Perkembangan Pasar Modern Sayuran: Mampukah Petani Meresponnya dan Bagaimanakah Dampaknya Terhadap Usahatani Mereka?

(1)

LAPORAN AKHIR

PENELITIAN PENELITI MUDA(LITMUD) UNPAD

Perkembangan Pasar Modern Sayuran: Mampukah Petani Meresponnya dan Bagaimanakah Dampaknya Terhadap Usahatani Mereka?

Oleh : Elly Rasmikayati Endah Djuwendah

Tuti Karyani

Dibiayai Oleh Dana DIPA Universitas Padjadjaran Tahun Anggaran 2010

Berdasarkan SPK No 688a/H.6.26/LPPM/PL/2010 Tanggal 29 Maret 2010

LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT UNIVERSITAS PADJADJARAN

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS PADJADJARAN


(2)

(3)

iv DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan Penelitian ... 4

1.4. Manfaat Penelitian ... 4

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.Definisi Pasar dan Perkembangannya ... 6

2.2.Pertumbuhan Pasar Modern dan Tradisional ... 9

2.3.Pasar dan Saluran Pemasaran ... 14

2.4.Perkembangan Pasar Modern dan Dampaknya Terhadap Petani……….. 18

BAB III METODE PENELITIAN 3.1.Metode dan Tempat Penelitian ... 25


(4)

v

3.3.Data/Informasi yang Diperlukan

(Operasionalisasi Variabel)………..….. 26

BAB IV PEMBAHASAN 4.1.Deskripsi Kabupaten Bandung ... 29

4.2.Karakteristik Petani Sayuran ... 30

4.2.1.Umur petani ... 30

4.2.2.Pendidikan Petani ... 31

4.2.3.Mata pencaharian petani responden ... 33

4.2.4.Pengalaman usahatani sayuran ... 34

4.2.5.hasil produksi dan pemasaran sayuran ... 34

4.3.Potensi Pengembangan Usahatani Sayuran ... 38

4.4.Kesulitan-kesulitan yang dihadapi petani sayuran... 39

4.5.Perkembangan Pasar Modern: Usahatani Petani Sayuran. 41 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 47

5.2. Saran ... 47

DAFTAR PUSTAKA ... 48


(5)

vi

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

1. Operasionalisasi Variabel ... 27 2. Komposisi Responden Petani Berdasarkan Kelompok

Umur ... 31

3. Komposisi Responden Petani Sayuran Berdasarkan

Tingkat Pendidikan ... 33

4. Komposisi Responden Berdasarkan Pengalaman

Usahatani Sayuran ... 34


(6)

vii

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

1. Model Permintaan dan Penawaran Sayuran ... 14 2. Pola Saluran Pemasaran... 17 3. Sistem Pemasaran Sayuran ... 37


(7)

viii

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

1. Peta Kabupaten Bandung ... 50 2. Curriculum Vitae Peneliti ... 51


(8)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Permintaan terhadap sayuran dalam negeri, masyarakat kelas menengah ke atas serta ekspor sayuran, volumenya terus mengalami peningkatan. Jenis sayuran yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam dan luar negeri pun sekarang sangat beragam. Peningkatan permintaan sayuran tersebut disebabkan oleh semakin bertambahnya jumlah penduduk di dalam negeri dan sudah pasti membutuhkan pasokan pangan, termasuk sayuran. Selain itu, masyarakat luar negeri serta sebagian kecil masyarakat Indonesia dengan daya beli yang relatif tinggi, yang ditunjang oleh kesadaran akan pentingnya kesehatan melalui asupan makanan, khususnya sayuran mulai meningkat.

Sayuran yang dibutuhkan oleh segmen tersebut mempunyai ciri dan kualitas tertentu. Misalnya, mereka lebih menyukai sayuran organik dengan kualitas yang terstandardisasi atau dengan tingkat pestisida minimum. Misalnya, sekarang banyak disukai sayuran bernilai ekonomi tinggi, seperti paprika, brokoli, zukini (labu jepang), edamame (labu jepang) yang organik dan minim pestisida.

Kebutuhan komoditas dengan kualifikasi tertentu tersebut merupakan peluang yang sangat menjanjikan bagi pasar sayuran. Oleh karena itu, diperlukan sebuah pasar yang dapat menyediakan komoditas sesuai dengan permintaan yang ada, tidak hanya menyangkut komoditas yang dijual, tetapi juga faktor pendukung lainnya, seperti kenyamanan tempat berbelanja serta manajemen pasar.


(9)

2

Meskipun keberadaan pasar tradisional masih mendominasi sebagai pasar tujuan, baik dari pihak petani sebagai penjual maupun konsumen sebagai pembeli komoditas, tetapi kondisi pasar tradisional sekarang tidak dapat memenuhi tuntutan tersebut. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, baik dari dalam maupun luar pasar itu sendiri, seperti buruknya manajemen pasar, banyaknya retribusi, menjamurnya pedagang kaki lima (PKL), tidak ada jalinan kerja sama dengan pemasok besar, buruknya manajemen pengadaan dan lain-lain (SMERU, 2007).

Kelemahan tersebut dapat direspon oleh pasar modern yang menawarkan beragam komoditas berikut pelayanannya sesuai dengan tuntutan pasar. Perkembangan pasar modern ini terus mengalami peningkatan. Berdasarkan hasil studi A.C. Nielsen (2005), pasar modern di Indonesia tumbuh 31,4 persen per tahun, sedangkan pasar tradisional menyusut 8 persen per tahun.

Sebagian pengusaha Indonesia telah mampu merespon kebutuhan sayuran dengan kualitas terjaga ini. Beberapa pengusaha telah menjadi supplier sayuran untuk berbagai pasar modern dalam negeri, seperti Hipermart, Careffour, Superindo dan Hero. Selain itu, sebagian pengusaha lainnya telah berhasil melakukan ekspor sayuran ke berbagai negara. Negara-negara tujuan ekspor sayuran Indonesia terutama Singapura, Malaysia dan Taiwan. Bahkan, sayuran dari Indonesia sudah dapat menembus pasar Jepang dan Amerika dengan standar kualitas yang lebih tinggi.

Beberapa pengusaha dan koperasi petani merespon permintaan sayuran bernilai tinggi tersebut dalam waktu yang cukup lama. Misalnya, seorang


(10)

3

pengusaha di Parongpong, Bandung telah mampu mengekspor 5-8 ton paprika dan 2 ton zukini ke Singapura setiap minggunya dalam waktu tiga tahun terakhir. Dalam Usaha untuk menjaga kuantitas dan kontinuitas pasokan sayurannya, pengusaha tersebut mengusahakan kebun sendiri serta bekerjasama dengan petani lain yang mempunyai kemampuan untuk menjaga kualitas dan kontinuitas pasokan sayuran yang dibutuhkan.

Selain di Jawa, banyak pula pebisnis yang telah melakukan ekspor sayuran, seperti di Lombok, Riau, Sumatera Barat dan Sumatera Utara. Walaupun demikian, masih banyak diantaranya yang belum mampu menjaga kontinuitas dan kualitas sayuran yang diekspornya. Selain pengusaha lokal, sekarang sudah terdapat beberapa perusahaan asing (PMA) yang bergerak di bidang ekspor sayuran di Indonesia. Pengusaha-pengusaha tersebut umumnya berasal dari negara-negara tujuan ekspor sayuran Indonesia, seperti Singapura, Malaysia dan Taiwan. Umumnya, mereka membuat gudang ditambah packing house melakukan pengumpulan sayuran dengan membeli komoditas kepada petani setempat atau petani binaan. Selain itu, dapat pula memanfaatkan jasa pengepul sayuran serta melakukan pengemasan sebelum dikirim ke negara masing-masing.

Petani yang mampu merespon pasar sayuran modern, sayuran jumlahnya masih terbatas. Petani sayuran, khususnya yang luas penguasaan lahannya lebih sempit, memiliki banyak keterbatasan. Umumnya mereka terkendala dengan tuntutan kualitas dan kontinuitas pasokan yang cukup ketat yang diminta oleh pasar modern.


(11)

4 1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka terdapat beberapa rumusan masalah yang akan menjadi fokus kajian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah dinamika respon petani terhadap permintaan sayuran oleh pasar modern dibandingkan dengan pasar tradisional?

2. Seberapa jauh, dampak permintaan pasar modern pada usahatani petani sayuran?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap bagaimana perkembangan pasar modern sayuran: mampukah petani meresponnya dan bagaimanakah dampaknya terhadap usahatani meraka. Berdasarkan rumusan masalah pada penelitian ini, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mendeskripsikan dinamika respon petani terhadap permintaan sayuran oleh pasar modern dibandingkan dengan pasar tradisional.

2. Menggambarkan pola usahatani petani sayuran dalam konteks perkembangan pasar modern.

3.2. Manfaat Penelitian

Penelitian mengenai keterkaitan antara partisipasi petani dalam pasar modern dengan dampaknya terhadap usaha tani mereka diharapkan dapat berguna bagi :


(12)

5

 Petani sayuran, agar dapat digunakan untuk memperbaiki kemampuan usahatani dan pemasarannya.

 Pembuat kebijakan bidang agribisnis khususnya untuk pengembangan produktifitas sayuran dan industrinya, serta para pembuat kebijakan yang berupaya untuk meningkatkan luas penguasaan lahan petani sebagai bahan masukan atau informasi.

 Peneliti atau pihak lain yang tertarik pada pengembangan agribisnis

 Pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya bidang pemasaran sayuran dan pemberdayaan petani kecil.


(13)

6 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Pasar dan Perkembangannya

Istilah pasar dapat diterapkan pada berbagai bidang, misalnya dunia usaha, teori ekonomi, maupun pemasaran pada umumnya dan pemasaran komoditas pertanian khususnya. Pasar seringkali didefinisikan sebagai tempat bertemunya pembeli dan penjual di suatu tempat. Oleh karena itu, pasar menyangkut pembeli, penjual dan fasilitas pasar (Ratya, 2004). Pasar juga dapat diartikan sebagai tempat terjadinya penawaran dan permintaan, transaksi, tawar-menawar nilai (harga) dan atau terjadinya pemindahan kepemilikan melalui suatu kesepakatan antara pembeli dan penjual. Kesepakatan tersebut dapat berupa kesepakatan harga, cara pembayaran, cara pengiriman, tempat pengambilan atau penerimaan produk, jenis dan jumlah produk, spesifikasi, mutu produk serta kesepakatan lain yang berhubungan dengan pemindahan kepemilikan produk (Said dan Harizt, 2004).

Secara umum, pasar dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu pasar domestik dan ekspor. Pasar yang berorientasi domestik (identik dengan kualitas produk rendah) dengan tingkat harga yang relatif rendah. Sedangkan, pasar yang berorientasi ekspor (identik dengan kualitas produk yang tinggi) dengan tingkat harga relatif lebih mahal. Pasar ekspor yang merupakan jenis pasar modern meliputi swalayan, hotel dan restoran serta industri.

Ada beberapa perbedaan pasar modern dan tradisional terutama dalam hal kestrukturan pasar. Kestrukturan pasar disini dapat dilihat dari bangunan, suasana serta fasilitas penunjang pasar. Anggapan pasar tradisional selama ini yaitu pasar


(14)

7

yang tidak terstuktur, seperti bentuk bangunan yang relatif sederhana dengan suasana relatif kurang menyenangkan (ruang tempat usaha sempit, sarana parkir yang kurang memadai dan kurang menjaga kebersihan pasar dan penerangan yang kurang baik). Barang-barang yang diperdagangkannya merupakan barang kebutuhan sehari-hari dengan mutu yang kurang diperhatikan, harga barang relatif murah serta cara pembeliannya dengan sistem tawar-menawar. Selain itu, para pedagangnya sebagian besar adalah golongan ekonomi lemah dengan cara berdagang yang kurang profesional. Contoh pasar tradisional tersebut adalah pasar Inpres.

Sebaliknya, pasar modern adalah pasar yang terstruktur, dimana berada dalam bangunan, dan pelayanannya dilakukan secara mandiri (swalayan) oleh pembeli. Barang-barang yang dijualnya, selain bahan makanan seperti buah, sayuran, daging, juga barang-barang yang dapat bertahan lama.1 Menurut Ma'ruf (2005), gerai/pasar modern mulai beroperasi awal tahun 1960-an di Jakarta. Arti modern di sini adalah penataan barang menurut keperluan yang sama atau dikelompokkan di bagian yang sama sehingga dapat dilihat dan diambil langsung oleh pembeli. Selain itu, terdapat penggunaan alat pendingin udara serta adanya pramuniaga profesional.

Pada tahun 2004, macam-macam gerai/pasar modern di Indonesia adalah: Minimarket, dengan pertumbuhan sebanyak 1.800 buah selama 10 tahun hingga tahun 2002. Luas minimarket antara 50 - 200 m2;


(15)

8

Convenience store, gerai ini mirip minimarket dalam hal produk yang dijual, tetapi berbeda dalam harga, jam buka, luas ruang dan lokasi. Convenience store ada yang buka 24 jam, dengan luas ruang antara 200 - 450 m2 dan berlokasi di tempat yang strategis. Sebagian produknya sedikit lebih mahal daripada yang dijual minimarket;

Specialty store, sebagian masyarakat lebih menyukai belanja di toko dimana pilihan produk tersedia lengkap sehingga tidak hams mencari lagi di toko lain. Keragaman produk disertai harga yang bervariasi dari yang terjangkau hingga premium membuat specialty store lebih unggul;

Factory outlet;

Distro atau distribution outlet;

Supermarket, pertumbuhannya sebanyak 700 buah dalam kurun 10 tahun hingga tahun 2003. Supermarket kecil mempunyai luas ruang antara 300 -1.100 m2, sedangkan supermarket besar mempunyai luas 1.100-2.300 m2;  Departement store atau toserba (toko serba ada), gerai jenis ini mempunyai

ukuran luas ruang yang beragam, mulai dari beberapa ratus meter persegi, hingga 2.000 -3.000 m2;

Superstore, luasnya mulai dari 2.300 - 4.700 m2;  Perkulakan atau gudang rabat;


(16)

9 2.2. Pertumbuhan Pasar Modern dan Tradisional

Perkembangan pasar di setiap kota/kabupaten di Jawa Barat dalam kurun waktu 2002-2005 menunjukkan peningkatan, meskipun dengan jumlah dan lokasi yang tidak merata. Berdasarkan data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Jawa Barat (2002 dan 2005), pada tahun 2005 jumlah pasar di Jawa Barat mencapai 911, terdiri dari 530 pasar tradisional dan 381 pasar modem, termasuk swalayan. Hal tersebut menunjukkan kenaikan yang signifikan dibandingkan kan dengan tahun 2002 mencapai 147 pasar. Pada tahun 2002, pasar di Jawa Barat tercatat sebanyak 764, terdiri dari 506 pasar tradisional dan 258 pasar modern. Peningkatan jumlah pasar terbesar terjadi di Kabupaten Majalengka, yakni 33 pasar (17 tradisional dan 16 modem). Daerah lain yang peningkatan jumlah pasarnya cukup besar adalah Kabupaten Bandung (19 modem), Kota Bekasi (1 8 modem) dan Kota Bandung (10 modern).

Secara umum, peningkatan jumlah pasar, khususnya modem terjadi di aicotaan. Hal ini mengakibatkan semakin ketatnya persaingan di kalanganan pedagang eceran. Meskipun jumlah pasar tradisonal masih lebih besar dibandingkan pasar modem, tetapi pertumbuhannya sangat pesat. Berdasarkan hasil studi Nielsen (2005), pasar modern di Indonesia tumbuh 31,4 persen per tahun, sedangkan pasar tradisional menyusut 8 persen per tahun. Selama tahun 2002-2005, pasar tradisional di Jawa Barat tumbuh sekitar 5 persen, sedangkan pasar modern tumbuh signifikan mencapai 66 persen. Kondisi tersebut mengkhawatirkan, terutama bagi pelaku usaha di pasar tradisional karena di beberapa kabupaten/kota, jumlah pasar modern lebih banyak dibandingkan pasar


(17)

10

tradisional seperti di kabupaten Bandung (42 pasar modern, 29 pasar tradisional), kota Sukabumi, kota Bogor, kota Depok, dan kota Cimahi.

Akibat dari perkembangan pasar modern tersebut, pasar-pasar tradisional yang lokasinya berdekatan dengan mall/supermarket/hypermarket mulai kehilangan pembeli sehingga dikhawatirkan dapat mengganggu perkembangan atau bahkan mematikan usaha pelaku perdagangan eceran di pasar tradisional yang umumnya merupakan pelaku usaha mikro. Sebagai contoh, semenjak kehadiran hypermarket di Jakarta, pasar tradisional di kota tersebut disinyalir merasakan penurunan pendapatan dan keuntungan yang drastis, seperti yang dikemukakan APPSI, bahwa 151 pasar tradisional di Jakarta terancam oleh keberadaan supermarket, sembilan diantaranya sudah tutup.

Namun, seharusnya kondisinya tidak demikian mengingat banyak kekhasan yang dimiliki pasar tradisional bila dibandingkan dengan pasar modern, seperti jual-beli dengan tawar-menawar harga dan suasana yang memungkinkan penjual dan pembeli menjalin kedekatan. Selain itu, pasar tradisional mempunyai keuntungan non ekonomi dari sudut pandang kepentingan ekonomi makro, yaitu penyediaan pilihan kesempatan usaha, penyediaan lapangan kerja, dimana pada tahun 2006, di Indonesia terdapat 13.450 pasar tradisional dengan sekitar 12,6 juta pedagang kecil beserta kontribusi outputnya.

Sulitnya pasar tradisional bersaing menghadapi pasar modern disebabkan oleh beberapa hal, antara lain :

1. kondisi fisik pasar tradisional secara umum tertinggal dibandingkan pasar modern yang bersih dan nyaman sehingga konsumen lebih tertarik untuk berbelanja di pasar modern. Sebagai contoh, di Jakarta berdasarkan catatan PD


(18)

11

Pasar Jaya, dari total 151 pasar, hanya 27 pasar yang aspek fisik bangunannya masih baik. Sisanya, 111 pasar dalam kondisi fisik bangunan rusak sedang atau berat dan hanya 13 pasar mengalami rusak ringan;

2. pasar modern berlokasi tidak jauh (kurang dari 10 km) dari lokasi pasar tradisional yang mengakibatkan semakin banyak konsumen yang beralih ke pasar modern;

3. dengan kekuatan modal, anak perusahaan atau cabang-cabang hypermarket atau supermarket kini mudah diakses warga hingga tingkat kelurahan atau permukiman, sedangkan para pedagang di pasar tradisional umumnya adalah pengusaha mikro. Disamping itu, pendirian cabang-cabang itu berbasis waralaba atau sistem sewa sehingga orang bebas membeli lisensinya ataupun menyewa tempat; serta

4. belum adanya perda yang mengatur mengenai pendirian pasar modem.

Selain itu, disebabkan oleh kurangnya daya dukung karakteristik pedagang tradisional seperti buruknya manajemen pasar, banyaknya retribusi, menjamumya pedagang kaki lima (PKL) yang dapat mengurangi pelanggan pedagang pasar serta minimnya bantuan permodalan yang tersedia bagi pedagang tradisional yang disebabkan jaminan (collateral) yang tidak mencukupi, tidak adanya skala ekonomi (economies of scale), tidak ada jalinan kerja sama dengan pemasok besar, buruknya manajemen pengadaan dan ketidakmampuan untuk menyesuaikan dengan keinginan konsumen (Wiboonpongse dan Songsak, 2006).


(19)

12

Meskipun demikian, pedagang yang menjual makanan segar (daging, ayam, ikan, sayur dan buah-buahan) masih bisa bersaing dengan supermarket dan hypermarket mengingat banyak pembeli masih memilih untuk membeli kebutuhannya di pasar tradisional. Sebagai contoh, pada tahun 2007 di Pasar Induk Caringin, Bandung, berdasarkan pendapat beberapa pedagang sayuran, penyerapan sayuran oleh Pasar Induk Caringin rata-rata mencapai 500 ton/bulan dengan penyaluran hampir 100 persen ke pasar eceran tradisional. Sedangkan, penyaluran ke pasar modern seperti supermarket dan industri relatif jarang dilakukan.

Namun, jika dilihat dari tingkat petani, perkembangan penyerapan komoditas oleh pasar modern tersebut relatif semakin berkembang, meskipun penyerapan sayuran oleh pasar tradisional relatif masih mendominasi. Hal tersebut ditunjukkan oleh penelitian Natawidjaja (2006), bahwa penyerapan sayuran oleh supermarket, industri pengolahan, perdagangan antarpulau masing-masing mencapai 6, 4 dan 5 persen. Sedangkan, untuk pasar tradisional mencapai 75 persen.

Keunggulan pasar modern atas pasar tradisional adalah dapat menjual produk yang relatif sama dengan harga yang lebih murah ditambah dengan kenyamanan tempat berbelanja dan keragaman pilihan. Supermarket dan hypermarket juga menjalin kerja sama dengan pemasok besar dan biasanya untuk jangka waktu yang cukup lama. Hal ini yang menyebabkan supermarket dan hypermarket dapat melakukan efisiensi dengan memanfaatkan skala ekonomi yang besar. Selain itu, supermarket melakukan beberapa strategi harga dan non


(20)

13

harga untuk menarik pembeli. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh SMERU (2007), pasar modern melakukan berbagai strategi harga seperti strategi limit harga, strategi pemangsaan lewat pemangkasan harga (predatory pricing) serta diskriminasi harga antarwaktu (inter-temporal price discrimination), misalnya memberikan diskon harga pada akhir minggu dan pada waktu tertentu. Sedangkan, strategi non harga antara lain dalam bentuk iklan, membuka gerai lebih lama, khususnya pada akhir minggu, bundling/tying (pembelian secara gabungan) dan parkir gratis.

Keberadaan pasar modern dan perkembangannya menurut Kotler (1997) dapat menciptakan beberapa keuntungan, yaitu :

1. dari segi tempat, dimana petani dibantu dalam hal penyediaan tempat atau pasar konsumen dan swalayan berperan sebagai pihak perantara;

2. dari segi waktu, dimana pasar swalayan buka setiap hari sehingga memberi kemungkinan untuk para konsumen berbelanja setiap saat;

3. dari segi kualitas dan kuantitas, sebagai pengecer yang dapat menyediakan sayuran dengan kualitas tinggi dan dapat dibeli dalam jumlah yang sesuai keinginan konsumen;

4. dari beragamnya jenis produk yang ditawarkan, dimana supermarket/hypermarket dapat mengumpulkan bermacam-macam produk di satu tempat yang dapat diperoleh konsumen dengan mudah dalam satu kesempatan berbelanja.

Hal serupa juga dikemukakan oleh para peneliti terdahulu lainnya mengenai dampak positif dan negatif pasar modern. Menurut Khrisnamurti dan Lusi (2004),


(21)

14

supermarket secara umum mempengaruhi petani secara positif. Pertama, supermarket telah mengubah saluran pemasaran dan rangkaian bisnis petani. Kemudian, sistem usahatani petani yang menjual ke pasar modern berbeda dengan petani yang tidak terlibat dengan pasar modern. Selanjutnya, supermarket membuat petani mengenal sayuran dan buah impor.

2.3. Pasar dan Saluran Pemasaran Sayuran

Indonesia merupakan salah satu negara penghasil sayuran. Beberapa provinsi penghasil utama sayuran adalah Jawa Barat, Jawa Tengah dan Sumatera Barat. Pasar sayuran utama di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu pasar sayuran segar dan olahan. Permintaan sayuran segar sebagian besar diperoleh dari produksi domestik, sedangkan surplusnya diekspor. Berikut merupakan model permintaan dan penawaran sayuran.

Gambar 1. Model Permintaan dan Penawaran Sayuran Sumber: Adiyoga, dkk. (2001)

Penawaran Domestik

Permintaan Domestik

Harga


(22)

15

Berdasarkan Gambar 1, Pw adalah harga dari biaya pemasaran bersih yang

diterima pasar dunia. Saat Pw lebih besar dari harga domestik tanpa harga pasar

(Pa), sejumlah produksi di ekspor. Penurunan ekspor tersebut dapat disebabkan oleh

: (1) pertumbuhan permintaan domestik; (2) penurunan penawaran domestik (atau peningkatan biaya unit produksi); dan (3) penurunan harga ekspor sebagai akibat dari jatuhnya permintaan ekpor, peningkatan kompetisi global, atau penurunan efisiensi pemasaran.

Dilihat dari segi ekonomi, pemasaran merupakan tindakan atau kegiatan yang produktif, menghasilkan pembentukan kegunaan, yaitu kegunaan tempat, waktu, hak milik dan bentuk sehingga mempertinggi nilai guna dari suatu barang yang diminta oleh konsumen. Sedangkan, nilai ekonomi akan menentukan nilai barang dan jasa bagi individu-individu. Faktor penting yang membentuk nilai ekonomi adalah produksi, pemasaran dan konsumsi.

Menurut William J. Stanton dalam Swastha dan Irawan (1990), pemasaran adalah suatu sistem dari kegiatan-kegiatan bisnis yang ditujukan untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan serta mendistribusikan barang dan jasa dalam memuaskan kebutuhan, baik pembeli yang ada maupun pembeli potensial. Selian itu, pemasaran dapat pula didefinisikan sebagai suatu proses sosial dan manajerial dari individu dan kelompok untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya melalui penciptaan, penawaran dan pertukaran nilai produk dengan yang lain (Saladin, 2004).

Secara khusus, pemasaran pertanian dapat didefinisikan sebagai jumlah kegiatan bisnis yang ditujukan untuk memberi kepuasan dari barang atau jasa


(23)

16

yang dipertukarkan kepada konsumen atau pemakai dalam bidang pertanian, baik input maupun produk pertanian (Said dan Harizt, 2004). Kegiatan pemasaran tidak sekedar menyampaikan barang atau jasa dari produsen kepada konsumen, tetapi juga memperlancar arus barang atau jasa secara paling efisien dengan maksud untuk menciptakan permintaan yang efektif.

Berkaitan dengan karakteristik dari produk pertanian umumnya memiliki sifat mudah rusak (perishable), memiliki ukuran yang besar per tumpukan (bulky/voluminous), beranekaragam mutunya (quality variation) serta musiman (Ratya, 2004). Berkaitan dengan hal tersebut, diperlukan suatu perlakuan dan penanganan khusus yang menjadikan kegiatan pemasaran penting adanya, diantaranya mengenai saluran pemasaran yang dipilih.

Saluran pemasaran dapat didefinisikan dalam berbagai cara. Umumnya, didefinisikan sebagai suatu rute atau jalur. Saluran pemasaran dapat berbentuk sederhana dan dapat pula rum it sekali. Hal tersebut tergantung pada macam komoditas lembaga pemasaran dan sistem pasar. Sistem pasar yang monopoli mempunyai saluran pemasaran yang relatif sederhana dibandingkan dengan sistem pasar yang lain. Komoditas pertanian yang lebih cepat penyalurannya ke tangan konsumen dan yang tidak mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, biasanya mempunyai saluran pemasaran yang relatif sederhana (Soetriono, dkk., 2003).

Setiap lembaga pemasaran yang melibatkan diri dalam suatu sistem pemasaran tertentu, baik komoditas industri atau pertanian, pada dasarnya mempunyai tujuan imbalan pengorbanan yang telah diberikan oleh lembaga pemasaran tersebut. Adanya perbedaan kegiatan yang diberikan oleh setiap


(24)

17 Produsen

Produsen

Produsen

Pedagang

Pedagang

Pedagang

Pedagang

Pedagang Pedagang

Konsumen

Konsumen

Konsumen

lembaga pemasaran menyebabkan terjadinya perbedaan harga jual dari satu lembaga dengan lembaga lainnya hingga tingkat konsumen akhir. Kemudian, mengingat setiap komoditas mempunyai saluran pemasaran yang berbeda, semakin banyak lembaga yang terlibat dalam saluran pemasaran, maka akan semakin besar perbedaan harga yang terjadi pada tingkat produsen dengan tingkat konsumen akhir.

Selain saluran pemasaran, pola pemasaran komoditas dibedakan menjadi pola saluran langsung dan tidak langsung. Saluran langsung terjadi apabila produsen menjual barangnya secara langsung kepada konsumen tanpa melalui perantara. Sedangkan pada saluran tidak langsung, produsen menjual barangnya melalui perantara, seperti pedagang besar, pedagang menengah atau pengecer), di daerah Jawa Barat sebagai sentra sayuran diperkirakan terdapat 1 1 - 1 5 persen petani sayuran yang mulai berpartisipasi dalam penjualan ke supermarket melalui bandar besar dan supplier.

Saluran Langsung

Saluran Tidak Langsung

Sumber : Saladini 2004)

Gambar 2. Pola Saluran Pemasaran


(25)

18

2.4. Perkembangan Pasar Modern dan Dampaknya Terhadap Petani

Pada bagian ini akan dijelaskan hasil-hasil penelitian terdahulu mengenai perkembangan pasar modern. Kemudian, dibahas juga mengenai perkembangan penelitian mengenai pengaruh positif dan negatif keberadaan dan perkembangan pasar modern tersebut terhadap para petani kecil.

Ada beberapa hambatan yang dihadapi para petani pedesaan Equador untuk terlibat langsung di pasar modern : (1) adanya pengenalan varietas baru sayuran dan manajemen yang berbeda, membuat tidak setiap petani dapat terlibat dalam value chain sayuran karena mereka masih terbatas sumberdaya dan waktu yang diperlukan untuk investasi. (2) pembayaran yang relatif lama yaitu sekitar 8 sampai dengan 45 hari menyulitkan petani kecil karena mereka memerlukan uang tunai segera untuk keperluan keluarga maupun untuk kepentingan usahatani selanjutnya. (3) kapasitas produksi petani kecil, walaupun sedang berkembang, masih sangat terbatas untuk dapat memenuhi permintaan yang relatif besar dari pasar modern, kemudian kompetisi antar petani kecil, merupakan hambatan untuk membuat agreement diantara mereka yang membuat mereka sebenarnya dapat membuat kelompok untuk dapat memenuhi permintaan pasar modern yang besar volumenya. (4) petani kecil masih dalam hal proses pembentukan modal yang memadai, penyediaan tenaga kerja dan peningkatan kemampuan manajemen dari kelompok ataupun koperasi. (5) ketersediaan dan akses terhadap jasa keuangan dan penyuluh pertanian masih sangat terbatas. (6) permintaan pasar modern terhadap sayuran cenderung meningkat, tetapi standar kualitas, kebersihan dan birokrasi yang diminta pasar modern menurut petani terlalu ketat. (7) untuk petani, keberadaan pihak yang bersedia untuk investasi di sayuran merupakan hal utama untuk


(26)

19

menentukan apakah mereka akan menanam sayuran pada masa selanjutnya atau tidak

Di Afrika Selatan, rantai pasok informal (tradisional) relatif lebih menguntungkan bagi petani kecil dibandingkan dengan rantai pasok formal (modern).

Ditambahkan oleh Natawidjaja, dkk. (2006) dimana hasil penelitiannya menunjukkan bahwa yang membuat petani sayuran Jawa Barat agak sulit terhubung ke pasar modern antara lain (1) petani terikat pinjaman modal dengan bandar, sehingga mencegah untuk memasarkan produknya ke alternatif pasar lainnya termasuk supermarket. (2) ketiadaan penanganan pasca panen karena apabila petani hanya menjual grade yang bagus ( grade A dan super) pada supplier supermarket tidak ada pihak lain yang mau membeli grade sisanya. (3) rendahnya kepercayaan dan komitmen pada kontrak, supplier supermarket sering mengeluh atas seringnya kejadian pelanggaran kontrak yang dilakukan oleh petani. (4) ketiadaan informasi harga dan transparansi; petani merasa mereka tidak diberikan informasi yang menyeluruh mengenai kondisi pasar sehingga mereka curiga dan merasa dicurangi. (5) petani merasa volume pemintaan dari supermarket kecil. Respon ini kebanyakan berasal dari petani yang tidak bermitra dengan supplier supermarket dan hanya melakukan perjanjian dengan bandar tradisional. (6) ketiadaan kemitraan dan tidak berfungsinya koperasi petani; jelas bahwa jumlah kelompok tani dan koperasi yang melakukan fungsi pemasaran sangat sedikit. Terdapat gambaran yang buruk terhadap kelompok tani dan koperasi setelah terjadinya revolusi hijau dimana kelompok tani dan koperasi digunakan sebagai alat kebijakan untuk menyalurkan input pertanian, kredit, serta persediaan stok


(27)

20

beras nasional sehingga untuk merubah gambaran tersebut menjadi sulit. (7) kurangnya supplier supermarket di area produksi. (8) pembayaran tunda yang dilakukan oleh supermarket juga menjadi masalah dan faktor pembatas, tidak hanya pada petani saja tetapi juga pada supplier karena mereka harus mencari modal dari tempat lain untuk menalanginya.

Selanjutnya, produsen skala kecil di pedesaan Uganda yang menghasilkan susu, buah, dan sayuran dihadapkan pada permasalahan jumlah pasokan yang tidak tetap, kualitas produk yang rendah, infrastruktur yang tidak memadai, kurangnya kemampuan dalam berwirausaha, kurangnya pengalaman dalam pemasaran, ketidaktersediaan kredit pertanian, dan kurangnya memahami metode pertanian modem. Namun, potensi produsen skala kecil untuk berkembang tetap ada karena produksi dari keberagaman produk dengan potensi produksi yang tinggi dan ketersediaan produk sepanjang tahun juga berpotensi dalam nilai tambah kebanyakan produk dan beberapa implementasi dari inisiatif pemerintah untuk mendukung mereka. Untuk mengembangkan produsen skala kecil dari buah, sayuran, dan produk susu, pelaku yang terlibat dalam sektor ini harus dilatih untuk meningkatkan kualitas produknya dan pemerintah harus memberikan dukungan dalam hal infrastruktur seperti fasilitas transportasi (fasilitas pendingin), dan fasilitas gudang yang memadai untuk meminimalisasi berkurangnya kuantitas produk pasca panen. Produsen skala kecil juga harus difasilitasi dalam pembentukan organisasi produsen dan menyediakan fasilitas kredit untuk


(28)

21

meningkatkan produksi. Permintaan supermarket terhadap volume yang besar serta konsisten, kualitas pasokan membuat produsen kecil harus memiliki manajemen yang baik untuk mencapainya hal penting yang harus diperhatikan antaralain keberadaan irigasi yang baik, tempat pengemasan yang higienis, serta rantai pendingin. Petani kecil pun harus melakukan konsolidasi dalam hal pemasarannya melalui kelompok tani sehingga kuantitasnya menjadi besar dan dapat mengurangi biaya transaksi sehingga petani akan mendapat harga produknya yang lebih baik. Kesempatan produsen skala kecil Fresh Fruit and Vegetable untuk masuk dalam rantai pasok supermarket terbatas pada standar kualitas produk yang diminta supermarket dan keterlibatan produsen skala kecil dalam rantai pasok supermarket hanya mungkin apabila terdapat intervensi dari pihak lain.

Tetapi, selain hasil penelitian yang menunjukkan bahwa petani kecil kesulitan dalam era globalisasi ini dan pasar modem berdampak negatif pada pasar tradisional, ternyata keberadaan pasar modern juga memberikan peluang-peluang bagi petani untuk mendapatkan kesejahteraan yang lebih baik. Beberapa penelitian mengenai hal tersebut diantaranya :

Di Negara Kenya, (1) value chain sayuran telah memberikan peluang untuk para pengolah di daerah perkotaan dan peluang juga bagi pertumbuhan pasar hasil pengolah komoditas pertanian di daerah pedesaan. (2) petani kecil perlu melakukan beberapa hal agar dapat menangkap peluang-peluang tersebut diantaranya: membentuk kelompok-kelompok pemasaran, membuat asosiasi dengan para pengolah atau pedagang-pedagang besar. (3) value chain juga


(29)

22

membuka peluang terjadinya transfer pelayanan dari pihak pemerintah ke swasta atau sebaliknya dan dari agricultural extension ke business development yang melibatkan petani kecil dan menengah. (4) pemerintah perlu untuk menyediakan lingkungan yang kondusif untuk mendukung pihak swasta agar dapat melakukan bisnis komoditas pertanian dan pengolahannya dengan lebih efisien. Hal ini memerlukan adanya investasi besar-besaran pada infrastruktur pemasaran didaerah pedesaan dan realokasi sumberdaya dari daerah perkotaan ke daerah pedesaan. (5) khusus untuk sayuran, pertumbuhan supermarket chains belum memberikan peran yang berarti di Kenya. Hanya ada 2 persen dari seluruh sayuran, buah dan sayuran yang berakhir dipasarkan pada outlet-outlet di supermarket. Kemudian, baru sekitar 6% rumah tangga di perkotaan yang membeli sayuran dan buah segar di supermarket. Sayuran juga harganya lebih mahal di supermarket dibanding dengan pasar tradisional. (6) walaupun total share dari supermarket cenderung mengalami pertumbuhan dari waktu ke waktu, tetapi perkembangan perdagangan sayuran dan buah segar lebih lamban dibandingkan dengan makanan lain.(7) supermarket menjadi semakin penting untuk barang jadi dan komoditas pertanian yang telah diolah, tetapi untuk sayuran dan buah segar, pasar tradisional, kios-kios kecil, dan pasar-pasar terbuka lainnya, tetap merupakan outlet utama.

Selanjutnya terdapat hasil penelitian yang menunjukkan bahwa (1) partisipasi petani kecil dan menengah pada value chain modern, misalnya supermarket telah meningkatkan peluang kemampuan akses terhadap kredit mereka sehingga akses terhadap jasa keuangan membesar. (2) Akses terhadap jasa


(30)

23

keuangan yang meningkat membuat mereka semakin besar keinginannya untuk meningkatkan kapasitas produksi yang masuk ke dalam value chain modern

Di daerah pedesaan Kenya, menyatakan bahwa perbandingan antara petani yang berada pada saluran pasar modern dengan petani yang berada pada saluran tradisional antara lain : (1) petani yang berada pada saluran pasar modern rata-rata luas penguasaan lahannya lebih besar dibandingkan dengan petani yang berada pada saluran tradisional (23-46 acres dan 4-6 acres). Selain itu, lahan yang dimiliki oleh petani yang berada pada saluran pasar modern persentase penggunaan irigasinya jauh lebih besar dibandingkan dengan lahan yang dikuasai oleh petani yang berada pada saluran tradisional. (2) petani yang berada pada saluran pasar modern memiliki lebih banyak menggunakan pekerja tetap dibandingkan dengan petani yang berada pada saluran tradisional, tetapi rata-rata jumlah pekerja per acre nya lebih banyak di lahan petani saluran tradisional. (3) para petani yang berada di saluran pasar modern memiliki telepon, alat transportasi, dan sebagian besar memiliki sistem irigasi, dan tempat pengepakan. Hal yang berbeda dengan kondisi petani pada saluran tradisional dimana kepemilikan telepon saja kurang lebih hanya sebanyak 30% dari seluruh petani saluran tradisional.

Kemudian, Minot dan Devesh Roy (2007) menyatakan bahwa (1) usahatani sayotaTi Tnenyetap tenaga lterja "lebih hanyak dibanding usahatani tanaman pangan lainnya. (2) di supermarket harga eceran konsumen untuk produk olahan lebih rendah dibanding harga sayuran dan buah-buahan segar. Penelitian mereka dilakukan di beberapa negara berkembang di Asia dan Afrika.


(31)

24

Selanjutnya, Navas (2004) menunjukkan bahwa keuntungan yang diperoleh petani kecil Guatemala yang menjual ke pasar modern tiga kali lebih besar dibanding petani yang menjual ke pasar tradisional. Kemudian, petani kecil dan menengah yang terlibat di pasar modern kondisi permodalannya sedang dalam proses menuju modal mandiri (berasal dari rumah tangga petani sendiri). Demikian juga dengan Huang et al. (2007) yang menyatakan bahwa petani di China yang menjual hasil usahataninya ke pasar modern, pendapatannya hampir dua kali lipat dibanding petani yang menjual ke pasar tradisional.


(32)

25 BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Objek dan Tempat Penelitian

Objek penelitian ini adalah petani sayuran di kabupaten Bandung. Daerah Bandung diambil sebagai tempat penelitan karena merupakan salah satu daerah penghasil sayuran terbesar di Jawa barat, dimana pada tahun 2006, persentase produksi sayuran Jawa Barat mencapai 34,5 persen dari total produksi sayuran Indonesia. Selain itu, Jawa Barat merupakan salah satu propinsi yang mempunyai jumlah penduduk yang sangat padat dengan rata-rata kepemilikan serta penguasaan lahan petani sayurannya cenderung semakin sempit. Berdasarkan hal tersebut, diperlukan suatu metode untuk melakukan penelitian ini.

Metode penelitian yang digunakan untuk penelitian ini adalah metode kualitatif yaitu PRA (Partisipatory Rural Appraisal). Metode ini dilakukan untuk dapat menggali alasan-alasan mengenai fenomena yang terjadi pada usahatani dan pemasaran sayuran yang dilakukan petani. Sehingga diharapkan nantinya akan diperoleh deskripsi yang lebih tajam dan mendalam mengenai kemampuan petani dalam merespon permintaan pasar modern dan tradisional serta dampaknya terhadap usahatani sayuran mereka.

Petani sayuran yang akan dipilih adalah mereka yang merespon ke pasar modern dan mereka yang berhubungan dengan pasar tradisional. Masing-masing akan diambil secara sengaja sebanyak 10 orang dari kedua kelompok tersebut, sehingga jumlah petani responden seluruhnya adalah 20 orang.


(33)

26 3.2. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam. peneliUau kvi adalah da\a primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner. Informasi yang diperoleh tersebut, kemudian dianalisis secara deskriptif. Sebagai penunjang, digunakan data sekunder yang berkaitan dengan kedua konsep tersebut. Data sekunder tersebut dapat berasal dari BPS, hasil penelitian sebelumnya, internet, Dinas Pertanian serta Dinas Perdagangan.

3.3, Data/Informasi yang diperlukan (Operasionalisasi Konsep/Variabel)

Tabel 1. Operasionalisasi Variabel

No Variabel Sub Variabel Respon Kualitatif Satuan

Umur Tahun

Banyaknya tanggungan

keluarga Orang

Tingkat pendidikan Tahun

Non-Capital Asset Petani

Partisipasi petani dalam kemitraan

Ya/tidak

Pengalaman usahatani Tahun

Partisipasi petani Ya

dalam organisasi Tidak

Akses terhadap Ya

kredit Tidak

Luas lahan yang beririgasi Hektar

Aset Petani Kepemilikan asset lain Buah

Luas penguasaan lahan Hektar


(34)

27 Tabel lanjutan Operasionalisasi Variabel

II

Permintaan Pasar Sayuran

Harga jual Rp/Kg

Penyuluhan Ada/tidak

Volume penjualan Ton

Alasan pemilihan pasar

Cara pembayaran Tunai/tidak tunai

Pinjaman modal Rp/Musim

Grading Ada

Tidak Ada

Keuntungan Rp/Hektar

Peningkatan kualitas

komoditas

Meningkat Tidak meningkat

Persyaratan kualitas Ada

Tidak ada

Kontrak Tidak kontrak

Respon

Kualitatif Satuan

Kg Liter Kg Local/impor

Kontrak pemasaran Sendiri/fihak lain

Rp/kg Ya Tidak Rp/Musim Jenis sayuran Ton Ton/Hektar Rp/Hektar Banyaknya


(35)

28

Tabel lanjutan Operasionalisasi Variabel

No. Variabel Sub Variabel Respon Kualitatif Satuan

Dosis pupuk Kg

Banyaknya pestisida Liter

Volume benih Kg

Jenis bibit Local/impor

Asal bibit Sendiri/fihak

III lain

Harga bibit Rp/kg

Pola Usahatani Sistem irigasi Ya

Tidak

Total modal Rp/Musim

Pola tanam Jenis sayuran

Hasil produksi Ton

Produkti vitas Ton/Hektar

usahatani

Keuntungan usahatani Rp/Hektar


(36)

29 BAB IV PEMBAHASAN

4.1. Deskripsi Kabupaten Bandung

Kabupaten Bandung adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Ibu kotanya adalah Soreang. Kabupaten Bandung lahir melalui Piagam Sultan Agung Mataram, yaitu pada ping Songo tahun Alif bulan Muharam atau sama dengan hari sabtu tanggal 20 April tahun 1641 M. Secara geografis letak Kabupaten Bandung berada pada 6°,41' - 7°, 19' Lintang Selatan dan diantara 107°22' - 108°5' Bujur Timur dengan luas wilayah 176.239 ha. Batas wilayah Kabupaten Bandung adalah sebagai berikut:

• Batas Utara: Kabupaten Bandung Barat;

• Sebelah Timur: Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Garut;

• Sebelah Selatan: Kabupaten Garut dan Kabupaten Cianjur;

• Sebelah Barat: Kabupaten Bandung Barat;

• Bagian Tengah: Kota Bandung dan Kota Cimahi.

Kabupaten Bandung terdiri atas 31 kecamatan, 266 Desa dan 9 Kelurahan. Dengan jumlah penduduk sebesar 2.943.283 jiwa (Hasil Analisis 2006) dengan mata pencaharian yaitu disektor industri, pertanian, pertambangan, perdagangan dan jasa. Sebagian besar wilayah Bandung adalah pegunungan. Di antara puncak-puncaknya adalah sebelah utara terdapat Gunung Bukit Tunggul (2.200 m), Gunung Tangkuban Perahu (2.076 m) di perbatasan dengan Kabupaten Purwakarta. Sedangkan di selatan terdapat Gunung Patuha (2.334 m), Gunung Malabar (2.321 m), serta Gunung Papandayan (2.262 in) dan Gunung Guntur


(37)

30

(2.249 m), keduanya berbatasan dengan Kabupaten Garut. Wilayah Kabupaten Bandung beriklim tropis dipengaruhi oleh angin muson dengan curah hujan rata-rata berkisar antara 1500 sampai dengan 4000 mm/tahun, suhu rata-rata berkisar antara 19°C sampai dengan 24°C.

Dengan didukung oleh kondisi geografis dan iklim yang ada di Kabupaten Bandung maka sektor pertanian menjadi salah satu sektor unggulan bagi daerah tersebut. Sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai petani. Meskipun demikian kebutuhan akan responden petani yang memasarkan hasil panennya ke pasar tradisional masih terbatas sehingga hanya 5 responden yang dapat ditemukan, tidak sesuai dengan rencana awal yang akan diambil sebanyak 10 responden. Akhirnya total responden yang diambil dalam penelitian ini adalah sebanyak 15 orang dengan komposisi 5 orang responden yang memasarkan hasil panennya ke pasar modern dan 10 orang responden yang memasarkan hasil panennya ke pasar trsdisional.

4.2. Karakteristik petani Sayuran 4.2.1. Umur petani

Dari segi usia pada umumnya petani yang menanam sayuran adalah petani yang usianya diatas 25 tahun, hanya ada satu orang petani yang berusia 70 tahun. Sebagian besar umur petani responden adalah 34 tahun, dengan komposisi untuk petani termuda 27 tahun dan tertua 70 tahun. Komposisi responden berdasarkan umur dapat di lihat pada Tabel 2.


(38)

31

Tabel 2. Komposisi Responden Petani Berdasarkan Kelompok Umur

Kelompok Petani

Umur Jumlah (org) Persentase (%)

< 3 0 1 0,67

31-40 6 40

41-50 4 26

>50 5 33,33

Berdasarkan data tersebut berarti bahwa sebagian besar dari petani sayuran ini masih dapat dikembangkan menjadi usaha yang lebih produktif dan profesional, karena sebagian besar petani sayuran yang terdapat di Kabupaten Bandung ini masih berada pada golongan tenaga kerja yang produktif. Umumnya mereka memiliki keinginan besar untuk memajukan usahataninya, sehingga mereka dapat meningkatkan kesejahteraan keluarganya.

Dilihat dari sebaran data pada Tabel. 2 menunjukkan bahwa rendahnya minat golongan muda untuk terjun ke dunia pertanian. Padahal berdasarkan informasi yang diperoleh dari para petani bahwasannya sektor pertanian ini masih dapat dikatakan sebagai sektor unggulan atau primadona karena apabila sektor pertanian ini digeluti dengan baik dan sungguh-sungguh maka akan mendatangkan keuntungan secara financial yang cukup besar.

4.2.2. Pendidikan petani

Tingkat pendidikan sangat berperan terhadap respon petani dalam mengadopsi inovasi dan memperkirakan kemungkinan yang akan terjadi dimasa yang akan datang baik yang menyangkut aspek pelaksanaan usahatani, penguasaan teknologi dan pemasaran hasil panennya. Pendidikan petani diperoleh dari dua sumber yaitu pendidikan formal dan non formal. Pendidikan formal


(39)

32

diperoleh dari bangku sekolah mulai dari SD sampai perguruan tinggi sedangkan pendidikan non formal diperoleh seperti dari kursus-kursus atau pelatihan-pelatihan. Para petani responden masih jarang menerima pendidikan nonformal, karena akses mereka terhadap sumber informasi cukup sulit apalagi untuk mendapat penyuluhan dari instansi pemerintah. Kebanyakan dari responden mendapatkan pendidikan nonformal dari perusahaan-perusahaan pestisida ataupun dari lembaga lain nonpemerintah yang terkait dengan sektor pertanian. Selain itu pengetahuan usahatani para responden dalam penelitian ini mereka peroleh dari pengalamannya pribadi, baik yang mereka peroleh dari tempat kerja sebelumnya ataupun dari keluarganya sebagai warisan turun-temurun. Meskipun demikian para petani sebenernya berharap ada perhatian dari pihak pemerintah untuk dapat memfasilitasi mereka dalam hal yang terkait dengan usahatani misalnya dengan menyediakan penyuluh pertanian yang memiliki ilmu praktis terkait pertanian yang mumpuni.

Kondisi petani yang menjadi responden dalam penelitian ini pada umumnya memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Kebanyakkan dari petani responden ini hanya sekolah sampai tingkat sekolah dasar, sedangkan yang sekolah sampai SMP sebanyak 3 orang, SMA sebanyak 2 orang, tidak tamat perguruan tinggi 3 orang dan perguruan tinggi sebanyak 3 orang. Tingkat pendidikan petani sayuran dapat di lihat pada Tabel 3.


(40)

33

Tabel 3. Komposisi Responden Petani Sayuran Berdasarkan Tingkat Pendidikan

No Pendidikan Formal Jumlah (orang) Persentase (%)

1 Perguruan Tinggi (SI & S2) 3 20

2 Tidak Tamat Perguruan Tinggi 3 20

3 SMA 2 13,33

4 SMP 3 20

5 SD 4 26,67

Meskipun tingkat pendidikan petani tersebut masih rendah namun mereka tetap berusaha untuk dapat meningkatkan usahataninya seoptimal mungkin. Hal itu ditunjukkan dengan adanya keinginan petani untuk terus meningkatkan pengetahuannya dengan mengakses berbagai pelatihan.

4.2.3. Mata pencaharian petani responden

Pada umumnya mata pencaharian responden adalah sebagai petani. Selain sebagai petani sayuran, mereka mempunyai pekerjaan tambahan misalnya sebagai pedagang atau merangkap sebagai supplier. Berdasarkan data yang diperoleh dari lapangan bahwa jumlah tanggung keluarga yang menjadi tanggungjawab para petani jumlahnya tidak lebih dari 6 orang anggota keluarga.

Dengan jumlah tanggungan keluarga yang tidak terlalu banyak dan ditunjang dengan mata pencahariannya diluar bertani, maka secara keseluruhan taraf hidup para petani sayuran sudah cukup. Hal itu ditandai dengan sudah cukup terpenuhi kebutuhan primer keluarganya, bahkan untuk beberapa responden kebutuhan sekunder dan tersier pun sudah terpenuhi. Dengan demikian sesungguh sektor pertanian masih dapat dijadikan sebagai salah saktu sektor unggulan sehingga para pelakunya dapat memperoleh taraf hidup sejahtera.


(41)

34 4.2.4. Pengalaman usahatani sayuran

Pengalaman usahatani sangat membantu dan menunjang petani untuk terus lebih maju dan sebagai bekal ilmu untuk melakukan usaha selanjutnya. Dengan pengalaman ini diharapkan petani dapat mengambil keputusan yang terbaik. Pengalaman petani dalam berusahatani sayuran diukur berdasarkan lamanya petani responden melakukan usahatani sayuran, baik dalam mengambil keputusan dalam penggunaan sarana produksi maupun dalam pemasaran hasil.

Tabel 4. Komposisi Responden Berdasarkan Pengalaman Usahatani Sayuran

Pengalaman Petani

Usahatani Sayuran Jumlah (org) Persentase (%)

< 5 2 13,33

5 - 1 0 3 20

>10 10 66,67

Sebagian besar dari para petani tersebut memiliki pengalaman dalam usahataninya adalah lebih dari 10 tahun. Dengan demikian para petani sayuran di Kabupaten Bandung ini sudah cukup berpengalaman dan tahu jauh mengenai karakteristik sayuran yang mereka tanam. Namun kondisi sistem usahatani sayuran yang dijalankan para petani belum optimal, ditandai dengan belum diterapkannya menajemen usahatani yang tersusun dan teratur dengan baik.

4.2.5. Hasil produksi dan pemasaran sayuran

Produktivitas sayuran antara petani satu dengan yang lainnya menunjukan variasi yang sangat fluktuatif. Hal tersebut terjadi karena dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya tingkat pendidikan. pengalaman usahatani, umur


(42)

35

petani, jumlah tanggungan keluarga dan pelatihan/pembinaan. Dengan melihat karakteristik petani yang telah diuraikan sebelumnya, maka hasil produksi sayuran yang diperoleh oleh setiap petani belum optimal. Hal tersebut terjadi karena keterbatasan pengetahuan petani dalam bercocok tanam sayuran serta ada beberapa yang diakibatkan oleh keterbatasan modal yang mereka miliki.

Tabel 5. Produktivitas Sayuran Petani Responden

Pertanian Organik (Ikat/Bulan) Identitas

Responden Kangkung Bayam Pakcoy Sawi

Daun

Ubi Caysin Jabung Kay Ian

A 5000 5000 5000 5000

B 1500 1500 1500 1500

C * 3000 3000 3000 3000

D 8000 4000 2000 3000 800

E 1000 1000 1000 1000 1000 1000

Pertanian Anorganik (Ton/Musim)

Pecay Tomat Cabe Kentang Kubis Bawang

Daun Sawi Wortel

F 50

G 15 25 15

H 60 24

I 25 40 48

J 10 24

K 50 20 25 40 10 30

L 10 0.02 5

M 10

N 7

O 20 30 1.5

Hampir semua petani sayuran anorganik menjual hasil panennya ke bandar, hanya empat responden petani anorganik yang menjual hasil panennya secara langsung ke pasar induk. Hal tersebut dilakukan karena apabila mereka menjualnya melalui bandar maka mereka tidak akan mengeluarkan biaya angkut dan biaya-biaya yang terkait pemasaran lainnya, semua biaya tersebut ditanggung


(43)

36

oleh bandar sehingga dari hasil penjulannya tersebut akan lebih menguntungkan. Sedangkan petani yang langsung menjualnya ke pasar induk karena mereka sekaligus merangkap sebagai bandar (pedagang pengumpul). Namun Keempat petani yang merangkap sebagai bandar pun tidak menutup kemungkinan menjualnya melalui bandar untuk beberapa komoditas yang bukan menjadi prioritasnya, karena skala hasilnya pun tidak terlalu banyak. Alasan lainnya yaitu disebabkan oleh kurang fahamnya ceruk pasar untuk komoditas tersebut. Dalam penentuan harganya para petani didasarkan pada harga pasar yang sedang berkembang, dan penentu harga itu adalah bandar. Meskipun demikian tidak terjadi penindasan akan harga terhadap petani oleh para bandar, karena informasi harga yang berkembang selalu diperoleh bandar maupun petani setiap saat. Informasi harga tersebut diperoleh dari para bandar yang senantiasa setiap saat mencek perkembangan harga ke pasar baik secara langsung ke pasar ataupun melalui telepon.

Dalam penjualannya hampir untuk setiap jenis komoditas para petani tidak melakukan sistem grade, tetapi dilakukan dengan sistem abresan. Alasannya adalah petani tidak melakukan kegiatan pasca panen seperti sortasi dan grading, dikeranakan apabila dilakukan sistem grade maka jenis komoditas yang berkualitas rendah tidak akan terjual dan hanya menjadi sampah. Jika terjadi hal tersebut maka para petani akan mengalami kerugian. Selain itupun para petani harus menambah biaya untuk upah tenaga kerja untuk tahapan tersebut. Sortasi dan grading dilakukan oleh para bandar, sehingga pemasaran hasil dari bandar ke


(44)

37

pasar induk dilakukan dengan sistem grading. Pembayaran dilakukan secara tunai baik dari bandar ke petani ataupun dari pedagang di pasar induk ke para bandar.

Gambar 3. Sistem Pemasaran Sayuran

Adapun sistem pemasaran yang dilakukan oleh para petani organik di pasarkan secara langsung oleh setiap petani ke pasar modern. Oleh karena itu secara otomatis sebelum disalurkan maka hasil sayuran tersebut dilakukan sortasi dan grading. Komoditas yang tidak masuk kedalam grade yang disyaratkan oleh pihak pasar maka akan disalurkan ke pasar tradisional dengan harga dasar. Dengan alasan hanya sekedar untuk kembali modal, tanpa ada keuntungan pun asalkan tidak mengalami kerugian dan hasil dari sayuran tersebut tidak mubazir menjadi sampah. Sistem penetapan harga dilakukan dengan cara proses tawar menawar antara petani dengan pihak manajemen pasar modern yang didasarkan pada biaya usahatani yang telah dibuat dan diajukan oleh para petaninya. Dengan demikian para petani tidak mengalami kerugian. Sistem pembayaran yang

PETANI

PEDAGANG PENGEPUL

PEDAGANG PASAR INDUK

PEDAGANG PASAR LOKAL

PEDAGANG KECIL/KELILING

PENGOLAH

SUPLIER


(45)

38

dilakukan oleh pihak manajemen pasar modern tersebut dilakukan dengan sistem giro. Giro tersebut ada yang pencairannya per dua minggu ada pula yang berdasarkan perbandingan misalnya 4 : 1 . Artinya setelah empat kali memasok barang baru uang pembelian cair satu kali.

4.3. Potensi Pengembangan Usahatani Sayuran

Berdasarkan pada kondisi tofografi maka Kabupaten Bandung mempunyai potensi yang cukup bagus untuk pengembangan usahatani sayuran. Kondisi lahan di daerah tersebut memenuhi syarat untuk tumbuhnya sayuran. Selain itu hal yang menunjukan bahwa daerah Bandung berpotensi untuk pengembangan sayuran adalah masih banyak terdapat lahan pertanian yang belum digunakan secara optimal. Selain lahan milik pribadi para petani, petani dapat memperluas lahan garapannya untuk tanaman sayuran dengan cara menyewa lahan milik orang lain.

Produksi sayuran di Kabupaten Bandung masih berpotensi untuk terus dikembangkan. Meskipun pada saat ini kondisi pertanian sayuran masih belum optimal dari segi manajemen, sehingga menyebabkan jumlah produksi yang kurang optimal dan terkadang permintaan pasar tidak terpenuhi. Semua itu masih dapat ditanggulangi lagi dengan cara memperbaiki sarana dan prasaran pertanian yang telah ada.

Pribadi petani dapat diperbaiki dengan cara memberikan tambahan pengetahuan khususnya mengenai usahatani sayuran baik secara formal maupun informal. Petani akan sangat tertarik apabila diadakan pelatihan dan pembinaan tentang usahatani sayuran baik dari pemerintah atau swasta. Para petani sayuran


(46)

39

memiliki motivasi yang tinggi untuk memperbaiki kondisi usahataninya didukung pula oleh usia para petani yang termasuk dalam golongan usia produktif.

Selain dari pribadi petani pengembangan produksi sayuran dapat dilakukan dengan menambah luas areal tanaman sayuran. Petani dapat saja dengan mudah memperluas lahan sayuran yang menjadi garapannya, tetapi dalam pelaksanaannya para petani sayuran masih terbentur dengan keterbatasan modal dan faktor teknis. Dengan demikian untuk lebih mengoptimalkan keberlangsungan usahatani sayuran diperlukan adanya bantuan modal dan fasilitas-fasilitas-teknis atau non teknis. Selain itu dalam pengembangan produksi sayuran ini diperlukan adanya kerjasama antara petani, pemerintah, masyarakat dan instansi-instansi lainnya yang terkait dengan usahatani sayuran.

4.4. Kesulitan-kesulitan yang dihadapipetani sayuran

Kondisi petani sayuran di Kabupaten Bandung secara kuantitas memiliki jumlah yang banyak, namun dari segi kualitas teknik budidaya para petani pada umumnya masih sederhana. Maksudnya adopsi terhadap inovasi-inovasi akan teknologi pertanain masih kurang. Meskipun seperti itu kegiatan usaha tani sayuran ini merupakan mata pencaharian utama. Pada dasarnya para petani di Kabupaten Bandung dapat lebih meningkatkan taraf hidup mereka dengan cara menggali nilai tambah yang dimiliki oleh setiap komoditas sayuran tersebut, sehingga mereka tidak hanya menjualnya dalam bentuk sayuran segar melainkan dapat menjualnya dalam bentuk hasil olahan dari sayuran tersebut.

Belum mampunya petani dalam memenuhi kebutuhan konsumen disebabkan oleh beberapa aspek antara lain lemahnya penerapan leknologi tepat guna,


(47)

40

penerapan jaminan mutu masih lemah, penguasaan terhadap informasi masih terbatas, lemahnya sumber daya petani serta sarana dan prasarana usahatani yang belum memadai. Selain hal-hal tersebut di atas sedikitnya modal yang dimiliki petani menjadi salah satu kendala yang dihadapi oleh para petani. Dengan keterbatasan modal yang ada menyebabkan petani sulit untuk memperbaiki pola usaha taninya. Karena pada saat ini segala sesuatu akan maju apabila ditunjang dengan permodalan yang cukup.

Dalam upaya penambahan modal usahataninya, para petani mendapatkan bantuan modal dari beberapa sumber seperti pinjaman dari bandar atau pinjam ke bank. Bagi responden dalam penelitian ini yang merangkap sebagai petani besar dan bandar, meraka tidak terlalu merasa kesulitan dalam melakukan perputaran modal karena pendapatan yang diperoleh dari usahataninya cukup untuk membiayai kehidupan keluarga dan usahataninya.

Selain kendala yang diuraikan di atas kendala lain yang dihadapi oleh petani anorganik adalah kenaikan harga pupuk dan pestisida. Kenaikan harga tersebut tidak diimbangi dengan kenaikan harga jual sayuran. Sedangkan kendala yang dihadapi oleh para petani sayuran organik adalah dalam hal perluasan lahan garapan sehingga green house dan media tanam tidak cukup tersedia karena harus memakan biaya yang sangat besar. Selain itu untuk beberapa orang petani sayuran organik mereka sulit mendapatkan lesensi resmi atau sertifikasi sebagai sayuran organik.

Kurangnya penyuluhan baik teknis ataupun nonteknis mengenai usahatani sayuran yang disampaikan kepada petani berakibat terhadap kurang optimalnya


(48)

41

usaha tani sayuran yang dijalankan. Padahal pada kenyataannya di lapangan para petani sangat mengharapkan adanya penyuluhan mengenai usaha tani sayuran baik dari pihak pemerintah maupun swasta. Semua hal tersebut terjadi di petani kecil, sedangkan bagi petani besar dengan pengalaman yang cukup penyuluhan pertanian tidak terlalu dibutuhkan karena terkadang cara bertani yang disampaikan para penyuluh kurang tepat perlakuannya dibandingkan dengan metode yang telah diterapkan oleh para petani.

Masalah lainnya yang dihadapi para petani sayuran adalah fluktuasi harga sayuran yang tinggi dan cuaca yang tidak menentu sehingga menyebabkan tanaman mereka rusak. Dengan demikian menyebabkan para petani kesulitan dalam menaksir harga yang akan terbentuk di pasar, kecuali bagi petani besar dengan sarana dan prasarana yang menunjang serta pendidikan yang memadia, sedikitnya mampu untuk dapat memprediksi harga. Dengan harga yang tidak menentu ini berakibat pada keberhasilan petani dalam usahanya, karena tidak jarang terjadi harga jual hasil panen sayurannya hanya ditampung dengan harga yang sangat rendah sehingga menimbulkan kerugian. Jangankan mendapatkan keuntungan atau minimalnya kembali modal tetapi biaya-biaya yang sudah dikeluarkan untuk usaha tani mereka tidak tertutupi.

4.5. Perkembangan Pasar Modem: Usahatani Petani Sayuran

Secara makro, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kehadiran pasar modern telah mengancam eksistensi pasar tradisional. Ritel modern terus mengalami pertumbuhan yang pesat setiap tahunnya sehingga keberadaannya memang berpotensi sangat besar untuk menggerus ritel kecil/tradisional


(49)

42

terlebih lagi didukung dengan perubahan pola belanja dari masyarakat yang semakin modern dan semakin membutuhkan hadirnya ritel modern.

Dengan adanya perkembangan pasar modern pada dasarnya membukakan peluang pasar baru bagi para petani sayuran untuk memasarkan hasil panennya. Sebagian besar supermarket dan hypermarket telah mengembangkan pangsa pasar mereka pada sektor eceran dengan membuka cabang-cabang baru di berbagai kota besar di Indonesia dan memberikan alokasi yang semakin besar kepada pangsa makanan segar dan bernilai tinggi. Selain itu yang mendorong peluang pasar sayuran cukup menjanjikan adalah konsumsi makanan segar mengalami kenaikan. Konsumsi sayuran telah mengalami peningkatan walaupun pada tingkatan yang lambat dibandingkan dengan produk hortikultura lainnya. Konsumen menjadi semakin sadar dan peka tentang kesehatan maupun keamanan makanan.

Meskipun peluang pasar sayuran cukup terbuka luas, namun bukan berarti petani sudah berhasil secara maksimal menembus semua peluang pasar tersebut. Pada umumnya petani menjual hasil produksi sayurannya kepada pedagang pengumpul. Pedagang pengumpul datang ke petani, bukan petani yang membawa hasil produksinya ke pedagang. Petani biasanya berhubungan dengan pedagang tertentu dan hubungan itu lebih didasarkan atas saling kepercayaan. Tidak semua petani menjual kepada pedagang, beberapa petani memiliki kontrak dengan pasar modern seperti Griya dan Superindo. Ada juga petani yang menjual kepada petani besar (titip jual) yang umumnya sudah memiliki jaringan pemasaran yang baik.

Pedagang pengumpul menjual sayuran kepada pedagang-pedagang besar di pasar Induk atau pasar-pasar tradisional besar yang umumnya berada di kota-kota


(50)

43

besar. Pedagang pengumpul biasanya sudah memiliki langganan tertentu di pasar induk tersebut. Pedagang besar di pasar induk ini menjual kepada sesama pedagang di pasar induk atau agen yang nantinya akan memasok ke industri ataupun pasar modern lainnya seperti supermarket dan hypermarket. Supermarket pun memperoleh sayuran dari supplier yang telah ditunjuk berdasarkan kontrak tertentu.

Berdasarkan pada uraian di atas menunjukkan bahwasannya sebagian besar petani belum mampu untuk menembus pasar modern. Kalaupun sayuran tersebut sampai masuk ke pasar modem (supermarket dan hypermarket), hal itu terjadi setelah melalui saluran pemasaran yang panjang. Dengan demikian maka share penjualan yang diterima oleh para petani nilainya kecil, karena share penjualan tersebut lebih banyak dinikmati oleh para pedagang perantara. Pasar modern hanya mampu ditembus oleh para petani organik dan petani besar.

Hasil dari penelitian di lapangan bahwasannya para petani organik mampu bertahan dalam melakukan pasokan ke pasar modern adalah sikap mental dalam menghadapi risikonya lebih besar dibandingkan dengan para petani anorganik. Selain itu didorong oleh alasan awal kenapa mereka memilih segmen pertanian organik adalah karena adanya pasar modem, karena hasil dari pertanian organik harga jualnya tidak akan masuk kalau harus dipasarkan ke pasar tradisional. Para petani organik pun mampu mengadapi tantangan dalam mendobrak alur birokrasi yang cukup kompleks dalam prosedural kontraknya.

Pasar modern pun dapat ditembus oleh para petani anorganik. Petani anorganik yang mampu memasok ke pasar modem adalah para petani besar yang


(51)

44

umumnya merangkap sebagai bandar. Karena syarat yang diajukan untuk mampu menembus pasar modern adalah kualitas, kuantitas dan kontinuitas yang stabil, petani besar mampu menjaga hal tersebut sedangkan kalau petani kecil tidak bisa menjaga kestabilan dari ketiga syarat tersebut. Ketika memasarkan ke pasar modem sebenamya lebih memberikan jaminan kepastian harga. Meskipun demikian para petani tersebut tidak mampu mempertahankan kerjasama dengan pasar modem dikarenakan tidak kuatnya para petani dalam menjalani prosedur yang cukup rumit dari pihak pasar modem.

Para petani merasa ribet dengan syarat-syarat yang diajukan oleh pasar modem. Dari segi tahapan kerja yang harus dilakukan para petani pun lebih kompleks karena harus melakukan tahapan sortasi dan grading. Oleh karena itu petani harus menambah jumlah tenaga untuk melakukan proses tersebut, sehingga berakibat pula pada penambahan biaya yang harus dikeluarkan. Artinya dengan jaminan harga yang diberikan lebih baik daripada pasar tradisional pun tidak menjamin keuntungan para petani meningkat karena seiring dengan itu biaya yang dikeluarkan pun bertambah. Selain itu dengan adanya kerja sama dengan pasar modem yang hanya menerima barang dengan kualitas tinggi (grade A) menyebabkan petani kesulitan untuk memasarkan sayuran sisa (grade B dan C). Hal itu menyebabkan petani harus melakukan dua kali negosiasi dengan saluran pemasaran yang berbeda, sehingga waktu mereka tidak efisien dan tidak efektif. Dengan demikian para petani lebih memilih untuk kembali memasarkan sayurannya ke pasar tradisional.


(52)

45

Faktor lain yang menyebabkan para petani anorganik memutuskan hubungan kerja sama dengan pasar modern adalah sistem pembayaran yang dilakukan pasar modem dengan sistem giro. Sistem giro itu paling cepat bisa cair dalam jangka waktu dua minggu, bahkan ada yang menerapkan sistem pembayaran dengan cara order akan dibayar setelah memasok barang empat kali dan order yang dibayamya tersebut adalah hanya order yang pertama sedangkan yang tiga sisanya akan dibayar kemudian sesuai dengan sistem pembayaran sebelumnya. Dengan sistem pembayaran yang seperti itu membuat petani kesulitan untuk melanjutkan usaha tani mereka karena modal yang dimilikinya terbatas apabila terjadi penangguhan pembayaran hasil panen.

Perkembangan pasar modem dapat dikatakan berpengaruh secara langsung terhadap usaha tani para petani organik karena hanya pasar modem yang mampu menjangkau harga dari sayuran organik. Sedangkan bagi pertanian anorganik keberadaan pasar modem berpengaruh secara tidak langsung karena setelah sayuran tersebut masuk pasar induk maka akan disalurkan kembali ke pasar tradisional di tingkat kabupaten/kecamatan atau dijual ke pasar modem. Sehingga dengan semakin berkembangnya pasar modem maka permintaan sayuran dari petani pun akan meningkat.

Berdasarkan dari hasil penelusuran di lapangan ditemukan bahwa salah satu dari petani responden dalam penelitian ini pemah mengekspor sayurannya ke malayasia dan singapura selama 8 tahun (1995-2003). Aktivitas ekspor ini tidak berlanjut terus sampai sekarang karena produk sayuran dari Indonesia kalah


(53)

46

bersaing dengan Negara lain terutama Thailand. Salah satu penyebabnya yaitu terlalu besarnya residu pestisida yang terkandung dalam sayuran dari Indonesia.


(54)

47 BAB V PENUTUP

5.1. Kesimpulan

1. Keberadaan pasar modern baru dapat di respon dengan baik oleh para petani organik, sedangakan para petani anorganik belum dapat meresponnya secara total. Karena prosedur yang diajukan oleh pasar madern terlalu rumit untuk dapat ditembus oleh para petani anorganik yang notabene modalnya tidak terlalu kuat.

2. Adanya permintan sayuran bagi pasar modem berdampak baik secara langsung ataupun tidak langsung terhadap usaha tani para petani. Berdampak langsung terhadap permintaan sayuran organik dan tidak langsung berpengaruh terhadap permintaan sayuran anorganik. Pada dasamya dengan berkembangnya pasar modem membukakan peluang baru bagi pangsa pasar sayuran.

5.2. Saran

1. Pemerintah atau pihak swasta yang berkepentingan dengan usahatani sayuran hendaknya menyediakan bantuan modal dalam bentuk kredit tanpa anggunan atupun pinjaman modal dengan tingkat suku bunga yang rendah. 2. Dalam upaya memberikan perlindungan terhadap produk sayuran dalam negeri seyogyanya pemerintah mampu mengatur dan melakukan pembatasan dalam penjualan benih sehingga pasokan sayuran akan tersedia dengan cukup dan harga akan stabil.


(55)

48

DAFTAR PUSTAKA

Huang, J., Zhurong Huang.,Huanyong Zhi.,Yunhua Wu dan Xiangfang Niu. 2007. Production, Marketing and Impact of Market Chain Change on Farmer in China: Case Study of Cucumber and Tomato in Shandong Province (Micro study of Component 1 (China) Recoverning Market Program). Center for Chinese Agricultura Policy. Chinese Academy of Sciences.

Khrisnamurti, B dan Lusi. F. 2004. Final Report Research on Supermarket Supply Chains in Indonesia. Centre for Development Studies. Bogor Agricultural University.

Kotler, Philip. 1997. Manajemen Pemasaran. Jakarta : Prehallindo.

Ma'ruf, Hendri. 2005. Pemasaran Ritel. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Minot, Nicholas dan Devesh Roy. 2007. Impact of High-Value Agriculture and

Modern Marketing Channels on Poverty : An Analytical Framework. Draft submitted for consideration as an IFPRI Food Policy Review. Markets, Trade and Institutions Division International Food Policy Research Institute. Washington, D.C.

Natawidjaja, Ronnie S., Trisna Insan Noor, Tomy Perdana, Elly Rasmikayati, Sjaiful Bachri dan Thomas Reardon. 2006. Component Regoverning Market Programme : Restructuring of Agrifood Chains in Indonesia, Indonesia National and local Meso Study (Modules 1 and 2 of C I ) Report. Center for Agricultural Policy and Agribusiness Studies Padjadjaran University.

Navas, Luis Geovanny Flores. 2004. Small Lettuce Farmers Access to Dynamic Markets in Guatemala. Thesis of Department of Agricultural Economics : Michigan State University.

Nielsen, A.C. 2005. Tren Pembeli dan Ritel Asia Pasifik 2005. Melalui

http://www.acnielsen.de/pubs/documents/RetailandShopperTrendsAsia

2005. pdf (24/12/08).


(56)

49

Said, E. Gumbira dan A. Harizt Intan. 2004. Manajemen Agribisnis. Cetakan Kedua. Jakarta : Ghalia Indonesia.

Said, E. Gumbira dan A. Harizt Intan. 2004. Manajemen Agribisnis. Cetakan Kedua. Jakarta : Ghalia Indonesia.

Saladin, Djaslim. 2004. Manajemen Pemasaran Analisis, Perencanaan, Pelaksanaan dan Pengendalian. Bandung : Linda Karya.

Soetriono, Anik Suwandari, dan Rijanto. 2003. Pengantar Ilmu Pertanian Agraris, Agribisnis, dan Industri. Jember : Bayu Media Publishing.

Swashta, Basu dan Irawan. 1990. Manajemen Pemasaran Modern. Yogyakarta : Liberty.

Wiboonponse, Aree dan Songsak Sriboonchitta. 2006. Securing Small Producer Participation in Restructured National and Regional Agri - Food Systems: The Case of Thailand : Mengamankan Partisipasi Produsen Kecil dalam Sistem Agro-Makanan Nasional dan Regional Yang Terestrukturisasi : Kasus Thailand. Regoverning Markets

<http://www.regovemingmarkets.org (27/12/08).

Wikipedia Indonesia, Ensiklopedia Bebas Berbahasa Indonesia. 2006. Pasar. Melalui http://id.wikipedia.org/wiki/Pasar (27/12/08).


(1)

44

umumnya merangkap sebagai bandar. Karena syarat yang diajukan untuk mampu menembus pasar modern adalah kualitas, kuantitas dan kontinuitas yang stabil, petani besar mampu menjaga hal tersebut sedangkan kalau petani kecil tidak bisa menjaga kestabilan dari ketiga syarat tersebut. Ketika memasarkan ke pasar modem sebenamya lebih memberikan jaminan kepastian harga. Meskipun demikian para petani tersebut tidak mampu mempertahankan kerjasama dengan pasar modem dikarenakan tidak kuatnya para petani dalam menjalani prosedur yang cukup rumit dari pihak pasar modem.

Para petani merasa ribet dengan syarat-syarat yang diajukan oleh pasar modem. Dari segi tahapan kerja yang harus dilakukan para petani pun lebih kompleks karena harus melakukan tahapan sortasi dan grading. Oleh karena itu petani harus menambah jumlah tenaga untuk melakukan proses tersebut, sehingga berakibat pula pada penambahan biaya yang harus dikeluarkan. Artinya dengan jaminan harga yang diberikan lebih baik daripada pasar tradisional pun tidak menjamin keuntungan para petani meningkat karena seiring dengan itu biaya yang dikeluarkan pun bertambah. Selain itu dengan adanya kerja sama dengan pasar modem yang hanya menerima barang dengan kualitas tinggi (grade A) menyebabkan petani kesulitan untuk memasarkan sayuran sisa (grade B dan C). Hal itu menyebabkan petani harus melakukan dua kali negosiasi dengan saluran pemasaran yang berbeda, sehingga waktu mereka tidak efisien dan tidak efektif. Dengan demikian para petani lebih memilih untuk kembali memasarkan sayurannya ke pasar tradisional.


(2)

45

Faktor lain yang menyebabkan para petani anorganik memutuskan hubungan kerja sama dengan pasar modern adalah sistem pembayaran yang dilakukan pasar modem dengan sistem giro. Sistem giro itu paling cepat bisa cair dalam jangka waktu dua minggu, bahkan ada yang menerapkan sistem pembayaran dengan cara order akan dibayar setelah memasok barang empat kali dan order yang dibayamya tersebut adalah hanya order yang pertama sedangkan yang tiga sisanya akan dibayar kemudian sesuai dengan sistem pembayaran sebelumnya. Dengan sistem pembayaran yang seperti itu membuat petani kesulitan untuk melanjutkan usaha tani mereka karena modal yang dimilikinya terbatas apabila terjadi penangguhan pembayaran hasil panen.

Perkembangan pasar modem dapat dikatakan berpengaruh secara langsung terhadap usaha tani para petani organik karena hanya pasar modem yang mampu menjangkau harga dari sayuran organik. Sedangkan bagi pertanian anorganik keberadaan pasar modem berpengaruh secara tidak langsung karena setelah sayuran tersebut masuk pasar induk maka akan disalurkan kembali ke pasar tradisional di tingkat kabupaten/kecamatan atau dijual ke pasar modem. Sehingga dengan semakin berkembangnya pasar modem maka permintaan sayuran dari petani pun akan meningkat.

Berdasarkan dari hasil penelusuran di lapangan ditemukan bahwa salah satu dari petani responden dalam penelitian ini pemah mengekspor sayurannya ke malayasia dan singapura selama 8 tahun (1995-2003). Aktivitas ekspor ini tidak berlanjut terus sampai sekarang karena produk sayuran dari Indonesia kalah


(3)

46

bersaing dengan Negara lain terutama Thailand. Salah satu penyebabnya yaitu terlalu besarnya residu pestisida yang terkandung dalam sayuran dari Indonesia.


(4)

47 BAB V PENUTUP

5.1. Kesimpulan

1. Keberadaan pasar modern baru dapat di respon dengan baik oleh para petani organik, sedangakan para petani anorganik belum dapat meresponnya secara total. Karena prosedur yang diajukan oleh pasar madern terlalu rumit untuk dapat ditembus oleh para petani anorganik yang notabene modalnya tidak terlalu kuat.

2. Adanya permintan sayuran bagi pasar modem berdampak baik secara langsung ataupun tidak langsung terhadap usaha tani para petani. Berdampak langsung terhadap permintaan sayuran organik dan tidak langsung berpengaruh terhadap permintaan sayuran anorganik. Pada dasamya dengan berkembangnya pasar modem membukakan peluang baru bagi pangsa pasar sayuran.

5.2. Saran

1. Pemerintah atau pihak swasta yang berkepentingan dengan usahatani sayuran hendaknya menyediakan bantuan modal dalam bentuk kredit tanpa anggunan atupun pinjaman modal dengan tingkat suku bunga yang rendah. 2. Dalam upaya memberikan perlindungan terhadap produk sayuran dalam negeri seyogyanya pemerintah mampu mengatur dan melakukan pembatasan dalam penjualan benih sehingga pasokan sayuran akan tersedia dengan cukup dan harga akan stabil.


(5)

48

DAFTAR PUSTAKA

Huang, J., Zhurong Huang.,Huanyong Zhi.,Yunhua Wu dan Xiangfang Niu. 2007. Production, Marketing and Impact of Market Chain Change on Farmer in China: Case Study of Cucumber and Tomato in Shandong Province (Micro study of Component 1 (China) Recoverning Market Program). Center for Chinese Agricultura Policy. Chinese Academy of Sciences.

Khrisnamurti, B dan Lusi. F. 2004. Final Report Research on Supermarket Supply Chains in Indonesia. Centre for Development Studies. Bogor Agricultural University.

Kotler, Philip. 1997. Manajemen Pemasaran. Jakarta : Prehallindo.

Ma'ruf, Hendri. 2005. Pemasaran Ritel. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Minot, Nicholas dan Devesh Roy. 2007. Impact of High-Value Agriculture and

Modern Marketing Channels on Poverty : An Analytical Framework. Draft submitted for consideration as an IFPRI Food Policy Review. Markets, Trade and Institutions Division International Food Policy Research Institute. Washington, D.C.

Natawidjaja, Ronnie S., Trisna Insan Noor, Tomy Perdana, Elly Rasmikayati, Sjaiful Bachri dan Thomas Reardon. 2006. Component Regoverning Market Programme : Restructuring of Agrifood Chains in Indonesia, Indonesia National and local Meso Study (Modules 1 and 2 of C I ) Report. Center for Agricultural Policy and Agribusiness Studies Padjadjaran University.

Navas, Luis Geovanny Flores. 2004. Small Lettuce Farmers Access to Dynamic Markets in Guatemala. Thesis of Department of Agricultural Economics : Michigan State University.

Nielsen, A.C. 2005. Tren Pembeli dan Ritel Asia Pasifik 2005. Melalui http://www.acnielsen.de/pubs/documents/RetailandShopperTrendsAsia 2005. pdf (24/12/08).


(6)

49

Said, E. Gumbira dan A. Harizt Intan. 2004. Manajemen Agribisnis. Cetakan Kedua. Jakarta : Ghalia Indonesia.

Said, E. Gumbira dan A. Harizt Intan. 2004. Manajemen Agribisnis. Cetakan Kedua. Jakarta : Ghalia Indonesia.

Saladin, Djaslim. 2004. Manajemen Pemasaran Analisis, Perencanaan, Pelaksanaan dan Pengendalian. Bandung : Linda Karya.

Soetriono, Anik Suwandari, dan Rijanto. 2003. Pengantar Ilmu Pertanian Agraris, Agribisnis, dan Industri. Jember : Bayu Media Publishing.

Swashta, Basu dan Irawan. 1990. Manajemen Pemasaran Modern. Yogyakarta : Liberty.

Wiboonponse, Aree dan Songsak Sriboonchitta. 2006. Securing Small Producer Participation in Restructured National and Regional Agri - Food Systems: The Case of Thailand : Mengamankan Partisipasi Produsen Kecil dalam Sistem Agro-Makanan Nasional dan Regional Yang Terestrukturisasi :

Kasus Thailand. Regoverning Markets

<http://www.regovemingmarkets.org (27/12/08).

Wikipedia Indonesia, Ensiklopedia Bebas Berbahasa Indonesia. 2006. Pasar. Melalui http://id.wikipedia.org/wiki/Pasar (27/12/08).