Buku SMK Teknologi dan Rekayasa - Teknik Survei dan Pemetaan - Jilid 3.pdf

TEKNIK SURVEI DAN PEMETAAN

JILID 3

SMK

Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah

Departemen Pendidikan Nasional

Hak Cipta pada Departemen Pendidikan Nasional Dilindungi Undang-undang

TEKNIK SURVEI DAN PEMETAAN

JILID 3

U nt uk SM K

Penulis

: Iskandar Muda

Perancang Kulit

: TIM

Ukuran Buku : 17,6 x 25 cm

MUD MUDA, Iskandar. t

Teknik Survei dan Pemetaan Jilid 3 untuk SMK oleh Iskandar Muda ---- Jakarta : Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional, 2008.

x, 214 hlm Daftar Pustaka : Lampiran. A Glosarium

: Lampiran. B

Daftar Tabel

: Lampiran. C

Daftar Gambar : Lampiran. D ISBN

: 978-979-060-151-2

ISBN

: 978-979-060-154-3

Diterbitkan oleh Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah

Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2008

KATA SAMBUTAN

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan karunia Nya, Pemerintah, dalam hal ini, Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional, telah melaksanakan kegiatan penulisan buku kejuruan sebagai bentuk dari kegiatan pembelian hak cipta buku teks pelajaran kejuruan bagi siswa SMK. Karena buku-buku pelajaran kejuruan sangat sulit di dapatkan di pasaran.

Buku teks pelajaran ini telah melalui proses penilaian oleh Badan Standar Nasional Pendidikan sebagai buku teks pelajaran untuk SMK dan telah dinyatakan memenuhi syarat kelayakan untuk digunakan dalam proses pembelajaran melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 45 Tahun 2008 tanggal 15 Agustus 2008.

Kami menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada seluruh penulis yang telah berkenan mengalihkan hak cipta karyanya kepada Departemen Pendidikan Nasional untuk digunakan secara luas oleh para pendidik dan peserta didik SMK.

Buku teks pelajaran yang telah dialihkan hak ciptanya kepada Departemen Pendidikan Nasional ini, dapat diunduh ( download), digandakan, dicetak, dialihmediakan, atau difotokopi oleh masyarakat. Namun untuk penggandaan yang bersifat komersial harga penjualannya harus memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Pemerintah. Dengan ditayangkan soft copy ini diharapkan akan lebih memudahkan bagi masyarakat khsusnya para pendidik dan peserta didik SMK di seluruh Indonesia maupun sekolah Indonesia yang berada di luar negeri untuk mengakses dan memanfaatkannya sebagai sumber belajar.

Kami berharap, semua pihak dapat mendukung kebijakan ini. Kepada para peserta didik kami ucapkan selamat belajar dan semoga dapat memanfaatkan buku ini sebaik-baiknya. Kami menyadari bahwa buku ini masih perlu ditingkatkan mutunya. Oleh karena itu, saran dan kritik sangat kami harapkan.

Jakarta, 17 Agustus 2008 Direktur Pembinaan SMK

iv

PENGANTAR PENULIS

Penulis mengucapkan puji syukur ke Hadirat Allah SWT karena atas ridho-Nya buku teks “Teknik Survei dan Pemetaan” dapat diselesaikan dengan baik. Buku teks “Teknik Survei dan Pemetaan” ini dibuat berdasarkan penelitian-penelitian yang pernah dibuat,

silabus mata kuliah Ilmu Ukur Tanah untuk mahasiswa S 1 Pendidikan Teknik Sipil dan D 3 Teknik Sipil FPTK UPI serta referensi-referensi yang dibuat oleh penulis dalam dan luar negeri.

Tahap-tahap pembangunan dalam bidang teknik sipil dikenal dengan istilah SIDCOM (survey, investigation, design, construction, operation and mantainance). Ilmu Ukur Tanah termasuk dalam tahap studi penyuluhan (survey) untuk memperoleh informasi spasial (keruangan) berupa informasi kerangka dasar horizontal, vertikal dan titik-titik detail yang produk akhirnya berupa peta situasi.

Buku teks ini dibuat juga sebagai bentuk partisipasi pada Program Hibah Penulisan Buku Teks 2006 yang dikoordinir oleh Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Penulis mengucapkan terima kasih :

1. Kepada Yth. Prof.Dr. H. Sunaryo Kartadinata, M.Pd, selaku Rektor Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung,

2. Kepada Yth. Drs. Sabri, selaku Dekan Fakultas Pendidikan Teknologi dan Kejuruan Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung,

atas perhatian dan bantuannya pada proposal buku teks yang penulis buat.

Sesuai dengan pepatah “Tiada Gading yang Tak Retak”, penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam proposal buku teks ini, baik substansial maupun redaksional. Oleh sebab itu saran-saran yang membangun sangat penulis harapkan dari para pembaca agar buku teks yang penulis buat dapat terwujud dengan lebih baik di masa depan.

Semoga proposal buku teks ini dapat bermanfaat bagi para pembaca umumnya dan penulis khususnya serta memperkaya khasanah buku teks bidang teknik sipil di perguruan tinggi (akademi dan universitas). Semoga Allah SWT juga mencatat kegiatan ini sebagai bagian dari ibadah kepada-Nya. Amin.

Penulis,

DAFTAR ISI

4.3. Prosedur Pengukuran Sipat Datar Kerangka Dasar Vertikal

96 Lembar Pengesahan

4.4. Pengolahan Data Sipat Datar Kata Sambutan Kerangka Dasar Vertikal

104 Pengantar Penulis iv

4.5. Penggambaran Sipat Datar Daftar Isi v

Kerangka Dasar Vertikal 105 Deskripsi Konsep viii

Peta Kompetensi ix 5. Proyeksi Peta, Aturan Kuadran dan Sistem Kordinat 121

1. Pengantar Survei dan Pemetaan 1

5.1. Proyeksi Peta

5.2. Aturan Kuadran

1.1. Plan Surveying dan Geodetic

5.3. Sistem Koordinat

1 5.4. Menentukan Sudut Jurusan 140

1.2. Pekerjaan Survei dan Pemetaan

6. Macam Besaran Sudut 145 Vertikal

1.3. Pengukuran Kerangka Dasar

1.4. Pengukuran Kerangka Dasar

Horizontal 11 6.1. Macam Besaran Sudut 145

1.5. Pengukuran Titik-Titik Detail

18 6.2. Besaran Sudut dari Lapangan 145

6.3. Konversi Besaran Sudut 146

6.4. Pengukuran Sudut 163

2. Teori Kesalahan

7. Jarak, Azimuth dan Pengikatan ke

2.1. Kesalahan-Kesalahan pada Muka 193 Survei dan Pemetaan

2.2. Kesalahan Sistematis

46 7.1. Jarak Pada Survei dan Pemetaan 193

2.3. Kesalahan Acak

50 7.2. Azimuth dan Sudut Jurusan 196

2.4. Kesalahan Besar

50 7.3. Tujuan Pengikatan ke Muka 201

7.4. Prosedur Pengikatan Ke muka 203

7.5. Pengolahan Data Pengikatan

3. Pengukuran Kerangka Dasar

207 Vertikal 61

Kemuka

8. Cara Pengikatan ke Belakang

3.1. Pengertian 61 Metode Collins 213

3.2. Pengukuran Sipat Datar Optis

3.3. Pengukuran Trigonometris

3.4. Pengukuran Barometris

82 8.1. Tujuan Cara Pengikatan ke Belakang Metode Collins

8.2. Peralatan, Bahan dan Prosedur Dasar Vertikal 91

4. Pengukuran Sipat Datar Kerangka

Pengikatan ke Belakang Metode Collins

8.3. Pengolahan Data Pengikatan ke

4.1. Tujuan dan Sasaran Pengukuran Belakang Metode Collins 221 Sipat Datar Kerangka Dasar

8.4. Penggambaran Pengikatan ke Vertikal 91 Belakang Metode Collins

4.2. P eralatan, bahan, dan formulir pengukuran sipat datar kerangka 4.2. P eralatan, bahan, dan formulir pengukuran sipat datar kerangka

9. Cara Pengikatan ke Belakang Metode

13. Garis Kontur, Sifat dan

9.1. Tujuan Pengikatan ke Belakang

13.1. Pengertian Garis Kontur 387 Metode Cassini

13.2. Sifat Garis Kontur

9.2. Peralatan, Bahan dan Prosedur

13.3. Interval Kontur dan Indeks Kontur 390 Pengikatan ke Belakang Metode

13.4. Kemiringan Tanah dan Kontur Cassini

9.3. Pengolahan Data Pengikatan ke

391 Belakang Metode Cassini

13.5. Kegunaan Garis Kontur

13.6. Penentuan dan Pengukuran Titik

9.4. Penggambaran Pengikatan ke Detail untuk Pembuatan Garis Belakang Metode Cassini

13.7. Interpolasi Garis Kontur 395

10. Pengukuran Poligon Kerangka 13.8. Perhitungan Garis Kontur 396 Dasar Horisontal 259 13.9. Prinsip Dasar Penentuan Volume 396

13.10. Perubahan Letak Garis Kontur

di Tepi Pantai

10.1. Tujuan Pengukuran Poligon

13.11. Bentuk-Bentuk Lembah dan Kerangka Dasar Horizontal

Pegunungan dalam Garis Kontur 399

10.2. Jenis-Jenis Poligon

13.12.Cara Menentukan Posisi, Cross

10.3. Peralatan, Bahan dan Prosedur

Bearing dan Metode

Pengukuran Poligon

10.4. Pengolahan Data Poligon

13.13 Pengenalan Surfer 402

10.5. Penggambaran Poligon

14. Perhitungan Galian dan

11. Perhitungan Luas 313 Timbunan 417

14.1. Tujuan Perhitungan Galian dan

11.1. Metode-Metode Pengukuran

11.2. Prosedur Pengukuran Luas

418 dengan Perangkat Lunak

14.2. Galian dan Timbunan

14.3. Metode-Metode Perhitungan AutoCAD

Galian dan Timbunan

14.4. Pengolahan Data Galian dan

Timbunan

12. Pengukuran Titik-titik Detail Metode

14.5. Perhitungan Galian dan Timbunan 432 Tachymetri 345

14.6. Penggambaran Galian dan Timbunan 439

12.1. Tujuan Pengukuran Titik-Titik

Detail Metode Tachymetri

15. Pemetaan Digital 445

12.2. Peralatan, Bahan dan Prosedur

Pengukuran Titik Titik Detail Metode

Tachymetri 359 15.1. Pengertian Pemetaan Digital 445

12.3. Pengolahan Data Pengukuran

15.2. Keunggulan Pemetaan Digital Tachymetri

Dibanding Pemetaan

12.4. Penggambaran Hasil Pengukuran

15.3. Bagian-Bagian Pemetaan Digital 446

15.4. Peralatan, Bahan dan Prosedur

Pemetaan Digital

16. Sistem Informasi Geografis 481

16.1. Pengertian Dasar Sistem Informasi Geografis

481

16.2. Keuntungan Sistem Informasi Geografis 481

16.3. Komponen Utama SIG

486

16.4. Peralatan, Bahan dan Prosedur Pembangunan SIG

491

16.5. Jenis-Jenis Analisis Spasial dengan SIG dan Aplikasinya pada Berbagai Sektor Pembangunan

500

LAMPIRAN

A. Daftar Pustaka

B. Glosarium

C. DAFTAR TABEL

D. DAFTAR GAMBAR

DESKRIPSI

Buku Teknik Survei dan Pemetaan ini menjelaskan ruang lingkup Ilmu ukur tanah, pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan pada Ilmu Ukur tanah untuk kepentingan studi kelayakan, perencanaan, konstruksi dan operasional pekerjaan teknik sipil. Selain itu, dibahas tentang perkenalan ilmu ukur tanah, aplikasi teori kesalahan pada pengukuran dan pemetaan, metode pengukuran kerangka dasar vertikal dan horisontal, metode pengukuran titik detail, perhitungan luas, galian dan timbunan, pemetaan digital dan sistem informasi geografis.

Buku ini tidak hanya menyajikan teori semata, akan tetapi buku ini dilengkapi dengan penduan untuk melakukan praktikum pekerjaan dasar survei. Sehingga, diharapkan peserta diklat mampu mengoperasikan alat ukur waterpass dan theodolite, dapat melakukan pengukuran sipat datar, polygon dan tachymetry serta pembuatan peta situasi.

ix

PETA KOMPETENSI

Program diklat

: Pekerjaan Dasar Survei

Tingkat

: x (sepuluh)

Alokasi Waktu

: 120 Jam pelajaran Kompetensi : Melaksanakan Dasar-dasar Pekerjaan Survei

No Sub Kompetensi Pembelajaran

Pengetahuan

Keterampilan

1 Pengantar survei dan

Menggambarkan diagram pemetaan

a. Memahami ruang lingkup plan

surveying dan geodetic

alur ruang lingkup pekerjaan

b. Memahami ruang lingkup

survei dan pemetaan

pekerjaan survey dan pemetaan

c. Memahami pengukuran kerangka dasar vertikal d. Memahami Pengukuran kerangka dasar horisontal e. Memahami Pengukuran titik- titik detail

2 Teori Kesalahan

a. Mengidentifikasi kesalahan- kesalahan pada pekerjaan survey dan pemetaan

b. Mengidentifikasi kesalahan sistematis (systematic error) c. Mengidentifikasi Kesalahan Acak (random error) d. Mengidentifikasi Kesalahan Besar (random error)

e. Mengeliminasi Kesalahan Sistematis f. Mengeliminasi Kesalahan Acak

3 Pengukuran kerangka

Dapat melakukan dasar vertikal

a. Memahami penggunaan sipat

datar kerangka dasar vertikal

pengukuran kerangka dasar

b. Memahami penggunaan

vertikal dengan

trigonometris

menggunakan sipat datar,

c. Memahami penggunaan

trigonometris dan

barometris. 4 Pengukuran sipat dasar

barometris

Dapat melakukan kerangka dasar vertikal

a. Memahami tujuan dan

sasaran pengukuran sipat

pengukuran kerangka dasar

datar kerangka dasar vertikal

vertikal dengan

b. Mempersiapkan peralatan,

menggunakan sipat datar

bahan dan formulir

kemudian mengolah data

pengukuran sipat datar

dan menggambarkannya.

kerangka dasar vertikal c. Memahami prosedur pengukuran sipat datar kerangka dasar vertikal

d. Dapat mengolah data sipat datar kerangka dasar vertikal Dapat menggambaran sipat datar kerangka dasar vertikal

No Sub Kompetensi Pembelajaran

Pengetahuan

Keterampilan

5 Proyeksi peta, aturan

Membuat Proyeksi peta kuadran dan sistem

a. Memahami pengertian

berdasarkan aturan kuadran koordinat

proyeksi peta, aturan kuadran

dan sistem koordinat

dan sisten koordinat

b. Memahami jenis-jenis proyeksi peta dan aplikasinya c. Memahami aturan kuadran geometrik dan trigonometrik d. Memahami sistem koordinat ruang dan bidang e. Memahami orientasi survei dan pemetaan serta aturan kuadran geometrik

6 Macam besaran sudut

a. Mengetahui macam besaran

Mengaplikasikan besaran

sudut

sudut dilapangan untuk

b. Memahami besaran sudut

pengolahan data.

dari lapangan c. Dapat melakukan konversi besaran sudut d. Memahami besaran sudut untuk pengolahan data

7 Jarak, azimuth dan

Mengukur jarak baik dengan pengikatan kemuka

a. Memahami pengertian jarak

pada survey dan pemetaan

alat sederhana maupun

b. Memahami azimuth dan sudut

dengan pengikatan ke

jurusan

muka.

c. Memahami tujuan pengikatan ke muka d. Mempersiapkan peralatan, bahan dan prosedur pengikatan ke muka

e. Memahami pengolahan data pengikatan ke muka f. Memahami penggambaran pengikatan ke muka

8 Cara pengikatan ke

Mencari koordinat dengan belakang metode

a. Tujuan Pengikatan ke

metode Collins. collins

Belakang Metode Collins

b. Peralatan, Bahan dan Prosedur Pengikatan ke Belakang Metode Collins

c. Pengolahan Data Pengikatan ke Belakang Metoda Collins d. Penggambaran Pengikatan ke Belakang Metode Collins

9 Cara pengikatan ke

Mencari koordinat dengan belakang metode

a. Memahami tujuan pengikatan

metode Cassini. Cassini

ke belakang metode cassini

b. Mempersiapkan peralatan, bahan dan prosedur pengikatan ke belakang metode cassini

c. Memahami pengolahan data pengikatan ke belakang metoda cassini

d. Memahami penggambaran pengikatan ke belakang metode cassini

No Sub Kompetensi Pembelajaran

Pengetahuan

Keterampilan

10 Pengukuran poligon

Dapat melakukan kerangka dasar

a. Memahami tujuan

pengukuran kerangka dasar horisontal

pengukuran poligon

b. Memahami kerangka dasar

horisontal (poligon).

horisontal c. Mengetahui jenis-jenis poligon d. Mempersiapkan peralatan, bahan dan prosedur pengukuran poligon

e. Memahami pengolahan data pengukuran poligon f. Memahami penggambaran poligon

11 Pengukuran luas a. Menyebutkan metode-metode Menghitung luas pengukuran luas

bedasarkan hasil dilapangan

b. Memahami prosedur

dengan metoda saruss,

pengukuran luas dengan

planimeter dan autocad.

metode sarrus c. Memahami prosedur pengukuran luas dengan planimeter

d. Memahami prosedur pengukuran luas dengan autocad

12 Pengukuran titik-titik

Melakukan pengukuran titik- detail

a. Memahami tujuan

pengukuran titik-titik detail

titik dtail metode tachymetri.

metode tachymetri b. Mempersiapkan peralatan, bahan dan prosedur pengukuran tachymetri

c. Memahami pengolahan data pengukuran tachymetri d. Memahami penggambaran hasil pengukuran tachymetri

13 Garis kontur, sifat dan

Membuat garis kontur interpolasinya

a. Memahami pengertian garis

kontur

berdasarkan data yang

b. Menyebutkan sifat-sifat garis

diperoleh di lapangan.

kontur c. Mengetahui cara penarikan garis kontur d. Mengetahui prosedur penggambaran garis kontur e. Memahami penggunaan perangkat lunak surfer

14 Perhitungan galian dan

Menghitung galian dan timbunan

a. Memahami tujuan

perhitungan galian dan

timbunan.

timbunan b. Memahami metode-metode perhitungan galian dan timbunan

c. Memahami pengolahan data galian dan timbunan d. Mengetahui cara penggambaran galian dan timbunan c. Memahami pengolahan data galian dan timbunan d. Mengetahui cara penggambaran galian dan timbunan

No Sub Kompetensi Pembelajaran

Pengetahuan

Keterampilan

15 Pemetaan digital

a. Memahami pengertian pemetaan digital

b. Mengetahui keunggulan pemetaan digital dibandingkan pemetaan konvensional

c. Memahami perangkat keras dan perangkat lunak pemetaan digital

d. Memahami pencetakan peta dengan kaidah kartografi

16 Sisitem informasi

a. Memahami pengertian sistem

geografik

informasi geografik

b. Memahami keunggulan sistem informasi geografik dibandingkan pemetaan digital perangkat keras dan perangkat lunak sistem informasi geografik

c. Mempersiapkan peralatan, bahan dan prosedur pembangunan sistem informasi geografik

d. Memahami jenis-jenis analisis spasial dengan sistem informasi geografik dan aplikasinya pada berbagai sektor pembangunan

12. Pengukuran Titik-titik Detail Metode Tachymetri

12. 1. Tujuan pengukuran titik- Metode offset menggunakan peralatan

titik detail metode

sederhana, seperti pita ukur, jalon, meja

tachymetri

ukur, mistar, busur derajat, dan lain

sebagainya. Metode tachymetri Untuk keperluan pengukuran dan pemetaan

menggunakan peralatan dengan teknologi selain pengukuran kerangka dasar vertikal

lensa optis dan elektronis digital. yang menghasilkan tinggi titik-titik ikat dan

Pengukuran metode tachymetri mempunyai pengukuran kerangka dasar horizontal yang

keunggulan dalam hal ketepatan dan menghasilkan koordinat titik-titik ikat juga kecepatan dibandingkan metode offset.

perlu dilakukan pengukuran titik-titik detail Pengukuran tiitk-titik detail metode untuk menghasilkan titik-titik detail yang tachymetri ini relatif cepat dan mudah

tersebar di permukaan bumi yang karena yang diperoleh dari lapangan adalah menggambarkan situasi daerah pembacaan rambu, sudut horizontal pengukuran.

(azimuth magnetis), sudut vertikal (zenith

Pengukuran titik-titik detail dilakukan atau inklinasi) dan tinggi alat. Hasil yang sesudah pengukuran kerangka dasar diperoleh dari pengukuran tachymetri vertikal dan pengukuran kerangka dasar adalah posisi planimetris X, Y, dan horizontal dilakukan. Pengukuran titik-titik ketinggian Z. detail mempunyai orde ketelitian lebih

12.1.1 Sejarah Tachymetri

rendah dibandingkan orde pengukuran

kerangka dasar. “Metode Stadia” yang disebut “Tachymetri” di Eropa, adalah cara yang cepat dan

Pengukuran titik-titik detail dengan metode efisien dalam mengukur jarak yang cukup

tachymetri pada dasarnya dilakukan dengan teliti untuk sipat datar trigonometri,

menggunakan peralatan dengan teknologi beberapa poligon dan penentuan lokasi

lensa optis dan elektronis digital. detail-detail fotografi. Lebih lanjut, di dalam

Dalam pengukuran titik-titik detail pada metode ini cukup dibentuk regu 2 atau 3 prinsipnya adalah menentukan koordinat orang, sedangkan pada pengukuran dan tinggi titik –titik detail dari titik-titik ikat.

dengan transit dan pita biasanya diperlukan Pengukuran titik-titik detail pada dasarnya

3 atau 4 orang.

dapat dilakukan dengan 2 metode, yaitu Stadia berasal dari kata Yunani untuk

346

diterapkan dalam pengukuran jarak-jarak cara ini diperlukan alat yang dapat untuk pertandingan atletik – dari sinilah mengukur arah dan sekaligus mengukur muncul kata “stadium (stadio) ” dalam jarak, yaitu Teodolite Kompas atau BTM

pengertian modern. Kata ini menyatakan (Boussole Tranche Montage). Pada alat-

600 satuan Yunani (sama dengan “feet”), alat tersebut arah-arah garis di lapangan atau 606 ft 9 in dalam ketentuan Amerika

diukur dengan jarum kompas sedangkan sekarang.

untuk jarak digunakan benang silang

diafragma pengukur jarak yang terdapat pada teropongnya. Salah satu theodolite

Istilah stadia sekarang dipakai untuk benang

silang dan rambu yang dipakai dalam

pengukuran, maupun metodenya sendiri. kompas yang banyak digunakan misalnya

Pembacaan optis (stadia) dapat dilakukan

theodolite WILD TO.

dengan transit, theodolite, alidade dan alat Tergantung dengan jaraknya, dengan cara sipat datar.

ini titik-titik detail dapat diukur dari titik

Peralatan stasiun kota yang baru, kerangka dasar atau dari titik-titik penolong menggabungkan theodolite, EDM, dan yang diikatkan pada titik kerangka dasar. kemampuan mencatat-menghitung hingga

12.1.3 Pengukuran tachymetri untuk

reduksi jarak lereng secara otomatis dan

titik bidik horizontal

sudut vertikal. Yang dihasilkan adalah

pembacaan jarak horizontal dan selisih Selain benang silang tengah, diafragma elevasi, bahkan koordinat. Jadi peralatan transit atau theodolite untuk tachymetri baru tadi dapat memperkecil regu lapangan

mempunyai dua benang horizontal dan mengambil alih banyak proyek tambahan yang ditempatkan sama jauh dari

tachymetri. Namun demikian, prinsip tengah (gambar 22). Interval antara benang pengukuran tachymetri dan metodenya – benang stadia itu pada kebanyakan memberikan konsepsi-konsepsi dasar dan

instrumen memberikan perpotongan vertikal sangat mungkin dipakai terus menerus.

1 ft pada rambu yang dipasang sejauh 100 ft ( 1 m pada jarak 100 m ). Jadi jarak ke

rambu yang dibagi secara desimal dalam Pengukuran titik-titik detail dengan metode

12.1.2 Pengenalan Tachymetri

feet, persepuluhan dan perseratusan dapat Tachymetri ini adalah cara yang paling langsung dibaca sampai foot terdekat. Ini

banyak digunakan dalam praktek, terutama sudah cukup seksama untuk menentukan untuk pemetaan daerah yang luas dan detail-detail fotografi, seperti; sungai,

Pr insip t achym et r i; t er opong pum punan luar

1 in = 100 ft, dan kadang-kadang untuk skala lebih besar misalnya; 1 in = 50 ft.

Gambar 321. Prinsip tachymetri

Metode tachymetri didasarkan pada prinsip bahwa pada segitiga-segitiga sebangun, sisi yang sepihak adalah sebanding. Pada gambar 321, yang menggambarkan teropong pumpunan-luar, berkas sinar dari titik A dan B melewati pusat lensa membentuk sepasang segitiga sebangun AmB dan amb. Dimana ; AB = R adalah perpotongan rambu (internal stadia) dan ab adalah selang antara benang-benang stadia.

Simbol-simbol baku yang dipakai dalam pengukuran tachymetri :

f = jarak pumpun lensa (sebuah tatapan untuk gabungan lensa objektif tertentu). Dapat ditentukan dengan

pumpunan pada objek yang jauh dan mengukur jarak antara pusat lensa objektif (sebenarnya adalah titik simpul dengan diafragma), (jarak pumpun = focal length).

f 1 = jarak bayangan atau jarak dari pusat (titik simpul) lensa obyektif ke bidang benang silang sewaktu teropong terpumpun pada suatu titik tertentu.

F 2 = jarak obyek atau jarak dari pusat (titik simpul) dengan titik tertentu sewaktu teropong terpumpun pada suatu titik

itu. Bila f 2 tak terhingga atau amat

i. = selang antara benang – benang

adalah 4,27 ft, jarak dari instrumen ke

Stadia. rambu adalah 427 + 1 = 428 ft. f/i .= faktor penggali, biasanya 100 (stadia

Yang telah dijelaskan adalah teropong interval factor).

pumpunan luar jenis lama, karena dengan

c = jarak dari pusat instrumen (sumbu I) gambar sederhana dapat ditunjukkan

ke pusat lensa obyektif. Harga c

hubungan-hubungan yang benar. Lensa

sedikit beragam sewaktu lensa

obyektif teropong pumpunan dalam (jenis obyektif bergerak masuk atau keluar

yang dipakai sekarang pada instrumen ukur untuk pembidikan berbeda, tetapi

tanah) mempunyai kedudukan terpasang biasa dianggap tetapan.

tetap sedangkan lensa pumpunan negatif

C = c + f. C disebut tetapan stadia, dapat digerakkan antara lensa obyektif dan

walaupun sedikit berubah karena c bidang benang silang untuk mengubah arah

d. = jarak dari titik pumpun di depan berkas sinar. Hasilnya, tetapan stadia

teropong ke rambu. menjadi demikian kecil sehingga dapat

D = C + d = jarak dari pusat instrumen ke

dianggap nol.

permukaan rambu Benang stadia yang menghilang dulu Dari gambar 321, didapat :

dipakai pada beberapa instrumen lama

= atau d = R untuk menghindari kekacauan dengan

benang tengah horizontal. Diafragma dari kaca yang modern dibuat dengan garis-

dan D = R

+C

garis stadia pendek dan benang tenaga

yang penuh (gambar 2) memberikan hasil

Benang-benang silang jarak optis tetap yang sama secara lebih berhasil guna. pada transit, theodolite, alat sipat datar dan

Faktor pengali harus ditentukan pada dengan cermat diatur letaknya oleh pabrik

pertama kali instrumen yang dipakai, instrumennya agar faktor pengali f/i. Sama

walaupun harga tepatnya dari pabrik yang dengan 100. Tetapan stadia C berkisar dari

ditempel di sebelah dalam kotak pembawa kira-kira 0,75 sampai 1,25 ft untuk teropong-

tak akan berubah kecuali benang silang, teropong pumpunan luar yang berbeda, diafragma, atau lensa-lensa diganti atau tetapi biasanya dianggap sama dengan 1 ft.

diatur pada model-model lama. Satu-satunya variabel di ruas kanan

Untuk menentukan faktor pengali, persamaan adalah R yaitu perpotongan R

349

Kemudian, pada bentuk lain persamaan Pada gambar, sebuah transit dipasang faktor pengali adalah f/i.= (D-C)/R.

pada suatu titik dan rambu dipegang pada Sebagai contoh:

titik tertentu. Dengan benang silang tengah Pada jarak 300,0 ft interval rambu terbaca

dibidikkan pada rambu ukur sehingga tinggi 3,01. Harga-harga untuk f dan c terukur

t sama dengan tinggi theodolite ke tanah. sebesar 0,65 dan 0,45 ft berturut-turut; sudut vertikalnya (sudut kemiringan)

karenanya, C =1,1 ft. Kemudian f/i. = (300,0 terbaca sebesar α. Perhatikan bahwa –1,1)/3,01 = 99,3. Ketelitian dalam dalam pekerjaan tachymetri tinggi

menentukan f/i. Meningkat dengan instrumen adalah tinggi garis bidik diukur mengambil harga pukul rata dari beberapa

dari titik yang diduduki (bukan TI, tinggi di garis yang jarak terukurnya berkisar dari ±

atas datum seperti dalam sipat datar) 100–500 ft dengan kenaikan tiap kali 100 ft.

m = sudut miring.

12.1.4 Pengukuran tachymetri untuk Beda tinggi = D HAB = 50 ´ (BA – BB) .

bidikan miring

sin 2m + i – t; t = BT

Kebanyakan pengukuran tachymetri adalah

Jarak datar = dAB = 100´(BA – BB)

dengan garis bidik miring karena adanya

cos2m

keragaman topografi, tetapi perpotongan

benang stadia dibaca pada rambu tegak

lurus dan jarak miring direduksi menjadi

jarak horizontal dan jarak vertikal.

Tabel-tabel, diagram, mistar hitung khusus, horizontal dan vertikal berturut-turut adalah dan kalkulator elektronik telah dipakai oleh

99,45 dan 7,42 ft. Selanjutnya… para juru ukur untuk memperoleh

H = (99,45 x 5,28) + 1 = 526 ft

penyelesaiannya. Dalam Apendiks E

V =(7,42 x 5,28)-0,08 =39,18+0,08 = 39,3 ft

memuat jarak-jarak horizontal dan vertikal

Elevasi titik O adalah

untuk perpotongan rambu 1 ft dan sudut-

Elevasi O = 268,2 + 5,6 + 39,3 – 5,6

sudut vertikal dari 0 sampai 16 °, 74° sampai

= 307,5 ft

90 °, dan 90° sampai 106° untuk Rumus lengkap untuk menentukan selisih pembacaan-pembacaan dari zenit).

elevasi antara M dan O adalah

Elev o - elev M = t.i. + V – pembacaan

Sebuah tabel tak dikenal harus selalu

rambu

diselidiki dengan memasukkan harga-harga di dalamnya yang akan memberikan hasil

Keuntungan bidikan dengan pembacaan yang telah diketahui. Sebagai contoh; sudut-

sebesar t.i agar terbaca sudut vertikal, sudut 1, 10 dan 15 ° dapat dipakai untuk

sudah jelas. Karena pembacaan rambu dan mengecek hasil-hasil memakai tabel. t.i berlawanan tanda, bila harga mutlaknya Misalnya sebuah sudut vertikal 15 °00’

sama akan saling menghilangkan dan dapat dihapuskan dari hitungan elevasi.

(sudut zenit 75 °), perpotongan rambu 1,00 ft dan tetapan stadia 1ft, diperoleh hasil-hasil

Jika t.i tak dapat terlihat karena terhalang, sebagai berikut.

sembarang pembacaan rambu dapat dibidik dan persamaan sebelumnya dapat dipakai.

Dari tabel E-1: Memasang benang silang tengah pada

tanda satu foot penuh sedikit di atas atau di Contoh :

H = 93,30 x 1,00 +1 = 94,3 atau 94 ft

bawah t.i menyederhanakan hitungannya. untuk sudut sebesar 4 °16’, elevasi M adalah

Penentuan beda elevasi dengan tachymetri 268,2 ft ; t.i. = EM = 5,6; perpotongan rambu

dapat dibandingkan dengan sipat datar AB = R = 5,28 ft; sudut vertikal a ke titik D

memanjang t.i. sesuai bidikan plus, dan 5,6 ft pada rambu adalah +4 °16’; dan C = 1

pembacaan rambu sesuai bidikan minus. ft. Hitunglah jarak H, beda elevasi V dan

Padanya ditindihkan sebuah jarak vertikal elevasi titik O.

yang dapat plus atau minus, tandanya Penyelesaian :

tergantung pada sudut kemiringan. Pada Untuk sudut 14 °16’(sudut zenith 85°44’) dan

bidikan-bidikan penting ke arah titik-titik dan perpotongan rambu 1 ft, jarak-jarak patok-patok kontrol, galat-galat instrumental

yang baik menggunakan prinsip timbal balik Rambu-rambu tachymetri biasa berbentuk

yaitu, membaca sudut–sudut vertikal satu batang, lipatan atau potongan- dengan kedudukan teropong biasa dan luar

potongan dengan panjang 10 atau 12 ft. biasa.

kalau dibuat lebih panjang dapat meningkatkan jarak bidik tetapi makin berat

Pembacaan langsung pada rambu dengan

dan sulit ditangani. Seringkali bagian

garis bidik horizontal (seperti pada sipat bawah satu atau dua dari rambu 12 ft akan

datar), bukan sudut vertikal, dikerjakan bila terhalang oleh rumput atau semak, tinggal

keadaan memungkinkan untuk sepanjang hanya 10 ft yang kelihatan.

menyederhanakan reduksi catatan-catatan.

Panjang bidikan maksimum dengan

Tinjauan pada suatu tabel menunjukkan demikian adalah kira-kira 1000 ft. Pada

bahwa untuk sudut-sudut vertikal di bawah bidikan yang lebih jauh, setengah interval

kira-kira 4 °, selisih antara jarak mirng dan (perpotongan antara benang tengan jarak horizontal dapat diabaikan kecuali dengan benang stadia atas atau bawah) pada bidikan jauh (dimana galat pembacaan dapat dibaca dan dilipatgandakan untuk jarak juga lebih besar). dipakai dalam persamaan reduksi

Dengan demikian teropong boleh miring tachymetri yang baku. Bila ada benang beberapa derajat untuk pembacaan jarak

perempatan antara benang tengah dengan optis setelah membuat bidikan depan yang

benang stadia atas, secara teoritis dapat datar untuk memperoleh sudut vertikal.

ditaksir jarak sejauh hampir 4000 ft. Pada

bidikan pendek, mungkin sampai 200 ft,

12.1.5 Rambu tachymetri

rambu sipat datar biasa seperti jenis philania sudah cukup memuaskan.

Berbagai jenis tanda dipakai pada rambu

tachymetri tetapi semua mempunyai bentuk-

12.1.6 Busur Beaman

bentuk geometrik yang menyolok dirancang Busur beaman adalah sebuah alat yang

agar jelas pada jarak jauh. Kebanyakan ditempatkan pada beberapa transit dan rambu tachymetri telah dibagi menjadi feet alidade untuk memudahkan hitungan- dan persepuluhan (perseratusan diperoleh hitungan tachymetri. Alat ini dapat dengan interpolasi), tetapi pembagian skala merupakan bagian dari lingkaran vertikal sistem metrik sedang menjadi makin umum. atau sebuah piringan tersendiri. Skala-skala Warna-warna berbeda membantu

H dan V busur itu dibagi dalam persen. membedakan angka-angka dan pembagian Skala V menunjukkan selisih elevasi tiap

memberikan koreksi tiap 100 ft untuk Instrumen-instrumen lain mempunyai busur dikurangkan dari jarak tachymetri. Karena V

serupa disebut lingkaran stadia dengan berbanding lurus dengan ½ sin 2 α dan skala V yang sama, tetapi skala H tidak

memberikan koreksi presentase melainkan selang-selang pembagian skala makin rapat

koreksi untuk H tergantung pada sin 2 α,

sebuah pengali (multiplier) bila sudut vertikal meningkat. Oleh karena

12.1.7 Tachymetri swa-reduksi

itu nonius tidak dapat dipakai disini, dan

pembacaan tepat hanya dapat dilakukan Tachymetri swa-reduksi dan alidade telah

dengan memasang busur pada pembacaan dikembangkan dimana garis-garis lengkung angka bulat.

stadia nampak bergerak memisah atau saling mendekat sewaktu teropong diberi

Penunjuk skala V (indeks) terpasang agar terbaca 50 (mungkin 30 atau 100 pada elevasi atau junam. Sebenarnya garis-garis

beberapa instrumen) bila teropong

itu digoreskan pada sebuah piringan kaca

yang berputar mengelilingi sebuah rambu horizontal untuk menghindari harga-harga

(terletak di luar teropong) sewaktu teropong minus. Pembacaan lebih besar dari pada 50

diperoleh untuk bidikan-bidikan di atas dibidikkan ke sasaran.

horizon, lebih kecil dari 50 di bawahnya. Pada gambar dibawah garis-garis atas dan Ilmu hitung yang diperlukan dalam bawah (dua garis luar) melengkung untuk pemakaian busur beaman disederhanakan

menyesuaikan dengan keragaman dalam dengan memasang skala V pada sebuah

fungsi trigonometri cos 2 α dan dipakai untuk angka bulat dan membiarkan benang silang

pengukuran jarak. Dua garis dalam tengah terletak di tempat dekat t.i. Skala H

menentukan selisih elevasi dan Kemudian umumnya tak akan terbaca pada

melengkung untuk menggambarkan fungsi angka bulat dan harga-harganya harus sin α cos α. Sebuah garis vertikal, tanda

diinterpolasi. Ini penting karena hitungannya silang tengah, dan garis-garis stadia tetap sederhana.

pendek merupakan tanda pada piringan

Elevasi sebuah titik B yang dibidik dengan gelas kedua yang terpasang tetap, transit terpasang di titik A didapat dengan

terumpun serentak dengan garis-garis rumus :

lengkung.

Elev B = elev A + t.i. + (pembacaan busur

Sebuah tetapan faktor pengali 100 dipakai

– 50) ( perpotongan rambu) – pembacaan

untuk jarak horizontal. Faktor 20, 50, atau 100 diterapkan pada pengukuran beda

lereng dan ditunjukkan oleh garis-garis pada langkah 7 pembacaan-pembacaan pendek ditempatkan antara kurva-kurva skala-H dan skala-V dicatat. elevasi.

Sewaktu membaca jarak optis setelah benang bawah ditempatkan pada sebuah

Tachymetri diagram lainnya pada dasarnya tanda foot bulat, benang tengah tidak tepat

bekerja atas bekerja atas prinsip yang pada t.i. atau pembagian skala terbaca

sama: Sudut vertikal secara otomatis untuk sudut vertikal. Ini biasanya tidak

dipampas oleh pisahan garis stadia yang menyebabkan galat yang berarti dalam

beragam. Sebuah tachymetri swa-reduksi proses reduksi kecuali pada bidikan-bidikan

memakai sebuah garis horizontal tetap pada panjang dan sudut-sudut vertikal curam.

sebuah diafragma dan garis horizontal Bila rambu tidak tegak lurus tentu saja akan

lainnya pada diafragma kedua yang dapat menyebabkan galat-galat yang berarti dan

bergerak, yang bekerja atas dasar untuk mengatasi masalah ini dipakai nivo

perubahan sudut vertikal. Kebanyakan

rambu.

alidade planset memakai suatu jenis

prosedur reduksi tachymetri. Urutan pembacaan yang paling sesuai untuk pekerjaan tachymetri yang

Sebuah rambu topo khusus yang berkaki melibatkan sudut vertikal adalah sebagai

dapat dipanjangkan dengan angka nol

berikut :

terpasang pada t.i. biasanya dianjurkan

a. Bagi dua rambu dengan benang untuk dipakai agar instrumen tachymetri

vertikal.

sepenuhnya swa-baca.

b. Dengan benang tengah kira-kira t.i.

12.1.8 Prosedur Lapangan

letakkan benang bawah pada tanda sebuah foot bulat, atau desimeter pada

Prosedur yang benar menghemat waktu dan

rambu metrik.

mengurangi sejumlah kesalahan dalam

c. Baca benang atas, dan di luar kepala semua pekerjaan ukur tanah.

kurangkan pembacaan benang bawah

Prosedur ini menyebabkan pemegang untuk memperoleh perpotongan rambu, instrumen dapat membuat sibuk sekaligus

catat perpotongan rambu. dua atau tiga petugas rambu di tanah

d. Gerakan benang tengah ke t.i. dengan terbuka di mana titik-titik yang akan

memakai sekrup penggerak halus ditetapkan lokasinya terpisah jauh. Urutan

vertikal.

yang sama dapat dipakai bila menggunakan

e. Perintahkan pemegang rambu untuk

f. Baca dan catatlah sudut horizontalnya. daripada pencatatan pengukuran dan Baca dan catatlah sudut vertikalnya.

pembuatan sketsa oleh pencatat.

12.1.11 Sipat Datar Tachymetri

12.1.9 Poligon Tachymetri

Metode tachymetri dapat dipakai untuk Dalam poligon transit-optis, jarak, sudut

sipat datar trigonometris. TI ( tinggi horizontal dan sudut vertikal diukur pada

instrumen di atas datum) ditentukan dengan setiap titik. Reduksi catatan sewaktu

membidik pada stasiun yang diketahui pengukuran berjalan menghasilkan elevasi

elevasinya, atau dengan memasang untuk dibawa dari patok ke patok. Harga

instrumen pada titik semacam itu dan jarak optis rata-rata dan selisih elevasi

mengukur tinggi sumbu II di atasnya diperoleh dari bidikan depan dan belakang

dengan rambu tachymetri. Selanjutnya pada tiap garis. Pengecekan elevasi harus

elevasi titik sembarang dapat dicari dengan diadakan dengan jalan kembali ke titik awal

hitungan dari perpotongan rambu dan sudut atau tititk tetap duga didekatnya untuk

vertikal. Jika dikehendaki dapat dilakukan poligon terbuka. Walaupun tidak seteliti

untai sipat datar untuk menetapkan dan poligon dengan pita, sebuah regu yang

mengecek elevasi dua titik atau lebih. terdiri atas tiga anggota seorang pemegang

instrumen, pencatat, dan petugas rambu-

12.1.12 Kesaksamaan (Precision)

merupakan kebiasaan. Seorang petugas Sebuah perbandingan galat (ratio or error) rambu dapat mempercepat pekerjaan bila

1/300 sampai 1/500 dapat diperoleh untuk banyak detail tersebar luas.

poligon transit-optis yang dilaksanakan

Sudut-sudut horizontal juga harus dicek dengan kecermatan biasa dan pembacaan kesalahan penutupnya. Bila ada kesalahan

baik bidikan depan dan bidikan belakang. Ketelitian dapat lebih baik jika bidikan-

penutup sudut harus diratakan, ∆ Y dan ∆ X

bidikan pendek pada poligon panjang dihitung dan keseksamaan poligon dicek. dengan prosedur-prosedur khusus. Galat-

12.1.10 Topografi

galat dalam pekerjaan tachymetri biasanya bukan karena sudut-sudut tidak benar tetapi

Metode tachymetri itu paling bermanfaat karena pembacaan rambu yang kurang dalam penentuan lokasi sejumlah besar benar. Galat 1 menit pada pembacaan

detail topografik, baik horizontal maupun

rambu sebuah sudut vertikal tidak

vetikal, dengan transit atau planset. Di

memberikan pengaruh yang berarti pada wilayah-wilayah perkotaan, pembacaan

menyebabkan selisih elevasi kurang dari 0,1 • Garis bidik transit tidak sejajar garis ft pada bidikan 300 ft untuk sudut-sudut

arah nivo teropong. vertikal ukuran biasa.

b. Galat-galat pribadi

Bila jarak optis ditentukan sampai foot • Rambu tak dipegang tegak (hindari terdekat (kasus umum), sudut-sudut

dengan pemakaian nivo rambu). horizontal ke titik-titik topografi hanya perlu

• Salah pembacaan rambu karena dibaca sampai batas 5 atau 6 menit untuk

bidikan jauh.

memperoleh kesaksamaan yang sebanding • Kelalaian mendatarkan untuk pada bidikan 300 ft. Jarak optis yang

pembacaan busur vertikal. diberikan sampai foot terdekat dianggap

Kebanyakan galat dalam pekerjaan benar sampai batas kira-kira ½ ft. Dengan tachymetri dapat dihilangkan dengan: galat jarak memanjang ½ ft itu, arahnya

a. Menggunakan instrumen dengan benar dapat menyimpang sebesar 5 menit (mudah

b. Membatasi panjang bidikan dihitung dengan 1 menit = 0.00029). Bila

c. Memakai rambu dan nivo yang baik dipakai transit Amerika, karenanya sudut-

d. Mengambil harga rata-rata pembacaan sudut dapat dibaca tanpa nonius, hanya

dalam arah ke depan dan ke belakang. dengan mengira kedudukan penunjuk

nonius. Galat garis bidik tidak dapat dibetulkan dengan prosedur lapangan instrumen harus

Ketelitian sipat datar trigonometris dengan

diatur.

jarak optis tergantung pada panjang bidikan

dan ukuran sudut vertiak yang diperlukan.

12.1.14 Kesalahan – kesalahan besar

12.1.13 Sumber-sumber galat dalam

Beberapa kesalahan yang biasa terjadi

pekerjaan tachymetri

dalam pekerjaan tachymetri adalah : Galat-galat yang terjadi pada pekerjaan

a. Galat indeks diterapkan dengan tanda dengan transit dan theodolitee, juga terjadi

yang salah.

pada pekerjaan tachymetri.

b. Kekacauan tanda plus dan minus pada

Sumber-sumber galat adalah :

sudut-sudut vertikal.

a. Galat-galat instrumental

c. Kesalahan aritmetik dalam menghitung • Benang tachymetri yang jaraknya

perpotongan rambu. tidak benar.

d. Pemakaian faktor pengali yang tidak • Galat

benar.

indeks. • Pembagian skala rambu yang tidak

e. Mengayunkan rambu (rambu harus

c. Keseluruhan data ini dicatat dalam satu

12.1.15 Pengukuran untuk pembuatan

buku ukur.

peta topografi cara tachymetri

12.1.16 Tata cara pengukuran detail cara

Salah satu unsur penting pada peta

tachymetri menggunakan

topografi adalah unsur ketinggian yang

theodolite berkompas

biasanya disajikan dalam bentuk garis kontur. Menggunakan pengukuran cara Pengukuran detil cara tachymetri dimulai

tachymetry, selain diperoleh unsur jarak, dengan penyiapan alat ukur di atas titik ikat

juga diperoleh beda tinggi. Bila theodolite dan penempatan rambu di titik bidik. yang digunakan untuk pengukuran cara Setelah alat siap untuk pengukuran, dimulai tachymetry juga dilengkapi dengan kompas,

dengan perekaman data di tempat alat maka sekaligus bisa dilakukan pengukuran

berdiri, pembidikan ke rambu ukur, untuk pengukuran detil topografi dan pengamatan azimuth dan pencatatan data pengukuran untuk pembuatan kerangka di rambu BT, BA, BB serta sudut miring m.

peta pembantu pada pengukuran dengan kawasan yang luas secara efektif dan

a. Tempatkan alat ukur di atas titik efisien.

kerangka dasar atau titik kerangka

a. Alat ukur yang digunakan pada penolong dan atur sehingga alat siap pengukuran untuk pembuatan peta

untuk pengukuran, ukur dan catat tinggi topografi cara tachimetry menggunakan

alat di atas titik ini.

theodolite berkompas adalah: theodolite

b. Dirikan rambu di atas titik bidik dan berkompas lengkap dengan statif dan

tegakkan rambu dengan bantuan nivo unting-unting, rambu ukur yang

kotak.

c. Arahkan teropong ke rambu ukur ukur untuk mengukur tinggi alat.

dilengkapi dengan nivo kotak dan pita

sehingga bayangan tegak garis

b. Data yang harus diamati dari tempat diafragma berimpit dengan garis tengah berdiri alat ke titik bidik menggunakan

rambu. Kemudian kencangkan kunci peralatan ini meliputi: azimuth magnet,

gerakan mendatar teropong. benang atas, tengah dan bawah pada

d. Kendorkan kunci jarum magnet rambu yang berdiri di atas titik bidik,

sehingga jarum bergerak bebas. sudut miring, dan tinggi alat ukur di atas

Setelah jarum setimbang tidak titik tempat berdiri alat.

bergerak, baca dan catat azimuth

e. Kencangkan kunci gerakan tegak

a. Kesalahan pengukur, misalnya: teropong, kemudian baca bacaan

1. Pengaturan alat tidak sempurna benang tengah, atas dan bawah serta

(temporary adjustment). catat dalam buku ukur. Bila

2. Salah taksir dalam pemacaan memungkinkan, atur bacaan benang

3. Salah catat, dll. nya.

tengah pada rambu di titik bidik setinggi b. Kesalahan akibat faktor alam,

alat, sehingga beda tinggi yang

misalnya :

diperoleh sudah merupakan beda tinggi

1. Deklinasi magnet. antara titik kerangka tempat berdiri alat

2. Refraksi lokal.

dan titik detil yang dibidik.

f. Titik detil yang harus diukur meliputi

12.1.18 Pengukuran Tachymetri Untuk

semua titik alam maupun buatan

Pembuatan Peta Topografi Cara

manusia yang mempengaruhi bentuk

Polar.

topografi peta daerah pengukuran.

Posisi horizontal dan vertikal titik detil

12.1.17 Kesalahan pengukuran cara diperoleh dari pengukuran cara polar tachymetri dengan theodolite langsung diikatkan ke titik kerangka dasar berkompas Kesalahan alat,

pemetaan atau titik (kerangka) penolong misalnya: yang juga diikatkan langsung dengan cara

polar ke titik kerangka dasar pemetaan.

1. Jarum kompas tidak benar-benar lurus

Unsur yang diukur:

2. Jarum kompas tidak dapat bergerak bebas pada prosnya.Garis bidik tidak

a. Azimuth magnetis titik ikat ke titik tegak lurus sumbu mendatar (salah

detail

kolimasi). b. Bacaan benang atas, tengah,

3. Garis skala 0° - 180° atau 180° - 0°

dan bawah

tidak sejajar garis bidik. c. Sudut miring, dan

4. Letak teropong eksentris.

d. Tinggi alat di atas titik ikat.

5. Poros penyangga magnet tidak sepusat

dengan skala lingkaran mendatar.

b.

Gambar 323. Pengukuran sipat datar luas

Berdasar skema pada gambar, maka: pemetaan,

A dan B adalah titik kerangka dasar

a. Titik 1 dan 2 diukur dan diikatkan

H adalah titik penolong, langsung dari titik kerangka dasar A,

b. Titik H, diukur dan diikatkan langsung Um adalah arah utara magnet di tempat

1, 2 ... adalah titik detil,

dari titik kerangka dasar B, pengukuran.

c. Titik 3 dan 4 diukur dan diikatkan langsung dari titik penolong H.

12.1.19 Pengukuran tachymetri untuk pembuatan peta topografi cara

poligon kompas.

Letak titik kerangka dasar pemetaan

1. Azimuth,

berjauhan, sehingga diperlukan titik

2. Bacaan benang tengah, atas dan penolong yang banyak. Titik-titik penolong

bawah, ini diukur dengan cara poligon kompas yang 3. Sudut miring, dan

titik awal dan titik akhirnya adalah titik

4. Tinggi alat.

kerangka dasar pemetaan. Unsur jarak dan beda tinggi titik-titik penolong ini diukur

12.1.21 Tata cara hitungan dan

dengan menggunakan cara tachymetri.

penggambaran poligon kompas:

Posisi horizontal dan vertikal titik detil diukur

a. Hitung koreksi Boussole di K3 = AzG. dengan cara polar dari titik-titik penolong.

K31 - AzM K31

Berdasarkan skema pada gambar, maka:

b. Hitung koreksi Boussole di K4 = AzG.

a. Titik K1, K3, K5, K2, K4 dan K6 adalah

K42 - AzM K42

titik-titik kerangka dasar pemetaan,

c. Koreksi Boussole C = Rerata koreksi

b. Titik H1, H2, H3, H4 dan H5 adalah titik- boussole di K3 dan K4 titik penolong

d. Hitung jarak dan azimuth geografis

c. Titik a, b, c, ... adalah titik detil.

setiap sisi poligon.

Pengukuran poligon kompas K3, H1, H2, H 3 ,

e. Hitung koordinat H1, ... H5 dengan cara

H 4 ,H 5 , K 4 dilakukan untuk memperoleh BOWDITH atau TRANSIT. posisi horizontal dan vertikal titik-titik f. Plot poligon berdasarkan koordinat

penolong, sehingga ada dua hitungan:

definitif.

a. Hitungan poligon dan

b. Hitungan beda tinggi.

12. 2 Peralatan, bahan dan prosedur pengukuran

12.1.20 Tata cara pengukuran poligon titik titik detail metode

tachymetri

kompas:

12.2.1 Peralatan yang dibutuhkan :

a. Pengukuran koreksi Boussole di titik K 3

1. Pesawat Theodolite

dan K 4 , Alat pengukur Theodolitee dapat

b. Pengukuran cara melompat (spring mengukur sudut-sudut yang mendatar

station) K 3 ,H 2 ,H 4 dan K 4 .

dan tegak. Alat pengukur sudut

c. Pada setiap titik pengukuran dilakukan theodolitee dibagi dalam 3 bagian yaitu :

pengukuran:

a. Bagian bawah, terdiri atas tiga

menyangga suatu tabung dan pelat Jika dilihat dari cara pengukuran dan yang berbentuk lingkaran. Pada tepi konstruksinya, bentuk alat ukur Theodolitee lingkaran ini dibuat skala lms yang di bagi dalam dua jenis, yaitu dinamakan limbus.

a. Theodolitee reiterasi, yaitu jenis

b. Bagian tengah, terdiri atas suatu theodolitee yang pelat lingkaran skala sumbu yang dimasukkan kedalam

mendatar dijadikan satu dengan tabung tabung bagian bawah. Sumbu ini

yang letaknya diatas tiga sekerup. Pelat sumbu tegak atau sumbu kesatu S1.

nonius dan pelat skala mendatar dapat

Diatas sumbu S1 diletakkan lagi diletakkan menjadi satu dengan sekerup suatu pelat yang berbentuk

kl, sedangkan pergeseran kecil dari lingkaran dan mempunyai jari-jari

nonius terhadap skala lingkaran, dapat kurang dari jari-jari pelat bagian

digunakan sekerup fl. Dua sekerup kl bawah. Pada dua tempat di tepi

dan fl merupakan satu pasang ; sekerup lingkaran di buat pembaca nomor

fl dapat menggerakkan pelat nonius bila yang berbentuk alat pembaca

sekerup kl telah dikeraskan. nonius.

b. Theodolitee repetisi, yaitu jenis Diatas nonius ini ditempatkan dua kaki

theodolitee yang pelatnya dengan skala yang penyangga sumbu mendatar.

lingkaran mendatar ditempatkan Suatu nivo diletakkan di atas pelat

sedemikian rupa sehingga pelat dapat nonius untuk membuat sumbu kesatu

berputar sendiri dengan tabung pada tegak lurus.

sekerup penyetel sebagai sumbu putar.

c. Bagian atas, terdiri dari sumbu Perbedaan jenis repetisi dengan mendatar atau sumbu kedua yang

reiterasi adalah jenis repetisi memiliki diletakkan diatas kaki penyangga sekerup k2 dan f2 yang berguna pada

sumbu kedua S2. Pada sumbu kedua penukuran sudut mendatar dengan cara ditempatkan suatu teropong tp yang

repetisi.

mempunyai difragma dan dengan 3 Selain menggunakan Theodolite, demikian mempunyi garis bidik gb. Pada

pengukuran titik-titik detail metode sumbu kedua diletakkan pelat yang tachymetri dapat menggunakan Topcond

berbentuk lingkaran dilengkapi dengan

skala lingkaran tegak ini ditempatkkan

dua nonius pada kaki penyangga sumbu

kedua.

atas digantungkan pada seutas tali.

Unting-unting berguna untuk

memproyeksikan suatu titik pada pita

ukur di permukaan tanah atau

sebaliknya.

Gambar 325. Theodolite Topcon

2. Statif

Gambar 327. Unting-unting

Statif merupakan tempat dudukan alat

4. Patok

dan untuk menstabilkan alat seperti Patok dalam ukur tanah berfungsi untuk

Sipat datar. Alat ini mempunyai 3 kaki

memberi tanda batas jalon, dimana titik

yang sama panjang dan bisa dirubah setelah diukur dan akan diperlukan lagi

ukuran ketinggiannya. Statip saat pada waktu lain. Patok biasanya

didirikan harus rata karena jika tidak rata ditanam didalam tanah dan yang

dapat mengakibatkan kesalahan saat menonjol antara 5 cm-10 cm, dengan

pengukuran maksud agar tidak lepas dan tidak

mudah dicabut. Patok terbuat dari dua

macam bahan yaitu kayu dan besi atau

beton. • Patok kayu

Patok kayu yang terbuat dari kayu,

berpenampang bujur sangkar dengan

ukuran ± 50 mm x 50 mm, dan bagian

atasnya diberi cat.

• Patok beton atau besi

Gambar 326. Statif Patok yang terbuat dari beton atau

3. Unting-unting besi biasanya merupakan patok tetap

Unting-unting terbuat dari besi atau yang akan masih pada waktu lain.

kuningan yang berbentuk kerucut

Gambar 330. Rambu ukur

7. Payung

Payung ini berfungsi sebagai pelindung

dari panas dan hujan untuk alat ukur itu

Gambar 328. Jalon di atas patok

sendiri. Karena bila alat ukur sering

5. Pita ukur (meteran) kepanasan atau kehujanan, lambat laun Rambu ukur dapat terbuat dari kayu,

alat tersebut pasti mudah rusak (seperti; campuran alumunium yang diberi skala

jamuran, dll).

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

AN ANALYSIS ON GRAMMATICAL ERROR IN WRITING MADE BY THE TENTH GRADE OF MULTIMEDIA CLASS IN SMK MUHAMMADIYAH 2 MALANG

26 336 20

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24