Pengaruh Penggilingan Ampas Tapioka Dengan Ukuran Partikel Berbeda Dan Frekuensi Pencucian Terhadap Sifat Fisikokimia Tepung Ampas Tapioka Yang Dihasilkan

(1)

PENGARUH PENGGILINGAN AMPAS TAPIOKA DENGAN

UKURAN PARTIKEL BERBEDA DAN FREKUENSI

PENCUCIAN TERHADAP SIFAT FISIKOKIMIA TEPUNG

AMPAS TAPIOKA YANG DIHASILKAN

RANTI FUTIAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2017


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Penggilingan Ampas Tapioka dengan Ukuran Partikel Berbeda dan Frekuensi Pencucian terhadap Sifat Fisikokimia Tepung Ampas Tapioka yang Dihasilkan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2017 Ranti Futawati NIM F251130281


(4)

RINGKASAN

RANTI FUTIAWATI. Pengaruh Penggilingan Ampas Tapioka dengan Ukuran Partikel Berbeda dan Frekuensi Pencucian terhadap Sifat Fisikokimia Tepung Ampas Tapioka yang Dihasilkan. Dibimbing oleh PURWIYATNO HARIYADI dan ELVIRA SYAMSIR

Ampas tapioka merupakan padatan hasil samping proses ekstraksi pati tapioka yang kaya serat dan masih mengandung pati tidak terekstrak. Ampas tapioka biasanya dikeringkan dan setelah kering dilakukan penggilingan untuk menghasilkan tepung ampas tapioka. Tepung ampas tapioka dapat digunakan sebagai ingredient/bahan kaya serat pangan. Pemanfaatan ampas tapioka dapat dioptimalkan dengan membuat kandungan serat pangannya menjadi lebih tinggi. Alternatif teknologi proses untuk menghasilkan tepung ampas tapioka dengan kadar serat pangan yang lebih tinggi diantaranya yaitu proses pengecilan ukuran dan proses pencucian pada ampas tapioka.

Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari pengaruh penggilingan ampas tapioka dengan ukuran partikel yang berbeda dan frekuensi pencucian terhadap sifat fisikokimia tepung ampas tapioka yang dihasilkan. Tepung ampas tapioka disiapkan dengan proses penggilingan ampas tapioka kering menggunakan disc mill dan dilanjutkan pengayakan untuk mendapatkan tepung berukuran partikel berbeda (ampas tapioka hasil penggilingan tanpa pengayakan, 420-250, 250-177, 177-149, dan <149 µm). Selanjutnya terhadap ampas tapioka hasil penggilingan berukuran partikel berbeda dilakukan proses pencucian dengan berbagai frekuensi (tanpa pencucian (0), 1, 2, 3, 4, 5, dan 6 kali pencucian). Ampas tapioka hasil penggilingan berukuran partikel berbeda yang telah dicuci dilakukan pengeringan dengan cabinet dryer pada suhu 50±5oC selama 24 jam lalu dilakukan penggilingan menggunakan grinder dan pengayakan menggunakan ayakan berukuran 60 mesh untuk menghasilkan tepung ampas tapioka kemudian dilakukan berbagai analisis sifat fisikokimianya. Sifat fisikokimia yang diamati terhadap tepung ampas tapioka yang dihasilkan adalah rendemen, kadar air, kadar pati, kadar total serat pangan, dan karakteristik pasting.

Penelitian ini menunjukkan bahwa ukuran partikel ampas tapioka hasil penggilingan dan frekuensi pencucian serta interaksi keduanya memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap rendemen, kadar air, kadar pati, kadar total serat pangan dan karakteristik pasting. Pengecilan ukuran ampas tapioka dan frekuensi pencucian yang semakin banyak menghasilkan tepung ampas tapioka dengan rendemen dan kadar pati yang semakin rendah sedangkan kadar serat pangan yang semakin tinggi. Pengecilan ukuran ampas tapioka menghasilkan tepung ampas tapioka dengan viskositas yang semakin rendah sedangkan ketahanan terhadap pemanasan, kecenderungan terhadap retrogradasi dan suhu pasting yang semakin meningkat, namun kecenderungan terhadap retrogradasi paling rendah diperoleh pada tepung ampas tapioka yang dihasilkan dari penggilingan ampas tapioka berukuran 177-149 µm sedangkan suhu pasting paling rendah diperoleh dari penggilingan ampas tapioka berukuran 450-250 µm.

Frekuensi pencucian yang semakin banyak menghasilkan tepung ampas tapioka dengan viskositas dan suhu pasting yang semakin menurun sedangkan ketahanan terhadap panas dan kecenderungan terhadap retrogradasi semakin


(5)

meningkat. Namun, frekuensi pencucian yang semakin banyak terhadap ampas tapioka hasil penggilingan tanpa pengayakan dan berukuran 450-250 µm menghasilkan tepung ampas tapioka dengan suhu pasting yang semakin meningkat. Selain itu, tepung ampas tapioka yang dihasilkan dari ampas tapioka hasil penggilingan berukuran <149 µm kecenderungan terhadap retrogradasinya semakin rendah dengan semakin banyak frekuensi pencucian.

Berdasarkan hasil penelitian, ampas tapioka berukuran partikel 177-149 µm dengan pencucian sebanyak 6 kali merupakan perlakuan yang dapat menghasilkan tepung ampas tapioka dengan kadar serat pangan yang paling tinggi (51.92%), dan kadar pati (21.77%), viskositas (1860 cP), serta kecenderungan retrogradasi yang paling rendah (43.25%). Selain itu, dihasilkan juga ketahanan terhadap pemanasan yang tinggi (20.32%) dan suhu pasting yang rendah (62.4oC). Namun, berdasarkan pertimbangan rendemen dan jumlah air yang digunakan maka ampas tapioka berukuran partikel 450-250 µm dengan pencucian sebanyak 4 kali telah mampu menghasilkan tepung ampas tapioka dengan kadar serat pangan yang tinggi (38.34%), kadar pati yang rendah (30.11%), viskositas yang lebih tinggi (2496 cP), tahan terhadap pemanasan (22.20%), kecenderungan untuk retrogradasi yang rendah (53.96%), dan suhu pasting yang tinggi (81.65oC) .


(6)

SUMMARY

RANTI FUTIAWATI. The Effect of Tapioca Cake Milling at Different Particle Size and Washing Frequency on Physicochemical Properties of The Resulted Tapioca Cake Flour. Supervised by PURWIYATNO HARIYADI dan ELVIRA SYAMSIR

Tapioca cake is solid residue from tapioca extraction that consists of non-extracted starch and fiber. Tapioca cake is usually dried and milled to make it into flour. Flour of tapioca cake can be used as fiber-rich food ingredient. Utilization of the flour can be optimized by increasing its fiber content. Alternatives to increase the fiber content are size reduction and washing process.

The aim of this research was to analyze effect of tapioca cake milling at different particle size and washing frequency on physicochemical properties of the resulted tapioca cake flour. The tapioca cake flour was prepared by using disc mill and sifting to get flour with different particle size (unsifted milled product, 420-250, 250-177, 177-149, and <149 µm). The flour at different particle size was washed with a wide range of frequencies (unwashed (0) and washed 1-6 time). The flour was dried by using cabinet dryer at 50±5oC for 24 hours, milled using grinder, sifted with sieve size 60 mesh, and then analyzed for its physicochemical properties. The effect of tapioca cake milling at different particle size and washing frequency was evaluated with several parameters : rendemen, moisture content, starch content, total dietary fiber content, and pasting properties.

The research showed that particle size and washing frequency and their interaction influenced rendemen, starch content, total dietary fiber content (p<0.05) and pasting properties of tapioka cake flour. Size reduction and increased washing frequency decreased starch content and increased dietary fiber content of the resulted tapioca cake flour. Size reduction decreased viscosity but increased stability during heating, inclination to retrogradation and pasting temperature. However, the lowest inclination to retrogradation got at the resulted flour from tapioca cake with particle size 177-149 µm whereas the lowest pasting temperature got from tapioca cake with particle size 450-250 µm. Increased washing frequency decreased viscosity and pasting temperature but increased stability during heating and inclination to retrogradation of the resulted tapioca cake flour. However, increased washing frequency of unsifted milled tapioka cake and tapioca cake with particle size 450-250 µm increased pasting temperature of the resulted tapioca cake flour. Besides, increased washing frequency of tapioka cake with particle size <149 µm decreased inclination to retrogradation the resulted tapioca cake flour.

The result showed that particle size and washing frequency flour with particle size of 177-149 µm and washed six times resulted the highest dietary fiber content (51.92%) and the lowest starch content (21.77%), viscosity (1860 cP), and inclination to retrogradation (43.25%). Besides, it also resulted in high stability during heating (20.32%), and low pasting temperature (62.4oC). However, by considering on its rendemen and the amount of water used for washing, particle size 450-250 µm and washed four times was recommended to be applied. Flour with particle size of 450-250 µm and washed four time resulted high total dietary fiber content (38.34%), low starch content (30.11%), stable viscosity during


(7)

heating (22.20%), low inclination to retrogradation (53.96%), and high pasting temperature (81.65oC).

Keyword : dietary fiber, particle size, physicochemical properties, tapioca cake flour.


(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(9)

PENGARUH PENGGILINGAN AMPAS TAPIOKA DENGAN

UKURAN PARTIKEL BERBEDA DAN FREKUENSI

PENCUCIAN TERHADAP SIFAT FISIKOKIMIA TEPUNG

AMPAS TAPIOKA YANG DIHASILKAN

RANTI FUTIAWATI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2017


(10)

(11)

(12)

PRAKATA

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur kepada Allah Subhanahu wata’ala atas segala karunia-Nya sehingga penelitian dan penulisan tesis telah selesai dilakukan. Penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2015 hingga April 2016 ini berjudul Pengaruh Penggilingan Ampas Tapioka dengan Ukuran Partikel Berbeda dan Frekuensi Pencucian terhadap Sifat Fisikokimia Tepung Ampas Tapioka yang Dihasilkan.

Atas terselesaikannya kegiatan penelitian dan penulisan tesis ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof Dr Ir Purwiyatno Hariyadi, MSc dan Dr Elvira Syamsir, STP, MSi yang merupakan dosen pembimbing atas bimbingan, nasehat dan dukungannya baik secara moril maupun materil selama penulis menjalani penelitian.

2. Dr Ir Dede Robiatul Adawiyah, MSi sebagai dosen penguji dan Dr Ir Endang Prangdimurti, MSi sebagai perwakilan Program Studi Ilmu Pangan yang telah meluangkan waktunya untuk hadir dalam ujian tesis penulis serta saran dan nasehat yang diberikan kepada penulis.

3. DIKTI selaku pemberi dana Beasiswa BPPDN selama studi pada tahun 2013-2015

4. Pemerintah Provinsi Jawa Barat selaku pemberi dana Beasiswa PEMPROV JABAR untuk penelitian.

5. Sahidin Dedi dan Tais Maryati, kedua orang tua penulis atas kasih sayang, nasehat, dukungan dan doa bagi penulis serta kedua kakak dan adik sehingga dapat menyelesaikan studi ini.

6. Rachmat Widyanto dan Sajid Ibrahim, suami dan anak tercinta atas do’a, kasih sayang dan dukungan yang diberikan dengan tulus.

7. Teman-teman IPN 2013, IPN 2012, IPN 2014, IPN 2015, sahabat dan saudara lainnya yang telah memberi semangat selama penulis menjalani perkuliahan dan penelitian.

8. Sahabat “Maryam” dan keluarga kost-an Az-Zukhruf yang telah memberi semangat dan dukungan selama menjalani penelitian.

9. Bapak Afzalur Alfan dan Ibu Wiji Rahayu, PT DKSH Indonesia yang telah mengizinkan dan membantu dalam penggunaan alat Particle Size Analyzer (PSA) pada penelitian.

10. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada staf SEAFAST Center IPB dan staf laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan.

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberikan balasan yang lebih baik

dari bantuan dan doa yang telah diberikan dan semoga tesis ini dapat bermanfaat.

Bogor, Februari 2017


(13)

(14)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vii

1 PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan Masalah 2

1.3 Tujuan Penelitian 2

1.4 Hipotesis 2

2 TINJAUAN PUSTAKA 3

2.1 Ampas Tapioka 3

2.2 Serat Pangan 5

2.3 Penggunaan Serat Ampas Tapioka sebagai Ingredient Pangan 8

2.4 Ukuran Partikel 10

3 METODE 12

3.1 Tempat dan Waktu 12

3.2 Bahan 12

3.3. Alat 12

3.4 Metodologi Penelitian 12

3.5 Prosedur Analisis 14

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 17

4.1 Distribusi Ukuran Partikel Tepung Ampas Tapioka Sebelum Pencucian 17

4.2 Rendemen 20

4.3 Kadar Air 21

4.4 Kadar Pati 22

4.5 Kadar Total Serat Pangan 24

4.6 Karakteristik Pasting 25

5 SIMPULAN DAN SARAN 30

5.1 Simpulan 30

5.2 Saran 31

DAFTAR PUSTAKA 31

LAMPIRAN 36


(15)

DAFTAR TABEL

1 Komposisi kimia singkong dan ampas singkong (100 g berat kering) 4 2 Klasifikasi komponen serat pangan berdasarkan kelarutan terhadap air

dan kemampuan terfermentasi 6

3 Distribusi ukuran partikel ampas tapioka hasil penggilingan dengan

ukuran partikel berbeda 18

4 Pengaruh ukuran partikel dan frekuensi pencucian terhadap rendemen

tepung ampas tapioka yang dihasilkan 20

5 Karakteristik pasting tepung ampas tapioka yang dihasilkan dari ampas tapioka hasil penggilingan dengan ukuran partikel berbeda tanpa

pencucian 27

6 Kadar air, kadar pati, kadar serat pangan ampas tapioka basah dan

Tepung ampas tapioka komersil 37

7 Kadar air tepung ampas tapioka yang dihasilkan pada kombinasi perlakuan ukuran partikel ampas tapioka hasil penggilingan dan

Frekuensi pencucian 37

8 Kadar pati tepung ampas tapioka yang dihasilkan pada kombinasi perlakuan ukuran partikel ampas tapioka hasil penggilingan dan

Frekuensi pencucian 38

9 Kadar total serat pangan yang dihasilkan pada kombinasi perlakuan ukuran partikel ampas tapioka hasil penggilingan dan Frekuensi

pencucian 38

10 Karakteristik pasting tepung ampas tapioka hasil penggilingan tanpa pencucian pada frekuensi pencucian yang berbeda 39 11 Karakteristik pasting tepung ampas tapioka yang dihasilkan dari Ampas

tapioka berukuran partikel 450-250 µm pada frekuensi pencucian

berbeda 39

12 Karakteristik pasting tepung ampas tapioka yang dihasilkan dari ampas tapioka berukuran partikel 250-177 µm pada frekuensi pencucian

berbeda 39

13 Karakteristik pasting tepung ampas tapioka yang dihasilkan dari ampas tapioka berukuran partikel 177-149 µm pada frekuensi pencucian

berbeda 40

14 Karakteristik pasting tepung ampas tapioka berukuran partikel <149 µm


(16)

DAFTAR GAMBAR

1 Proses pembuatan tapioka dan tepung ampas tapioka 3

2 Skema tahapan penelitian 13

3 Kurva RVA dan perhitungan parameter pasta 17

4 Distribusi ukuran partikel tepung ampas tapioka a) hasil penggilingan tanpa pengayakan, b) 450 – 250 µm, c) 250 -177 µm, d) 177 – 149 µm,

dan e) <149 µm 19

5 Grafik kadar air tepung ampas tapioka yang dihasilkan pada kombinasi perlakuan ukuran partikel ampas tapioka hasil penggilingan dan

Frekuensi pencucian 21

6 Grafik a) kadar pati dan b) rasio perubahan kadar pati tepung ampas tapioka yang dihasilkan dibandingkan dengan kadar pati awal pada masing – masing ukuran partikel pada kombinasi perlakuan ukuran partikel ampas tapioka hasil penggilingan dan frekuensi pencucian 23 7 Grafik a) kadar total serat pangan dan b) rasio perubahan kadar total serat

pangan tepung ampas tapioka yang dihasilkan dibandingkan dengan kadar total serat pangan awal pada masing – masing ukuran partikel pada kombinasi perlakuan ukuran partikel ampas tapioka hasil penggilingan

dan frekuensi pencucian 24

8 Amilograf pasting tepung ampas tapioka yang dihasilkan dari ampas tapioka hasil penggilingan dengan ukuran partikel berbeda tanpa

pencucian 26

9 Amilograf pasting tepung ampas patioka yang dihasilkan dari ampas tapioka hasil penggilingan dengan ukuran partikel berbeda a) hasil penggilingan tanpa pengayakan b) 450–250 µm, c) 250–177 µm, d) 177– 149 µm, dan e) <149 µm pada frekuensi pencucian berbeda 29

LAMPIRAN

1 Pelengkap data tepung ampas tapioka 37

2 Analisis distribusi ukuran partikel metode PSA 41


(17)

(18)

1

1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Jumlah produksi singkong yang tinggi di Indonesia mendorong tumbuhnya industri tapioka. Selain menghasilkan tapioka, industri tapioka juga menghasilkan 47 persen produk samping berupa ampas yang dapat mengakibatkan masalah terhadap lingkungan (Aro et al. 2010). Pada tahun 2011 produksi singkong Indonesia mencapai 24.08 juta ton dengan hasil samping berupa ampas tapioka mencapai 11.328.986 ton (BPS 2013). Ampas tapioka biasanya dikeringkan kemudian dilakukan penggilingan untuk menghasilkan tepung ampas tapioka. Tepung ampas tapioka secara komersil terbatas sebagai ingredient/bahan campuran pembuatan kerupuk, makanan ringan, dan saus cabai.

Dischsen et al. (2013) melaporkan bahwa penggunaan ampas tapioka pada formulasi breakfast cereal menghasilkan produk dengan tekstur yang lebih renyah. Roti yang disubstitusi oleh serat ampas tapioka memiliki daya pengembangan yang sama seperti roti yang disubstitusi oleh serat dari sumber yang lain (LaCourse 1993). Menurut Rattanachomsri et al. (2009) komponen utama ampas tapioka adalah pati sisa ekstraksi (± 60 persen basis kering) dan serat (± 23 persen basis kering). Serat larut air terdapat sekitar 40 persen dari total serat pangan pada ampas tapioka yang terdiri dari pektin dan beta-glukan sedangkan serat tidak larut kaya akan selulosa dan lignin (Tovar et al. 1989). Oleh karena itu, ampas tapioka berpotensi untuk digunakan sebagai sumber serat pangan (Camargo et al. 2000).

Pemanfaatan ampas tapioka dapat dioptimalkan dengan membuat kandungan serat pangannya menjadi lebih tinggi. Beberapa penelitian mengenai teknologi proses untuk menghasilkan tepung ampas tapioka dengan kadar serat pangan yang lebih tinggi telah dilakukan. LaCourse et al. (1993) menyatakan bahwa untuk memperoleh ampas tapioka dengan kandungan serat yang lebih tinggi dapat dilakukan destarching atau proses penghilangan pati. Penelitian yang dilakukan oleh Rosida (1994) menunjukkan bahwa proses fermentasi pada ampas tapioka menghasilkan tepung ampas tapioka dengan kadar serat pangan 4.14% lebih tinggi dibandingkan tepung tanpa proses fermentasi. Proses hidrolisis parsial menggunakan enzim amilolitik menghasilkan tepung ampas tapioka dengan kadar serat pangan 17.8% lebih tinggi (Raupp et al. 2004) sedangkan proses hidrolisis menggunakan enzim amilolitik yang disertai pemanasan, kadar serat pangannya 39.7% lebih tinggi dibandingkan tepung ampas tapioka tanpa perlakuan (LaCourse et al. 1993). Namun, peningkatan kadar serat pangan melalui ketiga proses tersebut memiliki kelemahan yaitu biaya yang relatif mahal dan residu asam yang dihasilkan dapat mempengaruhi karakteristik tepung ampas tapioka yang dihasilkan serta berdampak negatif pada lingkungan (Cheng dan Timilsina 2011, Schacht et al. 2008, Taherzadeh et al. 2007).

Alternatif teknologi proses untuk menghasilkan tepung ampas tapioka dengan kadar serat pangan yang lebih tinggi diantaranya yaitu melalui proses pengecilan ukuran dan proses pencucian. Menurut Guillon dan Champ (2000) proses mekanis yaitu pengecilan ukuran/penggilingan dapat menghasilkan bahan pangan dengan kadar serat yang lebih tinggi. Pada penelitian Tosh dan Yada (2009), fraksi serat dapat diekstrak dari tepung kacang-kacangan menggunakan


(19)

2

beberapa metode, salah satunya yaitu dengan metode kering yang meliputi penggilingan atau pengecilan ukuran partikel dan pengayakan. Ahmed et al. (2016) melaporkan bahwa semakin kecil ukuran partikel tepung kacang lentil turki kandungan seratnya semakin tinggi. Selain menggunakan proses pengecilan ukuran, Dhingra et al. (2012) menyatakan bahwa proses pencucian dapat menghasilkan kadar serat bahan pangan yang lebih tinggi. Dilaporkan bahwa limbah jeruk yang dicuci dengan air, kadar total serat pangannya lebih tinggi daripada tanpa pencucian (De Mello Andrade et al. 2014).

Kandungan serat dan ukuran partikel ampas tapioka dapat mempengaruhi sifat fungsional tepung ampas tapioka. Menurut Sun et al. (2015) jumlah dan ukuran partikel serat gandum yang ditambahkan pada pati gandum dan pati kacang hijau mempengaruhi viskositas dan karakteristik tekstur gelnya. Hasil penelitian Raghavendra et al. (2006) menunjukkan bahwa semakin kecil ukuran partikel serat ampas kelapa semakin meningkatkan kemampuan hidrasinya. Water holding capasity, swelling water capasity, dan adsorption capasity semakin meningkat dengan semakin kecilnya ukuran partikel ampas jintan (Ma et al. 2016).

1.2Perumusan Masalah

Pemanfaatan ampas tapioka sebagai sumber serat pangan dapat dioptimalkan dengan membuat kadar serat pangannya lebih tinggi. Proses pengecilan ukuran dan proses pencucian dilaporkan dapat menghasilkan kadar serat pada bahan pangan lebih tinggi. Ampas tapioka hasil penggilingan pada ukuran partikel tertentu yang kemudian dilakukan pencucian dengan frekuensi yang berbeda diharapkan akan menghasilkan tepung ampas tapioka dengan kadar serat pangan yang lebih tinggi serta akan mempengaruhi sifat fungsionalnya.

1.3Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh penggilingan ampas tapioka dengan ukuran partikel yang berbeda dan frekuensi pencucian terhadap sifat fisikokimia tepung ampas tapioka yang dihasilkan.

1.4Hipotesis

Ukuran partikel ampas tapioka hasil penggilingan dan frekuensi pencucian yang berbeda akan mepengaruhi sifat fisikokimia tepung ampas tapioka yang dihasilkan. Semakin kecil ukuran partikel dan semakin banyak frekuensi pencucian maka kandungan serat pangan tepung ampas tapioka yang dihasilkan menjadi lebih tinggi.


(20)

3

2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Ampas Tapioka

Ampas tapioka merupakan padatan hasil samping proses ekstraksi pati tapioka yang kaya serat dan masih mengandung pati tidak terekstrak. Menurut Pandey et al. (2000), produksi tapioka menghasilkan limbah padat yang terdiri dari kulit singkong dan ampas singkong. Pengolahan singkong sebanyak 250 hingga 300 ton menghasilkan 1.16 ton kulit singkong dan 280 ton ampas singkong dengan kadar air 85%. Ampas tapioka sering menimbulkan masalah lingkungan karena berpotensi sebagai polutan di daerah sekitar industri tapioka. Ampas tapioka tahan relatif lama dalam keadaan kering, sedangkan dalam keadaan basah, ampas tapioka mudah sekali ditumbuhi oleh kapang dan terjadi pembusukan Purnawati (2007). Oleh karena itu, ampas tapioka diproses lebih lanjut melalui pengeringan dan penggilingan hingga dihasilkan tepung. Proses pembuatan tapioka dan tepung ampas tapioka dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Proses pembuatan tapioka dan tepung ampas tapioka (Marliyati et al. 1992)


(21)

4

Komponen utama yang terdapat di dalam ampas tapioka adalah serat dan pati yang tidak berhasil diekstrak selama pembuatan tapioka. Menurut Sriroth et al. (2000), kandungan pati ampas tapioka sekitar 68% (berat kering) dan 27% serat (berat kering). Industri tapioka skala kecil di Bogor, Jawa Barat menghasilkan ampas tapioka dengan kandungan pati yang lebih tinggi yaitu 79.45% (berat kering) (Hermiati et al. 2012).

Kandungan pati yang tersisa pada ampas tapioka tergantung pada teknik ekstraksi atau pembuatan tapioka. Semakin banyak menggunakan air, maka semakin banyak pula pati yang dapat diekstrak, sehingga jumlah pati yang tersisa pada ampas singkong semakin sedikit dan kandungan serat semakin tinggi (Da et al. 2010). Granula pati dalam ampas tapioka terperangkap pada struktur dinding sel berserabut karbohidrat (Saengchan et al. 2015). Hal ini secara alami menghalangi ekstraksi pati tanpa perlakuan pre-gelatinisasi, fisik, mekanis, kimia atau perlakuan lainnya. Komposisi ampas tapioka yang berbeda juga dikarenakan perbedaan varietas singkong yang digunakan. Komposisi kimia singkong dan ampas tapioka dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 menunjukkan bahwa komposisi utama ampas tapioka yaitu pati dan serat, sedangkan protein dan lemak terdapat dalam jumlah yang relatif kecil. Tingginya kandungan serat menjadikan ampas tapioka berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai sumber serat pangan. Menurut Tovar et al. (1989), serat larut air terdapat sekitar 40% dari total serat pangan pada ampas tapioka yang terdiri dari sebagian besar asam uronat dan polimer glukosa (pektin dan beta-glukan) sedangkan serat tidak larut kaya akan selulosa dan lignin.

Tabel 1 Komposisi Kimia Singkong dan Ampas Singkong (100 g Berat Kering)

Komponen Singkong a

Ampas Singkong

b c d e f

Kadar Air (%) Protein (g) Lemak (g) Pati (g) Serat (g) Abu (g) 15.70 1.40 0.50 80.60 1.20 1.80 6.99 0.91 0.23 52.28 31.81 1.07 11.20 1.61 0.54 63.00 21.10 1.44 - - - 47.10 43.10 - - - - 60.10 23.01 - - - - 75.10 9.46 - Sumber : (a) Soccol (1996), Cereda and Takashasi (1996)

(b) Rosida (1994) (c) Vandenberghe (1998) (d) Raupp et al. (1999)

(e) Rattanachomsri et al. (2009) (f) Virunanon et al. (2012)

Fungsin et al. (2009) melaporkan bahwa ampas tapioka mengandung selulosa 24.99% dan hemiselulosa 6.67%. Sedangkan, hasil penelitian Nurdjanah dan Elfira (2009) menunjukkan bahwa ampas tapioka mengandung pektin 9.9%, hemiselulosa 6.1%, dan selulosa 5.8%. Pada penelitian yang dilakukan Infante et al. (2013) ampas tapioka memiliki kadar total serat pangan berkisar antara 5.2% hingga 6.3%. Rata-rata kadar serat pangan tidak larut air pada ketiga sampel yaitu 4.6% sedangkan serat pangan larut air berkisar antara 0.7-1.6% dengan kandungan pektin sebesar 0.31-0.64%. Perbedaan tersebut dikarenakan perbedaan varietas


(22)

5

singkong atau jenis tanah untuk menanam singkong dan perbedaan metode produksi tapioka.

2.2Serat Pangan

Serat pangan memiliki peranan yang sangat penting dalam diet, yaitu memberikan pengaruh fisiologis yang baik untuk kesehatan tubuh. Penambahan serat pangan dapat menghasilkan pangan yang meningkatkan kebugaran, rendah lemak dan kolesterol (Food and Nutrition Board, Institute of Medicine, 2001). Menurut Winarno (2008), serat pangan atau dietary fiber merupakan komponen dari jaringan tanaman yang tahan terhadap proses hidrolisis oleh enzim dalam lambung dan usus kecil. Definisi terbaru serat pangan menurut The American Assosiation of Cereal Chemist (AACC) (AACC International 2001) yaitu bagian yang dapat dimakan dari tanaman atau kabohidrat analog yang resisten terhadap pencernaan dan absorpsi pada usus halus dengan fermentasi lengkap atau parsial pada usus besar.

Serat pangan diklasifikasikan menjadi dua kelompok yaitu serat tidak larut air/sulit terfermentasi : selulosa, hemiselulosa, lignin dan serat larut air/mudah terfermentasi : pektin dan gum (Anita dan Abraham 1997). Klasifikasi komponen serat pangan berdasarkan kelarutan terhadap air dan kemampuan terfermentasi dapat dilihat pada Tabel 2.

a. Selulosa

Selulosa merupakan komponen linier dari β-D-glukosa yang dihubungkan satu sama lain dengan ikatan glikosidik β(1→4). Selulosa merupakan komponen struktural utama dinding sel. Selulosa dicirikan dengan daya tahannya yang tinggi terhadap degradasi biologis, kelarutan dalam air yang rendah, tahan terhadap hidrolisis asam karena ikatan hidrogen pada mikrofibril. Selulosa tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan dalam sistem pencernaan manusia.

b. Hemiselulosa

Hemiselulosa memiliki rantai molekul lebih pendek dibandingkan selulosa. Unit monomer pembentuk hemiselulosa tidak sama dengan unit penyusun heteromer. Unit ini terdiri dari heksosa dan pentosa. Sifatnya sama dengan selulosa, yaitu mampu berikatan dengan air. Jenis ini banyak ditemukan pada bahan makanan serealia, sayur-sayuran, dan buah-buahan.

c. Pektin

Pektin terdapat dalam dinding sel primer tanaman dan berfungsi sebagai perekat antara dinding sel tanaman. Sifatnya yang membentuk gel dapat mempengaruhi metabolisme. Kandungan pektin pada buah, selain memberikan ketebalan pada kulit juga mempertahankan kadar air dalam buah. Semakin matang buah maka kandungan pektin dan kemampuan membentuk gel semakin berkurang.

d. Lignin

Lignin bukan merupakan polisakarida tetapi sebuah kompleks polimer yang terdiri dari 40 unit fenilpropana teroksidasi yang terdiri dari koniferil, sinapil, dan p-kumaril alkohpl yang memiliki rangkaian polimerisasi kompleks dehidrogenasi. Lignin memiliki berat molekul dan kadar metoksil yang beragam. Lignin sangat kokoh, karena ikatan intramolekular yang kuat, yang terdiri dari rantai-rantai


(23)

6

karbon. Lignin memiliki daya tahan yang lebih kuat dibandingkan dengan polimer alami yang ada (Dhingra et al. 2011).

e. Gum dan musilase

Gum merupakan jenis serat tanaman yang bukan merupakan komponen dinding sel tetapi terbentuk pada bagian khusus dalam sel tanaman. Dilaporkan bahwa gum merupakan polisakarida dengan banyak cabang yang membentuk gel, mengikat air dan bahan organik lainnya. Gum merupakan cairan yang lengket yang berasal dari penyadapan (gum arab). Gum secara umum terdiri dari guar gum dan gum arab. Musilase merupakan hasil sekresi dari endosperma biji tanaman yang berperan untuk mencegah pengeluaran air berlebih (Dhingra et al. 2011).

Tabel 2 Klasifikasi komponen serat pangan berdasarkan kelarutan terhadap air dan kemampuan terfermentasi

Karakteristik Komponen

serat Deskripsi Sumber pangan

Tidak larut air / sulit terfermentasi

Selulosa

Hemiselulosa

Lignin

Komponen utama struktur dinding sel tanaman. Tidak larut dalam larutan alkali, larut dalam larutan asam. Dinding sel polisakarida, yang terdiri dari struktur rantai β-1,4 glukosidik. Larut dalam larutan alkali.

Komponen dinding sel non-karbohidrat. Kompleks ikatan silang polimer fenil propana. Tahan terhadap degradasi bakteri

Tanaman (sayuran, bit, biji-bijian)

Serealia

Tanaman berkayu

Larut air / mudah terfermentasi

Pektin

Gum

Musilase

Komponen utama dinding sel dengan asam D-galakturonat sebagai komponen utama. Larut dalam air dan membentuk gel Sekresi pada jaringan tanaman dekat sel terluar. Digunakan pada pangan dan obat-obatan.

Disintesis dari tanaman, mencegah pengeluaran air berlebih pada endosperma biji.

Digunakan industri pangan, hidrofilik, sebagai penstabil

Buah-buahan, sayuran, polong-polongan, bit, kentang Biji tanaman polong-polongan, Ekstrak rumput laut (karagenan,

alginat, mikrobial gums (xanthan, gellan)

Ekstrak tanaman (gum acacia, gum karaya, gum

tragacanth)


(24)

7

Serat pangan sering digunakan sebagai bahan baku atau bahan tambahan pada produk olahan pangan karena memiliki sifat fungsional, seperti meningkatkan daya ikat air, daya ikat minyak, emulsifikasi dan/atau pembentuk strukstur gel (Chaplin 2003; Chau dan Huang 2003). Bahkan, menurut Elleuch et al. (2010) penggunaan serat pangan dalam produk pangan (produk bakery, olahan susu, selai, daging, sup) dapat memodifikasi tekstur, mencegah sineresis, menstabilkan pangan tinggi lemak dan sebagai emulsi, dan meningkatkan daya tahan simpan. Berikut ini adalah beberapa sifat fisikokimia dan fungsional serat pangan.

a. Kelarutan serat pangan (solubility)

Berdasarkan jenis kelarutannya, serat dapat digolongkan menjadi dua, yaitu serat tidak larut air (insoluble fiber) dan serat yang larut air (soluble fiber). Sifat kelarutan ini sangat menentukan pengaruh fisiologis serat pada proses-proses di dalam pencernaan dan metabolisme zat-zat gizi. Selulosa, lignin, dan beberapa fraksi hemiselulosa digolongkan sebagai serat tidak larut air (suhu 90oC), sedangkan pektin, gum, musilase, dan beberapa hemiselulosa digolongkan sebagai serat larut air (suhu 90oC) (Schneeman, 1987).

Beberapa ahli pangan telah mengungkapkan manfaat penggunaan serat pangan. Serat pangan yang larut air cocok digunakan dalam makanan cair seperti sup, minuman, dan puding. Sedangkan serat pangan tidak larut air biasanya digunakan dalam makanan padat dan produk panggang atau bakery (Andon 1987).

Tudoric et al. (2002) melaporkan bahwa penambahan serat pangan larut air dan tidak larut air mempengaruhi keseluruhan kualitas (komposisi biokimia, sifat pemasakan, dan karakteristik tekstur) pasta. Pelepasan glukosa juga secara signifikan menurun dengan penambahan serat larut air. Pada produk pasta, sifat anti lengket yang berasal dari serat dari oat, barley, kedelai, bekatul membantu memudahkan proses ekstruksi dan juga berperan untuk kekuatan adonan atau memperbaiki umur penyajian pada pasta yang dimasak.

b. Daya serap air (water absorption)

Serat makanan memiliki daya serap air yang tinggi, namun tergantung pada jenis polisakaridanya. Selulosa memiliki mkapasitas yang terbatas dalam menyerap air, sedangkan arabinoxylan mempunyai kapasitas penyerapan yang sangat besar. Sifat-sifat daya serap air selain tergantung pada tipe polisakarida juga tergantung kepada komponen makanan lainnya, seperti pektin sangat tergantung pada protein ion-ion (Trowell et al. 1985). Serat pangan dapat digunakan untuk meningkatkan tekstur produk olahan daging, seperti sosis, daging asap dan salami. Di samping itu serat juga memiliki kemampuan meningkatkan kapasitas retensi air yang berperan pada matriks daging dalam mempertahankan sifat “juiceness” yang secara tidak langsung berperan dalam mempertahankan flavor.

Pada pembuatan roti, penggunaan serat pangan sebagai bahan baku dilaporkan dapat meningkatkan daya serap air tepung. Toma et al. (1979) melaporkan bahwa roti yang ditambahkan serat dari kulit kentang memiliki kadar total serat pangan, kapasitas pengikatan air yang lebih baik dibandingkan roti yang tidak ditambahkan serat dari kulit kentang. Cake yang ditambahkan 25% serat kulit apel memiliki kualitas yang lebih baik. Penambahan serat kulit apel juga menghindari penggunaan flavour lain karena secara alami sudah terdapat


(25)

8

flavour buah (Sudha et al. 2007). Kemampuan serat pangan dalam mengikat air juga berfungsi dalam peningkatkan kandungan air dalam usus besar sehingga dapat mencegah penyakit kanker. Selain itu serat pangan memberi bentuk lebih lunak dan besar pada feses sehingga dapat mencegah penyakit divertikular (Muchtadi, 2000).

c. Kekentalan serat pangan (viscosity)

Sifat umum senyawa-senyawa serat pangan antara lain adalah molekulnya berbentuk polimer dengan ukuran besar, strukturnya kompleks, banyak mengandung gugus hidroksil, dan kapasitas pengikatan airnya besar (Brown 2000). Senyawa pektin, musilase, dan beberapa hemiselulosa mempunyai kapasitas pengikatan air yang tinggi karena mengandung banyak residu gula dengan gugus hidroksil bebas (Southgate 1976). Dalam pembuatan produk minuman, penambahan serat pangan meningkatkan viskositas dan kekentalannya, serat larut air lebih sering digunakan karena lebih terdispersi dalam air daripada serat tidak larut air.

Banyaknya gugus hidroksil bebas yang bersifat polar serta struktur matriks yang berlipat-lipat memberi peluang besar bagi terjadinya pengikatan air melalui ikatan hidrogen. Sifat mengikat air dari serat makanan ini penting dalam mempertahankan air dalam lambung, meningkatkan viskositas makanan dalam usus kecil, dan berhubungan dengan peranan serat pangan dalam metabolisme tubuh (Brown, 2000).

d. Daya ikat minyak (oil holding capasity)

Kemampuan serat untuk mengikat minyak sangat penting dalam aplikasi pangan, seperti pencegahan kehilangan lemak saat pemasakan (Anderson dan Berry 2001a, 2001b). Serat pangan larut air seperti pektin, inulin, guar gum, dan CMC digunakan sebagai ingredient fungsional pada produk susu. Penambahan guar gum, inulin, dan pektin selama proses pembuatan keju mampu menurunkan kandungan lemaknya tanpa menghilangkan karakteristik organoleptik, seperti tekstur dan flavor. Selain itu, penambahan serat pangan pada pembuatan yogurt dan es krim meningkatkan stabilitas emulsinya.

Penambahan serat pangan pada produk bakery meningkatkan kualitas nilai gizinya karena serat pangan dapat menurunkan kandungan lemak, dengan penggunaan serat pangan substitusi lemak tanpa menurunkan kualitasnya (Byrne 1997; Martin 1999). Selain itu, kemampuan serat dalam pengikatan minyak erat kaitannya dengan kemampuan untuk menyerap atau mengikat asam empedu dan meningkatkan eksresinya bersamaan dengan reduksi kolesterol plasma.

2.3Penggunaan Serat Ampas Tapioka sebagai Ingredient Pangan

Ampas tapioka berpotensi untuk digunakan sebagai sumber serat pangan (Camargo et al. 2008). Pemanfaatan ampas tapioka dapat dioptimalkan dengan membuat kandungan serat pangannya lebih tinggi. Beberapa penelitian mengenai teknologi proses untuk menghasilkan tepung ampas tapioka dengan kadar serat pangan yang lebih tinggi.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Rosida (1994) diketahui bahwa proses fermentasi ampas tapioka selama tiga hari mampu menghasilkan tepung ampas tapioka dengan kadar pati yang lebih rendah (52.08% menjadi 45.98%) dan kadar serat pangan yang lebih tinggi (35.95% menjadi 39.75%). LaCourse et al. (1993)


(26)

9

menyatakan bahwa penambahan 1% enzim alpha-amylase pada ampas tapioka segar selama 4 jam menghasilkan ampas tapioka dengan kadar serat pangan sebesar 74.7% (dalam berat kering) dan memiliki nilai viskositas sebesar 350 BU. Proses tersebut mampu menghasilkan tepung ampas tapioaka dengan kadar serat pangan 39.7% lebih tinggi dari tepung ampas tapioka tanpa perlakuan.

Proses hidrolisis parsial secara enzimatik pada ampas tapioka menggunakan dua jenis enzim komersial yaitu enzim termamyl dan amyloglucosidase (AMG) mampu menghasilkan tepung ampas tapioka dengan kadar serat pangan yang lebih tinggi yaitu dari 43.10% menjadi 60.90% (Raupp et al. 2004). Pemberian tepung ampas tapioka hasil proses hidrolisis parsial terhadap tikus contoh mampu meningkatkan fungsi pencernaan yaitu meningkatkan padatan feses, berat feses, dan frekuensi defekasi pada tikus contoh. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa tepung ampas tapioka hasil hidrolisis parsial dapat digunakan sebagai sumber serat pangan dalam formulasi pangan fungsional untuk nutrisi manusia.

Pada penelitian yang dilakukan Raupp et al. (2004), diketahui juga bahwa tepung ampas tapioka hasil hidrolisis parsial yang diuji tanpa pengadukan memiliki kemampuan hidrasi sebesar 1.7 kali volume awal sampel sedangkan dengan pengadukan kemampuan hidrasinya sebesar 4.3 kali volume awal sampel. Selain itu, dilakukan juga pengujian kemampuan hidrasi berdasarkan ukuran partikelnya. Kemampuan hidrasinya semakin besar dengan semakin kecilnya ukuran partikel sampel. Namun peningkatan tersebut terjadi hingga ukuran partikel tertentu, kemampuan hidrasi sampel semakin berkurang jika pengecilan ukuran partikel sampel dilanjutkan menjadi ukuran yang lebih kecil.

Beberapa penelitian mengenai pemanfaatan ampas tapioka sebagai ingredient pangan telah dilakukan. Penggunaan ampas tapioka sebagai bahan baku pengolahan pangan dapat menghasilkan produk pangan tinggi serat sehingga meningkatkan nilai produk tersebut (Sriroth et al. 2000; Shittu et al. 2008). Selain itu, penggunaan ampas tapioka sebagai serat pangan juga akan mempengaruhi karakteristik produk pangan yang dihasilkan. Serat pada bahan pangan dapat merubah konsistensi, tekstur, sifat reologi dan karakteristik sensori pada produk akhir (Guillon dan Champ 2000).

Dischsen et al. (2013) melaporkan bahwa penggunaan ampas tapioka sebagai bahan baku pada formulasi pembuatan breakfast cereal (produk ekstruder) meningkatkan kandungan total serat pangannya. Penambahan 20% ampas tapioka pada formulasi pembuatan breakfast cereal menghasilkan produk dengan kandungan total serat pangan sebesar 17.09% dengan penerimaan sensori yang disukai atau tidak jauh berbeda dengan breakfast cereal yang terbuat dari jagung. Penambahan ampas tapioka pada pada formulasi pembuatan breakfast cereal juga menghasilkan produk dengan tekstur yang lebih renyah setelah diseduh dengan susu dibandingkan dengan breakfast cereal tanpa penambahan ampas tapioka. Hal tersebut diduga karena serat pada produk menghambat daya kembang produk sehingga meningkatkan densitasnya. Peningkatan kadar total serat pangan menurunkan kadar pati pada produk sehingga mempengaruhi daya kembang produk. Serat dapat meningkatkan kerusakan dinding sel pati dan mencegah udara untuk mengembang secara maksimum, sehingga dihasilkan produk yang padat dan keras dengan daya kembang yang rendah.

Penelitian yang dilakukan oleh Fiorda et al. (2013) menunjukkan bahwa ampas tapioka dapat digunakan sebagai bahan baku pada formulasi pasta bebas


(27)

10

gluten dan dapat meningkatkan kandungan total serat pangan produk. Penambahan ampas tapioka dapat meningkatkan kekerasan produk karena kandungan serat yang tinggi mengakibatkan tingginya retensi air.

LaCourse et al. (1993) melaporkan bahwa serat pangan yang berasal dari ampas tapioka hasil dari proses penghilangan pati (destarched) dan/atau proses bleaching dapat digunakan untuk aplikasi pangan sekitar 1-43% dari berat produk. Jumlah penambahan serat pangan dari ampas tapioka tersebut efektif untuk meningkatkan kadar serat pangan. Jumlah serat ampas tapioka yang digunakan akan menentukan tingkat penerimaan pada evaluasi sensori produk pangan. Serat ampas tapioka dapat digunakan untuk bahan baku produk pangan dalam jumlah yang cukup tinggi dibandingkan serat pangan dari sumber lainnya karena memiliki karakteristik yang unik.

Pada produk sereal, seperti flakes, cereal puff atau sereal siap masak, serat ampas tapioka yang dapat digunakan berkisar dari 5 hingga 43% dari berat produk kering. Pada produk pangan yang dipanggang, serat ampas tapioka hasil dari proses pemurnian, penghilangan pati, dan bleaching secara umum dapat digunakan sekitar 2 hingga 7% dari berat produk pangan panggang. Flakes dengan penambahan serat ampas tapioka memiliki tekstur yang lebih disukai daripada flakes kontrol (tanpa penambahan ampas tapioka) setelah ditambahkan susu.

Penggunaan serat ampas tapioka sebagai bahan baku roti menghasilkan roti dengan daya pengembangan yang sama dengan roti yang menggunakan serat pangan dari sumber yang lain. Selain itu roti yang dihasilkan juga dapat diterima secara organoleptik. Pada produk coating atau penyalut, serat ampas tapioka dapat digunakan sebanyak 5 hingga 15% dari berat kering produk yang disalut. Serat dapat dicampur dengan bahan penyalut lainnya dan dapat digunakan sebagai campuran atau digabungkan terlebih dahulu dengan adonan roti.

Pada produk yang digoreng, seperti makanan ringan, donat dan roti goreng, serat ampas tapioka dapat digunakan sebanyak 1 hingga 5% dari berat produk yang digoreng. Serat ampas tapioka mengurangi penyerapan minyak pada tepung, pati, dan bahan lainnya yang umum digunakan pada formulasi produk yang digoreng. Serat ampas tapioka akan menyerap dan menahan air dan minyak atau lemak untuk menghasilkan produk pangan yang diterima secara organoleptik. Donut yang menggunakan serat ampas tapioka memiliki berat yang lebih tinggi setelah digoreng, penyerapan minyak yang jauh lebih rendah dan kadar air yang lebih tinggi dibandingkan dengan donat yang tidak menggunakan serat ampas tapioka.

2.4Ukuran Partikel

Ukuran partikel dapat didefinisikan dengan bantuan sejumlah dimensi seperti bulat atau kubus, silinder dan lonjong, prisma, dan sebagainya. Akan tetapi, bahan baku atau produk jarang yang memiliki bentuk yang teratur sehingga ukuran partikel ditetapkan menggunakan diameter yang setara. Ukuran partikel pada pengukuran dan pengujian sering disetarakan dengan diameter bola.

Bahan pangan tersusun oleh partikel – partikel dengan ukuran yang berbeda. Untuk mengkarakterisasi partikel bahan, maka perlu diketahui distribusi ukuran partikel dan rata-rata ukuran partikel. Distribusi ukuran partikel merupakan


(28)

11

proporsi partikel pada rentang ukuran tertentu dalam populasi partikel dan juga salah satu sifat penting dalam evaluasi kualitas dan proses pengolahan pangan (Servais et al. 2002). Metode untuk menentukan distribusi ukuran partikel terdiri dari pengayakan, pengujian secara mikroskopik, teknik difraksi sinar laser, dan sebagainya.

a. Metode pengayakan

Pengayakan merupakan teknik yang paling sederhana dan digunakan secara luas untuk mengklasifikasi ukuran partikel. Metode ini hanya didasarkan pada ukuran partikel dan sifat partikel yang berdiri sendiri. Ukuran pada lubang ayakan memiliki standar, saat ini terdapat dua standar yang berbeda yaitu standar Tyler dan standar ASTM U.S. yang digunakan di Amerika Serikat. Penomoran mesh pada ayakan umumnya didefinisikan sebagai jumlah lubah per unit area (inch persegi). Semakin besar nomor mesh semakin kecil ukuran lubang.

b. Metode mikroskopik

Pengujian ukuran partikel secara mikroskopik biasanya ditujukan untuk menentukan ukuran dan distibusi ukuran pada partikel berukuran kecil karena menunjukan visualisasi secara langsung dan ukuran pada masing – masing partikel. Terdapat tiga jenis mikroskop yang umum digunakan yaitu mikroskop optik, mikroskop transmisi elektron atau transmission electron microscopy (TEM), dan mikroskop scanning elektron atau scanning electron microscopy (SEM).

c. Metode difraksi sinar laser

Teknik pengujian ukuran partikel menggunakan difraksi sinar laser memiliki beberapa keuntungan yaitu mudah dan lebih cepat dibandingkan dengan metode pengayakan, tidak membutuhkan media penghantar atau gaya geser yang besar. Dalam pengukuran difraksi sinar laser, sinar laser dilewatkan pada partikel sampel yang terdispersi dan intensitas perbedaan sudut cahaya yang menyebar diukur. Partikel berukuran besar menyebarkan cahaya dengan sudut yang relatif kecil dan partikel berukuran kecil menyebarkan cahaya dengan sudut yang besar. Data intensitas penyebaran sudut dianalisis untuk menghitung ukuran partikel yang membentuk pola penyebaran menggunakan teori penyebaran cahaya Mie. Ukuran partikel dilaporkan sebagai volume setara diameter bola.

Ukuran partikel bahan sangat penting dalam menentukan sifat fisikokimia pada proses produksi industri pangan (Wang dan Flores 2000). Penelitian yang dilakukan Ezeh et al. (2015) menunjukkan bahwa pengecilan ukuran pada Cyperus esculentus atau polong rumput teki menghasilkan ekstrak minyak lebih banyak. Pengecilan ukuran kacang lentil turki menghasilkan tepung dengan kadar serat pangan yang semakin tinggi (Ahmed et al. 2016) sedangkan bekatul dengan ukuran partikel yang lebih kecil memiliki kadar serat pangan yang lebih rendah dibandingkan dengan ukuran partikel yang lebih besar tetapi kadar pati dan proteinnya lebih tinggi (Wang 2016). Saengchan et al. 2015 melaporkan bahwa pengecilan ukuran pada singkong yang dikeringkan dapat meningkatkan efisiensi pemisahan granula pati. Hal tersebut dikarenakan semakin banyak dinding sel yang mengalami kerusakan sehingga jumlah granula pati yang bebas dari jaringan berserabut semakin meningkat.

Abdul-hamid dan Luan (2000) melaporkan bahwa sifat fungsional serat pangan pada bekatul dipengaruhi oleh ukuran partikelnya. Pengecilan ukuran


(29)

12

semakin meningkatkan water holding capasity, swelling water capasity, dan adsorption capasity ampas jintan (Ma et al. 2016). Menurut Savlak et al. (2016) ukuran partikel mempengaruhi kualitas tepung pisang seperti daya ikat air, daya ikat minyak, kelarutan air, dispersi tepung, kemampuan menjadi basah, bulk density, dan tapped density. Tepung pisang berukuran partikel paling kecil memiliki kemampuan menjadi basah lebih besar dan daya ikat air yang paling rendah dibandingkan tepung berukuran partikel lebih besar.

3

METODE

3.1Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di laboratorium Seafast Center dan laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada bulan Januari 2015 sampai April 2016.

3.2Bahan

Ampas tapioka yang digunakan berasal dari industri kecil tapioka di Kelurahan Ciluar Bogor. Bahan kimia yang digunakan yaitu akuades, glukosa murni, fenol 5%, H2SO4, etanol 95%, enzim termamyl (Sigma A3403, Sigma-Aldrich, USA), protease (Sigma P-4630, Sigma-Aldrich, USA), amyloglucosidase (Sigma A-9913, Sigma-Aldrich, USA), NaOH, HCl, kertas saring, dan kertas saring Whatman 42.

3.3Alat

Alat yang digunakan untuk proses pengolahan tepung yaitu disc mill (Teco 3-Phase Induction Motor, Singapore), ayakan bergoyang (Dalal Engineering PVT.LTD. Model EGCMS Type Dry) dengan ukuran 40, 60, 80, dan 100 mesh, kain saring dengan ukuran 40 mesh, alat tekan ulir, grinder, dan cabinet dryer. Alat yang digunakan untuk analisis rapid visco analyser (RVA Tec Master Newport Scientific Pty.Ltd, Warriewood-Australia), particle size analyzer (Mastersizer 3000 Aero S, Malvern UK), spektrofotometer UV-Vis (Shimadzu UVmini-1240, Japan), oven, desikator, saringan vakum, shaking waterbath (Burgwedel GFL 1083, Germany), pH meter (Eutech pH700, Singapore), neraca analitik (Precisa XT 220A, Switzerland), dan alat-alat gelas.

3.4Metodologi Penelitian

Ampas tapioka segar dikeringkan menggunakan cabinet dryer pada suhu 50±5oC selama 24 jam. Tepung ampas tapioka disiapkan dengan proses penggilingan ampas tapioka kering menggunakan disc mill. Untuk mengelompokkan partikel ampas tapioka hasil penggilingan berdasarkan ukuran partikelnya dilakukan pengayakan menggunakan ayakan bergoyang berukuran 40, 60, 80, dan 100 mesh sehingga diperoleh variasi ukuran partikel tepung ampas tapioka yaitu tepung hasil penggilingan tanpa pengayakan, tepung berukuran 420-250 µm (lolos ayakan 40 mesh, tertahan oleh ayakan 60 mesh), 420-250-177 µm (lolos


(30)

13

ayakan 60 mesh, tertahan oleh ayakan 80 mesh), 177-149 µm (lolos ayakan 80 mesh, tertahan oleh ayakan 100 mesh), dan <149 µm (lolos ayakan 100 mesh). Tepung ampas tapioka yang dihasilkan kemudian dianalisis distribusi ukuran partikelnya.

Gambar 2 Skema tahapan penelitian

Ampas tapioka hasil penggilingan dengan ukuran partikel yang berbeda dicuci sebanyak 1, 2, 3, 4, 5, dan 6 kali dengan rasio perbandingan tepung dan air yang ditambahkan yaitu 1 : 9 kemudian diaduk secara konstan menggunakan


(31)

14

batang pengaduk selama 2 menit (Purwantana et al. 2008). Selanjutnya proses penyaringan menggunakan tiga lapis kain saring (40 mesh) lalu diperas menggunakan alat tekan manual (ulir) dan dikeringkan menggunakan cabinet dryer pada suhu 50 ± 5oC selama 24 jam. Sampel lalu digiling menggunakan grinder (kecepatan no. 4 selama 5 menit) dan diayak menggunakan ayakan 60 mesh. Parameter yang diamati terhadap tepung ampas tapioka terdiri dari rendemen, kadar air, kadar pati, kadar total serta pangan, dan karakteristik pasting. Skema tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.

3.5Prosedur Analisis

3.5.1 Analisis Distribusi Ukuran Partikel

Analisis distribusi ukuran partikel dan ukuran partikel rata-rata dilakukan dengan menggunakan Mastersizer 3000 Aero S (Malvern UK). Alat tersebut menggunakan teknik difraksi sinar laser untuk mengukur distribusi ukuran partikel dari 10 nm sampai 3.5 mm. Sampel tepung kering dimasukkan kedalam unit (Aero S) yang secara otomatis mendispersi sampel. Distribusi ukuran partikel berdasarkan volume relatif dari partikel, yang kemudian ditampilkan sebagai kurva distribusi ukuran partikel. Beberapa parameter yang digunakan dalam distribusi partikel antara lain : ukuran partikel terbesar (D90), ukuran partikel dengan ukuran diameter median/tengah (D50 – berdasarkan volume, 50% partikel berukuran lebih kecil dan 50% berukuran lebih besar), ukuran partikel terkecil (D10) (Wronkowska and Haros 2014).

Pada penelitian ini distribusi partikel dihitung dengan menggunakan software mastersizer V3.10. Nilai yang dinyatakan adalah nilai rata-rata dari 6 kali pengukuran masing-masing sampel. Software ini juga menyajikan ukuran rata-rata partikel sebagai D[3,2] dan D[4,3], yang diformulasikan dengan menggunakan persamaan dibawah ini (Lee dan Yoon 2015) :

Dimana ni merupakan jumlah partikel dengan diameter di. Nilai D[3,2] sering disebut sebagai diameter rata-rata Sauter (Sauter mean diameter) yaitu nilai diameter rata-rata partikel bola dengan nilai rasio volume/luas permukaan partikel yang sama. Nilai D[4,3] sering disebut sebagai diameter rata-rata De Brouckere (De Brouckere mean diameter) yaitu nilai diameter rata-rata partikel bola yang memiliki nilai rasio massa/volume partikel yang sama.

3.5.2 Analisis Kadar Air (AOAC 2005)

Analisis kadar air pada tepung ampas tapioka dilakukan berdasarkan metode AOAC (2005). Analisis kadar air yang dilakukan untuk mengetahui kandungan atau jumlah air yang terdapat pada sampel. Tahap pertama yang dilakukan pada analisis kadar air adalah mengeringkan cawan porselen dalam oven pada suhu 102-105°C selama 15 menit. Cawan tersebut kemudian diletakkan ke dalam desikator (kurang lebih 30 menit) dan dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang. Sampel ditimbang seberat 5 g dan selanjutnya cawan yang telah diisi sampel dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 102-105 °C selama 6 jam. Cawan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan sampai dingin dan ditimbang. Perhitungan kadar air :


(32)

15

Keterangan:

A = Berat cawan porselen kosong (g)

B = Berat cawan porselen dengan sampel (g)

C = Berat cawan porselen dengan sampel setelah dikeringkan (g) 3.5.3 Analisis Kadar Pati (Dubois et al. 1956)

Kadar pati sampel tepung ampas tapioka dianalisis dengan menggunakan metode fenol sulfat (Dubois et al. 1956) yang mencakup tahapan pembuatan kurva standar larutan glukosa, persiapan sampel, dan analisis sebagai berikut : Pembuatan Kurva Standar Larutan Glukosa

Larutan glukosa murni (0.5 mL) yang masing-masing mengandung 0.0, 10.0, 20.0, 30.0, 40.0, 50.0, 60.0, 70.0 dan 80.0 μg larutan glukosa ditempatkan dalam tabung reaksi. Masing-masing tabung reaksi tersebut ditambahkan 0.5 mL fenol 5%, kemudian diaduk menggunakan vorteks. Sebanyak 2.5 mL larutan H2SO4 pekat ditambahkan secara cepat ke dalam tabung reaksi tersebut. Larutan tersebut didiamkan selama 10 menit, kemudian diaduk lagi dengan vorteks. Sampel disimpan pada suhu ruang selama 20 menit sebelum diukur absorbansi dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 490 nm. Persamaan dan kurva standar larutan glukosa dibuat sebagai hubungan antara konsentrasi larutan glukosa (pada sumbu x) dan absorbansi (pada sumbu y).

Persiapan Sampel Analisis Total Gula

Sebanyak 1 g pati dimasukkan secara perlahan ke dalam 100 mL etanol 95% dan dihomogenkan menggunakan pengaduk magnetik. Suspensi pati kemudian disaring menggunakan kertas saring. Kertas yang berisi residu pati didiamkan semalam dalam desikator. Residu pati ditimbang sehingga diketahui beratnya untuk menghitung pati pada sampel sebelum mengalami pencucian dengan etanol. Setelah pati kering, pati yang terdapat dalam kertas saring diambil, kemudian dihaluskan dengan mortar. Sebanyak 40 mg pati yang telah dihaluskan ditambah dengan 20 mL akuades, lalu diotoklaf pada suhu 1050C selama 1 jam. Setelah diotoklaf, sampel didinginkan pada suhu kamar lalu diencerkan sebanyak 40 kali. Analisis Sampel

Sebanyak 0.5 mL sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian ditambahkan 0.5 mL fenol 5 % dan dihomogenkan menggunakan vorteks. Sebanyak 2.5 mL larutan H2SO4 pekat ditambahkan secara cepat ke dalam tabung reaksi. Larutan sampel kemudian didiamkan selama 10 menit pada suhu ruang, diaduk dengan vorteks dan didiamkan kembali selama 20 menit pada suhu ruang. Nilai absorbansi diukur dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 490 nm. Kadar total gula (%bb) diperoleh dari kurva standar, sedangkan kadar pati (%bb) dihitung dengan mengalikan kadar total gula dengan faktor 0.9.

3.5.4 Analisis Kadar Total Serat Pangan (AOAC 985.29 2012)

Analisis total serat pangan pada sampel tepung ampas tapioka dilakukan berdasarkan metode AOAC (985.29 2012). Sampel dalam bentuk kering dan


(33)

16

bubuk dapat langsung digunakan dalam pengujian. Sampel yang mengandung lemak >10% harus dihilangkan lemaknya mengunakan soxhlet dengan pelarut heksan. Sampel tepung ampas tapioka sebanyak 1 g (duplo/dua set) dimasukkan ke dalama gelas piala, lalu ditambahkan 50 mL buffer fosfat pH 6. Termamyl sebanyak 100 µL ditambahkan kemudian ditutup dengan alumunium foil dan diinkubasi pada suhu 95-100oC selama 15 menit. Larutan kemudian didinginkan sampai suhu ruang, lalu nilai pH ditepatkan hingga 7.5 dengan penambahan 10 mL 0.275M NaOH dan 100 µL larutan protease, kemudian diinkubasi pada suhu 60oC selama 30 menit dalam water bath bergoyang. Selanjutnya larutan ditepatkan menjadi pH 4.0-4.6 dengan penambahan 10 ml HCl dan 300 µL amyloglucosidase, lalu diinkubasikan pada pada suhu 60oC selama 30 menit dalam water bath bergoyang. Etanol 95% yang telah dipanaskan pada suhu 60oC ditambahkan sebanyak 280 ml ke dalam larutan dan selanjutnya didiamkan pada suhu ruang selama 60 menit. Larutan kemudian disaring menggunakan saringan vakum dan dicuci sebanyak 3 kali dengan 20 mL etanol 78%, dua kali dengan 10 ml etanol 95%, dan dua kali dengan 10 mL aseton. Residu yang diperoleh kemudian dikeringkan selama satu malam pada suhu 105oC. Satu set residu dianalisis untuk kadar protein dan satu set lainnya untuk kadar abu. Kadar protein residu dapat diabaikan jika sampel berupa pati atau kadar protein yang sangat kecil. Total serat pangan (TDF) pada sampel dihitung dengan menggunakan rumus :

TDF (%) =

Bobot residu :

WR : rata-rata bobot residu (mg) untuk dua set sampel (mg) P : kadar protein residu (mg)

A : kadar abu residu (mg) WT : bobot sampel (mg)

3.5.5 Analisis Karakteristik Pasting (AACC 1983)

Pengukuran karakteristik pasting dilakukan menggunakan Rapid Visco Analyzer (RVA) tipe RVA-S4 dengan profil analisis standar 2. Sebanyak 3.5 gram sampel pati (kadar air 14%) dicampur dengan 25 gram akuades di dalam wadah sampel. Wadah berisi sampel selama 1 menit pertama diputar pada kecepatan 160 RPM dan suhu 50oC. Selanjutnya, sampai menit ke 8.5, suhu pemanasan dinaikkan dari 50oC menjadi 95oC. Suhu dijaga konstan pada 95oC selama 5 menit (sampai menit ke 13.5). Setelah pemanasan konstan, suhu diturunkan menjadi 50oC (pada menit ke 21) dan dipertahankan pada suhu 50oC selama 2 menit (sampai menit ke 23).

Dari kurva RVA akan diperoleh nilai dari suhu awal pasting (TP), suhu viskositas maksimum (T maks), viskositas puncak VP), viskositas panas dan viskositas akhir (Gambar 4.1). Nilai viskositas breakdown (VBD) dihitung sebagai selisih antara viskositas puncak dikurangi dengan viskositas panas. Viskositas balik (setback viscosity, VSB) adalah nilai dari viskositas akhir dikurangi dengan viskositas panas. Viskositas breakdown relatif (VBD-R) adalah persen rasio dari viskositas breakdown dengan viskositas puncak sementara viskositas balik relatif (VSB-R) merupakan persen rasio dari viskositas balik dengan viskositas panas.


(34)

17

Gambar 3 Kurva RVA dan perhitungan parameter pasta 3.5.6 Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak faktorial yang terdiri dari dua faktor yaitu ukuran partikel dan frekuensi pencucian. Data yang diperoleh ditampilkan dalam tabel dan grafik menggunakan software Microsoft Excel, serta dianalisis uji ragam ANOVA (Analysis of varians) dan uji lanjut Duncan pada taraf kepercayaan 95% menggunakan software SPSS 16.0.

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Distribusi Ukuran Partikel Ampas Tapioka Hasil Penggilingan dengan Ukuran Partikel Berbeda Sebelum Pencucian

Tepung ampas tapioka disiapkan dengan proses penggilingan menggunakan disc mill dengan kecepatan putaran 1425 rpm sehingga diperoleh ampas tapioka hasil penggilingan. Ampas tapioka hasil penggilingan kemudian dilakukan pengayakan menggunakan ayakan bergoyang berukuran 40, 60, 80, dan 100 mesh sehingga diperoleh variasi ukuran partikel ampas tapioka hasil penggilingan yaitu tepung hasil penggilingan tanpa pengayakan, tepung ukuran partikel 450 – 250 µm, 250 – 177 µm, 177 – 149 µm dan ukuran partikel <149 µm. Ampas tapioka hasil penggilingan dengan ukuran partikel berbeda diamati distribusi ukuran partikelnya. Ukuran partikel ampas tapioka hasil penggilingan dengan ukuran partikel berbeda dinyatakan dengan nilai D10, D50 dan D90 yang menunjukkan nilai diameter maksimum dari 10%, 50%, dan 90% populasi partikel. Distribusi


(35)

Gambar 4 Distribusi ukuran partikel ampas tapioka hasil penggilingan dengan ukuran partikel berbeda sebelum pencucian a) hasil penggilingan tanpa pengayakan, b) 450 – 250 µm, c) 250 -177 µm, d) 177 – 149 µm, dan e) <149 µm

(a)

(b)

(c)

(d)

(e) 18


(36)

ukuran partikel ampas tapioka hasil penggilingan dengan ukuran partikel berbeda sebelum pencucian dapat dilihat pada Tabel 3 dan Gambar 4.

Tabel 3 Distribusi ukuran partikel ampas tapioka hasil penggilingan dengan ukuran partikel berbeda

Perlakuan D10

(µm) D50 (µm) D90 (µm) D[3,2] (µm) D[4,3] (µm) Hasil Penggilingan Tanpa pengayakan

450 – 250 µm 250 – 177 µm 177 – 149 µm < 149 µm

22.6 312 214 124 12.5 332 453 314 196 103 764 660 460 293 230 79.3 435 301 108 37.4 375 472 328 199 111

Keterangan : nilai merupakan rata-rata dari dua kali pengukuran

Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa ampas tapioka hasil penggilingan tanpa pengayakan menunjukkan pola distribusi partikel bimodal / dua puncak dengan rentang yang lebar (Gambar 4a). Pola distribusi ini menggambarkan bahwa tepung hasil penggilingan tanpa pengayakan memiliki sebaran ukuran partikel yang beragam dan rentang ukurannya luas yang berkisar dari 22.6 µm sampai 764 µm dengan nilai D50 yaitu 332 µm.

Distribusi partikel monomodal (satu puncak) diperoleh pada ampas tapioka berukuran 450 – 250 µm, 250 – 177 µm, dan 177 – 149 µm (Gambar 4b, 4c, dan 4d) dimana secara berurut-turut berkisar dari 312 µm sampai 660 µm, 214 µm sampai 460 µm, dan 124 µm sampai 293 µm. Grafik ketiga ampas tapioka tersebut memiliki karakteristik yang hampir sama yaitu puncaknya lancip dengan sebaran yang normal dan rentang ukuran partikel yang lebih sempit dibandingkan tepung hasil peggilingan tanpa pengayakan. Hal tersebut menunjukkan bahwa ampas tapioka hasil penggilingan yang diayak memiliki ukuran partikel yang lebih seragam dan lebih kecil dimana nilai D50 secara berturut-turut yaitu 453 µm, 314 µm, dan 196 µm.

Ampas tapioka hasil penggilingan yang telah diayak memiliki ukuran partikel yang lebih kecil dan lebih seragam. Tabel 3 menunjukkan bahwa setelah proses pengayakan hasil penggilingan ampas tapioka memiliki nilai D50 atau nilai median yang semakin mendekati nilai rata-rata (D4,3). Hal tersebut menunjukkan bahwa partikel ampas tapioka hasil penggilingan setelah pengayakan memiliki ukuran yang lebih seragam dibandingkan dengan tepung hasil penggilingan tanpa diayak.

Pada ampas tapioka berukuran partikel paling kecil yaitu <149 µm (Gambar 4e), distribusi ukuran partikelnya kembali memiliki rentang yang lebih luas dibandingkan dengan ketiga tepung yang telah diayak. Ukuran partikelnya lebih kecil dan beragam yang ditunjukkan dengan grafik yang terdiri dari dua puncak / bimodal dengan rentang yang lebih lebar. Distribusi partikel ampas tapioka berukuran <149 µm berkisar dari 12.5 µm sampai 230 µm dengan diameter rata-rata 111 µm (D4,3).


(37)

20

4.2 Rendemen

Pada penelitian ini tepung ampas tapioka disiapkan dengan proses penggilingan ampas tapioka kering menggunakan disc mill dengan kecepatan putaran 1425 rpm sehingga diperoleh ampas tapioka hasil penggilingan. Rendemen ampas tapioka hasil penggilingan diperoleh sebesar 84.92%. Kehilangan berat terjadi disebabkan oleh tepung yang dihasilkan menempel pada alat penggiling dan tempat penampungan tepung. Selain itu, tepung yang berukuran sangat halus terhembus keluar oleh udara saat penggilingan.

Tabel 4 Pengaruh ukuran partikel dan frekuensi pencucian terhadap rendemen tepung ampas tapioka yang dihasilkan

Frekuensi pencucian Rendemen (%) Hasil penggilingan tanpa pengayakan 450-250 µm 250-177 µm 177-149

µm <149 µm

Sebelum/tanpa

pencucian 84.92±0.75 20.60±0.45 12.59±0.36 3.69±0.15 45.21±1.46 Setelah pencucian

Pencucian 1 x 97.41±0.27 96.30±0.14 96.40±0.57 88.40±0.57 75.72±0.40 Pencucian 2 x 94.34±0.09 86.56±0.16 89.22±1.11 84.31±0.44 72.10±0.14 Pencucian 3 x 86.65±0.52 76.86±0.11 83.24±0.13 79.80±1.37 69.77±0.25 Pencucian 4 x 72.88±0.51 67.39±0.26 72.97±0.08 68.45±0.29 63.98±0.52 Pencucian 5 x 56.21±0.28 56.38±0.54 64.92±0.15 59.03±0.26 31.90±0.39 Pencucian 6 x 49.24±0.57 33.48±0.23 29.98±0.09 19.32±0.42 16.02±0.09

Rendemen tepung ampas tapioka sebelum pencucian merupakan rendemen yang diperoleh dari hasil pengayakan ampas tapioka hasil penggilingan dengan ukuran partikel yang berbeda menggunakan ayakan bergoyang pada berbagai ukuran yaitu 40, 60, 80, dan 100 mesh. Variasi ukuran partikel yang diperoleh yaitu tepung berukuran 420-250 µm (lolos ayakan 40 mesh, tertahan oleh ayakan 60 mesh), 250-177 µm (lolos ayakan 60 mesh, tertahan oleh ayakan 80 mesh), 177-149 µm (lolos ayakan 80 mesh, tertahan oleh ayakan 100 mesh), dan <149 µm (lolos ayakan 100 mesh). Sedangkan, Rendemen tepung ampas tapioka setelah pencucian adalah tepung ampas tapioka yang diperoleh dari hasil pencucian ampas tapioka hasil penggilingan dengan ukuran partikel yang berbeda kemudian dilakukan proses pengeringan menggunakan cabinet dryer.

Ukuran partikel dan frekuensi pencucian memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap rendemen tepung ampas tapioka (p<0.05) (Lampiran 4). Tabel 4 menunjukkan bahwa rendemen tertinggi diperoleh pada ampas tapioka hasil penggilingan dengan ukuran partikel <149 µm sedangkan rendemen terendah diperoleh pada ukuran partikel 177-149 µm. Setelah proses pencucian, frekuensi pencucian yang semakin banyak menghasilkan rendemen tepung ampas tapioka yang semakin rendah. Rendemen tepung ampas tapioka hasil pencucian sebanyak 6 kali merupakan rendemen yang paling rendah.

Interaksi antara ukuran partikel ampas tapioka hasil penggilingan dan frekuensi pencucian memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap rendemen tepung ampas tapioka. Setelah proses pencucian, penurunan rendemen


(38)

21

tepung ampas tapioka paling rendah diperoleh pada ampas tapioka hasil penggilingan tanpa pengayakan sedangkan penurunan paling tinggi diperoleh pada ampas tapioka berukuran <149 µm. Sebelum proses pencucian, ampas tapioka hasil penggilingan berukuran <149 µm memiliki rendemen yang paling tinggi, sedangkan setelah proses pencucian menghasilkan tepung ampas tapioka dengan rendemen yang paling rendah dibandingkan tepung yang lain yaitu sebesar 16.02%. Rendemen tepung ampas tapioka yang paling tinggi diperoleh dari hasil pencucian ampas tapioka hasil penggilingan tanpa pengayakan yaitu sebesar 49.24%.

Rendemen tepung ampas tapioka yang dihasilkan pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian yang menggunakan metode berbeda, seperti proses fermentasi dan proses hidrolisis. Proses fermentasi pada ampas tapioka menghasilkan rendemen tepung serat ampas tapioka sebesar 12.74% (Rosida 1994) sedangkan proses hidrolisis menggunakan asam klorida menghasilkan rendemen tepung serat pangan sebesar 3.66% (Iman 2006).

4.3 Kadar Air

Pengaruh kombinasi perlakuan ukuran partikel ampas tapioka dan frekuensi pencucian terhadap kadar air tepung ampas tapioka yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 5. Berdasarkan Gambar 5 terlihat bahwa ukuran partikel ampas tapioka mempengaruhi kadar air tepung ampas tapioka sedangkan frekuensi pencucian dan interaksi kedua perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air tepung ampas tapioka (p<0.05) (Lampiran 1).

Gambar 5 Grafik kadar air tepung ampas tapioka yang dihasilkan pada kombinasi perlakuan ukuran partikel ampas tapioka hasil penggilingan dan frekuensi pencucian

Tepung ampas tapioka yang dihasilkan dari ampas tapioka hasil penggilingan berukuran partikel <149 µm memiliki kadar air yang paling rendah dibandingkan dengan tepung ampas tapioka lainnya. Menurut Hossen et al. (2011) semakin kecil ukuran partikel akan memperbesar luas permukaan bahan yang terpapar dengan panas sehingga semakin banyak air yang teruapkan pada proses pengeringan dan menurunkan kadar air bahan. Secara keseluruhan kadar air tepung ampas tapioka yang dihasilkan dari ampas tapioka dengan ukuran partikel


(39)

22

dan frekuensi pencucian yang berbeda memiliki nilai kadar air yang tidak signifikan berbeda. Kadar air tepung ampas tapioka berkisar dari 8.34% hingga 9.89% (b.k). Kadar air tepung ampas tapioka tersebut telah memenuhi persyaratan SNI 01-2997-1996 tepung singkong yaitu sebesar maksimal 13%.

4.4 Kadar Pati

Ampas tapioka merupakan padatan hasil samping proses ekstraksi pati tapioka yang kaya serat dan masih mengandung pati tidak terekstrak. LaCourse et al. (1993) menyatakan bahwa untuk memperoleh ampas tapioka dengan kandungan serat yang lebih tinggi dapat dilakukan destarching atau proses penghilangan pati, sehingga semakin banyak pati yang terbuang maka kandungan serat pangannya menjadi lebih tinggi. Gambar 6 menunjukkan pengaruh kombinasi perlakuan ukuran partikel ampas tapioka hasil penggilingan dan frekuensi pencucian terhadap kadar pati tepung ampas tapioka. Ukuran partikel ampas tapioka memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar pati tepung ampas tapioka (p<0,05) (Lampiran 1). Pengecilan ukuran partikel ampas tapioka menghasilkan tepung ampas tapioka dengan kadar pati yang lebih tinggi (Gambar 6a). Tepung ampas tapioka yang dihasilkan dari ampas tapioka hasil penggilingan berukuran partikel <149 µm memiliki kadar pati yang paling tinggi (43.95%) dibandingkan dengan tepung lainnya. Hal ini sejalan dengan penelitian Saengchan et al. (2016) mengenai efisiensi pemisahan pati dari tepung singkong berdasarkan ukuran partikelnya. Hasilnya menunjukkan bahwa semakin kecil ukuran partikel tepung singkong maka semakin tinggi jumlah pati yang dapat dipisahkan. Dinding sel pada tepung singkong yang berukuran lebih kecil mengalami kerusakan yang lebih banyak sehingga semakin banyak granula pati yang bebas atau terlepas dari jaringan berserabut.

Saengchan et al. (2016) juga menyatakan bahwa pati yang dapat dipisahkan pada tepung singkong dengan ukuran partikel lebih kecil jumlahnya lebih banyak karena partikel yang berukuran lebih besar tertahan pada ayakan. Hermiati et al. (2011) melaporkan bahwa granula pati pada ampas tapioka berukuran 10-23 µm sedangkan serat ampas tapioka berukuran sekitar 50 µm (Wicaksono et al. 2013) sehingga jumlah granula pati yang lolos pada ayakan lebih banyak.

Kadar pati tepung ampas tapioka yang dihasilkan semakin rendah dengan semakin banyaknya frekuensi pencucian (p<0.05). Penurunan kadar pati tepung ampas tapioka terjadi secara signifikan setelah pencucian ampas tapioka hasil penggilingan dengan ukuran partikel berbeda sebanyak 3 kali dan kadar pati terendah diperoleh setelah pencucian sebanyak 6 kali. Pada proses pencucian air akan menekan atau mendorong granula pati keluar dari bahan (Lopez et al. 1996) sehingga semakin banyak frekuensi pencucian maka semakin banyak granula pati yang terdorong keluar oleh air. Saengchan et al. (2016) melaporkan bahwa efisiensi pemisahan granula pati dengan menggunakan filtrasi bertekanan semakin besar dengan semakin besarnya tekanan.


(40)

23

(a)

(b)

Gambar 6 Grafik a) kadar pati dan b) rasio perubahan kadar pati tepung ampas tapioka yang dihasilkan dibandingkan dengan kadar pati awal pada masing – masing ukuran partikel pada kombinasi perlakuan ukuran partikel ampas tapioka hasil penggilingan dan frekuensi pencucian Interaksi antara ukuran partikel ampas tapioka dan frekuensi pencucian menghasikan kadar pati tepung ampas tapioka yang berbeda nyata (p<0.05). Pengecilan ukuran partikel ampas tapioka menyebabkan semakin besar penurunan kadar pati tepung ampas tapioka yang dihasilkan (Gambar 4b). Penurunan kadar pati terbesar diperoleh pada tepung ampas tapioka yang dihasilkan dari ampas tapioka hasil penggilingan berukuran <149 µm yang dicuci sebanyak 6 kali. Hal diduga karena kerusakan dinding sel pada tepung ampas tapioka berukuran partikel lebih kecil lebih besar dibandingkan dengan tepung berukuran partikel lebih besar yang menyebabkan semakin banyaknya jumlah granula pati yang terlepas atau terbebas dari jaringan berserabut. Pada proses pencucian, granula-granula pati yang bebas atau terlepas dari jaringan tersebut terdorong keluar oleh air. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wronkwoska dan Haros (2014) yaitu tepung buckwheat berukuran partikel lebih kecil memiliki efisiensi ekstraksi pati yang lebih besar.


(41)

24

4.5 Kadar Total Serat Pangan

Kadar total serat pangan pada kombinasi perlakuan ukuran partikel ampas tapioka hasil penggilingan dan frekuensi pencucian dapat dilihat pada Gambar 7. Hasil pengujian menunjukkan bahwa ukuran partikel ampas tapioka hasil penggilingan mempengaruhi kadar total serat pangan tepung ampas tapioka yang dihasilkan (p<0.05) (Lampiran 1). Pengecilan ukuran ampas tapioka hingga berukuran partikel 250-177 µm mampu menghasilkan tepung ampas tapioka dengan kadar serat pangan yang lebih tinggi, sedangkan proses pengecilan ukuran lebih lanjut (<149 µm) mengakibatkan kadar total serat pangan menjadi lebih rendah (Gambar 7a). Hal ini diduga karena semakin kecil ukuran partikel maka semakin banyak granula yang bebas atau terlepas dari jaringan serat atau berserabut. Granula pati dan jaringan serat terpisah dengan granula pati pada proses pengayakan (Saengchan et al. 2016).

(a)

(b)

Gambar 7 Grafik a) kadar total serat pangan dan b) rasio perubahan kadar total serat pangan tepung ampas tapioka yang dihasilkan dibandingkan dengan kadar total serat pangan awal pada masing – masing ukuran partikel pada kombinasi perlakuan ukuran partikel ampas tapioka hasil penggilingan dan frekuensi pencucian


(42)

25

Frekuensi pencucian yang semakin banyak mengakibatkan kadar total serat pangan tepung ampas tapioka yang dihasikan signifikan lebih tinggi (p<0.05) (Lampiran 1). Hal ini dikarenakan semakin banyak frekuensi pencucian maka semakin banyak air yang mendorong granula pati keluar sehingga serat yang tertinggal menjadi lebih banyak. Semakin banyak pati yang dikeluarkan maka kadar serat tepung ampas tapioka yang dihasilkan semakin tinggi.

Interaksi perlakuan ukuran partikel ampas tapioka hasil penggilingan dan frekuensi pencucian berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap kadar total serat pangan tepung ampas tapioka yang dihasilkan. Semakin kecil ukuran partikel ampas tapioka hasil penggilingan maka semakin besar peningkatan kadar serat pangan tepung ampas tapioka yang dihasilkan setelah proses pencucian (Gambar 6b). Pengecilan ukuran partikel menyebabkan dinding sel mengalami kerusakan dan mengakibatkan semakin banyak jumlah granula pati yang terlepas dari jaringan serat (Dubat 2004) sehingga pada proses pencucian granula pati lebih mudah terdorong keluar dari jaringan serat.

Pada penelitian ini diperoleh kadar total serat pangan tepung ampas tapioka tertinggi yaitu sebesar 51.92%. Kadar serat pangan yang dihasilkan tersebut nilainya lebih tinggi dibandingkan dengan kadar serat pangan tepung serat pangan yang dihasilkan melalui proses fermentasi (Rosida 1994) yaitu sebesar 35.95%. Namun, kadar serat pangan pada tepung ampas tapioka tersebut lebih rendah dibandingkan dengan tepung ampas tapioka yang diberi perlakuan hidrolisis parsial menggunakan enzim amilolitik (Raupp et al. 2004), hirolisis menggunakan enzim amilolitik yang disertai dengan pemanasan (LaCourse et al. 1993) dan hirolisis menggunakan asam klorida (Iman 2006). Kadar serat pangan yang dihasilkan dari kedua proses tersebut secara berturut-turut yaitu 60.9%, 74.7% dan 88.00%.

4.6 Karakteristik Pasting

Profil pasta merupakan salah satu cara untuk memprediksi sifat fungsional pati dan pengembangan aplikasinya di dalam produk secara optimal (Chen, 2003). Berdasarkan kurva amilograf pasting tepung ampas tapioka yang dihasilkan dari ampas tapioka hasil penggilingan dengan ukuran partikel berbeda tanpa pencucian (Gambar 8) diketahui bahwa pengecilan ukuran partikel ampas tapioka menghasilkan viskositas tepung ampas tapioka yang semakin rendah. Hal tersebut diduga karena granula pati pada tepung ampas tapioka yang dihasilkan dari ampas tapioka hasil penggilingan berukuran partikel kecil memiliki kemampuan mengembang yang rendah sehingga viskositasnya rendah (Singh et al. 2010).

Tepung ampas tapioka yang dihasilkan dari ampas tapioka hasil penggilingan berukuran 450-250 µm memiliki viskositas yang paling tinggi dan suhu pasting yang paling rendah dibandingkan dengan tepung lainnya. Hal ini diduga karena tepung tersebut memiliki populasi partikel yang berukuran besar lebih banyak dibandingkan tepung lainnya (Tabel 3). Hasil penelitian tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hossen et al. (2011) yaitu tepung singkong berukuran partikel lebih besar memiliki viskositas yang lebih tinggi dibandingkan dengan tepung singkong berukuran partikel lebih kecil. Yildiz et al. (2013) mengungkapkan bahwa granula pati yang berukuran besar mampu


(1)

Kadar_air

Duncan

Pencucian N

Subset 1

pencucian 1 x 10 9.1540

pencucian 2 x 10 9.1590

pencucian 3 x 10 9.1740

pencucian 5 x 10 9.2670

pencucian 4 x 10 9.3240

pencucian 6 x 10 9.3990

tanpa pencucian 10 9.4820

Sig. .319

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = ,392.

1.2

Kadar Pati

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Total_Pati

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 1803.155a 34 53.034 11.078 .000 Intercept 74558.783 1 74558.783 1.557E4 .000 Ukuran_Partikel 392.389 4 98.097 20.491 .000 Pencucian 1121.064 6 186.844 39.030 .000 Ukuran_Partikel * Pencucian 289.702 24 12.071 2.521 .006 Error 167.553 35 4.787

Total 76529.491 70 Corrected Total 1970.708 69 a. R Squared = ,915 (Adjusted R Squared = ,832)


(2)

Total_Pati

Duncan

Ukuran_Partikel N

Subset

1 2 3

177-149 µm 14 30.3431 250-177 µm 14 30.6692 420-250 µm 14 31.3874

>149 µm 14 34.3504

tanpa pengayakan 14 36.4312

Sig. .242 1.000 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = 4,787.

Total_Pati

Duncan

Pencucian N

Subset

1 2 3 4

pencucian 6 x 10 26.4813

pencucian 5 x 10 29.0201 pencucian 4 x 10 30.0044

pencucian 3 x 10 32.3711

tanpa pencucian 10 36.3231

pencucian 2 x 10 36.7916

pencucian 1 x 10 37.4622

Sig. 1.000 .321 1.000 .280

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.


(3)

1.3

Kadar total serat pangan

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Total_Serat

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 4556.104a 34 134.003 18.994 .000 Intercept 89140.773 1 89140.773 1.264E4 .000 Ukuran_Partikel 2381.682 4 595.421 84.398 .000 Pencucian 1895.399 6 315.900 44.777 .000 Ukuran_Partikel * Pencucian 279.024 24 11.626 1.648 .087 Error 246.922 35 7.055

Total 93943.799 70 Corrected Total 4803.026 69 a. R Squared = ,949 (Adjusted R Squared = ,899)

Total_Serat

Duncan

Ukuran_Partikel N

Subset

1 2 3 4

Hasil penggilingan tanpa

pengayakan 14 29.1671 >149 µm 14 29.2564

420-250 µm 14 35.7114

250-177 µm 14 40.9564

177-149 µm 14 43.3350

Sig. .930 1.000 1.000 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.


(4)

Total_Serat

Duncan

Pencucian N

Subset

1 2 3 4

tanpa pencucian 10 28.0410

pencucian 1 x 10 30.4060 30.4060 pencucian 2 x 10 32.7310

pencucian 3 x 10 35.9380

pencucian 4 x 10 38.1560

pencucian 5 x 10 41.3090

pencucian 6 x 10 43.2160

Sig. .054 .058 .070 .117

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = 7,055.

1.4

Rendemen

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Rendemen

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 39419.851a 34 1159.407 6.290E3 .000 Intercept 368433.567 1 368433.567 1.999E6 .000 Ukuran_Partikel 2719.755 4 679.939 3.689E3 .000 Pencucian 35076.068 6 5846.011 3.172E4 .000 Ukuran_Partikel * Pencucian 1624.028 24 67.668 367.139 .000

Error 6.451 35 .184

Total 407859.869 70 Corrected Total 39426.302 69 a. R Squared = 1,000 (Adjusted R Squared = 1,000)


(5)

Rendemen

Duncan

Ukuran_Partikel N

Subset

1 2 3 4 5

>149 µm 14 61.3557

177-149 µm 14 71.3300

420-250 µm 14 73.8507

250-177 µm 14 76.6750

hasil penggilingan tanpa

pengayakan 14 79.5329

Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = ,184.

Rendemen

Duncan

Pencucian N

Subset

1 2 3 4 5 6 7

pencucian 6 x 10 29.6080

pencucian 5 x 10 53.6850

pencucian 4 x 10 69.1330

pencucian 3 x 10 79.2650

pencucian 2 x 10 85.3050

pencucian 1 x 10 90.8460

tanpa pencucian 10 1.0000E2

Sig. 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are

displayed.

Based on observed means.


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandng pada tanggal 25 Mei 1988

sebagai anak ketiga dari pasangan Sahidin Dedi dan Tais

Maryati. Pendidikan sarjana di tempuh di Jurusan Teknologi

Industri Pangan, Fakultas Teknologi Industri Pertanian

UNPAD, lulus pada tahun 2011. Kesempatan untuk

melanjutkan ke program magister pada Program Studi Ilmu

Pangan Pascasarjana IPB diperoleh pada tahun 2013 melalui

program Beasiswa BPPDN DIKTI.

Penulis pernah bekerja sebagai Unit Head Quality Control di PT Torabika

Eka Semesta dari tahun 2011 sampai 2012 dan sebagai Asisten Manager di PT

Lion Superindo dari tahun 2012 hingga 2013. Selama mengikuti program

magister, penulis mengikuti beberapa seminar, diantaranya 1

st

Joint ACS

AGFD-ACS ICSCT Symposium on Agricultural and Food Chemistry, dan menjadi

panitia Silaturahmi Nasional Forsi HIMMPAS Indonesia. Karya ilmiah yang

merupakan bagian dari tesis ini dengan judul “Pengaruh Ukuran Partikel Terhadap

Sifat Fisikokimia Tepung Ampas Tapioka Kaya Serat

” telah

terbit pada Jurnal

Pangan Bulog Volume 25 Nomor 3 Halaman 147-220 Desember 2016 ISSN

0852-0607.