Pengaruh Beban Kerja dan Kondisi Kerja terhadap Stres Kerja pada Perawat Ruangan di Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2009

(1)

PENGARUH KONDISI KERJA DAN BEBAN KERJA TERHADAP STRES KERJA PADA PERAWAT DI RUANG RAWAT INAP

RSU KABAN JAHE KAB. KARO TAHUN 2010

TESIS

OLEH

DIAH PITALOKA 087010013 / IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PENGARUH KONDISI KERJA DAN BEBAN KERJA TERHADAP STRES KERJA PADA PERAWAT DI RUANG RAWAT INAP

RSU KABAN JAHE KAB. KARO TAHUN 2010

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Kesehatan Kerja pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

DIAH PITALOKA 087010013 / IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Judul Tesis : PENGARUH BEBAN KERJA DAN KONDISI KERJA TERHADAP STRES KERJA

PERAWAT DI RUANG RAWAT INAP RSU KABAN JAHE TAHUN 2010 Nama Mahasiswa : Diah Pitaloka

Nomor Induk Mahasiswa : 087010013

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi : Kesehatan Kerja

Menyetujui Komisi Pembimbing :

(Prof. dr. Syamsir.BS, Sp.KJ (K) (Ferry Novliadi, S.PSi.M.PSi) Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S) (Dr. Drs. Surya Utama, M.S)


(4)

Telah diuji

PadaTanggal : 19 Juli 2010

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof.dr.Syamsir.BS,Sp.KJ(K) Anggota : Ferry Novliadi, S.PSi.M.PSi

dr.Mhd.Makmur Sinaga, M.S Siti Zahara Nasution, S.Kp,M.N.S


(5)

PERNYATAAN

PENGARUH KONDISI KERJA DAN BEBAN KERJA TERHADAP STRES KERJA PADA PERAWAT DI RUANG RAWAT INAP

RSU KABAN JAHE KAB. KARO TAHUN 2010

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam Tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Juni 2010


(6)

ABSTRAK

Stres pada perawat dapat disebabkan berbagai faktor yang bervariasi yang mencakup lingkungan kerja maupun pekerjaan berlebihan baik secara fisik maupun secara mental. Perawat ruang rawat inap RSU Kabanjahe banyak mengalami keluhan nyeri otot dan sendi, mudah marah, sulit konsentrasi, apatis, perasaan lelah dan nafsu makan menurun. Hal tersebut dapat menyebabkan stresor kuat pada perawat di lingkungan pekerjaannya.

Penelitian ini menggunakan metode crossectional, yang bertujuan untuk menganalisis pengaruh kondisi kerja (lingkungan kerja, lama waktu kerja) dan beban kerja ( overload, pekerjaan yang sederhana, pekerjaan yang beresiko tinggi, terhadap stres kerja pada perawat ruang rawat inap RSU Kabanjahe. Populasi adalah seluruh perawat yang bertugas di ruang rawat inap RSU Kabanjahe yang berjumlah 58 orang (perawat bedah 17 orang, perawat obgyn 6 orang, perawat anak 14 orang, dan perawat interna sebanyak 21 orang), keseluruhannya diambil menjadi sampel. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan berpedoman kepada kuesioner dan observasi. Analisa data dilakukan dengan menggunakan uji regresi linear berganda.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh yang bermakna antara kondisi kerja dan beban kerja terhadap stres kerja perawat di ruang rawat inap RSU Kabanjahe. Hasil regresi linear berganda didapat bahwa kondisi kerja ternyata lebih berpengaruh untuk terjadinya stres kerja.

Saran kepada manajemen RSU Kabanjahe agar : 1) menempatkan rotasi kerja secara periodik bagi perawat ruang rawat inap, 2) menciptakan kondisi kerja yang menyenangkan, 3) mengadakan pelatihan secara berkala pada perawat dan, 4) kepada perawat ruangan agar menciptakan kondisi kerja yang menyenangkan dan menigkatkan pengetahuan yang berhubungan dengan perawatan pasien.


(7)

ABSTRACT

Stress experienced by the nurses can be caused by various’ factors concerning their work environment or their abundant physical or mental workload. The nurses working in the in-patient wards of Kabanjahe General Hospital serve the patients who are having pain in their muscle and joint ,easily getting angrv, difficultl to concentrate, apathetic, feeling tired, and decreasing appetite. This condition will result in a strong stress for the nurses in their work environment.

The purpose of this cross-sectional study was to analyze the influence of work condition (work environment, length of service) and workload ( overload, simple work, high risk work) on the nurses working in the patient wards of Kabanjahe General Hospital.The populations of this study were all of the 58 nurses working in the patient wards of Kabanjahe Hospital (17 nurses working in the wards of surgery department, 6 nurses working in the wards of obstetrics and gynecology department, 14 nurses working in the wards of pediatric department, and 21 nurses working in the wards of internal medicine department), and all of them were selected to be the samples for this study through total sampling technique. The data obtained were analyzed through multiple linear regression test.

The result of this study showed that there was a significant influence between work condition, and workload on the nurses working in the in patient wards of Kabanjahe General Hospital. The result of multiple linear regression test showed that the work condition of the nurses was’more influencing in the incident of work stress.

The management of Kabanjahe General Hospital is suggested to (1) apply a periodical rotation for the nurses working in the in-patient wards, (2,) to create a pleasant work condition, (3) to provide a periodical training for the nurses, (4) to ask the nurses working in the in-patient wards to create a pleasant work condition, and (5) to improve their knowledge related to the treatment of patient.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya memberikan kesehatan dan kekuatan sehingga penulis dapat menyusun Tesis ini dengan judul ”Pengaruh Beban Kerja dan Kondisi Kerja terhadap Stres Kerja pada Perawat Ruangan di Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2009”. Tesis ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi jenjang Pendidikan Strata-2 pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Minat Studi Kesehatan Kerja Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Dalam menyusun Tesis ini, penulis banyak mendapat bantuan, dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Rektor Universitas Sumatera Utara, yaitu Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K).

Selanjutnya kepada Dr. Drs. Surya Utama, M.S, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatera Utara, sekaligus selaku Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, dan kepada Prof. Dr. Ida Yustina, M.Si selaku Sekretaris Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Universitas Sumatera Utara, dan Kepada Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M, selaku Sekretaris Minat Studi Kesehatan Kerja Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.


(9)

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. dr. Syamsir BS,KJ(K), selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Ferry Novliadi, S.PSi, M.PSi, sebagai anggota Pembimbing yang telah memberikan saran-saran dan masukan serta dorongan dalam menyelesaikan Tesis ini.

Kemudian terimakasih penulis kepada dr. Mhd.Makmur Sinaga, M.S, dan Siti Zahara Nasution, S.Kp,M.N.S, selaku komisi penguji Tesis. Kepada para dosen di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Terimakasih penulis kepada Direktur Rumah Sakit Umum Kabanjahe, dr.Thomas Silangit, Sp.PK, beserta seluruh staff pegawai Rumah Sakit Umum Kabanjahe.

Terimakasih kepada kedua orangtua penulis, yang telah membekali penulis dengan nilai-nilai dan fondasi yang kuat, sehingga penulis sampai pada tahap penyelesaian tesis ini.

Selanjutnya, terimakasih penulis ucapkan kepada rekan-rekan mahasiswa dan semua teman-teman Minat Studi Kesehatan Kerja Angkatan Tahun 2008, Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu, yang telah membantu penulis dan masih bersedia untuk dapat berkonsultasi dalam penyusunan tesis ini, dan semua pihak yang telah membantu proses penyusunan tesis ini hingga selesai.


(10)

Penulis sangat mengharapkan saran yang bersifat membangun untuk kesempurnaan Tesis ini.

Medan, Juni 2010 Penulis,


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Diah Pitaloka yang dilahirkan di Batang Srangan Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara, pada tanggal 28 Januari 1971. Penulis merupakan anak ketiga dari enam bersaudara, dan penulis menikah dengan Jhoni Mill Surbakti (Alm) dan sudah dikarunia dua orang anak yang bernama Gabriella Aurelia Surbakti dan Jeremy Cornellius Surbakti.

Penulis menamatkan Sekolah Dasar Tahun 1984 di SD N VI Pancur Batu, Tahun 1987 menamatkan Sekolah Menengah Pertama di SMP N 2 Pancur Batu , Tahun 1990 menamatman Sekolah Menengah Atas di SMA I Pancur Batu dan Tahun 2000 penulis menamatkan pendidikan Dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Methodist Indonesia.

Penulis mengawali karir sebagai Dokter Pegawai Tidak Tetap (PTT) tahun 2001-2003, Tahun 2004-2006 diangkat Sebagai Dokter Honorer di Kabupaten Karo, Tahun 2006-2007 bertugas sebagai Dokter jaga di RS. PTP Tembakau Deli Medan, Tahun 2006 sampai sekarang bertugas sebagai Dokter jaga di RSU. Mitra Sejati Medan, Tahun 2006 sampai sekarang sebagai PNS di Dinas Kesehatan Kabupaten Karo, Tahun 2007 sampai sekarang sebagai Dosen Honorer di AKBID Mitra Husada Medan, Tahun 2009 sampai sekarang sebagai Dokter Perusahaan PERUM PERUMNAS Helvetia Medan.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... iv

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan ... 9

1.3. Tujuan Penelitian ... 9

1.4. Hipotesis... 10

1.5. Manfaat Penelitian ... 10

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1. Stres Kerja ... 11

2.2. Jenis-jenis Stres ... 12

2.3. Kondisi Kerja ... 31

2.4. Beban Kerja ... 34

2.5. Keperawatan Sebagai Profesi ... 39

2.6. Landasan Teori ... 48

2.7. Kerangka Konsep ... 50

BAB III. METODE PENELITIAN ... 51

3.1. Jenis Penelitian ... 51

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 51

3.3. Populasi dan Sampel ... 52

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 52

3.5. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 56

3.6. Metode Pengukuran ... 57

3.7. Tehnik Pengolahan dan Analisa ... 62

BAB IV. HASIL PENELITIAN ... 63

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 63

4.2. Analisis Univariat ... 69


(13)

4.4. Analisis Multivariat ... 77

4.5. Perbedaan Beban Kerja, Kondisi Kerja dan Stres Kerja Perawat Di tiap ruangan ... 78

BAB V. PEMBAHASAN ... 79

5.1. Pengaruh Kondisi Kerja terhadap Stres Kerja ... 79

5.2. Pengaruh Beban Kerja terhadap Stres Kerja... 80

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 82

6.1. Kesimpulan ... 82

6.2. Saran ... 82


(14)

ABSTRAK

Stres pada perawat dapat disebabkan berbagai faktor yang bervariasi yang mencakup lingkungan kerja maupun pekerjaan berlebihan baik secara fisik maupun secara mental. Perawat ruang rawat inap RSU Kabanjahe banyak mengalami keluhan nyeri otot dan sendi, mudah marah, sulit konsentrasi, apatis, perasaan lelah dan nafsu makan menurun. Hal tersebut dapat menyebabkan stresor kuat pada perawat di lingkungan pekerjaannya.

Penelitian ini menggunakan metode crossectional, yang bertujuan untuk menganalisis pengaruh kondisi kerja (lingkungan kerja, lama waktu kerja) dan beban kerja ( overload, pekerjaan yang sederhana, pekerjaan yang beresiko tinggi, terhadap stres kerja pada perawat ruang rawat inap RSU Kabanjahe. Populasi adalah seluruh perawat yang bertugas di ruang rawat inap RSU Kabanjahe yang berjumlah 58 orang (perawat bedah 17 orang, perawat obgyn 6 orang, perawat anak 14 orang, dan perawat interna sebanyak 21 orang), keseluruhannya diambil menjadi sampel. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan berpedoman kepada kuesioner dan observasi. Analisa data dilakukan dengan menggunakan uji regresi linear berganda.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh yang bermakna antara kondisi kerja dan beban kerja terhadap stres kerja perawat di ruang rawat inap RSU Kabanjahe. Hasil regresi linear berganda didapat bahwa kondisi kerja ternyata lebih berpengaruh untuk terjadinya stres kerja.

Saran kepada manajemen RSU Kabanjahe agar : 1) menempatkan rotasi kerja secara periodik bagi perawat ruang rawat inap, 2) menciptakan kondisi kerja yang menyenangkan, 3) mengadakan pelatihan secara berkala pada perawat dan, 4) kepada perawat ruangan agar menciptakan kondisi kerja yang menyenangkan dan menigkatkan pengetahuan yang berhubungan dengan perawatan pasien.


(15)

ABSTRACT

Stress experienced by the nurses can be caused by various’ factors concerning their work environment or their abundant physical or mental workload. The nurses working in the in-patient wards of Kabanjahe General Hospital serve the patients who are having pain in their muscle and joint ,easily getting angrv, difficultl to concentrate, apathetic, feeling tired, and decreasing appetite. This condition will result in a strong stress for the nurses in their work environment.

The purpose of this cross-sectional study was to analyze the influence of work condition (work environment, length of service) and workload ( overload, simple work, high risk work) on the nurses working in the patient wards of Kabanjahe General Hospital.The populations of this study were all of the 58 nurses working in the patient wards of Kabanjahe Hospital (17 nurses working in the wards of surgery department, 6 nurses working in the wards of obstetrics and gynecology department, 14 nurses working in the wards of pediatric department, and 21 nurses working in the wards of internal medicine department), and all of them were selected to be the samples for this study through total sampling technique. The data obtained were analyzed through multiple linear regression test.

The result of this study showed that there was a significant influence between work condition, and workload on the nurses working in the in patient wards of Kabanjahe General Hospital. The result of multiple linear regression test showed that the work condition of the nurses was’more influencing in the incident of work stress.

The management of Kabanjahe General Hospital is suggested to (1) apply a periodical rotation for the nurses working in the in-patient wards, (2,) to create a pleasant work condition, (3) to provide a periodical training for the nurses, (4) to ask the nurses working in the in-patient wards to create a pleasant work condition, and (5) to improve their knowledge related to the treatment of patient.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Rumah sakit adalah bagian integral dari keseluruhan sistem pelayanan kesehatan yang dikembangkan melalui rencana pembangunan kesehatan, sehingga pengembangan rumah sakit tidak dapat dilepaskan dari kebijaksanaan pembangunan kesehatan, saling keterkaitan ini terlihat jelas dari visi pembangunan kesehatan yakni Indonesia sehat 2010 yang terwujud dalam undang-undang bidang kesehatan no 23/1992.

Berdasarkan SK Menteri Kesehatan RI.No.983/Menkes/SK/XI/1992 menyebutkan bahwa rumah sakit adalah tempat yang memberikan pelayanan kesehatan yang bersifat dasar spesialistik dan subspesialistik serta memberikan pelayanan yang bermutu dan terjangkau oleh masyarakat dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

Sebagai salah satu jaringan pelayanan kesehatan yang penting rumah sakit merupakan salah satu industri jasa. Bentuk pelayanan ini bersifat sosio ekonomi yaitu suatu usaha yang walau bersifat sosial namun diusahakan agar bisa mendapat surplus keuntungan dengan cara pengelolaan yang profesional dengan memperhatikan prinsip ekonomi (Djododibroto,1997).

Pelayanan kesehatan yang kini berkembang di rumah sakit bukan saja menyangkut masalah bangunannya (seperti ukuran kompleksitas, jumlah unit, jumlah


(17)

kwalifikasi staf medis dan non medis, sistem keuangan serta sistem informasi) tetapi menyangkut pula pada kwalitas pekerja kesehatan dalam memberikan pelayanan.

Dalam bidang pelayanan kesehatan, pemerintah telah merencanakann visi” Indonesia Sehat 2010”. Dimana dalam visi tersebut pemerintah bertekad untuk dapat meningkatkan kesehatan masyarakat secara menyeluruh (Bambang,2002).

Dalam mencapai visi tersebut, salah satu strategi yang harus di lakukan adalah meningkatkan profesionalisme termasuk profesionalisme masyarakat pekerja rumah sakit. Pekerja di rumah sakit termasuk kelompok masyarakat yang turut berperan dalam mencapai” Indonesia Sehat 2010. Oleh karena itu pekerja rumah sakit merupakan sumber daya manusia yang harus dibina agar menjadi produktif dan berkualitas (Depkes RI,2003).

Rumah sakit umum adalah Rumah Sakit yang memberikan pelayanan kesehatan semua jenis penyakit dari yang bersifat dasar sampai yang spesialistik dan mempunyai karateristik pelayanan yang berbeda dengan indusri jasa lainnya.

Menurut Yanuar Hamid (2004) Rumah Sakit mempunyai karakteristik sebagai berikut:

1. Diberikan selama 24 jam terus menerus selama 365 hari dalam setahun 2. Pelayanan bersifat individual

3. Setiap saat bisa terjadi kedaruratan medik 4. Setiap saat bisa menghadapi kejadian luar biasa 5. Padat teknologi, modal dan tenaga.

Di Rumah Sakit, sumber daya manusia terbanyak yang berinteraksi secara langsung dengan pasien adalah perawat, sehingga kualitas pelayanan yang di


(18)

laksanakan oleh perawat dapat dinilai sebagai salah satu indikator baik buruk nya kwalitas pelayanan di Rumah Sakit.

Sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan, rumah sakit beroperasi 24 jam sehari. Rumah sakit membuat pemisahan terhadap pelayanan perawatan pasien yaitu pelayanan pasien yang memerlukan penanganan emergensi, tidak emergensi dan yang diopname. Penanganan pada pelayanan tersebut dilaksanakan oleh pekerja kesehatan rumah sakit. Pekerja kesehatan rumah sakit yang terbanyak adalah perawat yang berjumlah sekitar 60% dari tenaga kesehatan yang ada di rumah sakit. Perawat merupakan salah satu pekerja kesehatan yang selalau ada di setiap rumah sakit dan merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan rumah sakit. Perawat di rumah sakit bertugas pada pelayanan rawat inap, rawat jalan atau poliklinik dan pelayanan gawat darurat.(Hamid,2001).

Peran perawat sangat penting karena sebagai ujung tombak dirawat inap dan merupakan tenaga yang paling lama kontak dengan pasien yaitu selama 24 jam. Hal ini akan menyebabkan stresor yang kuat pada perawat di lingkungan pekerjaan nya (Anna Keliat,1999)

Gibson dalam Heater Marr (1987) mengatakan, salah satu unsur yang sangat menentukan dan saling mempengaruhi dalam mutu pelayanan keperawatan adalah unsur proses yang dilakukan perawat, tindakan yang tidak sesuai dengan standart keperawatan akan sulit untuk mencapai kualitas mutu pelayanan keperawatan.

Perawat adalah profesi pekerjaan yang mengkhususkan diri pada upaya penanganan perawatan pasien atau asuhan kepada pasien dengan tuntutan kerja yang


(19)

bervariasi, tergantung pada karakteristik-karakteristik tertentu dalam melaksanakan pekerjaannya. Karakteristik tersebut meliputi karakteristik tugas (yang membutuhkan kecepatan, kesiagaan serta kerja shift), karakteristik organisasi, serta karakteristik lingkungan kerja baik lingkungan fisik dan sosial. Selain itu perawat perawat juga di bebani tugas tambahan lain dan sering melakukan kegiatan yang bukan fungsinya.

Menurut Schroder dalam Heater Marr (1991), perawat yang terlibat dalam meningkatkan mutu pelayanan keperawatan harus dapat melaksanankan pengkajian yang mendalam di area praktek nya dan dapat melaksanakan riset, memperlihatkan rasa tanggungjawab dalam menentukan aspek keperawatan sesuai dengan keahliannya, dapat berkomunikasi dengan rekan sejawat serta dapat menerapkan disiplin ilmu.

Hal ini sejalan dengan penelitian Departemen Kesehatan dan Universitas Indonesia (2005) bahwa terdapat 78,8% perawat melaksanakan tugas kebersihan, 63,6% melakukan tugas administratif dan lebih dari 90% melakukan tugas non keperawatan (misalnya menetapkan diagnosa penyakit, membuat resep dan melakukan tindakan pengobatan) dan hanya 50% yang melakukan asuhan keperawatan sesuai dengan fungsinya.

Seorang perawat diharapkan bersikap penuh perhatian dan kasih sayang terhadap pasien maupun keluarga pasien dalam melaksanakan tugasnya, namun pada kenyataannya di masa sekarang ini masih banyak dijumpai keluhan masyarakat tentang buruknya kualitas pelayanan keperawatan yang diberikan oleh perawat, yang ditulis di berbagai media masa.


(20)

Menurut Kariyoso (1994) di masa sekarang ini masih saja ada stigma yang berkembang di masyarakat yang menyatakan bahwa perawat merupakan sosok yang tidak ramah dan tidak bersikap hangat terhadap pasiennya.

Tugas dan tanggung jawab perawat bukan hal yang ringan untuk dipikul. Hal inilah yang bisa menimbulkan stres kerja pada perawat. Stres yang dihadapi oleh perawat di dalam bekerja akan sangat mempengaruhi kualitas pelayanan keperawatan yang diberikan kepada pasien. Stres kerja akan berpengaruh pada kondisi fisik, psikologis dan sikap perawat (Robbins, 1998).

Sebuah survei di Prancis menyebutkan persentase kejadian stres sekitar 74% di alami perawat, mereka mengeluh dan kesal terhadap lingkungan yang menuntut kekuatan fisik dan keterampilan, hal ini merupakan penyebab stres Perawat (Frasser,1997).

Tingkah laku negatif pekerja yang mengalami stres berkorelasi dengan hasil kerja, peningkatan ketidakhadiran kerja, tendensi mengalami kecelakaan kerja, sehingga dampak negatif yang ditimbulkan merupakan hambatan baik dalam management maupun oprasional kerja serta dapat menurunkan produktivitas kerja terutama mutu pelayanan (Scholler,1980).

Keith Davis (1985) mengatakan bahwa stres sebagai suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses pikiran, dan kondisi fisik seseorang. Stres yang dialami seseorang tentunya akan mengganggu kesehatannya.

Hasil penelitian Plaut dan Friedman (1981),Baker,(1985) menyatakan bahwa stres yang dialami seseorang akan menurunkan daya tahan tubuh terhadap serangan


(21)

penyakit dengan cara menurunkan jumlah fightining deisease cells, sehingga seseorang lebih mudah terinfeksi penyakit, terkena alergi dan untuk menyembuhkannya memerlukan waktu yang lama karena produksi sel-sel kekebalan menurun.

Penurunan status kesehatan ini tentunya akan menurunkan kinerja yang akhirnya juga menurunkan produktivitas kerja. Kondisi tersebut akan mempengaruhi perusahaan tempat bekerja, dimana perusahaan akan mengalami kerugian finansial karena tidak seimbangnya antara produktivitas dengan biaya yang dikeluarkan untuk membayar gaji, tunjangan dan fasilitas lainnya. Banyak pekerja yang tidak masuk kerja dengan berbagai alasan, atau pekerjaan tidak selesai pada waktunya karena kelambanan atau kesalahan yang berulang (Rini,2002)

Kondisi kerja mencakup lingkungan secara fisik dan sosial misalnya hubungan dengan teman sekerja, hubungan atasan dengan bawahan dan rasa aman bagi pekerja itu sendiri saat melakukan pekerjaan (Anoraga,2006).

Kondisi lingkungan fisik dapat berupa suhu yang terlalu panas, terlalu dingin, terlalu sesak, kurang cahaya dan semacamnya. Ruangan yang terlalu panas menyebabkan ketidaknyamanan seseorang dalam menjalankan pekerjaannya, begitu juga ruangan yang terlalu dingin. Panas bukan hanya dalam pengertian temperatur udara tetapi juga sirkulasi atau arus udara. Disamping itu, kebisingan juga mengambil andil tidak kecil munculnya stres kerja, sebab beberapa orang sangat sensitif pada kebisingan dibanding yang lain (Margiati,1999).


(22)

Beban kerja sebagai sumber stres disebabkan karena kelebihan beban kerja baik beban kerja kualitatif maupun beban kerja kuantitatif (French dan Caplan,1973).

Beban kerja perawat di rumah sakit meliputi beban kerja fisik dan mental. Beban kerja bersifat fisik meliputi mengangkat pasien, memandikan pasien, membantu pasien kekamar mandi, mendorong peralatan kesehatan, merapikan tempat tidur, mendorong brankast pasien. Sedangkan beban kerja yang bersifat mental dapat berupa bekerja dengan shift atau bergiliran, kompleksitas pekerjaan (mempersiapkan mental dan rohani pasien dan keluarga terutama yang akan memerlukan operasi atau dalam keadaan kritis), bekerja dengan keterampilan khusus dalam merawat pasien, tanggung jawab terhadap kesembuhan serta harus menjalin komunikasi dengan pasien.

Beban kerja yang terbagi atau mendadak tidaknya suatu tugas, kesulitan tugas,ketercukupan waktu penyelesaian, teman kerja yang bisa membantu dan kelelahan menyelesaikan tugas.

Secara umum orang berpendapat bahwa jika seseorang dihadapkan pada tuntutan pekerjaan yang melampaui kemampuan individu tersebut, maka di katakan individu itu mengalami stres kerja. Stres merupakan suatu keadaan dimana seseorang mengalami gangguan emosi karena adanya kondisi yang mempengaruhi dirinya yang dapat diperoleh dari dalam maupun dari luar diri seseorang (Ulhaq,2008).

Menurut Hager (1999), stres sangat bersifat individual dan pada dasarnya bersifat merusak bila tidak ada keseimbangan antara daya tahan mental individu dengan


(23)

beban yang dirasakannya. Namun, berhadapan dengan suatu stressor (sumber stres) tidak selalu mengakibatkan gangguan secara psikologis maupun fisiologis.

Seperti yang telah diungkapkan di atas, lingkungan pekerjaan berpotensi sebagai stressor kerja. Stressor kerja merupakan segala kondisi pekerjaan yang dipersepsikan karyawan sebagai suatu tuntutan dan dapat menimbulkan stres kerja. Stressor yang sama dapat dipersepsi secara berbeda, yaitu dapat sebagai peristiwa yang positif dan tidak berbahaya, atau menjadi peristiwa yang berbahaya dan mengancam. Penilaian kognitif individu dalam hal ini nampaknya sangat menentukan apakah stressor itu dapat berakibat positif atau negatif. Penilaian kognitif tersebut sangat berpengaruh terhadap respon yang akan muncul (Selye, 1956). Penilaian kognitif bersifat individual differences, maksudnya adalah berbeda pada masing-masing individu. Perbedaan ini disebabkan oleh banyak faktor. Penilaian kognitif itu, bisa mengubah cara pandang akan stres. Dimana stres diubah bentuk menjadi suatu cara pandang yang positif terhadap diri dalam menghadapi situasi yang stressful. Sehingga respon terhadap stressor bisa menghasilkan outcome yang lebih baik bagi individu.

Rumah sakit Umum Kabanjahe adalah Rumah Sakit yang memberikan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat di daerah sekitar lokasi Rumah Sakit tersebut. Unit perawatan rawat inap yang ada di Rumah Sakit Umum Kabanjahe, terdiri dari Ruang Perawatan Bedah, Ruang Perwatan Anak, Ruang Perawatan Kebidanan dan Perawatan Dewasa. Berdasarkan data Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo (2008) terdapat 58 perawat di ruang Rawat Inap yang tersebar di ruang rawat bedah 9 orang, di ruang perawatan kebidanan 10 orang, di


(24)

ruang perawatan anak 10 orang, dan di ruang perawatan dewasa 29 orang. Perawat jaga dibagi dalam 3 shift kerja yaitu pagi dari jam 08.00 Wib-14.00 Wib, siang dari 14.00 Wib -21.00 Wib, malam dari jam 21.00 Wib -08.00 Wib.

Hasil wawancara pada uji pendahuluan yang dilakukan pada perawat ruang rawat inap di rumah sakit tersebut yang mengalami stres kerja. Hal ini terlihat dengan banyaknya keluhan nyeri otot dan sendi, mudah marah, sulit konsentrasi, apatis, perasaan lelah, dan nafsu makan menurun. Menurut Anoraga (2001), hal ini merupakan gejala-gejala stres kerja. Untuk mencegah keluhan yang ada maka perlu adanya sutua penelitian yang berkaitan dengan hubungan beban kerja dan kondisi kerja dengan stres kerja perawat di ruang rawat inap rumah sakit umum Kabanjahe Kabupaten Karo.

1.2 Permasalahan

Bagaimana pengaruh beban kerja dan kondisi kerja terhadap stres kerja perawat di ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2009.

1.3 Tujuan Penelitian

Menganalisis pengaruh beban kerja dan kondisi kerja terhadap stress kerja pada perawat di ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2009.


(25)

1.4. Hipotesis Penelitian

Ada pengaruh kondisi kerja dan beban kerja terhadap stres kerja perawat di ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2009.

1.5. Manfaat Penelitian

1. Sebagai masukan pada Rumah Sakit Umum Kabanjahe tentang pengaruh beban kerja dan kondisi kerja terhadap stres kerja pada perawat di ruang rawat Inap.

2. Menambah wawasan bagi peneliti lain guna pengembangan ilmu pengetahuan tentang stres dalam lingkungan pekerjaan.


(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stres Kerja

Stres adalah suatu keadaan yang bersifat internal, yang bisa disebabkan oleh tuntutan fisik (badan), atau lingkungan, dan situasi sosial, yang berpotensi merusak dan tidak terkontrol. Stres juga didefinisikan sebagai tanggapan atau proses internal atau eksternal yang mencapai tingkat ketegangan fisik dan psikologis sampai pada batas atau melebihi batas kemampuan subyek (Cooper,1994).

Menurut Hager (1999), stres sangat bersifat individual dan pada dasarnya bersifat merusak bila tidak ada keseimbangan antara daya tahan mental individu dengan beban yang dirasakannya. Namun, berhadapan dengan suatu stressor (sumber stres) tidak selalu mengakibatkan gangguan secara psikologis maupun fisiologis. Terganggu atau tidaknya individu, tergantung pada persepsinya terhadap peristiwa yang dialaminya. Faktor kunci dari stres adalah persepsi seseorang dan penilaian terhadap situasi dan kemampuannya untuk menghadapi atau mengambil manfaat dari situasi yang dihadapi (Diana, 1991).

Dengan kata lain, bahwa reaksi terhadap stres dipengaruhi oleh bagaimana pikiran dan tubuh individu mempersepsi suatu peristiwa. Stressor yang sama dapat dipersepsi secara berbeda, yaitu dapat sebagai peristiwa yang positif dan tidak


(27)

berbahaya, atau menjadi peristiwa yang berbahaya dan mengancam. Penilaian kognitif individu dalam hal ini nampaknya sangat menentukan apakah stressor itu dapat berakibat positif atau negatif. Penilaian kognitif tersebut sangat berpengaruh terhadap respons yang akan muncul (Selye,1956).

Penilaian kognitif bersifat individual differences, maksudnya adalah berbeda pada masing-masing individu. Perbedaan ini disebabkan oleh banyak faktor. Penilaian kognitif itu, bisa mengubah cara pandang akan stres. Dimana stres diubah bentuk menjadi suatu cara pandang yang positif terhadap diri dalam menghadapi situasi yang stressful. Sehingga respons terhadap stressor bisa menghasilkan outcome yang lebih baik bagi individu.

2.2. Jenis-Jenis Stres

Quick dan Quick (1984) mengkategorikan jenis stres menjadi dua, yaitu:

Eustress, yaitu hasil dari respons terhadap stres yang bersifat sehat, positif, dan konstruktif (bersifat membangun). Hal tersebut termasuk kesejahteraan individu dan juga organisasi yang diasosiasikan dengan pertumbuhan, fleksibilitas, kemampuan adaptasi, dan tingkat performance yang tinggi.

Distress, yaitu hasil dari respons terhadap stres yang bersifat tidak sehat, negatif, dan destruktif (bersifat merusak). Hal tersebut termasuk konsekuensi individu dan juga organisasi seperti penyakit kardiovaskular dan tingkat


(28)

ketidakhadiran (absenteeism) yang tinggi, yang diasosiasikan dengan keadaan sakit, penurunan, dan kematian.

Stres kerja (Hans Selye, 1950) adalah respons tubuh yang sifatnya non spesifik terhadap setiap tuntutan beban atasannya, misalnya bagaimana respons tubuh seseorang manakala seseorang mengalami beban kerja yang berlebihan. Bila ia sanggup mengatasinya artinya tidak ada gangguan fungsi organ tubuh, maka di katakan yang bersangkutan tidak mengalami stres. Tetapi sebaliknya bila ia mengalami gangguan pada satu organ atau lebih sehingga yang bersangkutan tidak lagi dapat menjalankan fungsi pekerjaannya dengan baik, maka ia disebut distres (Dadang Hawari 2004)

Stres sebagai definisi kerja mengemukakan stres sebagai tanggapan dalam menyesuaikan diri yang dipengaruhi oleh perbedaan individu dan atau proses psikologis, yaitu suatu konsekuensi dari setiap tindakan ekstern (lingkungan), situasi atau peristiwa yang terlalu banyak mengadakan tuntutan psikologis dan atau fisik terhadap seseorang.

Pendapat tersebut berbeda dengan pendapat Beerhr dan Newman (Luthans, 1996) yang mendefenisikan stres kerja yaitu sebagai suatu kondisi yang timbul karena adanya interaksi individu dan pekerjaan yang di tandai adanya perubahan dalam diri individu yang mendorong individu melakukan penyimpangan (tidak berfungsi secara normal)

Robins memberikan definisi stres sebagai suatu kondisi dinamis di mana individu di hadapkan pada kesempatan, hambatan dan keinginan dan hasil yang di


(29)

peroleh sangatlah penting tetapi tidak dapat dipastikan (Robbins dalam Dwiyanti, 2001)

Stres sebagai stimulus merupakan pendekatan yang menitikberatkan pada lingkungan. Defenisi stimulus memandang stres sebagai suatu kekuatan yang menekan individu untuk memberikan tanggapan terhadap sresor. Pendekatan ini memandang stres sebagai konsekuensi dari interaksi antara stimulus lingkungan dengan respons individu. Pendekatan stimulus - respons mendefenisikan stres sebagai konsekuensi dari interaksi antara stimulus lingkungan dengan respons individu. Stres di pandang tidak sekadar sebuah stimulus atau respoans, melainkan stres merupakan hasil interaksi unik antara kondisi stimulus lingkungan dan kecendrungan individu untuk memberikan tanggapan.

Menurut Hager (1999), stres sangat bersifat individual dan pada dasarnya bersifat merusak bila tidak ada keseimbangan antara daya tahan mental individu dengan beban yang dirasakannya. Namun, berhadapan dengan suatu stressor (sumber stres) tidak selalu mengakibatkan gangguan secara psikologis maupun fisiologis. Terganggu atau tidaknya individu, tergantung pada persepsinya terhadap peristiwa yang dialaminya. Faktor kunci dari stres adalah persepsi seseorang dan penilaian terhadap situasi dan kemampuannya untuk menghadapi atau mengambil manfaat dari situasi yang dihadapi (Diana, 1991).

Dengan kata lain, bahwa reaksi terhadap stres dipengaruhi oleh bagaimana pikiran dan tubuh individu mempersepsi suatu peristiwa dan kecendrungan individu untuk memberikan tanggapan.


(30)

Landy dalam Margiati (1999), memahami stres sebagai ketidak seimbangan keinginan dan kemampuan memenuhinya sehingga menimbulkan konsekwensi penting bagi dirinya.

Pada kalangan para pakar sampai saat ini belum terdapat kata sepakat dan kesamaan persepsi tentang batasan stres. Aamodt dalam Margiati (1999) memandang stres sebagai respons adaptif yang merupakan karakteristik individual dan konsekuensi dan tindakan eksternal, situasi atau peristiwa yang terjadi baik secara fisik maupun psikologis.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa terjadinya stres kerja adalah dikarenakan adanya ketidak seimbangan antara karakteristik kepribadian karyawan dengan karakteristik aspek-aspek pekerjaannya dan dapat terjadi pada semua kondisi pekerjaannya. Adanya beberapa atribut tertentu dapat mempengaruhi daya tahan stres seorang karyawan.

Masalah stres kerja didalam organisasi perusahaan menjadi gejala yang penting diamati sejak mulai timbulnya tuntutan untuk efisien didalam pekerjaan. Akibat adanya stres kerja tersebut yaitu orang menjadi nervous, merasakan kecemasan yang kronis, peningkatan ketegangan pada emosi, proses berfikir dan kondisi fisik individu. Selain itu, sebagai hasil dari adanya stres kerja karyawan mengalami gejala stres yang dapat mengancam dan mengganggu pelaksanaan kerja mereka, seperti : mudah marah dan agresi, tidak dapat relaks, emosi yang tidak stabil, sikap yang tidak mau bekerjasama, perasaan tidak mau terlibat, dan kesulitan dalam masalah tidur.


(31)

2.2.1 Faktor-faktor yang menimbulkan stres dapat dikelompokkan ke dalam lima Kategori

Kategori besar yaitu faktor-faktor intrinsik dalam pekerjaan, peran dalam organisasi, pengembangan karir, hubungan dalam pekerjaan, serta struktur dan iklim organisasi Hurrel (Munandar, 2001)

1. Faktor-faktor intrinsik dalam pekerjaan

Termasuk dalam kategori ini tuntutan fisik dan tuntutan tugas. Tuntutan fisik misalnya faktor kebisingan. Sedangkan faktor-faktor tugas mencakup : kerja malam, beban kerja, dan penghayatan dari risiko dan bahaya.

a. Tuntutan fisik:

Kondisi kerja mempunyai pengaruh terhadap faal dan psikologis diri seorang tenaga kerja. Kondisi fisik dapat merupakan pembangkit stres (stresor). Suara bising selain dapat menimbulkan gangguan sementara atau tetap pada alat pendengaran kita, juga dapat menimbulkan sumber stres yang menyebabkan peningkatan dan kesiagaan dan ketidakseimbangan psikologis kita. Kondisi demikian memudahkan timbulnya kecelakaan, misalnya tidak mendengar suara-suara peringatan sehingga timbul kecelakaan, bising yang berlebih (sekitar 80 desibel) yang berulang kali didengar, untuk jangka waktu yang lama, dapat menimbulkan stres. Dampak psikologis dari bising yang berlebih ialah


(32)

mengurangi toleransi dari tenaga kerja terhadap pembangkit stres yang lain, dan menurunkan motivasi kerja (Anonymous,2008)

b.Tuntutan tugas:

Penelitian menunjukkan bahwa shift kerja malam merupakan sumber utama dan stres bagi para pekerja pabrik. Para pekerja shift malam lebih sering mengeluh tentang kelelahan dan gangguan perut dari pada para pekerja pagi / siang dan dampak dari kerja shift terhadap kebiasaan makan yang mungkin menyebabkan gangguan-gangguan perut. Beban kerja berlebih dan beban kerja terlalu sedikit bekerja berlebih / terlalu sedikit “kuantitatif”, yang timmbul sebagai akibat dari tugas-tugas yang terlalu banyak / sedikit diberikan kepada tenaga kerja untuk diselesaikan dalam waktu tertentu, dan beban kerja berlebih / terlalu sedikit “kualitatif”, yaitu jika orang merasa tidak mampu untuk melakukan suatu tugas, atau tugas tidak menggunakan keterampilan dan / atau potensi dari tenaga kerja. Disamping itu beban kerja berlebih kuantitatif dapat menimbulkan kebutuhan untuk bekerja selama jumlah jam yang sangat banyak, yang merupakan sumber tambahan dari stres. Beban berlebih secara fisikal ataupun mental, yaitu harus melakukan terlalu banyak hal, merupakan kemungkinan sumber stres pekerjaan.

Unsur yang menimbulkan beban berlebih kuantitaif ialah desakan waktu, yaitu setiap tugas diharapkan dapat diselesaikan secepat mungkin secara tepat dan cermat. Pada saat tertentu, dalam hal tertentu waktu akhir (dead line) justru


(33)

dapat meningkatkan motivasi dan menghasilkan prestasi kerja yang tinggi. Namun, bila desakan waktu menyebabkan timbulnya banyak kesalahan atau menyebabkan kondisi kesehatan seseorang berkurang, maka ini merupakan cerminan adanya beban berlebih kuantitatif. Beban kerja terlalu sedikit kuantitatif juga dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang. Pada pekerjaan yang sederhana, dimana banyak terjadi pengulangan gerak akan timbul rasa bosan, rasa monoton. Kebosanan dalam kerja rutin sehari-hari, sebagai hasil dari terlampau sedikitnya tugas yang harus dilakukan, dapat menghasilkan berkurangnya perhatian.

Hal ini, secara potensial membahayakan jika tenaga kerja gagal untuk bertindak tepat dalam keadaan darurat. Beban berlebihan kualitatif merupakan pekerjaan yang dilakukan oleh manusia makin beralih titik beratnya pada pekerjaan otak. Pekerjaan makin menjadi majemuk. Kemajemukan pekerjaan yang harus dilakukan seorang tenaga kerja dapat dengan mudah berkembang menjadi beban berlebihan kualitatif jika kemajemukannya memerlukan kemampuan teknikal dan intelektual yang lebih tinggi daripada yang dimiliki. Pada titik tertentu kemajemukan pekerjaan tidak lagi produktif, tetapi menjadi destruktif. Pada titik tersebut kita telah melewati kemampuan kita untuk memecahkan masalah dan menalar dengan cara yang konstruktif. Timbullah kelelahan mental dan reaksi-reaksi emosional dan fisik. Penelitian menunjukkan bahwa kelelahan mental, sakit kepala, dan gangguan-gangguan pada perut merupakan hasil dari kondisi kronis dari beban berlebih kualitatif. Beban terlalu


(34)

sedikit kualitatif merupakan keadaan dimana tenaga kerja tidak diberi peluang untuk menggunakan keterampilan yang diperolehnya, atau untuk mengembangkan kecakapan potensialnya secara penuh. Beban terlalu sedikit disebabkan kurang adanya rangsangan akan mengarah ke semangat dan motivasi yang rendah untuk kerja. Tenaga kerja akan merasa bahwa ia ”tidak maju-maju”, dan merasa tidak berdaya untuk memperlihatkan bakat dan keterampilannya (Anonymous, 2008)

2. Peran Individu dalam Organisasi

Setiap tenaga kerja bekerja sesuai dengan perannya dalam organisasi, artinya setiap tenaga kerja mempunyai kelompok tugasnya yang harus dilakukan sesuai dengan aturan yang ada dan sesuai dengan yang diharapkan oleh atasannya. Tenaga kerja tidak selelu berhasil untuk memainkan perannya tanpa menimbulkan masalah. Kurang baik berfungsinya peran, yang merupakan pembangkit stres, yaitu meliputi konflik peran dan ketatalaksanaan peran.

a. Konflik Peran

Konflik peran timbul jika seorang tenaga kerja mengalami adanya:

- Pertentangan antara tugas-tugas yang harus ia lakukan dan antara tanggung jawab yang ia miliki.

- Tugas-tugas yang harus ia lakukan yang menurut pandangannya bukan merupakan bagian dari pekerjaannya.


(35)

- Tuntutan-tuntutan yang bertentangan dari atasan, rekan, bawahannya, atau orang lain yang dinilai penting bagi dirinya.

- Pertentangan dengan nilai-nilai dan keyakinan pribadinya sewaktu melakukan tugas pekerjaannya

b. Ketatalaksanaan peran: Jika seorang pekerja tidak memiliki cukup informasi untuk dapat melaksanakan tugasnya, atau tidak mengerti atau merealisasi harapan-harapan yang berkaitan dengan peran tertentu. Faktor-faktor yang dapat menimbulkan ketatalaksanaan meliputi: ketidakjelasan dari tujuan-tujuan kerja.

- Kesamaan tentang tanggung jawab - Ketidakjelasan tentang prosedur kerja

- Kesamaran tentang apa yang diharapkan oleh orang lain - Kurang adanya ketidakpastian tentang produktifitas kerja

Stres yang timbul karena ketidakjelasan sasaran akhirnya mengarah ketidakpuasan pekerjaan, kurang memiliki kepercayaan diri, rasa tak berguna, rasa harga diri menurun, tidak ada motivasi kerja, peningkatan tekanan darah dan denyut nadi bertambah cepat, dan kecenderungan untuk meninggalkan pekerjaan, bila pekerja mengalami depresi (Anonymous, 2007).


(36)

3. Pengembangan Karir

Unsur-unsur penting pengembangan karir meliputi:

- Peluang untuk menggunakan keterampilan jabatan sepenuhnya - Peluang mengembangkan keterampilan yang baru

- Penyuluhan karir untuk memudahkan keputusan-keputusan yang menyangkut karir

- Pengembangan karir merupakan pembangkit stres potensial yang mencakup ketidakpastian pekerjaan, promosi berlebih, dan promosi yang kurang.

4. Hubungan dalam Pekerjaan

Hubungan kerja yang tidak baik terungkap dalam gejala-gejala adanya kepercayaan yang rendah, dan minat yang rendah dalam pemecahan masalah dalam organisasi. Ketidakpercayaan secara positif berhubungan dengan ketatalaksanaan peran yang tinggi, yang mengarah ke komunikasi antar pribadi yang tidak sesuai antara pekerjaan dan ketegangan psikologikal dalam bentuk kepuasan pekerjaan yang rendah, penurun dari kondisi kesehatan, dan rasa diancam oleh atasan dan rekan-rekan kerjanya (Munandar, 2001).

5. Struktur dan Iklim Organisasi

Faktor stres yang dikenali dalam kategori ini adalah terpusat pada sejauh mana tenaga kerja dapat terlibat atau berperan serta pada support sosial.


(37)

Kurangnya peran serta atau partisipasi dalam pengambilan keputusan berhubungan dengan suasana hati dan perilaku negatif. (Anynomous, 2008).

2.2.2. Proses Stres

Dalam peristiwa terjadinya stres, ada tiga hal yang saling terkait satu dengan yang lainnya (Nasional, 2000) yakni:

2. Hal, peristiwa, keadaan, orang yang menjadi sumber stres (stressor) jika dipandang secara umum, hal-hal yang menjadi sumber stres dipahami sebagai rangsangan (stimulus).

3. Orang yang mengalami stres (the stressed), kita dapat memusatkan perhatian pada tanggapan (respons) orang tersebut terhadap hal-hal yang dinilai mendatangkan stres. Tanggapan orang tersebut terhadap sumber stress dapat dipengaruhi pada psikologis dan fisiologis. Tanggapan ini disebut strain, yaitu tekanan atau tanggapan yang dapat membuat pola pikir, emosi dan perilakunya kacau, dapat membuat gugup dan gelisah. Secara fisiologis kegugupan dan kegelisahan itu dapat menyebabkan denyut jantung yang cepat, perut mual, mulut kering, banyak keringat dan lain-lain.

4. Hubungan antara orang yang mengalami stres dengan hal yang menjadi penyebab (transaction). Hubungan itu merupakan proses, yaitu ada penyebab stres dan pengalaman individu yang terkena stres saling terkait.


(38)

Perbedaan cara, kemampuan dan keberhasilan seseorang dalam menanggapi hal-hal yang mendatangkan stres tersebut, maka orang dapat mengalami stres yang berbeda-beda (ada yang tidak terkena, ada yang terkena sedikit dan waktunya singkat, dan ada yang berat serta berkelanjutan).

Dadang Hawari (2001) menyatakan bahwa tahapan stres sebagai berikut:

a. Stres tahap pertama (paling ringan), yaitu stres yang disertai perasaan nafsu bekerja yang besar dan berlebihan, mampu menyelesaikan pekerjaan tanpa memperhitungkan tenaga yang dimiliki dan penglihatan menjadi tajam.

b. Stres tahap kedua, yaitu stres yang disertai keluhan, seperti bangun pagi tidak segar atau letih, lekas capek pada saat menjelang sore, lekas lelah sesudah makan, tidak dapat rileks, lambung atau perut tidak nyaman (bowel discomfort), jantung berdebar dan otot kaku. Hal tersebut karena cadangan tenaga tidak memadai.

c. Stres tahap ketiga, yaitu stres dengan keluhan seperti defekasi tidak teratur (kadang-kadang diare), otot kaku, emosional, insomnia, mudah dan sulit tidur kembali (middle insomnia), bangun terlalu pagi dan sulit tidur, gangguan pernafasan, sering berkeringat, gangguan kulit, kepala pusing, migran, kanker, ketegangan otot.

d. Stres tahap keempat, yaitu tahapan stres dengan keluhan, seperti tidak mampu bekerja sepanjang hari (loyo), aktivitas pekerjaan terasa sulit dan


(39)

menjenuhkan, respons tidak adekuat, kegiatan rutin terganggu, gangguan pola tidur, sering menolak ajakan, konsentrasi dan daya ingat menurun, serta timbul ketakutan dan kecemasan.

e. Stres tahap kelima, yaitu tahapan stres yang ditandai dengan kelelahan fisik dan mental (physical and psyhological exhaustion), ketidakmampuan menyelesaikan pekerjaan yang sederhana dan ringan, gangguan pencernaan berat, meningkatnya rasa takut dan cemas, bingung dan panik.

f. Stres tahap keenam (paling berat), yaitu tahapan stres dengan tanda-tanda seperti jantung berdebar keras, sesak nafas, badan gemetar, dingin dan banyak keluar keringat, loyo, pingsan atau collaps.

Timbulnya stres kerja pada seorang tenaga kerja melalui tiga tahap (Nasution, 2000) yaitu:

a. Reaksi awal yang merupakan fase inisial dengan timbulnya beberapa gejala / tanda, namun masih dapat diatasi oleh mekanisme pertahanan diri.

b. Reaksi pertahanan yang merupakan adaptasi maksimun dan pada masa tertentu dapat kembali kepada keseimbangan. Bila stres ini terus berlanjut dan mekanisme pertahanan diri tidak sanggup berfungsi lagi maka berlanjut ke fase ketiga.


(40)

2.2.3. Gejala Stres

Herry Beehr dan Newman, (1987) membagi gejala dan tanda stres menjadi tiga gejala yakni: gejala fisik, gejala psikologis dan gejala perilaku.

a. Gejala Fisik

Meningkatnya detak jantung dan tekanan darah, gangguan lambung, mudah lelah disebabkan meningkatnya sekresi adrenalin dan noradrenalin.

b. Gejala Psikologis

Kecemasan, ketegangan, bingung, marah, sensitif, memendam perasaan, komunikasi tidak efektif, menurunnya fungsi intelektual, mengurung diri, ketidakpuasan kerja, kebosanan, lelah mental, mengasingkan diri, kehilangan konsentrasi, kehilangan spontanitas dan kreatifitas, kehilangan semangat hidup, menurunnya harga diri dan rasa percaya diri merupakan gejala dari depresi.

c. Gejala Perilaku

Menunda atau menghindari pekerjaan, penurunan prestasi dan produktivitas, minum-minuman keras dan mabuk, perilaku sabotase, sering mangkir kerja, makan yang tidak normal, kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan, ngebut dijalan, meningkatnya agresifvitas dan krimininalitas,


(41)

penurunan hubungan interpersonal dengan keluarga serta teman serta kecendrungan bunuh diri.

Selama stres berlangsung, akan menimbulkan reaksi kimiawi dalam tubuh manusia (neurotransmitter) yang mengakibatkan perubahan-perubahan, antara lain meningkatnya tekanan darah, metabolisme meningkat. Reaksi kimia tersebut pada dasarnya merupakan senjata yang diperlukan manusia untuk menghadapi dan menyesuaikan terhadap gangguan-gangguan diatas. Masalahnya terletak pada karakteristik sosio kultural masyarakat sekarang yang semakin tidak toleran dengan penggunaan ”senjata” tersebut diatas, sehingga reaksi kimia yang tidak tersalurkan justru meninbulkan reaksi balik yang menjadi bumerang bagi yang bersangkutan (Anoraga, 2006).

Dalam hubungan dengan gangguan pada badan, dikatakan bahwa stres emosional mempengaruhi otak, yang kemudian melalui sistem nurohormonal menyebabkan gejala-gejala badaniah yang dipengaruhi oleh hormon (Adrenalin) dan sistem saraf otonom. Adrenalin yang meningkat menimbulkan kadar asam lemak bebas meningkat dan ini merupakan persediaan sumber energi ekstra. Bilamana peningkatan ini tidak disertai kegiatan fisik, energi ekstra ini tidak dibakar habis dan akan diubah hati menjadi lemak dan kolesterol dan trigliserid yang kemudian menimbun pada dinding pembuluh darah, termasuk pembuluh jantung koroner, terjadinya


(42)

penyakit jantung kororner. Selanjutnya terjadi kenaikan tekanan darah, denyut jantung yang bertambah, dan keduanya mengakibatkan gangguan pada kerja jantung bahkan mudah menimbulkan kematian mendadak atau serangan jantung (MCI) (Anonymous, 2008).

Pada sistem saraf otonom, menimbulkan gejala seperti keluarnya keringat dingin (keringat pada telapak tangan), rasa panas dingin badan, asam lambung yang meningkat (sakit maag), kejang lambung dan usus, mudah kaget, gangguan seksual dan lain-lain. Gejala stres yang berat menyebabkan hilangnya kontak sama sekali dengan lingkungan sosial. Dalam perkembangan selanjutnya ternyata dampak stres tidak hanya mengenai gangguan fungsional hingga kelainan organ tubuh, tetapi juga berdampak pada bidang kejiwaan (psikologik/psikiatrik) misalnya kecemasan dan atau depresi.

Lingkungan kerja, sebagaimana lingkungan lainnya, juga menuntut adanya penyesuaian diri dari individu yang menempatinya. Dalam lingkungan kerja ini individu memiliki kemungkinan untuk mengalami keadaan stres. Secara umum terdapat tiga buah pendekatan untuk membahas masalah stres dalam ruang lingkup organisasi. Pendekatannya pertama berorientasi pada karakteristik objektif dari berbagai situasi kerja yang dapat menimbulkan stres. Pendekatan kedua mengacu pada karakteristik individu sebagai


(43)

penyebab utama stres. Pendekatan ketiga meninjaunya melalui acuan interaksi antara situasi objektif dan karakteristik individu (Anonymous, 2008).

2.2.4. Dampak Stres Kerja a. Pada Perusahaan

Rini (2002) mengidentifikasi beberapa perilaku negatif karyawan yang berpengaruh terhadap organisasi. Stres yang dihadapi oleh karyawan berkorelasi dengan penurunan prestasi kerja, peningkatan ketidakhadiran kerja serta tendensi mengalami kecelakaan. Secara singkat beberapa dampak negatif yang ditimbulkan oleh stres kerja adalah:

a. Terjadinya kekacauan, hambatan baik dalam manajemen maupun operasional kerja

b. Menganggu kenormalan aktivitas kerja c. Menurunkan tingkat produktivitas

d. Menurunkan pemasukan dan keuntungan perusahaan

b. Pada Karyawan

Pengaruh stres kerja yang menguntungkan maupun merugikan bagi perusahaan. Pada taraf tertentu pengaruh yang menguntungkan perusahaan diharapkan akan memacu karyawan untuk dapat menyelesaikan pekerjaan dengan sebaik-baiknya. Reaksi terhadap stres dapat merupakan reaksi bersifat psikis maupun fisik. Pekerja atau karyawan yang stres akan


(44)

menunjukkan perubahan perlaku. Perubahan perilaku terjadi pada diri manusia sebagai usaha mengatasi stres. Usaha mengatasi stres dapat berupa perilaku melawan stres (flight) atau freeze (berdiam diri). Dalam kehidupan sehari-hari ketiga reaksi ini biasanya dilakukan secara bergantian, tergantung situasi dan bentuk stres.

Perubahan-perubahan ini di tempat kerja merupakan gejala-gejala individu yang mengalami stres antara lain (Margiati, 1999).

a. Bekerja melewati batas kemampuan b. Keterlambatan masuk kerja yang sering c. Ketidakhadiran pekerjaan

d. Kesulitan membuat keputusan e. Kesalahan yang sembrono

f. Kelalaian menyelesaikan pekerjaan

g. Lupa akan janji yang telah dibuat dan kegagalan diri sendiri h. Kesulitan berhubungan dengan orang lain

i. Menunjukkan gejala fisik seperti pada alat pencernaan, tekanan darah tinggi, radang kulit, radang pernafasan.

Dewasa ini konsep tentang stres kerja telah menjadi perhatian nasional bahkan dunia, karena peningkatan jumlah klaim ketidakmampuan berdasarkan faktor-faktor terkait stres. Kemajuan teknologi tampaknya


(45)

memperlambat kemampuan kita untuk mempertahankan produktivitas, dan merasa hanya memiliki sedikit kendali bahkan tidak memiliki kendali sama sekali. Menjadi lebih rentan terhadap bahaya stres kerja, karena menghabiskan sebagian besar waktu di tempat kerja dan stres kerja dengan cepat menjadi isu pelayanan kesehatan nasional, strategis menajement stres sangat penting untuk membantu menjaga kesehatan optimum pekerjaan disetiap sudut lapangan pekerjaan.

Stres mempengaruhi orang dengan cara yang berbeda dan jika dibiarkan tidak ditangani akan menimbulkan kerusakan di tempat kerja. Kerusakan itu terpendam jauh di dalam, seringkai tersembunyi, tetapi tetap ada dan membebani. Pengusaha seringkali menimbun resiko dengan mengabaikannya. Stres, baik itu berasal dari peristiwa kehidupan pribadi kita, ditempat kerja, pada akhirnya akan mempengaruhi kita ditempat kerja. Semakin lama hal itu diabaikan, semakin besar dampaknya. Stres kerja timbul akibat kepuasan kerja tidak terwujud dari pekerjaannya. Perlu sedini mungkin diatasi oleh pimpinan agar hal yang merugikan perusahaan dapat diatasi.

Orang-orang yang mengalai stres menjadi nervous dan merasakan kekhawatiran kronis. Sering menjadi marah-marah, agresif, tidak dapat rileks atau memperlihatkan sikap yang tidap kooperatif. Stres kerja dapat terjadi


(46)

hampir pada semua pekerjaan, baik tingkat pimpinan maupun pelaksana. Kondisi kerja yang lingkungannya tidak baik sangat pontensial untuk menimbulkan stres kerja (Anonymous, 2008).

2.3. Kondisi Kerja

Menurut Munandar AS (2001), kondisi kerja meliputi variabel lingkungan fisik kerja dan kodisi lama waktu kerja. Dapat dijelaskan bahwa variabel-variabel tadi dapat mempengaruhi sikap dan prilaku pekerja .Faktor-faktor yang perlu di pertimbangkan dalam kondisi kerja yang sesuai dengan situasi organisasi tertentu termasuk bagaimana biasanya pekerjaan dilakukan, karakteristik tenaga kerja yang terlibat dan aturan standart ekternal yang sesua. Dalam psikologi industri (1998), kondisi kerja yang buruk berpotensi menyebabkan pekerja mudah sakit, mengalami stres psikologis dan menurunkan produktivitas kerja.

a. Lingkungan Fisik Kerja

Lingkungan kerja bagi karyawan akan mempunyai pengaruh yang tidak kecil terhadap jalannya operasi perusahaan. Lingkungan kerja ini yang akan mempengaruhi para karyawan perusahaan sehingga dengan demikian baik langsung maupun tidak langsung akan dapat mempengaruhi produktivitas perusahaan.


(47)

Kondisi lingkungan kerja dapat menimbulkan ketidaknyamanan seseorang dalam menjalankan pekerjaannya misalnya udara dan kebisingan, karena beberapa orang sangat sensitif terhadap kondisi lingkungan (Margiati,1999). Lingkungan kerja yang kurang nyaman, misalnya panas, berisik, sirkulasi udara kurang, lingkungan kerja yang kurang bersih, membuat pekerja mudah menderita stres.

Rancangan kantor memberikan pengaruh pada produktivitas juga, Schultz (1982) mengajukan hasil suatu penelitian di Amerika Serikat tentang pengaruh kantor yang dirancang seperti pemandangan alam,kantornya terdiri dari ruangan yang luas, tidak ada dinding-dinding yang membagi ruangan kedalam kamar-kamar terpisah. Semua karyawan dari pegawai rendah sampai menengah dikelompokkan kedalam satuan-satuan kerja fungsional, masing-masing dipisahkan dari satuan-satuan lainnya dengan pohon-pohon (pendek) dan tanaman, kaca jendela yang rendah, lemari-lemari pendek dan rak buku, kantor” pemandangan alam ini” dikatakan dapat melancarkan komunikasi dan alur kerja. Disamping itu keterbukaan menunjang timbulnya keikatan dan kerjasama kelompok serta mengurangi rintangan-rintangan psikologis antara management dan karyawan.

Faktor lingkungan kerja dapat berupa kondisi fisik, manajement kantor maupun hubungan sosial dilingkungan pekerjaan. Sedang faktor personal bisa


(48)

berupa tipe kepribadian, peristiwa atau pengalaman pribadi maupun sosial ekonomi keluarga dimana pribadi berada dan mengembangkan diri. Faktor kedua tidak secara langsung berhubungan dengan kondisi pekerjaan,namun karena dampak yang ditimbulkan pekerjaan cukup besar, maka faktor pribadi ditempatkan sebagai sumber atau penyebab munculnya stres (Dwiyanti,2001)

Kondisi kerja yang lingkungannya tidak baik sangat potensial untuk menimbulkan stres kerja. Stres di lingkungan kerja tidak dapat dihindari, yang dapat dilakukan adalah bagaimana mengelola, mengatasi atau mencegah terjadinya stres kerja tersebut, sehingga tidak mengganggu pekerjaan (Notoatmodjo,2003)

b. Lama Waktu Kerja

Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penerapan peneliti yang sesuai dengan situasi organisasi tertentu termasuk bagaimana biasanya pekerjaan itu dilakukan. Shift kerja ternyata berpengaruh terhadap terjadinya kelelahan kerja terutama shift kerja siang dan malam. Shift kerja ini nyata lebih menimbulkan kelelahan dibandingkan dengan shift pagi, karena menyebabkan gangguan circadianrhytthm (gangguan tidur) (Ida, 1997).

Menurut Wahyu (2004), dampak shift kerja ini bila ditinjau dari fisiologis maka dampak shift kerja malam mempengaruhi circadian rhythm atau irama


(49)

tubuh. Dimana manusia memiliki fungsi-fungsi vital tubuh yang sudah diatur sesuai dengan bioritme tersebut. Apabila bioritme tubuh terganggu karena kondisi lingkungan yang berbeda maka akan menimbulkan gangguan-gangguan pada fungsi vital tubuh yang bersangkutan. Akibat adanya stres kerja tersebut yaitu orang menjadi nervous, merasakan kecemasan yang kronis, peningkatan ketegangan pada emosi, proses berfikir dan kondisi fisik individu. Selain itu, sebagai hasil dari adanya stres kerja karyawan mengalami beberapa gejala stres yang dapat mengancam dan mengganggu pelaksanaan kerja mereka, seperti: mudah marah dan agresi, tidak dapat relaks, emosi yang tidak stabil, sikap tidak mau bekerjasama, perasaan tidak mau terlibat, dan kesulitan dalam masalah tidur.

2.4 Beban Kerja.

Beban kerja berlebih dan beban kerja terlalu sedikit merupakan pembangkit stres. Beban kerja dapat dibedakan lebih lanjut kedalam beban kerja berlebih/terlalu sedikit ”kuantitatif”, yang timbul sebagai akibat dari tugas-tugas yang terlalu banyak / sedikit diberikan kepada tenaga kerja untuk diselesaikan dalam waktu tertentu, dan beban kerja berlebih / terlalu sedikit ”kualitatif”, yaitu jika orang merasa tidak mampu untuk melakukan suatu tugas, atau tugas tidak menggunakan keterampilan dan atau potensi dari tenaga kerja.


(50)

Disamping itu beban kerja berlebih kuantitatif dan kualitatif dapat menimbulkan kebutuhan untuk bekerja selama jumlah jam yang sangat banyak, yang merupakan sumber tambahan terjadi stres.

Everly dan Girdano (dalam Munandar, 2001) menambahkan kategori lain dari beban kerja, yaitu kombinasi dari beban kerja berlebih kuantitatif dan kualitatif. Beban kerja berlebih secara fisik maupun mental, yaitu harus melakukan terlalu banyak hal, merupakan kemungkinan sumber stres pekerjaan. Unsur yang menimbulkan beban berlebih ialah desakan waktu, yaitu setiap tugas diharapkan dapat diselesaikan secepat mungkin secara tepat dan cermat. Pada saat-saat tertentu, dalam hal tertentu waktu akhir (dead line) justru dapat meningkatkan motivasi dan menghasilkan prestasi kerja yang tinggi. Namun, bila desakan waktu menyebabkan timbulnya banyak kesalahan atau menyebabkan kondisi kesehatan seseorang berkurang, maka ini merupakan cerminan adanya beban berlebih kuantitatif.

Beban kerja terlalu sedikit kualitatif merupakan keadaan dimana tenaga kerja tidak diberi peluang untuk menggunakan keterampilan yang diperolehnya, atau untuk mengembangkan kecakapan potensialnya secara penuh. Beban terlalu sedikit disebabkan kurang adanya rangsangan akan mengarah ke semangat dan motivasi yang rendah untuk kerja.


(51)

Tenaga kerja akan merasa bahwa ia ”tidak maju-maju”, dan merasa tidak berdaya untuk memperlihatkan bakat dan keterampilannya (Suther land dan Cooper dalam Munandar (2001).

a .Overload

Overload dapat dibedakan menjadi kuantitatif dan kualitatif. Overload secara kuantitatif, bila target kerja melebihi kemampuan pekerja yang bersangkutan. Akibatnya karyawan tersebut mudah lelah dan berada dalam emosional yang tinggi. Overload kualitatif, bila pekerjaan memiliki tingkat kesulitan atau kerumitan yang tinggi. Overload pada pekerjaan merupakan hal paling utama karena over kapasitas pasien dalam satu ruangan perawatan.

b. Pekerjaan yang sederhana

Pekerjaan yang tidak menantang dan kurang menarik bagi pekerja, pekerjaan yang rutinitas sehingga menimbulkan kebosanan, ketidakpuasan dan sebagainya. Perasaan bosan dan jenuh inilah yang membuat seorang

pekerja tidak menyenangi pekerjaannya atau terasing dari kerja (Supardi, 2007).

c. Pekerjaan berisiko tinggi

Pekerjaan yang berisiko tinggi dan berbahaya bisa mengancam bagi keselamatan jiwanya. Kebutuhan akan rasa aman merupakan faktor utama didalam diri seseorang. Bila seseorang merasa dirinya tidak aman, maka


(52)

timbul reaksi-reaksi kejiwaan seperti cemas, takut tanpa alasan dan sebagainya (Anoranga, 2006).

2.4.1. Beban Kerja Perawat di Ruang Rawat Inap

Beban kerja di perawatan rawat inap adalah perawat dituntut harus tetap ada disisi pasien untuk melakukan berbagai hal yang berkaitan dengan perawatan pasien, seperti pelayanan yang diberikan dalam keadaan sakit ringan ataupun berat yang memerlukan pemantauan serta tindakan yang terus menerus. Hal ini sesuai dengan pernyataan Azwar (1993) bahwa beban perawat pada pasien adalah menyelamatkan kehidupan dan mencegah kecacatan sehingga pasien dapat hidup.

Perawat di ruangan juga melaksanakan asuhan keperawatan selama 24 jam dan bekerja secara bergiliran/shift jaga. Dalam shift jaga, perbandingan jumlah perawat dalam satu shift jaga sering tidak seimbang dengan jumlah pasien. Akibatnya perawat sering bekerja melebihi kapasitasnya (PPNI, 2000).

Menurut Jauhari (2005) bahwa standar beban kerja perawat senantiasa harus sesuai dengan asuhan keperawatan yang berorientasi pada kebutuhan pasien. Untuk menghasilkan pelayanan yang efektif dan efisien diupayakan kesesuaian antara ketersediaan tenaga perawat dengan beban kerja yang ada.


(53)

Penelitian menunjukkan bahwa shift/kerja malam merupakan sumber utama stres bagi para pekerja (Monk dan Tepas dalam Munandar, 2001). Para pekerja shift malam lebih sering mengeluh tentang kelelahan dan gangguan perut daripada pekerja pagi / siang dan dampak dari kerja shift terhadap kebiasaan makan yang mungkin menyebabkan gangguan-gangguan perut.

Beban kerja perawat pada setiap ruang rawat inap tidak sama. Perawat bekerja sesuai dengan pedoman uraian tugas yang telah ditetapkan oleh Depkes RI (1994) yaitu pada ruangan perawatan bedah, perawat harus menyiapkan perlengkapan alat-alat atau obat-obat yang dibutuhkan pasien sebelum dan sesudah operasi, menyiapkan kebutuhan untuk pasien yang mau operasi, memelihara kebersihan dan merawat pasien sesudah operasi dan melaksanakan administrasi.

Pada ruang perawatan anak, perawat harus mempunyai keterampilan khusus atau spesialistik tentang penanganan perawatan anak misalnya pemasangan infus pada pasien anak berbeda seperti pada dewasa, mengkaji kebutuhan pasien, mengamati keadaan dan mengevaluasi perkembangan pasien, melaksanakan tindakan keperawatan pada pasien, mencatat perkembangan pasien dan kegiatan administrasi ruangan.

Beban kerja diruangan kebidanan adalah menerima dan merawat pasien yang akan bersalin, menyiapkan fasilitas kebutuhan pasien, mengamati keadaan


(54)

pasien, menjaga kebersihan pasien, melaksanakan tindakan keperawatan, menjalin komunikasi dengan pasien dan melaksanakan administrasi kebidanan. Sedangkan uraian tugas perawat di ruangan penyakit dalam adalah selain harus mengerjakan administrasi dan mencatat perkembangan pasien, perawat menyiapkan fasilitas dan peralatan yang dibutuhkan diruangan seperti peralatan emergensi, memelihara kebersihan pasien, melakukan tindakan pengobatan, melakukan penyuluhan kepada pasien mengenai penyakitnya dan bekerja sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan untuk menghindari penularan penyakit.

2.5. Keperawatan Sebagai Profesi

Keperawatan sebagai bagian integral dari pelayanan kesehatan, menentukan mutu dari pelayanan kesehatan. Tenaga keperawatan secara keseluruhan jumlahnya mendominasi tenaga kesehatan yang ada, dimana keperawatan memberikan konstribusi yang unik terhadap bentuk pelayanan kesehatan sebagai satu kesatuan yang relatif, berkelanjutan, koordinatif dan advokatif. Keperawatan sebagai suatu profesi menekankan kepada bentuk pelayanan profesional yang sesuai dengan standart dengan memperhatikan kaidah etik dan moral sehingga pelayanan yang diberikan dapat diterima oleh masyarakat dengan baik.

Perawat adalah mereka yang memiliki kemampuan dan wewenang melakukan tindakan keperawatan berdasarkan ilmu yang dimilikinya yang diperoleh melalui pendidikan keperawatan (Depkes,1992).


(55)

Menurut Schroder dalam Heater Marr (1991), perawat yang terlibat dalam meningkatkan mutu pelayanan keperawatan harus dapat melaksanakan pengkajian yang mendalam di area prakteknya dan dapat melaksanakan riset, memperlihatkan rasa tanggung jawab dalam menentukan aspek keperawatan sesuai dengan keahliannya, dapat berkomunikasi dengan rekan sejawat serta dapat menerapkan disiplin ilmunya.

Pada lokakarya nasional 1983 telah disepakati pengertian keperawatan sebagai berikut, keperawatan adalah pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan berdasarkan ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan bio psiko sosio spiritual yang komprehensif yang ditujukan kepada individu, kelompok dan masyarakat baik sakit maupun sehat yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia.

Calilista Roy (1976) mendefinisikan keperawatan merupakan definisi ilmiah yang berorientasi kepada praktik keperawatan yang memiliki sekumpulan pengetahuan untuk memberikan pelayanan kepada klien.

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa keperawatan adalah upaya pemberian pelayanan/asuhan yang bersifat humanistic dan professional, holistic berdasarkan ilmu dan kiat, standart pelayanan dengan berpegang teguh kepada kode etik yang melandasi perawat professional secara mandiri atau melalui upaya kolaborasi.


(56)

2.5.1. Asuhan Keperawatan

Dalam lokakarya Perawat Nasional tahun 1983 dirumuskan bahwa asuhan keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan, didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan bio-psiko-sosial-spritual yang komprehensif, ditujukan kepada individu, keluarga dan masyarakat baik sakit maupun sehat yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia.

Pelayanan keperawatan berupa bantuan, diberikan karena adanya kelemahan fisik dan mental, keterbatasan pengetahuan serta kurangnya kemauan menuju kepada kemampuan melaksanakan kegiatan hidurp sehari-hari secara mandiri (Ibrahim, 1984). Tujuan asuhan keperawatan ini adalah untuk meningkatkan derajat kesehatan individu, keluarga, kelompok khusus dan masyarakat secara keseluruhan serta meningkatkan kemampuan dalam upaya memelihara kesehatannya, sehingga dapat mencapai derajat kesehatan yang optimal.

Dalam memberikan asuhan kepada pasien/klien menggunakan pendekatan pemecahan masalah atau proses keperawatan. Proses keperawatan merupakan metode pemberian asuhan keperawatan kepada pasien (individu, keluarga, kelompok dan masyarakat) yang logis, sistematis dan teratur (Budi Ana Keliat, 1993).


(57)

Seorang perawat dalam memberikan asuhan keperawatan harus mempunyai keterampilan dan kemampuan yang baik dalam menjalankan profesinya, biasanya seorang perawat yang kurang terampil dan profesional akan lebih mudah mengalami stres kerja.

2.5.2. Kompetensi Perawat Profesional

Kelompok kerja Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia di tahun 2001 merumuskan kompetensi yang harus dicapai oleh perawat profesional adalah sebagai berikut:

1. Menunjukkan landasan pengetahuan yang memadai untuk praktek yang aman 2. Berfungsi sesuai dengan peraturan/undang-undang ketentuan lain yang

mempengaruhi praktik keperawatan.

3. Memelihara lingkungan fisik dan psikososial untuk meningkatkan keamanan, kenyamanan dan kesehatan yang optimal.

4. Mengenal kemampuan diri sendiri dan tingkat kompetensi profesional

5. Melaksanakan pengkajian keperawatan secara komprehensif dan akurat pada individu dan kelompok di berbagai tatanan.

6. Merumuskan kewenangan keperawatan melalui konsultasi dengan individu/kelompok dengan memperhitungkan regimen terapeutik anggota lainnya dari tim kesehatan.


(58)

8. Mengevaluasi perkembangan terhadap hasil yang diharapkan dan meninjau kembali sesuai data evaluasi.

9. Bertindak untuk meningkatkan martabat dan integritas individu dan kelompok 10. Membantu individu atau kelompok membuat keputusan berdasarkan

informasi yang dimiliki.

2.5.3. Hak-Hak Perawat

Perawat mempunyai hak yang sama dengan yang umumnya diberikan masyarakat pada semua orang. Tetapi disamping itu, umumnya disepakati bahwa para perawat juga mempunyai hak profesional, dimana hak profesional perawat menurut Claire Fagin (1975) adalah sebagai berikut:

1. Hak memperoleh marbatat dalam rangka mengekspresikan dan meningkatkan dirinya melalui penggunaan kemampuan khususnya dan sesuai dengan latar belakang pendidikannya.

2. Hak memperoleh pengakuan sehubungan dengan konstribusinya melalui ketetapan yang diberikan lingkungan untuk praktik yang dijalankan serta imbalan ekonomi sehubungan dengan profesinal.

3. Hak mendapatkan lingkungan kerja dengan stres fisik dan emosional serta risiko kerja yang seminimal mungkin

4. Hak untuk melakukan praktik-praktik profesi dalam batas-batas hukum yang berlaku


(1)

kerja. Stressor yang sama dapat dipersepsi secara berbeda, yaitu dapat sebagai peristiwa yang positif dan tidak berbahaya, atau menjadi peristiwa yang berbahaya dan mengancam. Penilaian kognitif individu dalam hal ini nampaknya sangat menentukan apakah stressor itu dapat berakibat positif atau negatif. Penilaian kognitif tersebut sangat berpengaruh terhadap respon yang akan muncul (Selye, 1956). Penilaian kognitif bersifat individual differences, maksudnya adalah berbeda pada masing-masing individu. Perbedaan ini disebabkan oleh banyak faktor. Penilaian kognitif itu, bisa mengubah cara pandang akan stres. Dimana stres diubah bentuk menjadi suatu cara pandang yang positif terhadap diri dalam menghadapi situasi yang stressful. Sehingga respon terhadap stressor bisa menghasilkan outcome yang lebih baik bagi individu.

Rumah sakit Umum Kabanjahe adalah Rumah Sakit yang memberikan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat di daerah sekitar lokasi Rumah Sakit tersebut. Unit perawatan rawat inap yang ada di Rumah Sakit Umum Kabanjahe, terdiri dari Ruang Perawatan Bedah, Ruang Perwatan Anak, Ruang Perawatan Kebidanan dan Perawatan Dewasa. Berdasarkan data Rumah Sakit Umum Kabanjahe Kabupaten Karo (2008) terdapat 58 perawat di ruang Rawat Inap yang tersebar di ruang rawat bedah 9 orang, di ruang perawatan kebidanan 10 orang, di ruang perawatan anak 10 orang, dan di ruang perawatan dewasa 29 orang. Perawat jaga dibagi dalam 3 shift kerja yaitu pagi dari jam 08.00 Wib-14.00 Wib, siang dari 14.00 Wib -21.00 Wib, malam dari jam 21.00 Wib -08.00 Wib.

Hasil wawancara pada uji pendahuluan yang dilakukan pada perawat ruang rawat inap di rumah sakit tersebut yang mengalami stres kerja. Hal ini terlihat dengan banyaknya keluhan nyeri otot dan sendi, mudah marah, sulit konsentrasi, apatis, perasaan lelah, dan

nafsu makan menurun. Menurut Anoraga (2001), hal ini merupakan gejala-gejala stres kerja. Untuk mencegah keluhan yang ada maka perlu adanya sutua penelitian yang berkaitan dengan hubungan beban kerja dan kondisi kerja dengan stres kerja perawat di ruang rawat inap rumah sakit umum Kabanjahe Kabupaten Karo.

Metode Penelitian

Jenis penelitian berupa penelitian analitik dengan disain cross sectional (potong lintang) untuk mengetahui pengaruh beban kerja dan kondisi kerja terhadap stres kerja pada perawat ruangan Rumah Sakit Umum Kaban Jahe. Pendekatan cross sectional adalah suatu pendekatan yang bersifat sesaat pada suatu waktu dan tidak diikuti terus-menerus dalam kurun waktu tertentu.

Penelitian selama 6 bulan dari bulan Nopember 2009 sampai dengan April 2010.

Populasi dalam penelitian adalah semua perawat di ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Kabanjahe yang berjumlah 58 orang. (total sampling)

Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara berpedoman pada kuesioner. Analisis data menggunakan uji regresi linear ganda dengan pada tingkat kepercayaan 95%.

Hasil dan Pembahasan

1. Tingkat Kondisi Kerja Perawat Kondisi kerja perawat ruangan RS Umum Kabanjahe dapat di pengaruhi baik oleh lingkungan fisik kerja dan kondisi lama waktu kerja,yang dapat mempengaruhi sikap dan prilaku perawat tersebut

Kondisi kerja perawat ruangan RS umum disetiap ruangan kerja dibagi tiga kategori yaitu : Tidak menyenangkan,


(2)

Kurang menyenangkan dan Menyenangkan.

Hasil penelitian menunjukkan kondisi kerja yang paling banyak pada kategori tidak menyenangkan yaitu : 41 orang (70,7%) dan kategori kurang menyenangkan 17 orang (29,3%) serta kategori menyenangkan tidak ditemukan 2. Tingkat Beban Kerja Perawat

Beban kerja perawat ruangan dapat berupa beban kerja fisik dan beban kerja mental yang dikembangkan dalam 15 item pertanyaan dengan kategori:beban kerja ringan,beban kerja sedang dan beban kerja berat.

Hasil Penelitian Menunjukkan bahwa pada perawat ruangan RS Umum Kabanjahe beban kerja ringan sebesar 14 orang (24,1%), tingkat beban kerja sedang sebesar 38 orang (65,5%), dan tingkat beban kerja berat sebesar 6 orang (10,3%). 3. Tingkat Stes kerja perawat ruangan Indikator yang dipergunakan dalam pengukuran stres kerja perawat ruangan menjadi tiga aspek yakni gejala psikologis,gejala fisik dan prilaku yang dikembangkan dalam 30 item pertanyaan dengan kategori ringan,sedang dan berat.

Hasil Penelitian menunjukkan bahwa pada perawat ruangan stres kerja sedang sebesar 20 orang (34,5%), tingkat stres kerja ringan sebesar 38 orang (65,5%) dan stres berat tidak ditemukan.

Perbedaan Beban Kerja, Kondisi Kerja dan Stres Kerja Perawat di tiap Ruangan.

1. Perbedaan Kondisi kerja di tiap ruangan

Perbedaan kondisi kerja di tiap ruangan kerja bila dilihat persentasenya yang terbagi menjadi kategori menyenangkan, kurang menyenangkan dan tidak menyenangkan maka diperoleh

hasil kondisi kerja yang paling tidak menyenangkan seluruhnya (100%) ditemukan pada ruangan obgyn.

2. Perbedaan beban kerja di tiap ruangan

Perbedaan beban kerja di tiap ruangan bila dilihat persentasenya yang dibagi menjadi ringan, sedang, berat dapat diperoleh hasil ruangan yang memiliki kategori beban kerja berat terdapat diruangan obgyn (50%) kemudian diikuti dengan ruangan bedah (5,9%) ruangan anak (14,3%) dan interna (0,0%). Sedangkan beban kerja yang ringan terdapat di ruangan bedah (47,1%) kemudian diikuti dengan ruangan anak (14,3%), ruangan obgyn (0,0%) dan ruangan interna (19,0%).

3. Perbedaan Stres kerja perawat di tiap ruangan

Perbedaan stres kerja di tiap ruangan bila dilihat hasil persentasenya yang dikategorikan menjadi stres kerja ringan, sedang dan berat dimana ruangan yang memiliki stres kerja berat tidak ditemukan. Sedangkan ruangan yang memiliki stres kerja ringan pada ruangan bedah (88,2%) kemudian diikuti ruangan obgyn (50,0%) ruang anak (42,9%) dan ruangan interna (66,7%).

5.2.Pengaruh Kondisi Kerja terhadap Stres kerja

Perawat ruangan yang mengalami kondisi kerja yang tidak menyenangkan mengalami stres ringan sebanyak 33 orang (80,5%), stres sedang sebanyak 8 orang (19,5%), sedangkan pada kondisi kerja kurang menyenangkan mengalami stres ringan sebanyak 5 orang (29,4%), stres -sedang sebanyak 12 orang (70,6%) dan yang mengalami stres berat tidak ditemukan.

Sedangkan kondisi yang menyenangkan tidak ada ditemukan


(3)

mengalami stres kerja,baik ringan,sedang maupun berat.

Hasil uji chi-square bahwa pengaruh antara kondisi kerja terhadap stres kerja menunjukkan adanya hubungan yang bermakna dengan nilai p : 0,001 atau (p<0,05) berarti ada pengaruh yang signifikan antara kondisi kerja dengan stress kerja. Perawat ruangan yang kondisi kerja kurang menyenangkan lebih banyak mengalami stres kerja ringan sebanyak 5 orang (29,4%), stres sedang 12 orang (70,6%), dan stres berat tidak ditemukan, sedangkan pada kondisi kerja tidak menyenangkan mengalami stres ringan sebanyak 33 orang (80,5%), stres sedang sebanyak 8 orang (19,5%) dan stres berat tidak ditemukan. Pada kondisi kerja menyenangkan stres ringan , stres sedang dan stres berat tidak ditemukan.

Menurut Frasser (1997) 74% Perawat mengeluh dan kesal terhadap lingkungan yang menuntut kekuatan fisik dan keterampilan, hal ini merupakan penyebab stres perawat.

Menurut Anoraga (2006), akibat kompleknya permasalahan yang timbul dari kondisi kerja di RS yang mencakup lingkungan kerja secara fisik dan sosial misalnya hubungan dengan teman sekerja, hubungan atasan dengan bawahan dan rasa aman bagi perkeja itu sendiri saat melakukan pekerjaan.

Kondisi lingkungan fisik dapat berupa suhu yang terlalu panas, terlalu dingin, terlalu sesak, kurang cahaya, dan semacamnya. Ruangan yang terlalu panas menyebabkan ketidaknyamanan selama menjalankan pekerjaannya, begitu juga ruangan yang terlalu dingin. Panas bukan hanya dalam pengertian temperatur udara tetapi juga sirkulasi atau arus udara. Disamping itu, kebisingan juga mengambil andil tidak kecil munculnya stres kerja, sebab beberapa orang sangat sensitif pada kebisingan dibanding yang lain (Margiati, 1999).

Kondisi kerja pada ruangan obgyn dari hasil penelitian ditemukan kondisi

kerja yang tidak menyenangkan, hal ini berkaitan dengan tugas perawat kebidanan dalam menerima dan merawat pasien yang akan bersalin dan harus dapat menghadapi sekaligus menenangkan kecemasan pasien dan keluarga pasien dengan baik.

5.3.Pengaruh Beban Kerja terhadap Stres kerja

Perawat ruangan RSU Kabanjahe yang mengalami beban kerja ringan mengalami stres ringan sebanyak 12 orang (85,7%), stres sedang sebanyak 2 orang (14,3%) dan stres berat tidak ditemukan. Sedangkan pada beban kerja yang sedang yang mengalami stres ringan sebanyak 26 orang (68,4%) stres sedang sebanyak 12 orang (31,6%) dan stres berat tidak ditemukan. Sedangkan beban kerja yang berat seluruhnya(100%) hanya mengalami stres sedang.

Hasil uji chi-square bahwa pengaruh antara beban kerja terhadap stres kerja menunjukkan adanya pengaruh yang bermakna dengan nilai p = 0,001 atau (p<0,05) berarti ada pengaruh yang signifikan antara beban kerja terhadap stres kerja, perawat ruangan yang beban kerja ringan mengalami stres kerja ringan sebanyak 12 orang (85,7%), stres sedang sebanyak 2 orang (14,3%), stres berat tidak ditemukan, sedangkan yang mengalami beban kerja sedang mengalami stres ringan sebanyak 26 orang (68,4%), stres sedang sebanyak 12 orang (31,6%) dan stres berat tidak ditemukan. Pada beban kerja yang berat seluruhnya (100%) mengalami stres sedang.

Menurut Everly dan Giordana (Munandar, 2001), beban kerja secara kuantitatif dan kualitatif merupakan kemungkinan sumber stres pekerjaan, yang termasuk juga beban kerja berlebih secara fisik maupun mental, yaitu harus terlalu banyak melakukan banyak hal.

Perawat diruangan juga melaksanakan asuhan keperawatan selama


(4)

24 jam dan bekerja secara bergiliran / shift jaga. Shift jaga sering tidak seimbang dengan jumlah pasien akibatnya perawat sering bekerja melebihi kapasitasnya (PPNI, 2000).

Hasil uji regresi linier ganda pada variabel hubungan beban kerja dan kondisi dengan stres kerja pada perawat di instalasi rawat inap RSU Kabanjahe, dapata diuraikan bahwa nilai koefisien (B) beban kerja = 0,912 dan kondisi kerja 1,275, dengan nilai konstanta 14,083, maka diperoleh persamaan regresi linier yaitu :

Y = -14,083 + 0,912 (BK) + 1,275 (KK) Penjelasan dari persamaan tersebut adalah jika ada penambahan satu point beban kerja terhadap perawat maka akan terjadi peningkatan stres kerja sebesar 0,912, begitu juga jika ada penambahan satu point pada kondisi kerja parawat maka akan terjadi peningkatan stres kerja sebesar 1,275.

Dari uji statistik diketahui bahwa pada variabel beban kerja memperoleh hasil p (0,000) < α (0,05) dan variabel kondisi kerja memperoleh hasil p (0,000) < α (0,05) , dengan demikian dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa ada hubungan yang bermakna antara beban kerja dan kondisi kerja dengan terjadinya stres kerja.

Setelah kedua variabel dianalisis secara multivariat, ternyata yang paling dominan berpengaruh terhadap stres kerja adalah aspek kondisi kerja.

5.4.Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini mempunyai keterbatasan pada proses pengumpulan data. Pengumpulan data dilakukan pada saat responden melaksanakan tugas, sehingga sering terjadi interupsi pada saat pengisian kuesioner. Hal ini dapat menyebabkan konsentrasi terganggu, sehingga pengisian kuesioner terburu-buru yang berdampak terhadap kualitas

jawaban dari responden. Upaya untu mengantisipasinya adalah melakukan pengisian kuesioner diantara pertukaran shif jaga.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan, penulis menarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Terdapat pengaruh yang bermakna antara kondisi kerja (p=0,000) terhadap stres kerja di ruang rawat inap RSU Kabanjahe Tahun 2009 2. Terdapat pengaruh yang bermakna

antara beban kerja (p=0,000) terhadap stres kerja diruang rawat inap RSU Kabanjahe Tahun 2009.

3. Terdapat pengaruh yang bermakna antara beban kerja dan kondisi kerja terhadap stres kerja perawat ruang rawat inap, dan variabel kondisi kerja paling dominan mempengaruhi stres kerja perawat RSU Kabanjahe.

Disarankan

Berdasarkan dari penelitian yang dilakukan dan untuk menanggulangi stres kerja pada perawat ruangan maka sebagai saran yang direkomendasikan:

1. Kepada Manajemen RSU Kabanjahe perlu menerapkan rotasi kerja secara periodik bagi perawat di ruang perawatan RS Umum Kabanjahe sehingga tidak menimbulkan kejenuhan pada perawat apabila bekerja pada satu ruangan pada jangka waktu lama yang dapat menimbulkan stres kerja, selain itu rotasi kerja dapat menumbulkan motivasi kerja bagi perawat ruang perawatan.

2. Kepada Manajemen RSU Kabanjahe perlu menciptakan kondisi kerja yang menyenangkan terutama diruangan obgyn dengan berbagai hal seperti


(5)

memperluas ruangan kerja perawat, memperhatikan hak perawat.

3. Kepada Manajemen RSU Kabanjahe agar mengadakan pelatihan secara berkala terhadap perawat.

4. Kepada Perawat ruangan RSU Kabanjahe agar menciptakan kondisi yang menyenangkan perawat agar tetap santai dalam menghadapi kesibukan melayani pasien yang akan melahirkan diruang perawatan terutama ruangan obgyn dan dapat bekerja sama dengan pegawai yang lain.

5. Kepada Perawat ruangan RSU Kabanjahe, agar meningkatkan pengetahuan yang berhubungan dengan perawatan pasien di Rumah Sakit.

Daftar Pustaka

Anies, Penyakit Akibat Kerja, Berbagai Penyakit Akibat Lingkungan Kerja dan Upaya Penanggulangannya. PT.Elex-medika Komputindo, Jakarta, 2005.

Anonyus, 2008, Hubungan Stres Kerja dengan Prestasi Kerja, http//bsf.Bawean info/ bsf /page id.64 diakses tanggal 22 Januari 2010.

Anonymous, 2008. Mengelola Stres Kerja, http//www.Balihusada com.Diakses tanggal 25 Januari 2010. Anoraga, P. Psikologi Kerja, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.2001

A.Azis Alinul Hidayat, Pengantar Konsep Dasar Keperawatan, ed.2. Penerbit Salemba Medika, 2002.

Bakeer, dkk.Penelitian Stress Kerja, E.Psikologi.Com, Team E-Psikologi, Informasi Psikologi On-Line, Jakarta.1987

Dadang Hawari, 2006, Management Stres, Cemas dan Depresi, Gaya Baru, Jakarta.

Depkes RI, Pedoman Teknis Upaya Kesehatan Kerja di Rumah Sakit, Dep-Kes, 1996.

Djodibroto, R.H. Kiat Mengelola Rumah Sakit, Hipolenates, Jakarta, 1997.

Fraser, Stres dan Kepuasan Kerja, PT. Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta, 1992.

Gaffar La Ode, Pengantar Keperawatan Profesional, EGC, 1999.

Hanid, A.Y.Rencana Strategi Keperawatan, PPNI, 2001.

Kurniawan, D, 1995, Kemaknaan Nadi Kerja Sebagai Parameter Pembebanan. Majalah dan Hiperkes dan Keselamatan Kerja. Jakarta XXVIII (2) : 20-25.

Manuaba, A, 2000, Ergonomi, Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Dalam : Wigny Osvebroto, S & Wiratno, SE, Eds, Procendings Seminar Nasional Ergonomi. PT. Guna Widya, Surabaya : 1-4.

Marr Heater H, Giebing, Penjamin Kualitas Dalam Keperawatan, EGC, Jakarta 1991.

Nursallam, Proses dan Dokumentasi Keperawatan Konsep dan Praktek, Penerbit Salemba, Jakarta. 2002

Nursalam, Management Keperawatan, Ed.I Surabaya, Salemba medika, 2002.

Notoatmodjo, 2003, Metodologi Penelitian Kesehatan, Cetakan Pertama, PT.Rineka Cipta, Jakarta.


(6)

 

Priharojo Robert, Praktek Keperawatan Profesional, EGC, 1995.

Rice, PL, 1992, Stress and Health 2nnd ed,Pasifik Grove, California, Brooks /Cole.

Rumah Sakit Umum Kabanjahe “Profil Rumah Sakit Umum Kabanjahe” Tahun 2008.

Saifuddin Azwar, 1999. Penyusunan Skala Psikologi, Penerbit Pustaka PelajaR Pelantikan.

Scholler, 2002, Penelitian Dampak Stres, E-psikologi, Com.Team E-Psikologi Informasi, Psikologi Online, Jakarta. Suma’mur, P.K.1982, Ergonomi Untuk

Produktivitas kerja, Yayasan Swabhawa Karya, Jakarta.

__________, P.K. 1984, Higiene Perusahaan dan Kesehatan kerja, Cet-4, Penerbit P.T.Gunung Agung, Jakarta:82-92.

Sunadi Suryabrata, 2008. Alat Ukur Psikologi, Penerbit Andi. Yogyakarta. Supardi, 2007, Analisis Stres pada kondisi kerja dan Beban kerja perawat dalam klasifikasi pasien di ruang rawat Inap Rumkit Tk.II Putri Hijau Kesdam I/BB Medan, USU.

Surat Keputusan Menkes RI No. 983 /Menkes /SK/IX /1992, Tentang Pedoman Organisasi RS Umum, 1992.