ditimbulkan oleh nafsu amarahnya, yang lazimdisebut mujâhadah al- nafs.
32
Berkaitan dengan ini, Allah SWT. Berfirman:
“Dan orang-orang yang berjihad untuk mencari keridhaan Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan
Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang- orang yang berbuat baik.”
QS. Al-Ankabut, 29: 69. Indikator dari keberhasilan mujâhadah adalah munculnya kebiasaan dari
seseorang untuk menghiasi dirinya dengan dzikrullah sebagai cara untuk membersihkan hatinya dan sebagai upaya untuk mencapai musyahadah
merasakan adanya kehadiran Allah.
33
Adapun riyâdhah artinya ―latihan‖. Maksudnya adalah latihan rohaniah
untuk menyucikan jiwa dengan memerangi keinginan-keinginan jasad badan. Proses yang dilakukan adalah dengan jalan melakukan pembersihan atau
pengosongan jiwa dari segala sesuatu selain Allah, kemudian menghiasi jiwanya dengan zikir, ibadah, beramal saleh dan berakhlak mulia. Pekerjaan yang
termasuk kedalam amalan riyâdhah adalah mengurangi makan, mengurangi tidur untuk salat malam, menghindari ucapan yang tidak berguna, dan berkhalwat yaitu
menjauhi pergaulan dengan orang banyak diisi dengan ibadah, agar bisa terhindar dari perbuatan dosa.
34
Tujuan riyâdhah adalah untuk mengontrol diri, baik jiwanya maupun badannya, agar roh tetap suci.
35
Oleh karena itu, riyâdhah haruslah dilakukan secara sungguh-sungguh dan penuh dengan kerelaan.Riyâdhah yang dilakukan
dengan kesungguhan dapat menjaga seseorang dari berbuat kesalahan, baik terhadap manusia ataupun makhluk lainnya, terutama terhadap Allah Swt. Bagi
seorang sufi riyâdhah merupakan sarana untuk mengantarkan dirinya lebih lanjut pada tingkat kesempurnaan, yaitu mencapai hakekat.
36 32
Achmad Suyuti, Percik-Percik Kesufian,Jakarta: Pustaka Amani, 2006, h. 125.
33
Labib MZ, Memahami Ajaran Tasawuf, Surabaya: Bintang Usaha Jaya, 2001, h. 39.
34
Achmad Suyuti, op.cit., h.125-126.
35
Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta: Raja Grafndo, 1994, h. 17.
36
S. Al Aziz dan Moh. Saifulloh. Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya: Terbit Terang, 1998, h. 104.
Mujâhadah dan riyâdhah yang dilakukan akan mendatangkan cahaya di dalam kalbu seseorang. Dengan kesungguhan ber-mujâhadah dan ber-riyâdhah,
Allah akan menumbuhkan rasa manisnya amal ibadah di hati, sehingga ia semakin tekun beribadah. Iabenar-benar akan merasakan nikmatnya shalat, puasa, zikir,
dan ketaatan lainnya. Dan akhirnya Allah akan menumbuhkan dalam dirinya sifat- sifat terpuji, seperti ikhlas,
tuma’ninah, sabar, jujur, istiqamah dan selalu gemar beribadah. Bagi seseorang yang sudah bersungguh-sungguh melakukan
mujâhadah dalam ibadahnya, biasanya akan menerima nur dari Allah yang datang ke hatinya, sehingga hati itu mengalami keadaan hâl yang bermacam-macam.
Ada yang merasakan keresahan dan ketakutan yang sangat kepada Allah, atau rasa cinta yang besar kepada Allah, atau munculnya rasa kasih sayang kepada semua
makhluk Allah, atau menimbulkan gairah menegakkan agama Allah, dan bahkan ada yang mendapatkan kasyf tersingkapnya rahasia batin atau musyâhadah.
Sebagaimana menurut al-Ghazali di atas, tazkiyah al-nafs, mujâhadah dan riyâdhahadalah strategi dalam melahirkan akhlak yang mulia juga merupakan
latihan rohaniah dalam rangka menyucikan jiwa, agar hati diliputi nur Ilahiah, tersingkapnya rahasia batin mukâsyafah, merasakan nikmat dan lezatnya
beribadah. Dalam buku Berbisnis Dengan Allah, al-Ghazali mengemukakan,
sesungguhnya tujuan mujahadah dan riyadlah dengan melakukan amal shalih adalah untuk menyempurnakan dan mensucikan jiwa serta untuk mendidik
akhlak. Jiwa dan tubuh bersifat saling mempengaruhi, apabila jiwa sempurna dan suci maka perbuatan tubuh akan baik, begitu juga apabila tubuh baik maka jiwa
akan baik.
37
Jadi, strategi untuk menyucikan jiwa adalah dengan membiasakan diri untuk melakukan perbuatan yang dilakukan oleh jiwa yang suci dan sempurna.
Apabila hal tersebut dilakukan dengan terus-menerus, maka jiwa akan terbiasa dan selalu terdorong untuk melakukan perbuatan yang baik dan sempurna dan
akan menjadi perangai dan akhlak baginya.
37
Imam Al-Ghazali, Berbisnis Dengan Allah, Terj. Ahmad Farnk, Surabaya: Pustaka Progressif, 2002, h. 93.
Setiap orang dalam hidupnya bercita-cita memperolehkebahagiaan.Salah satu dari kebahagiaan adalah orang yang menyucikandirinya, yaitu suci dari sifat
dan perangai buruk, suci lahir dan bathin.Sebaliknya, jiwa yang kotor dan perangai yang tercela membawakesengsaraan di dunia dan di akhirat.Dengan
melaksanakan strategi pembinaan akhlak ini diharapkan segala kebahagiaan dapat diraih baik kebahagiaan dunia maupun kebahagiaan akhirat.
4. Alat yang Efektif dalam Pembinaan Akhlak
Menurut Al-Ghazali, Ibnu Sina, dan Ibnu Miskawaih mengatakan bahwa akhlak adalah hasil usaha Muktasabah. Pada kenyataan di lapangan, usaha-usaha
pembinaan akhlak melalui berbagai macam cara terus dikembangkan. Ini menunjukkan bahwa akhlak memang perlu dibina dan pembinaan ini membawa
hasil berupa terbentuknya pribadi-pribadi Muslim yang berakhlak mulia, taat kepada Allah dan Rasul-Nya, hormat kepada ibu-bapak, sayang kepada sesama
makhluk Tuhan.
38
Di kalangan ahli tasawuf dikenal sistem pembinaan mental, dengan istilah takhalli, tahalli, dan tajalli.Takhalli adalah mengosongkan atau membersihkan
jiwa dari sifat-sifat tercela, karena sifat itulah yang dapat mengotori jiwa manusia.Tahalli adalah mengisi jiwa dengan sifat-sifat yang terpuji
mahmudah.
39
Jadi, dalam rangka pembinaan mental atau terapi kesehatan, penyucian jiwa hingga dapat berada dekat dengan Tuhan, maka pertama kali yang
dilakukan adalah pembersihan jiwa dari sifat-sifat tercela, kemudian jiwa yang bersih diisi dengan sifat-sifat terpuji, hingga akhirnya sampailah pada tingkat
yang berikutnya yang disebut dengan tajalli, yaitu tersingkapnya tabir sehingga diperoleh pancaran Nur Ilaahi.
40
Dalam pendidikan Islam banyak metode yang diterapkan dan digunakan dalam pembinaan akhlak.Menurut Abdurrahman An-nahlawy alat yang efektif
38
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003h. 156-157
39
M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlak Dalam Perspektif Al- Qur’an, Jakarta:Amzah,
2007, h. 38
40
ibid, h. 25
untuk pembinaan akhlak diantaranya yaitu keteladanan, pembiasaan, nasihat dan mendidik melalui kedisiplinan.
a. Keteladanan
Pada dasarnya, kebutuhan manusia akan figur teladan bersumber dari kecenderungan meniru yang sudah menjadi karakter manusia.
Peniruan bersumber dari kondisi mental seseorang yang senantiasa merasa bahwa dirinya berada dalam perasaan yang sama dengan
kelompok lain empati sehingga dalam peniruan ini, anak-anak cenderung meniru orang dewasa, kaum lemah cenderung meniru kaum
kuat, serta bawahan cenderung meniru atasannya.
41
Pendidikan dengan keteladanan berarti pendidikan dengan memberikan contoh, baik berupa tingkah laku, sifat, cara berfikir, dan
sebagainya. Mayoritas ahli pendidikan berpendapat bahwa pendidikan dengan keteladanan merupakan metode yang paling berhasil.Hal ini
disebabkan karena pada umumnya dalam belajar lebih mudah menangkap yang konkrit dibandingkan yang abstrak.
42
Abdullah Ulwan mengatakan bahwa pendidik akan merasa lebih mudah mengkomunikasikan pesannya secara lisan. Akan tetapi anak
didik akan merasa kesulitan dalam memahami pesan itu jika melihat pendidiknya
tidak memberi
contoh tentang
pesan yang
disampaikannya.
43
Untuk itu Allah mengutus Nabi Muhammad SAW sebagai hamba dan Rasul-Nya menjadi teladan bagi manusia dalam mewujudkan tujuan
pendidikan Islam
44
, melalui firman-Nya ini:
41
Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Sekolah, Rumah dan Masyarakat, Jakarta: Gema Insani, 1995h. 263
42
Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999, h. 178
43
Abdullah Alwan, Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam, Beirut: Dar-al-Salam, 1978, h. 633
44
Abdurrahman An-Nahlawi, op.cit, h. 260
“Sesungguhnya Telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik……”. Q.S. Al-Ahzab: 21
b. Pembiasaan
Pembiasaan merupakan proses penanaman kebiasaan.Yang dimaksud dengan kebiasaan adalah cara-cara bertindak dan hampir-
hampir otomatis hampir-hampir tidak disadari oleh pelakunya. Pembiasaan merupakan salah satu metode pendidikan yang sangat
penting, terutama bagi anak-anak, karena belum mengenal mana yang baik dan buruk. Seseorang yang telah mempunyai kebiasaan tertentu
akan dapat melaksanakannya dengan mudah dan senang hati. Bahkan segala sesuatu yang telah menjadi kebiasaan dalam usia muda sulit untuk
diubah dan tetap berlangsung sampai hari tua.Untuk mengubahnya sering kali diperlukan terapi dan pengendalian diri yang serius.
45
Metode ini biasanya diterapkan pada ibadah-ibadah amaliah, seperti jamaah shalat, kesopanan terhadap guru, pergaulan terhadap
sesama siswa, sehingga tidak asing dijumpai disekolah, sebagaimana seorang siswa begitu hormat pada guru dan kakak seniornya, maka siswa
dilatih dan dibiasakan untuk bertindak demikian. Metode ini perlu diterapkan oleh guru dalam proses pembentukan
kepribadian, jika seorang anak telah terbiasa dengan sifat-sifat terpuji, lalu tersimpan dalam sistem otak sehingga aktifitas yang dilakukan oleh
siswa tercover secara positif. c.
Memberi Nasihat Secara etimologi, kata nasihat berasal dari bahasa arab yaitu nashaha
yang artinya bersih dari noda dan tipuan. Sedangkan yang dimaksud dengan nasihat adalah penjelasan tentang kebenaran dan kemaslahatan
dengan tujuan menghindarkan seseorang yang dinasihati dari bahaya
45
Hery Noer Aly, op.cit., h. 184-185
serta menunjukkannya kejalan yang mendatangkan kebahagiaan dan manfaat.
46
Memberi nasihat merupakan salah satu metode penting dalam pendidikan Islam.Dengan metode ini pendidik dapat menanamkan
pengaruh yang baik kedalam jiwa.Dengan metode ini pula, pendidik mempunyai kesempatan yang luas untuk mengarahkan peserta didik
kepada berbagai kebaikan dan kemaslahatan.Cara yang dilakukan hendaknya nasihat lahir dari hati yang tulus.
47
Menurut Abdurrahman An- Nahlawi nasihat yang tulus ialah orang yang memberi nasihat tidak
berorientasi kepada kepentingan material pribadi.Dan pendidik yang memberi nasihat yang tulus hendaknya menghindarkan diri dari segala
bentuk sifat riya dan pamrih agar tidak menodai keikhlasannya sehingga kewibawaannya dan pengaruhnya terhadap jiwa peserta didik tidak
menjadi hilang.
48
d. Mendidik kedisiplinan
Disiplin adalah adanya kesediaan untuk mematuhi ketentuan peraturan-peraturan yang berlaku. Kepatuhan yang dimaksud adalah
bukanlah karena paksaan tetapi kepatuhan akan dasar kesadaran tentang nilai dan pentingnya mematuhi peraturan-peraturan itu.
49
Metode ini identik dengan pemberian hukuman atau sanksi.Tujuannya adalah untuk
menumbuhkan kesadaran siswa tentang sesuatu yang dilakukan tersebut tidak benar, sehingga siswa tidak mengulanginya lagi.
Hukuman merupakan metode terburuk, tetapi dalam kondisi tertentu harus dugunakan. Oleh sebab itu, ada beberapa hal yang hendak
diperhatikan pendidik dalam menggunakan hukuman: 1
Hukuman adalah metode kuratif, yaitu tujuan hukuman ialah memperbaiki peserta didik yang melakukan kesalahan dan
46
Abdurrahman An-Nahlawi, op.cit., h. 253
47
Hery Noer Aly, op.cit., h. 191
48
Abdurrahman An-Nahlawi, op.cit., h. 253
49
M. Alisuf Sabri, Ilmu Pendidikan, Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1999, Cet. 1, h. 40
memelihara peserta didik lainnya, bukan untuk balas dendam. Oleh sebab itu, pendidik hendaknya tidak menjatuhkan hukuman dalam
keadaan marah. 2
Hukuman dapat digunakan apabila metode lain, seperti nasihat dan peringatan tidak berhasil guna dalam memperbaiki peserta didik.
Abdullah Ulwan mengemukakan langkah-langkah yang hendak diperhatikan dalam memperbaiki peserta didik. Langkah-langkah yang
dimaksud adalah mengingatkannya akan kesalahan dengan memberi pengarahan, membujuk, memberi isyarat, mencela, mengucilkan,
hukuman yang mengandung pendidikan bagi orang lain. 3
Sebelum dijatuhi hukuman, peserta didik hendaknya lebih dahulu diberi kesempatan untuk bertaubat dan memperbaiki diri.
4 Hukuman yang dijatuhkan kepada peserta didik hendaknya dapat
dimengerti olehnya, sehingga peserta didik sadar akan kesalahannya dan tidak mengulanginya lagi.
5 Hukuman psikis lebih baik dibandingkan hukuman fisik.
6 Dalam menjatuhkan hukuman, hendaknya di perhatikan prinsip logis,
yaitu hukuman yang sesuai dengan jenis kesalahan.
50
7 Hukuman hendaknya disesuaikan dengan perbedaan latar belakang
kondisi peserta didik. Abdullah Ulwan mengemukakan bahwa peserta didik mempunyai kesiapan yang berbeda-beda dalam hal kecerdasan
ataupun respon
yang dilahirkan.Demikian
pula dalam
hal tempramen.Ada peserta didik yang temperamennya tenang, ada yang
temperamennya sedang,
dan ada
pula yang
mudah bergejolak.Semuanya disebabkan oleh faktor lingkungan, kematangan,
dan pendidikan. Atas dasar itu, ada anak yang dapat diperbaiki dengan dipandang dengan muka masam, ada yang perlu dicela, dan ada pula
yang perlu dipukul.
51
50
Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam.., h. 200-202.
51
Abdullah Ulwan, Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam …h. 760-761