pendapatan atau hanya akan menghasilkan pergeseran pendapatan diantara berbagai kelompok dalam masyarakat
Menurut Dunn 1994, ada empat cara untuk menilai seberapa jauh suatu kebijakan dapat memaksimalkan kesejahteraan sosial, yaitu:
1. Memaksimalkan kesejahteraan individu secara simultan,yangmenuntut agar peringkat preferensi transitif tunggal dikonstruksikan berdasarkan nilai semua
Individu. Berdasarkan Dalil Kemustahilan Arrow, hal ini tidak mungkin untuk dicapai.
2. Melindungi kesejahteraan Minimum, didasarkan pada kriteria Pareto yang menyatakan suatu keadaan sosial dikatakan lebih baik dari yang lainnya jika
paling tidak ada satu orang yang diuntungkan dan tidak ada satu orangpun yang dirugikan. Pareta optimum adalah suatu keadaan sosial di mana tidak
mungkin membuat satu orang diuntungkan better off tanpa membuat yang lain dirugikan worse off.
3. Memaksimalkan kesejahteraan bersih, didasarkan pada kritetia Kaldor-Hicks yang menyatakan bahwa suatu keadaan sosial lebih baik dari yang lainnya
jika terdapat perolehan bersih dalam efisiensi manfaat total dikurangi biaya total dan jika mereka yang memperoleh manfaat dapat mengganti mereka
yang kehilangan. 4. Memaksimalkan kesejahteraan redistributif, berusaha memaksimalkan
manfaat redistributif untuk kelompok-kelompok yang terpilih, seperti secara rasial tertekan, miskin atau sakit.
2.6. Status Kepemilikan Sumberdaya Air
Sebagai suatu sumberdaya milik bersama, Danau Maninjau dapat dimanfaatkan secara bebas oleh siapa saja atau bersifat bebas common good. Air
bisa diperoleh tanpa membayar sehingga mengarah pada sumberdaya milik bersama common property resource yang pemanfaatannya berdasarkan prinsip
first come first served. Karena bersifat terbuka dan menjadi milik umum, maka sumberdaya danau mudah sekali mengalami perubahan dalam kuantitas dan
kualitasnya sebagai akibat dari ketidak jelasan hak-hak atas pengelolaan dan pemanfaatannya.
Status kepemilikan sumberdaya akan menentukan apakah pengalokasian sumberdaya tersebut efisien atau tidak. Menurut Tietenberg 1992, status
kepemilikan sumberdaya untuk dapat menghasilkan pengalokasian yang efisien dalam mekanisme pasar harus memilki 4 ciri penting yaitu; 1 universality,
artinya suatu sumberdaya dimiliki secaraa pribadi dan hak-hak yang melekat dari kepemilikan tersebut dapat diungkapkan secara lengkap dan jelas, 2 exclusivity,
artinya semua manfaat dan biaya yang timbul dari kepemilikan dan pemanfaatan sumberdaya tersebut, baik secara langsung maupun tidak, hanya dimiliki oleh
pemilik sumberdaya tersebut, 3 transferability, artinya seluruh hak kepemilikannya itu dapat dipindah tangankan dari satu pemilik ke pihak lain
melalui transaksi yang bebas, dan 4 enforceability, artinya hak kepemilikan tersebut tidak dapat dirammpas atau diambil alih oleh pihak lain secara paksa. Jika
salah satu dari keempat faktor ini tidak terpenuhi, maka pengalokasian sumberdaya tersebut akan menjadi tidak efisien.
Lebih lanjut Tietenberg 1994 menyatakan bahwa agar air permukaan merata maka ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu a keseimbangan antara
penggunaan-penggunaan yang saling bersaing, dan b variabilitas air yang seimbang dari waktu ke waktu dan dapat memenuhi kebutuhan manusia akan
sumberday air. Sumberdaya air harus dialokasikan dengan baik sehingga manfaat bersih marjinal Marginal net benefit adalah sama untuk semua penggunanya, di
mana manfaat bersih marjinal adalah jarak vertikal antara kurva permintaan terhadap air dengan kurva biaya marjinal dari ekstraksi dan distribusi air dari unit
terakhir air yang dikonsmsi. Dengan demikian wajar kalau pihak yang terlibat dalam pemanfaatan
sumberdaya milik bersama tidak memiliki kendali dan tanggung jawab yang jelas terhadap kualitas sumberdaya tersebut. Sumberdaya ini tidak dikuasai oleh
individu atau agen ekonomi tertentu, sehingga terhadap sumberdaya ini tidak dibatasi, yang pada gilirannya akan mendorong terjadinya pengeksploitasian yang
berlebihan yang dapat berdampak negatif terhadap kelanjutan lingkungan. Setiap orang cenderung untuk mengeksploitasi tanpa memperhitungkan kepentingan
orang lain. Hal ini didasarkan pada suatu persepsi, bahwa orang lain yang punya kesempatan untuk mengeksploitasi sumberdaya tersebut juga akan bertindak
demikian. Maka terjadilah tragedi massal atau the tragedy of the commons Hardin, 1977. Hardin mengilustrasikan dengan sebuah kasus pada padang
penggembalaan umum. Tiap peternak akan menggembalakan ternaknya dalam jumlah yang sesuai dengan kemampuannya, tanpa mempertimbangkan
ketersediaan rumput bagi peternak lainnya sehingga timbul penggembalaan secara berlebihan.
Bila dikaitkan dengan sumberdaya danau, maka hal tersebut dapat juga terjadi dimana setiap nelayan akan menangkap ikan dengan berbagai cara dan
macam tanpa mempertimbangkan jumlah ketersediaan ikan dan kepentingan nelayan lain, sehingga pada suatu saat akan terjadi kelangkaan dan bahkan
kepunahan terhadap berbagai jenis ikan tertentu. Kondisi semacam ini disebut sebagai penangkapan ikan secara berlebihan atau overfishing.
Anwar 1999, mengemukakan bahwa sumberdaya air memiliki beberapa karakteristik khusus, yaitu a mobilitas air, di mana air bersifat cair mudah
mengalir, menguap dan meresap di berbagai media, sehingga sulit untuk melaksanakan penegasan hak atas sumberdaya tersebut secara eksklusif agar dapat
dipertukarkan dalam sistem ekonomi pasar; b sifat skala ekonomi yang melekat, di mana dalam penyimpanan, penyampaian dan distribusi air terjadi skala
ekonomi yang melekat pada komoditas air,sehingga menyebabkan penawaran air bersifat monopoli alami natural monopoly , c penawaran air berubah-ubah
menurut waktu, ruang dan kualitasnya, dimana dalam keadaan kekeringan dan banjir sumberdaya air ini hanya dapat ditangani oleh pementah untuk kepentingan
umum; d kapasitas dan daya asimilasi dari badan air, di mana zat cair mempunyai daya larut untuk mengasimilasikan berbagai zat padat pencemar
tertentu selama daya asimilasinya tidak terlampaui, sehingga mengarah kepada komoditas yang bersifat umum di mana setiap orang menganggapnya sebagai
keranjang sampah, e penggunaannya bisa dilakukan secara beruntun sequential use
, dimana ketika mengalir dari hulu ke hilir sampai ke laut, dan dengan beruntunnya penggunaan selama perjalanan alirannya akan merubah kuantitas dan
kualitasnya,sehingga menimbulkan
eksternalitas, f
penggunaan yang
serbaguna,dimana dengan kegunaannya yang banyak tersebut maka pihak individu swasta dapat memanfaatkannya dan sisanya menjadi barang umum
yang dapat menimbulkan eksternalitas, g berbobot besar dan memakai tempat,ditambah dengan biaya tinggi untuk mewujudkan hak kepemilikannya,
menjadikan sumberdaya air bersifat akses terbuka open access, h nilai kultural yang melekat pada sumberdaya air,sebagian besar masyarakat masih mempunyai
nilai-nilai yang menganggap air sebagai barang bebas anugerah Tuhan yang tidak patut dikomersialisasikan, sehingga menjadi kendala dalam alokasinya ke dalam
pasar. Tietenberg 1992 mengemukakan bahwa pengalokasian sumberdaya air
dikatakan efisien apabila telah memperhatikan dua hal pokok yaitu a keseimbangan antara penggunaan-penggunaan yang saling bersaing, dan b
variabilitas air yang seimbang dari waktu ke waktu dan dapat memenuhi kebutuhan manusia akan sumberdaya air. Dalam pengalokasian sumberdaya air,
manfaat bersih marjinal adalah sama untuk semua penggunaan, dengan manfaat bersih marjinal adalah jarak vertikal antara kurva permintaan terhadap air dengan
kurva biaya marjinal dari ekstraksi dan distribusi air dari unit terakhir yang dikonsumsi. Jika manfaat bersih marjinal tidak merata, sering terjadi kenaikan
manfaat bersih dengan adanya transfer air dari pemanfaatan yang memberikan manfaat bersih yang rendah ke penggunaa yang memberikan manfaat yang lebih
tinggi. Cara pemanfaatan dan pengembangan suatu SDAL sangat ditentukan oleh
peraturan perundangan baik formal maupun non formal yang mengatur tentang status kepemilikan dan hak pemanfaatannya. Undang-undang Dasar 1945 sebagai
dasar konstitusional Negara mengamanatkan bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat. McKean 1992 mengelompokkan pemilikan sumberdaya alam atas 6 bagian yaitu; a tanpa pemilik, b milik masyarakat tertentu, c
milik pemerintah yang tidak boleh dimasuki oleh orang sembarangan, d milik pemerintah yang boleh dimasuki oleh khalayak umum, e milik swasta
perusahaan, f milik pribadi. Berdasarkan pembagian di atas maka pola pemilikan dan penguasaan SDAL dapat dibagi atas 4 kelompok, yaitu;
a Tanpa pemilik adalah milik semua orang atau tidak jelas status kepemilikannya. Tidak ada seorangpun yang berhak untuk memanfaatkannya
sumberdaya tersebut demi kepentingan pribadi atau kelompoknya serta tidak bisa mempertahankannyaagar tidak digunakan orang lain.
b Milik masyarakat atau komunal adalah milik sekelompok masyarakat yang telah melembagadengan norma-norma atau hukum adat yang mengatur
pemanfaatan SDAL dan dapat melarang pihak lain untuk mengeksploitasinya. c Milik pemerintah adalah milik dibawah kewenangan pemerintah sesuai
dengan peraturan perundangan yang berlaku. Individu atau kelompok orang dapat memanfaatkan SDAL tersebut atas izin, persetujuan, lisensi atau hak
pengelolaan dari pemerintah sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan. d Milik pribadiswasta adalah milik perorangan atau sekelompok orang secara
sah yang ditunjukkan oledh bukti-bukti kepemilikannya yang memiliki kekuatan hukum.Pemilik dijamin secara hukum dan sosial untuk menguasai
dan memanfaatkannya
dan dapat
melarang pihak
lain untuk
menggunakannya. Undang-undang Dasar 1945 sebagai dasar konstitusional Negara Repoblik
Indonesia telah mengamanatkan bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat. Kemakmuran rakyat tersebut haruslah dapat dimiliki oleh generasi masa kini dan generasi masa datang secara berkelanjutan. Sumberdaya alam bukanlah
merupakan warisan yang kita terima begitu saja dari nenek moyang kita, akan tetapi harus disadari bahwa sumberdaya alam tersebut merupakan titipan yang
harus dijaga dan dipelihara kelestariannya agar dapat dinikmati oleh anak cucu kita pada masa depan.
Undang-undang Dasar 1945 maupun Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup tidak merumuskan secara jelas
tentang status kepemilikan sumberdaya alam, melainkan hanya menggariskan masalah hak pemanfaatannya.
Untuk masalah SDAL di Provinsi Sumatera Barat, sebenarnya di dalam hukum adat Hukum adat Minangkabau, telah ada ketentuan-ketentuan yang
mengatur masalah status kepemilikan dan hak pemanfaatan sumberdaya alam. Dalam hukum adat minangkabau dikenal “ tanah ulayat” dengan hiraki; a hak
ulayat kaum , di bawah pengawasan mamak sebagai kepala waris; b hak ulayat
suku , yang berada di bawah pengawasan penghulu suku; c hak ulayat nagari, di
bawah pengawasan dewan penghulu nagari; d hak ulayat rajo, yang penguasaannya di bawah majelis penghulu dari federasi nagari-nagari Hakimy
1988. Ulayat mengandung arti bahwa masyarakat adat hanya boleh mengambil hasil dan menikmati hasil dari tanah yang dikuasai, hanya boleh menguasai saja,
tapi tidak memiliki. Hak yang paling tinggi atas tanah di minangkabau adalah “hak ulayat” dan
hak ulayat ini hanya bisa dimiliki bersama dan tidak boleh dimiliki perorangan. Oleh sebab itu yang mempunyai hak ulayat adalah nagari, persekutuan dari nagari,
kampuang, suku dan kaum. Prinsip yang dianut dalam hukum pertanahan mengenai hak ulayat, yaitu keterpisahan antara tanah dengan ulayat. Hak ulayat
dimiliki oleh masyarakat hukum adat, sedangkan anggota masyarakat, perorangan atau badan usaha lainnya hanya boleh memetik hasilnya.
2.7. Pendekatan dalam Penilaian Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan