Populasi dan Sampel Validitas Data Teknik Analisis Data

commit to user melakukan pengamatan melalui media massa. Observasi ini dilakukan dalam kurun waktu bulan Januari 2011 sampai dengan bulan Maret 2011. Sebelum massa kampanye dimulai, peneliti mengamati segala bentuk kegiatan politik pasangan YUDA melalui media massa. Selain itu, peneliti juga melakukan pendekatan atau menjalin komunikasi secara langsung dengan pengurus DPC PDI-P Sragen, yakni dimulai sejak bulan Januari 2011. Pada massa kampanye peneliti juga menghadiri dan mengikuti rangkaian kegiatan kampanye yang dilakukan oleh Pasangan YUDA, antara lain adalah kegiatan kampanye terbuka, kampanye dialogis maupun kegiatan kampanye debat. Selain itu penulis juga mendapat kesempatan untuk mengikuti kegiatan konsolidasi atau rapat internal yang diadakan oleh DPC PDI P Sragen dalam memenangkan Pasangan YUDA.

5. Populasi dan Sampel

Teknik penarikan sampel dalam penelitian ini menggunakan purposive sampling, karena teknik pengambilan sampel tersebut dapat dengan mudah disesuaikan dengan tujuan penelitian.. Prosedur yang digunakan adalah dengan mengumpulkan informasi yang memenuhi syarat keluasan dan tercakupnya rentangan informasi yang sesuai dengan elemen-elemen pokok permasalahan. Teknik logika purposive sampling di sini menetapkan informan awal untuk diwawancarai. Informan dalam penelitian ini adalah orang-orang yang secara langsung terlibat dalam Tim Sukses Pasangan YUDA. Sampel dalam penelitian ini terdiri dari Ketua Tim Sukses Pasangan YUDA, yakni Bambang Samekto, SH yang juga menjabat sebagai Ketua DPC commit to user PDI P Kabupaten Sragen. Selain itu, peneliti juga mengambil empat sampel lain yakni jajaran Pengurus DPC PDI P Sragen yang juga menjadi Tim Sukses Pasangan YUDA.

6. Validitas Data

Untuk menjamin validitas atau keabsahan data, maka penelitian ini menggunakan teknik Triangulasi, di mana data yang satu akan dikontrol oleh data yang sama dari sumber yang berbeda. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang dimanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data yang diperoleh. Triangulasi dibagi menjadi empat teknik, yakni triangulasi data atau sering disebut dengan triangulasi sumber, triangulasi metode, triangulasi teori dan triangulasi peneliti. 29 Sedangkan dalam penelitian ini, teknik Triangulasi yang digunakan adalah teknik Triangulasi Sumber. Teknik ini mengarahkan peneliti agar di dalam mengumpulkan data yang sama atau sejenis akan lebih mantap bila bisa digali dari berbagai sumber yang berbeda.

7. Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian komunikasi kualitatif pada prinsipnya dimaksudkan untuk memberikan makna terhadap data, menafsirkan atau mentransformasikan data ke dalam bentuk-bentuk narasi. Narasi ini kemudian mengarah pada temuan yang bernuansakan proposisi-proposisi ilmiah yang akhirnya sampai pada kesimpulan final. 29 Pawito, 2007.Penelitian Komunikasi Kualitatif, Yogyakarta: LKiS, hal 99 commit to user Teknik analisis data pada penelitian ini menggunakan Analisis Interaktif interactive model oleh Miles dan Huberman. Dalam analisis interaktif ini, prosesnya terdiri dari tiga bagian yaitu Reduksi Data, Sajian Data dan Verifikasi Data atau penarikan kesimpulan. Langkah Reduksi data melibatkan beberapa tahap, tahap pertama melibatkan langkah-langkah editing, pengelompokan dan meringkas data. Pada tahap kedua peneliti meyusun kode-kode dan catatan-catatan mengenai berbagai hal, termasuk yang berkenaan dengan aktivitas serta proses-proses, sehingga peneliti dapat menemukan tema-tema, kelompok, dan pola data. Langkah kedua yakni, penyajian data data display melibatkan langkah- langkah mengorganisasikan data, yakni menjalin kelompok data yang satu dengan kelompok data yang lain sehingga seluruh data yang dianalisis benar- benar dilibatkan dalam satu kesatuan. Dalam hubungan ini, data yang tersaji berupa kelompok-kelompok atau gugusan-gugusan yang kemudian saling dikaitkan sesuai dengan kerangka teori yang digunakan. Sedangkan pada komponen terakhir, yakni penarikan dan pengujian kesimpulan drawing and verifying conclutions, peneliti pada dasarnya mengimplementasikan prinsip induktif dengan mempertimbangkan pola-pola data yang ada atau kecenderungan dari display data yang telah dibuat. commit to user BAB II Deskripsi Lokasi Penelitian A. Sejarah Berdirinya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan - Latar Belakang Kondisi Sosial Politik Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan PDI P merupakan salah satu Partai Besar yang selalu ikut meramaikan pesta demokrasi di Indonesia, yakni pasca Reformasi tahun 1998. Dalam Pemilihan Umum tahun 1999 partai ini berhasil menjadi Partai pemenang yakni dengan perolehan suara terbanyak. Sedangkan pada Pemilu berikutnya, yakni Pemilu Legislatif tahun 2004 dan 2009, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan juga selalu masuk tiga besar dalam perolehan suara pemilu skala nasional. Untuk Wilayah Soloraya sendiri yakni di Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen dan Klaten, PDI Perjuangan menjadi partai politik yang memiliki basis massa dan dukungan yang sangat kuat. Hal ini terlihat dari data yang memperlihatkan bahwa sejak PDI P mengikuti Pemilu Legislatif tahun 1999, 2004, dan 2009 perolehan suara PDI P di 7 kota tersebut selalu lebih unggul jika dibandingkan dengan perolehan suara partai politik lainnya, seperti Golkar, Demokrat, PPP, PAN, dan PKB. Selain catatan tersebut, kita juga melihat bahwa Kepala Daerah yang memimpin wilayah di Soloraya didominasi oleh kader yang berasal dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Di antaranya adalah Walikota Surakarta, Bupati commit to user Boyolali, Bupati Sukoharjo, Bupati Karanganyar, Bupati Sragen dan terakhir adalah Bupati Klaten. Hal inilah yang membuat wilayah Solo Raya mendapat julukan “Kandang Banteng” dalam kancah perpolitikan di tanah air. Kabupaten Sragen merupakan salah satu wilayah yang memiliki massa PDI P yang sangat kuat. Hal ini dapat terlihat, bahwa dalam kurun 10 tahun terakhir kabupaten Sragen dipimpin oleh Bupati yang merupakan Kader PDI P. Dalam Pemilu Legislatif tahun 1999, PDI P Sragen berhasil mengantarkan 21 kadernya untuk duduk di kursi DPRD II Kabupaten Sragen. Kemudian dalam Pileg 2004, PDI-P Sragen berhasil mengantarkan 22 kadernya untuk duduk di Kursi DPRD II kabupaten Sragen. Terakhir dalam Pemilu Legislatif 2009, PDI juga berhasil mengantarkan 17 kadernya untuk menduduki jabatan sebagai anggota dewan . Meskipun dalam Pemilu 2009 perolehan kursi PDI-P Kabupaten Sragen mengalami penurunan, namun PDI-P Sragen tetap menjadi partai yang perolehan suaranya paling besar di Kabupaen Sragen. Menghadapi Pemilukada Sragen 2009, maka Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Sragen kembali mengusung kadernya untuk dapat bersaing dalam menduduki jabatan sebagai orang nomor satu di Kabupaten Sragen. Dalam Pemilukada Sragen 2011 , PDI P Sragen mengajukan kader internal Partai, yakni dr.Kusdinar Untung Yuni S dan Ir.Darmawan Minto Basuki,MM,MT sebagai Pasangan Cabup-Cawabup yang diusung oleh partai tersebut. Di bawah ini adalah deskripsi tentang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, yang merupakan partai pengusung Pasangan Bupati dan Wakil Bupati commit to user dr.Kusdinar Untung Yuni Sukowati - Ir.Darmawan Minto Basuki,MM,MT dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Sragen tahun 2011. • Sejarah Lahirnya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Sejarah lahirnya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan PDI P yang dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri tidak pernah terlepas dari kehadiran Partai Demokrasi Indonesia yang dideklarasikan pada tanggal 10 Januari 1973. Lahirnya Partai Demokrasi Indonesia PDI merupakan fusi dari lima partai politik peserta Pemilu tahun 1955. Ke lima partai politik tersebut adalah : Partai Nasional Indonesia PNI, Partai Kristen Indonesia Parkindo , Partai Katholik, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia IPKI, dan terakhir adalah Partai Musyarah Rakyat Banyak MURBA. Deklarasi penggabungan ke lima partai tersebut dilaksanakan dalam Pertemuan Majelis Permusyaratan Kelompok Pusat MPKP di Kantor Sekretariat PNI di Jl. Salemba Raya 73 Jakarta. Deklarasi tersebut ditandangani oleh wakil kelima partai politik, yakni MH. Isnaeni dan Abdul Madjid yang mewakili PNI, A. Wenas dan Sabam Sirait mewakili Parkindo, Beng Mang Rey Say dan FX. Wignyosumarsono mewakili Partai Katholik, Drs. Moh.Sadri dan Achmad Sukarmadidjaja mewakili IPKI, yang terakhir adalah S.Murbantoko dan R.J Pakan mewakili Partai Murba. Awal proses fusi ke lima partai politik tersebut, sebenarnya merupakan gagasan dari Pemerintah Orde Baru yang ingin terlihat sebagai pemerintahan yang menjunjung tinggi azas demokrasi, yakni tentang pembentukan partai politik dan parlemen. Dalam pembahasan dan kesepakatan para pimpinan parpol tersebut commit to user maka terdapat tiga usulan nama untuk parpol yang baru hasil fusi. Ke tiga nama tersebut adalah : 1. Partai Demokrasi Pancasila 2. Partai Demokrasi Pembangunan 3. Partai Demokrasi Indonesia Setelah mengalami berbagai rapat dan pertemuan antar pimpinan parpol, akhirnya mereka sepakat bahwa nama baru untuk ke lima parpol hasil fusi tersebut adalah Partai Demokrasi Indonesia atau dikenal dengan istilah PDI. Sejak Partai Demokrasi Indonesia berdiri, partai ini terus menerus mengalami konflik internal di tubuh partai. Dalam perjalanan PDI, pemerintah Orde Baru terlihat sering melakukan campur tangan pada setiap kongres yang diadakan oleh PDI. Tidak dipungkiri lagi, bahwa pemerintah mempunyai calon tersendiri untuk jabatan ketua partai yang selalu bertentangan dengan kehendak partai itu sendiri. Dalam perkembangan partai yang dimulai sejak tahu 1973 – 1986 setidaknya terjadi tiga siklus di tubuh berlambang kepala banteng tersebut. Tahap pertama adalah periode antara 10 Januari 1973 sampai dengan 13 April 1976, atau disebut periode pemantapan fusi partai. Pada era tersebut, kita melihat bahwa terjadi perpecahan atau konflik awal yang terjadi di tubuh PDI. Menanggapi persoalan konflik di tubuh partai tersebut, akhirnya pemerintah turun tangan dan berupaya menyelesaikan konflik yang ada. Dalam penyelesaian konflik tersebut, akhirnya figur-figur yang bertikai dalam partai tersebut, yakni Isnaeni dan Sunawar dikeluarkan dari kepengurusan PDI. Seabagai gantinya, mereka memasukkan nama Sanusi Hardjadinata. Kehadiran Sanusi Hardjadinata di dalam kepengurusan PDI memberi harapan terwujudnya Konggres I PDI yang commit to user diselenggarakan pada tanggal 11-13 April 1976 dan berhasil menetapkan kepengurusan baru di tubuh PDI. Tahapan kedua, adalah Periode tahun 1976 sampai dengan 1981. Pada massa ini, pertikaian yang terjadi antar pengurus partai justru semakin jelas terlihat. Hal ini sempat membuat krisis kepemimpinan yang terjadi di internal PDI. Imbas dari konflik ini adalah terdapat dua kubu atau kelompok DPP yang bersaing untuk menguasai partai tersebut. Menjelang Konggres II PDI, maka pertikaian atau konflik yang terjadi terlihat semakin meluas. Salah satu pemicunya adalah pemerintah berusaha memasukkan nama figur pendukung rezim dan akan menggantikan kepemimpinan Sanusi. Konggres II PDI akhirnya berhasil dilaksanakan pada 13-17 Januari 1981. Sedangkan periode ketiga adalah Periode antara tahun 1981 sampai dengan 1986. Periode ini disebut juga sebagai periode reunifikasi atau periode pemantapan ideologis. Namun pada perkembangannya, rezim Orde Baru tidak hanya menginginkan agar PDI tunduk dan patuh pada rezim yaang berkuasa. Mereka juga berusaha untuk memperkecil posisi PDI agar tidak menjadi ancaman bagi kelangsungan Rezim Orde Baru. Puncak dari konflik ini adalah ketika diselenggarakan Konggres III, yakni pada tanggal 15-18 April 1986. Namun konggres tersebut gagal melahirkan kepengurusan yang baru, sehingga permasalahan partai diserahkan kepada Mendagri. Pasca konggres ke III yang diselenggarakan pada tahun 1986, kepengurusan PDI dipegang oleh Soerjadi. Konggres PDI ke IV akhirnya diselenggarakan di Medan pada tanggal 21- 25 Juli 1993. Namun konggres tersebut mengalami deadlock, di sini commit to user kepemimpinan PDI gagal terbentuk karena Konggres gagal memenuhi dua syarat minimal dalam pembentukannya, yakni : 1 standar prosedur teknis organisatoris dan 2 akseptabilitas di mata negara. 30 Setelah gagalnya Kongres IV PDI yang berlangsung di Medan, muncul nama Megawati Soekarno Putri yang diusung oleh warga PDI untuk tampil menjadi Ketua Umun. Megawati Soekarnoputri dianggap mampu menjadi tokoh pemersatu PDI. Para kader PDI meminta agar Megawati tampil sebagai kandidat Ketua Umum PDI melalui Kongres Luar Biasa KLB yang digelar pada tanggal 2-6 Desember 1993 di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya. Dalam KLB tersebut akhirnya Megawati Soekarnoputri dinyatakan sebagai Ketua Umum PDI periode 1993-1998. Untuk menyelesaikan konflik di tubuh PDI, maka beberapa hari setelah KLB digelar, Mendagri Yogie S Memed bertemu dengan Megawati, jajaran DPD, dan juga caretaker untuk menyelenggarakan Musyawarah Nasional Munas, dalam rangka membentuk formatur dan menyusun kepengurusan DPP PDI. Akhirnya dalam Munas PDI yang dilaksanakan tanggal 22-23 Desember 1993 di Jakarta, secara de jure Megawati Soekarnoputri dikukuhkan sebagai Ketua Umum DPP PDI dan sekaligus menghasilkan kepengurusan DPP Partai Demokrasi Indonesia periode 1993 – 1998. Dengan adanya dua peristiwa besar di atas, setidaknya mengkonfirmasikan tumbuhnya beberapa harapan sebagai berikut: Pertama, Megawati berada dalam 30 Eep Saefulloh Fatah. 1998. Catatan atas Gagalnya Politik Orde Baru. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hal 35 commit to user titik relatif netral dalam struktur konflik PDI, baik struktur pra maupun pasca Konggres Medan. Dilihat dari sudut unsur, maka Megawati tidak mewakili faksi tradisional manapun, sekalipun jika ditarik dari Soekarno semestinya Megawati adalah orang PNI. Di sini kenyataan menunjukkan bahwa Megawati adalah orang baru dalam politik dan tak memiliki latar belakang interaksi yang intensif dengan faksi PNI. Jadi, ada harapan bahwa Megawati akan mampu mengelola konflik di tubuh partai mengingat netralitasnya dalam Partai. Kedua, Megawati berada dalam posisi yang menguntungkan di dalam tarik-menarik antara dua titik aspirasi, yakni pencarian payung pemerintah dan pemandirian partai. Megawati memiliki jarak politik, bahakan ideologis dengan pemerintah. Oleh karena itu, sangat mustahil membayangkan Megawati sebagai ‘orang pemerintah yang didrop dari atas ‘. Di sini Megawati, dapat diandalkan sebagai bumper yang efektif untuk membendung intervensi eksternal dan memandirikan partai. Megawati mempersonifikasikan tumbuhnya harapan warga PDI yang realistis sekaligus romantis. Ketiga, Megawati juga memiliki karakter yang tidak meledak-ledak, lembut, tidak terlalu banyak bicara, bukan figur yang pandai menggelindingkan isu-isu kontroversial namun dibayangi oleh sosok besar dan kharismatis mendiang ayahnya, yakni mantan Presiden Soekarno. Berakhirnya Munas di Jakarta ternyata tidak mengakhiri konflik internal yang terjadi di tubuh PDI. Dalam perkembangannya, kelompok Yusuf Merukh membentuk DPP PDI Reshuffle, meskipun keberadaannya tidak diakui oleh pemerintah namun kegiatannya tidak pernah dilarang oleh pemerintah. Di commit to user samping itu, kelompok Soerjadi juga sangat gencar melakukan penggalangan kader ke daerah-daerah dengan tujuan untuk mendapat dukungan guna menggelar Kongres PDI. Hasilnya, dari 28 pengurus DPP PDI, 16 orang anggota DPP PDI berhasil dirangkulnya untuk menggelar Kongres. Akhirnya kelompok Fatimah Achmad yang didukung oleh pemerintah tetap menyelenggarakan Kongres pada tanggal 20 – 23 Juni di Asrama Haji Medan. Menanggapi situasi tersebut, warga PDI yang setia mendukung Megawati demonstrasi besar-besaran pada tanggal 20 Juni 1996 memprotes Kongres Rekayasa yang diselenggarakan oleh Kelompok Fatimah Achmad. Dalam demonstrasi tersebut para pendukung Megawati akhirnya bentrok dengan aparat dan selanjutnya dikenal dengan “Peristiwa Gambir Berdarah”. Namun pemerintah tetap mengakui hasil Kongres Medan tersebut dan menyatakan legalitas kepengurusan DPP PDI yang baru serta menetapkan PDI hasil Kongres Medan sebagai peserta Pemilu tahun 1997. Pasca Kongres tersebut, massa pendukung Megawati mengadakan “Mimbar Demokrasi “ di halaman Kantor DPP PDI di Jl. Diponegoro pada tanggal 27 Juli 1996, namun kantor DPP PDI tersebut diserbu oleh ratusan orang berkaos merah yang bermaksud mengambil alih Kantor DPP PDI. Peristiwa berdarah ini kemudian dikenal dengan Peristiwa “Sabtu Kelabu 27 Juli “, yang banyak menelan korban jiwa. Pada Pemilu tahun 1997, Megawati menyatakan bahwa PDI di bawah kepemimpinannya tidak ikut kampanye atas nama PDI. Akhirnya pada Pemilu 1997, PDI di bawah kepemimpinan Soerjadi menjadi peserta Pemilu. Karena commit to user kuatnya dukungan kader PDI yang setia pada Megawati, maka suara yang dicapai oleh PDI di bawah kepemimpinan Soerjadi menurun sangat tajam, yakni hanya memperoleh 11 kursi di DPR. Pada tanggal 8-10 Oktober 1998, PDI di bawah kepemimpinan Megawati menyelenggarakan Kongres V PDI yang berlangsung di Denpasar Bali. Dalam Kongres tersebut, Megawati Soekarnoputri terpilih kembali menjadi Ketua Umum DPP PDI periode 1998-2003 secara aklamasi. Meskipun pemerintahan sudah berganti, namun yang diakui oleh pemerintah adalah masih tetap PDI di bawah kepemimpinan Soerjadi dan Buttu Hutapea. Oleh karena itu agar dapat mengikuti Pemilu tahun 1999, Megawati mengubah nama PDI menjadi PDI Perjuangan pada tanggal 1 Februari 1999 kemudian dideklarasikan pada tanggal 14 Februari 1999 di Istora Senayan Jakarta. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya PDI Perjuangan pimpinan Megawati Soekarnnoputri menjadi peserta dalam Pemilu Legislatif 1999. Pemilu pertama bagi PDI Perjuangan tahun 1999 menjadi ajang pembuktian bagi PDI P, dari hasil Pemilu 1999 terlihat bahwa perolehan suara PDI pimpinan Soerjadi merosot sekali. Namun bagi PDI Perjuangan hasil Pemilu 1999 menorehkan prestasi yang luara biasa, PDI Perjuangan mampu meraih suara sangat besar sekali yakni 35 suara nasional dan menjadi pemenang dalam Pemilu 1999.

B. Kiprah PDI Perjuangan di Era Reformasi

PDI Perjuangan merupakan Partai Nasionalis berbasis rakyat miskin dan kalangan minoritas. Ini merupakan core constituen bagi PDI Perjungan. Dengan

Dokumen yang terkait

Kebijakan Partai Politik Pada Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Studi Kasus: Kebijakan Partai Demokrat Dalam Penetapan Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumut Periode 2013-2018)

0 51 95

Implikatur Dalam Wacana Kampanye Politik Pemilihan Calon Walikota Dan Wakil Walikota Medan Periode 2010 – 2015

2 32 91

Pengaruh Isu Politik yang Berkembang Saat Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014 Terhadap Preferensi Politik Pemilih (Studi Kasus: Mahasiswa Universitas Sumatera Utara dan Universitas HKBP Nomennsen)

0 40 170

STRATEGI KAMPANYE POLITIK CALON DARI INCUMBENT DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH (Studi pada Pasangan Sjahrazad Masdar dan As'at Malik sebagai Calon Incumbent Bupati dan Wakil Bupati Lumajang Periode 2013-2018)

1 6 25

KONSTRUKSI PERS TENTANG KAMPANYE PILKADA JOMBANG 2008 (Analisis Wacana Berita Kampanye Calon Bupati dan Wakil Bupati Jombang di Harian Radar Mojokerto Periode 6-18 Juli 2008)

0 3 3

OPINI POLITIK MASYARAKAT DESA LEMPASING TERHADAP KAMPANYE CALON-CALON BUPATI PESAWARAN

0 4 118

Hubungan Karakteristik Pemilih dan Terpaan Informasi Kampanye Politik dengan Perilaku Memilih (Kasus Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Cianjur Tahun 2006)

0 21 352

Persepsi Pemilih Pemula Pada Iklan Kampanye Politik (Studi Deskriptif Kuantitatif Persepsi Pemilih Pemula Di Kelurahan Karangmalang Pada Iklan Kampanye Politik Bupati Dan Wakil Bupati Kabupaten Sragen Tahun 2015).

0 3 16

PENETAPAN PASANGAN CALON BUPATI DAN WAKIL BUPATI PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH KAB BULUKUMBA TAHUN 2015 (1)

0 0 1

PELIBATAN ANAK DI DALAM KAMPANYE POLITIK PADA PEMILIHAN BUPATI DAN WAKIL BUPATI PERIODE 2019-2024 DI KABUPATEN CIAMIS

0 0 12