Al sebesar 3.85 me 100 gr diduga hasil reaksi antara
tailing yang masih banyak mengandung unsur logam dengan unsur kimia lainnya
didalam tanah. Hal ini menyebabkan pH tanah sangat masam dengan nilai sebesar 4.84. Reaksi tailing dengan unsur kimia lainnya didalam tanah, juga diduga yang
menjadikan meningkatnya kadar Fe dan Mn sebesar masing-masing 154.29 me 100gr dan 67.77 me100gr. Meningkatnya kedua unsur tersebut Fe dan Mn
dapat menjadi racun terhadap tanaman. Kondisi lahan seperti tersebut diatas yang menjadikan lahan pasca tambang yang tidak direklamasi sampai pada tahun ke 3
tiga tidak terdapat vegetasi, dan pada tahun ke 9 sembilan baru terdapat sejumlah vegetasi rerumputan yang dapat tumbuh. Hasil penelitian tersebut
membuktikan, lahan pasca tambang batubara yang tidak direklamasi sulit sebagai sarana tumbuhnya vegetasi.
Lahan pasca tambang yang tidak direklamasi tersebut diatas mempunyai karakteristik yang berbeda jika dibandingkan dengan lahan pasca tambang yang
telah direklamasi. Karakter yang sangat menonjol berbeda adalah sifat fisik dan sifat kimia tanah serta kenampakkan permukaan tanah. Pada lahan yang
direklamasi kenampakkan permukaan tanah landai, kemiringan berkisar antara 3 pada jarak rata-rata 150 m, sehingga butiran air hujan yang jatuh langsung
dapat meresap kedalam tanah. Pada lahan pasca tambang yang tidak direklamasi seperti di utarakan
diatas terdapat proses erosi yang berlangsung secara terus menerus.Proses erosi semacam ini dapat mengakibatkan degradasi tanah. Secara sistematis degradasi
tanah dampak dari penambangan batubara yang tidak mengindahkan kaidah- kaidah pembangunan berkelanjutan terjadi karena : 1. Perbuatan manusia yang
melakukan eksploitasi sumberdaya alam batubara dengan tidak mengindahkan kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan. Hasil perbuatannya menyebabkan
sebagian bentuk permukaan bumi mempunyai kemiringan yang terjal dan tidak beraturan. 2. Curah hujan dan frekwensi hari hujan yang tinggi 3. Tidak adanya
tumbuhan, sebagai penahan benturan air hujan yang jatuh, karena semua vegetasi dibabat habis sampai keakar-akarnya. Ketiga penyebab terjadinya degradasi tanah
tersebut yang dapat dikendalikan oleh manusia dengan : 1. Menciptakan bentuk permukaan tanah yang sesuai kaidah-kaidah konservasi. 2. Memilih jenis
tanaman yang dapat tumbuh serta dapat sebagai penahan, pengatur infiltrasi air yang masuk kedalam tanah sekaligus yang mempunyai nilai ekonomi tinggi.
Merangkai dua kegiatan tersebut dalam satu kesatuan, bagi pengusaha illegal
dan penambangan rakyat lainnya sangat berat, disamping harus punya keahlian khusus rehabilitasi lahan, biaya yang diperlukan juga sangat besar.
Sebagai gambaran hasil simulasi lahan pasca tambang yang direklamasi oleh PT.KPC dengan data dari divisi rehabilitasi lahan Tahun 2007, dengan spesifikasi
teknis yang ringan sesuai dengan kondisi lokasi yang tidak terlalu sulit,
membutuhkan dana sebesar US 9.000 ha atau Rp 81 juta ha dan waktu yang diperlukan cukup lama. Rehabilitasi lahan dengan ongkos sebesar itu merupakan
sesuatu hal yang tidak mungkin dilakukan pemerintah daerah saat ini, apalagi oleh pelaku penambang kategori illegal. Oleh karena itu model reklamasi lahan pasca
tambang batubara yang efisien dan efektip adalah suatu kebutuhan. Perencanaan modern menurut Rustiadi, et al. 2004 adalah dengan
melibatkan pemangku kepentingan dari level yang paling bawah untuk menentukan tujuan dengan kesepakatan bersama. Tahapan penelitian ini dimulai
dengan mengadopsi kemauan dan aspirasi stakeholders yang dituangkan dalam Need Assesment Stakeholders
melalui wawancara dan kuesioner. Hasil dari kebutuhan pelaku sistem, setelah melewati tahap tabulasi mendapatkan 25 dua
puluh lima faktor yang dibutuhkan masyarakat dari kondisi lahan pasca tambang batubara yang bermasalah. Menurut Danim 2000 diperlukan upaya-upaya untuk
merumuskan sasaran secara lebih operasional beserta nilai-nilai pendukung yang diperlukan untuk mencapai tujuan. Dalam kaitan 25 duapuluh lima faktor hasil
akusisi need assessment stakeholders, untuk menentukan skala prioritas diperlukan cara evaluasi dan analisis keterkaitan dan ketergantungan antar faktor
dengan menggunakan metode prospektif. Setelah melalui analisis prospektif dari 25 faktor tersebut, terdapat 12 faktor yang perlu mendapatkan perhatian agar
lahan pasca tambang dapat berfungsi sebagai lahan yang memenuhi harapan dari para stakeholders. Keduabelas faktor tersebut adalah : 1. Tingkat kerusakan
secara teristris, faktor ini ternyata sangat penting dan perlu dikaji secara mendalam agar dapat dipilih cara penanganan yang efektif dan efisien yang akan
dituangkan dalam disain rehabilitasi lahan. 2. Keberadaan batuan yang berpotensi menghasilkan zat-zat asam atau zat yang beracun, hal ini sangat perlu diketahui
untuk memilih strategi pengurukannnya, agar harapan lahan pasca tambang dapat digunakan untuk keperluan produksi pertanian atau perkebunan menjadi
kenyataan. 3. Perlu dilakukan disain sebagai pedoman kegiatan dan jadwal yang akan dilakukan terarah.4. Reklamasi dapat dilakukan dengan sistem padat karya.
5. Kestabilan, keamanan lahan jangka pendek dan jangka panjang secara teknis tidak mudah longsor. 6. Jenis tanaman tahunan dan tanaman pangan palawija.
7. Tersedianya aturan per-undangan dan juklak pelaksanaan rehabilitasi lahan
pasca tambang. 8. Teknologi pengurukan dan teknologi penanaman vegetasi. 9. Ketersediaan top soil dan sub soil. 10. Terwujudnya lahan pasca tambang yang
dapat untuk meningkatkan pendapatan secara ekonomi. 11. Terwujudnya fungsi hutan dan ekosistem alam. 12. Tersedianya Undang-Undang rehabilitasi lahan
pasca tambang. Ke 12 dua belas faktor tersebut adalah kemauan stakeholders yang
perlu di lakukan cross check terhadap lahan pasca tambang yang sedang diteliti. Lahan pasca tambang tersebut selain mempunyai permasalahan secara teknis juga
terdapat masalah non teknis dan berkembang menjadi permasalahan yang sangat komplek dan rumit di lapangan. Salah satu metode pemecahan permasalahan yang
komplek yang digunakan adalah dengan pendekatan sistem. MDS adalah salah satu tools yang digunakan untuk melakukan analisis kondisi lahan pasca tambang
batubara yang bermasalah tersebut existing condition. Bersama para pakar dan stakeholders
disusunlah 55 lima puluh lima atribut dalam 5 lima dimensi sebagai komponen penilaian dalam metode analisis menggunakan MDS.
Hasil analisis multi dimensional menggunakan MDS, di lahan pasca tambang yang tidak direklamasi menunjukan skala indeks keberlanjutan dengan
nilai 29.9. Analisis dimensi ekologi dan dimensi ekonomi menghasilkan nilai indeks keberlanjutan masing-masing sebesar 29.2 dan 18.8. Ketiga nilai hasil
analisis dengan MDS pada skala indek keberlanjutan, yang mempunyai derajat angka dari 0 sampai dengan 100 seperti pada Tabel 7 terdahulu termasuk pada
kategori buruk dan kurang berlanjut, artinya lahan pasca tambang tersebut menunjukan kondisi rusak berat dan tidak dapat dimanfaatkan secara ekonomi.
Ketiga dimensi tersebut cukup mewakili kondisi fisik lahan yang tidak dapat untuk mendukung kehidupan. Analisis MDS pada dimensi lainnya, yaitu, dimensi
sosial budaya, dimensi teknologi dan dimensi hukum dan kelembagaan, masing- masing mempunyai nilai sebesar 31.7, 43.5 dan 37.2, dengan nilai yang masih
kategori kurang berlanjut pada skala keberlanjutan tersebut, masih memungkinkan di gali untuk dapat menaikkan nilai indeks secara keseluruhan. Secara keseluruhan
hasil MDS tiap dimensi dengan analisis leverage, menghasilkan 17 tujuh belas atribut sesuai dengan kondisi lapangan.
Terdapat beberapa atribut hasil analisis leverage yang sangat bertolak belakang dengan keinginan hasil analisis yang berasal dari para stakeholders.
Sebagai contoh keinginan dari stakeholders adalah terwujudnya lahan pasca tambang yang dapat meningkatkan pendapatan secara ekonomi. Kenyataan di
lapangan setelah dilakukan analisis leverage pada dimensi ekologi dan dimensi ekonomi, terdapat tidak berfungsinya tanah untuk mendukung pertumbuhan
tanaman, dan terdapat kerusakan biofisik. Untuk dapat menselaraskan antara keinginan dan kondisi lapangan
digunakanlah metode analisis prospektif prospective analysis, yaitu suatu metode untuk mencari tingkat ketergantungan dan keterkaitan antar faktor dari
suatu permasalahan agar dapat ditemukan faktor yang paling berpengaruh dan saling ketergantungan dalam suatu masalah yang sedang diteliti. Hal ini untuk
memudahkan dalam perencanaan faktor yang perlu ditingkatkan kinerjanya. Hasil analisis prospektif gabungan antara need assessment stakeholders,
dan existing condition menggunakan MDS melalui analisis leverage, setelah melalui tahapan overlaping berdasarkan tujuan yang disepakati bersama, maka
terdapat 8 delapan faktor. Kedelapan faktor itu merupakan batasan sistem atau pembentuk sistem dari model yang akan di disain seperti terlihat pada Tabel 38
dengan nilai hasil leverage.
Tabel 38 Faktor pembentuk Sistem Dan Nilai Leverage
No Faktor-Faktor Pembentuk Sistem
Nilai
1 Pengetahuan terhadap Lingkungan
3.04 2
Tingkat Kerusakan Lingkungan 2.19
3 Kesadaran Masyarakat
2.80 4
Teknologi Pembuangan Zat-Zat Beracun 2.04
5 Tersedianya Disain Rehabilitasi Lahan
0.77 6
Teknologi Pengurukan 2.72
7 Peran LSM
3.18 8
Jenis tanaman tahunan dan tanaman pangan palawija
6.51
Disain model dibuat berdasarkan delapan faktor seperti di Tabel 38. Untuk memilih model mana yang paling optimal digunakan simulasi.Terdapat dua tahap
simulasi yang dilaksanakan. Keduanya simulasi tersebut menyangkut masalah kesiapan lahan secara teknis untuk pertumbuhan tanaman dan biaya yang
diperlukan serta simulasi yang digunakan untuk prediksi masa yang akan datang
dengan berbagai skenario penggunaan luas lahan dari kelompok tanaman yang telah ditetapkan. Simulasi tahap pertama, terdiri atas komponen submodel disain
rehabilitasi lahan dan komponen submodel masyarakat. Dua komponen tersebut merupakan satu kesatuan simulasi yang akan menghasilkan persyaratan teknis dari
susunan lapisan tanah agar vegetasi dapat tumbuh, dan biaya yang dibutuhkan dari aktifitas penyusunan horizon tanah tersebut aktifitas reklamasi lahan. Dalam
simulasi tahap pertama tersebut variabel di dalam komponen submodel disain rehabilitasi lahan dipresentasikan oleh tingkat kerusakan lingkungan, teknologi
pembuangan zat beracun, tersedianya disain rehabilitasi lahan, teknologi pengurukan, berturut-turut dengan nilai 2.19, 2.04, 0.77 dan 2.72 semuanya pada
posisi yang sangat rendah dan perlu dinaikkan. Keempat faktor tersebut yang paling dominan untuk menaikkan kinerja sistem adalah faktor disain rehabilitasi
lahan, karena dengan nilai 0.77 merupakan indikator bahwa faktor ini merupakan faktor kunci.
Pada komponen submodel masyarakat dalam batasan pembentuk sistem dipresentasikan oleh kesadaran masyarakat dan berperannya LSM yang masing-
masing dengan nilai leverage sebesar 2.8 dan 3.18 . Dalam simulasi tahap satu faktor ini berbanding langsung dengan nilai besaran jumlah biaya yang
dibutuhkan untuk melakukan reklamasi lahan. Makin besar kesadaran masyarakat, maka seperti diperlihatkan hasil simulasi tahap pertama, menunjukan makin
murah biaya reklamasi. Demikian sebaliknya, makin tidak peduli masyarakat terhadap aktifitas reklamasi atau rehabilitasi lahan makin tinggi biaya yang
dibutuhkan. Mengapa kondisi seperti ini dapat terjadi, karena hampir seluruh komponen tenaga kerja dilakukan oleh warga masyarakat dan atribut lainnya
seperti perlengkapan ringan ditanggung pembiayaannya oleh masyarakat. Oleh karena itu, untuk mendapatkan biaya yang murah seperti tujuan penelitian faktor
kesadaran masyarakat dan peran serta LSM untuk melakukan advokasi sadar lingkungan perlu ditingkatkan melalui berbagi event yang disponsori oleh
pemerintah daerah. Pada simulasi tahap pertama telah terjawab kerangka pikir penelitian yaitu
bagaimana melakukan recovery turunnya kualitas lingkungan yang disebabkan degradasi lahan dengan biaya yang sangat murah. Untuk menjawab kerangka pikir
bagaimana lahan pasca tambang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat, maka dilakukan simulasi tahap dua yang berbasis data simulasi tahap
satu dengan submodel agroforestri. Skenario penggunaan luas lahan berdasarkan kelompok tanaman yang
telah ditetapkan melalui analisis ekonomi dengan formula yang menghasilkan IRR, BCR, NPV positif. Beberapa skenario telah di simulasikan, pada penulisan
disertasi ini dipilih dua skenario. Pertama skanario a penggunaan lahan dengan komposisi : tanaman jambu mete 0.3 ha,mlinjo 0.2 ha, jagung dan kacang tanah
0.29 ha pisang dan nenas masing-masing 0.12 ha dan 0.09 ha. Hasil simulasi petani akan memperoleh pendapatkan sebesar Rp 2.332.383 tiap bulan per ha pada
tahun ke 15 dan akan naik mengikuti harga biji jambu mete dan emping mlinjo dipasaran. Pada skenario b tanaman tahunan jambu mete luas lahan yang
dialokasikan 0.6 ha dan tanaman mlinjo seluas 0.4 ha dalam satu ha. Pada skenario ini ada asumsi kedua tanaman pohon mlinjo dan jambu mete, sampai
dengan tahun ke tiga belum mulai rimbun, sehingga tanaman sela seperti jagung ditanam seluas 0.7 ha dan kacang tanah 0.3 Ha. Setelah tahun ke tiga, penggunaan
lahan untuk kedua jenis tanaman palawija tersebut sudah mulai dikurangi, jagung menjadi 0.4 ha dan kacang tanah yang semula 0.3 ha menjadi 0.2 ha. Pada tahun
kelima alokasi lahan menyempit lagi yaitu jagung menjadi 0.15 ha dan kacang tanah 0.14 ha. Hal ini karena kedua tanaman keras sudah mulai merimbun dan
beranjak besar, sedangkan tanaman sela lainnya seperti pisang 0.03 ha dan nenas 0.4 ha luasannya tetap.
Hasil skenario pengaturan penggunaan luas lahan ini, pada tahun pertama petani sudah dapat memungut keuntungan. Pada tahun ke lima belas yaitu pada
2021 total profit secara kumulatif sebesar Rp 352.180.451 atau terdapat keuntungan per tahun Rp 51.443.598. sama dengan Rp 4,286.966. per bulan untuk
setiap ha. Skenario b mengandung banyak resiko, antara lain matinya tanaman pohon yang tertutup daun-daun tanaman jagung, sehingga sinar matahari sulit
menembus tanaman pohon. Skenario dengan penggunaan lahan seperti pada skenario a paling aman dan apabila setiap petani atau kepala keluarga
mendapatkan tanah pasca tambang seluas 2 ha maka pendapatannya menjadi Rp 4.664.466. per bulan. Hasil simulasi tahap dua merupakan jawaban pemikiran
lahan pasca tambang dapat digunakan untuk mensejahterakan masyarakat dan lahan pasca tambang sudah memberikan manfaat secara ekonomi.
5.11. Arahan Kebijakan Lahan Pasca Tambang Batubara yang di Terlantarkan