Komunikasi Antar Pribadi Orang Tua Dengan Anak Dalam Menanamkan Nilai-Nilai Keluarga Untuk Memilih Pasangan Hidup Dengan Syaid Atau Syarifah

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

KOMUNIKASI ANTARPRIBADI ORANG TUA DENGAN ANAK DALAM MENANAMKAN NILAI – NILAI KELUARGA UNTUK MEMILIH

PASANGAN HIDUP DENGAN SAYID ATAU SYARIFAH ( Studi Deskriptis pada Anggota Himpunan Remaja Alawiyin Medan)

SKRIPSI

Oleh:

SYARIFAH MASTURA 040904027

ILMU KOMUNIKASI

Guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana (S-1) Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Medan 2008


(2)

ABSTRAKSI

Penelitian ini berjudul Peran Komunikasi Antarpribadi antara Orang Tua dengan Anak Dalam Menanamkan Nilai – Nilai Keluarga untuk Memilih Pasangan Hidup dengan Sayid atau Syarifah (Studi Deskriptif pada Anggota Himpunan Remaja Alawiyin Medan). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menggambarkan komunikasi antarpribadi antara orang tua dengan anak, bagaimana orang tua menanamkan nilai keluarga pada anak, bagaimana anak berkomunikasi untuk mengutarakan isi hatinya pada orang tua dan apakah nilai tersebut dapat diterima anak.

Konsep dan teori komunikasi yang digunakan dalam penelitian ini meliputi teori komunikasi antarpribadi., komunikasi keluarga, kognitivisme dan disonansi kognitif. Subjek penelitian ini ialah seluruh anggota Himpunan Remaja Alawiyin dengan jumlah responden sebanyak 40 orang.. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif yang bertujuan membuat deskripsi secara sistematis, faktual dan akurat tentang fakta – fakta dan sifat – sifat populasi atau objek tertentu tanpa menjelaskan hubungan antar variabel.

Teknik pengumpulan data melalui penelitian lapangan yang terdiri dari kuesioner dan wawancara mendalam dan penelitian kepustakaan dengan mengumpulkan data berupa literature dan sumber bacaan maupun internet yang mendukung penelitian. Analisis data menggunakan analisis tabel tunggal dan diinterppretasi sesuai temuan di lapangan

Kuesioner berisi 26 pertanyaan tertutup yang dibuat peneliti dengan indikator operasionalisasi konsep penelitian untuk mengukur frekuensi dan intensitas komunikasi, keterbukaan, sifat positif, kesamaan, empati dan dukungan. Wawancara terdiri dari lima pertanyaan untuk mengetahui situasi komunikasi dan alasan untuk menerima atau tidak nilai yang telah ditanamkan oleh orang tua.

Penelitian ini berlangsung sejak bulan Juli–November 2008. Penetapan waktu penelitian tidak dilakukan secara purposif oleh peneliti tetapi hanya kebetulan saja. Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa komunikasi antarpribadi antara orang tua dengan anak sangat efektif (92,5%) untuk menanamkan nilai – nilai dalam keluarga untuk memilih pasangan hidup dengan Sayid atau Syarifah pada anggota Himpunan Remaja Alawiyin Medan. Sebagian besar orang tua bersedia terbuka pada anak, memberi reaksi positif pada pendapat anak, mau mendengarkan pendapat yang berbeda dan mempertimbangkannya dan sebagian besar anggota Himpunan Remaja Alawiyin sebagai anak merasa nyaman ketika berkomunikasi dengan orang tua, diberikan kesempatan untuk berpendapat dan merasa orang tua mampu memahami perasaannya. Sebagian besar responden (57,5%) sangat bisa menerima, 35% bisa menerima nilai keluarga tersebut dan hanya 7,5% yang tidak dapat menerima nilai keluarga untuk memilih pasangan hidup dengan Sayid atau Syarifah.


(3)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur peneliti ucapkan atas kehadirat Allah S.W.T. atas nikmat dan karunianya yang tak terhingga yang senantiasa dilimpahkan-Nya kepada peneliti. Shalawat berangkaikan salam kepada junjungan Nabi Muhammad S.A.W yang dengan perjuangannya mampu membawa kita dari zaman jahiliyah ke zaman ilmu pengetahuan.

Ucapan terima kasih yang terdalam peneliti persembahkan kepada kedua orang tua Bapak Sayyid Mustafa dan Ibu Cut Fatimah yang telah banyak memberikan dukungan baik moril, materil, cinta, kasih sayang dan do’a.

Dalam menyelesaikan tugas akhir ini, peneliti banyak mendapatkan bimbingan dan nasehat serta dukungan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini peneliti juga ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. M. Arif Nasution, MA selaku Dekan FISIP USU.

2. Bapak Drs Amir Purba, MA selaku Kepala Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU.

3. Bapak Drs. Iskandar Zulkarnain, MA sebagai dosen pembimbing yang baik dan sabar.

4. Ibu Dra. Dewi Kurniati, MSi selaku sekretaris departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU.

5. Bapak Drs. Hendra Harahap, MA selaku dosen wali sebagai tempat bertanya. 6. Seluruh dosen dan staf Administrasi Departemen Ilmu Komunikasi FISIP


(4)

7. Kakak dan adik ku tersayang Syarifah Rahmah, Syarifah Muhibbah, Sayyid Mudhahar, Syarifah Maryana, Syarifah Fauzah, Sayyid Muhammad Iqbal dan Sayyid Fikri Al-Zuhairi. Semoga jadi sholeh dan sholeha.

8. Teman - teman di UKMI As – Siyasah FISIP USU bahagianya menjadi bagian dari kalian dan syukur alhamdulillah merupakan anugerah luar biasa pernah mengenal kalian semua.

9. Teman - teman di KAMMI Komisariat USU terima kasih atas pengalaman – pengalaman berharganya. terutama teman - teman di HUMAS KAMMI maaf atas segala salah dan atas kerja yang tak sesuai harapan dan terima kasih atas segala pengertiannya.

10. Himitsu Azura dan Asyifa Kudo kan ku tunggu tawamu ketika terwujud segala mimpi – mimpi.

11. Adek – adek mentoring dari stambuk 2005 – 2007 maaf jika tak bisa jadi kakak yang terbaik.

12. Ibu Mazda, Kak Khadijah dan Kak Hanim dari YP2M serta tenaga lapang Kak Tuti, Kak Nuri, Asti, Anis, Yola, Eka, Riri. Terima kasih atas segala tunjuk ajar, pengalaman dan semangatnya.

13. Volunteer CERIC FISIP USU Anis, Siti, Fiqi, Iqbal, Reza, Arif, Mulya dan Rosadi. Senang bisa bekerja sama dengan kalian semua.

14. Teman seperjuangan anak – anak Departemen Ilmu Komunikasi 2004. Semoga kita semua jadi orang sukses.

15. Teman – teman HIRA yang rela berbagi dan telah membantu menyebar kuesioner pada yang lainnya untuk menuntaskan skripsi ini. Maaf jika aku dan karyaku tak sesuai harapan.


(5)

16. Kepada semua orang yang berjasa disepanjang usia peneliti semoga Allah membalas dengan yang jauh lebih baik dan mengumpulkan kita di syurganya. 17. Buat laptop ku tersayang, laptop IBM kudo,Akira TV ku, ruang tamu yang

sudah seperti kamar tidur, printer 1800 dan MP145, nasyid – nasyid yang setia menemani. Enaknya punya kalian. Alhamdulillah.

Akhir kata peneliti menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna. Untuk itu peneliti mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi setiap orang yang membacanya.

Medan, Desember 2008

Syarifah Mastura NIM : 040904027


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 7

1.3 Pembatasan Masalah ... 8

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

1.4.1 Tujuan Penelitian ... 9

1.4.2 Manfaat penelitian ... 9

1.5 Asumsi-Asumsi Penelitian ... 9

1.5.1 Komunikasi Antarpribadi ... 9

1.5.2 Komunikasi Keluarga ... 14

1.5.3 Teori Kognitiuisme ... 16

1.5.4 Teori Disonansi Kognitif ... 18

1.6 Kerangka Konsep ... 20

1.7 Konsep Operational ... 20

1.8 Defenisi Operasional ... 21

1.9 Model Teoritis ... 23

BAB II URAIAN TEORITIS ... 24

2.1 Komukasi Antarpribadi ... 24

2.1.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Individu dalam Komunikasi Antarpribadi ... 27

2.2 Komukasi Keluarga ... 35

2.3 Teori Kognitivisme ... 43

2.4 Teori Disonansi kognitif ... 51

2.4.1 Ukuran Disonansi ... 55

2.4.2 Konsekuensi-konsekuensi Disonansi ... 57

2.4.3 Dampak Toeri Disonansi ... 58

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... ... 63

3.1 Metode Penelitian ... 63

3.2 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 63

3.3 Subjek Penelitian ... 63

3.3.1 Sejarah Terbentuknya Himpunan Remaja Alawiyin ... 63

3.3.1 Struktur Organisasi ... 65


(7)

3.4 Teknik Pengumpulan data ... 67

3.5 Teknik Analisis Data ... 68

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 69

4.1 Pelaksaan Pengumpulan Data ... 69

4.1.1 Pengumpulan Data ... 69

4.1.2 Proses Pengolahan ... 69

4.1.2.1 Penomoran kuesioner ... 69

4.1.2.2 Editing ... 70

4.1.2.3 Coding ... 70

4.1.2.4 Inventarisasi Variabel ... 70

4.1.2.5 Menyediakan Kerangka Tabel ... 70

4.1.2.6 Tabulasi Data ... 70

4.1.3 Analisis Tabel Tunggal ... 70

4.1.3.1 Usia Responden ... 71

4.1.3.2 Jenis Kelamin Responden ... 72

4.1.3.3 Tingkat Pendidikan dan Pekerja Responden ... 73

4.1.3.4 Latar Belakang Keluarga Responden ... 74

4.1.3.5 Frekuensi dan Intensitas Komunikasi ... 76

4.1.3.6 Pihak yang Paling Berperan dalam Memberi Informasi tentang Nilai Keluarga ... 77

4.1.3.7 Sikap Orang Tua ... 78

4.1.3.8 Kriteria yang Diinginkan Orang Tua ... 79

4.1.3.9 Saat Pertama Orang Tua Mengkomunikasikan Nilai Keluarga.. 82

4.1.3.10 Saat Membicarakan Nilai Keluarga ... 83

4.1.3.11 Situasi yang Paling Sering Terjadi ... 83

4.1.3.12 Situasi Bila Ada Perbedaan Pendapat ... 84

4.1.3.13 Suasana dan Kenyamanan Berkomukasi ... 85

4.1.3.14 Kesempatan Berpendapat ... 86

4.1.3.15 Perasaan Ketika Menyampaikan Pendapat ... 87

4.1.3.16 Reaksi atau Tanggapan Orang Tua ... 87

4.1.3.17 Dukungan Orang Tua Terhadap Pendapat yang Berbeda ... 89

4.1.3.18 Kemampuan Orang Tua Memahami Perasaan Anak ... 89

4.1.3.19 Penerimaan Terhadap Nilai Keluarga ... 91

4.2 Pembahasan ... ... 93

4.3 Kelemahan dan Hambatan Penelitian ... ... 95

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... ... 97

5.1 Kesimpulan ... 97

5.2 Saran ... 98 DAFTAR PUSTAKA


(8)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Model Teoritis ... 23 Gambar 2 Lambang Rabitah Alawiyah ... 64 Gambar 3 Struktur Kepengurusan Himpunan Remaja Alawiyin ... 66


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Operasional Konsep ... 21

Tabel 2 Usia Responden ... 71

Tabel 3 Jenis Kelamin Responden ... 72

Tabel 4 Tingkat Pendidikan ... 73

Tabel 5 Pekerjaan Responden ... 74

Tabel 6 Pekerjaan Ayah ... 75

Tabel 7 Pekerjaan Ibu ... 75

Tabel 8 Penghasilan Keluarga (Ayah dan Ibu) ... 75

Tabel 9 Frekuensi Berkomunikasi dengan Orang Tua ... 76

Tabel 10 Lama Berkomunikasi dengan Orang Tua Dalam Sehari ... 77

Tabel 11 Pihak yang paling Berperan Memberi Informasi Tentang Nilai Keluarga ... 78

Tabel 12 Sikap Orang Tua Saat Membicarakan Tentang Pilihan Pasangan Hidup ... 79

Tabel 13 Kriteria Pasangan yang Dinginkan Orang Tua Menurut Anak ... 80

Tabel 14 Saat Pertama Orang Tua Mengkomunikasikan Nilai Keluarga ... 82

Tabel 15 Saat Membicarakan Nilai Keluarga ... 83

Tabel 16 Situasi yang Paling Terjadi ... 84

Tabel 17 Situasi Bila Ada Perbedaan Pendapat ... 84

Tabel 18 Suasana yang Biasa Terjadi ... 85

Tabel 19 Kenyamanan Berkomukasi dengan Orang Tua ... 86

Tabel 20 Kesempatan Berpendapat ... 86

Tabel 21 Perasaan Ketika Menyampaikan Pendapat ... 87

Tabel 22 Reaksi atau Tanggapan yang Biasa Diberikan Orang Tua Terhadap Pendapat Anak ... 88

Tabel 23 Dukungan Orang Tua Terhadap Pendapat yang Berbeda ... 89

Tabel 24 Kemampuan Orang Tua Memahami Perasaan Anak ... 90


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Program Kerja Himpunan Remaja Alawiyin. 2. Hasil Wawancara.

3. Lembar FC. 4. Kuesioner.

5. Pertanyaan Wawancara.

6. Lembar Catatan Bimbingan Skripsi. 7. Biodata Penulis.


(11)

ABSTRAKSI

Penelitian ini berjudul Peran Komunikasi Antarpribadi antara Orang Tua dengan Anak Dalam Menanamkan Nilai – Nilai Keluarga untuk Memilih Pasangan Hidup dengan Sayid atau Syarifah (Studi Deskriptif pada Anggota Himpunan Remaja Alawiyin Medan). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menggambarkan komunikasi antarpribadi antara orang tua dengan anak, bagaimana orang tua menanamkan nilai keluarga pada anak, bagaimana anak berkomunikasi untuk mengutarakan isi hatinya pada orang tua dan apakah nilai tersebut dapat diterima anak.

Konsep dan teori komunikasi yang digunakan dalam penelitian ini meliputi teori komunikasi antarpribadi., komunikasi keluarga, kognitivisme dan disonansi kognitif. Subjek penelitian ini ialah seluruh anggota Himpunan Remaja Alawiyin dengan jumlah responden sebanyak 40 orang.. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif yang bertujuan membuat deskripsi secara sistematis, faktual dan akurat tentang fakta – fakta dan sifat – sifat populasi atau objek tertentu tanpa menjelaskan hubungan antar variabel.

Teknik pengumpulan data melalui penelitian lapangan yang terdiri dari kuesioner dan wawancara mendalam dan penelitian kepustakaan dengan mengumpulkan data berupa literature dan sumber bacaan maupun internet yang mendukung penelitian. Analisis data menggunakan analisis tabel tunggal dan diinterppretasi sesuai temuan di lapangan

Kuesioner berisi 26 pertanyaan tertutup yang dibuat peneliti dengan indikator operasionalisasi konsep penelitian untuk mengukur frekuensi dan intensitas komunikasi, keterbukaan, sifat positif, kesamaan, empati dan dukungan. Wawancara terdiri dari lima pertanyaan untuk mengetahui situasi komunikasi dan alasan untuk menerima atau tidak nilai yang telah ditanamkan oleh orang tua.

Penelitian ini berlangsung sejak bulan Juli–November 2008. Penetapan waktu penelitian tidak dilakukan secara purposif oleh peneliti tetapi hanya kebetulan saja. Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa komunikasi antarpribadi antara orang tua dengan anak sangat efektif (92,5%) untuk menanamkan nilai – nilai dalam keluarga untuk memilih pasangan hidup dengan Sayid atau Syarifah pada anggota Himpunan Remaja Alawiyin Medan. Sebagian besar orang tua bersedia terbuka pada anak, memberi reaksi positif pada pendapat anak, mau mendengarkan pendapat yang berbeda dan mempertimbangkannya dan sebagian besar anggota Himpunan Remaja Alawiyin sebagai anak merasa nyaman ketika berkomunikasi dengan orang tua, diberikan kesempatan untuk berpendapat dan merasa orang tua mampu memahami perasaannya. Sebagian besar responden (57,5%) sangat bisa menerima, 35% bisa menerima nilai keluarga tersebut dan hanya 7,5% yang tidak dapat menerima nilai keluarga untuk memilih pasangan hidup dengan Sayid atau Syarifah.


(12)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sejarah aktivitas manusia berkomunikasi timbul sejak manusia diciptakan hidup di dunia ini. Manusia tidak dapat terlepas dari interaksi dengan manusia lain untuk melangsungkan kehidupannya. Di dalam berinteraksi antara manusia yang satu dengan yang lainnya tidak dapat terlepas dari kegiatan komunikasi. Manusia yang normal akan selalu terlibat komunikasi dalam melakukan interaksi dengan sesamanya sepanjang kehidupannya. Melalui komunikasi pula, segala aspek kehidupan manusia di dunia tersentuh. Dengan berkomunikasi kita belajar tentang banyak hal. Belajar tentang diri sendiri dan orang lain, bergaul, bersahabat, berbagi pengetahuan pengalaman, berkasih sayang, membenci dan melestarikan peradaban manusia.

Kata komunikasi berasal dari bahasa latin "communico" yang dalam bahasa lnggris berarti "to share". Dalam hal ini dapat diartikan bahwa komunikasi adalah proses memberi dan menerima dari pihak yang satu kepada pihak lain. Secara sederhana komunikasi dapat dirumuskan sebagai proses pengoperan isi pesan berupa lambang-Iambang dari komunikator kepada komunikan. Pengertian komunikasi menurut Dale Yoder, dkk dalam Surakhmat (2006:17), komunikasi adalah pertukaran informasi, ide, sikap, pikiran dan atau pendapat. Dalam Human Communication (1980) para sarjana komunikasi Amerika mengklasifikasikan komunikasi menjadi komunikasi antarpribadi, komunikasi kelompok, komunikasi massa dan komunikasi publik. Komunikasi yang paling sering kita lakukan dalam interaksi dengan sesama ialah dalam konteks komunikasi antarpribadi. (http://kawanlaba.wordpress.com)


(13)

Komunikasi antarpribadi (interpersonal communication) adalah komunikasi antara individu-individu (Littlejohn, 1999) atau dapat juga di defenisikan sebagai proses komunikasi yang berlangsung antara dua orang atau lebih secara tatap muka (R wayne Pace, 1979). Bentuk khusus dari komunikasi ini adalah komunikasi diadik (Dyadic Communications) yang memiliki ciri pihak-pihak yang berkomunikasi berada dalam jarak dekat mengirimkan dan menerima pesan secara spontan dan simultan.

Komunikasi antarpribadi sangat potensial untuk menjalankan fungsi instrumental sebagai alat untuk mempengaruhi atau membujuk orang lain, karena kita dapat menggunakan kelima alat indera kita untuk mempertinggi daya bujuk pesan yang kita komunikasikan kepada komunikan kita. Sebagai komunikasi yang paling lengkap dan paling sempurna, komunikasi antarpribadi berperan penting hingga kapanpun, selama manusia masih mempunyai emosi. Kenyataannya komunikasi tatap muka ini membuat manusia merasa lebih akrab dengan sesamanya, berbeda dengan komunikasi lewat media massa seperti surat kabar, televisi, ataupun lewat teknologi canggih.

Bentuk komunikasi antarpribadi dapat juga terjadi dalam sebuah keluarga yang melibatkan komunikasi antara anak dan orang tua. Namun perbedaan umur antara orang tua dan anak yang cukup besar yang berarti pula perbedaan masa yang dialami dialami akan memberikan jejak-jejak yang berbeda pula dalam bentuk perbedaan sikap dan pandangan-pandangan antara orang tua dan anak. Orang tua dengan pengalaman hidupnya yang banyak menyebabkan lebih banyak melarang dan


(14)

berpesan panjang lebar sehingga terkadang menimbulkan perbedaan pendapat. (Gunarsa, 2003:80)

Hal yang penting dalam hubungan antarpribadi antara orang tua dan anak adalah bagaimana anak mempunyai persepsi terhadap orang tua dan kemampuan menampilkan diri sebagai orang tua yang baik. Kalau seorang anak beranggapan bahwa orang tua adalah sosok yang memiliki sifat-sifat yang baik, ramah, menyayangi dan sebagainya, biasanya anak akan lebih santai dan lebih antusias didalam berkomunikasi dengan orang tua. Tetapi sebaliknya, bila anak beranggapan orang tua tidak ramah, tidak baik, galak, tidak menyayangi dan sebagainya, akan membuat anak kurang tertarik untuk berkomunikasi dengan orang tua. Orang tua dapat menganggap anak sebagai partner dalam berkomunikasi sehingga antara mereka dapat terjalin komunikai yang baik dan akrab.

Bagi anak, komunikasi tidak hanya bertujuan untuk membuat orang lain mengetahui dan memenuhi kebutuhannya. Dari tanggapan-tanggapan orang tua, anak akan belajar mengenal banyak informasi dan pengetahuan, mendengar sesuatu yang berbeda dari yang dipikirkannya selama ini, melihat alternatif yang lain, menilai pendapat dan tindakannya sendiri, menilai posisi dirinya di mata orang lain, melihat bagaimana orang dewasa memandang dirinya, belajar memahami akan dirinya, perasaannya, pendapat, pikiran dan keinginan – keinginannya dan menarik kesimpulan apa yang harus dilakukan olehnya dan pada akhirnya anak akan belajar membangun rasa percaya diri.. Ketika proses berjalan baik akan membuat anak percaya pada orang tua. Hubungan mutual trust, ini membuat anak merasa lebih nyaman berada bersama orang tua, lebih memilih curhat dengan orang tua dan siap menjadi “partner” ketika orang tua yang mendapat giliran butuh didengarkan.


(15)

Intensitas komunikasi yang baik antara orang tua dan anak akan merangsang anak untuk membalasnya dengan mewujudkan pada sikap dan perilaku yang baik sesuai dengan harapan orang tua. Salah satunya ialah anak dapat memahami dan mengikuti sejumlah aturan dan nilai – nilai dalam keluarga. Komunikasi antara ayah dengan anak atau antara ibu dengan anak harusnya berlangsung dalam suasana dialogis yang bebas, akrab dan bertujuan serta bertanggung jawab. Di sini komunikasi berlangsung tanpa paksaan. Masing-masing pihak secara bebas dan tanpa tekanan mengungkapkan gagasan dan perasaanya kepada pihak lain. Sebagai pihak penggagas, sang ayah dan ibu tentu tidak mengungkapakan idenya dengan asal bicara tanpa arah. Namun, telah merencanakannya dengan baik, paling tidak mempunyai tujuan untuk mencapai taraf pemahaman pada pihak anak. Bukan sekedar berbagi informasi secara berimbang seperti pada peristiwa dialog antara orang-orang yang ber “level” sama (setingkat). Akan tetapi, di sini lebih dikhususkan pada upaya sang ayah untuk memahamkan anaknya sesuai dengan target atau tujuan yang diinginkannya. Dalam contoh kita tujuannya ialah agar anak memahami pentingnya pemilihan pasangan hidup yang sesuai dan sejalan dengan aturan keluarga.

Tiap keluarga mempunyai nilai yang tertanan sejak dahulu dan diwariskan secara turun – temurun. Dalam keluarga alawiyin terdapat nilai keluarga yang mensyaratkan pernikahan anak – anaknya atau memilih pasangan hidup dengan kafaah atau sederajat yakni antara Syarifah dengan Sayid atau sayid dengan Syarifah. Nilai ini tentunya harus mampu dikomunikasikan oleh orang tua kepada anak – anaknya karena nilai – nilai sebagian besar ditanamkan dan diperoleh individu dari proses komunikasi antarpribadi. Dan yang paling banyak melakukan proses ini ialah orang – orang yang berada dalam lingkungan terdekat yakni orang tua. Orang tua sebagai individu yang signifikan bagi anak harus menanamkan nilai dengan


(16)

komunikasi yang baik agar mampu difahami dengan baik oleh anak apalagi ketika anak telah mempunyai lingkungan pergaulan sendiri dan telah menerima berbagai informasi dari dunia luar.

Mengkomunikasikan nilai – nilai dalam memilih pasangan hidup ini tentu semakin gencar dilakukan keluarga terutama kedua orang tua ketika anak telah beranjak pada usia remaja. Defenisi remaja yang pas sulit ditemukan. Dalam beberapa aturan hukum di Indonesia tidak di ditemukan konsep remaja. WHO menetapkan usia remaja antar 10 – 20 tahun sedangkan PBB 12 – 14 tahun dan pedoman umum yang dipakai masyarakat Indonesia usia 11 – 24 tahun dan belum menikah. Menurut Dra.Yulia Singgih D.Gunarsa & Singgih D.Gunarsa masa remaja pada usia 12 - 22 tahun. Menurut mereka, masa remaja yang cukup panjang ini masih dapat dibagi lagi dalam 3 tahap, yaitu masa persiapan fisik, antara umur 11-15 tahun, masa persiapan diri, antara umur 15-18 tahun, dan masa persiapan dewasa, antara umur 18-21 tahun.

Pada usia remaja banyak waktu yang dihabiskan bersama teman – teman yang merupakan sebuah kelompok kecil yang terdiri dari teman-teman terdekat dibandingkan dengan kedua orang tuanya. Aktivitas dan banyaknya waktu bersama untuk berinteraksi menjadikan hubungan emosional diantara mereka juga besar. Hubungan yang intensif ini pun menularkan sejumlah nilai bersama yang saling mempengaruhi dan pada akhirnya nilai-nilai tersebut menjadi nilai yang disepakati dan dianut bersama. Kelompok pertemanan inilah yang dinamakan peer group. Kita biasa menyebutnya geng. Menurut Santrock, Cartwright, dan Zander peer group adalah sekumpulan remaja sebaya yang punya hubungan erat dan saling tergantung.

Peer group biasanya merupakan tempat bagi remaja untuk menemukan tim


(17)

berbagi dalam mencapai tujuan dan belajar tentang banyak hal seperti organisasi sosial. Peer group yang juga merupakan tempat dimana remaja mengokohkan eksistensi dan jati dirinya. Disatu sisi kelompok ini dapat menjadi rujukan yang positif baginya namun dilain sisi juga dapat menimbulkan efek yang negatif. Pengaruh kelompok ini bagi kehidupan remaja juga sangat kuat, bahkan seringkali melebihi pengaruh keluarga.

Menurut Yulia. Singgih D. Gunarsa & Singgih D. Gunarsa, kelompok remaja bersifat positif dalam hal memberikan kesempatan yang luas bagi remaja untuk melatih cara mereka bersikap, bertingkah laku dan melakukan hubungan sosial. Namun kelompok ini juga dapat bersifat negatif bila ikatan antar mereka menjadi sangat kuat sehingga kelakuan mereka menjadi "overacting” dan energi mereka disalurkan ke tujuan yang bersifat merusak. Peran teman sebaya yang mulai ‘menggeser’ peran orang tua sebagai kelompok referensi tidak jarang membuat tegang hubungan remaja dan orang tua. Teman sebaya menjadi ukuran bahkan pedoman dalam remaja bersikap dan berperilaku. Meskipun demikian studi Stenberg menemukan bahwa teman sebaya memang memiliki peran yang penting bagi remaja, namun pengaruh teman sebaya cenderung pada hal-hal yang berhubungan dengan gaya berpakaian, musik dan sebagainya. Sementara untuk nilai-nilai fundamental, remaja cenderung tetap mengacu pada nilai yang dipegang orang tua termasuk dalam pemilihan teman sebaya, biasanya juga mereka yang memiliki nilai-nilai sejenis.

Biarpun peer group punya pengaruh besar, kadang timbul dorongan-dorongan dalam diri untuk berperilaku beda. Menurut teori Baron dan Byrne seiring dengan kebutuhan disukai orang lain, kita juga perlu jadi individu yang berbeda dari kebanyakan orang. Remaja yang self esteem-nya tinggi tahu sampai sejauh mana dia mau mengikuti peer groupnya. Dalam hal memilih pasangan hidup remaja tentu telah


(18)

mempunyai pemikiran dan pertimbangan sendiri baik karena perkembangan intelegensi dan kognitif atau pun karena peer groupnya walaupun dalam diri remaja tersebut telah ditanamkan aturan untuk memilih pasangan yang sesuai dengan aturan keluarga yaitu dengan Sayid atau Syarifah sejak dini. Apalagi di usia ini dorongan untuk menyukai lawan jenis dan cinta mulai tumbuh di hati remaja dan cinta bisa jatuh pada siapa saja.

Keluarga keturunan Sayid dan Syarifah yang disebut alawiyin ini memiliki perkumpulan dengan nama Rabitah Alawiyin dan bagi mereka yang belum menikah secara otomatis akan menjadi bagian dari Himpunan Remaja Alawiyin. Himpunan remaja ini dibentuk antara lain untuk memberikan kelompok atau peer group yang diharapkan dapat memberikan pengaruh positif bagi remaja yang menjadi anggotanya. Berdasarkan uraian yang dipaparkan di atas, penulis tertarik untuk meneliti komunikasi antarpribadi orangtua dengan anak dalam menanamkan nilai – nilai keluarga untuk memilih pasangan hidup dengan Sayid atau Syarifah pada anggota Himpunan Remaja Alawiyin Medan.

1. 2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: “Bagaimanakah komunikasi antarpribadi orang tua dengan anak dalam menanamkan nilai – nilai keluarga untuk memilih pasangan hidup dengan Sayid atau Syarifah pada anggota Himpunan Remaja Alawiyin Medan”.


(19)

1. 3. Pembatasan Masalah

Sesuai dengan masalah penelitian yang dirumuskan di atas, selanjutnya peneliti merumuskan pembatasan masalah penelitian. Adapun maksudnya agar permasalahan yang diteliti menjadi jelas, terarah, dan tidak terlalu luas sehingga dapat dihindari salah pengertian tentang masalah penelitian. Maka pembatasan masalah yang akan diteliti adalah:

1. Penelitian ini bersifat deskriptif yang yang bertujuan menggambarkan secara sistematis, faktual dan akurat tentang fakta – fakta dan sifat – sifat populasi atau objek tertentu.

2. Nilai keluarga yang diteliti ialah tentang memilih pasangan hidup dengan Sayid atau Syarifah.

3. Objek penelitiannya ialah anggota Himpunan Remaja Alawiyin dimana mereka adalah anak dari keluarga keturuan Sayid dan Syarifah

4. Penelitian ini hanya melihat komunikasi antarpribadi orang tua dan anak melalui pandangan anak sebagai remaja yang dituntut untuk mengikuti nilai -nilai keluarga dalam memilih pasangan hidup.

5. Dalam penelitian ini yang ingin diteliti adalah bagaimana proses orang tua menanamkan dan meyakinkan anak untuk memegang teguh nilai keluarga dan bagaimana anak mengutarakan pendapatnya atau mengatakan isi hatinya pada orang tua serta apakah nilai tersebut diterima anak.


(20)

1. 4. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui dan menggambarkan komunikasi antarpribadi antara orang tua dan anak dalam menanamkan nilai – nilai dalam keluarga

2. Untuk mengetahui bagaimana orang tua berkomunikasi untuk menanamkan nilai nilai dan menyakinkan anaknya

3. Untuk mengetahui bagaimana anak berkomunikasi untuk mengutarakan isi hatinya pada orang tua.

4. Untuk mengetahui apakah nilai keluarga untuk memilih pasangan hidup dapat diterima anak

1. 4.2 Manfaat Penelitian

a. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah penelitian dan sumber bacaan di lingkungan FISIP USU.

b. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi khususnya berkaitan dengan kajian studi Ilmu Sosial atau Komunikasi mengenai komunikasi antarpribadi antara orangtua dan anak.

c. Secara praktis, penelitian ini diharapkan menjadi masukan bagi pihak – pihak yang berkepentingan baik bagi orangtua maupun anak.

1. 5. Asumsi – Asumsi Penelitian

Sebelum terjun ke lapangan atau melakukan pengumpulan data, peneliti diharapkan mampu menjawab permasalahan melalui suatu kerangka pemikiran atau literature review. Kerangka pemikiran merupakan kajian tentang bagaimana hubungan teori dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi dalam perumusan


(21)

masalah. Menurut Nawawi (1995:40) setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berfikir dalam memecahkan atau menyoroti masalah. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian akan disoroti.

Wilbur Schramm menyatakan bahwa teori merupakan suatu perangkat pernyataan yang saling berkaitan, pada abstraksi dengan kadar tinggi, dan daripadanya proposisi bisa dihasilkan dan diuji secara ilmiah, dan pada landasannya dapat dilakukan prediksi mengenai perilaku. (Effendi, 2003:241). Senada dengan yang dikatakan Emory-Cooper bahwa teori merupakan suatu kumpulan konsep, defenisi, proposisi, dan variabel yang berkaitan satu sama lain secara sistematis dan telah digeneralisasikan sehingga dapat menjelaskan dan memprediksi suatu fenomena (fakta-fakta) tertentu.(Umar, 2002: 55) Dalam penelitian ini, teori dan asumsi yang dianggap relevan adalah : komunikasi antarpribadi, komunikasi keluarga, teori kognitivisme, teori disonansi kognitif.

1.51. Komunikasi Antarpribadi

Komunikasi antarpribadi sebenarnya merupakan satu proses sosial dimana orang – orang yang terlibat di di dalamnya saling mempengaruhi (Liliweri,1991:12) Sebagaimana yang diungkapkan oleh Josef A Devito bahwa komunikasi antarpribadi ialah proses penyampaian dan penerimaan pesan diantara dua orang atau kelompok kecil dengan efek dan feed back langsung.

Ciri – ciri komunikasi antar pribadi :

1. Spontan dan terjadi sambil lalu saja (umumnya tatap muka) 2. Tidak mempunyai tujuan terlebih dahulu


(22)

3. Terjadi secara kebetulan diantara peserta yang tidak mempunyai identitas yang belum tentu jelas

4. berakibat sesuatu yang disengaja maupun tidak disengaja 5. kerap kali berbalas – balasan

6. mempersyaratkan adanya hubungan paling sedikit dua orang, serta hubungan harus bebas, bervariasi, adanya saling keterpengaruhan.

Ciri komunikasi antarpribadi yang efektif menurut Devito dalam Tamsil (2005:30)

1. Keterbukaan (Opennes 2. Positif (

) Positiveness 3. Kesamaan (

) Equality 4. Empati (

) Empathy 5. Dukungan (

)

Supportiveness

).

Sifat – sifat komunikasi antarpribadi menurut Liliweri :

1. Komunikasi antarpribadi melibatkan di dalamnya prilaku verbal maupun non verbal

2. Melibatkan pernyataan / ungkapan spontan, scripted dan contrived 3. Komunikasi antarpribadi tidaklah satis melainkan dinamis

4. Melibatkan umpan balik pribadi, hubungan interaksi dan koherensi (pernyataan yang satu harus berkaitan dengan yang lain sebelumnya)


(23)

6. Komunikasi antarpribadi menunjukkan adanya suatu tindakan 7. Komunikasi antarpribadi merupakan persuasi antar manusia

1. Tingkat hubungan dan konteks (http://library.usu.ac.id/modules.php)

Jalaludin Rakhmat (1994) meyakini bahwa komunikasi antarpribadi dipengaruhi oleh persepsi interpersonal; konsep diri, atraksi interpersonal, dan hubungan interpersonal. Persepi interpersonal adalah memberikan makna terhadap stimuli inderawi yang berasal dari seseorang (komunikan), yang berupa pesan verbal dan nonverbal. Konsep diri adalah pandangan dan perasaan kita tentang diri kita. Konsep diri yang positif ditandai dengan lima hal, yaitu: Yakin akan kemampuan mengatasi masalah, merasa setara dengan orang lain, menerima pujian tanpa rasa malu, menyadari bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui oleh masyarakat, mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha mengubahnya.

Ruben mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi terbentuknya pola-pola komunikasi interpersonal sebagai berikut:

Pola yang berkembang akan berbeda pada tingkat komunikasi yang biasa dengan yang intim. Begitu juga konteks akan menentukan pola komunikasi yang tercipta misal di mall yang ramai atau di taman yang sepi.

2. Kebutuhan interpersonal dan gaya komunikasi 3. Kekuasaan


(24)

Komunikasi antarpribadi dipengaruhi atraksi interpersonal dalam hal penafsiran pesan dan penilaian dan efektivitas komunikasi. Atraksi interpersonal adalah kesukaan pada orang lain, sikap positif dan daya tarik seseorang. Sedangkan hubungan interpersonal dapat diartikan sebagai hubungan antara seseorang dengan orang lain. Hubungan interpersonal yang baik akan menumbuhkan derajat keterbukaan orang untuk mengungkapkan dirinya, makin cermat persepsinya tentang orang lain dan persepsi dirinya, sehingga makin efektif komunikasi yang berlangsung di antara peserta komunikasi.

Miller (1976) dalam Explorations in Interpersonal Communication, menyatakan bahwa ”Memahami proses komunikasi interpersonal menuntut hubungan simbiosis antara komunikasi dan perkembangan relasional, dan pada gilirannya (secara serentak), perkembangan relasional mempengaruhi sifat komunikasi antara pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan tersebut.” Lebih jauh, Jalaludin Rakhmat (1994) memberi catatan bahwa terdapat tiga faktor dalam komunikasi antarpribadi yang menumbuhkan hubungan interpersonal yang baik, yaitu: percaya, sikap suportif dan sikap terbuka. (http://adiprakosa.blogspot.com)

Keefektifan hubungan antarpribadi adalah seberapa jauh akibat dari tingkah laku kita sesuai dengan yang diharapkan. Keefektifan dalam hubungan antarpribadi dapat ditingkatkan dengan melatih mengungkapkan maksud atau keinginan kita, menerima umpan balik tingkah laku dan memodifikasi tingkah laku kita sampai orang lain mempersepsikan sebagaimana kita maksudkan.


(25)

1.5.2. Komunikasi Keluarga

Sejak awal kehidupannya setiap manusia tidak dapat berdiri sendiri. Manusia yang satu selalu membutuhkan manusia yang lain untuk melangsungkan kehidupannya. Dari hubungan yang saling membutuhkan manusia mempunyai lambang-lambang pesan untuk mempertukarkan informasi di antara sesama. Manusia juga tidak dapat lepas dari hubungan antar sesama manusia, karena manusia mempunyai keluarga tempat dilahirkan, dipelihara, dan dibesarkan. Keluarga merupakan tempat manusia tinggal yang tidak dapat terlepas dari masyarakat tempat keluarga berada. Keluarga punya perangkat nilai dan pengharapan bagi anggota-anggotanya. Keluarga juga punya pengharapan-pengharapan atas komunikasi. Ada saat-saat yang layak untuk membicarakan topik-topik tertentu, isu-isu yang tidak pernah diangkat, anggota-anggota keluarga yang harus didekati atau tidak didekati. Dengan kata lain, setiap keluarga mempunyai pedoman-pedoman mengenai aturan-aturan komunikasi yang dapat dipahami.

Menurut Anita Taylor (dalam Marhaeni, 1996) dijelaskan pengertian keluarga adalah kelompok sosial yang terkecil dalam masyarakat yang mempunyai ciri dan bentuk komunikasi yang berbeda dengan kelompok sosial lainnya. Perbedaan utama adalah pada situasi komunikasi yang terjadi dengan sangat akrab, keluarga merupakan kelompok dimana seseorang belajar tentang pola dasar untuk berhubungan dengan orang lain, sehingga berfungsi dalam suatu kesatuan sosial.

Fungsi utama keluarga ialah sebagai suatu lembaga sosial yang membentuk kepribadian seseorang yang tercermin dalam pola perilakunya. Interaksi yang selalu terjadi antara anggota keluarga akan membentuk pribadi seseorang dalam bentuk tingkah laku, sikap dan nilai-nilai seseorang yang diakui oleh dirinya maupun orang


(26)

lain yang terbentuk dari pengalaman individu dalam lingkungan kebudayaan dari interaksi sosialnya dengan orang lain. Keluarga merupakan pendidikan primer dan bersifat fundamental bagi individu. Di situ seorang anak dibesarkan, memperoleh penemuan-penemuan, belajar hal-hal yang perlu untuk perkembangan selajutnya. Di dalam keluargalah, seseorang pertama kali mendapat kesempatan menghayati penemuan-penemuan dengan sesama manusia, malahan dalam memperoleh perlindungan pertama

Sementara fungsi keluarga dimanfaatkan dalam bentuk :

a. pemenuhan akan kebutuhan pangan, papan, sandang, dan kesehatan untuk pengembangan fisik dan sosial

b. kebutuhan akan pendidikan formal, informal dan nonformal untuk pengembangan intelektual, sosial, mental, emosional dan spiritual (Guhardja, 1992;9-10).

Burgers dan Lacke mendefinisikan keluarga sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat yang anggotanya terikat oleh adanya hubungan perkawinan (suami-istri) serta hubungan darah (anak kandung) atau anak pungut (adopsi). Defenisi hukum dari keluarga adalah “sekelompok orang yang terikat oleh darah, perkawinan atau adopsi.” Namun dalam sebuah survey nasional yang melibatkan 1.200 orang dewasa yang dipilih secara acak, hanya 22% yang merasa puas dengan devenisi itu. Hampir 75% yang menyukai devenisi “selelompok orang yang saling mencintai dan saling memperdulikan” (Seligmann, 1990, hlm. 38). Salah satu devenisi keluarga yang luas dan berguna adalah: “jaringan orang-orang yang berbagi kehidupan mereka dalam


(27)

jangka waktu yang lama; yang terikat oleh perkawinan, darah atau komitment, legal atau tidak; yang menganggap diri mereka sebagai keluarga; dan yang berbagai pengharapan-pengharapan masa depan mengenai hubungan yang berkaitan”

Setiap anggota keluarga mempengaruhi orang-orang lainnya tapi pada gilirannya dipengaruhi oleh mereka. Diantara banyak variabel yang digunakan para ahli teori untuk menjelaskan keluarga, dua veriabel yang penting adalah kohesi dan adaptasi. Kedua dimensi ini mempengaruhi dan dipengaruhi komunikasi. Kohesi merujuk kepada seberapa dekat keterikatan anggota-anggota keluarga dan adaptasi adalah adaptasi keluarga terhadap perubahan. (Stewart ,1996 :132)

1.5.3. Teori Kognitivisme

Istilah kognitif (Inggeris: cognitive) berasal dari kata Latin cognoscere yang berarti mengetahui (to know) (Bigge, 1982:171). Aspek kognitif ini banyak mempermasalahkan bagaimana orang memperoleh suatu pemahaman akan dirinya serta lingkungannya, dan bagaimana dengan kesadarannya ia bertindak terhadap lingkungannya itu. Dalam hal ini pusat perilaku kesadarannya adalah ide itu sendiri di dalam otak, yang tampak pada perilaku berpikir. Berpikir dapat melahirkan ide-ide baru, dapat menetapkan suatu pilihan, bahkan dapat membuka masalah-masalah baru yang mengundang berpikir-berpikir selanjutnya. Oleh karena itu, berpikir tidak pernah selesai selama hayat masih dikandung badan.

Karena manusia merupakan makhluk yang selalu berusaha memahami lingkungannya dengan cara berpikir, maka stimulus-stimulus yang datang dari luar diaturnya, diolahnya, kemudian disesuaikan dengan struktur kognitif yang dimilikinya sehingga prosesnya menjadi kompleks, dan kemudian terjadilah perubahan perilaku. Newton dapat menghasilkan karya besar gravitasinya karena


(28)

memikirkan buah apel yang jatuh di dekatnya. Data alam atau katakanlah simbol-simbol alamiah dipikirkannya, diolahnya, dan disesuaikannya dengan pengetahuan yang dimilikinya sehingga menjadi sebuah karya besar yang diakui umat manusia secara luas.

Teori belajar kognitivisme, secara garis besar, para pakar dapat mengelompokkan dalam beberapa prinsip, yakni:

1. Faktor berpikir mempunyai kedudukan yang penting dalam diri setiap orang, dan belajar menurut teori ini merupakan proses berpikir, sedangkan berpikir menggunakan logika. Untuk itu, di dalam praktek di lapangan, seorang komunikator perlu menggunakan suatu pola dan logika tertentu dalam menyampaikan informasinya agar setiap materi atau informasi yang dibicarakannya bisa diterima oleh sasaran dengan pikirannya. Kesamaan berpikir dalam proses komunikasi antara komunikator dan komunikan perlu mendapat perhatian tersendiri karena, tanpa kesamaan ini, kegiatan instruksionalnya akan gagal. Orang komunikasi bilang, tidak ada sharing informasi, komunikasi tidak ”nyambung”. Jika terjadi demikian, maka tidak terjadi proses pembelajaran, yang pada akhirnya proses pembelajaran pun tidak ada.

2. Karena belajar pada prinsipnya adalah proses menggunakan logika atau berpikir, sedang berpikir itu sendiri merupakan upaya mental dalam memahami sesuatu yang bermakna, untuk itu seorang komunikator perlu berusaha memaknakan informasi yang disampaikannya kepada sasaran agar bisa dipahami dengan mudah. Seorang komunikator harus menjelaskan secara runtut, tidak melompat – lompat di mulai dengan memberi contoh hal – hal yang mudah baru menjelaskan dengan hal yang lebih kompleks


(29)

3. Adanya perkembangan genetika seseorang sejalan dengan perkembangan intelektualnya, dalam arti bahwa makin tambah usia seseorang, makin meningkat pula kemampuan intelektualnya. Ini berarti komunikator harus bergerak menaik secara hierarkis. Sehingga pihak sasaran menjalani proses belajarnya dengan runtut sejalan dengan perkembangan intelektualnya. Di samping itu, karena perkembangan intelektual seseorang tidak sama merata, maka faktor perbedaan individu perlu diperhatikan. Minat, bakat, kecerdasan, dan motivasi setiap anak yang banyak menentukan keberhasilannya perlu mendapat perhatian tersendiri.

1.5.4. Teori Disonansi Kognitif

Teori ini dikembangkan oleh Festinger (1957). Kognitif berarti pengetahuan, pendapat, keyakinan atau perasaan seseorang tentang dirinya sendiri atau lingkungannya. Dua elemen dikatakan ada dalam hubungan yang disonan jika terjadi suatu penyangkalan dari satu elemen yang diikuti oleh atau mengikuti elemen yang lain atau ketidakcocokan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa disonansi kognitif itu terjadi karena adanya ketidakcocokan hubungan antara elemen kognisi. Intinya, teori ini memandang bahwa tingkah laku manusia ditentukan oleh kognisi seseorang atau apa yang ada dalam otak seseorang. Teori ini menjelaskan tentang adanya konflik batin, atau konflik kepercayaan ketika orang akan menentukan suatu tindakan, atau adanya konflik kepercayaan berkaitan dengan orang lain. Ketidakcocokan (dissonance) ini dapat menimbulkan tekanan-tekanan tertentu pada diri orang, dan penurunan tekanannya secara otomatis bisa dicari dengan cara mengubah penilaian kita terhadapnya.


(30)

Disonansi kognitif juga mempunyai makna bahwa ada yang tidak seimbang dalam kognitif manusia, oleh karena itu, sistem kognitif kita menuntut untuk menyeimbangkan hal tersebut. Menurut Festinger, ada dua jalan manusia untuk menyeimbangkan disonansi tersebut, yaitu: menambah Informasi, mengubah tingkah laku dirinya sendiri, mengubah tingkah laku lingkungan sekitarnya, mencari informasi tentang hal yang membuat dia berdisonansi atau menghindari Informasi.

Cognitive dissonance terjadi ketika seseorang atau kita dihadapkan kepada dua pilihan yang dua-duanya bagus, dan kita harus menentukan salah satu pilihan tersebut, namun kita tidak yakin atas pilihan itu. Dari situasi seperti itu, kita harus mengurangi atau menurunkan pilihan-pilihan lain supaya dapat menenangkan diri kita sendiri akibat pilihannya itu. Dengan kata lain kita harus yakin bahwa pilihannya tepat, sehingga perasaan kita menjadi tenang. Sikap atau kepercayaan bisa berubah karena adanya terpaan informasi yang selektif dan terus menerus, meskipun untuk kepercayaan, terutama yang berkaitan dengan keyakinan agama, sangat sulit untuk diubah. Sikap dan kepercayaan yang dimaksudkan di sini adalah yang menyangkut suatu yang akan dilakukan seseorang atau sekelompok orang. Dissonance juga sering muncul dan sering kita alami ketika fenomena atau permasalahan yang kita hadapi dianggap penting, serta pilihan kita menjadikannya sebagai pilihan yang tetap. Misalnya jika salah pilih maka akan rugi seumur hidup, contohnya ketika akan menentukan pilihan pasangan hidup kita karena banyak sekali aspek yang menjadi bahan pertimbangannya.

(http://psyCHaDeicDeE.blogspot.com)


(31)

1. 6. Kerangka Konsep

Kerangka sebagai hasil pemikiran yang rasional merupakan uraian yang bersifat kritis dalam memperkirakan kemungkinan hasil penelitian yang dicapai dapat mengantar penelitian pada rumusan hipotesis. (Nawawi, 1995:33)

Konsep adalah istilah yang mengekspresikan sebuah ide abstrak yang dibentuk dengan menggeneralisasikan objek atau hubungan fakta-fakta yang diperoleh dari pengamatan. Bungin mengartikan konsep sebagai generalisasi dari sekelompok fenomena tertentu yang dapat dipakai untuk menggambarkan berbagai fenomena yang sama.(Krisyantono, 2007:149)

Kerangka konsep adalah hasil pemikiran yang rasional dalam menguraikan rumusan hipotesa, yang sebenarnya merupakan jawaban sementara dari masalah yang diuji kebenarannya. Agar konsep-konsep dapat diteliti secara empiris, maka harus dioperasionalkan dengan mengubahnya menjadi variabel. Adapun konsep – konsep yang diteliti dalam penelitian ini adalah :Komunikasi antar pribadi, Curhat atau Pengungkapan diri, Penanaman nilai keluarga.

1. 7. Konsep Operasional

Konsep operasional berfungsi untuk memudahkan kerangka konsep dalam penelitian. Maka berdasarkan kerangka konsep dibuatlah operasionalisasi konsep untuk membentuk kesamaan dan keseuaian dalam penelitian. Berdasarkan hal itu, maka operasionalisasi konsep yang diukur dalam penelitian ini adalah:


(32)

Tabel 1

Operasionalisasi Konsep

Konsep Operasional Operasionalisasi Konsep

Komunikasi Antarpribadi Keterbukaan Positif Kesamaan Empati Dukungan Karakteristik Responden Usia

Jenis Kelamin Pendidikan Pekerjaan

1.8. Defenisi Operasional

Menurut Singarimbun (1995:46), defenisi operasional adalah unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana caranya untuk mengukur suatu variabel. Dengan kata lain, defenisi operasional adalah suatu informasi ilmiah yang sangat membantu peneliti lain yang ingin menggunakan variabel yang sama.

Konsep – konsep dalam penelitian ini dapat didefenisikan sebagai berikut :

1. Keterbukaan : terbuka pada orang lain yang berinteraksi dengan kita, yang penting adalah adanya kemauan untuk membuka diri pada masalah-masalah yang umum dan kemauan kita untuk memberikan tanggapan terhadap orang lain secara jujur dan terus terang terhadap segala sesuatu yang dikatakannya. Keterbukaan Adalah mengakui bahwa perasaan dan pikiran yang dilontarkan adalah milik pribadi.


(33)

Dimensi yang dipakai untuk mengukur keterbukaan adalah :

• Kesediaan orang tua untuk berbicara dengan anak tentang nilai keluarga mengenai pernikahan Sayid dan Syarifah

• Kesediaan orang tua untuk meluangkan waktu berbicara dengan anak tentang nilai keluarga

• Kesediaan orang tua untuk memberikan tanggapan atas komunikasi dengan anak.

2. Positif : pandangan positif

Dimensi yang dipakai untuk mengukur sikap positf adalah : Sikap yang menyenangkan dari orang tua ketika mengkomunikasikan nlai - nilai dengan anak.

3. Kesamaan : sama-sama bernilai dan berharga. Sama – sama memiliki sesuatu yang penting untuk disumbangan. Dimensi yang dipakai untuk mengukur kesetaraan adalah : orang tua mau duduk dengan anak untuk membahas nilai keluarga.

4. Empati : kemampuan seseorang untuk menempatkan dirinya pada posisi atau peranan orang lain dan mampu memahami apa yang dirasakan dan dialami orang lain. Empati Adalah keadaan mental yang membuat seseorang merasa dirinya dalam keadaan, perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain.

Dimensi yang dipakai untuk mengukur empati adalah :

• Pengertian dari orang tua terhadap perasaan anak


(34)

5. Dukungan : saling memberikan dukungan terhadap pesan yang disampaikan atau pandangan yang mendukung, membantu bersama-sama.

Dimensi yang dipakai untuk mengukur sikap mendukung adalah : Dukungan dari orang tua kepada anak untuk mau mengemukakan apapun pendapatnya tentang nilai keluarga.

6. Jenis kelamin : Jenis kelamin yang dimiliki oleh responden 7. Usia : Umur responden

8. Pendidikan : Pendidikan terakhir responden 9 Pekerjaan : Pekerjaan responden

1. 9. Model Teoritis

Gambar 1 Model Teoritis

Komunikasi Antarpribadi

Penanaman nilai – nilai keluarga untuk memilih pasangan hidup dengan

Sayid atau Syarifah

Diterima


(35)

BAB II

URAIAN TEORITIS

2.1. Komunikasi Antarpribadi

Secara umum komunikasi antarpribadi dapat diartikan sebagai suatu proses pertukaran makna antara orang-orang yang saling berkomunikasi. Komunikasi terjadi secara tatap muka (face to face) antara dua individu. Dalam pengertian tersebut mengandung tiga aspek:

1. Pengertian proses, yaitu mengacu pada perubahan dan tindakan yang berlangsung terus menerus.

2. Komunikasi antarpribadi merupakan suatu pertukaran, yaitu tindakan menyampaikan dan menerima pesan secara timbal balik.

3. Mengandung makna, yaitu sesuatu yang dipertukarkan dalam proses tersebut, adalah kesamaan pemahaman diantara orang-orang yang berkomunikasi terhadap pesan-pesan yang digunakan dalam proses komunikasi.

Dari ketiga aspek tersebut maka komunikasi antarpribadi menurut Judy C. Pearson memiliki karakteristik sebagai berikut:

1. Komunikasi antarpribadi dimulai dengan diri pribadi (self). Berbagai persepsi komunikasi yang menyangkut pemaknaan berpusat pada diri kita, artinya dipengaruhi oleh pengalaman dan pengamatan kita.

2. Komunikasi antarpribadi bersifat transaksional. Anggapan ini mengacu pada pihak-pihak yang berkomunikasi secara serempak dan bersifat sejajar, menyampaikan dan menerima pesan.


(36)

3. Komunikasi antarpribadi mencakup aspek-aspek isi pesan dan hubungan antarpribadi. Artinya isi pesan dipengaruhi oleh hubungan antar pihak yang berkomunikasi.

4. Komunikasi antarpribadi mensyaratkan kedekatan fisik antar pihak yang berkomunikasi.

5. Komunikasi antarpribadi melibatkan pihak-pihak yang saling bergantung satu sama lainnya dalam proses komunikasi.

6. Komunikasi antarpribadi tidak dapat diubah maupun diulang. Jika kita salah mengucapkan sesuatu pada pasangan maka tidak dapat diubah. Bisa memaafkan tapi tidak bisa melupakan atau menghapus yang sudah dikatakan.

Lunandi (1992) menjelaskan bahwa yang dimaksud komunikasi antarpribadi yang baik adalah komunikasi yang mempunyai sifat keterbukaan, kepekaan, dan bersifat umpan balik. Individu merasa puas dalam berkomunikasi antarpribadi bila ia dapat mengerti orang lain dan merasa bahwa orang lain juga memahami dirinya. Lunandi menekankan pentingnya komunikasi antarpribadi dibedakan dari bentuk komunikasi di muka umum dan komunikasi di dalam kelompok kecil. Komunikasi antarpribadi dibatasi pada komunikasi antara orang dengan orang dalam situasi tatap muka. Jadi, sama sekali tidak meliputi telekomunikasi jarak jauh (telepon, telegram, telex) dan komunikasi massa, yang ditujukan kepada sejumlah orang besar orang sekaligus (surat kabar, radio, televisi).

Pentingnya hubungan yang terjadi antar sesama manusia dikemukakan oleh Klinger (1977) yang mengatakan bahwa hubungan dengan manusia lain ternyata


(37)

sangat mempengaruhi manusia itu sendiri. Manusia tergantung terhadap manusia lain karena orang lain juga berusaha mempengaruhi melalui pengertian yang diberikan, informasi yang dibagi, dan semangat yang disumbangkan. Semuanya membentuk pengetahuan, menguatkan perasaan, dan meneguhkan perilaku manusia.

Meskipun demikian banyak ahli akhirnya berpendapat bahwa semua yang menjadi tekanan dalam komunikasi antarpribadi yang akhirnya menuju pada perspektif situasi. Perspektif situasi menurut Miller dan Steinberg (Liliweri, 1991) merupakan situasi suatu perspektif yang menekankan bahwa sukses tidaknya komunikasi antarpribadi sangat sangat tergantung pada situasi komunikasi, mengacu pada hubungan tatap muka antara dua individu atau sebagian kecil individu dengan mengandalkan suatu kekuatan yang segera saling mendekati satu dengan yang lain pada saat itu juga. Berdasarkan pendapat Miller dan Steinberg di atas, maka kedudukan komunikator yang dapat bergantian dengan komunikan pada tahap lanjutan harus menciptakan suasana hubungan antar manusia yang terlibat di dalamnya.

Komunikasi antarpribadi berlangsung antardua individu, karenanya pemahaman komunikasi dan hubungan antarpribadi menempatkan pemahaman mengenai komunikasi dalam proses psikologis. Setiap individu dalam tindakan komunikasi memiliki pemahaman dan makna pribadi terhadap setiap hubungan dimana dia terlibat di dalamnya. Hal terpenting dari aspek psikologis dalam komunikasi adalah asumsi bahwa diri pribadi individu terletak dalam diri individu dan tidak mungkin diamati secara langsung. Artinya dalam komunikasi antarpribadi pengamatan terhadap seseorang dilakukan melalui perilakunya dengan mendasarkan pada persepsi si pengamat.


(38)

Dengan demikian aspek psikologis mencakup pengamatan pada dua dimensi, yaitu internal dan eksternal. Namun kita mengetahui bahwa dimensi eksternal tidaklah selalu sama dengan dimensi internalnya. Fungsi psikologis dari komunikasi adalah untuk menginterpretasikan tanda-tanda melalui tindakan atau perilaku yang dapat diamati. Proses interpretasi ini setiap individu berbeda. Karena setiap individu memiliki kepribadian yang berbeda, yang terbentuk karena pengalaman yang berbeda pula.

2.1.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi individu dalam komunikasi antarpribadi

Tampilan komunikasi yang muncul dalam setiap kita berkomunikasi mencerminkan kepribadian dari setiap individu yang berkomunikasi. Pemahaman terhadap proses pembentukan keperibadian setiap pihak yang terlibat dalam komunikasi menjadi penting dan mempengaruhi keberhasilan komunikasi. Realita komunikasi antarpribadi dianalogikan seperti fenomena gunung es (the communication iceberg). Analogi ini menjelaskan bahwa ada berbagai hal yang mempengaruhi atau yang memberi kontribusi pada bagaimana bentuk setiap tampilan komunikasi. Gunung es yang tampak, dianalogikan sebagai bentuk komunikasi yang teramati atau terlihat (visible/observable aspect) yaitu:

1. Interactant, yaitu orang yang terlibat dalam interaksi komunikasi seperti pembicara, penulis, pendengar, pembaca dengan berbagai situasi yang berbeda.

2. Simbol ,terdiri dari simbol (huruf, angka, kata-kata, tindakan) dan symbolic language (bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan lain – lain)


(39)

3. Media, saluran yang digunakan dalam setiap situasi komunikasi.

Sedangkan bagian bawah gunung es yang menjadi penyangga gunung es itu tidak tampak atau tidak teramati. Inilah yang disebut sebagai invisible / unobservable aspect. Justru bagian inilah yang penting. Walaupun tak tampak karena tertutup air, dia menyangga tampilan gunung es yang muncul menyembul kepermukaan air. Tanpa itu gunung es tidak akan ada. Demikian halnya dengan komunikasi, di mana tampilan komunikasi yang teramati atau tampak dipengaruhi oleh berbagai faktor yang tidak terlihat, tapi terasa pengaruhnya, yaitu:

1. Meaning (makna). Ketika simbol ada, maka makna itu ada dan bagaimana

cara menanggapinya. Intonasi suara, mimik muka, kata-kata dan gambar merupakan simbol yang mewakili suatu makna.

2. Learning. Interpretasi makna terhadap simbol muncul berdasarkan pola-pola komunikasi yang diasosiasikan pengalaman, interpretasi muncul dari belajar yang diperoleh dari pengalaman. Interpretasi muncul disegala tindakan mengikuti aturan yang diperoleh melalui pengalaman. Pengalaman merupakan rangkaian proses memahami pesan berdasarkan yang kita pelajari. Jadi makna yang kita berikan merupakan hasil belajar. Pola-pola atau perilaku komunikasi kita tidak tergantung pada turunan atau genetik, tapi makna dan informasi merupakan hasil belajar terhadap simbol-simbol yang ada di lingkungannya. Membaca, menulis, menghitung adalah proses belajar dari lingkungan formal.Jadi, kemampuan kita berkomunikasi merupakan hasil belajar dari lingkungan.

3. Subjectivity. Pengalaman setiap individu tidak akan pernah benar-benar sama, sehingga individu dalam meng-encode (menyusun atau merancang) dan


(40)

men-decode (menerima dan mengartikan) pesan tidak ada yang benar-benar sama. Interpretasi dari dua orang yang berbeda akan berbeda terhadap objek yang sama.

4. Negotiation. Komunikasi merupakan pertukaran simbol. Pihak-pihak yang

berkomunikasi masing-masing mempunyai tujuan untuk mempengaruhi orang lain. Dalam upaya itu terjadi negosiasi dalam pemilihan simbol dan makna sehingga tercapai saling pengertian. Pertukaran simbol sama dengan proses pertukaran makna. Masing-masing pihak harus menyesuaikan makna satu sama lain.

5. Culture. Setiap individu adalah hasil belajar dari dan dengan orang lain.

Individu adalah partisipan dari kelompok, organisasi dan anggota masyarakat. Melalui partisipasi berbagi simbol dengan orang lain, kelompok, organisasi dan masyarakat. Simbol dan makna adalah bagian dari lingkungan budaya yang kita terima dan kita adaptasi. Melalui komunikasi budaya diciptakan, dipertahankan dan dirubah. Budaya menciptakan cara pandang (point of view). 6. Interacting levels and context. Komunikasi antarmanusia berlangsung dalam bermacam konteks dan tingkatan. Lingkup komunikasi setiap individu sangat beragam mulai dari komunikasi antarpribadi, kelompok, organisasi, dan massa.

7. Self reference. Perilaku dan simbol-simbol yang digunakan individu

mencerminkan pengalaman yang dimilikinya, artinya sesuatu yang kita katakan dan lakukan dan cara kita menginterpretasikan kata dan tindakan orang adalah refleksi makna, pengalaman, kebutuhan dan harapan-harapan kita.


(41)

8. Self reflexivity. Kesadaran diri (self-cosciousnes) merupakan keadaan dimana seseorang memandang dirinya sendiri (cermin diri) sebagai bagian dari lingkungan. Inti dari proses komunikasi adalah bagaimana pihak-pihak memandang dirinya sebagai bagian dari lingkungannya dan itu berpengaruh pada komunikasi.

9. Inevitability. Kita tidak mungkin tidak berkomunikasi. Walaupun kita tidak melakukan apapun tetapi diam kita akan tercermin dari nonverbal yang terlihat, dan itu mengungkap suatu makna komunikasi.

Berbagai aspek yang dibahas di atas menegaskan bahwa suatu proses komunikasi secara fisik terlihat sederhana, padahal jika kita melihat pola komunikasi yang terjadi itu menjelaskan kepada kita sesuatu yang sangat kompleks. Jadi dapat disimpulkan di sini bahwa komunikasi antarpribadi bukanlah sesuatu yang sederhana. Dalam sudut pandang psikologis komunikasi antarpribadi merupakan kegiatan yang melibatkan dua orang atau lebih yang memiliki tingkat kesamaan diri.

Saat dua orang berkomunikasi maka keduanya harus memiliki kesamaan tertentu, katakanlah laki-laki dan perempuan. Mereka secara individual dan serempak memperluas diri pribadi masing-masing ke dalam tindakan komunikasi melalui pemikiran, perasaan, keyakinan, atau dengan kata lain melalui proses psikologis mereka. Proses ini berlangsung terus menerus sepanjang keduanya masih terlibat dalam tindak komunikasi. Saling berbagi pengalaman tidaklah berarti memiliki kesamaan pemahaman atau kesamaan diri yang tunggal tetapi bisa merupakan persinggungan dan sejumlah perbedaan


(42)

Fisher mengemukakan bahwa ketika kita berkomunikasi dengan orang lain, proses intrapribadi kita memiliki paling sedikit tiga tataran yang berbeda. Tiap tataran tersebut akan berkaitan dengan situasi antarpribadi, yaitu pandangan kita mengenai diri sendiri, pandangan kita mengenai diri orang lain, dan pandangan kita mengenai pandangan orang lain tentang kita. Pentingnya proses psikologis hendaknya dipahami secara cermat, artinya proses intrapribadi dari partisipan komunikasi bukanlah hal yang sama dengan hubungan antarpribadi. Apa yang terjadi dalam diri individu bukanlah komunikasi antarpribadi melainkan proses psikologis. Meskipun demikian proses psikologis dari tiap individu pasti mempengaruhi komunikasi antarpribadi yang pada gilirannya juga mempengaruhi hubungan antarpribadi.

Untuk memprediksi suatu bentuk komunikasi termasuk komunikasi antarpribadi atau bukan perlu dilakukan pemahaman terhadap identifikasi 3 data tingkat informasi, yaitu :

1. Data tingkat kebudayaan (cultural level-data). Kebudayaan merupakan sekumpulan keteraturan, norma, institusi sosial, kebiasaan, dan ide-ide yang dimiliki oleh sekumpulan orang. Terkadang kebudayaan didefinisikan sebagai lokasi geografis, etnis, pola religius. Para ahli menganggap bahwa orang yang termasuk kelompok kebudayaan yang sama mempunyai kesamaan cara bertingkah laku dan tampak memiliki sikap dan nilai tertentu. Dengan demikian, kebudayaan dapat memberi petunjuk bagaimana anggota kelompok kebudayaan tertentu akan berkomunikasi satu dengan yang lainnya. Dengan data kebudayaan yang ada, dapat dibuat prediksi atau perkiraan bagaimana anggota dalam kebudayaan tertentu akan berkomunikasi dan merespon orang lain.


(43)

Masalah yang mungkin terjadi ketika seseorang yang hanya mempunyai data tingkat kebudayaan berhadapan dengan orang lain adalah kesalahpahaman. Ketika berhadapan dengan individu yang spesifik, seseorang harus berhati-hati untuk menerapkan perkiraan tentang orang tersebut berdasar data tingkat kebudayaan. Masing-masing individu yang tergabung dalam suatu kelompok kebudayaan mempunyai kepribadian sendiri-sendiri. Para ahli komunikasi berpendapat bahwa dengan hanya menggunakan strategi yang memiliki data tingkat kebudayaan saja, belum cukup untuk dapat dikatakan mampu berkomunikasi secara interpersonal atau pribadi. Dengan demikian berarti seseorang hanya menggeneralisasi data yang diambil dari sebuah kelompok kebudayaan dan tidak membedakan serta menyesuaikan komunikasi dengan individu yang berbeda-beda.

2. Data tingkat sosiologis (sociological-level data). Analisis data tingkat sosiologis didasarkan pada pertimbangan yang dibuat tentang orang lain dengan mengetahui kelompok tempat orang tersebut termasuk. Ada pertimbangan untuk mengelompokkan seseorang ke dalam kelompok tertentu berdasar keanggotaannya pada bentuk kelompok sosial yang dipilihnya. Namun ada juga keanggotaan kelompok yang tidak dipilih sendiri oleh yang bersangkutan, misalnya termasuk ke dalam kelompok orang tua, dewasa, dan remaja. Bagaimanapun juga, anggota yang termasuk kelompok tertentu, baik yang dipilih sendiri maupun tidak mempunyai kesamaan dengan anggota lainnya dalam satu kelompok. Antar kelompok itu sendiri mempunyai perbedaan yang merupakan ciri dari masing-masing bentuk kelompoknya. Membuat prediksi berdasar pada analisis data tingkat sosiologis ternyata sulit bila seseorang berkomunikasi dengan yang lainnya. Data tingkat sosiologis merupakan generalisasi dari tingkah laku yang ditemui pada keanggotaan


(44)

setiap kelompok, yang tidak dapat begitu saja diterapkan pada setiap anggota kelompok.

3. Data tingkat psikologis (psychological-level data) Untuk lebih dapat mengenal perbedaan-perbedaan individu dibutuhkan strategi mengenai data tingkat psikologis. Data tingkat psikologis menuntut adanya saling mengenal antar individu yang terlibat di dalam transaksi komunikasi. Walaupun individu mempunyai sekumpulan data mengenai kebudayaan dan sosiologis seseorang tidak dapat memperkirakan perilaku khusus seseorang yang dihadapinya. Informasi mengenai data tingkat psikologis tidak dapat dipisahkan dari proses keintiman yang terjalin, terkadang seseorang memberikan informasi mengenai dirinya sendiri kepada orang lain, dan mendapatkan informasi balik dari orang lain mengenai dirinya. Memperoleh informasi data tingkat psikologis sangat dibutuhkan untuk mengembangkan komunikasi antar pribadi yang terjalin.

Dapat dibayangkan bila seseorang menggunakan waktunya untuk terlibat dalam komunikasi antar pribadi dengan orang lain dan tetap merasa hanya memiliki data yang sedikit tentang orang tersebut, maka komunikasi yang dilakukannya tidak dapat melibatkan emosi yang mampu mencerminkan kehangatan, keterbukaan, dan dukungan. Di dalam mengembangkan transaksi komunikasi, individu cenderung untuk lebih banyak menggunakan data tingkat psikologis. Dengan kata lain, strategi komunikasi yang dilakukan individu didasarkan pada pengetahuan tentang perbedaan individu-individu yang dihadapi. Setiap individu memiliki karakteristik yang unik dan tidak dapat digeneralisasikan begitu saja. Jadi, di dalam komunikasi antarpribadi yang lebih ditekankan adalah strategi komunikasi yang berdasar pada data tingkat psikologis. Data tingkat kebudayaan dan sosiologis digunakan sebagai pelengkap di


(45)

dalam mengumpulkan data tentang seseorang yang sedang dihadapi. Selain kemampuan menganalisis data tingkat psikologis seseorang, di dalam melakukan transaksi komunikasi antarpribadi, juga dibutuhkan kemampuan- kemampuan khusus.

Bochner dan Kelly mengemukakan lima kemampuan khusus di dalam menjalin komunikasi antarpribadi, yaitu :

1. Empati, atau proses kemampuan menangkap hal-hal yang terdapat di dalam komunikasi dengan orang lain melalui analisis isi pembicaraan, nada suara, ekspresi wajah, sehingga seseorang dapat menangkap pikiran dan perasaan yang sesuai dengan orang yang bersangkutan.

2. Diskripsi, kemampuan untuk membuat pernyataan yang konkrit, spesifik, dan diskriptif.

3. Kemampuan merasakan dan memahami pernyataan yang dibuat dan mempertanggungjawabkannya sehingga tidak hanya menyalahkan orang lain terhadap perasaan yang dialami.

4. Sikap kedekatan, keinginan untuk membicarakan perasaan-perasaan pribadi. 5. Tingkah laku yang fleksibel ketika menghadapi kejadian yang baru dialami.

Burgoon dan Ruffner (1978) dalam Human Communication menjelaskan hambatan komunikasi (communication apprehension) sebagai bentuk reaksi negatif dari individu berupa kecemasan yang dialami seseorang ketika berkomunikasi, baik komunikasi antarpribadi, komunikasi di depan umum, maupun komunikasi massa. Individu yang mengalami hambatan komunikasi (communication apprehension) akan merasa cemas bila berpartisipasi dalam komunikasi bentuk yang lebih luas, tidak sekedar cemas berbicara di muka umum. Individu tidak mampu untuk mengantisipasi


(46)

perasaan negatifnya, dan sedapat mungkin berusaha untuk menghindari berkomunikasi. Individu yang mengalami kecemasan dalam berbagai bentuk, termasuk cemas ketika berkomunikasi antarpribadi sebenarnya berada dalam kondisi emosi yang sama sekali tidak menyenangkan (Spielberger, dalam Post dkk.,1978).

Burgoon dan Ruffner (1978) mengemukakan tentang ciri-ciri kecemasan komunikasi antar pribadi, yaitu ;

a. Tidak berminat untuk berprestasi dalam berkomunikasi (unwillingness). Individu tidak berminat berkomunikasi disebabkan adanya rasa cemas, sifat introvert. b. Penghindaran (avoiding). Individu cenderung menghindar terlibat dalam

berkomunikasi, dapat disebabkan adanya kecemasan, atau kurang informasi mengenai situasi komunikasi yang akan dihadapi.

c. Skill acquisition atau syarat ketrampilan.

2.2. Komunikasi Keluarga

Keluarga merupakan lembaga sosial yang paling awal dikenal dan dekat dengan anak, maka peranannya dalam pendidikan dan proses pembentukan pribadi tampak dominan. Tumbuh dan berkembangnya aspek manusia baik fisik, psikis atau mental, sosial dan spiritual, yang akan menentukan bagi keberhasilan bagi kehidupannya, sangat ditentukan oleh lingkungan keluarga. Lingkungan keluarga yang kondusif sangat menentukan optimalisasi perkembangan pribadi, moral, kemampuan bersosialisasi, penyesuaian diri, kecerdasan, kreativitas juga peningkatan


(47)

kapasitas diri menuju batas-batas kebaikan dan kesempurnaan dalam ukuran kemanusiaan.

Kelompok pertama yang mengenalkan nilai - nilai kebudayaan kepada anak adalah keluarga dan disinilah terjadi interaksi dan pendisiplinan pertama yang dikenalkan kepadanya dalam kehidupan sosial (Khairuddin, 1997:163). Salah satu fungsi keluarga adalah sebagai lembaga sosialisasi nilai budaya yang berlaku di suatu masyarakat seperti yang dikemukakan oleh Keesing (1992:23) bahwa keluarga merupakan pusat seluruh kehidupan sosial seorang anak, di situ ia diasuh dibesarkan dan dididik tentang kebudayaannya, hubungan seksual dan reproduksi. Karena itu, kelestarian masyarakat terpusat pada keluarga. Melalui internalisasi inilah anak- anak akan diajarkan oleh orang tua dan anggota keluarga lainnya aturan- aturan atau norma-norma yang harus mereka patuhi.

Masa perkembangan yang rentan pada anak ialah masa remaja. Masa ini adalah masa yang dimana seorang sedang mengalami saat kritis sebab ia akan menginjak ke masa dewasa. Masa remaja ialah masa peralihan dimana remaja sedang mencari identitasnya. Dalam proses yang serba sulit dan masa-masa membingungkan dirinya ini remaja membutuhkan pengertian dan bantuan dari orang yang dicintai dan dekat dengannya terutama orang tua atau keluarganya. Fungsi keluarga adalah memberi pengayoman sehingga menjamin rasa aman maka dalam masa kritisnya remaja sungguh-sungguh membutuhkan realisasi fungsi tersebut. Sebab dalam masa yang kritis seseorang kehilangan pegangan yang memadai dan pedoman hidupnya. Masa kritis diwarnai oleh konflik-konflik internal, pemikiran kritis, perasaan mudah tersinggung, cita-cita dan kemauan yang tinggi tetapi sukar ia kerjakan sehingga ia frustasi dan sebagainya.


(48)

Komunikasi keluarga semakin lama semakin menjadi “barang mahal dan barang langka” karena masing-masing sibuk dengan urusan, pikiran dan perasaannya masing-masing. Akhirnya, komunikasi yang tercipta di dalam keluarga adalah komunikasi yang sifatnya informatif dan superfisial (hanya sebatas permukaan). Misalnya, pemberitahuan agenda kerja ayah hari ini, rapat di kantor, janji bertemu orang, harus presentasi, atau mungkin membicarakan mengenai teman ayah punya pekerjaan baru, tingkat bunga bank, kurs dollar, situasi politik, kerusuhan yang terjadi di luar daerah, dan lain sebagainya. Sementara ibu membicarakan tentang teman kerja di kantor, rencana bisnis ibu, rencana masak memasak, pertemuan arisan, acara televisi baru, atau membicarakan tentang anak teman ibu yang punya masalah. Anak-anak, punya dunianya sendiri yang sarat dengan keanekaragaman pengalaman dan cerita-cerita seru yang beredar di kalangan teman-teman mereka.

Dalam kepadatan arus informasi yang serba superfisial dan sempitnya “waktu bersama”, membuat hubungan antara orang tua – anak semakin berjarak dan semu. Artinya, hal-hal yang diutarakan dan dikomunikasikan adalah topik umum selayaknya ngobrol dengan orang-orang lainnya. Akibatnya, masing-masing pihak makin sulit mencapai tingkat pemahaman yang dalam dan benar terhadap apa yang dialami, dirasakan, dipikirkan, dibutuhkan dan dirindukan satu sama lain. Dalam pola hubungan komunikasi seperti ini, tidak heran jika ada orang tua yang kaget melihat anaknya tiba-tiba menunjukkan sikap aneh, seperti tidak mau makan, sulit tidur (insomnia), murung atau prestasinya meluncur drastis.

Orang tua merasa selama ini anaknya seperti “tidak ada apa-apa” dan biasa saja. Lebih parah lagi, mereka menyalahkan anak, menyalahkan pihak lain, entah pihak sekolah, guru, atau malah saling menyalahkan antara ayah dengan ibu. Seringkali orang tua lupa, bahwa setiap masalah adalah hasil dari sebuah interaksi


(49)

setiap orang yang terlibat di dalamnya. Setiap orang, punya kontribusi dalam mendorong munculnya masalah, termasuk masalah pada anak-anak mereka.

1. Fokuskan perhatian pada anak

( http://www.e-psikologi.com/anak/100504.htm)

Beberapa cara untuk mengatasi masalah komunikasi keluarga ialah:

2. Re-statement, mengulangi cerita anak untuk menyamakan pengertian 3. Menggali perasaan dan pendapat anak akan masalah yang sedang dihadapi 4. Bantu anak mendefinisikan perasaan

5. Bertanya

6. Mendorong semangat anak untuk bercerita

7. Mendorong anak mengambil keputusan yang tepat

8. Menunggu redanya emosi anak dan mengajak berpikir positif

Tanggapan-tanggapan orang tua akan membuat anak belajar mengenal banyak informasi dan pengetahuan. Proses saling mendengarkan dan didengarkan akan mengasah daya kritis dan kreativitas berpikir anak karena ketika antara anak dengan orang tua terdapat jalur dua arah yang terbuka, maka terbuka pula akses informasi, pengetahuan, perasaan, pemikiran dan pengalaman dari kedua belah pihak. Satu sama lain, saling belajar dan saling memperkaya, saling mengenal dan semakin memahami. Mendengarkan dan didengarkan, adalah kunci hubungan orang tua-anak yang sangat bermanfaat, baik untuk pengembangkan kematangan emosional, kepandaian intelektual, kemampuan membina kehidupan sosial yang baik serta penanaman nilai prinsip moral yang baik pada anak. Dengan mendengar dan didengar, jalur komunikasi dua arah terbuka lebar antara orang tua dengan anak, memungkinkan keduanya saling mengerti dan membuat orang tua dapat memberikan dukungan yang diperlukan oleh anak. Namun sebaliknya, jika kata-kata yang diucapkan anak hanya


(50)

sekedar “terdengar” di telinga kita, akan hilang begitu saja terbawa angin dan tidak memberikan makna serta kontribusi apapun dalam proses pertumbuhan anak.

Orang tua yang pemurung cenderung akan membentuk anaknya menjadi pemurung. Orang tua yang pemarah akan menghasilkan anak – anak yang pemarah. Anak – anak yang sehat (akhlaq/jiwanya) dan bahagia hanya lahir orang tua yang sehat dan bahagia. Untuk membina anak – anak menjadi pribadi yang sehat, bahagia (http: perempuan.com)

Komunikasi yang sehat akan terlaksana dengan sendirinya apabila antara orang tua dan anak ada kedekatan emosi atau kehangatan hubungan. Anak – anak dengan sendirinya akan menjadi pribadi yang dengan senang hati bercerita dan menumpahkan perasaan sedih dan bahagia, keberhasilan dan kegagalannya, serta problem yang dihadapi kepada orangtuanya. Anak- anak tidak akan lari ketempat-tempat komunikasi dan sumber informasi yang salah dan menyesatkan. Untuk mewujudkan komunikasi yang sehat orang tua harus terlebih dulu menjadi "pendengar yang baik" sebelum memberikan tanggapan agar nantinya dapat menjadi "pembicara yang baik". Betapa banyak orang tua yang menuntut anaknya mau menjadi pendengar yang baik tetapi orangtuanya tidak pernah mau bersabar menjadi pendengar yang baik untuk anaknya.

Hal yang perlu diperhatikan oleh orang tua dalam upaya membangun komunikasi yang sehat dengan anak adalah sebuah kesadaran bahwa komunikasi dengan anak tidak baik bila berlangsung secara verbal, kaku dan formalistis. Dunia anak adalah dunia yang berbeda dengan dunia orang dewasa meskipun mereka berada dalam dunia fisih (tempat yang sama). Oleh karena itu orang – orang dewasa atau orang tua ketika berkomunikasi dengan anak sebaiknya menggunakan cara-cara yang dapat di pahami oleh dunia anak.


(1)

HASIL WAWANCARA

No Nama Siapa yang memulai

pembicaraan

Apakah ada waktu khusus

Sikap orang tua Situasi yang biasanya terjadi

Apakah dapat menerima nilai keluarga dan alasannya 1. Syarifah Alia

Al`umry

Orang tua

Sepertinya untuk mengarahkan apa yang harus saya buat dalam hidup

Tidak tentu waktunya

Orang tua lebih terbuka saat saya duduk di semester 7. Tapi intinya tetap harus menikah dengan sayed dan bebas memilih sendiri sayed yang mana. Kalau tidak menurut nanti diacuhkan oleh keluarga. Lebih enak cerita sama ibu karena kayaknya ga enak dan agak tabu cerita pasangan sama ayah walaupun ayah yang lebih terbuka dari pada ibu.

Ibu biasanya mendominasi pembicaraan dan

mendoktrin. Ayah lebih demokratis tapi ibu tidak mampu menjelaskan dengan detail kenapa harus

menjalankan nilai keluarga untuk memilih pasangan hidup dengan sayed. Paling – paling hanya bilang karena kita keturunan Nabi

Muhammad. Yang pinter menjelaskan itu nenek.

Ya, karena nilai – ilai itu sudh ditanamkan dari kecil dan makin lama semakin

menyadari keutamaan sayed – syarifah apalagi sejak ikut HIRA dan melihat saudara – saudara yang terkucilkan. Sejak itu pandangan saya sudah berubah, sudah mulai bisa menerima.

2. Syarifah S (nama dan marga tidak bersedia disebutkan)

Orang tua

Karena saya malas membuka pembicaraan tentang pilihan saya sendiri nanti ujung – ujungnya marah – marah karena mereka tetap tidak mau menerima

Tidak tentu biasanya kalau orang tua mau bicara dipanggil dan disjak duduk dan mulai lebih sering sejak kakak perempuan nikah dengan yang bukan sayed

Tidak mau mendengarkan, kalau tetap melanggar nilai keluarga dengan memilih yang buklan sayed tidak boleh pulang – pulang ke rumah tapi lebih enak ngomongnya sama ibu karena ayah marah – marah aja.

Awalnya sih situasinya baik – baik tapi karena saya tetap dengan pilihan saya dan mereka tetap tidak mau menerimanya akhirnya orang tua marah- marah dan saya diam saja. Saya jarang berani untuk menjawab dan pernah menangis depan orang tua. Ayah keras, terkadang ada ancaman misalnya nanti tidak akan diterima sampai kapanpun atau sama saja dengan bunuh ayah pelan – pelan jika memilih non sayed.Ayah sama ibu juga kurang pandai menjelaskan,

Tidak, karena bagi saya yang penting pasangan hidup itu islam, baik, tanggung jawab dan rajin beribadah.


(2)

3. Syarifah Indra Putri Assegaf

Ya saya lah Karena saya ingin mendengar pendapat orang tua. Jika pendapat saya dan orang tua berbeda saya akan mempertimbangkan mana yang baik.

Hampir setiap hari. Kalau seminggu atau sebulan sekali ngak enak dan kebetulan tempat curhat saya yang pa;ing

menyenangkan itu mama

Orang tua mau

mendengarkan pendapat saya walaupun saya punya pendapat yang beda. Semua sama saja selalu bersedia didengarkan, tapi sayangnya saya tidak punya kenalan sayed karena di daerah tempat tinggal saya nggak ada yang namanya sayed dan saya takut keluar dari keturunan syarifah jika memilih pasangan hidup selain sayed.

Awalnya sih orang tua saya sangat bersedia

mendengarkan tapi terkadang diakhir – akhirnya ada kata yang tak bisa diterima dan menimbulkan keributan.

Ya. Karena kalau keturunan syarifah memilih pasangan hidup sayed pasti tidak keluar dari keturunan dan dengar – dengar kalau syarifah memilih pasangan hidup dengan sayed bisa masuk syurga iho...

4. Sayyid Ahmad Sigit Al-Assegaf

Saya

Agar orang tua lebih mengetahui kriteria calon pasangan hidup saya

Tidak ada waktu khusus untuk membicarakan tentang hubungan pernikahan sesama ahlul bait. Hal ini

dikarenakan minimnya pengetahuan dan keterlibatan orang tua diikatan keluarga besar Rabitah

Orang tua saya tidak mempersoalkan tentang sayed / syarifah asalkan dari keluarga baik – baik. Orang tua membebaskan pilihan pasangan hidup saya karena ayah saya sayed tetapi ibu bukan syarifah dan kakak juga telah menikah dengan bukan sayed. Pada dasarnya kedua orang tua pendapatnya sama saja dan keduanya enak diajak bicara.

Situasinya biasa-biasa aja asalkan orangtua juga sudah tahu siapa dan bagaimana pasangan saya. Orang tua menyerahkan sepenuhnya walaupun kekhawatiran mereka tetap ada disebabkan orang tua melihat saya tidak pernah pacaran, beda sama kaka dan adik saya. Lebih seringnya saya yang

memberi tahu keluarga(ayah, ibu dan adik – adik) dan biasanya mereka acuh – acuh saja sebab kalau diluar medan itu sayed dan syarifah hanya sedikit dan yang faham tentang nasabnya susah dicari.

Ya. Karena demi menjaga tali hubungan keluarga dengan Rasulullah dan menjaga perasaan Fatimah Azzahra. Walaupun dibebaskan memilih oleh orang tua tapi saya sendiri tetap ingin memilih dan mendapatkan seorang syarifah.


(3)

5. Syarifah Maryam Alsha Alaydrusz

Orang tua Sudah dari kecil dijelasinnya

Tidak tentu, sambil santai – santai dan tidak direncanakan

Orang tua sangat setuju kalau sayed dan sangat tidak setuju kalau bukan sayed. Jika melanggar tidak diakui atau dianggap anak dan putus silaturrahmi dengan orang tua. Ayah sama ibu dua-duanya terbuka, sama – sama enak dan sama- sama pintar menjelaskan dan memberi alasannya.

Situasinya tidak resmi, biasanya semua anggota keluarga ada dan sangat setuju harus mencari pasangan sayed / syarifah jadi tidak ada perbedaan pendapat.

Ya karena saya sudah tahu alasan- alasan kenapa harus memilih pasangan hidup sesuai tuntunankeluarga. Saya juga tidak mau

menyakiti hati orang tua dan kalau memilih bukan sayed sayyidina Fatimah akan menangis karena kita keluar jalur. Saya sendiripun

bertekad untuk tidak keluar jalur jadi sayed menjadi syarat yang harus ada untuk pasangan nanti. 6. Syarifah Nazira

Al-qadry

Orang tua Tidak tentu

biasanya ketika semua keluarga kumpul atau saat santai - santai

Orang tua saya it`s OK karena saya sendiri juga sependapat dengan orang tua dalam memilih pasangan hidup dengan sayed / syarifah. Mereka juga memberikan hak untuk memilih sayed yang sesuai dengan keinginan saya.

Biasanya situasi santai tapi penuh keseriusan. Kadang – kadang ada canda tawa.

Ya. Karena kita ini merupakan keturunan langsung dari

Rasulullah SAW dan kewajiban bagi saya agar tidak keluar dari keturunannya.

7 Syarifah yaumil, haqqin nisa’ al-assegaf

Orang tua Tidak tentu Orang tua saya sikapnya biasa-biasa saja karena saya masih pelajar SMA jadipilihan bisa berubah-ubah.orang tua saya mendorong agar pasangan hidup harus sayed

Awalnya baik-baik saja. Lama kelamaan marah dikarenakanorang tua tidak setuju karena itu sering membuat saya jadi marah.

Ya, karena menurut saya apabila

pasangannya bukan sayed, belum tentu bahagia dan

meninggalkan orang tua.


(4)

8 Sayed auzam syahab

Saya. Tujuannya agar kita bisa menjalankan yang sakinah dan mawaddah.

Tidak tentu Biasa saja karena memang kita yang menentukan dan memilih pasangan,

walaupun bukan dengan syarifah tidak ada

konsekuensinya, mungkin jodoh kita bukan dari keturunan sayed dan syarifah. Orang tua biasa saja asalkan saya senang orang tua juga senang.

Biasa-biasa saja karena menganggap anak

telahmenemukan pasangan hidup.

Ya, karena memang seharusnya kalau bisa kita mengikatkan tali atau garis keturunan sayed dan syarifah.

9 T. Syarifah Nuraini Almahdali

Saya. Motivasi saya karena saya percaya jodoh ditangan allah yang menentukannya

Tidak tentu juga Orang tua saya sangat mendukung pendapat saya kalau saya tidak mau mencari sayed sebagai pasangan hidup. Ketika saya membicarakan pernikahan tapi saya tidak membicarakan tentang sayed dan syarifah biarpun saya bermarga aljanah dahali.saya dan orang tua mempunyai kesepakatan saya tidak harus mencari sayed.

Biasa saja. Orang tua mengatakan terserah saya untuk mencari pasangan hidup.

Tidak, karena sayed juga banyak tidak mau memilih pasangan hidup syarifah. Saya percaya yang mencari pasangan hidup saya. Bukan orang tua tapi jodoh ditangan allah karena allah yang menentukan jodoh saya

10 Sayed luftan arif Assegaf

Orang tua Tidak ada waktu

khusus

Mereka terbuka dan tidak terlalu memaksakan. Bila membicaraka pasangan yang bukan syarifah orang tua sikapnya biasa saja. Bagi saya tidak ada

konsekuensi dari orang tua sanksinya berupa sanksi normatif berdasarka syariat

Biasa-biasa saja. Serius namun orang tua tidak memaksakan

Ya, karena itu merupakan syariat agama yang mengatur tentang kafaah/ kesetaraan dalam memilih pasangan


(5)

11 Abdur Rahman. H. Al-Qadri

Saya, tujuannya agar memperkenalkan pasangan hidup baik kepada orang tua maupun keluarga.

Tidak ada waktu yang

dikhususkan, tidak ditentukan

Sikapnya angat bagus kalau diwaktu yang tepat, bila membicarakan pasangan yang bukan syarifah diterima

pandapatnya tapi diberikan pertimbangan tertentu

Harmonis, semunya baik – baik saja

Ya, karena saya anggap perkawinanantara sayed dan syarifah itu sangat pantas, sebab kalau bukan sayed yang mengawini syarifahnya siapa lagi???

12 Ali Shahab Saya, untuk

menceritakan siapa calon saya secara mendetail

Tergantung situasinya, kapan saja bisa asal lagi pas

Sikap orang tua biasanya positif tapi belum pernah membicarakan jika pasangannya bukan syarifah.

Biasa – biasa ajasama seperti bahas hal yang lain.

Ya, karena itulah yang seharusnya.

13 Syarifah Fatya Al-mahdaly

Orang tua, soalnya kan saya masih pelajar

Tidak tentu, kadang – kadang aja.

Biasa saja, tapi kadang – kadang serius sekali.

Kadang – kadang santai, kadang – kadang biasa saja.

Ya, tidak tahu kenapa, ya terima aja.

14 Thalib Alatas Analah bos

Ya untuk nikahlah

Ga ada waktu yang khusus

Selalu mendukung dan kalau pembicaraan sudah dengan pendapat yang berbeda yakni memilih yang bukan syarifah orang tua tidak setuju nanti bisa bahaya (danger)

Biasa aja tuh !!! Ya, karena meneruskan keturunan

15 Nabil Alaydrus Orang tua Tidak tentu Orang tua memang memahami saya dan berharap besar saya memilih syarifah

Masih dalam kategori wajar – wajar saja, cenderung seperti biasanya

Ya, karena memang itu yang merupakan keutamaan kepada keturunan Nabi Muhammmad SAW.


(6)

N O

Nam a Keg i at an

Kon d i si Ob j ek t i f Tu j u an Sasar an Tar g et Est i m asi Bi ay a

W ak t u Pen an g g u n g Jaw ab

1 Pertemuan Bulanan

Perlunya wadah untuk

bersilaturahim dan m enimba ilmu agam a bagi rem aj a alawiyyin

Untuk m empererat silat urahim sekaligus unt uk menambah wawasan keislamani rem aj a alawiyyin

Anggota HI RA 30 orang per

pert emuan

Rp.300.000 /

pert emuan

Setiap bulan di minggu ke-4

Housni

Alaydrus

Ali Shahab

2 Perbaikan draft AD/ ART

Perlunya perbaikan draft AD/ ART yang lama

Mem perbaiki draft AD/ ART yang lama agar sesuai dengan kondisi sekarang

Draft AD / ART 75% dari isi

draft AD/ ART

Rp. - 22 Juni 2008 • Lufthan

Asseggaf

3 Bakti Sosial Perlunya kegiat an yang dapat

meningkat kan kepedulian sosial remaj a alawiyyin

Meningkatkan kepedulian sosial di kalangan remaja alawiyyin

Keluarga besar alawiyyin dan masyarakat umum

Kondisional Kondisional Kondisional • Muhaj ir

Alqadrie

Ali Shahab

4 I uran Bulanan

Perlunya sumber dana untuk mendukung kegiatan HI RA

Sebagai sum ber dana untuk mendukung kegiatan HI RA

Anggota HI RA Bert ambahnya

kas HI RA Rp.50.000/ bulan

Rp. 25.000 Setiap bulan • Fathimah

Alqadrie

Mastura

Alhabsyi 5 Pembuatan

Database Anggota HI RA

Belum adanya dat abase anggota HI RA

Mem buat dat abse anggot a HI RA yg terstrukt ur dengan baik

Anggota HI RA 90% anggota

HI RA

Rp.100.000 22 Juni 2008 • Ahmad Sigit

Asseggaf 6 Penerbitan

New sletter Of HI RA ( NeOH )

 Rem aj a alawiyyin mem erlukan

media informasi terkini

 Rem aj a alawiyyin mem erlukan

wadah unt uk m enyalurkan bakat nya

 Mem berikan I nformasi

kepada Rem aja alawiyyin

 Sebagai wadah unt uk

menyalurkan bakat rem aja alawiyyin

Anggota HI RA 75% anggota

HI RA

Rp.30.000/ edisi

Setiap bulan • Lufthan

Asseggaf

7 Pembuatan Website HI RA

Kalangan dalam dan luar HI RA memerlukan m edia informasi elektronik yang dapat diakses melalui I nt ernet

 Mem berikan I nformasi

Kepada kalangan dalam dan luar HI RA t entang kom unit as HI RA via int ernet

Anggota HI RA dan Masyarakat

Anggota HI RA Rp. 100.000 Awal Agust us

2008

Ahmad Sigit

Asseggaf

8 Rihlah Rem aj a alawiyyin mem erlukan

kegiatan luar alam (outbond) dan wadah konsolidasi remaja alawiyyin

Sebagai kegiatan refreshing sekaligus bentuk konsolidasi ant ar remaja alawiyyin

Anggota HI RA 75% anggota

HI RA

Rp. 1.500.000

Pert engahan Juli 2008

Muhaj ir

Alqadrie

Housni


Dokumen yang terkait

Komunikasi Antar Pribadi Orang Tua Terhadap Pola Perilaku Anak Dalam Menonton Televisi Di Perumahan Taman Setia Budi Indah.

5 37 92

Peran Komunikasi Antar Pribadi Orang Tua Terhadap Anak Dalam Membentuk Perilaku Positif (Studi Kasus Peran Komunikasi Orang Tua Terhadap Anak dalam Membentuk Perilaku Positif di Kelurahan Karang Berombak, Medan Barat)

3 84 217

Efektivitas Komunikasi Antar Pribadi Antar Orang Tua Dengan Anak Dalam Mengembangkan Kepribadian Anak (Suatu Studi Deskriptif Efektivitas Komunikasi Antarpribadi Antara Orang Tua Dengan Anak Dalam Mengembangkan Kepribadian Anak Sekolah Dasar Di Kecamatan

0 20 130

PERAN ORANG TUA DALAM MENANAMKAN NILAI PENDIDIKAN ISLAM DALAM KELUARGA Peran Orang Tua Dalam Menanamkan Nilai Pendidikan Islam Dalam Keluarga (Studi Di Desa Blumbang, Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali).

0 3 16

PERAN ORANG TUA DALAM MENANAMKAN NILAI PENDIDIKAN ISLAM DALAM KELUARGA Peran Orang Tua Dalam Menanamkan Nilai Pendidikan Islam Dalam Keluarga (Studi Di Desa Blumbang, Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali).

0 8 20

PERAN ORANG TUA DALAM MENANAMKAN NILAI AGAMA PADA ANAK USIA DINI.

2 22 31

Hubungan Komunikasi Antar Pribadi Dalam Keluarga Dengan Motivasi Belajar Anak Di Sekolah.

0 2 14

POLA KOMUNIKASI KELUARGA DALAM MENANAMKAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER ANAK.

0 0 1

KOMUNIKASI ANTAR PRIBADI ORANG TUA DENGA

0 0 11

BAB IV ANALISIS TERHADAP PROSES KOMUNIKASI KELUARGA DALAM MENANAMKAN NILAI-NILAI KEISLAMAN KEPADA REMAJA DI DESA TANJUNG AMAN A. Komunikasi Keluarga Dalam Menanamkan Nilai-nilai Keislaman Kepada Remaja - KOMUNIKASI KELUARGA DALAM MENANAMKAN NILAI-NILAI KE

0 0 13