37 Pati selain memegang peranan penting sebagai sumber karbohidrat, juga
berperan sebagai sumber karbohidrat yang tidak dapat dicerna dan dapat dikatakan sebagai pati resisten resistant starch. Pati resisten merupakan pati
yang tidak dapat dicerna oleh enzim amilolitik dalam sistem pencernaan Bjorck, 1996. Dalam sistem pencernaan, pati resisten tidak dapat dicerna
oleh usus kecil, namun dilewatkan ke dalam usus besar dan difermentasi oleh bakteri mikroflora membentuk asam lemak rantai pendek yang baik untuk
kesehatan dan mencegah kanker usus. Asam lemak yang terbentuk akan diserap oleh darah dan dapat menurunkan kadar kolesterol dalam darah
www.healthyeatingclub.org.
C. AKTIVITAS ENZIM
Kondisi standar optimum α-amilase dan glukoamilase meliputi pH
optimal dan suhu optimal ditentukan berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Wibisono 2004 dan Akyuni 2004 yaitu untuk
α-amilase pada suhu 95
o
C dan pH 5,2 dan glukoamilase pada pH 4,5 dan suhu 60
o
C. Hal ini dilakukan karena jenis
α-amilase dan glukoamilase yang digunakan berasal dari sumber yang sama, dan kemungkinan kondisi optimal dari enzim tersebut
tidak akan terlalu jauh berbeda. Menurut Kulp 1975, aktivitas α-amilase
terjadi pada keadaan asam, yaitu pada pH antara 4,5 sampai 7,0, tetapi bentuk kurva aktivitas dan pH optimum berbeda tergantung sumber enzimnya.
Penentuan aktivitas α-amilase dilakukan dengan mengukur hasil
degradasi pati, biasanya dari kadar pati yang larut atau kadar dekstrinnya dengan menggunakan substrat jenuh Suhartono, 1989. Substrat yang
digunakan dalam penentuan aktivitas enzim adalah soluble starch 2. Substrat sebelum digunakan digelatinisasi terlebih dahulu agar enzim dapat
langsung menghidrolisis substrat. Dari hasil penghitungan aktivitas
α-amilase Bacillus licheniformis diperoleh aktivitas enzim sebesar 1377,4152 Uml
enzim. Data hasil penghitungan dapat dilihat pada Lampiran 4. Substrat yang digunakan untuk pengukuran aktivitas glukoamilase yaitu
larutan soluble starch 2 yang telah tergelatinisasi. Dari hasil penghitungan aktivitas glukoamilase Aspergillus niger diperoleh aktivitasnya sebesar 145
Uml enzim.
D. PRODUKSI SIRUP GLUKOSA 1.
Hidrolisis Enzim
Pada penelitian ini kondisi α-amilase ditentukan berdasarkan
penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Wibisono 2004 yaitu pada pH 5,2 suhu 95
o
C. Pati dengan konsentrasi 30 disuspensikan dalam larutan
38 CaCO
3
200 ppm. Menurut Hebeda 1993, kalsium diperlukan dalam proses likuifikasi sebagai kofaktor
α-amilase dan konsentrasi kalsium yang umumnya ditambahkan untuk
α-amilase yang berasal dari Bacillus licheniformis
yaitu sekitar 100 – 200 ppm. Proses likuifikasi pati sagu oleh
α-amilase membutuhkan agitasi yang cukup tinggi untuk menghomogenkan larutan dan mempermudah enzim
berpenetrasi ke dalam granula pati sehingga lebih mudah untuk mendegradasi pati. Produk yang dihasilkan dari proses likuifikasi yaitu
maltosa, maltotriosa, maltotetrosa dan dekstrin. Proses likuifikasi dilakukan selama 3 jam, waktu proses ini dipilih karena waktu yang paling efektif bagi
α-amilase untuk memecah pati menjadi oligosakarida dan campuran antara maltosa dan maltotriosa. Degradasi pati sagu diawali dengan penurunan
viskositas suspensi pati.
Pada tahap likuifikasi, DE yang dihasilkan berkisar antara 39,56- 48,29. Yang tertinggi adalah sagu2 dari Jawa Barat dan terendah adalah
sagu4 dari Irian Jaya. Sakarifikasi dilakukan pada suhu 60
o
C selama 72 jam. Waktu yang dipilih untuk sakarifikasi lebih lama bila dibandingkan dengan waktu
sakarifikasi pada penelitian yang dilakukan Akyuni 2004, hal ini karena ternyata dalam waktu 48 jam nilai DE tidak mencapai maksimal. Waktu
yang lebih lama untuk sakarifikasi diduga karena kadar serat pati cukup tinggi sehingga menjadi salah satu faktor penghambat kerja enzim.
Proses selanjutnya setelah sakarifikasi dilakukan proses purifikasi atau penjernihan. Pemurnian dapat juga dilakukan dengan resin penukar ion.
Penyaringan akan mengurangi senyawa-senyawa tidak larut, mengurangi komponen lemak, komponen anorganik seperti fosfat dan protein
Howling, 1979. Protein tidak larut dapat dikurangi dengan penyaringan tetapi tidak semuanya dapat dihilangkan. Pemberian karbon aktif dapat
menghilangkan sebagian warna prekusor, dan menyerap protein yang terlarut Norman, 1981. Gambar 10 menyajikan produk sirup glukosa hasil
hidrolisis enzimatis.
singkong jagung sagu1 sagu2 sagu3 sagu4 sagu5
Gambar 10. Sirup glukosa hidrolisis enzim
39 Karakteristik sirup glukosa yang dihasilkan disajikan pada Tabel 8.
Data analisis selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 5 dan Lampiran 6. Tabel 8. Karakteristik sirup glukosa dengan hidrolisis enzim
Pati Sagu Pati komersial
Analisis Sagu1 Sagu2 Sagu3 Sagu4 Sagu5 Singkong Jagung
DE - Likuifikasi
43,22 46,86
41,32 39,56
40,6 38,43
48,29 -
Sakarifikasi 95,58 96,54 93,14 94,21 94,55 94,28
98,59 DP
- Likuifikasi 2,31
2,61 2,42
2,53 2,46
2,15 2,07
- Sakarifikasi
1,05 1,04 1,07 1,06 1,06 1,06 1,01
Kadar bahan kering bk
56,10 56,96 52,09 39,46 51,32 37,36 36,73
Bobot sirup g 28,73
26,23 36,76
54,60 31,58
50,76 46,92
Rendemen 62,88 59,35 72,49 80,09 62,39 71,07
61,72 Kadar abu bk
0,15 0,27 0,15 0,08 0,27 0,26
0,12 pH
6,72 7,12 7,04 6,29 6,68 6,91 7,03
Kejernihan T - Sebelum purifikasi
46,49 57,44
60,34 11,08 52,69 59,22 66,43
- Setelah
purifikasi 66,56 70,16 71,51 66,93 71,18 85,89
98,50
Dari penampakan secara visual, urutan sirup glukosa dari yang paling jernih hingga paling gelap yaitu pati jagung - tapioka - sagu3 - sagu5 -
sagu2- sagu4- sagu1. Sirup glukosa dari pati jagung menghasilkan warna putih jernih, dan dari tapioka kuning jernih, sedangkan sirup glukosa dari
pati sagu berwarna kuning hingga kecoklatan. Sirup glukosa sagu1 dari Sulawesi Utara memiliki warna sirup yang kurang bagus, yaitu berwarna
gelap karena tingginya kandungan protein pada sagu1. Protein yang terdapat dalam pati akan bereaksi dengan gula pereduksi melalui reaksi Maillard
yang menyebabkan terjadinya pencoklatan non enzimatis.
Selain secara visual dapat dibedakan kejernihan sirup yang terbentuk, dari hasil analisa kejernihan diperoleh bahwa semakin tinggi nilai
transmisi maka larutan sirup semakin jernih. Perbedaan wilayah tumbuh menghasilkan sirup glukosa dengan warna yang berbeda-beda.
Hasil analisis ragam terhadap kejernihan sirup glukosa hidrolisis enzim sebelum purifikasi pada
α = 5 menunjukkan bahwa daerah asal pati berpengaruh sangat nyata, sedangkan daerah asal pati tidak berpengaruh
terhadap kejernihan sirup glukosa setelah purifikasi. Hasil analisis ini ditunjukkan pada Lampiran 10. Histogram data kejernihan sirup disajikan
pada Gambar 11.
40
20 40
60 80
100
T J
S1 S2
S3 S4
S5
Bahan Baku T
ra n
s mi
s i
sebelum purifikasi setelah purifikasi
Gambar 11. Kejernihan sirup glukosa hidrolisis enzim Nilai DE sirup glukosa pada pati sagu berkisar antara 93,14 - 96,54,
tertinggi pada sagu2 dari Jawa Barat. Histogram nilai DE sirup glukosa disajikan pada Gambar 12. Nilai ini masih lebih rendah dibandingkan
dengan DE sirup glukosa dari pati jagung. Pati jagung merupakan jenis pati yang secara luas digunakan pada pembuatan sirup glukosa. Hal-hal yang
diduga mempengaruhi nilai DE yang dihasilkan diantaranya adalah kadar pati, ukuran granula pati, dan kadar serat. Kadar pati pada pati jagung
tinggi serta ukuran granula patinya kecil sehingga pati lebih mudah terhidrolisis menjadi monomer dengan bobot molekul lebih rendah.
Kadar pati pada sagu juga tinggi, namun ukuran granula pati yang cukup besar menyulitkan proses hidrolisis, sehingga pati akan lebih lambat
terhidrolisis. Sagu mempunyai ukuran granula yang besar yaitu sekitar 20 – 60
μm sehingga sulit dihidrolisis oleh enzim α-amilase bila dibandingkan dengan tapioka dan pati jagung yang memiliki ukuran granula yang lebih
kecil yaitu 5 – 35 μm untuk tapioka dan 5 – 25 μm untuk pati jagung. Hal
ini sesuai dengan pernyataan Suhartono 1989, bahwa semakin besar ukuran molekul pati maka semakin lambat laju hidrolisis patinya. Kulp
1975, juga mengatakan kecepatan reaksi amiloglukosidase untuk menghidrolisis substrat tergantung dari ukuran molekul substrat dan struktur
substrat. Selain itu kadar serat yang tinggi menghambat kerja amiloglukosidase dalam memecah pati.
41
20 40
60 80
100
T J
S1 S2
S3 S4
S5
Bahan Baku DE
Luikuifikasi Sakarifikasi
Gambar 12. DE sirup glukosa hidrolisis enzim Nilai DP berkaitan dengan nilai DE, semakin tinggi DE yang
dihasilkan maka nilai DP akan semakin rendah. Pada saat tahap likuifikasi nilai DP berkisar antara 2,07 hingga 2,61. Dari nilai DP dapat diketahui
bahwa hidrolisis pati pada tahap likuifikasi menghasilkan campuran antara maltosa dan maltotriosa. Pemecahan pati oleh
α-amilase menyebabkan pati terputus-putus menjadi dekstrin yang diikuti dengan penurunan bobot
molekul pati, kemudian dekstrin akan terpotong-potong lagi menjadi campuran antara glukosa, maltosa,
α-limit dekstrin, maltotriosa dan ikatan lain. Pada tahap sakarifikasi dengan menggunakan amiloglukosidase,
dekstrin dan oligosakarida dihidrolisis menjadi glukosa. Nilai DP yang dihasilkan berkisar antara 1,01 hingga 1,09. Hal ini menunjukkan bahwa
sebagian besar pati telah terkonversi menjadi glukosa dan sedikit maltosa. Histogram nilai DP sirup glukosa dapat dilihat pada Gambar 13.
Hasil analisis ragam terhadap nilai DE dan DP sirup glukosa hidrolisis enzim pada
α = 5 menunjukkan bahwa daerah asal pati tidak berpengaruh nyata. Hasil analisis ini ditunjukkan pada Lampiran 7.
42
10 20
30 40
50 60
T J
S1 S2
S3 S4
S5
Bahan Baku K
a dar
B a
han K
e ri
ng
1 2
3
T J
S1 S2
S3 S4
S5
Bahan Baku DP
Likuifikasi Sakarifikasi
Gambar 13. DP sirup glukosa hidrolisis enzim Analisis statistik terhadap kadar bahan kering pada Lampiran 7
menunjukkan bahwa daerah asal pati berpengaruh sangat nyata terhadap kadar bahan kering sirup glukosa hidrolisis enzim. Uji lanjut Duncan pada
Lampiran 8 menunjukkan kadar bahan kering sirup glukosa tertinggi sebesar 56,96 pada S2 yaitu pada pati sagu Jawa Barat, sedangkan nilai
rata-rata kadar bahan kering terendah sebesar 39,46 pada S4 yaitu pati sagu dari Irian Jaya. Histogram nilai kadar bahan kering sirup glukosa yang
diperoleh dari hasil penelitian ditunjukkan pada Gambar 14.
Gambar 14. Kadar bahan kering sirup glukosa hidrolisis enzim Kandungan abu sirup glukosa hidrolisis enzim cukup rendah, dan
memnuhi standar SNI 01-2978-1992. Abu dalam sirup glukosa dapat berasal dari bahan baku pati sagu yang diperoleh dari proses pengolahan
atau kandungan mineral dalam pati sagu itu sendiri, garam CaCO
3
dan garam NaCl reaksi antara HCl dan NaOH. Nilai kadar abu berkorelasi
43
1 2
3 4
5 6
7
T J
S1 S2
S3 S4
S5
Bahan Baku N
ila i p
H
dengan kadar abu bahan baku, karena jumlah bahan kimia dan bahan tambahan yang ditambahkan berada pada jumlah yang sama.
Rendemen sirup glukosa yang dihasilkan berkisar antara 59,35 - 80,09. Rendemen yang tinggi dapat diperoleh bila pembentukan
oligosakarida berbobot molekul rendah dan glukosa lebih banyak. Nilai rendemen dipengaruhi oleh jumlah produk yang terbentuk, kadar bahan
kering sirup dan bobot sirup akhir. Bobot sirup akhir yang diperoleh berbeda-beda, meskipun rangkaian proses produksi sirup glukosa untuk
semua sampel sama, hal ini diduga dipengaruhi oleh proses penjernihan yang dilakukan pada tahap akhir. Selama proses penjernihan, suhu tidak
stabil pada suhu 80
o
C, tetapi berada pada rentang antara 75 - 85
o
C, serta kecepatan putar stirrer juga tidak semuanya sama, sehingga banyaknya air
yang menguap selama proses penjernihan juga berbeda. Nilai pH sirup glukosa dari pati sagu dan pati pembanding mendekati
netral dan dapat dilihat pada Gambar 15. Berdasarkan analisis ragam pada α = 5 menunjukkan daerah asal pati berpengaruh sangat nyata terhadap
pH. Hasil analisis ini ditunjukkan pada Lampiran 7. Uji lanjut Duncan terhadap pH disajikan pada Lampiran 8.
Gambar 15. pH sirup glukosa hidrolisis enzim
2. Hidrolisis Asam
Pada pembuatan sirup glukosa dengan menggunakan katalis asam, pati dilarutkan dalam air dengan konsentrasi 30 kemudian diatur pH 2
44 dengan menggunakan asam klorida. Asam klorida akan memutus ikatan
karbon pada pati menjadi monomer-monomernya. Suhu proses yang digunakan adalah 121
o
C. Pada suhu yang tinggi proses hidrolisis akan lebih baik. Menurut Junk dan Pancoast 1980, jika
pati dihidrolisa dengan katalis asam akan terjadi pemutusan ikatan –C-O-C yang menghasilkan glukosa dan beberapa polimernya. Bila proses
diteruskan akan meningkatkan jumlah gula yang bobot molekulnya lebih rendah, kemudian polimer-polimer itu dihidrolisa sampai menjadi glukosa.
Hasil analisis karakteristik sirup glukosa hidrolisis asam pada Tabel 9. Setelah larutan pati diotoklaf selama satu jam selanjutnya diuji
dengan iod. Pada saat ditetesi iod, sirup berwarna kuning kecoklatan yang menunjukkan bahwa pati telah terkonversi menjadi molekul gula yang
lebih sederhana. Menurut Winarno 1986, pati yang berikatan dengan iod akan menghasilkan warna biru. Pati akan merefleksikan warna biru bila
berupa polimer glukosa yang lebih besar dari dua puluh, misalnya molekul- molekul amilosa. Bila polimernya kurang dari dua puluh seperti
amilopektin, maka dihasilkan warna merah, sedangkan dekstrin dengan polimer 6, 7, 8 memberikan warna coklat. Polimer yang lebih kecil dari
lima tidak memberikan warna dengan Iodin.
Tabel 9. Karakteristik sirup glukosa hasil hidrolisis pati oleh HCl
Pati Sagu Pati komersial
Analisis proksimat Sagu1 Sagu2 Sagu3 Sagu4 Sagu5 Singkong Jagung
DE 51,13 51,35 50,28 47,38 49,4
44,87 50,88
DP 1,96 1,95 1,99 2,11 2,03 2,23
1,97 Kadar bahan kering
bk 42,44 45,62 40,20 39,97 38,29 37,61
40,67 Bobot sirup g
29,79 37,11
31,30 38,00
32,44 34,67
42,78 Rendemen
48,97 55,04 47,47 55,74 56,87 52,93 58,24
Kadar abu bk 0,42
0,59 0,48
0,35 0,52
0,46 0,44
pH 6,19 6,51 6,88 6,51 6,11 6,57
6,77 Kejernihan T
- Sebelum purifikasi 7,80
8,13 17,78 5,38 20,80 28,09 32,98
- Setelah purifikasi 49,67
60,47 64,53 50,80 63,53 87,67
95,50
45 Data hasil pengamatan sirup glukosa disajikan pada Lampiran 9 dan
Lampiran 10. Rendemen sirup glukosa dari pati sagu yang dihasilkan berkisar antara 47,47 – 56,87. Nilai ini lebih rendah dari rendemen
sirup glukosa dari pati jagung yaitu 58,24, namun rendemen sirup glukosa dari tapioka nilainya tidak jauh berbeda yaitu 52,93. Analisis
statistik menunjukkan bahwa perbedaan wilayah pertumbuhan sagu berpengaruh nyata terhadap rendemen sirup. Rendemen yang dihasilkan
sirup glukosa dipengaruhi oleh kadar bahan kering dan bobot sirup yang dihasilkan. Semakin tinggi bobot sirup dan kadar bahan kering maka
rendemen sirup pun akan semakin tinggi. Pada Gambar 16 disajikan sirup glukosa hidrolisis asam yang
dihasilkan dari berbagai pati sagu dengan pembanding adalah sirup komersial yang berasal dari tapioka dan pati jagung.
singkong jagung sagu1 sagu2 sagu3 sagu4 sagu5
Gambar 16. Sirup glukosa hidrolisis asam Kejernihan sirup glukosa yang dihasilkan dari pati sagu berwarna
kuning jernih hingga kecoklatan. Sebagian besar sirup glukosa yang berasal dari pati sagu berwarna kuning hingga coklat gelap. Urutan kejernihan
sirup dari yang paling jernih adalah pati jagung - tapioka - sagu3 - sagu5 - sagu2 - sagu4 - sagu1. Intensitas kejernihan yeng tertinggi secara visual
ditunjukkan pada sagu1 dari Sulawesi Utara dan sagu4 dari Irian Jaya. Kejernihan sirup glukosa dipengaruhi oleh kandungan komponen
bukan gula yang terdapat pada sirup glukosa, yaitu mineral, dekstrin dan bahan organik lainnya. Semakin banyak komponen bukan gula dalam sirup
maka akan semakin rendah nilai transmisi sirup.
46
20 40
60 80
100
T J
S1 S2
S3 S4
S5
Bahan Baku T
ra n
s mi
s i
sebelum purifikasi setelah purifikasi
Proses purifikasi atau pemurnian sirup dengan arang aktif memegang peranan penting dalam menghasilkan sirup glukosa yang berwarna jernih.
Arang aktif akan menyerap sebagian zat pengotor organik dalam sirup, pada umumnya sirup glukosa setelah proses penjernihan akan memiliki
warna yang lebih jernih. Menurut Norman 1981, pemberian arang aktif dapat menghilangkan sebagian warna prekursor dan menyerap protein
yang terlarut. Histogram nilai kejernihan sirup glukosa sebelum purifikasi yang diperoleh dari hasil penelitian ditunjukkan pada Gambar 17.
Gambar 17. Kejernihan sirup glukosa hidrolisis asam Pembuatan sirup glukosa melalui hidrolisis asam memerlukan suhu
yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pembuatan sirup glukosa secara enzimatis yaitu 121
o
C, sehingga terjadi proses karamelisasi pada sirup. Hal ini didukung oleh Meyer 1975, yaitu pada suhu tinggi pada larutan gula
dapat terjadi karamelisasi, yaitu perubahan yang terjadi pada senyawa hidrokarbonil seperti senyawa gula pereduksi dan gula asam yang
dipanaskan pada suhu tinggi, reaksi ini dapat terjadi tanpa adanya senyawa amino.
Menurut Sastrodipuro 1985, reaksi pencoklatan akan menghasilkan furfural atau hidroksi metil furfural sebagai senyawa antara. Polimerisasi
senyawa furfural menyebabkan warna sirup glukosa menjadi gelap. Hasil analisis keragaman terhadap kejernihan menunjukkan bahwa kejernihan
sirup glukosa sebelum dan sesudah purifikasi tidak berpengaruh nyata terhadap daerah asal pati.
47
20 40
60 80
100
T J
S1 S2
S3 S4
S5
Bahan Baku DE
Sirup glukosa dari pati sagu2 memiliki DE tertinggi yaitu 51,35 pada sagu2, sedangkan nilai DE terendah terdapat pada sirup glukosa dari sagu4
yaitu 47,38. Data hasil penghitungan nilai DE dan DP secara lengkap disajikan pada Lampiran 9. Hasil analisis keragaman menunjukkan daerah
asal pati berpengaruh terhadap nilai DE dan DP. Asam akan memecah pati secara acak, sehingga komponen gula
sederhana yang terbentuk juga tidak seragam antar pati sagu. Nilai DE sirup glukosa dari pati sagu hasil hidrolisis oleh HCl termasuk dalam tipe
II. Pati sagu2 memiliki kandungan pati yang lebih tinggi dibandingkan sagu lainnya, sehingga rantai polimer pati yang dipecah pun semakin banyak.
Menurut Palmer 1970, asam memecah pati secara acak, dan dalam prakteknya, konversi asam hanya dapat mencapai DE 55. Di atas nilai DE
55 akan terbentuk warna dan komponen yang rasanya pahit. Hasil analisis ragam terhadap nilai DE dan DP sirup glukosa
hidrolisis asam pada α = 5 menunjukkan bahwa daerah asal pati
berpengaruh nyata. Hasil analisis ini ditunjukkan pada Lampiran 11. Uji lanjut Duncan ditunjukkan pada Lampiran 12. Histogram nilai DE yang
diperoleh dari hasil penelitian ditunjukkan pada Gambar 18.
Gambar 18. Nilai DE sirup glukosa hidrolisis asam Nilai DP berkaitan dengan DE, semakin tinggi nilai DE maka nilai
DP akan semakin rendah, begitu juga sebaliknya. DP tertinggi sebesar 2,23 pada S4 yaitu pada sagu Irian Jaya, sedangkan rata-rata DP terendah
sebesar 1,95 pada S2 yaitu pada sagu Jawa Barat. Nilai DP yang
48
0,0 0,1
0,2 0,3
0,4 0,5
0,6
T J
S1 S2
S3 S4
S5
Bahan Baku K
a da
r A bu
1 2
3
T J
S1 S2
S3 S4
S5
Bahan Baku DP
ditunjukkan dihasilkan berkisar antara 1,95 hingga 2,23. Hal ini berarti sakarida yang terbentuk yaitu campuran antara glukosa DP=1, maltosa
DP=2 dan maltotriosa DP=3. Namun sebagian besar sakarida yang terbentuk adalah maltosa. Hal ini disebabkan karena ketidakteraturan asam
dalam memecah pati. Nilai DP sirup glukosa yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 19.
Gambar 19. Nilai DP sirup glukosa hidrolisis asam Kadar abu sirup glukosa hidrolisis asam dipengaruhi oleh kandungan
mineral pada bahan baku dan banyaknya garam NaCl yang ditambahkan selama proses produksi. Kadar abu sirup berkisar antara 0,35 - 0,59, nilai
kadar abu tertinggi yaitu pasa sagu2 dari Jawa Barat. Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa daerah asal pati tidak berpengaruh nyata
terhadap kadar abu sirup glukosa yang dihasilkan. Kandungan kadar abu sirup glukosa dipengaruhi oleh jumlah NaOH yang ditambahkan untuk
menetralkan asam. Nilai pH larutan setelah dihidrolisis tidak seragam sehingga jumlah NaOH yang ditambahkan juga berbeda-beda. Histogram
kadar abu sirup glukosa hidrolisis asam terdapat pada Gambar 20.
49
10 20
30 40
50
T J
S1 S2
S3 S4
S5
Bahan Baku K
a da
r B a
ha n K
e ri
ng
Gambar 20. Kadar abu sirup glukosa hidrolisis asam Bahan kering sirup glukosa meliputi semua komponen dalam sirup
kecuali air dan senyawa yang menguap. Komponen-komponen tersebut antara lain glukosa, maltosa dan oligosakarida lainnya, dekstrin serta
mineral dan bahan organik bukan gula. Histogram kadar bahan kering sirup disajikan pada Gambar 21. Sagu2 memiliki kadar bahan kering tertinggi,
hal ini berkaitan dengan banyaknya komponen gula sederhana dan oligosakarida yang terbentuk. Semakin tinggi tingkat konversi pati menjadi
glukosa maka kadar bahan kering sirup akan semakin meningkat. Setiap pemutusan ikatan glikosidik akan menarik molekul air dalam substrat. Air
bebas dalam substrat bukan komponen bahan kering sirup, namun setelah masuk dalam molekul sakarida pada waktu proses pemutusan ikatan, air ini
akan menjadi komponen bahan kering sirup. Oleh karena itu semakin banyak molekul sederhana gula pereduksi yang dihasilkan, maka kadar
bahan kering sirup juga akan semakin meningkat.
Gambar 21. Kadar bahan kering sirup glukosa hidrolisis asam Setelah proses purifikasi tidak dilakukan pemekatan terhadap sirup
glukosa sehingga nilai kadar bahan kering yang dihasilkan masih rendah. Dari hasil analisis keragaman, daerah asal pati tidak berpengaruh nyata
terhadap kadar bahan kering sirup glukosa hidrolisis asam. Nilai pH yang diperoleh sirup glukosa hidrolisis asam berkisar antara
6,11 - 6,88. Nilai pH tidak ada yang mencapai pH 7 untuk semua daerah asal pati sagu, bahkan untuk pati jagung dan tapioka juga tidak mencapai
50
1 2
3 4
5 6
7
1 2
3 4
5 6
7
Bahan Baku pH
pH 7. Hal ini berkaitan dengan proses netralisasi yang dilakukan pada saat pati selesai dihidrolisis oleh asam. Kemungkinan, ada sebagian kecil HCl
yang tidak bereaksi dengan NaOH membentuk garam. Histogram pH sirup glukosa disajikan pada Gambar 22. Dari analisis keragaman, daerah asal
pati sagu berpengaruh nyata terhadap nilai pH yang diperoleh.
Gambar 22. pH sirup glukosa hidrolisis asam
51
V . K E S I M P U L A N D A N S A R A N
A. KESIMPULAN
Pati sagu memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan sebagai bahan baku industri. Tanaman sagu tersebar luas di Indonesia, pati sagu yang
dihasilkan dari berbagai daerah di Indonesia diantaranya Jawa Barat, Riau, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara dan Papua memiliki karakteristik kimia
yang tidak jauh berbeda. Adanya perbedaan sebagian besar dipengaruhi oleh proses ekstraksi dan sistem pengolahan. Dari hasil analisa statistik terhadap
karakteristik bahan baku, daerah asal pati sagu berpengaruh nyata terhadap kadar air, kadar abu dan daya cerna pati, sedangkan terhadap sifat kimia
lainnya tidak berpengaruh nyata. Penentuan daya cerna pati sagu oleh amilase pankreatin menghasilkan
hidrolisat dengan nilai DE yang berkisar antara 24,99 – 38,59, atau nilai DP berkisar antara 2,59 – 4,00. Nilai ini tidak jauh berbeda dengan nilai DE dan
DP dari hidrolisat pati jagung dan tapioka. Pati sagu dapat dihidrolisis menjadi sirup glukosa melalui hidrolisis
oleh asam dan enzim. Sirup glukosa hidrolisis enzim memiliki nilai DE likuifikasi antara 39,56 - 46,86 dan tahap sakarifikasi antara 93,14 – 96,54,
tertinggi pada sagu2 dari Jawa Barat dan DP antara 1,04 – 1,07. Sirup glukosa ini tergolong pada sirup glukosa tipe IV DE 73. Rendemen sirup 59,35 -
80,09, kadar bahan kering 39,46 - 56,96, kadar abu 0,080 - 0,154, pH 6,29 - 7,12, kejernihan sirup sebelum purifikasi 11,078 - 60,344T dan
kejernihan setelah purifikasi 66,56 – 71,18T. Karakteristik sirup glukosa hidrolisis enzim dari pati sagu tidak jauh berbeda dengan sirup glukosa dari
pati pembanding, kecuali untuk nilai kejernihan sirup. Hidrolisis pati sagu dari beberapa wilayah di Indonesia oleh asam
menghasilkan hidrolisat dengan DE antara 47,38– 51,35, tertinggi pada sagu2 dari Jawa Barat dan DP antara 1,95 – 2,11. Sirup glukosa yang dihasilkan
tergolong pada sirup glukosa tipe II DE 38 – 58. Rendemen sirup 47,47 -
52 56,87, kadar bahan kering 38,29 - 45,62, kadar abu 0,354 - 0,592, pH
6,11 - 6,88, kejernihan sirup sebelum purifikasi 5,378 - 20,800 T dan kejernihan setelah purifikasi 49,667 - 63,533T. Karakteristik sirup glukosa
hidrolisis asam dari pati sagu tidak jauh berbeda dengan sirup glukosa dari pati pembanding, kecuali untuk nilai kejernihan sirup.
Analisis statistik menunjukkan bahwa daerah asal pati sagu berpengaruh nyata pada kadar air, kadar abu, kadar bahan kering, pH dan
kejernihan sebelum purifikasi untuk sirup glukosa yang dihasilkan melalui hidrolisis enzim, sedangkan pada sirup glukosa hidrolisis asam, daerah asal
pati sagu berpengaruh nyata terhadap nilai DE, DP, kadar air dan pH sirup glukosa.
B. SARAN