Ulfa Rahyunito Daulay : Aspek Hukum Secondary Mortgage Facility SMF Dalam Rangka Sekuritisasi Kredit Pemilikan Rumah KPR Perbankan, 2008.
USU Repository © 2009
UUHT tidak mengenal pencatatan HT atas nama lembaga wali amanatkustodian sebagai pemegang HT. Untuk mengatasi kendala ini, BPN sedang menyiapkan
peraturan yang memungkinkan hal tersebut untuk menunjang transaksi sekur itisasi KPR.
67
D. Kendala-kendala Hukum dalam Sekuritisasi
Permasalahan hukum yang masih menjadi kendala transaksi sekuritisasi saat ini adalah :
1. Hak Tanggungan
UU Hak Tanggungan saat ini hanya mengenal cessie tagihan secara individual, dimana balik nama pemegang Hak Tanggungan dicatat satu demi satu.
Dalam transaksi sekuritisasi, jual beli tagihan akan dijual dalam kumpulan yang besar sehingga pencatatan balik nama pemegang HT menjadi sangat tidak
efisiensi. Aspek lainnya dalam kaitan dengan HT adalah pencatatan Wali
Amanatkustodian sebagai pemegang HT. BPN selama ini dalam mencatatka pemegang HT haruslah atas nama kreditur langsung. Hal ini tidak dimungkinkan
dalam sekuritisasi yang menerbitkan EBA berbentuk Surat Partisipasi, karena pemegang EBA tersebut setiap saat dapat berubah sehingga tidak efisiensi bila
setiap pemegang EBA dicatat sebagai pemegang HT.
67
Kunarti Surya Santoso, Op. Cit. hal. 3-6.
Ulfa Rahyunito Daulay : Aspek Hukum Secondary Mortgage Facility SMF Dalam Rangka Sekuritisasi Kredit Pemilikan Rumah KPR Perbankan, 2008.
USU Repository © 2009
Dalam kaitan dengan KPR untuk tanah dan bangunan dalam luas tertentu, Peraturan Menteri Negara AgrariaKepala BPN No.4 tahun 1996 tentang
Penetapan Batas Waktu Penggunaan SKMHT untuk Menjamin Pelunasan Kredit- Kredit Tertentu memumgkinkan tanah dan bangunan tersebut tidak dipasang HT,
tetapi cukup didasarkan pada SKMHT. Akibatnya, tagihan dari KPR tersebut belum dijamin dengan HT. Pada saat portofolio KPR dialihkan, tidak ada HT
yang menjamin pembayaran atas tagihan KPR, sehingga investor tidak akan tertarik untuk membeli EBA yang pembayarannya dijamin dengan portofolio
KPR yang tidak ada jaminan HT. Adapun SKMHT yang ada diberikan kepada bank penerbit KPR
bukanlah suatu jaminan kebendaan yang dapat dialihkan kepada pihak lain seperti halnya HT yang ikut beralih demi hukum dengan beralihnya piutang yang
dijaminnya.
68
a. Syarat balik nama jaminan Hak Tanggungan
Ada 2 permasalahan Hak Tanggungan yaitu :
Jaminan Hak Tanggungan yang semula terdaftar atas nama Bank Pemberi KPR Originator yang diberikan oleh masing-masing debitur harus melalui
proses balik nama secara bertahap, yaitu dibalik nama terlebih dahulu atas nama SMC ”Tahap I”, baru kemudian dibalik nama atas nama Wali
Amanat yang mewakili para investorpemegang EBA ”Tahap II”. Mengingat transaksi sekuritisasi hanya menguntungkan bilamana mencakup
68
Kunarti Surya Santoso, Op. Cit, hal. 7-8.
Ulfa Rahyunito Daulay : Aspek Hukum Secondary Mortgage Facility SMF Dalam Rangka Sekuritisasi Kredit Pemilikan Rumah KPR Perbankan, 2008.
USU Repository © 2009
debitur-debitur dan tagihan-tagihan dalam jumlah besar agar dapat menutup biaya-biaya yang cukup tinggi untuk melakukan sekuritisasi, maka
portofolio tagihan KPR yang terdiri dari ratusan atau bahkan ribuan tagihan akan menjadi kendala besar dalam efisiensi waktu dan biaya dalam proses
balik nama yang sekarang dilakukan secara manual satu persatu dan tidak secara kolektifglobal. Untuk itu harus dimungkinkan Tahap I dan Tahap II
dilakukan secara serentak dan kolektif balik nama dapat langsung terjadi dari Bank Pemberi KPR Originator kepada Wali Amanat.
b. Tidak ditentukannya pendaftaran Hak Tanggungan. Hal ini masih dalam
kajian BPN. Diharap dipertimbangkan praktek masa lalu dimana hipotek sudah biasa didaftarkan atas nama Wali Amanat untuk Obligasi atas unjuk.
Dasarnya adalah Ordonansi op de Vergadering van Houders van Schuldbrieven aan Toonder Ordonansi Rapat Para Pemegang Surat Utang
atas Tunjuk Stb. 1973-545, tanggal 25 September 1937, berlaku sejak 4 Nopember 1937 dibawah selanjutnya disebut ”Ordonansi” yang hingga
sekarang masih berlaku. Praktek yang dianut dan berlaku dalam masa lalu ini tidak dapat diabaikan dan dihentikan dalam perkembangan perundang-
undangan.
69
2. Eksekusi Hak Tanggungan
Hal lain dalam kaitan dengan HT adalah masalah eksekusi HT. Dalam melakukan eksekusi atas HT, dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu :
69
Kunarti Surya Santoso, Op. Cit, hal. 6-7.
Ulfa Rahyunito Daulay : Aspek Hukum Secondary Mortgage Facility SMF Dalam Rangka Sekuritisasi Kredit Pemilikan Rumah KPR Perbankan, 2008.
USU Repository © 2009
a. Berdasarkan Pasal 224 HIR dengan perantaraan Pengadilan; atau
b. Berdasarkan Pasal 6 UUHT melakukan ”parate eksekusi” dengan melelang
secara langsung didepan umum. Meskipun diperkenankan oleh Pasal 6 UUHT, dalam praktek masih sering
dijumpai perlawanan dari debitur yang tidak koperatif. Selain itu, tidak memperoleh manfaat ketentuan Pasal 200 11 HIR, bilamana yang menempati
tanahbangunan tidak bersedia secara sukarela mengosongkannya, maka Pengadilan dapat mengeluarkan langsung perintah pengosongan. Akibatnya
eksekusi harus kembali melalui jalur pengadilan yang melalui proses yang panjang.
3. Pajak Masalah pajak merupakan salah satu kendala dalam sekuritisasi. Dalam
perpajakan dikenal adanya PPN dan PPH. Dalam kaitan dengan sekuritisasi, aspek pajak yang perlu segera clear adalah mengenai pengenaan PPN atas penjualan
objek pajak berupa kumpulan tagihan. Apabila dikenakan dengan tarif umum sebesar 10 , maka biaya transaksi menjadi terlalu mahal dan para investor tidak
akan tertarik untuk membeli EBA yang akan diterbitkan.
70
70
Dalam surat yang pernah dikeluarkan Direktorat Jenderal Pajak, ada kesan terhadap penjualan tegihan dalam transaksi sekurtisasi akan dikenakan perlakuan yang sama dengan PPN
yang dikenakan terhadap perusahaan factoring. Dalam transaksi factoring, yang menjadi objek pajak PPN adalah penyerahan jasa factoring yang dilakukan oleh perusahaan factoring. Tarif
efektif yang dikenakan adalah 0,5 dari fee atau diskonto yang diterima perusahaan factoring. Namun hal ini masih perlu diklarifikasi lebih lanjut dengan Direktorat Jenderal Pajak.
Ulfa Rahyunito Daulay : Aspek Hukum Secondary Mortgage Facility SMF Dalam Rangka Sekuritisasi Kredit Pemilikan Rumah KPR Perbankan, 2008.
USU Repository © 2009
4. Kelengkapan dan Standarisasi Dokumen Kredit Pemilikan Rumah KPR Untuk dapat dilakukannya sekuritisasi secara efisien dan efektif, serta cash
flow dari tagihan-tagihan yang dibayarkan secara berkala sumber pembayaran EBA tidak terganggu, diperlukan adanya standarisasi dokumentasi kredit dalam
praktek sering dijumpai didalam dokumentasi kreditnya terdapat beberapa versi perjanjian Kredit Pemilikan Rumak KPR dalam bank yang sama, sehingga akan
menyulitkan proses sekuritisasi dan eksekusi Hak Tanggungan. Hal-hal yang penting dalam melakukan standarisasi dokumentasi kredit
untuk mendukung dokumentasi kredit untuk mendukung mekanisme sekuritisasi adalah bahwa dalam tiap berkas debitur harus terdapat :
a. Perjanjian kredit yang syarat-syaratnya memadai antara lain memuat
ketentuan debitur mengetahui dan menyetujui bahwa tagihan bank terhadapnya dapat dialihkan dan berakibat beralihya kewajiban pembayaran
debitur; b.
Asli Akta Perjanjian jual beli tanah dan bangunan yang menunjukkan bahwa debitur telah membeli dengan sah tanah dan bangunan tersebut;
c. Sertifikat asli tanah dan bangunan yang sudah terdaftar atas nama debitur;
d. Sertifikat asli Hak Tanggungan yang sudah terdaftar atas nama
BankOriginator dengan jumlah yang menutup besarnya pinjaman; e.
Asli sertifikat izin Mendirikan Bangunan atas nama debitur; dan
Ulfa Rahyunito Daulay : Aspek Hukum Secondary Mortgage Facility SMF Dalam Rangka Sekuritisasi Kredit Pemilikan Rumah KPR Perbankan, 2008.
USU Repository © 2009
f. Bukti Pajak bumi dan bangunan tiap tahun telah bayar lunas.
Semua dokumen asli tersebut harus disimpan rapi dan aman oleh BankOriginator.
Yang menjadi kendala utama dalam kaitan dengan sekuritisasi adalah belum dapat dilaksanakannya jual beli, karena dalam praktek bangunan belum
selesai didirikan sehingga tanah belum atas nama pembeli. Otomatis Hak Tanggungan juga belum dapat dipasang sehingga menghambat pelaksanaan
sekuritisasi. Selain itu, tagihan yang timbul dari Kredit Pemilikan Rumah KPR yang belum dijamin dapat menyebabkan rating atas EBA yang diterbitkan
menjadi rendah sehingga kurang menarik investor untuk membelinya.
71
71
Kunarti Surya Santoso, Op. Cit. hal 8-9.
5. Peran Wali Amanat Pengertian Wali Amanat sebenarnya sudah disinggung dalam Ordonansi.
Ordonansi menentukan bahwa sertifikat utang yang dikeluarkan ”onder trustverband” bilamana dalam ”trust akte” ada mengatur penyelenggaraan rapat-
rapat pemegang sertifikat utang, maka tidak tunduk pada ketentuan Ordonansi yang mengharuskan minta izin dari pengadilan untuk mengadakan rapat. Jadi jauh
sebelum adanya peraturan pasar modal, institusi Wali Amanat sudah dikenal dalam praktek transaksi obligasi yang dijual malalui ”private placement” dan
pemberian jaminan hipotik dan fidusia atas nama Wali Amanat untuk kepentingan para investor.
Ulfa Rahyunito Daulay : Aspek Hukum Secondary Mortgage Facility SMF Dalam Rangka Sekuritisasi Kredit Pemilikan Rumah KPR Perbankan, 2008.
USU Repository © 2009
Di antara kalangan pemain pasar modal sekarang telah disinyalir timbulnya persepsi bahwa bilamana obligasi dikeluarkan sebagai ”private
placement”, Wali Amanat tidak mempunyai peranan dan tidak diperlukan karena menurut hemat mereka, pengertian Wali Amanat hanya didasarkan pada Undang-
Undang Pasar Modal No. 51995 yang mengatur fumgsi Wali Amanat dalam kaitan penjualan efek melalui penawaran umum. Persepsi demikian tidak benar
dan tidak memperhatikan sejarah hukum mengenai institusi Wali Amanat dan fungsinya dalam melakukan proteksi kepentingan para pemodal untuk efek yang
dijual melalui private placement. Transaksi pengeluaran efek dengan ”private placement” tetap memerlukan
fungsi dan proteksi Wali Amanat adalah penting dan tetap dibutuhkan serta tidak bisa ditiadakan untuk efek-efek yang dipasarkan dengan private placement karena
Wali Amanat adalah badan yang menjaga kepentingan-kepentingan para investor. Para pemodal dapat mengalihkan hak mereka atas sertifikat obligasi setiap saat,
baik bilamana dikeluarkan atas unjuk maupun bilamana dikeluarkan atas nama. Tidak ada beda dalam fungsi Wali Amanat untuk pemasaran efek yang dilakukan
melalui privat eplecement
72
72
Kunarti Surya Santoso, ibid.
atau pewaran umum, yaitu bertindak untuk kepentingan kolektif para pemodal. Karenanya, persepsi seakan-akan dalam
private placement untuk sekuritisasi tidak diperlukannya Wali Amanat adalah keliru dan tidak berdasar.
Ulfa Rahyunito Daulay : Aspek Hukum Secondary Mortgage Facility SMF Dalam Rangka Sekuritisasi Kredit Pemilikan Rumah KPR Perbankan, 2008.
USU Repository © 2009
BAB IV ASPEK HUKUM SECONDARY MORTGAGE FACILITY SMF DALAM
RANGKA SEKURITISASI KREDIT PEMILIKAN RUMAH KPR PERBANKAN
A. Penerapan Lembaga Secondary Mortgage Facility SMF Dalam Rangka Sekuritisasi Kredit Pemilikan Rumah KPR.
Ditinjau dari sudut pandang hukum Indonesia maka Secondary Mortgage Facility SMF merupakan lembaga pembiayaaan yang didalamnya terkait dua
perbuatan hukum kredit pemilikan rumah dan perbuatan hukum jual beli sekuritas. Perbuatan hukum yaitu perbuatan jual beli rumah dan perbuatan kredit. Kredit
Pemilikan Rumah KPR adalah kredit yang bertujuan membantu mereka yang memerlukan rumah untuk dapat membeli rumah dengan fasilitas kredit perbankan.
Dalam KPR ada aspek perjajian jual beli dan perjanjian kredit, jadi terdapat dua perbuatan hukum yaitu perbuatan jual beli rumah dan perbuatan kredit. Perjanjian
jual beli rumah terjadi antara konsumen dan developer, dan untuk pendanaannya melalui perjanjian kredit dengan bank antara konsumen dengan bank dan pemberi
kredit tersebut dibuat perjanjian pembebanan Hak Tanggungan sebagai perjanjian accessoir dimana konsumen menyediakan suatu benda sebagai obyek jaminan.
73
Tidak ada satupun ketentuan hukum dalam bentuk undang-undang yang berlaku dewasa ini di Indonesia. Mulai tahun1997 sampai dengan tahun 2004
yang lalu Bapepam mengeluarkan lima peraturan sebagaimana juga telah berkali-
73
Djuhaendah Hasan, Op. Cit, hal 4.
Ulfa Rahyunito Daulay : Aspek Hukum Secondary Mortgage Facility SMF Dalam Rangka Sekuritisasi Kredit Pemilikan Rumah KPR Perbankan, 2008.
USU Repository © 2009
kali diubah yang terkait dengan penerbitan Unit Penyertaan Efek Beragun Aset.
Kelima peraturan tersebut, secara berurutan dapat disebutkan sebagai berikut:
1. Peraturan Bapepam No.V.G.5. tentang fungsi Manajer Investasi Berkaitan
dengan Efek Beragun Aset Asset Backed Securities 2.
Peraturan Bapepam No.VI.A.2. tentang Fungsi Bank Kustodian Berkaitan dengan Efek Beragun Aset Asset Backed Securities
3. Peraturan Bapepam No.IX.C.10. tentang pedoman Bentuk dan Isi Prospektus
Dalam Rangka Penawaran Umum Efek Beragun Aset Asset Backed Securities
4. Peraturan Bapepam No.IX.C.9. tentang pernyataan Pendaftaran dalam Rangka
Penawaran Umum Efek Beragun Aset Asset Backed Securities 5.
Peraturan Bapepam IX.K.I. tentang pedoman kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset Asset Backed Securities
Diluar kelima peraturan tersebut di tahun 2005, melalui Peraturan Presiden No.19 Tahun 2005, telah juga dikeluarkan pengaturan mengenai pembiayaan
sekunder perumahan. Peraturan ini pada prinsipnya merupakan kelanjutan dari Keputusan Menteri Keuangan No.132KMK.0141998 tentang perusahaan
Fasilitas Pembiayaan Sekunder Perumahan . Disamping itu, Bank Indonesia No.74PBI2005 tentang Prinsip Kehati-hatian dalam aktivitas sekuritisasi Aset
bagi Bank Umum. Peraturan Bank Indonesia tersebut dikeluarkan guna mendukung proses penjualan piutang-piutang bank kepada lembaga issuer yang
Ulfa Rahyunito Daulay : Aspek Hukum Secondary Mortgage Facility SMF Dalam Rangka Sekuritisasi Kredit Pemilikan Rumah KPR Perbankan, 2008.
USU Repository © 2009
akan melakukan proses sekuritisasi aset. Dengan dikeluarkannya Peraturan Bank Indonesia ini, piutang-piutang yang dialihkan atau dijual oleh bank merupakan
piutang-piutang yang sehat, yang memang layak untuk disekuritisasikan sehingga investor pembeli efek beragun aset yang dijamin dengan piutang tersebut tidak
dirugikan, misalnya karena piutang tersebut tidak dirugikan, misalnya karena piutang tersebut memang bermasalah sejak pemberian kredit oleh bank.
Dari peraturan-peraturan yang ada tersebut, dapat diketahui bahwa sekuritisasi Aset melalui SMF di Indonesia diatur dalam keputusan Menteri
Keuangan No.132KMK.0141998 tentang Fasiltas Pembiayaan Sekunder Perumahan yang kemudian disempurnakan melalui Peraturan Presiden No.19
Tahun 2005 tentang Pembiayaan Sekunder Perumahan. Sekuritisasi oleh Perusahaan Pembiayaan Sekunder Perumahan Secondary Mortgage Facility -
SMF adalah sekuritisasi aset melalui conduit. SMF sebagai conduit, dalam konteks ini adalah suatu perusahaan dengan status perseroan terbatas yang
merupakan suatu badan hukum tersendiri, yang memiliki hak dan kewajiban independen yang terpisah dari hak dan kewajiban para pendiri termasuk para
pemegang sahamnya setelah perseroan terbatas ini memperoleh status sebagai badan hukum.
74
74
Gunawan Widjaja E. Paramitha Sapardan, Op.cit, hal.95-97.
Dalam perjalanan kegiatan sekuritisasi KPR di Indonesia, telah terjalin kerjasama antara Bank BTN dengan PT.SMF, dan sudah terdapat beberapa
kesepakatan dan kerjasama yang dilakukan, yaitu:
Ulfa Rahyunito Daulay : Aspek Hukum Secondary Mortgage Facility SMF Dalam Rangka Sekuritisasi Kredit Pemilikan Rumah KPR Perbankan, 2008.
USU Repository © 2009
a. Telah ditandatangani Nota kesepahaman Memorandum of Understanding-
MOU untuk melakukan transaksi Sekuritisasi KPR dan pinjaman Beragun Aset, yang ditandatangani pada tanggal 20 September 2005;
b. Sebagai tindak lanjut MOU, maka ditandatangani Perjanjian Kerjasama untuk
transaksi Sekuritisasi KPR senilai Rp.500 milyar pada tanggal 19 Oktober 2006;
c. Disamping itu telah ditandatangani perjanjian kerjasama untuk pelaksanaan
Pinjaman Beragun KPR senilai Rp.100 milyar pada tanggal 29 Desember 2006;
d. Dan pada tanggal 15 Januari 2007 telah dilaksanakan kick-off meeting
kegiatan due diligence sebagai awal proses kegiatan sekuritisasi.
75
Penerapan sekuritisasi bagi bank seperti Bank BTN, yang sebagian besar portofolio kreditnya adalah KPR akan memperoleh banyak keuntungan seperti
termitigasinya beberapa resiko Risiko Likuiditas, Risiko Kredit dan Risiko suku Bunga, adanya perubahan dalam struktur keuangan baik dari neraca maupun
labarugi serta adanya perbaikan dari rasio-rasio yang ada. Disamping itu juga pelaksanaan sekuritisasi KPR bagi Bank BTN akan memperbesar kapasitas
pembiayaan KPR, dan dalam jangka panjang diharapkan akan dapat menyalurkan KPR dengan suku bunga yang lebih rendah.
76
75
Shindu Rahadian Ardita, Op.Cit, hal 30.
76
Ibid.
Ulfa Rahyunito Daulay : Aspek Hukum Secondary Mortgage Facility SMF Dalam Rangka Sekuritisasi Kredit Pemilikan Rumah KPR Perbankan, 2008.
USU Repository © 2009
B. Manfaat Secondary Mortgage Facility SMF Dalam Rangka Sekuritisasi Kredit Pemilikan Rumah KPR.