Analisis Kadar Residu Pestisida pada Sayuran Serta Tingkat Perilaku Konsumen Terhadap Sayuran yang Beredar di Pasar Tradisional Pringgan Kecamatan Medan Baru Tahun 2015

(1)

ANALISIS KADAR RESISU PESTISIDA ORGANOFOSFAT

PADA SAYURAN SERTA TINGKAT PERILAKU KONSUMEN

TERHADAP SAYURAN YANG BEREDAR DIPASAR

TRADISIONAL PRINGGAN KECAMATAN

MEDAN BARU TAHUN 2015

SKRIPSI

OLEH

LULU HOTDINA MARBUN NIM : 111000189

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015


(2)

ANALISIS KADAR RESISU PESTISIDA ORGANOFOSFAT

PADA SAYURAN SERTA TINGKAT PERILAKU KONSUMEN

TERHADAP SAYURAN YANG BEREDAR DIPASAR

TRADISIONAL PRINGGAN KECAMATAN

MEDAN BARU TAHUN 2015

Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kesehatan Masyarakat

OLEH

LULU HOTDINA MARBUN NIM : 111000189

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2015


(3)

(4)

(5)

ABSTRAK

Pestisida organofosfat adalah golongan pestisida yang disukai oleh petani karena mempunyai daya basmi yang kuat, cepat dan hasilnya terlihat jelas pada tanaman. Meskipun demikian residu pestisida organofosfat pada manusia dapat menimbulkan keracunan baik akut maupun kronis, ha1 ini disebabkan oleh sifat akumulatif dari residu pestisida organofosfat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui residu pestisida pada sayuran serta tingkat perilaku konsumen terhadap sayuran di Pasar Pringgan.

Residu pestisida dari golongan organofosfat yang akan diperiksa adalah dengan bahan aktif dimetoat, klorpirifos, profenofos, dan triazofos diteliti pada sayuran kubis (Brassica oleracea), tomat (Solanum lycopersicum), wortel

(Daucus carota), dan kacang panjang(Vigna sinensis).

Jenis penelitian ini adalah survei yang bersifat deskriptif. Objek penelitiannya adalah sayuran yang dijual di Pasar Pringgan sebanyak 4 sampel yang kemudian diperiksa di Laboratorium Pengujian Mutu dan Residu Pestisida untuk mengetahui berapa kadar residu pestisida yang terdapat pada sayuran. Hasil penelitian mengacu kepada SNI No. 7313:2008 tentang BMR pada Hasil Pertanian. Penentuan sampel konsumen dilakukan dengan cara accidental sampling, yaitu mengambil sampel atau responden yang sedang membeli sayur di lokasi penelitian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa residu pestisida dengan bahan aktif dimetoat, klorpirifos, profenos, dan triazofos tidak terdeteksi pada sayuran wortel dan kacang panjang. Sayuran tomat terdapat residu pestisida dengan bahan aktif profenofos sebesar 0,0188 mg/kg dan pada sayuran kubis terdapat residu pestisida bahan aktif klorpirifos sebesar 0,098 mg/kg.

Diketahui bahwa kadar residu pestisida yang terdapat pada sayuran masih berada dibawah BMR yaitu < 0,5 mg/kg. Meskipun demikian, diharapkan para konsumen untuk lebih teliti dalam memilih sayuran.


(6)

ABSTRACT

Pesticides organophosphate is a class of pesticides preferred by farmers because they havethe power exterminate strong, fast, and the result are clearly visible on the plant. Nevertheless organoposphate pestiside residues in humans can cause both acute and chronic poisoning, it is caused by the accumulative nature of residues of organophospate. This study aims to determine pesticide residues in vegetables as well as the level of consumer behaviors towards vegetables in Market Pringgan.

Pesticides residues from the class of organophosphate is the active ingredient dimetoat, klorfirifos, profenofos, and triazofos researched on vegetables cabbage (Brassica oleracea), tomato (Solanum lypopersicum), carrot (Daucus carota), and long bean (Vigna sinensis).

This study is a descriptive survey. The objects of the study incluced vegetables sold in Market Pringgan consisting of 4 samples then examined in Laboratorium Pengujian Mutu dan Residu Pestisida to know how much the residual pesticides in the vegetables. The result of the study referred to the SNI 7313:2008 MRL (Maximum Residue Limit) Product Agriculture. The samples were determined accidental sampling method, who bought the vegetables at observational location. This study found that residue of pestisides with active materials such as dimetoat, chlorpyriphos, profenofos, and triazofos were not detected in vegetables such as carrot and long bean. Result indicated that profonefos residue were found in carrot with content of 0,0188 mg/kg and result indicated that chlorpyriphos residue were found in cabbage with content 0,098 mg/kg.

It is known that the levels of pesticide residues found in vegetables is still below the MRL of <0,5 mg/kg. Nevertheless, consumer are expected to be more careful in choosing vegetables.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan anugerahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

yang berjudul “ Analisis Kadar Residu Pestisida Pada Sayuran Serta Tingkat

Perilaku Konsumen Terhadap Sayuran Yang Beredar Di Pasar Tradisional Pringgan Kecamatan Medan Baru Tahun 2015”.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Penulis juga menyadari dalam penulisan skripsi ini banyak sekali memperoleh bantuan baik moril maupun material dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang tulus dan ikhlas kepada:

1. Dr.Drs. Surya Utama, MS, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

2. Ir. Evi Naria, M. Kes, selaku Ketua Departemen Kesehatan Lingkungan Universitas Sumatera Utara.

3. Dra. Nurmaini, MKM Ph.D selaku ketua pembimbing yang telah meluangkan waktu dan pikirannya serta dengan sabar memberikan bimbingan, saran dan pengarahan kepada penulis dalam penyempurnaan skripsi ini.

4. Dr. dr. Taufik Ashar, MKM, selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktu dan pikirannya serta dengan sabar memberikan


(8)

bimbingan, saran dan pengarahan kepada penulis dalam penyempurnaan skripsi ini.

5. Prof. Dr. Ir. Albiner Siagian, Msi, selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis.

6. Seluruh dosen khususnya Dosen Departemen Kesehatan Lingkungan FKM USU yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam mengikuti perkuliahan di Faklutas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

7. Seluruh staf pegawai dan karyawan khususnya kak Dian yang telah membantu kelancaran skripsi ini.

8. Eli Martona, S.Si, selaku Kepala Laboratorium Pengujian Mutu Dan Residu Pestisida Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Utara yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyempurnaan skripsi ini.

9. Orang tua tercinta (L. Marbun dan T. Pasaribu) yang selalu memberi dukungan, doa dan kasih sayang serta memberi motivasi untuk tetap semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

10. Bapak uda dan Inanguda terkasih (Drs. E. Marbun, M.Si. dan Y. Harianja) yang selalu memberi semangat, bantuan baik berupa moril dan materi.

11. Kakak tersayang (Linda Marbun) dan adik-adik tersayang (Loretta Kartini Marbun, Luminova Marbun, Enrico Alva Jepera Marbun dan


(9)

Yusuf Laden Christian Marbun) yang telah memberi motivasi dan semangat dalam penulisan skripsi ini.

12. Sahabat-sahabatku SOLAFIDE : Martha Helen, Nova Sitinjak, Theresia, dan Marini terimakasih atas persahabatan, motivasi, doa dan kebersamaan kita selama ini.

13. Teman-teman QUASIMODOGENITI : Kak Heny, Elis, Martha Helen, Martharia, Ratna, Theresia terimakasih atas motivasi, doa dan kebersamaan kita.

14. Seluruh rekan-rekan seperjuangan di Peminatan kesehatan Lingkungan, terimakasih atas kerjasama dan kebersamaan kita selama ini.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan perkembangan ilmu pengetahuan di masa yang akan datang.

Medan, Juli 2015


(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... xiii

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian... 6

1.3.1 Tujuan Umum ... 6

1.3.2 Tujuan Khusus... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 8

2.1 Pengertian Pestisida... 8

2.1.1 Klasifikasi Pestisida ... 9

2.1.2 Bentuk Formulasi Pestisida ... 13

2.1.3 Toksisitas Pestisida ... 18

2.1.4 Bidang Sasaran Aplikasi Pestisida ... 19

2.1.5 Manfaat dan Dampak Negatif Pestisida ... 22

2.1.6 Cara Masuk Pestisida ke Dalam Tubuh ... 28

2.2 Organofosfat... 29

2.2.1 Pengertian Organofosfat... 29

2.2.2 Sumber Jenis dan Karakteristik... 29

2.2.3 Dampak Organofosfat Terhadap Kesehatan ... 30

2.2.4 Mekanisme Organofosfat dalam Tubuh ... 34

2.3 Residu Pestisida... 36

2.4 Sayuran... 38

2.5 Pengertian dan Klasifikasi Perilaku ... 40

2.5.1 Pengetahuan ... 42

2.5.2 Sikap ... 43

2.5.3 Tindakan ... 43

2.6 Kerangka Konsep ... 44

BAB III METODE PENELITIAN ... 45

3.1 Jenis Penelitian ... 45

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 45


(11)

3.2.2 Waktu Penelitian ... 45

3.3 Objek Penelitian dan Sampel ... 45

3.4 Populasi dan Sampel ... 46

3.4.1. Populasi ... 46

3.4.2 Sampel ... 46

3.5 Metode Pengumpulan Data ... 47

3.5.1 Data Primer ... 47

3.5.2 Data Sekunder ... 48

3.6 Defenisi Operasional ... 48

3.7 Cara Pemeriksaan Residu Pestisida... 48

3.7.1 Alat dan Bahan ... 48

3.7.1.1 Alat ... 48

3.7.1.2 Bahan ... 49

3.7.2 Prosedur Kerja ... 49

3.8 Aspek Pengukuran... 50

3.8.1 Pengetahuan ... 51

3.8.2 Sikap ... 51

3.8.3 Tindakan ... 52

3.9 Analisis Data ... 53

BAB IV HASIL PENELITIAN... 54

4.1 GambaranLokasiPasarPringgan ... 54

4.2 HasilPemeriksaanResiduPestisida... 55

4.3 KarakteristikResponden ... 56

4.4 Karakteristik Perilaku Konsumen Terhadap Sayuran Yang Beredar Di PasarPringgan Kecamatan Medan Baru... 56

4.4.1 Pengetahuan Konsumen Terhadap Sayuran Yang Mengandung Residu Pestisida di Pasar Tradisional Pringgan Kecamatan Medan Baru ... 56

4.4.2 Sikap Responden Terhadap Sayuran Yang Mengandung Residu Pestisida di Pasar Tradisional Pringgan Kecamatan Medan Baru ... 59

4.4.3 Tindakan Responden Terhadap Sayuran Yang Mengandung Residu Pestisida... 61

BAB V PEMBAHASAN ... 63

5.1 Keberadaan Residu Pestisida Pada Sayuran ... 63

5.2 Karakteristik Responden ... 65

5.3 Pengetahuan Konsumen tentang Residu Pestisida pada Sayuran ... 66

5.4 Sikap Konsumen tentang Residu Pestisida pada Sayuran... 67

5.5 Tindakan Konsumen tentang Residu Pestisida pada Sayuran... 68

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 70

6.1 Kesimpulan ... 70


(12)

DAFTAR PUSTAKA ... 72 LAMPIRAN


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kelas Bahaya Pestisida Menurut WHO ... 19

Tabel 2.2 Batas Maksimum Residu Organofosfat pada Makanan ... 37

Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan Residu Pestisida Pada Sayuran

di Pasar Tradisional Pringgan Kecamatan Medan Baru ... 54

Tabel 4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Umur ... 55

Tabel 4.3 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 56

Tabel 4.4 Distribusi Jawaban Pengetahuan Konsumen Tentang

Sayuran Yang Mengandung Residu Pestisida ... 56

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Konsumen Terhadap

Sayuran Yang Mengandung Residu Pestisida ... 58

Tabel 4.6 Distribusi Jawaban Sikap Konsumen Tentang Sayuran

Yang Mengandung Residu Pestisida ... 59

Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Sikap Konsumen Terhadap

Sayuran Yang Mengandung Residu Pestisida ... 60

Tabel 4.8 Distribusi Jawaban Tindakan Tentang Sayuran Yang

Mengandung Residu Pestisida ... 61

Tabel 4.9 Distribusi Frekuensi Tindakan Konsumen Terhadap


(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Reaksi Pengikatan Kolinesterase Dengan Organofosfat ... 33


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kuesioner Penelitian

Lampiran 2 Baku Mutu Residu Pestisida SNI 7313:2008

Lampiran 2 Surat Permohonan Izin Penelitian

Lampiran 3Surat Keterangan Telah Selesai Melakukan Penelitian

Lampiran 4 Surat Hasil Uji Laboratorium

Lampiran 5 Laporan Hasil Pengujian Residu Pestisida

Lampiran 6 Master Data Kuesioner

Lampiran 7 Output


(16)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Lulu Hotdina Marbun

Tempat/Tanggal Lahir : Barus/ 20 Februari 1993

Agama : Kristen Protestan

Status Perkawinan : Belum Kawin Jumlah Anggota Keluarga : 6 (enam) orang

Alamat Rumah : Jl. Luku III No. 31 Medan

Riwayat Pendidikan

1. Tahun 2001-2006 : SD Negeri 155965 Simargarap 2. Tahun 2006-2009 : SMP Manunggal V Simargarap 3. Tahun 2009-2011 : SMA Negeri 1 Sorkam Barat


(17)

ABSTRAK

Pestisida organofosfat adalah golongan pestisida yang disukai oleh petani karena mempunyai daya basmi yang kuat, cepat dan hasilnya terlihat jelas pada tanaman. Meskipun demikian residu pestisida organofosfat pada manusia dapat menimbulkan keracunan baik akut maupun kronis, ha1 ini disebabkan oleh sifat akumulatif dari residu pestisida organofosfat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui residu pestisida pada sayuran serta tingkat perilaku konsumen terhadap sayuran di Pasar Pringgan.

Residu pestisida dari golongan organofosfat yang akan diperiksa adalah dengan bahan aktif dimetoat, klorpirifos, profenofos, dan triazofos diteliti pada sayuran kubis (Brassica oleracea), tomat (Solanum lycopersicum), wortel

(Daucus carota), dan kacang panjang(Vigna sinensis).

Jenis penelitian ini adalah survei yang bersifat deskriptif. Objek penelitiannya adalah sayuran yang dijual di Pasar Pringgan sebanyak 4 sampel yang kemudian diperiksa di Laboratorium Pengujian Mutu dan Residu Pestisida untuk mengetahui berapa kadar residu pestisida yang terdapat pada sayuran. Hasil penelitian mengacu kepada SNI No. 7313:2008 tentang BMR pada Hasil Pertanian. Penentuan sampel konsumen dilakukan dengan cara accidental sampling, yaitu mengambil sampel atau responden yang sedang membeli sayur di lokasi penelitian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa residu pestisida dengan bahan aktif dimetoat, klorpirifos, profenos, dan triazofos tidak terdeteksi pada sayuran wortel dan kacang panjang. Sayuran tomat terdapat residu pestisida dengan bahan aktif profenofos sebesar 0,0188 mg/kg dan pada sayuran kubis terdapat residu pestisida bahan aktif klorpirifos sebesar 0,098 mg/kg.

Diketahui bahwa kadar residu pestisida yang terdapat pada sayuran masih berada dibawah BMR yaitu < 0,5 mg/kg. Meskipun demikian, diharapkan para konsumen untuk lebih teliti dalam memilih sayuran.


(18)

ABSTRACT

Pesticides organophosphate is a class of pesticides preferred by farmers because they havethe power exterminate strong, fast, and the result are clearly visible on the plant. Nevertheless organoposphate pestiside residues in humans can cause both acute and chronic poisoning, it is caused by the accumulative nature of residues of organophospate. This study aims to determine pesticide residues in vegetables as well as the level of consumer behaviors towards vegetables in Market Pringgan.

Pesticides residues from the class of organophosphate is the active ingredient dimetoat, klorfirifos, profenofos, and triazofos researched on vegetables cabbage (Brassica oleracea), tomato (Solanum lypopersicum), carrot (Daucus carota), and long bean (Vigna sinensis).

This study is a descriptive survey. The objects of the study incluced vegetables sold in Market Pringgan consisting of 4 samples then examined in Laboratorium Pengujian Mutu dan Residu Pestisida to know how much the residual pesticides in the vegetables. The result of the study referred to the SNI 7313:2008 MRL (Maximum Residue Limit) Product Agriculture. The samples were determined accidental sampling method, who bought the vegetables at observational location. This study found that residue of pestisides with active materials such as dimetoat, chlorpyriphos, profenofos, and triazofos were not detected in vegetables such as carrot and long bean. Result indicated that profonefos residue were found in carrot with content of 0,0188 mg/kg and result indicated that chlorpyriphos residue were found in cabbage with content 0,098 mg/kg.

It is known that the levels of pesticide residues found in vegetables is still below the MRL of <0,5 mg/kg. Nevertheless, consumer are expected to be more careful in choosing vegetables.


(19)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pestisida telah lama digunakan oleh para petani untuk mengendalikan hama tanaman buah-buahan, dan sayur-mayur. Dalam upaya untuk meningkatkan produksi dengan tujuan agar tanaman tidak dirusak oleh hama dan penyakit adalah dengan menggunakan pestisida. Penggunaan pestisida pada tanaman sayuran di dataran tinggi tergolong sangat intensif, hal ini disebabkan karena kondisi iklim yang sejuk dengan kelembaban udara dan curah hujan yang tinggi menciptakan kondisi yang baik untuk perkembangbiakan hama dan penyakit tanaman.

Pada tahun 1984, sekitar 20% produksi pestisida dunia diserap oleh Indonesia. Pemakaian pestisida dalam periode 1982-1987 meningkat sebesar 236% dibandingkan periode sebelumnya. Sementara itu, pemakaian insektisida meningkat sebesar 710% pada periode yang sama. Pada tahun 1986 total pemakaian insektisida mencapai 17.230 ton atau setara dengan 1,69 kg insektisida setiap hektar lahan pertanian. Pada dekade 1990-an pemakaian insektisida telah mencapai 20 ribu ton/tahun dengan nilai Rp 250 milyar (Novizan, 2002).

Pestisida merupakan pilihan utama cara mengendalikan hama, penyakit dan gulma karena membunuh langsung jasad pengganggu. Kegiatan mengendalikan jasad pengganggu merupakan pekerjaan yang memakan banyak waktu, tenaga dan biaya. Kemanjuran pestisida dapat diandalkan, penggunaannya mudah, tingkat keberhasilannya tinggi, ketersediaannya mencukupi dan mudah didapat serta biayanya relatif murah. Manfaat pestisida memang terbukti besar,


(20)

sehingga muncul kondisi ketergantungan bahwa pestisida adalah faktor produksi penentu tingginya hasil dan kualitas produk, seperti yang tercermin dalam setiap paket program atau kegiatan pertanian yang senantiasa menyertakan pestisida sebagai bagian dari input produksi (Wahyuni, 2010).

Serangan hama dan penyakit merupakan salah satu penyebab utama kegagalan panen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa serangan hama pada tanaman sayuran cukup tinggi, diantaranya pada kubis yang menyebabkan kehilangan hasil sampai 100% (Ameriana et.al., 2000). Aplikasi penyemprotan pestisida untuk mengendalikan hama dan penyakit biasanya pada bagian tanaman terutama daun. Dengan harapan hama akan datang dan makan daun yang sudah disemprot dengan insektisida tersebut dan mati. Ada juga yang diaplikasikan pada tanah agar bahan aktif insektisida diserap oleh akar tanaman dan diedarkan ke seluruh bagian tubuh tanaman. Sehingga bila suatu saat hama datang dan memakan bagian tanaman yang sudah mengandung bahan aktif insektisida tersebut akan mati (Djojosumarto, 2008).

Pestisida dengan cepat dapat menurunkan populasi hama sehingga meluasnya hama dapat dicegah. Namun penggunaan pestisida pada sistem usaha sayuran diduga sudah berlebihan baik dalam hal jenis, komposisi, takaran, waktu, dan intervalnya. Pestisida yang terdapat pada tanaman dapat diserap bersama hasil panen berupa residu yang dapat terkomsumsi oleh konsumen. Residu pestisida tersebut tidak saja berasal dari bahan yang diaplikasikan, namun juga berasal dari penyerapan akar dari dalam tanah, terutama pada tanaman yang dipanen umbinya (Matsumura, dalam Wiralaga, 2004).


(21)

Berdasarkan peraturan yang dikeluarkan badan Standar Nasional Indonesia (SNI) tahun 2008, tentang batas maksimum residu (BMR) pestisida pada tanaman. Residu pestisida untuk golongan organofosfatmasih diperbolehkan ada di dalam tanaman dalam konsentrasi yang telah ditentukan, khusus untuk sayuran batas konsentrasi residu yang diperbolehkan yaitu 0,5 mg/kg.

Hasil penelitian Sudewa dkk (2008), ditemukan bahwa, residu pestisida diazinon, klorpirifos, fentoat, karbaril, dan BPMC yang terdapat pada krop kubis dan polong kacang panjang yang dijual di pasar Badung Denpasar dipengaruhi oleh jumlah penggunaan insektisida tersebut, dimana insektisida klorpirifos 60-65%, karbaril 40% digunakan oleh petani, nilai residu pada kubis dan kacang panjang klorpirifos sebesar 0,0525ppm dan 1,296 ppm, karbaril sebesar 0,303 ppm dan 0,471 ppm. Dimana nilai residu klorpirifos pada kubis dan kacang panjang melebihi nilai MRL (Maximum Residue Limit) pada sayuran yaitu 0,5 ppm.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Munarso dan Miskiyah (2009) di Malang dan Cianjur ditemukan residu pestisida pada kubis, tomat, dan wortel. Hasil analisis menemukan sebanyak 37,4 ppb endosulfan pada kubis, 10,6 ppb endosulfan pada wortel, dan 7,9 ppb profenos pada tomat. Selain itu, residu lain yang terdeteksi antara lain pestisida yang mengandung bahan aktif klorpirifos, metidation, malation, dan karbaril. Menurut penelitian Narwati dkk (2012) melaporkan bahwa terdapat residu deltametrin sebesar 0,15 ppm pada wortel dan 0,01 ppm pada seledri.


(22)

Residu pestisida merupakan zat tertentu yang terkandung dalam hasil pertanian bahan pangan atau pakan hewan, baik sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari penggunaan pestisida. Istilah ini mencakup juga senyawa turunan pestisida seperti senyawa hasil konversi, metabolit, senyawa hasil reaksi dan zat pengotor yang dapat bersifat toksik. Residu pestisida menimbulkan efek tidak langsung terhadap konsumen namun, dalam jangka panjang dapat menimbulkan gangguan kesehatan, diantaranya, berupa gangguan syaraf dan metabolisme enzim. Residu pestisida yang terbawa bersama makanan akan terakumulasi dalam jaringan tubuh yang mengandung lemak. Akumulasi pestisida ini pada manusia dapat merusak fungsi hati, ginjal, sistem syaraf, menurunkan kekebalan tubuh, menimbulkan cacat bawaan, alergi dan kanker (Sakung, 2004).

Pestisida yang banyak direkomendasikan untuk bidang pertanian adalah golongan organofosfat, karena golongan ini lebih mudah terurai di alam. Organophosphat adalah golongan pestisida yang disukai petani, karena mempunyai daya basmi yang kuat, cepat, dan hasilnya terlihat jelas pada tanaman. Departeman Pertanian menganjurkan pemakaian pestisida ini karena sifat organofosfat yang mudah hilang di alam. Meskipun demikian, residu pestisida organofosfat pada manusia dapat menimbulkan keracunan baik akut, maupun kronis, hal ini disebabkan oleh sifat akumulatif dari residu pestisida organofosfat (Alegentina, 2005).

Keracunan akut dapat terjadi berupa manifestasi muscarinik, yaitu gejala pencernaan seperti mual, muntah, aktifitas kelenjer keringat meningkat, aktifitas kelenjer ludah meningkat, aktifitas kelenjer mata meningkat, dan ketajaman mata


(23)

berkurang. Manifestasi nikotinik, sepeti sesak napas, kram, pada otot tertentu dan

cynosis.Manifestasi susunan syaraf pusat seperti rasa cemas, sakit kepala, kesukaran tidur, depresi, tremor, kejang, gangguan pernafasan, dan peredaran darah. Sedangkan keracunan kronis yang disebabkan pestisida organofosfat, yaitu:carsinogenik (pembentukan kelenjer kanker), teratogenik (kelahiran anak cacat dari ibu yang keracunan insektisida), myopathi (penyakit otot) (Mukono, 2011).

Pasar tradisional Pringgan merupakan pasar yang ramai dikunjungi masyarakat kota Medan. Pasar ini menjual berbagai macam kebutuhan sehari-hari, termasuk sayuran. Terdapat 45 pedangang sayuran yang setiap harinya menjual sayuran di pasar ini. Para pedagang memperoleh sayuran yang akan dijual, langsung dari petani yang menjual hasil panen kebun mereka. Sayuran yang dijual para pedagang di pasar tradisionl Pringgan belum mendapatkan perlakuan khusus dari pedagangnya. Para pedagang tidaklah membersihkan sayuran terlebih dahulu sebelum dijual kepada konsumen. Sedangkan pada sayuran yang dijual di pasar modern sudah dibersihkan terlebih dahulu sebelum dijual kepada konsumen. Dari hal diatas dikhawatirkan masih adanya residu pestisida yang menempel pada sayuran sehingga sayuran menjadi tidak aman untuk dikonsumsi. Berdasarkan permasalahan diatas, penulis ingin mengetahui kadar residu pestisida serta tingkat perilaku konsumen terhadap keberadaaan residu pestisida pada sayuran yang di beredar di pasar tradisional Pringgan Kecamatan Medan Baru tahun 2015.


(24)

1.2 Rumusan Masalah

Pasar Pringgan merupakan pasar tradisional yang menjual berbagai macam kebutuhan sehari-hari, termasuk sayuran. Sayuran yang di peroleh pedagang langsung dari petani yang menjual hasil kebunnya kepada pedagang. Para pedagang yang menjual sayuran tidaklah membersihkan sayuran yang hendak dijual terlebih dahulu, sehingga dikhawatirkan sisa-sisa pestisida yang digunakan para petani masih menempel pada sayuran. Sayuran yang mengandung residu pestisida didalamnya tidaklah aman untuk dikonsumsi. Berdasarkan permasalahan diatas, penulis ingin mengetahui kemungkinan ada tidaknya kadar residu pestisida pada sayuran serta tingkat perilaku konsumen, terhadap residu pestisida pada sayuran yang di jual di pasar tradisional Pringgan Kecamatan Medan Baru, karena dengan mengetahui perilaku konsumen dapat diketahui bagaimana kepedulian konsumen terhadap sayuran yang aman untuk dikonsumsi.

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui residu pestisida serta tingkat perilaku konsumen terhadap residu pestisida pada sayuran yang beredar di pasar tradisional Pringgan, Kecamatan Medan Baru.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui ada tidaknya residu pestisida golongan organofosfat pada sayuran kol/kubis (Brassica oleracea), tomat (Solanum lycopersicum), wortel (Daucus sarota), dan kacang panjang (Vigna sinensis).


(25)

2. Untuk mengetahui kadar residu pestisida golongan organofosfat pada sayuran kol/kubis (Brassica oleracea), tomat (Solanum lycopersicum), wortel (Daucus sarota), dan kacang panjang (Vigna sinensis) apakah memenuhi syarat atau tidak sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan berdasarkan SNI No 7313 : 2008.

3. Untuk mengetahui perilaku (pengetahuan, sikap, dan tindakan) para konsumen terhadap residu pestisida pada sayuran.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sebagi informasi agar lebih teliti dalam memilih dan mengkonsumsi sayuran.

2. Sebagai bahan masukan bagi BPOM dalam melakukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap sayuran yang dijual di pasar tradisional.

3. Menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis tentang residu pestisida golongan organofosfat.

4. Sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya sehingga penelitian ini dapat digunakan untuk berbagai keperluan dan dapat bermanfaat bagi khalayak ramai.


(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Pestisida

Pestisida adalah agensi yang membunuh hama. Yang dimaksud disini adalah bahan-bahan yang telah dikembangkan untuk membunuh sejumlah besar spesies hama-hama tertentu. Asosiasi Kimia Nasional Amerika Serikat menyatakan, bahwa yang juga termasuk pestisida adalah agensi yang dipergunakan untuk keperluan-keperluan khusus seperti zat pengatur tumbuh, zat penggugur daun, zat pengering (desiccant) dan zat-zat lainnya yang sejenis seperti

feromon, zat kimia pemandul, zat “anti- feedant”, antraktan, repelen, sinergis

(Oka,1995).

Menurut peraturan Menteri Kesehatan RI NO. 258/MenKes/Per/III/1992 pestisida adalah semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang dipergunakan untuk memberantas atau mencegah hama-hama dan penyakit yang merusak tanaman, bagian-bagian dari tanaman atau hasil-hasil pertanian; memberantas rerumputan; mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan; mengatur atau merangsang pertumbuhan yang tidak diinginkan; mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tidak termasuk pupuk; memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan piaraan dan ternak; memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasad-jasad renik dalam rumah tangga, bangunan dan dalam alat-alat pengangkutan; dan atau memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada tanaman, tanah atau air.


(27)

Dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, yang dimaksud dengan pestisida adalah zat pengatur dan perangsang tumbuh, serta organisme renik, atau virus yang digunakan untuk melakukan perlindungan tanaman. Pestisida merupakan bahan yang banyak memberikan manfaat sehingga banyak dibutuhkan masyarakat pada bidang pertanian, (pangan, perkebunan, perikanan, peternakan), penyimpanan hasil pertanian, kehutanan (tanaman hutan dan pengawetan hasil hutan), rumah tangga dan penyehatan lingkungan pemukiman, bangunan, pengangkutan dan lain-lain.

2.1.1 Klasifikasi Pestisida

Klasifikasi pestisida dapat dibagi dua, yaitu berdasarkan golongan hama yang dibunuh dan berdasarkan efek yang ditimbulkan pada hama sasaran sebagai berikut:

a. Berdasarkan Golongan Hama Sasaran Yang Dibunuh

1. Akarisida, berasal dari kata akari, yang dalam bahasa Yunani berarti tungau atau kutu. Akarisida sering juga disebut Mitesida. Fungsinya untuk membunuh tungau atau kutu.

2. Algasida, berasal dari kata alga, bahasa latinnya berarti ganggang, laut, berfungsi untuk membunuh algae.

3. Alvasida, berasal dari kata avis, bahasa latinnya berarti burung, fungsinya sebagai pembunuh atau penolak burung.

4. Bakterisisda, berasal dari kata bacterium, atau kata Yunani bakron, berfungsi untuk membunuh bakteri.

5. Fungisida, berasal dari kata latin fungus, atau kata Yunani spongos yang artinya jamur, berfungsi untuk membunuh jamur atau cendawan. Dapat


(28)

bersifat fungitostik (membunuh cendawan) atau fungistatik (menekan pertumbuhan cendawan).

6. Herbisida, berasal dari kata latin herba, artinya tanaman setahun, berfungsi untuk membunuh gulma.

7. Insektisida, berasal dari kata latin insectum, artinya potongan, keratan, segmen, berfungsi untuk membunuh serangga.

8. Molluskisida, berasal dari kata Yunani molluscus, artinya berselubung tipis atau lembek, berfungsi untuk membunuh siput.

9. Ovisida, berasal dari kata latin ovum berarti telur, berfungsi untuk merusak telur.

10. Nematisida, berasal dari kata latin nematoda, atau bahasa Yunani nema

berati benang, berfungsi untuk membunuh nematoda.

11. Pedukulisida, berasal dari kata latin pedis, berarti kutu, tuma, berfungsi untuk membunuh kutu atau tuma.

12. Rodentisida, berasal dari kata Yunani rodere, berarti pengerat berfungsi untuk membunuh binatang pengerat.

13. Piscisida, berasal dari kata Yunani Pscis, berarti ikan, berfungsi untuk membunuh ikan.

14. Termisida, berasal dari kata Yunani termes, artinya serangga pelubang kayu berfungsi untuk membunuh rayap (Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian, 2011).


(29)

b. Berdasarkan Efek Pestisida Terhadap Hama

1. Anti makan (anti-feedant), menghalangi makan, hama tetap tinggal pada tanaman, hama kelaparan dan akhirnya mati mengurangi transpirasi. 2. Anti-transpiran, mengurangi transpirasi.

3. Atraktan, menarik hama kepada lokasi yang memperoleh perlakuan (atraktan seks).

4. Zat kimia pemandul, merusak kemampuan hama bereproduksi.

5. Penggugur daun (defoliant), menghilangkan pertumbuhan bagian tanaman yang tidak dikehendaki, tanpa membunuh tanaman seketika. 6. Zat pengering(desiccant), mengeringkan daun, batang, dan serangga. 7. Feromon, melepaskan atau menghalangi perilaku tertentu dari serangga. 8. Zat pengatur tumbuh, menghentikan, mempercepat atau merubah proses

pertumbuhan tanaman.

9. Repelan, mengusir hama dari objek yang memperoleh perlakuan, tanpa membunuhnya.

10. Sinergis, meningkatkan efektifitas dari agensia yang aktif (Oka, 1995). Ternyata jenis-jenis pestisida dapat dibagi lagi berdasarkan struktur kimianya. Berdasarkan struktur kimianya, pestisida dapat dibagi menjadi:

1. Organophosphat

Jenis ini mengandung unsur-unsur phospat, carbon, dan hidrogen. Contohnya antara lain Parathion, Malathion, Phosdrin dan Tetra Ethyl Pyro Phosphat (TEPP). Bekerjanya sebagai insektisida kontak atau sistemik. Pada umumnya, senyawa organophosphat merupakan senyawa-senyawa yang cepat


(30)

dihidrolisis bila tercampur dengan air, memiliki aktivitas residu dalam waktu pendek, karena itu perlu diaplikasikan berulang-ulang dan sedikit meninggalkan residu bila disemprotkan.

2. Organochlorine

Organoclor adalah pestisida yang mengandung unsur-unsur karbon, hidrogen, dan clorine. Atom-atom chlor dalam komposisinya terikat pada atom hidrokarbon, misal DDT (dicloro Diphenyl Trichloretane), aldrin, dieldrin, endrin, lidane,heptaklor, toksafin, dan beberapa lainnya. Kebanyakan diantaranya memiliki aktivitas residu dalam jangka panjang. Ada kecenderungan menumpuk di dalam rantai makanan yang menimbulkan kematian pada ikan dan kehidupan lainnya. Oleh kerena itu penggunaannya sangat dibatasi.

3. Metil Carbamate

Mengandung fenol seperti BPMC, karbaril, propoksur, metiokarb, dan beberapa lainnya; carbamate yang mengandung okime seperti aldikarb, metomil, oksamil, dan oksikarboksin; metil carbamate dan dimetil carbamte yang mengandung senyawa-senyawa hidrosiklik seperti bendiokarb,karbofuran, dimetilon, dioksakarb, dan oksikarboksin. Kebanyakan diantaranya juga memiliki aktivitas residu jangka pendek. Seperti pada organophospor senyawa ini menghalangi kolinesterase. Herbisida profam dan klorprofarm juga termasuk karbamat ini.

4. Piretroid

Senyawa-senyawa yang struktur kimianya seperti piretrin yang berasal dari tumbuan. Piretroid ini menunjukkan efikasi yang lebih tinggi terhadap


(31)

serangga dan pada umumnya toksisitasnya terhadap mamalia lebih rendah dibandingkan dengan insektisida lainnya. Namun kebanyakan diantaranya sangat toksisk terhadap ikan, tawon madu, dan serangga berguna lainnya. Bekerjanya terutama secara kontak dan tidak sistemik. Kebanyakan senyawa piretroid adalah lipofilik dan tidak larut dalam air. Sifat ini meningkatkan ketahanannya terhadap air dan resistensinya pada daun. Kebanyakan diantaranya bertekanan udara rendah dan karena itu tidak dapat menguap. Ada yang peka terhadap sinar matahari (alletrin, bioalletrin) karena itu tidak dipergunakan di lapangan. Yang tahan sinar matahari seperti sipermetrin, permetrin, dekametrin, dipergunakan mengendalikan hama di lapangan (Ekha,1988).

2.1.2 Bentuk Formulasi Pestisida

1. Formulasi cair

Formulasi pestisida bentuk cair biasanya terdiri dari pekatan yang dapat diemulsikan (EC), pekatan yang larut dalam air (SL), pekatan dalam air (AC), pekatan dalam minyak (OC), aerosol (A), gas yang dicairkan (LG).

a. Pekatan yang diemulsikan

Formulasi pekatan yang dapat diemulsikan atau Emulsifiable Concentrate (yang lazim disingkat EC) merupakan formulasi dalam bentuk cair yang dibuat dengan melarutkan bahan aktif dalam pelarut tertentu dan ditambah sufaktan atau bahan pengemulsi.

Formulasi untuk penyemprotan penggunaan perlu diencerkan dengan air, sehingga formulasi ini akan segera menyebar dan membentuk emulsi serta memerlukan sedikit pengadukan.


(32)

Pestisida yang termasuk formulasi pekatan yang dapat diemulsikan mempunyai kodeECdibelakang nama dagangnya.

b. Pekatan yang larut dalam air

Formulasi yang larut dalam air atau Water Soluble Concentratre (SL) merupakan formulasi cair yang terdiri dari bahan aktif yang dilarutkan dalam pelarut tertentu yang dapat bercampur baik dengan air. Formulasi ini sebelum digunakan terlebih dahulu diencerkan dengan air kemudian disemprotkan. Pestisida yang termasuk formulasi ini mempunyai kode SL di belakang nama dagangnya.

c. Pekatan dalam air

Formulasi pekatan dalam air atau Aqueous Concentrate (AC) merupakan pekatan pestisida yang dilarutkan dalam air. Biasanya pestisida yang diformulasikan sebagai pekatan dalam air adalah bentuk garam dari herbisida asam yang mempunyai kelarutan dalam air.

Pestisida yang termasuk formulasi ini mempunyai kode AC di belakang nama dagangnya.

d. Larutan dalam minyak

Pekatan dalam minyak atau Oil Miscible Concntrate (OL) adalah formulasi cair yang mengandung bahan aktif dalam konsentrasi tinggi yang dilarutkan dalam pelarut hidrokarbon aromatic seperti xilin atau nafta. Formulasi ini biasanya digunakan setelah diencerkan dalam hidrokarbon yang lebih murah seperti solar kemudian disemprotkan atau dikabutkan(fogging).


(33)

Pestisida yang termasuk formulasi ini mempunyai koe OL di belakang nama dagangnya.

e. Aerosol

Formulasi pestisida aerosol adalah formulasi cair yang mengandung bahan aktif yang dilarutkan dalam pelarut organik. Ke dalam larutan ini ditambahkan gas yang bertekanan dan kemudian dikemas menjadi kemasan yang siap pakai dan dibuat dalam konsentrasi yang rendah.

Pestisida yang temasuk formulasi ini mempunyai kode A di belakang nama dagangnya.

f. Gas yang dicairkan atauLiquefield Gases

Formulasi ini adalah formulasi pestisida bahan aktif dalam bentuk gas yang dipampatkan pada tekanan dalam suatu kemasan. Formulasi pestisida ini digunakan dengan cara fumigasi ke dalam ruangan atau tumpukan bahan makanan atau penyuntikan ke dalam tanah.

Pestisida yang termasuk formulasi ini mempunyai kode LG di belakang nama dagangnya.

2. Formulasi Padat

a. Tepung yang dapat disuspensikan/dilarutkan

Formulasi tepung yang dapat disuspensikan atau Wettable Powder

(WP) atau disebut juga Dispersible Powder (DP) adalah formulasi yang berbentuk tepung kering yang halus, sebagai bahan pembawa inert (misalnya: tepung tanah liat), yang apabila dicampur dengan air akan membentuk


(34)

suspensi, dan ditambah dengan bahan aktif atau pestisida. Ke dalam formulasi ini juga ditambahkan surfaktan sebagai bahan pembasah atau penyebar.

Pestisida yang termasuk formulasi ini mempunyai kode WP di belakang nama dagangnya.

b. Tepung yang dilarutkan

Formulasi yang dapat dilarutkan atau Soluble Powder (SP) sama dengan formulasi tepung yang dapat disuspensikan, tapi bahan aktif pestisida maupun bahan pembawa bahan lainnya.

Pestisida yang termasuk formulasi ini mempunyai kode SP di balakang nama dagangnya.

c. Butiran

Dalam formulasi butiran atau Granula (G), bahan aktif pestisida dicampur atau dilapisi oleh penempel pada bagian luar bahan pembawa inert, seperti tanah liat, pasir, atau tongkol jagung yang ditumbuk. Kadar aktif formulasi ini berkisar antara 1-40%. Formulasi ini digunakan secara langsung tanpa bahan pengencer dengan cara menabur.

d. Pekatan debu

Pekatan debu atau Dust Concentrate (DC) adalah tepung kering yang mudah lepas denganukuran dari 75 micron, yang mengandung bahan aktif dalam konsentrasi yang relatif tinggi, berkisar antara 25-75%.

Pestisida yang termasuk formulasi ini mempunyai kode DC dibelakang nama dagangnya.


(35)

e. Debu

Formulasi pestisida dalam bentuk debu atauDust (D) terdiri dari bahan pembawa yang kering dan halus, mengandung bahan aktif dalam konsentrasi antara 1-10%. Ukuran partikel debu kurang dari 70 micron.

Pestisida yang termasuk formulasi ini mempunyai kode D di belakang nama dagangnya.

f. Umpan

Formulasi umpan atau Block Bait (BB) adalah campuran bahan aktif pestisida dengan bahan penambah inert. Formulasi ini biasanya berbentuk bubuk, pasta atau butiran.

Pestisida yang termasuk formulasi ini mempunyai kode D di belakang nama dagangnya.

g. Tablet

Formulasi ini ada 2 macam yang pertama tablet yang terkena udara akan menguap menjadi fumigant. Bentuk ini akan digunakan di gudang atau perpustakaan untuk membunuh hama (kecoa).

3. Padatan Lingkar

Formulasi padatan lingkar adalah campuran bahan aktif pestisida dengan serbuk gergaji kayu dan perekat yang dibentuk menjadi padatan melingkar.

Formulasi ini mempunyai kode MC di belakang nama dagangnya (Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian, 2011).


(36)

2.1.3 Toksisitas Pestisida

Penggunaan pestisida untuk mengendalikan hama-hama tanaman selalu mempunyai dua sisi: bila ia efektif dan diaplikasikan menurut petunjuk, dapat menurunkan populasi hama tanaman; tetapi selalu mengandung resiko kecelakaan pada manusia dalam bentuk keracunan kronik/akut dan atau kematian dan pencemaran lingkungsn. Belum lagi resiko reaksi populasi hama sasaran yang diperlakukan dengan pestisida tertentu secara berulang-ulang.

Untuk mengurangi berbagai resiko yang tidak dikehendaki tersebut dan menetapkan prosedur penggunaan pestisida mutlak perlu diketahui bagaimana terjadinya keracunan itu dan derajat keracunan setiap jenis pestisida. Manusia/hewan dapat keracunan pestisida melalui mulut (oral), karena sejumlah pestisida tertelan. Dapat juga melalui kulit (dermal), karena masuk melalui tubuh melalui pori-pori dan kulit itu sendiri. Keracunan dapat juga terjadi melalui paru-paru ketika udara yang tercemar pestisida terhirup (Oka, 1995).

Daya racun pestisida biasanya ditunjukkan oleh angka toksisitas akut hasil uji laboratorium dengan hewan percobaan (umumnya menggunakan tikus). Studi tosisitas akut pada hewan menghasilkan data LD50. Artinya, jumlah atau dosis

bahan teknis (mg) dalam setiap 1 kg bobot badan binatang uji yang dapat mematikan 50% binatang uji tersebut (Sembodo, 2010). Namun, antara LD50oral

dan LD50dermaldibedakan. LD50oraladalah kematian yang terjadi bila binatang

uji tersebut makan dan LD50dermaladalah kematian karena keracunan lewat kulit

(Djojosumarto, 2000). Berdasarkan nilai LD50 WHO menyusun kelas bahaya


(37)

Tabel 2.1 Kelas Bahaya Pestisida Menurut WHO Kelas

LD50akut (tikus) formulasi (mg/kg)

Oral Dermal

Padat Cair Padat Cair

Sangat berbahaya

≤ 5 ≤ 20 ≤ 10 ≤ 40

Bahaya tinggi 5-50 20-200 10-100 40-400

Bahaya sedang 50-500 200-2000 100-1000 400-4000

Bahaya rendah ≥ 5001 ≥ 2001 ≥ 1001 ≥ 4000

Sumber: (Sembodo, 2010).

Data LD50 untuk setiap senyawa kimia perlu dibedakan antarabahan

teknikal (bahan aktif) dan bahan formulasi yang siap digunakan petani. Semakin rendah nilai LD50 berarti pestisida tersebut semakin beracun. Namun harus

dipahami lagi bahwa semua pestisida adalah racun, tergantung dari dosis dan konsentrasi serta organ mana yang teracuni. Setinggi apapun nilai LD50, kalau

dosis yang diberikan tinggi juga akan beracun. Demikian juga dengan konsentrasi, semakin pekat akan semakin beracun. Karena itu dalam aplikasinya, penyemprotan pestisida dengan LD50 rendah dianjurkan menggunakan volume

semprotan tinggi supaya konsentrasi larutan pestisida yang siap disemprotkan menjadi rendah (Sembodo, 2010).

2.1.4 Bidang Sasaran Aplikasi Pestisida

Sasaran biologis aplikasi pestisida pertanian adalah organisme pengganggu tanaman (OPT), yakni hama, penyakit tanaman, dan gulma. Namun, dalam praktek aplikasi pestisida tidak langsung diaplikasikan pada OPT, melainkan diaplikasikan dalam suatu bidang sasaran. Bidang sasaran adalah suatu bidang atau ruang tempat OPT berada, menempel, tumbuh, berkeliaran, mencari


(38)

makan, tidur, berkembang biak , dan sebagainya. Dengan aplikasi bidang sasaran ini, diharapkan OPT akan terpapar bahan aktif pestisida dalam jumlah yang cukup untuk membunuh atau mengendalikannya. Misalnya insektisida racun perut disemprotkan pada daun-daun tanaman dengan harapan hama akan datang dan makan daun yang sudah disemprot dengan insektisida tersebut dan mati. Insektisida sistemik berbentuk butiran diaplikasikan pada tanah agar bahan aktif insektisida diserap oleh akar tanaman dan diedarkan ke seluruh bagian tanaman. Bila suatu saat hama datang dan makan bagian tanaman yang sudah mengandung bahan aktif insektisida tersebut akan mati.

Perhitungan aplikasi produk perlindungan tanaman umumnya tidak didasarkan atas besarnya populasi OPT, tetapi lebih didasarkan pada luas bidang sasaran atau volume ruang sasaran. Beberapa bidang sasaran (sasaran fisik) yang umumnya dalam aplikasi pestisida pertanian antara lain sebagai berikut.

1. Tanaman atau bagian tanaman (terutama daun)

Bidang sasaran ini sangat umum pada aplikasi penyemprotan insektisida dan fungisida untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman. Tanaman atau bagian tanaman juga merupakan sasaran untuk aplikasi dengan cara pengembusan

(dusting), mist blowing, dan sebagainya. Perhitungan aplikasi umumnya didasarkan atas luas lahan yang akan disemprot (sangat umum untuk tanaman semusim), jumlah pohon, panjang barisan, dan sebagainya.

2. Tanah

Tanah merupakan bidang sasaran pada aplikasi herbisida pra-tumbuh (pengendalian gulma) dan aplikasi pestisida butiran (insektisida dan fungisida)


(39)

serta sterilisasi tanah. Perhitungan apliksai umumnya didasarkan atas luas lahan yang akan diaplikasi.

3. Gulma

Pada penyemprotan pasca-tumbuh, bidang sasaran dan sasaran biologisnya sama, yakni gulma. Perhitungan aplikasi didasarkan atas luas lahan yang akan diaplikasi.

4. Air

Bidang sasran lainnya adalah air. Pada aplikasi herbisida pra-tumbuh di lahan sawah dan daerah perairan (sungai dan danau), herbisida langsung disemprotkan ke permukaan air. Demikian pula, pada metode herbigation,

herbisida diaplikasikan lewat air irigasi. Air juga merupakan sasaran aplikasi insektisida untuk pengendalian nyamuk, hama air, dan sebagainya. Perhitungan aplikasi didasarkan atas luas lahan atau perkiraan volume air yang akan diperlakukan dengan pestisida.

5. Ruangan

Ruangan merupakan sasaran fisik yang umum pada pengendalian hama gudang dengan sistem fumigasi. Perhitungan aplikasi fumigan didasarkan atas volume ruangan yang akan diaplikasikan.

6. Tembok, lingkungan, tubuh ternak.

Diluar bidang pertanian masih ada beberapa bidang sasaran lainnya yakni tembok (pengendalian nyamuk, jamur), lingkungan (kesehatan lingkungan), tubuh ternak (untuk mengendalikan ektoparasit ternak), dan sebagainya (Djojosumarto, 2000).


(40)

2.1.5 Manfaat dan Dampak Negatif Pestisida

1. Manfaat Penggunaan Pestisida

Pengendalian organisme pengganggu dengan pestisida banyak digunakan secara luas oleh masyarakat, karena mempunyai banyak kelebihan dibandingkan dengan cara pengendalian yang lain yaitu:

a. Dapat diaplikasikan dengan mudah

Pestisida dapat diaplikasikan dengan menggunakan alat yang relatif sederhana (sprayer, duster, bak celup, dan sebagainya), bahkan ada yang tanpa memerlukan alat (ditaburkan).

b. Dapat diaplikasikan hampir di setiap waktu dan tempat

Pestisida dapat diaplikasikan di setiap waktu (pagi, siang, sore, atau malam) dan di setiap tempat, baik di tempat tetutup maupun di tempat terbuka. c. Hasilnya dapat dirasakan dalam waktu singkat

Hasil penggunaan pestisida misalnya dalam bentuk penurunan populasi organisme pengganggu dapat dirasakan dalam waktu singkat, dalam beberapa hal, hasilnya dapat dirasakan hanya beberapa menit setelah aplikasi.

d. Dapat diaplikasikan dalam areal yang luas dalam waktu singkat

Hal ini sangat diperlukan dalam mengendalikan daerah serangan yang luas dan harus diselesaikan dalam waktu singkat (misalnya dalam kasus eksplosif organisme penggangu). Misalnya dengan menggunakan alat mistblower, power spayer, bahkan kapal terbang.

e. Mudah diperoleh dan memberikan keuntungan ekonomi terutama jangka pendek.

Perhitungan untung rugi secara eknomi dalam menggunakan pestisida relatif lebih mudah dilakukan. Makin langka dan mahalnya tenaga kerja di


(41)

sektor pertanian berakibat makin mendorong masyarakat petani untuk menggunakan pestisida.

2. Dampak Negatif Pestisida a. Terhadap Konsumen

Adapun dampak pestisida bagi konsumen umumnya berbentuk keracunan kronis yang tidak langsung dirasakan. Namun, dalam waktu lama mungkin bisa menimbulkan gangguan kesehatan. Meskipun sangat jarang, pestisida dapat pula menyebabkan keracunan akut, misalnya dalam hal mengonsumsi produk pertanian yang mengandung residu dalam jumlah besar (Djojosumarto, 2008). b. Terhadap Kesehatan

Umumnya keracunan pestisida terjadi dengan adanya kontak dengan pestisida selama beberapa minggu. Orang tidak akan sakit langsung setelah terpapar pestisida, tetapi membutuhkan waktu sampai beberapa waktu kemudian. Pestisida masuk dalam tubuh manusia dengan cara sedikit demi sedikit dan mengakibatkan keracunan kronis. Bisa pula berakibat racun akut bila jumlah yang masuk dalam tubuh manusia dalam jumlah yang cukup (Wudianto, 2010).

1) Keracunan akut

Keracunan akut biasanya terjadi pada pekerja yang langsung bekerja menggunakan pestisida atau terjadi pada saat aplikasi pestisida. Cara pestisida masuk kedalam tubuh :

a) Penetrasi lewat kulit (dermal contamination)


(42)

c) Masuk ke dalam saluran pencernaan makanan lewat mulut (oral). 2) Keracunan kronis

Keracunan kronis terjadi apabila penderita terkena racun dalam jangka waktu panjang dengan dosis rendah. Gejala keracunan ini baru kelihatan setelah beberapa waktu (bulan atau tahun kemudian). Keracunan kronis lebih sulit dideteksi karena tidak segera terasa dan tidak menimbulkan gejala serta tanda yang spesifik. Dan beberapa dampak akibat keracuan kronis akibat pestisida.

a) Pada Syaraf

Gangguan otak dan syaraf yang paling sering terjadi akibat terpapar pestisida selama bertahun-tahun adalah masalah pada ingatan, sulit berkonsentrasi, perubahan kepribadian, kelumpuhan, bahkan kehilangan kesadaran dan koma.

b) Pada Hati (Liver)

Karena hati adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menetralkan bahan-bahan kimia beracun, maka hati itu sendiri sering kali dirusak oleh pestisida apabila terpapar selama bertahun-tahun. Hal ini dapat menyebabkan Hepatitis.

c) Pada Perut

Muntah-muntah, sakit perut dan diare adalah gejala umum dari keracunan pestisida. Banyak orang-orang yang dalam pekerjaannya berhubungan langsung dengan pestisida selama bertahun-tahun, mengalami masalah sulit makan. Orang yang menelan pestisida (baik


(43)

sengaja atau tidak) efeknya sangat buruk pada perut dan tubuh secara umum. Pestisida merusak langsung melalui dinding-dinding perut.

d) Pada Sistem Kekebalan

Beberapa jenis pestisida telah diketahui dapat mengganggu sistem kekebalan tubuh manusia dengan cara yang lebih berbahaya. Beberapa jenis pestisida dapat melemahkan kemampuan tubuh untuk menahan dan melawan infeksi. Ini berarti tubuh menjadi lebih mudah terkena infeksi, atau jika telah terjadi infeksi penyakit ini menjadi lebih serius dan makin sulit untuk disembuhkan.

e) Pada Sistem Hormon

Hormon adalah bahan kimia yang diproduksi oleh organ-organ seperti otak, tiroid, paratiroid, ginjal, adrenalin, testis dan ovarium untuk mengontrol fungsi-fungsi tubuh yang penting. Beberapa pestisida mempengaruhi hormon reproduksi yang dapat menyebabkan penurunan produksi sperma pada pria atau pertumbuhan telur yang tidak normal pada wanita. Beberapa pestisida dapat menyebabkan pelebaran tyroid yang akhirnya dapat berlanjut menjadi kanker tyroid.

c. Terhadap Lingkungan

Menurut Soemirat (2007) Insektisida dapat berpengaruh terhadap lingkungan sebagai berikut :

a) Residu Insektisida dalam Tanah

Penyemprotan pestisida akan berada di udara yang lama kelamaan akan jatuh ke tanah. Untuk jenis pestisida yang tidak mudah menguap akan


(44)

berada di dalam tanah terutama dari golongan organoklorin karena sifatnya yang persisten.

b) Residu Insektisida dalam Air

Pestisida yang disemprotkan dan yang sudah berada didalam tanah dapat terbawa oleh air hujan atau aliran permukaan sampai ke badan air, berupa sungai dan sumur.

c) Residu Insektisida di Udara

Pestisida dapat berada di udara setelah disemprotkan dalam bentuk partikel air(droplet)atau partikel yang terformulasi jatuh pada tujuannya. d) Residu Pestisida pada Tanaman

Insektisida yang disemprotkan padan tanaman tentu akan meninggalkan residu. Residu insektisida terdapat pada semua tubuh tanaman seperti batang, daun, buah dan juga akar. Khusus pada buah, residu ini terdapat pada permukaan maupun daging dari buah tersebut.

Walaupun sudah dicuci, atau dimasak residu pestisida ini masih terdapat pada bahan makanan.

e) Residu Pestisida di Lingkungan Kerja

Pestisida kebanyakan digunakan di pertanian, sehingga perlu diketahui bahwa insektisida dapat menimbulkan masalah kesehatan pekerja pertanian atau petani termasuk juga pencampuran pestisida. Kebanyakan petani di Indonesia mengetahui bahaya pestisida, namun mereka tidak peduli dengan akibatnya.


(45)

d. Terhadap lingkungan Pertanian

Menurut Djojosumarto (2008), bahwa dampak pestisida bagi lingkungan pertanian yaitu:

a) Organisme pengganggu tanaman menjadi kebal terhadap suatu pestisida (timbul resistensi organisme pengganggu tanaman terhadap pestisida). Resistensi hama muncul apabila suatu jenis hama yang mula-mula dapat terbunuh oleh suatu dosis kemudian menjadi kebal oleh dosis tersebut. Untuk dapat mematikan hama tersebut dibutuhkan konsentrasi atau dosis insektisida yang lebih tinggi.

b) Meningkatkan populasi hama setelah pengguanan pestisida (resurjensi hama). Sifat resurjensi hama muncul apabila hama telah mengalami perlakuan pestisida, populasinya tidak menurun, tetapi sebaliknya menjadi meningkat jika dibandingkan populasi sebelum diadakan penyemprotan insektisida.

c) Timbulnya hama baru, bisa hama yang selama ini dianggap tidak penting maupun hama yang sama sekali baru. Aplikasi pestisida yang ditujukan untuk mengendalikan jenis hama tertentu malah mengakibatkan munculnya jenis hama baru. Hal ini karena insektisida yang digunakan di bidang pertanian memiliki sifat berspektrum luas yang berarti akan dapat mematikan tidak saja hama sasaran melainkan organisme lainnya termasuk musuh alami.


(46)

d) Meracuni tanaman bila salah menggunakannya. Khususnya pada tanaman pertanian adanya residu yang disebabkan karena aplikasi pestisida selama kegiatan usahataninya.

2.1.6 Cara Masuk Pestisida ke Dalam Tubuh

Menurut Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian (2011), pestisida dapat masuk ketubuh manusia melaui berbagai cara, yaitu:

1. Kontaminasi Lewat Kulit

Pestisida yang menempel dipermukaan kulit dapat meresap ke dalam tubuh dan menimbulkan keracunan. Kejadian kontaminasi pestisida lewat kulit merupakan kontaminasi yang paling sering terjadi. Tingkat bahaya kontaminasi lewat kulit dipengaruhi bebrapa faktor, yaitu: a). Toksisitas dermal (dermal LD50 pestisida yang bersangkutan, b). Konsentrasi pestisida yang menempel

pada kulit, c). Formulasi pestisida, d). Jenis atau bagian kulit yang terpapar, e). Luas kulit yang terpapar, f). Lamanya kulit terpapar, g). Kondisi fisik seseorang.

2. Terhisap Lewat Hidung

Keracunan pestisida karena partikel pestisida terhisap lewat hidung merupakan yang terbanyak kedua sesudah kontaminasi kulit. Gas dan partikel semprotan yang sangat halus dapat masuk ke paru-paru, sedangkan partikel yang lebih besar akan menempel diselaput lendir hidung atau di kerongkongan. Pestisida yang berbentuk gas mudah masuk kedalam paru-paru dan sangat berbahaya. Partikel ataudropletyang berukuran < 10 mikron dapat mencapai paru-paru.


(47)

3. Melalui Mulut

Hal ini terjadi apabila seseorang meminum pestisida secara sengaja ataupun tidak, ketika seseorang makan atau minum air yang telah tercemar, atau ketika makan dengan tangan tanpa mencuci tangan terlebih dahulu setelah berurusan dengan pestisida.

2.2 Organofosfat

2.2.1 Pengertian Organofosfat

Organofosfat memiliki struktur kimia dengan atom oksigen atau sulfur yang berikatan ganda dengan fosfor, sehingga disebut phosphate atau phosphorothioates. Sebagian besar senyawa organofosfat berikatan dengan sulfur, karena bentuk P=S lebih stabil dan lebih larut lemak (WHO, 1996).

2.2.2 Sumber, Jenis, dan Karakteristik

Organofosfat disintesis pertama di Jerman pada awal perang dunia ke II.Pada awal sintesisnya diproduksi senyawa tetraethyl pyrophosphate (TEPP), parathion dan schordan yang sangat efektif sebagai insektisida, tetapi jugacukup toksik terhadap mamalia (Sudarno, 2007). Organofosfat yang mempunyai sifat larut dalam air, terhidrolisis dengan cepat di dalam air dengandemikian daya toksisitasnya cepat hilang dan berupa cairan tidak berwarna, tidak berbau dan mudah menguap.

Secara kebetulan senyawa organofosfat ini mempunyai potensi yang baik untuk digunakan sebagai insektisida. Senyawa organofosfat tidak stabil, karena itu dari segi lingkungan senyawa ini lebih baik daripada organoklorin. Senyawa


(48)

organofosfat mempengaruhi sistem saraf dan mempunyai cara kerja menghambat enzim cholinesterase (Sastroutomo, 1992).

Setiap jenis pestisida mempunyai tiga jenis nama, yaitu nama umum, nama dagang, dan nama kimia. Nama dagang suatu jenis pestisida diberikan oleh si pembuatnya atau pabriknya sendiri sehingga kadangkala terdapat beberapa jenis pestisida mempunyai bahan aktif yang sama tetapi dengan nama dagang yang berbeda. Senyawa organofosfat merupakan golongan insektisida yang cukup besar. Lebih daripada 100.000 senyawa organofosfat telah diuji untuk mencari senyawa-senyawa yang mempunyai sifat sebagai insektisida. Dari jumlah ini hanya 100 senyawa saja yang berhasil diperdagangkan sebagai insektisida secara luas (Sastroutomo, 1992).

2.2.3 Dampak Organofosfat Terhadap Kesehatan

Cholinesterase ialah suatu enzym yang merupakan katalis biologik yang dalam jaringan tubuh berperan untuk menjaga agar otot-otot, kelenjer-kelenjer dan sel-sel syaraf bekerja secara terorganisir dan harmonis. Jika aktivitas cholinesterase jaringan turun secara drastis (cepat) sampai pada tingkat rendah, dampaknya adalah bergeraknya serat-serat otot secara tak sadar dengan gerakan halus maupun kasar dan pengeluaran air mata serta ludah secara berlebihan. Pernafasan kemudian menjadi lemah dan dan detak jantung menjadi lebih lambat dan lemah (Depkes, 1989).

Oleh sebab itu, menurut Depkes (1989), defenisi kadar cholinesterase plasma atau sel darah merah merupakan indikator adanya penyerapan yang berlebihan dari pestisida yang bertahan sampai 12 minggu. Fosfat organik


(49)

menghasilkan metabolit yang biasanya dapat ditemukan dalam urine korban keracunan dalam waktu 12-48 jam sesudah penyerapan dalam jumlah yang cukup berarti.

Menurut Depkes (1989), proporsi aktifitas cholinesterase dalam darah dinyatakan dalam persen (%) dengan klasifikasi keracunan sebagai berikut:

1. 75-100% termasuk kategori normal, yaitu tingkat pemaparannya masih normal. Pada kelompok ini tidak ada tindakan yang diperlukan tetapi perlu selalu diuji ulang.

2. 50-74% termasuk kategori keracunan ringan, yaitu tingkat keracunan masih ringan. Pada kelompok ini telah terjadi keracunan pestisida sehingga jika penderitanya lemah dianjurkan agar istirahat (tidak kontak) dengan pestisida minimal selama 2 minggu kemudian baru diuji ulang kembali. 3. 25-49% termasuk kategori keracunan sedang, yaitu tingkat keracunan

sedang. Pada kelompok ini telah terjadi keracunan pestisida yang sangat serius sehingga penderita dianjurkan untuk menghentikan segala kegiatan yang terkait dengan pestisida.

4. 0-24% termasuk kategori keracuanan berat, yaitu tingkat keracuanan berat. Pada kelompok ini keracunan pestisida sudah sangat serius dan berbahaya sehingga penderita harus israhat dari semua jenis pekerjaan dan perlu dirujuk ke unit pelayanan medis.

Pada masyarakat yang terkena racun insektisida organofosfat, tanda dan gejala keracuanan adalah timbul gerakan otot-otot tertentu, penglihatan kabur, mata berair, mulut berbusa, banyak keringat, air liur banyak keluar, mual, pusing,


(50)

kejang-kejang, muntah-muntah, detak jantung menjadi cepat, mencret, sesak nafas, otot tidak bisa digerakkan, dan akhirnya pingsan (Wudianto, 2010).

Menurut Alegantina dkk (2005), yang mengutip pendapat Darmansjah (1987) menyebutkan bahwa cara kerja organofosfat adalah menghambat penyaluran impuls saraf dengan cara mengikat kolinesterase sehingga tidak terjadi hidrolisis asetilkolin. Secara sederhana reaksi pengikatan kolinesterase dengan organofosfat dapat digambarkan sebagai berikut:

Asetilkolin kolin + asam asetat Kolinesterase

fosforilasi

organofosfat

Gambar 2.1 Reaksi pengikatan kolinesterase dengan organofosfat. Asetilkolin adalah suatu neurotransmitter yang terdapat di antara ujung-ujung saraf dan otot serta berfungsi meneruskan rangsangan saraf, Apabila rangsangan ini berlangsung terus menerus akan menyebabkan penimbunan asetilkolin. Kolinesterase yang terdapat di berbagai jaringan dan cairan tubuh dapat menghentikan rangsangan yang ditimbulkan asetilkolin di berbagai tempat dengan jalan menhidrolisis asetilkolin menjadi kolin dan asam asetat dalam waktu sangat cepat sehingga penimbunan asetilkolin tidak terjadi.

Sewaktu insektsida organfosfat terpajan kepada seseorang, asetilkolinesterase dihambat sehingga terjadi akumulasi asetilkolin, asetilkolin yang ditimbun dalam susunan syaraf pusat akan mengakibatkan tremor,


(51)

inkoordinasi, kejangkejang, dan lain-lain. Dalam sistem syarat autonom akumulasi ini akan menyebabkan diare, urinisasi tanpa sadar, bronko konstriksi, miosis.

Menurut Mukono (2011) akibat inhibisi Acetilcholinesterase(AChE) di dalam sistem syaraf mengakibatkan gangguan keracunan seperti:

1. Keracunan akut

a. Manifestasi muscarinik, yaitu gejala pencernaan seperti mual, muntah, aktifitas kelenjer keringat meningkat, aktifitas kelenjer ludah meningkat, aktifitas kelenjer mata meningkat, dan ketajaman mata berkurang.

b. Manifestasi nikotinik, sepeti sesak napas, kram, pada otot tertentu dan

cynosis.

c. Manifestasi susunan syaraf pusat seperti rasa cemas, sakit kepala, kesukaran tidur, depresi, tremor, kejang, gangguan pernafasan, dan peredaran darah.

2. Keracunan Kronis

Ada beberapa jenis keracunan kronis yang disebabkan pestisida organofosfat, yaitu:

a. Carsinogenik(pembentukan kelenjer kanker)

b. Teratogenik (kelahiran anak cacat dari ibu yang keracunan insektisida).


(52)

2.2.4 Mekanisme Organofosfat dalam Tubuh

Dampak pestisida terhadap kesehatan bervariasi, antara lain tergantung dari golongan, intensitas pemaparan, jalan masuk dan bentuk sediaan. Efek kesehatan yang timbul juga dipengaruhi toksisitas masing-masing bahan aktif dalam senyawa organofosfat.

Pestisida masuk ke dalam tubuh manusia melalui kulit, mulut, saluran pencernaan, pernafasan. Di dalam darah manusia pestisida ini akan berikatan dengan enzim cholinesterase yang berfungsi untuk mengatur kerja syaraf. Dan karena adanya pestisida dalam darah maka Acetilcholinesterase (AchE) akan di ikat oleh pestisida, sehingga enzim tidak dapat melaksanakan tugasnya dalam tubh terutama meneruskan untuk mengirim perintah kepada otot-otot. Akibatnya otot-otot bergerak tanpa dapat dikendalikan (Sudarno, 1997).

Dalam tubuh manusia diproduksi asetikolin dan enzim kholinesterase. Enzimckholinesterase berfungsi memecah asetilkolin menjadi kolin dan asam asetat. Asetilkolin dikeluarkan oleh ujung-ujung syaraf ke ujung syaraf berikutnya, kemudian diolah dalam Central nervous system (CNS), akhirnya terjadi gerakan gerakan tertentu yang dikoordinasikan oleh otak. Apabila tubuh terpapar secara berulang pada jangka waktu yang lama, maka mekanisme kerja enzim kholinesterase terganggu, dengan akibat adanya ganguan pada sistem syaraf. Asetikholinesterase adalah suatu enzim, terdapat pada banyak jaringan yang menghidrolisis asetilkholin menjadi kholin dan asam asetat. Sel darah merah dapat mensintesis asetilkholin dan bahwa kholin asetilase dan asetilkholinesterase keduanya terdapat dalam sel darah merah. Kholin asetilase juga ditemukan tidak


(53)

hanya di dalam otak tetapi juga di dalam otot rangka,limpa dan jaringan plasenta (Syarief, 2007).

Asetilkholin berperan sebagai jembatan penyeberangan bagi mengalirnya getaran syaraf. Melalui sistem syaraf inilah organ-organ di dalam tubuh menerima informasi untuk mempergiat atau mengurangi efektifitas sel. Pada sistem syaraf, stimulas yang diterima dijalarkan melalui serabut-serabut syaraf (akson) dalam betuk impuls. Setelah impuls syaraf oleh asetikholin dipindahkan (diseberangkan) melalui serabut, enzim kholinesterase memecahkan asetilkholin dengan cara meghidrolisis asetilkholin menjadi kholin dan sebuah ion asetat, impuls syaraf kemudian berhenti. Reaksi-reaksi kimia ini terjadi sangat cepat (Dirjen PPM & PLP, 2001).

Hadirnya pestisida golongan organofosfat di dalam tubuh akan menghambat aktifitas enzim asetilkholinesterase, sehingga terjadi akumulasi substrat (asetilkholin) pada sel efektor. Keadaan tersebut diatas akan menyebabkan gangguan sistem syaraf yang berupa aktifitas kolinergik secara terus menerus akibat asetilkholin yang tidak dihidrolisis. Gangguan ini selanjutnya akan dikenal sebagai tanda-tanda atau gejala keracunan (Syarief, 2007).

2.3 Residu Pestisida

Residu pestisida adalah sisa pestisida, termasuk hasil perubahannya yang terdapat pada atau dalam jaringan manusia, hewan, tumbuhan, air, udara atau tanah (Deptan, 2009). Beberapa yang mengindikasikan batas residu, digunakan untuk memprediksi pemasukan residu pestisida. Batas maksimum residu (BMR)


(54)

adalah salah satu indeks konsentrasi maksimum dari residu pestisida (ditetapkan dalam mg/kg) yang direkomendasikan sebagai batasan yang diijinkan secara legal pada komoditas makanan dan daging hewan.

Berdasarkan peraturan yang dikeluarkan badan Standar Nasional Indonesia (SNI) tahun 2008, tentang batas maksimum residu (BMR) pestisida pada tanaman. Residu pestisida untuk golongan organofosfatmasih diperbolehkan ada di dalam tanaman dalam konsentrasi yang telah ditentukan, khusus untuk sayuran batas konsentrasi residu yang diperbolehkan yaitu 0,5 mg/kg.

Menurut Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian (2011), batas maksimum residu (BMR) adalah batas dugaan maximum residu pestisida yang ada dalam berbagai hasil pertanian yang diperoleh. Data BMR Organofosfat berdasarkan Deptan (2009) dapat dilihat pada Tabel 2.2 berikut ini:

Tabel 2.2 Batas Maksimum Residu Organofosfat pada Makanan

No Komoditas BMR (mg/kg)

1 Kentang 0,01

2 Kubis 0,5

3 Mentimun 0,1

4 Paprika 0,05

5 Lobak 0,1

6 Wortel 0,5

7 Bawang bombay 0,05

8 Jagung 0,02


(55)

Selain BMR, Acceptable Daily Intake (ADI) atau batas yang dapat diterima tubuh dalam sehari juga merupakan parameter internasional untuk dievaluasi. Berdasarkan FAO and WHO, ADI untuk organofosfat adalah 0-0,03 mg/kg berat badan (FAO dan WHO, 2010).

2.4 Sayuran

Sayuran didefenisikan sebagai bagian dari tanaman yang umum dimakan untuk memenuhi kebutuhan gizi seseorang (Anonimous, 2003). Istilah sayuran biasanya digunakan untuk merujuk pada tunas, daun, buah, dan akar tanaman yang lunak yang dapat dimakan secara utuh atau sebagian, segar/mentah atau dimasak, sebagai pelengkap pada makanan (Ronoprawiro, 1993).

Kualitas sayuran tergantung dari beberapa faktor yang bila dikombinasikan akan menentukan diterima atau tidaknya sayuran. Dua kategori sayuran yang sering digunakan masyarakat adalah:

1. Sifat-sifat yang mudah teramati (dirasakan), seperti kenampakan, warna, tekstur dan ketegarannya.

2. Sifat-sifat yang kurang mudah teramati (dirasakan) dari aroma dan nilai gizi.

Kedua kategori tersebut sudah begitu mengakar pada diri konsumen. Konsumencenderung memilih sayuran yang nampak sempurna dari segi fisik. Namunmereka tidak (belum) memperhatikan dari segi kandungan residu pestisida yangterdapat dalam tanaman tersebut. Jika seluruh sayuran yang dikonsumsi membawaresidu pestisida sedikit demi sedikit akan terakumulasi dalam tubuh dan pada akhirnya akan menimbulkan berbagai macam jenis penyakit (William,


(56)

Uzo,Peregrine,1993 dalam Hariyani 2005). Adapun ciri-ciri sayuran yang mengandung residu pestisida yaitu, tampak lebih mengkilat, licin, dan menarik; tidak dimakan ulat; akan lebih sulit membusuk setelah dipetik (dipanen) (Badan Ketahanan Pangan, 2004).

Untuk mengurangi residu pestisida pada sayuran, ada beberapa cara yang dapat dilakukan, antara lain:

1. Sayur dicuci dengan air mengalir. Mencuci sayuran dengan air mengalir akan menghilangkan sekitar 25%-75% residu pestisida yang terdapat pada sayuran, tetapi tergantung juga pada jenis pestisidanya. Menurut penelitian Sembiring (2011), diketahui bahwa penurunan residu pestisida sebesar 6,91% pada tanaman cabai. Berdasarkan penelitian Alen dkk (2015), diketahui bahwa pada selada yang dicuci dengan air (0,080 ppm) mengalami penurunan kadar dari selada yang tidak dicuci (0,204 ppm) sebesar 60,1%.

2. Sayur dicuci dengan cairan anti septik khusus. Adanya lapisan putih atau yang sering disebut lapisan lilin/paraffin yang merupakan lapisan sejenis minyak yang menempel pada sayur yang dapat menyerap partikel pestisida, akan hilang jika dicuci dengan cairan antiseptik khusus dan di cuci hingga bersih. Berdasarkan penelitian Sembiring (2011), pencucian dengan cairan antiseptik tertentu mampu menurunkan residu pestisida pada cabai sebesar 16,59%. Penelitian yang dilakukan Alen dkk (2015) menunjukkan adanya penurunan residu pestisida pada sayuran selada setelah dilakukan pencucian


(57)

dengan cairan antiseptik dimana selada yang tidak dicuci (0,204 ppm), mengalami penurunan setelah dicuci yaitu (0,061 ppm) penurunan sebesar 70,1%.

3. Dikupas kulitnya atau bagian terluar dibuang. Sayuran yang berlapis, hendaknya dibuang lapisan paling luarnya, karena pada bagian terluarlah yang paling banyak terpapar oleh pestisida. Kemudian bagian dalamnya juga harus tetap dicuci.

4. Sayur direndam dengan air panas/hangat. Pestisida akan terurai dan lepas pada suhu yang panas, jadi, merendam sayur dalam suhu panas. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sembiring (2011) terjadi penurunan residu pestisida dengan bahan aktif profenofos yaitu dari 0,3399 mg/kg setelah mengalami pencucian dengan air hangat terjadi penurunan yaitu 0,3079 mg/kg atau sebesar 9,41 %. Cara ini ada kelemahannya, yaitu sayur akan layu dan mungkin juga kandungan vitamin dalam sayur akan menurun.

5. Sayur direbus dan dikukus. Berdasarkan penelitian Prakosa dkk (2004) pereburan degan air dapat menurunkan pestisida Klorpirifos pada tomat sebesar 12,62 % dan dengan pengukusan terjadi penurunan sebesar 0,75 % Cara ini merupakan cara yang paling efektif dalam menurunkan residu pestisida. Tetapi, akan ada zat potensial seperti vitamin yang akan rusak jika direbus terlalu lama.


(58)

2.5 Pengertian Dan Klasifikasi Perilaku

Menurut Skinner dalam Notoadmodjo (2003), teori perilaku merupakan teori S-O-R atau Stimulus-Organisme-Respons. Hal ini dikarenakan bahwa perilaku merupakan suatu respons dari organisme terhadap stimulus yang mengenainya. Perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan dalam 3 kelompok, antara lain

1. Perilaku Pemeliharaan Kesehatan

Perilaku pemeliharaan kesehatan merupakan perilaku atau usaha seseorang agar tidak sakit dan upaya untuk sembuh jika dalam keadaan sakit. Perilaku pemeliharaan kesehatan ini terdiri atas 3 bagian, yaitu:

a. Perilaku pencegahan penyakit, penyembuhan pada saat sakit dan pemulihan setelah sembuh dari sakit.

b. Perilaku peningkatan kesehatan jika seseorang masih dalam keadaan sehat. Perlu diketahui bahwa sehat dan sakit merupakan situasi yang dinamis dan relatif.

c. Perilaku gizi makanan dan minuman. Makanan dan minuman dapat memeliharan dan meningkatkan kesehatan, namun dapat juga sebaliknya dapat menyebabkan munculnya berbagai penyakit. Hal ini bergantung pada bagaimana manajemen pengolahan makanan oleh si penjamah makanan.


(59)

2. Perilaku Pencarian dan Penggunaan Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Health Seeking Behavior)

Perilaku ini biasanya dilakukan pada saat seseorang menngalami sakit dan mencari pelayanan kesehatan yang cocok hingga dia kembali sehat dan bisa dilakukan mulai dari pengobatan sendiri (self treatment) bahkan hingga ke luar negeri.

3. Perilaku Kesehatan Lingkungan

Perilaku kesehatan lingkungan merupakan suatu upaya manusia dalam merespons lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial budaya dan lain sebagainya agar tidak memberi pengaruh buruk bagi kesehatannya. Hal yang bisa dilakukan misalnya pengelolaan pembuangan tinja, pengolahan air, pengelolaan tempat pembuangan sampah serta limbah dan lain sebagainya.

2.4.1 Pengetahuan

Pengetahuan adalah suatu bentuk tahuyang diperoleh seseorang dari pengalaman, perasaan, akal pikiran dan intuisinya setekah melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Tingkat pengetahuan dapat diukur melalui wawancara kepada informan terhadap materi yang akan diteliti. Adapun tingkatan dari pengetahuan adalah:

a. Tahu, diartikan sebagai mengingat kembali (recall) hal spesifik dari keseluruhan bahan yang diberikan sebagai rangsangan.

b. Memahami, merupakan kemampuan seseorang dalam menjelaskan atau menginterpretasikan dengan baik bahan yang diberikan sebagai rangsangan.


(60)

c. Aplikasi, merupakan kemampuan seseorang dalam menerapkan bahan yang di pelajari dalam kehidupan yang sebenarnya.

d. Analisis, merupakan kemampuan untuk menjabarkan bahan yang diberikan ke dalam komponen yang masih berada dalam satu topik pembahasan dan masih terkait satu sama lain.

e. Sintesis, merupakan kemampuan untuk menghubungkan bagian-bagian di dalam satu bentuk keseluruhan yang baru.

f. Evaluasi, merupakan kemampuan dalam menilai suatu materi yang berdasarkan pada nilai sendiri maupun nilai yang sudah ada dan sudah ditetapkan.

2.4.2 Sikap

Sikap merupakan suatu respon yang maish bersifat tertutup terhadap objek atau stimulus, karena masih merupakan suatu kesiapan seseorang dalam melakukan suatu tindakan. Pengukuran sikap seseorang dapat dilakukan dengan menanyakan bagaimana pendapat seseorang terhadap suatu objek atau stimulus. Ada beberapa tingkatan dalam sikap, antara lain:

a. Menerima, yang diartikan sebagai seseorang mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan.

b. Merespon, diartikan apabila seseorang menjawab ketika ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan.

c. Menghargai, diartikan jika seseorang mau mengerjakan dan mendiskusikan suatu stimulus yang diberikan.


(61)

d. Bertanggung jawab, diartikan apabila seseorang siap menerima segala resiko dalam melaksanakan stimulus.

2.4.3 Tindakan

Pengetahuan dan sikap masih merupakan perilaku yang bersifat tertutup (concert behavior) yang perlu diubahkan menjadi perilaku yang bersifat terbuka (open behavior) dan dinyatakan dalam suatu tindakan nyata. yang tentunya memerlukan berbagai faktor yang mendukung. Pengukuran terhadap tindakan seseorang dapat dilakukan melalui observasi kegiatan informan. Tindakan terbagi atas 4 tingkatan, yaitu:

a. Persepsi, adalah upaya untuk mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil.

b. Praktik terpimpin (guided response), diartikan apabila seseorang telah melakukan sesuatu tetapi masih tergantung pada tuntunan atau panduan. c. Praktik secara mekanisme (mechanism), apabila subjek atau seseorang

telah melakukan atau mempraktikkan sesuatu hal secara otomatis.

d. Adopsi (adoption), merupakan suatu tindakan atau praktik yang sudah berkembang. Artinya, apa yang dilakukan tidak sekedar rutinitas atau mekanisme saja, tetapi sudah dilakukan modifikasi.


(62)

2.5 Kerangka Konsep

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Residu

pestisida pada sayuran

1. Kubis/Kol 2. Tomat 3. Wortel 4. Kacang

panjang

Ada residu Pemeriksaan

Laboratorium

SNI No 7313 : 2008 tentang BMR pada hasil pertanian

Memenuhi syarat

Tidakmemenuhi syarat

Perilaku Konsumen


(63)

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian adalah survei yang bersifat deskriptif yaitu untuk melihat kadar residu pestisida organofosfat pada sayuran serta tingkat perilaku konsumen di pasar tradisional Pringgan dan Kecamatan Medan Baru tahun 2015.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di pasar tradisional Pringgan Kecamatan Medan Baru yang terdiri dari 45 pedagang sayuran. Adapun alasan pemilihan lokasi ini dikarenakan,

1. Pasar tradisional tersebut sangat banyak dikunjungi oleh masyarakat di kota Medan.

2. Pasar tradisional tersebut banyak menjual berbagai jenis sayur-sayuran sehingga sesuai untuk tempat penelitian.

3. Pasar tradisional berada di daerah yang mudah diakses oleh masyarakat.

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan April- Juli 2015

3.3 Objek Penelitian

Objek penelitian adalah sayuran yang dijual di pasar tradisional Pringgan. Dari pasar tersebut diambil sejumlah sayur sebagai bahan yang langsung diperiksa di Laboratorium Pengujian Mutu dan Residu Pestisida.


(64)

Objek dalam penelitian ini adalah sayuran yang di jual di pasar tradisional tersebut diambil sebanyak 4 sampel karena berdasarkan penelitian sebelumnya, sayuran ini diketahui mengandung residu pestisida. Sayuran tersebut antara lain :

1. Kubis/kol(Brassica oleracea)

2. Tomat(Solanum lycopersicum)

3. Wortel(Daucus carota)

4. Kacang Panjang(Vigna sinensis)

Sayuran diperoleh dari pedagang sayuran di Pasar Pringgan yang berjumlah 45 orang.

3.4 Populasi dan Sampel 3.4.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini terdiri dari seluruh konsumen yang membeli sayuran di Pasar Pringgan.

3.4.2 Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah konsumen yang membeli sayuran di Pasar Pringgan. Besar sampel dapat dihitung dengan rumus perhitungan besar sampel minimal pada umumnya seperti dibawah ini (Kasjono, 2009).

n = (Z1-a/b)2. P (1-P)

d2 Keterangan :

N = Besar sampel

Z1-a/b = Nilai Z pada derajat kemaknaan (biasanya 95% = 1,96)

P = Proporsi suatu kasus tertentu terhadap populasi, bila tidak diketahui proporsinya, ditetapkan 50% (0,5).


(65)

d = Besarnya penyimpangan (absolut) yang bisa diterima (0,1). maka besar sampel minimum adalah :

n = (1,96)2.0,5 (1-0,5) (0,1)2

n = 96.

Hasil : Dibutuhkan paling sedikit 96 responden dari keseluruhan populasi. Pengambilan sampel sebagai responden dilakukan dengan teknik pengambilan sampel secaraaccidental sampling, yaitu mengambil sampel atau responden yang kebetulan ada atau tersedia di lokasi penelitian. Responden yang akan dijadikan sampel adalah konsumen yang sedang membeli sayuran, dengan kriteria :

a. Responden ibu-ibu dengan usia 25-50 tahun b. Tingkat pendidikan SMA, D3, S1,S2.

3.5 Metode Pengumpulan Data 3.5.1 Data Primer

1. Data primer diperoleh melalui hasil pemeriksaan kadar residu pestisida di Laboratorium Pengujian Mutu Dan Residu Pestisida, Dinas Pertanian Provinsi Sumatera Utara UPT. Perlindungan Tanaman Pangan dan Holtikultura.

2. Pengambilan data mengenai perilaku (pengetahuan, sikap, dan tindakan) konsumen dan pedagang tentang residu pestisida pada sayuran yang beredar di Pasar Pringgan dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara dan kuesioner terstruktur.


(66)

3.5.2 Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari kepustakaan, pengumpulan informasi dari internet, penelitian-penelitian yang berhubungan serta referensi atau literatur-literatur yang relevan dengan penelitian yang dilakukan.

3.6 Defenisi Operasional

1. Sayuran adalah tumbuhan yang dapat dimakan sebagai pelengkap makanan yang dijual di pasar tradisional Pringgan, terdiri dari kubis/kol, tomat, wortel, dan kacang panjang.

2. Kadar residu pestisida adalah banyaknya pestisida yang tertinggal atau yang terdapat pada suatu benda termasuk tanaman, air, makanan, dan bahan-bahan lain dengan implikasi waktu.berdasarkan Standart Nasional Indonesia (SNI) memenuhi syarat jika residu pestisida berada di bawah 0,5 kg mg/kg, tidak memenuhi syarat bila residu pestisida berada diatas 0,5 mg/kg.

3. Perilaku konsumen adalah pengetahuan, sikap dan tindakan konsumen yang diukur dengan menggunakan kuesioner yang berisi pertanyaan tentang sayuran dan residu pestisida.

3.7 Cara Pemeriksaan Residu Pestisida 3.7.1 Alat dan Bahan

3.7.1.1 Alat

Alat-alat yang digunakan dalam pemeriksaan pestisida dengan metode pengujian Multiresidu Pestisida Organofosfat Dalam Matriks Lemak adalah :


(67)

1. Peralatan a. Pencincang

b. Blender atau ultra turaks

c. Kromatografi gas dilengkapi dengan detektor spesifik untuk senyawa yang mengandung fosfor (FPD dan NDP).

2. Pereaksi a. Aseton

b. Diklorometana c. Petroleum Benzine d. Iso oktana

e. Toluena

3.7.1.2 Bahan

1. Sawi(Brassica juncea)

2. Kubis/kol(Brassica oleracea)

3. Selada(Lactuca sativa)

4. Tomat(Solanum lycopersicum) 3.7.2 Prosedur Kerja

1. Ekstraksi

a. Sampel dicincang.

b. Timbang 15 gram sayuran, masukkan ke dalam erlenmeyer bertutup asah, tambahkan campuran aseton : diklorometana (50 : 50 v/v).

c. Biarkan selama satu malam untuk proses ekstraksi statis. d. Pipet 25 ml fase organik ke dalam labu bulat.


(68)

e. Pekatkan dalam rotavapor pada suhu tangas air 400C, sampai hampir

kering kemudian kengkan dengan mengalirkan gas nitrogen sampai kering.

f. Larutkan residu pestisida dalam 5 ml iso oktana : toluena (90 : 10, v/v).

2. Pembersihan

Umumnya tidak diperlukan pembersihan 3. Penetapan

Bandingkan waktu tambat dan tinggi atau luas puncak kromatogram yang diperoleh dari larutan baku pembanding.

3.8 Aspek Pengukuran

Skala pengukuran yang digunakan untuk mengetahui tingkatan pengetahuan, sikap dan tindakan konsumen tentang residu pestisida pada sayuran adalah skala likert.

Berdasarkan jumlah nilai diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu :

1. Kategori baik adalah apabila responden mendapat nilai > 75% dari seluruh skor yang ada

2. Kategori sedang adalah apabila responden mendapat nilai 45-75% dari seluruh skor yang ada

3. Kategori buruk adalah apabila responden mendapat nilai < 45% dari seluruh skor yang ada.


(69)

3.8.1 Pengetahuan

Pengetahuan responden di ukur berdasarkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang terdapat pada kuesioner. Pertanyaan berjumlah 10 dengan total skor 10. Adapun ketentuan pemberian skor yaitu : jika responden menjawab benar diberi skor = 1, jika menjawab salah diberi skor = 0, Berdasarkan jumlah skor, selanjutnya tingkat pengetahuan responden dikategorikan sebagai berikut :

1. Baik, apabila skor yang diperoleh > 75% dari total skor seluruh pernyataan tentang pengetahuan, dengan total skor > 8

2. Sedang, apabila skor yang diperoleh 45-75% dari total skor seluruh pernyataan tentang pengetahuan, dengan total skor 4-8

3. Buruk, apabila skor yang diperoleh < 45% dari total skor seluruh pernyataan tentang pengetahuan, dengan total skor < 4

3.8.2 Sikap

Komponen sikap menggunakan skala likert dengan 5 jawaban alternatif, yaitu sangat setuju, setuju, tidak setuju, dan sangat tidak setuju. Pengukuran sikap responden dilakukan dengan mengajukan 10 pernyataan, jika jawaban sangat setuju diberi skor 4, setuju diberi skor 3, tidak setuju diberi skor 2 dan sangat tidak setuju diberi skor 1 untuk pernyataan positif yaitu pada pernyataan nomor 2,5,6,7, dan 8. Sedangkan untuk pernyataan negatif pada nomor 1,3,4,9, dan 10, jika jawaban sangat tidak setuju diberi skor 4, tidak setuju diberi skor 3, setuju diberi skor 2 dan sangat setuju diberi skor 1. Total skor tertinggi adalah 40, dan terendah adalah 10. Berdasarkan total skor yang diperoleh, kemudian dikategorikan dalam 3 kategori, yaitu:


(1)

100 LAMPIRAN 5


(2)

(3)

102


(4)

(5)

104 LAMPIRAN 6 DOKUMENTASI

Gambar 1 Sampel sayuran dipotong-potong

Gambar 2 Penimbangan sampel sayuran dengan neraca


(6)

Gambar 3 Penambahan laurtan aseton kedalam sampel