5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Kondisi Masyarakat Kecamatan Blanakan
5.1.1 Karakteristik sosial budaya
Data karakteristik sosial budaya penduduk di lokasi penelitian diperoleh melalui wawancara dengan responden dan informan serta diperkuat melalui
pengamatan terhadap perilaku dan kegiatan sehari-hari yang mereka lakukan. Disamping itu, data diolah dari data sekunder berupa Profil Kecamatan dan Profil
Kabupaten. 1 Struktur sosial
Struktur sosial dalam komunitas menunjukkan bahwa status lelaki yang menikah adalah menjadi suami yang merangkap kepala keluarga, sedangkan
status perempuan yang menikah adalah istri. Status suami, sang kepala keluarga, mewajibkan lelaki untuk mencari nafkah guna membiayai keluarga, disamping itu
dia berhak atas kepatuhan istri. Sebaliknya, perempuan berstatus istri wajib mengurus rumahtangga dan berhak dinafkahi oleh suami. Pernyataan responden
bapak S dan ibu C sebagai berikut: “Suami kan cari uang buat keluarga, istri yang urus rumah
rumahtangga, jadi istri harus patuh pada suami. Urusan luar rumah biar suami saja.”
Meskipun demikian, pada umumnya istri bekerja untuk mencari nafkah guna menambah uang belanja. Menurut ibu M dan ibu C:
“Wajar, kalau istri juga kerja jika penghasilan suami sedikit. Itu penghasilan istri dapat menambah uang dapur uang belanja. Kalau
tidak begitu, keluarga bisa tidak makan. Hasil dari melaut tidak tentu.”
Dua pernyataan tersebut menunjukkan bahwa pembagian peran terkait dengan status suami-istri pada komunitas setempat tidak berlaku secara ketat. Dengan
kata lain, meskipun mencari nafkah adalah tugas utama suami, tetapi mereka tidak berkeberatan jika istri juga bekerja mencari nafkah.
Dalam kegiatan sehari-hari, lelaki bekerja di luar rumah, sedangkan perempuan mengurus rumah dan dapat bekerja di luar rumah. Di TPI dan di
pengolahan ikan banyak dijumpai perempuan yang bekerja. Dalam lingkungan keluarga, anak lelaki yang sudah lulus SD, usia di atas 13 tahun, banyak yang
membantu pekerjaan ayahnya, sedangkan anak perempuan yang berusia lulus SD
67 membantu ibu mengurus rumah, bahkan mulai bekerja di industri pengolahan
ikan. Pendapat yang serupa dari beberapa responden lelaki dan perempuan di lokasi penelitian tentang anak yang ikut bekerja sebagai berikut:
“Saya dulu juga begitu. Awalnya, saya membantu orangtua lelaki ikut melaut atau perempuan ikut mengolah ikan dulu, baru bekerja
sendiri. Anak saya pun begitu melakukan hal yang sama. Jadi mereka terbiasa bekerja.”
Dari sejak dini dan dalam lingkungan keluarga, orangtua sudah membiasakan anak mereka bekerja sesuai dengan jenis kelaminnya, yaitu anak perempuan
dididik oleh ibunya untuk melakukan pekerjaan domestik, sedangkan anak lelaki dididik oleh ayahnya untuk melakukan pekerjaan produktif nelayan. Anak
perempuan dari ibu yang bekerja di luar rumah juga dididik melakukan pekerjaan yang sama, misal mengolah ikan atau berjualan, tetapi anak lelaki tidak dilibatkan
dalam melakukan pekerjaan domestik seperti membersihkan rumah, mencuci piring, belanja. Hal ini menunjukkan bahwa adanya sosialisasi gender di
lingkungan keluarga dari usia dini dan berlangsung turun temurun sebagaimana diutarakan oleh beberapa responden di lokasi penelitian:
“Saya ajari anak saya seperti orangtua saya mengajar saya. Anak perempuan diajar oleh ibunya, anak lelaki diajar oleh bapaknya. Jadi
anak perempuan membantu ibunya mengurus rumah, sedangkan anak lelaki bekerja seperti bapaknya.”
2 Sosial budaya Penduduk yang tinggal dekat dengan daerah pesisir umumnya merupakan
pendatang yang sudah hidup turun-temurun bertempattinggal di lokasi tersebut. Daerah asal orangtua mereka antara lain dari pesisir pantai utara Pulau Jawa
seperti Indramayu, Cirebon, Brebes dan Tegal. Penyebab mereka berpindah dari tempat asal mereka ke pesisir Subang adalah mencari lokasi penangkapan ikan
yang lebih baik bagi mereka, karena pada umumnya matapencaharian utama mereka adalah sebagai nelayan, yang bersifat turun-temurun.
Bahasa sehari-hari yang digunakan oleh penduduk di lokasi penelitian adalah bahasa Jawa pesisir utara, bercampur bahasa Indonesia. Logat bicara
mereka masih mirip dengan logat Jawa pesisir utara. Dalam kehidupan sehari-hari adat istiadat yang masih digunakan umumnya adalah untuk keperluan pernikahan.
Adat istiadat perkawinan yang digunakan adalah adat Jawa Tengah pesisir, yang
68 meliputi pemakaian busana pengantin dan orangtua pengantin, penyelenggaraan
acara siraman dan midodareni yang merupakan acara adat yang dilaksanakan sehari sebelum acara pokok pernikahan, yaitu acara ijab kabul secara agama
Islam. Penduduk di lokasi penelitian mayoritas 99,97 menganut agama Islam
BPS dan Bapeda Subang 2005. Masyarakat di dua desa tersebut aktif menghadiri acara pengajian mingguan minggonan atau Majelis Taklim, baik
lelaki maupun perempuan. Pengajian perempuan banyak dilaksanakan di rumah, sedangkan pengajian lelaki banyak dilakukan di masjid. Hari besar Islam seperti
Maulid Nabi, Isra Mi’raj, Idul Fitri dan Idul ’Adha diperingati dengan meriah secara bersama-sama oleh kaum lelaki dan perempuan. Perayaan tersebut berupa
pengajian dan ceramah yang banyak dihadiri oleh penduduk setempat. Perayaan hari raya Idul Fitri lebih meriah daripada hari raya Idul ’Adha. Pada saat Idul Fitri
terjadi tradisi mudik atau pulang kampung yang umumnya hanya dilakukan oleh nelayan pendatang dan pekerja pendatang lainnya, sedangkan penduduk setempat
yang sudah hidup turun-temurun di desa tersebut merayakan hari raya di desa mereka.
Setiap hari Jum’at kegiatan nelayan lokal banyak yang berhenti atau libur melaut. Alasan libur adalah untuk beribadah sekaligus beristirahat. Waktu istirahat
seperti di tempat pelelangan ikan TPI dan pengolahan ikan dilakukan lebih lama pukul 11.00-14.00 dibanding hari lainnya pukul 12.00-13.00. Alasan
penetapan waktu istirahat yang lebih panjang tersebut adalah untuk memberikan waktu untuk beribadah yang lebih panjang sholat Jum’at kepada pelaku
perikanan. Tempat ibadah yang terdapat di lokasi penelitian terdiri dari 42 mesjid dan
121 musholla BPS dan Bapeda Subang 2005. Pada umumnya tempat ibadah tersebut mudah dijumpai dan mudah didatangi. Selain untuk keperluan ibadah,
masjid dan musholla juga dimanfaatkan untuk pendidikan agama. Menurut responden, mereka menyekolahkan anak usia SD ke TPA Tempat Pendidikan Al
Qur’an atau mengikutsertakannya pada pengajian di mesjid atau musholla. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk setempat memberi perhatian yang lebih
terhadap pendidikan agama anak mereka.
69 Dari hasil survei dan wawancara, diketahui bahwa perempuan memiliki
tingkat pendidikan formal terakhir yang lebih rendah dibanding lelaki. Hal tersebut tampak dari persentase pencapaian pendidikan terakhir responden Tabel
18 yang menunjukkan bahwa perempuan yang bersekolah hingga tingkat SD sebanyak 76,67 persen, sedangkan lelaki sebanyak 83,34 persen. Demikian halnya
dengan persentase responden yang tidak sekolah yaitu perempuan tidak sekolah sebanyak 16,67 persen sedangkan lelaki sebanyak 10 persen.
Tabel 18 Pendidikan terakhir responden menurut jenis kelamin di Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang tahun 2006
Pendidikan akhir Lelaki Perempuan
Jumlah jiwa Persentase
Jumlah jiwa Persentase
Tidak sekolah 3
10,00 5
16,67 Tidak lulus SD
16 53,34
15 50,00
Lulus SD 9
30,00 8
26,67 Tidak lulus SMP
0,00 2
6,67 Lulus SLTP
1 3,33
0,00 Tidak lulus SLTA
1 3,33
0,00 Total 30
100,00 30
100,00
Penyebab rendahnya pendidikan formal pada responden perempuan umumnya karena mereka tidak didorong untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang
yang lebih tinggi, disamping orangtua mereka tidak mempunyai cukup uang untuk menyekolahkan mereka, sehingga mereka cenderung untuk menikah dalam usia
muda. Sebaliknya, responden lelaki banyak yang memilih berhenti sekolah karena ingin bekerja. Menurut responden lelaki, bekerja seperti melaut akan
menghasilkan uang, sebaliknya sekolah harus mengeluarkan uang, dan mereka lebih memilih untuk bekerja.
Pada saat ini umumnya anak-anak dari keluarga nelayan bersekolah hingga lulus SD, tetapi tidak selalu melanjutkan sekolah ke tingkat SLTP. Jika ada anak
yang melanjutkan pendidikan ke tingkat SLTP, menurut informan belum tentu mereka lulus sekolah, karena pengaruh lingkungan di pesisir yang lebih menarik
minat mereka untuk bekerja dibanding bersekolah. Orangtuapun, umumnya, tidak mendorong anaknya belajar lebih lanjut, mereka menyerahkan pengambilan
keputusan untuk melanjutkan sekolah atau tidak kepada anaknya. Bahkan ada responden yang mengatakan bahwa sekolah tinggi-tinggi sampai ke tingkat
perguruan tinggi hanya menghabiskan uang dan waktu. Bahkan kalau sudah luluspun terkadang sulit mencari kerja atau menganggur
70 Diantara responden ada yang menyekolahkan anak ke jenjang pendidikan
yang lebih tinggi SLTP ke atas. Mereka menyekolahkan anak ke luar wilayah kecamatan, meskipun di Kecamatan Blanakan sudah ada sekolah menengah
pertama SMP dan sekolah menengah atas SMA lihat Tabel 19. Alasan mereka adalah karena lingkungan di wilayah pesisir cenderung lebih
mengutamakan bekerja akan menghambat minat anak untuk bersekolah ke jenjang lebih tinggi.
Tabel 19 Sekolah di Kecamatan Blanakan Kabupaten Subang tahun 2005
Sekolah Jumlah Taman kanak-kanak
1 SDsederajat 29
SLTPsederajat 2 SLTAsederajat 1
Sumber: BPS Subang 2006 Sarana komunikasi yang umum tersedia di lokasi penelitian adalah televisi
dan radio serta telepon. Secara rinci, jumlah televisi sebanyak 7.916 buah, jumlah radio sebanyak 10.163 buah dan telpon sebanyak 238 buah BPS dan Bapeda
Subang 2005. Menurut responden, mereka menonton televisi pada saat santai. Acara televisi yang diminati oleh perempuan adalah yang bersifat hiburan seperti
sinetron, Hal ini diungkapkan oleh beberapa perempuan nelayan di lokasi penelitian sebagai berikut:
“Saya nonton TV saat menganggur, biasanya pagi hari setelah selesai mengurus rumah dan belanja, sambil menunggu suami pulang dari
melaut. Biasanya nonton lagi setelah makan malam. Kalau siang, nonton acara Buser, Patroli. Kalau malam, nonton sinetron.”
Acara yang diminati oleh lelaki adalah acara berita dan olahraga khususnya sepakbola. Kadangkala nelayan dan istri nelayan menonton TV sambil
memperbaiki jaring. Hal ini diutarakan oleh beberapa nelayan di lokasi penelitian sebagai berikut:
“Saya nonton TV setelah makan malam atau setelah maghrib. Kadang-kadang nonton sambil memperbaiki jaring. Acara yang
ditonton biasanya berita, kalau ada bola pertandingan sepakbola pasti nonton.”
Radio sebagai sumber infomasi juga dimiliki oleh penduduk setempat dan nelayan yang tinggal di perahu. Menurut responden, hiburan bagi nelayan saat
melaut adalah radio dan tape recorder, oleh karena itu umumnya di perahu nelayan tersedia radio-tape recorder. Umumnya acara radio yang didengar
71 responden adalah acara hiburan dan berita. Hal ini diungkapkan oleh beberapa
nelayan sebagai berikut: “Sambil menunggu jaring diangkat lagi setelah ditebar, saya tidur-
tiduran atau mendengar lagu-lagu dari radio atau tape juga kadang berita dari radio.”
Prasarana telepon terbagi menjadi dua yaitu telepon publik dan telepon pribadi. Telepon publik yang tersedia berupa telepon umum dan warung telepon
Wartel, sedangkan yang tergolong telepon pribadi berupa telepon rumah jaringan Telkom maupun telepon seluler handphone. Jaringan telepon seluler
yang terjangkau di lokasi penelitian adalah jaringan Telkomsel dan Indosat. Banyak aparat desa, pengurus KUD, pedagang ikan, pengolah ikan dan nelayan
yang sudah memiliki telepon seluler dan dimanfaatkan untuk keperluan perdagangan ikan, seperti memantau harga terakhir dan keperluan pemesanan
komoditas ikan. Bakul ikan bapak J mengungkapkan sebagai berikut: “HP handphone atau telpon seluler sangat berguna untuk mengecek
harga-harga ikan di pedagang besar. Jadi bisa mengurangi kerugian.” Sumber informasi lain, seperti suratkabar dan majalah jarang dijumpai di
lokasi penelitian. Selama penelitian dilakukan, di rumah-rumah responden jarang dijumpai suratkabar baru yang sengaja dibeli untuk dibaca. Pada umumnya
mereka membeli atau mencari suratkabar bekas untuk penggunaan keperluan produksi yaitu peng-es-an atau pengepakan ikan.
5.1.2 Kegiatan ekonomi di bidang perikanan laut