sebanyak 14 46,7 bersuku jawa dan 12 orang 40 bersuku batak. Hal ini mempengaruhi juga spiritualitas seseorang. Dengan berada ditengah budaya
suku yang sama dengan kebanyakan orang pada lingkungannya maka orangtua anak retardasi mental dapat mudah bersosialisasi di masyarakat. Ellen 2001
menjelaskan bahwa dukungan sosial masyarakat yang baik, budaya dan situasi psikologi dapat meningkatkan spiritualitas seseorang. Dalam penelitiannya
menjelaskan bahwa dukungan keluarga sangat berperan untuk pengambilan keputusan baik secara moril maupun spiritual. Hal ini juga dihubungkan dengan
karakteristik respoden dimana sebagian besar responden 26 orang 86,7 orang tua ayah dan ibu tinggal dengan anak retardasi mental.
Aziz 2006 keluarga memiliki peran yang cukup strategis dalam pemenuhan kebutuhan spiritual, karena keluarga memiliki ikatan emosional yang
kuat dan selalu berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari. Didukung juga dengan teori taylor 2002 bahwa keluarga berfungsi untuk mendukung sesama keluarga
yang lain. Dalam hal ini tentu saja orang tua ayah dan ibu anak retardasi mental saling memberi perhatian dan dukungan dalam merawat anak retardas mental.
5.2.2 Perilaku Adaptif Anak Retardasi Mental di SLB E Negeri Kec Sei Agul Medan
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh hasil bahwa sebanyak 22 orang 73,3 menunjukkan perilaku adaptif baik dan sebanyak 8 26,7
menunjukkan perilaku adaptif sedang. Membaiknya perilaku anak retardasi mental dalam penelitian ini terjadi karena beberapa faktor yaitu dihubungkan
Universitas Sumatera Utara
dengan pendidikan yang diterima anak. Salah satunya bahwa SLB E Negeri Kec Sei Agul Medan merupakan satu-satunya SLB milik pemerintah tingkat propinsi
yang terus menerus melakukan penyegaran bagi tenaga pendidik untuk menyelenggarakan pendidikan luar biasa dan menjadi sekolah percontohan untuk
sekolah luar biasa yang selalu mengadakan pemeriksaan psikologis, medis dan sosiologis para murid yang memiliki keterbatasan serta selalu membina hubungan
kerjasama dengan orang tua murid dalam menyangkut proses perkembangan peserta didik Panjaitan, 2011.
Berbagai strategi pendidikan yang terintegrasi memungkinkan anak lebih berpartisipasi aktif dalam kegiatan belajar yang dapat membawa pengaruh positif
dalam kehidupan mereka sehari-hari. Penelitian yang dilakukan oleh Mulyani 2014 membuktikan bahwa intervensi dini, pengayaan lingkungan dan bantuan
serta dukungan dari keluarga membawa kemajuan yang berarti dibandingkan dengan anak yang tidak mengikuti program tersebut. Anak dapat merasakan
manfaat stimulasi sensoris, latihan khusus yang melibatkan aktifitas motorik halus dan kasar, dan perkembangan kognitif. Selanjutnya sekolah dapat memberi anak
dasar kehidupan lewat perkembangan akademis dan fisik serta kemampuan sosial. Pengalaman yang didapat dari sekolah membantu anak untuk mengembangkan
rasa hormat pada diri sendiri dan kegembiraan Hidayat, 2004. Pada anak yang normal sampai dengan usia 11 tahun masih membutuhkan
banyak dukungan pada banyak aspek hidup mereka, termasuk aktivitas personal sehari-hari seperti mandi, berpakaian, membersihkan ruangan, menyiapkan
makanan, bepergian, pemilihan aktivitas sosial di luar rumah, dan tanggung jawab
Universitas Sumatera Utara
akan pemakaian uang Buckey,2002. Dan untuk anak retardasi mental cenderung lebih banyak membutuhkan lebih banyak dukungan dari orang terdekat dalam hal
ini orangtua anak retardasi mental tersebut. Saat seorang individu merasa bahwa orang tuanya mendukung
kemandiriannya, dengan menghargai perspektif individu tersebut atau dengan mengijinkan individu untuk secara bebas menentukan tingkah laku mereka,
individu tersebut akan merasakan kesejahteraan dan semangat yang lebih tinggi dalam hidupnya Ryan Deci, 2000.
Pada usia sekolah 6-12 tahun pencapaian yang dapat dilakukan oleh anak retardasi mental dengan tingkat ringan atau nilai IQ 50-70 adalah dapat menguasai
keterampilan praktis serta kemampuan membaca dan aritmatika sampai dengan kelas 3-6 SD dengan pendidikan khusus Mangunsong, 2009. Ini berarti dengan
melatih anak retardasi mental secara terus-menerus dapat mencapai kemandirian yang baik yang akan dapat memberdayakan anak retardasi mental khususnya pada
tingkat ringan di masyarakat kedepannya. Perilaku adaptif anak retardasi mental dipengaruhi oleh berbagai faktor
edukasi, motivasi, karakteristik personal, kesempatan sosial dan vokasional, gangguan mental dan gangguan kesehatan yang menyertai dari keterbelakangan
mental itu sendiri. Masalah-masalah adaptif cenderung berkurang bila dilakukan remedial pengulangan dalam hal ini anak retardasi mental dibantu dalam
pengulangan perilaku yang baik secara terus menerus dibandingkan dengan IQ yang cenderung menetap Lumbantobing, 2006.
Universitas Sumatera Utara
5.2.3. Hubungan Spiritualitas Orang Tua dengan Perilaku Anak Retardasi Mental di SLB E Negeri Kec Sei Agul Medan.
Hasil analisa statistik dalam penelitian ini bahwa spiritualitas orangtua retardasi mental berhubungan secara positif dengan kekuatan cukup kuat dengan
perilaku adaptif anak retardasi mental r= 0,513. Hasil analisa hubungan kedua variabel tersebut memiliki nilai signifikan yang dapat diterima dimana p 0,05,
sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesa yang menyatakan bahwa terdapat hubungan spiritualitas orang tua dengan perilaku adaptif anak retardasi mental
dapat diterima. Adanya hubungan tersebut disebabkan bahwa ketika seseorang memiliki
spiritualitas tinggi akan memiliki kecenderungan untuk tidak menyakiti orang lain, menjaga lingkungan mereka dan penuh cinta kasih. Spiritualitas yang tinggi
dapat membantu seseorang untuk menentukan langkah dengan baik, akan lebih memaknai hidup, dapat mengambil hikmah dari pengalaman hidupnya, serta
selalu berintrospeksi diri Wardhani Whayuningsih, 2008. Dalam hal ini adalah orang tua anak retardasi mental yang akan melakukan hal terbaik terhadap
anak retardasi mental termasuk memberi dukungan untuk membantu perkembangan perilaku anak retardasi mental ke arah yang lebih adaptif.
Hal tersebut sesuai dengan teori Menurut Potter Perry 2005 yang menyatakan salah satu faktor yang penting dalam kemandirian perawatan diri
seseorang adalah dukungan sosial. Pada dasarnya orang tua pada anak dengan retardasi mental, seperti kebanyakan orang tua yaitu membesarkan anaknya
Universitas Sumatera Utara
dengan penuh cinta dan mengasuhnya di lingkungan yang mendukung untuk menumbuhkan rasa percaya diri anak, serta meningkatkan fungsi dari anak
tersebut dengan memberi dukungan-dukungan seperti dukungan emosi dan fisik, mendukung untuk anak ikut program-program khusus seperti pendidikan khusus
penderita retardasi mental Johnson, et all. 2006. Perlakuan seperti ini akan meningkatkan kesadaran dan pengetahuan anak untuk melakukan perawatan diri
secara mandiri, hal ini didukung oleh penelitian Kelly 2011 bahwa ada hubungan positif antara dukungan sosial dan kemampuan untuk melaksanakan
perilaku sehat yang adaptif. Spiritualitas meyakini keadilan sosial dan menyadari bahwa tidak ada
seorang pun yang dapat hidup tanpa interaksi dengan orang lain, berempati, kesadaran mendalam terhadap kesakitan, penderitaan, serta kematian dan
menghargai satu sama lain bahwa hidup itu bernilai Smith, 1994 dalam Wardhani Wahyuningsih, 2008. Hal ini sangat diperlukan untuk meningkatkan kesabaran
dalam merawat serta melatih kemandirian anak retardasi mental. Dengan kesabaran tersebut anak retardasi mental tidak tertekan, hal ini baik untuk proses
pembelajaran kearah perilaku yang lebih baik. Hart 2002 dalam penelitiannya melaporkan bahwa tingkat spiritualitas
yang tinggi akan meningkatkan koping seseorang. Hal tersebut akan membantu orang tua yang memiliki anak retardasi mental untuk menurunkan stress selama
mengasuh anak retardasi mental. Hal tersebut ditambahkan Potter Perry 2005 bahwa dimensi spiritual seseorang termasuk keyakinan terhadap yang Maha
Kuasa, perasaan yang menyatu dengan alam dan dunia, serta perasaan positif
Universitas Sumatera Utara
tentang arti dan tujuan hidup dapat menjadi sumber kekuatan dalam beradaptasi terhadap stres.
Penelitian di bidang psikologi klinis juga menunjukkan bahwa spiritualitas berhubungan positif terhadap kemampuan individu dalam mengontrol kecemasan
Harris, Schoneman, Carlson, 2005 hal ini sangat diperlukan oleh orang tua anak retardasi mental dalam merawat anak retardasi mental tersebut. Orang tua
seringkali tertekan dalam menghadapi perilaku anak retardasi mental. Untuk menghadapi hal tersebut orang tua perlu meningkatkan kesadaran pribadi
personal awareness yaitu bagaimana seseorang mengatur dirinya sendiri, emosi, penilaian diri yang positif, harga diri serta mengaktualisasi diri agar dapat
bertahan dalam menghadapi perubahan apapun didalam hidupnya. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Ardelt Koenig 2006 yang mengatakan
bahwa spiritualitas juga sangat berperan dalam kesejahteraan psikologis yang sangat diperlukan orang tua dalam peningkatkan kesadaran pribadi.
Penelitian yang dilakukan Devendy 2003 mengemukakan bahwa ada hubungan antara tingkat stress orangtua dengan perilaku adaptif anak retardasi
mental. Orang tua anak retardasi mental dengan tingkat fungsi adaptif yang tinggi menunjukkan stres yang rendah pada orang tua terhadap keterbatasan fisik anak
dan sedikit perhatian tentang perawatan masa hidup anak. Stres yang dialami oleh orangtua anak retardasi mental dihubungkan
kepada perilaku anak retardasi mental. Hal ini akan bertambah ketika usia anak semakin bertambah tetapi tingkat perilaku adaptif anak tersebut tidak membaik.
Universitas Sumatera Utara
Untuk menghadapi hal tersebut dibutuhkan kemampuan beradaptasi yang baik dari orangtua anak retardasi mental tersebut. Kemampuan ini didapat dari
perkembangan spiritualitas yang baik. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ambar 2012 mengenai hubungan antara religiusitas dengan
resiliensi pada ibu yang memiliki anak retardasi mental. Pada penelitiannya dijelaskan bahwa semakin tinggi religiusitas ibu yang memiliki anak retardasi
mental akan meningkatkan resiliensi ibu dimana resiliensi ini merupakan kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau
masalah yang terjadi dalam kehidupan, dalam hal ini adalah orang tua anak retardasi mental.
Anak retardasi mental sangat rentan terhadap perubahan dari lingkungan dalam hal ini keluarga, sekolah dan teman-temannya. Menurut Gerungan 2004
karakter orang tua akan menentukan sikap atau cara pengasuhan anak. Hal ini sangat mempengaruhi perkembangan anak retardasi mental sebagai contoh orang
tua yang sangat otoriter akan membuat anak dalam hal ini anak retardasi mental lebih mudah putus asa dan cemas. Hal ini tidak baik untuk meningkatkan
perkembangan perilakunya kearah yang baik. Lebih jelas Asnani 2006 menyatakan bahwa anak dengan tingkat fungsi yang tinggi akan berkembang
lebih cepat dan mencapai kemandirian. Perilaku adaptif anak yang tinggi sedikit mengganggu keluarga, karena mereka mempunyai lebih banyak sumber pribadi
untuk beradaptasi secara fleksibel kepada kebutuhan keluarga.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan analisa diatas dapat disimpulkan spiritualitas orang tua yang memiliki anak retardasi mental berhubungan dengan baik tidaknya perilaku
adaptif anak retardasi mental.
Universitas Sumatera Utara
65
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan analisis dan pembahasan hasil penelitian, maka dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
- Spiritualitas orang tua yang memiliki anak retardasi mental di SLB E Negeri Kecamatan Sei Agul Medan dikategorikan baik yaitu sebanyak 30
responden 100 - Perilaku Adaptif anak retardasi mental retardasi mental di SLB E Negeri
Kecamatan Sei Agul Medan dikategorikan baik adalah sebanyak 22 responden 73,3
- Spiritualitas orang tua memiliki hubungan yang positif dengan perilaku adaptif anak retardasi mental di SLB E Negeri Kecamatan Sei Agul
Medan r 0,503 dengan nilai signifikan 0,004 p 0,05, hubungan yang positif artinya semakin tinggi spiritualitas orang tua maka semakin baik
pula perilaku adaptif anak retardasi mental.
Universitas Sumatera Utara