Kebijakan Industri Farmasi di Indonesia Penelitian Terdahulu

2.3. Kebijakan Industri Farmasi di Indonesia

Menurut Djamaludin 1999 pemerintah sebagai fungsi regulator dan kontrol harus bisa melindungi masyarakat dari penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan yang tidak bermutu, tidak memenuhi ketentuan standar dan persyaratan kesehatan lainnya. Kemudian sebagai fungsi fasilitator dan technical assistance , pemerintah harus sungguh-sungguh melakukan pembinaan terhadap penerapan cara produksi obat bermutu dan cara produksi makanan yang higienis. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan industri farmasi banyak dibuat oleh pemerintah. Contoh perundang-undangan yang dibuat adalah undang-undang tentang farmasi, cara pembuatan obat yang baik, ketentuan dan tata cara pelaksanaan pemberian izin usaha industri farmasi, pedagang besar farmasi, kebijakan obat nasional dan lain-lain. Kebijakan yang selama ini dibuat oleh pemerintah cenderung membuat industri farmasi manja dan stagnan. Undang-undang tentang farmasi bertujuan untuk menetapkan ketentuan- ketentuan dasar dibidang farmasi dalam rangka pelaksanaan undang-undang tentang pokok-pokok kesehatan. Undang-undang ini meliputi perbekalan kesehatan dibidang farmasi, obat, obat asli Indonesia, alat kesehatan dan pekerjaan kefarmasian.

2.4. Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai SCP banyak dilakukan oleh pengamat ekonomi industri di berbagai negara, terutama mengenai tingkat konsentrasi dengan kemampuan perusahaaan memperoleh keuntungan. Alasan kajian ini menarik karena hasil yang diperoleh dapat digunakan sebagai acuan kebijakan yang bertujuan mengoptimumkan kesejahteraan masyarakat. Sejumlah peneliti yang mengkaji hubungan antara tingkat konsentrasi dan keuntungan menemukan adanya hubungan positif antara kedua variabel tersebut. Penelitian Bain 1965 memperoleh kesimpulan positif, yaitu tingkat keuntungan meningkat secara signifikan apabila tingkat konsentrasi industri di atas 70 persen Shepherd 1990 dalam Martin 1993. Penelitian selanjutnya Bain dan Michael Mann memasukkan hambatan masuk sebagai faktor utama penentu struktur pasar selain tingkat konsentrasi Stepherd 1990 dalam Martin 1993. Hasilnya menunjukkan bahwa keuntungan lebih besar pada industri yang tingkat konsentrasi dan juga hambatan masuknya tinggi. Proksi yang digunakan sebagai tingkat keuntungan dalam kajian Rozani 1997 dalam Alistair 2004 adalah PCM. Kajian serupa pernah dilakukan oleh Alistair 2004 dalam menganalisis SCP pada tepung terigu di Indonesia pasca penghapusan monopoli Bulog, Juwita 2004 dalam menganalisis Industri semen di Indonesia, dan Kartika 2002 dalam menganalisis industri telekomunikasi selular di Indonesia dengan menggunakan pendekatan organisasi industri. Hasil penelitian tersebut rata-rata menunjukkan hubungan antara PCM sebagai proksi dari kinerja dengan variabel-varabel bebas yang digunakan untuk mengukur struktur maupun perilaku. Variabel-variabel yang digunakan antara lain konsentrasi rasio, Herfindahl-Hirschman Indek, effisiensi-x, pertumbuhan, utilitas, minimum efficiency scale dan produktivitas. Kajian mengenai industri farmasi pernah dilakukan sebelumnya oleh Effendi 2000 dalam identifikasi faktor-faktor produksi yang secara signifikan berpengaruh pada output sektor industri farmasi di Indonesia periode tahun 1976- 1997. Penelitian ini menunjukkan estimasi model pertumbuhan output terhadap return to scale , baik untuk industri farmasi formulasi maupun sektor tradisional yang menunjukkan increasing return to scale.

III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

3.1. Kerangka Pemikiran

Dalam penelitian mengenai organisasi industri industrial organization dengan paradigma SCP pada industri farmasi di Indonesia akan dijelaskan mengenai struktur pasar, perilaku perusahaan, kinerja perusahaan, dan kaitan ketiganya dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Analisis mengenai industri farmasi ini dilakukan secara sistematis dan struktural. Faktor pertama dalam paradigma SCP adalah struktur. Komponen struktur pasar yang paling utama adalah tingkat konsentrasi. Tingkat konsentrasi digunakan pada berbagai penelitian untuk mengkaji hubungan struktur pasar dan kinerja. Tingkat konsentrasi ditunjukan dengan menggunakan variabel rasio konsentrasi atau Concentration Ratio CR. Ukuran yang biasa digunakan untuk CR adalah menggunakan dua perusahaan terbesar CR 2 , empat perusahaan terbesar CR 4 , atau delapan perusahaan terbesar CR 8 . Kajian hubungan struktur pasar dan kinerja umumnya menggunakan tingkat konsentrasi pasar untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam memperoleh keuntungan. Namun, kenyataannya tingkat konsentrasi bukan satu- satunya faktor yang menentukan kemampuan meraih keuntungan. Ada faktor- faktor lain yang mempengaruhi seperti hambatan untuk masuk ke dalam industri barrier to entry. Bertolak dari tingkat konsentrasi dan hambatan masuk, ada model umum yang digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan memperoleh keuntungan. Model umum tersebut dapat mengalami modifikasi tergantung pada