etika dan budi pekerti berbasis karakter - Repository UNIKAMA PENDIDIKAN ETIKA

(1)

PENDIDIKAN

ETIKA DAN BUDI PEKERTI

BERBASIS KARAKTER


(2)

PENDIDIKAN ETIKA DAN BUDI PEKERTI BERBASIS KARAKTER

©Yulianti, 2016

Penulis: Yulianti, SPd.I, MPd

Layout isi & Cover: Maftuch Junaidy Mhirda

Cetakan pertama, 2016

ISBN: 978-602-74739-6-6

Diterbitkan pertama kali oleh

Penerbit Ediide Infograika

Jl. Bandara Eltari Blok VE 03, Cemorokandang, Kota Malang Email: [email protected] website: www.ediide.com Telp/Fax: 0341-714886

All Right Reserved

Hak Cipta Dilindungi oleh undang-undang.

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari penerbit.


(3)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum, wr, wb,

Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan pada Illahi Rabbi,

karena atas ridho dan petunjukNya buku “Pendidikan Etika dan Budi Pekerti Berbasis Karakter” ini bisa terselesaikan.

Harapan penyusunan buku ini dapat membantu Mahasiswa memahami materi yang disajikan dan membantu Mahasiswa memperoleh wawasan tentang pendidikan etika dan budi pekerti dalam kehidupan serta menjadikan peserta didik berkualitas dan bermoral. Berharap buu ini dapat berguna bagi Mahasiswa atau pihak lain sebagai pengetahuan.

Penulis buku memohon maaf kepada semua pihak apabila dalam penyusunan buku pendidikan Etika dan Budi Pekerti Berbasis Karakter ini masih banyak kesalahan dan kekurangan. Semoga buku ini akan terus bermanfaat, amin...YRA.

Penyusun mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada ketua Prodi PGSD Dra. Hj. Sri Rahayu, M.Pd yang selalu memberikan motivasi, perhatian dan banyak kesempatan untuk mengembangkan ilmu di Prodi PGSD Universitas Kanjuruhan Malang. Tidak lupa penyusun menyampaikan terimakasih kepada semua pihak-pihak yang telah membantu terselesainya buku ini.

Wa’alaikumussalam wr, wb,

Malang, 21 April 2016


(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHUlUAN ... 1

A. Sejarah Filosofi Etika dan Budi Pekerti ... 4

B. Dasar Perkembangan Etika dan Budi Pekerti ... 7

c Etika dan Budi Pekerti di Era Reformasi-Globalisasi ... 7

BAB II HAKIKAT ETIKA DAN BUDI PEKERTI ... 11

A. Pengertian Etika dan Budi Pekerti ... 13

B. Sumber-Sumber Nilai Etika ... 17

C. Implementasi Penanaman Nilai-Nilai Pendidikan Etika dan Budi Pekerti Dalam Kehidupan Sehari-hari. ... 18

BAB III PEMAHAMAN ETIKA MENURUT ARISToTElES DAN IMMANUEl KANT ... 27

A. Merunut Perkembangan Etika dan Budi Pekerti ... 30

B. Teori Pengembangan Moral dalam Pendidikan Budi Pekerti ... 34

C. Perkembangan Etika dan Budi Pekerti di Era Kini ... 35

BAB IV HAKIKAT PENDIDIKAN BUDI PEKERTI ... 39

A. Pengertian Pendidikan Budi Pekerti ... 41

B. Visi dan Misi Pendidikan Budi Pekerti ... 43

C. Tujuan dan Sasaran Pendidikan Budi Pekerti ... 44

D. Kegunaan dan Fungsi Pendidikan Budi Pekerti ... 48

E. Sifat-sifat Pendidikan Budi Pekerti ... 48

F. Ruang lingkup Pendidikan Budi Pekerti ... 49


(5)

BAB V URGENSI PENDIDIKAN ETIKA DAN BUDI PEKERTI 53 A. Peranan Keluarga Dalam Pendidikan Budi Pekerti ... 55 B. Peranan Sekolah Dalam Penanaman Budi Pekerti ... 71

C. Peran Masyarakat Dalam Membangun Generasi Yang

Bermoral dan Beretika ... 72 BAB VI PENDIDIKAN BUDI PEKERTI DAN PEMBANGUNAN MoRAl BANGSA ... 75 A. Menggagas Pendidikan Budi Pekerti Masa Depan ... 77 B. Realita Problematika Pendidikan Budi Pekerti Dilapangan.

78

C. Inovasi pendidikan budi pekerti masa depan. ... 80 D. Perjuangan Tokoh Ki Hajar Dewantara dalam Dunia

Pendidikan ... 85 E. Kiprah RA. Kartini dalam Memperjuangkan Emasnsipasi

Wanita ... 90 DAFTAR PUSTAKA ... 95 BIoDATA PENUlIS ... 97


(6)

(7)

BAB I

PENDAHULUAN


(8)

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

Sering kita mendengar istilah sopan santun, adab,etika, estetika,

dan etiket. Dalam rangka menjernihkan istilah tersebut, kita artikan secara bahasa adab berasal dari bahasa Arab yang artinya tingkah laku, etika berarti adat istiadat, estetika; keindahan, dan etiket berarti sopan santun. Keempat istilah tersebut mempunyai persamaan arti, pertama; menyangkut perilaku manusia. Kedua, mengatur perilaku manusia secara normatif, artinya, memberi norma bagi perilaku manusia dan dengan demikian menyatakan apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan.1 Hal ini tidak hanya didapatkan pada

kaum intelektual tapi juga para pedagang maupun profesi yang lain. Seperti contoh dalam majalah atau media cetak sering kita dapatkan kata-kata itu sebagai obrolan, dalam dunia bisnis etika merosot terus dan hal itu harus segera dikendalikan. Akan tetapi di TV banya ditanyangkan gambar-gambar yang kurang etis hal itu kurang menunjukkan kebesaran etika. Dalam ceramah atau pidato banyak dibahas atau ditekankan pada masalah pentingnya etika dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, baik di masayarakat maupun di lingkungan pejabat atau formal.

Kedudukan etika sangatlah penting dalam kehidupan manusia, sebagai makhluk individu, maupun sosial dan bangsa. Sebab jatuh bangunnya suatu masyarakat tergantung pada bagaimana etikanya. Apabila etikanya baik, sejahteralah lahir batinnya; bila etikanya rusak, rusaklah lahir dan batinnya.

Kejayaan seseorang terletak kepada etikanya yang baik. Etika yang baik selalu membuat seseorang menjadi aman, tenang dan tidak ada perbuatan yang tercela. Seseorang yang beretika mulia selalu melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Dia melakukan kewajiban terhadap dirinya sendiri yang menjadi hak dirinya, terhadap Tuhan yang menjadi hak Tuhannya, terhadap makhluk lain dan terhadap


(10)

sesama manusia.2

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak kalangan yang mulai meragukan kapabilitas dan kredibilitas guru. Perannya sebagai pengajar dan pendidik mulai dipertanyakan. Misinya sebagai pencetak generasi yang unggul, terampil, dan bermoral, belum sepenuhnya terwujud. Para pelajar kita justru semakin menjauh dari kondisi ideal seperti yang diharapkan. Yang lebih memprihatinkan, para pelajar itu mulai kehilangan kepekaan moral, terbius dalam atmosfer zaman yang serba gemerlap, tersihir oleh kehidupan yang memburu selera dan kemanjaan nafsu, terjebak ke dalam sikap hidup instan. Pergaulan bebas makin mencuat ke permukaan sebagai gaya hidup masyarakat.

Pembangunan karakter bangsa di sekolah dilakukan melalui kegiatan-kegiatan eksrakurikuler yang salah satunya adalah kepramukaan, sejalan dengan rencana strategis tahun 2009-2014 lebih menekankan pada pelaksanaan fungsi pokok Gerakan Pramuka sebagai lembaga Pendidikan Kader Bangsa. Tetapi dalam pelaksanaannya di sekolah terdapat beberapa kendala, antara lain karena sifatnya sukarela maka kepramukaan hanya diikuti segelintir siswa saja, atau kalaupun ada sekolah yang mewajibkan kegiatan tersebut maka hasilnya tidak juga maksimal, artinya hanya kuantitasnya saja yang besar.

A. Sejarah Filosofi Etika dan Budi Pekerti

Sejarah ialah kejadian, peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau, perkembangan adalah pertumbuhan secara terus-menerus, bercabang dan hidup sepanjang waktu. Etika adalah budi pekerti, tingkah laku, perbuatan manusia. Sedangkan budi pekerti mengacu pada pengertian bahasa Inggris yang diterjemahkan sebagai moralitas, yang berarti; adat istiadat, sopan santun, dan perilaku.3

Pada sebuah museum di Konstantinopel terdapat koleksi benda

2 Ibid, hlm; 2

3 Departemen Pendidikan, 1997, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. 9, Balai Pustaka: Jakarta, hlm. 891


(11)

kuno berupa lempengan tanah liat berasal dari tahun 3800 SM, yang bertuliskan:

“we haven fallen upon evil times and the world has waxed very old and wicked. Politics are very corrupt. Children are no longer respectful to their parent.”

Makna yang terkandung dari tulisan tersebut adalah kita mengalami zaman edan dan dunia telah diliputi kemiskinan dan kejahatan. Politik sangat korupsi. Anak-anak sama sekali tidak hormat kepada orang tuanya.4

Dalam filsafat Yunani hedonisme sudah ditemukan pada awal Aristippos dari Kyrene (sekitar 433-355 S.M.), seorang murid Sokrates. Sokrates telah bertanya tentang tujuan terakhir bagi kehidupan manusia atau apa yang sungguh-sungguh baik bagi manusia, tapi ia sendiri tidak memberikan jawaban yang jelas atas pertanyaan itu dan hanya mengeritik jawaban-jawaban yang diberikan oleh orang lain. Aristippos menjawab: yang sungguh baik bagi manusia adalah kesenangan. Hal itu telah terbukti karena sudah sejak masa kecilnya manusia merasa tertarik akan kesenangan dan bila telah tercapai ia tidak mencari sesuatu yang lain lagi. Sebaliknya, ia selalu menjauhkan diri dari ketidaksenangan.5

Etika pada masa zaman Arab Jahiliyah, manusia tidak ada yang membimbing. Mereka bebas berbuat menurut hawa nafsunya. Mereka hidup tanpa mengenal Allah. Mereka hanya mempercayai dan menyembah berhala, menyembah matahari, menyembah bulan, dan menyembah binatang. Keadaan mereka yang seperti ini sudah sangat jauh dari kebenaran. Selain itu mereka juga menyembah pecahan-pecahan batu, kayu dan onggokan pasir. Mereka tidak mempercayai adanya Tuhan Yang Maha Esa, kematian manusia dan juga hari kiamat. Dalam setiap kota mempunyai Tuhan-tuhan sendiri seperti Hubal, latta, Manna, dan Uza. Tuhan-tuhan itulah


(12)

yang sangat mereka hormati.6

Ada beberapa fenomena Arab Jahiliyah yang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam, diantaranya:7

a. Berdo’a meminta kepada orang yang dianggap saleh. Ketika memohon dan beribadah kepada Tuhan mereka, mereka minta pada orang saleh, dan mengharap syafaat dari mereka.

b. Mengikuti jejak kefasikan orang yang berilmu dan ahli ibadah yang hanya merunutkan hawa nafsunya.

c. Percaya sepenuh hati terhadap sihir dan kurafat. d. Menyucikan makhluk seperti layaknya sang Khalik. e. Munafik dalam akidah.

Kalau kita runut dari sejarahnya, masalah etika dan budi pekerti telah lama menjadi masalah hidup manusia. Pembahasan filosofis tentang etika dan budi pekerti khususnya dari pendidikan moral terus berkembang dengan berbagai pendapat dan aspek yang menyangkut perkembangan maupun latar belakang sulitnya perkembangan budi pekerti. Hal ini menjadikan norma moral atau budi pekerti mengalami krisis kewibawaan. Dan pada kenyataannya juga menyeret kewibawaan seorang pendidik.

Namun demikian, etika dan budi pekerti seseorang sebenarnya dapat dikembangkan dengan menggunakan landasan kemampuan dan kebiasaan hidup berdasarkan norma yang ada dalam masyarakat. Penerapan tindakan untuk memperoleh pengalaman tentang dunia nyata atau lingkungan hidup sangat berperan dalam pembelajaran etika dan budi pekerti. Dengan demikian, perkembangan etika dan budi pekerti merupakan aneka ragam pengalaman peran berdasarkan situasi tertentu.

Pendapat ini yang mendasari prinsip bahwa lembaga pendidikan dapat memberikan sumbangan yang matang tentang budi pekerti dan memberi kesempatan kepada anak didiknya untuk melaksanakan peran etika dan budi pekertinya dalam kehidupan sehari-harinya

6 M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, hlm. 493. 7 Ibid, hlm. 496-498


(13)

baik sebagai individu, masyarakat dan bangsa.

B. Dasar Perkembangan Etika dan Budi Pekerti

Merunut dari sejarahnya, perkembangan etika dan budi pekerti telah lama menjadi masalah hidup manusia. Seperti yang terlihat dari zaman Babilonia karena aspek kebijakan politik berdampak pada sulitnya pengembangan budi pekerti di sekolah. Hal ini ditunjukkan jiwa anak didik yang pemberontak dan melawan guru.

lebih lanjut Klipartick menyatakan bahwa budi pekerti sseorang dapat dikembangkan dengan menggunakan landasan kemampuan dan kebiasaan hidup yang itu semua didasarkan norma masyarakat tempat tinggalnya. Norma itulah yang menjadi acuan norma masyarakat dalam beraktivitas termasuk di dalam cita-cita hidupnya.

Ada juga yang mengatakan bahwa pemahaman seseorang terhadap keyakinan agama dapat mendasari acuan etika dan budi pekerti dalam aktivitas hidupnya sehari-hari di masyarakat.

c Etika dan Budi Pekerti di Era Reformasi-Globalisasi

Dewasa ini terlihat juga gejala-gejala kemerosotan etika, di mana secara pasti sulit untuk mendefinisikan faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebabnya. Namun, tak dapat pula dikesampingkan bahwa faktor-faktor kemajuan teknologi dan ekonomi juga ikut berperan didalamnya.

Di zaman yang semakin canggih teknologinya seperti saat ini justru etika manusia semakin bernilai rendah. Banyak alat-alat canggih untuk berbuat kebaikan, tetapi tidak kalah juga alat-alat canggih itu digunakan untuk berbuat kejahatan. Kenyataannya, etika yang dimiliki orang-orang saat ini banyak yang bertentangan dengan fitrah manusia. Bukan hanya orang-orang non muslim, tapi justru kaum muslimin itu sendiri banyak memiliki etika demikian. Mereka buta dengan agama, dan lebih mementingkan harta kekayaan, sehingga berani melakukan apa saja untuk mendapatkannya walaupun harus dengan cara yang tidak halal. Mereka hanya memikirkan kebahagiaan


(14)

di dunia semata dan tidak memerhatikan kebahagiaan akhirat.8

Banyak nilai dan norma etis berasal dari agama. Tidak bisa diragukan, bahwa agama merupakan salah satu sumber nilai dan norma yang paling penting.9 Sedangkan kebudayaan merupakan suatu sumber

yang lain, walaupun perlu dicatat bahwa dalam hal ini kebudayaan sering kali tidak bisa dilepaskan dari agama.

Dalam kajian kebudayaan, nilai merupakan inti dari setiap kebudayaan. Dalam konteks ini, khususnya nilai-nilai moral yang merupakan sarana pengatur dari kehidupan bersama, sangat menentukan di dalam setiap kebudayaan. lebih-lebih lagi di era globalisasi yang berada dalam dunia yang terbuka, ikatan nilai-nilai moral mulai melemah. Masyarakat mengalami multikrisis yang dimensional, dan krisis yang dirasakan sangat parah adalah krisis nilai-nilai moral.10

Jika kita memandang situasi etis dalam dunia modern terutama tiga ciri yang menonjol. Pertama, kita banyak menyaksikan adanya pluralisme moral. Dalam masyarakat-masyarakat yang berbeda sering terlihat nilai dan norma yang berbeda pula. Kedua, sekarang timbul banyak masalah etis baru yang dulu tidak terduga. Ketiga, dalam dunia modern tampak semakin jelas juga suatu kepedulian etis yang universal.11

Di Amerika Serikat, serta di masyarakat Indonesia dewasa ini muncul tuntutan untuk menyelenggarakan pendidikan budi pekerti ataupun pendidikan moral, terutama didasarkan pertimbangan 3 (tiga) hal sebagai berikut:12

Melemahnya ikatan keluarga. Keluarga yang secara tradisional merupakan guru pertama dari setiap anak, mulai kehilangan fungsinya. Hancurnya keluarga menyebabkan hidup anak-anak menjadi terlantar.

8 M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, hlm. 523 9 K. Bertens, hlm.30

10 Nurul Zuriah, 2007, Pendidikan Moral dan Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan, Jakarta: Bumi Aksara, hlm. 11

11 K. Bertens, hlm. 31


(15)

Perceraian menjadi sesuatu yang biasa dan akan sangat memukul kehidupan emosional anak serta menjadi perangsang bagi kelainan kelakuan seperti berbagai jenis kenakalan dan tawuran di kalangan remaja. Dengan demikian, sekolah telah berganti peran menjadi pengganti keluarga di dalam memperkenalkan nila-nilai moral yang tidak lagi diperoleh oleh anak dalam keluarga. Sehingga sekolah mempunyai tugas ganda selain tugas pokoknya mengajar tapi juga mendidik.

Kecenderungan negatif di dalam kehidupan remaja dewasa ini, terutama di kota-kota besar sering terjadi perkelahian, tawuran dll.

Suatu kebangkitan kembali dari perlunya nilai-nilai etik, moral, dan budi pekerti dewasa ini, telah timbul suatu kecenderungan masyarakat yang mulai menyadari bahwa dalam masyarakat terdapat suatu kearifan mengenai adanya suatu moralitas dasar yang sangat esensial dalam hidup bermasyarakat.


(16)

(17)

BAB II


(18)

(19)

BAB II

HAKIKAT ETIKA DAN BUDI PEKERTI

A. Pengertian Etika dan Budi Pekerti

1. Apakah Etika itu?13

Etika adalah bagian filsafat yang meliputi hidup baik, menjadi orang yang baik, berbuat baik, dan menginginkan hal-hal yang baik dalam hidup. Sering kita mendengar istilah etika, estetika, dan etiket. Dalam rangka menjernihkan istilah tersebut, kita artikan secara bahasa

etika berarti adat istiadat, estetika; keindahan, dan etiket berarti sopan santun. Ketiga istilah tersebut mempunyai persamaan arti, pertama; menyangkut perilaku manusia. Kedua, mengatur perilaku manusia secara normatif, artinya, memberi norma bagi perilaku manusia dan dengan demikian menyatakan apa yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan.14 Hal ini tidak hanya didapatkan pada kaum

intelektual tapi juga para pedagang maupun profesi yang lain. Seperti contoh dalam majalah atau media cetak sering kita dapatkan kata-kata itu sebagai obrolan, dalam dunia bisnis etika merosot terus dan hal itu harus segera dikendalikan. Akan tetapi di TV banyak ditanyangkan gambar-gambar yang kurang etis hal itu kurang menunjukkan kebesaran etika. Dalam ceramah atau pidato banyak dibahas atau ditekankan pada masalah pentingnya etika dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, baik di masyarakat maupun di lingkungan pejabat atau formal.

Buku ini membahas tentang etika dan dalam hal ini “etika” dimengerti sebagai filsafat moral. Kata “etika” tidak selalu dipakai dalam arti itu saja, untuk lebih jelasnya maka kita pelajari arti dari beberapa istilah lain yang dekat dengan makna “etika”.


(20)

a. Etika dan Moral

Istilah “etika” berasal dari bahasa Yunani kuno. Kata Yunani

ethos dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti: tempat tinggal yang biasa; padang rumput, kandang; kebiasaan, adat; akhlak, watak; perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak “ta etha” artinya adat kebiasaan. Dalam arti terakhir inilah menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah “etika” yang oleh filsuf Yunani Besar Aristoteles (384-322 S.M.) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral.

Kata yang cukup dekat dengan “etika” adalah “moral”. Kata ini berasal dari bahasa latin mos (jamak: mores) yang berarti juga: kebiasaan, adat. Jadi secara etimologi kata “etika” sama dengan kata “moral”, karena keduanya berasal dari kata yang berarti adat kebiasaan. Hanya bahasa asalnya berbeda; yang pertama berasal dari bahasa Yunani, sedang yang kedua dari bahasa latin.

Etika lebih condong kearah ilmu tentang baik atau buruk. Selain itu etika lebih sering dikenal sebagai kode etik. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas atau nilai yang berkenaan dengan baik buruk.

Dua kaidah dasar moral adalah :

∙ Kaidah Sikap Baik. Pada dasarnya kita mesti bersikap

baik terhadap apa saja. Bagaimana sikap baik itu harus dinyatakan dalam bentuk yang kongkret, tergantung dari apa yang baik dalam situasi kongkret itu.

∙ Kaidah Keadilan. Prinsip keadilan adalah kesamaan yang

masih tetap mempertimbangkan kebutuhan orang lain. Kesamaan beban yang terpakai harus dipikulkan harus sama, yang tentu saja disesuaikan dengan kadar anggota masing-masing.

b. Amoral dan Immoral

Kata Inggris amoral berarti; tidak berhubungan dengan konteks moral, di luar suasana etis, “non-moral”. Dalam kamus yang sama


(21)

kata Immoral berarti: “bertentangan dengan moralitas yang baik”, “secara moral buruk”, “tidak etis”.15

c. Etika dan Etiket

Kerap kali dua istilah ini dicampur adukkan begitu saja, padahal perbedaan diantaranya sangat hakiki. “Etika“ disini berarti “moral” dan “etiket” berarti “sopan santun”. Disamping ada perbedaan juga ada juga persamaan. Pertama, etika dan etiket menyangkut perilaku manusia. Istilah ini hanya kita pakai mengenai manusia. Hewan tidak mengenal etika dan etiket.16 Sedangkan perbedaan

istilah tersebut adalah;

 Etiket menyangkut cara suatu perbuatan harus dilakukan manusia. Etiket menunjukkan cara yang tepat, artinya, cara yang diharapkan serta ditentukan dalam suatu kalangan tertentu. Misalnya kita memberikan sesuatu kepada orang lain dengan menggunkan tangan kanan. Dianggap melanggar etiket jika kita menggunakan tangan kiri.

 Etiket hanya berlaku dalam pergaulan. Bila tidak ada orang lain hadir atau tidak ada saksi mata, maka etiket tidak berlaku. Misalnya, ada banyak perarturan etiket yang mengatur cara kita makan. Dianggap melanggar etiket, bila kita makan sambil berbunyi atau dengan meletakkan kaki diatas meja, dsb.

 Etiket bersifat relative. Yang dinggap tidak sopan dalam satu kebudayan, bisa saja dianggap sopan dalam kebudayaan lain. Misalnya makan dengan tersendawa. lain halnya dengan “etika”. Etika jauh lebih absolute. “jangan mencuri”, “jangan berbohong” dll ini merupakan prinsip-prinsip etika yang tidak bisa ditawar-tawar atau mudah diberi “dispensasi”.

 Jika kita berbicara tentang etiket, kita hanya memandang manusia dari segi lahiriah saja, sedang etika menyangkut manusia dari segi dalam. Bisa saja orang tampil sebagai “musang berbulu ayam:; dari luar sangat sopan dan halus, tapi di dalam penuh


(22)

kebusukan. Banyak penipu berhasil dengan maksud jahat mereka, justru karena penampilannya begitu halus dan menawan hati, sehingga mudah menyakinkan orang lain.

d. Moral dan Hukum

Sebenarnya antara keduanya terdapat hubungan yang cukup erat. Karena antara satu dengan yang lain saling mempengaruhi dan saling membutuhkan. Kualitas hukum ditentukan oleh moralnya. Karena itu hukum harus dinilai/diukur dengan norma moral. Undang-undang moral tidak dapat diganti apabila dalam suatu masyarakat kesadaran moralnya mencapai tahap cukup matang. Sebaliknya moral pun membutuhkan hukum, moral akan mengambang saja apabila tidak dikukuhkan, diungkapkan dan dilembagakan dalam masyarakat. Dengan demikian hukum dapat meningkatkan dampak social moralitas. Walaupun begitu tetap saja antara Moral dan Hukum harus dibedakan. Perbedaan tersebut antara lain :

∙ Hukum bersifat obyektif karena hukum dituliskan dan disusun

dalam kitab undang-undang. Maka hukum lebih memiliki kepastian yang lebih besar.

∙ Norma bersifat subyektif dan akibatnya seringkali diganggu oleh

pertanyaan atau diskusi yang menginginkan kejelasan tentang etis dan tidaknya.

∙ Hukum hanya membatasi ruang lingkupnya pada tingkah laku

lahiriah manusia saja.

∙ Sedangkan moralitas menyangkut perilaku batin seseorang. ∙ Sanksi hukum bisanya dapat dipaksakan.

∙ Sedangkan sanksi moral satu-satunya adalah pada kenyataan

bahwa hati nuraninya akan merasa tidak tenang.

∙ Sanksi hukum pada dasarnya didasarkan pada kehendak

masyarakat.

∙ Sedangkan moralitas tidak akan dapat diubah oleh masyarakat


(23)

e. Etika dan agama

Etika mendukung keberadaan Agama, dimana etika sanggup membantu manusia dalam menggunakan akal pikiran untuk memecahkan masalah. Perbedaan antara etika dan ajaran moral agama yakni etika mendasarkan diri pada argumentasi rasional. Sedangkan Agama menuntut seseorang untuk mendasarkan diri pada wahyu Tuhan dan ajaran agama.

Kedudukan etika sangatlah penting dalam kehidupan manusia, sebagai makhluk individu, maupun sosial dan bangsa. Sebab jatuh bangunnya suatu masyarakat tergantung pada bagaimana etikanya. Apabila etikanya baik, sejahteralah lahir batinnya; bila etikanya rusak, rusaklah lahir dan batinnya.

Kejayaan seseorang terletak kepada etikanya yang baik. Etika yang baik selalu membuat seseorang menjadi aman, tenang dan tidak ada perbuatan yang tercela. Seseorang yang beretika mulia selalu melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Dia melakuakan kewajiban terhadap dirinya sendiri yang menjadi hak dirinya, terhadap Tuhan yang menjadi hak Tuhannya, terhadap makhluk lain dan terhadap sesama manusia.17

B. Sumber-Sumber Nilai Etika

landasan seseorang dalam menjalani hidup mengacu dalam pelaksanaan etika dan budi pekerti adalah;

1). Agama

Banyak ajaran dan paham pada masing-masing agama mengandung suatu ajaran moral yang menjadi pegangan bagi perilaku para penganutnya. Contoh :etika berbeda pendapat, etika bergaul dengan orang, etika buang hajat, etika berbicara, etika bersin, etika bertetangga, etika makan minum, dst.

2). Filosofi

Pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang atau alasan-alasan logis yang dapat dimengerti dan disetujui oleh semua orang.


(24)

3). Pengalaman dan perkembangan budaya

Ciri khas utama yang paling menonjol yaitu kekeluargaan dan hubungan kekerabatan, yang erat.

4). Hukum

Hukum tidak berarti banyak, kalau tidak dijiwai oleh moralitas, tanpa moralitas hukum kosong, kualitas hukum sebagian besar ditentukan oleh mutu moralnya.

Contoh:

Jangan membunuh, jangan mencuri, jangan menipu tidak saja merupakan larangan moral tapi perbuatan-perbuatan itu dilarang jangan menurut hukum dan orang-orang yang melakukannya harus di hukum dengan tegas. Biasanya hukum dibuat setelah pelanggara-pelanggara terjadi dalam komunitas.

5). Pendidikan

Sebagai alat terpenting untuk menjaga diri dan memelihara nilai-nilai positif, serta mengemban dua tugas utama yang saling kontradiktif, yaitu melestarikan dan mengadakan perubahan. Contoh: bertanggung jawab, memperhatikan kebersihan, kerapian dan kenyamanan kelas, berdoa, duduk diam, tutur kata yang sopan, manis, lembut, dan menenangkan akan mampu menyentuh nurani siswa untuk berbudi pekerti yang luhur.

C. Implementasi Penanaman Nilai-Nilai Pendidikan Etika Dan Budi Pekerti Dalam Kehidupan Sehari-hari.

1. Pendidikan di Keluarga

Pendidikan dalam keluarga sebenarnya menjadi sangat penting dalam konteks pendidikan nilai karena keluarga merupakan tempat pertama bagi seseorang untuk berinteraksi dan memperoleh dasar-dasar budi pekerti yang baik. Proses pendidikan dalam keluarga terjadi secara wajar melalui tranformasi, nilai ini terjadi secara perlahan-lahan tetapi sistematis. Hal ini berhubungan dengan hakikat nilai yang bukan pertama-tama merupakan kebiasaan - kebiasaan yang mengarah pada kebaikan, yang menjadi permasalahan saat ini adalah bagaimana


(25)

keluarga berperan dalam memberikan pendidikan budi pekerti pada anak didik. Hal ini tentu tidak mudah mengingat kondisi keluarga di negara kita sangat bervariasi. Secara umum kondisi keluarga di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam 3 variasi, yaitu:

1). Keluarga harmonis.

Yang dimaksud keluarga harmonis disini adalah keluarga yang tidak memiliki masalah yang begitu berarti, baik dari segi masalah hubungan antar pribadi maupun masalah finansial.

2). Keluarga bermasalah.

Yang dimaksud keluarga bermasalah di sini adalah keluarga yang memiliki masalah baik masalah hubungan antar pribadi atau masalah finansial.

3). Keluarga gagal.

Yang dimaksud keluarga gagal disini adalah keluarga yang mengalami kegagalan dalam membangunkeluarga sehinmgga keluarga menjadi terpecah belah.

Karena kompleknya permasalah keluarga di negara kita, pendidikan yang diberikan pun tidak dapat disamaratakan. Peran masing-masing keluarga dalam pendidikan budi pekertipun tidak dapat disamakan satu keluarga dengan keluarga lain. Namun demikian, ada beberapa prinsip yang rasanya harus ada jika keluarga ingin berperan dalam pendidikan budi pekerti, antara lain:

a. Komitmen orangtua untuk memperhatikan anak-anaknya. b. Keteladan.

c. Komunikasi aktif.

Jika ketiga prinsip pendidikan budi pekerti dalam keluarga di atas dapat terpenuhi, maka dapat diyakini bahwa keluarga mampu berperan dalam pendidikan budi pekerti.


(26)

2. Nilai-Nilai yang Harus Ditanamkan Dalam Keluarga a. Nilai kerukunan.

Kerukunan merupakansalah satu perwujudan budi pekerti. orang yang memiliki budipekerti luhur tentu lebih menghargai kerukunan dan kebersamaan daripada perpecahan. Jika dalam keluarga sudah sejak dini ditanamkan nilai-nilai kerukunan itu dan anak dibiasakan menyelesaikan masalah dengan musyawarah maka dalam kehidupan di luar keluarga mereka juga akan terbiasa menyelesaikan masalah berdasarkanpermusyawarahan.

b. Nilai ketakwaan dan keimanan.

Ketakawaan dan keimanan merupakan pengendali utama budi pekerti. Seseorang yang memiliki ketakwaan dan keimanan yang benar dan mendasar terlepas dari apa agamanya tentu akan mewujudkannya dalam perilaku dirinya. Dengan demikian sangat tidak mungkin jika seseorang memiliki kadar ketakwaan dan keimanan yang mendalam melakukan tindakan-tindakan yang menunjukkan bahwa dirinya itu memiliki budi pekerti yang sangat tidak terpuji.

c. Nilai toleransi.

Yang dimaksud toleransi di sini terutama adalah mau memperhatikan sesamanya. Dalam keluarga nilai toleransi ini dapat ditanamkan melalui proses saling memperhatikan dan saling memahami antar anggota keluarga. Jika berhasil, tentu hal itu akan terbawa dalam pergaulannya.

d. Nilai kebiasaan sehat.

Yang dimaksud kebiasaan sehat di sini adalah kebiasaan-kebiasaan hidup yang sehat dan mengarah pada pembangunan diri lebih baik dari sekarang. Penanaman kebiasaan pergaulan sehat ini tentus aja akan memberikan dasar yang kuat bagi anak dalam bergaul dengan lingkungan sekitarnya.


(27)

3. Peranan Keluarga Dalam Perkembangan Budi Pekerti a. Basis Pendidikan Moral

Keluarga adalah tempat ideal penyemaian Budi Pekerti. Di dalam keluarga, anak akan banyak belajar secara praktis melalui berlatih dan meniru Budi Pekerti orang disekitarnya, lebih-lebih meneladani orang tuanya. Seperti halnya dikemukakan Geertz (1985:151) bahwa didalam keluarga Jawa berkembang tata krama penghormatan yang mengarah pada penampilan sosial yang harmonis. Nilai-nilai ini akan dipelajari anak secara alamiah dalam keluarga.

Melalui pendidikan moral dalam keluarga yang menjadi basis awal budi pekerti, anak akan semakin sadar terhadap kahadiran dirinya di dunia. Namun, menurut Supriyoko (2000:5) ada hal yang perlu dicermati yakni ihwal normalitas keluarga akan berpengaruh terhadap perilaku anak. Dalam keluarga yang normal (harmonis) anak akan cenderung berperilaku positif, sebaliknya pada keluarga yang tidak normal (rusak) anak akan cenderung berperilaku sosial negatif. Karena itu, keluarga memang tempat yang sebaik-baiknya untuk melakukan pendidikan sosial dan budi pekerti. Bahkan para pakar pendidikan anak memasuki peka (gevoilige periode), antara usia 3.5 hingga 7 tahun.

Jika keluarga sukses mendidik budi pekerti, berarti keluarga tersebut telah memenuhi peranannya sebagai suatu lembaga pendidikan terkecil yang menentukan nasib bangsa. Di antara peran dalam keluarga dalam hal pendidikan budi pekerti menurut Bratawijaya (1997:1) telah disebutkan dalam Serat Wulang Reh, yakni sebagai wadah : (1) pendidikan pergaulan, (2) pendidikan watak, (3) pendidikan norma sosial, (4) pendidikan tata krama, (5) pendidikan tentang baik buruk, (6) pendidikan agama. Dari berbagai unsur pendidikan ini tugas keluarga adalah mendidik anak yang sebaik-baiknya. Kesalahan mendidik anak akan berakibat fatal. Karena itu, orang tua akan berusaha mendidik anak sedini mungkin. Itulah sebabnya, keteledoran orang tua dalam menyampaikan budi pekerti bisa menjadi bumerang bagi keluarga itu sendiri.


(28)

b. Basis Pembentukan Sikap Hidup

Budi pekerti yang berlaku di masyarakat Jawa, sebenarnya merupakan akumulasi dari sebuah gagasan besar tentang sikap hidup, sistem nilai dan sistem kepercayaan. Di dalam budi pekerti terkandung prinsip dan gagasan atau ajaran moral luhur. Ajaran ini tidak lain sebagai salah satu pemadatan nilai-nilai terdalam yang sifatnya sangat filosofi.

Sikap hidup merupakan faktor penting yang menentukan keberhasilan dalam pergaulan sosial. Menurut Jong (1976:69) masyarakat Jawa memiliki sikap hidup rila lan nrima, dan sabar. Dalam kaitan ini Gertz (1981:232) memberikan batasan ke tiga konsep tersebut adalah rila juga disebut ikhlas, yaitu kesediaan menyerahkan segala milik, kemampuan, dan hasil karya kepada Tuhan. Nrima berarti merasa puas dengan nasib dan kewajiban yang telah ada, tidak memberontak, tetapi mengucapkan terima kasih. Sabar, menurut menunjukan ketidak adaan hasrat, ketiadaan ketidak sabaran, ketiadaan nafsu yang bergolak.

Sikap hidup jawa yang lain, yang juga akan membentuk budi pekerti seseorang menurut Soenarto (Herusatoto, 199178-85) dalam “serat Sasangka Jati” antara lain: eling (sadar), percaya, mituhu

(setia), rila narima (tidak ngaya), temen, sabar (tahan cobaan), berbudi luhur, mawas diri dan satrio pinandita (tidak tergiur semat, derajat, kramat,hormat ) dan sepi ing pamrih, rukun. Sikap hidup Jawa yang terakhir ini dipertegasi lagi oleh Manis Suseno (1991:38-39) bahwa dalam kaitannya dengan hubungan masyarakat orang Jawa memiliki sikap hidup yang terkait dengan dua hal, yaitu: (1) prinsip rukun, yaitu untuk mempertahankan masyarakat dalam keadaan harmoni, dan (2) prinsip hormat, bertujuan agar kondisi masyarakat dalam keadaan selaras.

Dari pendapat-pendapat tersebut, dapat dinyatakan bahwa sikap hidup Jawa itu bisa terkait hubungan manusia dangan orang lain, diri sendiri, dan kepada Tuhan. Sikap hidup (pandangan hidup) yang terkait dengan orang lain, lebih luas cakupannya. Pandangan ini menyangkut hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Sikap hidup


(29)

yang terkait diri sendiri, lebih ke arah pada hskikat manusia sebagai makhluk individu. Sedangkan sikap hidup manusia kepada Tuhan, terkait dengan hubungan manusia secara vertikal (transedental) Baik sikap hidup yang terkait dengan Tuhan, orang lain, dan diri sendiri, tidak lain merupakan refleksi budi pekerti luhur. Seseorang harus mampu mewujudkan hubungan tersebut dengan menjaga sikap etis.

4. Peran Anggota Keluarga a. orang tua Sebagai Penyelidik

Seorang penyelidik bertujuan untuk menemukan apa yang tersembunyi atau yang belum diketahui. Pada batas tertentu orang tua juga berperan seperti penyelidik. Agar anda dapat mendidik, membimbing, mencorong, dan membantu pekerkembangan anak dengan baik. orang tua harus mengamati dan memahami anak dengan sabar untuk mengenali kepribadian dan sifatnya yang unik.

Kata kunci dalam berkomunikasi orang tua yang berperan sebagai penyelidik adalah bertanya. Pertanyaan merupakan cara langsung untuk menyelidiki pikiran dan perasaan anak dan untuk memahami harapan dan cita-citanya. Agar dapat berhasil, pertanyaanya sedapat mungkin bersifat umum sehingga mengundang tahapan jujur.

orang tua yang berperan sebagai penyelidik mempunyai posisi yang paling baik dalam melengkapi anak-anak mereka untuk dapat bertumbuh dewasa mandiri. Kemampuan mereka untuk mengajukan pertanyaan bermanfaat dalam mengajar, berperan serta dan memberikan tanggung jawab .

b. orang Tua Sebagai Petani

orang Tua juga sebagai seorang petani dalam mendidik etika dan moral dalam anak. Seorang petani menganggap bahwa setiap tanaman adalah unik. Dan tidak memaksa kentang menjadi apel. Demikian juga, orang tua yang bertindak sebagai petani menganggap setiap anak adalah unik dan membantu perkembangan anak supaya menjadi dewassa dan berguna. orang tua di sini berfungsi untuk


(30)

bertindak sebagai petani biasanya paling cocok dalam mendewasakan anak-anak dan membiarkan mereka hidup mandiri.

c. orang Tua Sebagai Arsitek

Dalam peran ini orang tua bertindak sebagai pemerintah dan pengatur. Sekarang banyak orang tua yang bertindak sebagai seorang arsitek. Mereka percaya bahwa mereka bertanggung jawab sepenuhnya akan menjadi seperti anak mereka kelak. Dengan hati-hati mereka membimbing dan mengendalikan kegiatan, pilihan, pergaulan anak, dan etika mereka.

d. orang Tua Sebagai Guru

orang tua sebagai lingkungan pertama dan utama di mana anak berinteraksi sebagai lembaga pendidikan yang tertua, artinya disinilah dimulai suatu proses pendidikan. Sehingga orang tua berperan sebagai pendidik bagi anak-anaknya. lingkungan keluarga juga dikatakan lingkungan yang paling utama, karena sebagian besar kehidupan anak di dalam keluarga, sehingga pendidikan yang paling banyak diterima anak adalah dalam keluarga. Menurut Hasbullah (1997), dalam tulisannya tentang dasar-dasar ilmu pendidikan, bahwa keluarga sebagai lembaga pendidikan memiliki beberapa fungsi yaitu fungsi dalam perkembangan kepribadian anak dan mendidik anak di rumah serta fungsi keluarga/ orang tua. Fungsi keluarga dalam pembentukan kepribadian dan mendidik anak di rumah antara lain:

a) Sebagai pengalaman pertama masa kanak-kanak b) Menjamin kehidupan emosional anak

c) Menanamkan dasar pendidikan moral anak d) Memberikan dasar pendidikan sosial

e) Meletakan dasar-dasar pendidikan agama

f) Bertanggung jawab dalam memotivasi dan mendorong keberhasilan anak g) Memberikan kesempatan belajar dengan mengenalkan

berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan yang berguna bagi kehidupannya kelak sehingga ia mampu menjadi manusia dewasa yang mandiri.

h) Menjaga kesehatan anak sehingga ia dapat dengan nyaman menjalankan proses belajar yang utuh.


(31)

i) Memberikan kebahagiaan dunia dan akhirat dengan memberikan pendidikan agama sesuai ketentuan Allah Swt, sebagai tujuan akhir manusia.

e. Tehnik Penanaman Nilai-nilai Budi Pekerti 1). Memberi Curahan Kasih Sayang

Anak membutuhkan curahan perasaan dan perlindungan semenjak hari pertama kelahirannya. Kebutuhan anak terhadap curahan kasih sayang dan rasa tentram. Ini akan bertambah pada kondisi-kondisi tertentu ketika pada saat dia sakit, menangis, dan pada saat mengalami suatu rintangan.

2). Memberi Pengajaran dan Pengarahan

Anak perlu mendapatkan pengarahan dan pengajaran dalam penanaman Etika dan Budi Pekerti. Pada saat anak sudah menampakkan aktifitas baru seperti keinginan untuk makan dan memakai pakaian sendiri, berarti secara fisik dan intelektual menunjukan bahwa sudah saatnya anak tersebut mendapatkan pengajaran dan pengarahan.

3). Bersikap Bijak

Pada anak berusia 18 bulan sampai 3 tahun biasannya menunjukkan sikap yang bertentangan dengan orang tua. Apabila seorang anak dilarang melakukan sesuatu, justru ia seperti disuruh melakukun sesuatu. Hal ini perlu dipahami oleh orang tua agar dapat bersikap bijak terhadap perilaku anak. 4). Bersikap Adil

Perlakuan dan pemberian yang tidak adil akan berdampak buruk bagi perkembangan etika maupun budi pekerti. Bagi anak yang sering mendapat perhatian yang berlebihan dan dimanja, ia akan berkembang menjadi pribadi yang tidak mengenal aturan yang harus diikutinya, tidak peduli dengan orang lain dan akan menjadi orang yang serakah. Maka orang tua harus bersikap seadil-adilnya.


(32)

5). Berusaha Memberikan Rasa Tenang

Perlakuan anak yang kadang cenderung mengarah pada kegiatan merusak, membanting barang , dan membuang barang-barang dijalan, hal ini bisa jadi disebabkan karena tidak adanya kebebasan pada anak, atau adanya pembekuan potensi yang ada pada anak. Karenannya, orang tua harus memberikan rasa tenang kepada anak agar tidak bertindak brutal.

6). Membiasakan Hidup Sederhana

Arahkan anak untuk menghindari kehidupan mewah dan berfoya-foya, karena kebiasaan hidup mewah dan bersenang-senag akan merugikan diri anak tersebut di kemudian hari. 7). Awasi Dengan Cara Yang Baik

Apabila anak merasa malu dan tidak mau melakukun duatu perbuatan, maka hal tersebut tidak dilakukan karna kemulyaan akalnya. Hal demikian merupakan isyarat yang baik mengenai tingkah lakunya. Anak pemalu ticdak bolah diremehkan, akan tetapi ia perlu dididik sesuai dengan keadaannya yang pemalu.

8). Ajari Untuk Taat Kepada orang Yang lebih Tua

Ajari anak untuk taat kepada orang tua, guru atau siapapun orangnya yan lebih tua darinya dari kerabat atau tetangga tanpa memandang harta, pangkat, dan jabatannya serta menghormatinya.

10). Ajari Untuk Beribadah.

Apabila anak sudah cukup umur, anak hendaknya tidak diberi kersempatan untuk meninggalkan icbadah. Agar anak selalu taat beribadah menjalankan segala perintah agama dan menjauhi segala larangannya.

11). Ajari Untuk Mengembangkan Rasa Rendah Hati Dan Menghormati Hendaknya anak dibiasakan untuk berbicara denagan lemah lembut dan tidak bicara kasar didepan orang lain atau temen-temennya, karena hal ini akan mendorongnya untuk menjadi anak yang sombong.


(33)

BAB III

PEmAHAmAN ETIKA mENURUT

ARISToTELES DAN ImmANUEL KANT


(34)

(35)

BAB III

PEmAHAmAN ETIKA mENURUT

ARISToTELES DAN ImmANUEL KANT

Menurut Aristoteles etika adalah ilmu yang membahas perbuatan baik dan perbuatan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia. Ada beberapa istilah yang mirip atau identik dengan etika;

1. Susila (Sanskerta), lebih menunjukkan kepada dasar-dasar, prinsip, aturan hidup (sila) yang lebih baik (su).

2. Akhlak (Arab), berarti moral, dan etika berarti ilmu akhlak. Filsuf Aristoteles, dalam bukunya Etika menjelaskan tentang pembahasan Etika.

Pengertian dan definisi Etika dari para filsuf atau ahli berbeda dalam pokok perhatiannya antara lain;

a. Merupakan prinsip-prinsip moral yang termasuk ilmu tentang kebaikan dan sifat dari hak (principles of morality, including the science of good and the nature of the right)

b. Pedoman perilaku, yang diakui berkaitan dengan memperhatikan bagian utama dari kegiatan manusia (the rules of conduct, recognize in respect to a particular class of human actions) c. Ilmu watak manusia yang ideal, dan prinsip-prinsip moral sebagai

individu (the science of human character in its ideal state, and moral prinscples as of an individual)

d. Merupakan ilmu mengenai suatu kewajiban (the science of duty)

Menurut Aristoteles didalam bukunya yang berjudul Etika Nikomacheia, pengertian etika dibagi menjadi dua yaitu Terminius Technicus yang artinya etika dipelajari untuk ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah perbuatan atau tindakan manusia, dan yang


(36)

berkaitan dengan tata cara dan kebiasaan (adat) yang melekat dalam kodrat manusia yang terikat dengan pengertian “baik dan buruk” suatu tingkah laku atau perbuatan manusia.

Menurut para ahli maka etika tidak lain adalah aturan perilaku, adat kebiasaan manusia dalam pergaulan antara sesamanya dan menegaskan mana yang benar dan mana yang buruk.

A. Merunut Perkembangan Etika dan Budi Pekerti

Sebelumnya kita ketahui bahwa sejarah merupakan suatu kejadian atau peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau. Sedangkan perkembangan etika adalah pertumbuhan secara terus-menerus, bercabang dan hidup sepanjang waktu mengenai perubahan tingkah laku atau segala sesuatu yang mengatur kegiatan manusia. Jadi maksud dari sejarah teori perkembangan etika dan budi pekerti adalah suatu wacana yang membahas tentang kegiatan manusia mulai kapan mengenal etika dan budi pekerti. Sedangkan budi pekerti mengacu pada pengertian bahasa Inggris yang diterjemahkan sebagai moralitas, yang berarti; adat istiadat, sopan santun, dan perilaku.18

Pada sebuah museum di Konstantinopel terdapat koleksi benda kuno berupa lempengan tanah liat berasal dari tahun 3800 SM, yang bertuliskan:

“We haven fallen upon evil times and the world has waxed very old and wicked. Politics are very corrupt. Children are no longer

respectful to their parent.”

Makna yang terkandung dari tulisan tersebut adalah kita mengalami zaman edan dan dunia telah diliputi kemiskinan dan kejahatan. Politik sangat korupsi. Anak-anak sama sekali tidak hormat kepada orang tuanya.19

Kalau kita runut dari sejarahnya, masalah budi pekerti telah lama menjadi masalah hidup manusia seperti tercermin pada lempengan

18 Departemen Pendidikan, 1997, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. 9, Balai Pustaka: Jakarta, hlm. 891

19 Cahyoto, 2002. Budi Pekerti dalam Perspektif Pendidikan. Malang: Depdiknas-Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah-Pusat Penataran Guru IPS dan PMP Malang, hlm. 1


(37)

tanah liat tersebut, yang merunut beberapa pakar sejarah berasal dari zaman Babilonia, namun demikian tidak dijelaskan secara rinci faktor penyebabnya. Dengan memperhatikan aspek politik yang disebut-sebut itu menunjukkan bahwa sistem pemerintahan negara kurang baik sehingga mengakibatkan kesengsaraan bagi rakyatnya.20

Jika kita kaitkan dengan masa sekarang penduduk atau rakyat hidup miskin, sengsara (tidak mengenal kerukunan atau toleransi hidup) karena pejabat pemerintahan yang tidak cerdas memegang amanah sebagai perwakilan rakyat. Sistem pemerintahan yang sentralistik berdampak pada pengelolaan birokrasi yang carut marut dan membingungkan atau menelantarkan rakyat bawah (buruh) baik dalam segala bidang.

Dalam filsafat Yunani hedonisme sudah ditemukan pada awal Aristippos dari Kyrene (sekitar 433-355 S.M.), seorang muridnya bernama Sokrates telah bertanya tentang tujuan terakhir bagi kehidupan manusia atau apa yang sungguh-sungguh baik bagi manusia, tapi ia sendiri tidak memberikan jawaban yang jelas atas pertanyaan itu dan hanya mengeritik jawaban-jawaban yang diberikan oleh orang lain. Aristippos menjawab: yang sungguh baik bagi manusia adalah kesenangan. Hal itu telah terbukti karena sudah sejak masa kecilnya manusia merasa tertarik akan kesenangan dan bila telah tercapai ia tidak mencari sesuatu yang lain lagi. Sebaliknya, ia selalu menjauhkan diri dari ketidaksenangan.21

Pembahasan filosofis tentang budi pekerti khususnya dari segi pendidikan moral sebagaimana dikemukakan oleh Kilpatrick (1948:470-486) terus berkembang dengan berbagai pendapat dan aspek budi pekerti itu sendiri. Ia mengutip beberapa pendapat tentang hal ini, baik yang menyangkut perkembangan maupun latar belakang sulitnya pengembangan budi pekerti. Ajaran budi pekerti di sekolah yang ditempuh melalui proses panjang itu dapat menghasilkan semangat pada diri siswa untuk memberontak atau melawan tatanan budi pekerti. Salah satu penyebab adalah siswa


(38)

mencampakkan norma moral atau budi pekerti yang diajarkan dalam bentuk himpunan perintah dan larangan. Keadaan ini menjadikan siswa melawan norma yang disebabkan oleh hal mendasar, yaitu siswa tidak percaya lagi kepada norma moral, yang ternyata tidak dapat mengatasi masalah kemasyarakatan yang terus berkembang.

Etika pada masa zaman Arab Jahiliyah, manusia tidak ada yang membimbing. Mereka bebas berbuat menurut hawa nafsunya. Mereka hidup tanpa mengenal Allah. Mereka hanya mempercayai dan menyembah berhala, menyembah matahari, menyembah bulan, dan menyembah binatang. Keadaan mereka yang seperti ini sudah sangat jauh dari kebenaran. Selain itu, mereka juga menyembah pecahan-pecahan batu, kayu dan onggokan pasir. Mereka tidak mempercayai adanya Tuhan Yang Maha Esa, kematian manusia dan juga hari kiamat. Dalam setiap kota mempunyai Tuhan-tuhan sendiri seperti Hubal, latta, Manna, dan Uza. Tuhan-tuhan itulah yang sangat mereka hormati.22

Ada beberapa fenomena Arab Jahiliyah yang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam, di antaranya:23

1. Berdo’a meminta kepada orang yang dianggap saleh. Ketika memohon dan beribadah kepada Tuhan mereka, mereka minta pada orang saleh, dan mengharap syafa’at dari mereka. 2. Mengikuti jejak kefasikan orang yang berilmu dan ahli ibadah

yang hanya merunutkan hawa nafsunya.

3. Percaya sepenuh hati terhadap sihir dan kurafat. 4. Menyucikan makhluk seperti layaknya sang Khalik. 5. Munafik dalam akidah.

Masalah etika dan budi pekerti telah lama menjadi masalah hidup manusia. Pembahasan filosofis tentang etika dan budi pekerti khususnya dari pendidikan moral terus berkembang dengan berbagai pendapat dan aspek yang menyangkut perkembangan maupun latar belakang sulitnya perkembangan budi pekerti. Hal ini menjadikan

22 M. Yatimin Abdullah, Ibid, hlm. 493. 23 Ibid, hlm. 496-498


(39)

norma moral atau budi pekerti mengalami krisis kewibawaan. Dan pada kenyataannya juga menyeret kewibawaan seorang pendidik. Sebagai pendidik (guru) yang diistilahkan suatu profesi yang dianggap aman karena orang dulu menyebut guru “digugu lan ditiru” , saat ini sudah mulai hilang. Banyak guru yang tidak mempunyai etos kerja dan modal sebagai seorang guru.24

Namun demikian, etika dan budi pekerti seseorang sebenarnya dapat dikembangkan dengan menggunakan landasan kemampuan dan kebiasaan hidup berdasarkan norma yang ada dalam masyarakat. Penerapan tindakan untuk memperoleh pengalaman tentang dunia nyata atau lingkungan hidup sangat berperan dalam pembelajaran etika dan budi pekerti. Dengan demikian, perkembangan etika dan budi pekerti merupakan aneka ragam pengalaman peran berdasarkan situasi tertentu.

Ada suatu pendapat yang mengatakan bahwa istilah budi pekerti atau moral dalam pengertian yang terluas adalah pendidikan. Dengan kata lain, budi pekerti mempelajari arti diri sendiri (kesadaran diri) dan penerapan arti diri itu dalam bentuk tindakan. Dengan penerapan tersebut orang akan memperoleh pengalaman tentang dunia nyata atau lingkungan hidup yang sangat berperan dalam pembelajaran budi pekerti. Sehingga seyogyanya pendidik bisa membantu siswa untuk mencari dan memperoleh unsur budi pekerti serta memotivasi untuk perkembangan dirinya.

Pendapat ini yang mendasari prinsip bahwa lembaga pendidikan dapat memberikan sumbangan yang matang tentang budi pekerti dan memberi kesempatan kepada anak didiknya untuk melaksanakan peran etika dan budi pekertinya dalam kehidupan sehari harinya baik sebagai individu, masyarakat dan bangsa.

Dari berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan siswa yang berasal dari keluarga yang mendidik kejujuran

dengan keluarga yang mendidik penuh dengan pelanggaran. Keluarga yang penuh pelanggaran menampilkan sosok siswa yang juga senang melakukan pelanggaran karena orang tua yang berpenampilan


(40)

memberi contoh buruk, sering bertengkar, disiplin rendah sekali, sikap yang tidak mematuhi norma masyarakat, karena faktor kemiskinan maupun kemampuan ekonomi yang tidak menentu. Bagi siswa yang berasal dari keluarga dengan kejujuran menampakkan hal yang sebaliknya. Sikap yang senantiasa memegang tanggung jawab pada setiap kegiatan atau perbuatan yang dilakukannya. Senantiasa mementingkan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi. Sikap yang demikian inilah perlu dibiasakan kepada anak sejak usia dini,25

baik melalui pendidikan etika dan budi pekerti dalam keluarga, sekolah, serta di lingkungan masyarakat.

Penyimpangan perilaku dari budi pekerti yang terjadi pada seseorang akan terkena sanksi atau ancaman hukuman oleh lingkungan masyarakatnya, misalnya sekolah, sanksi dijatuhkan secepatnya kepada siswa karena melanggar disiplin sekolah dengan cara ditegur atau diperingatkan. Seyogyanya hukuman yang dijatuhkan kepada seseorang siswa perlu dipertimbangkan lagi keefektifannya dengan mengacu pada tujuan yang sebaik-baiknya.

B. Teori Pengembangan Moral dalam Pendidikan Budi Pekerti

Terhadap hukuman moral atau budi pekerti yang melahirkan pertentangan antara perlu dan tidak perlu akhirnya memunculkan tiga jenis teori hukuman moral budi pekerti yang oleh Brubacher (1978: 210) masing-masing disebut teori balas dendam, teori perlindungan, dan teori pendidikan.

1. Teori balas dendam

Teori balas dendam mengandung prinsip bahwa hukuman merupakan jenis balas dendam. Kerugian yang diterima orang lain dapat dihapus atau diganti dengan kerugian yang sama terhadap orang yang berbuat pelanggaran. Prinsip ini didasarkan atas ketentuan hukum moral zaman kuno yang menyatakan: “utang darah diganti darah”. Teori ini juga didukung oleh bukti bahwa seseorang melakukan pelanggaran atau kejahatan dilandasi oleh penuh kesadaran. Seorang anak tahu bahwa tindakan yang dikehendakinya salah, namun


(41)

tetap dilakukan meskipun ia mengetahuinya. Ia melakukannya karena penuh kedengkian yang direncanakan sebelumnya. Untuk menghadapi masalah tersebut, hukum moral harus menunjukkan fungsinya dengan menjatuhkan hukuman yang memadai sebagai penebus dosa.

2. Teori perlindungan

Teori ini berisi ketentuan bahwa hukuman dapat dijatuhkan kepada seseorang untuk melindungi masyarakat dengan memberi contoh hukuman kepada si pelanggar. Hukuman ini tidak bermaksud menghapus kesalahan si pelanggar, melainkan lebih meyakinkan masyarakat untuk melawan pelanggaran sejenis bagi kepentingan hidup yang aman dan damai. Perilaku si pelanggar yang emosional merupakan ancaman bagi keberadaan kewenangan dan wibawa kelompok atau masyarakat bahkan sekolah. Kelemahan teori ini adalah balas dendam sebagai dorongan untuk menghukum seseorang mungkin terlalu keras sehingga mengakibatkan orang yang dihukum malahan sakit hati dan bukannya memperoleh peringatan.

3. Teori pendidikan

Teori ini umumnya dianut oleh sekolah. Teori pendidikan memandang bahwa kedua teori di atas, mengandung kelemahan, yaitu terlalu buruk atau keras sehingga menyingkirkan aspek rehabilitasi anak yang keras kepala. Prinsip yang dianut oleh teori ini adalah hukuman tidak boleh dijatuhkan kepada seseorang jika tidak mengandung upaya membina atau mendidik kembali sesuai dengan kehendak masyarakat yang berharap moral harus ditegakkan dalam masyarakat. Si pelanggar harus diberi kesempatan untuk melihat diri sendiri mengenai perbuatannya seperti orang lain melihat dirinya. Namun, jika ia gagal untuk memahami diri dan gagal pula menerima aturan moral maka hukuman yang dijalaninya juga berarti mengalami kegagalan.

C. Perkembangan Etika dan Budi Pekerti di Era Kini


(42)

menjadi penyebabnya. Namun, tak dapat pula dikesampingkan bahwa faktor-faktor kemajuan teknologi dan ekonomi juga ikut berperan didalamnya. Di zaman yang semakin canggih teknologinya seperti saat ini justru etika manusia semakin bernilai rendah. Banyak alat-alat canggih untuk berbuat kebaikan, tetapi tidak kalah juga alat-alat-alat-alat canggih itu digunakan untuk berbuat kejahatan. Kenyataannya, etika yang dimiliki orang - orang saat ini banyak yang bertentangan dengan fitrah manusia. Bukan hanya orang-orang non muslim, tapi justru kaum muslimin itu sendiri banyak memiliki etika demikian. Mereka buta dengan agama, dan lebih mementingkan harta kekayaan, sehingga berani melakukan apa saja untuk mendapatkannya walaupun harus dengan cara yang tidak halal. Mereka hanya memikirkan kebahagiaan di dunia semata dan tidak memerhatikan kebahagiaan akhirat.26 Banyak nilai dan norma etis berasal dari agama. Tidak bisa

diragukan, bahwa agama merupakan salah satu sumber nilai dan norma yang paling penting.27 Sedangkan kebudayaan merupakan

suatu sumber yang lain, walaupun perlu dicatat bahwa dalam hal ini kebudayaan sering kali tidak bisa dilepaskan dari agama.

Dalam kajian kebudayaan, nilai merupakan inti dari setiap kebudayaan. Dalam konteks ini, khususnya nilai-nilai moral yang merupakan sarana pengatur dari kehidupan bersama, sangat menentukan di dalam setiap kebudayaan. lebih-lebih lagi di era globalisasi yang berada dalam dunia yang terbuka, ikatan nilai-nilai moral mulai melemah. Masyarakat mengalami multikrisis yang dimensional, dan krisis yang dirasakan sangat parah adalah krisis nilai-nilai moral.28

Jika kita memandang situasi etis dalam dunia modern terutama tiga ciri yang menonjol. Pertama, kita banyak menyaksikan adanya pluralisme moral. Dalam masyarakat-masyarakat yang berbeda sering terlihat nilai dan norma yang berbeda pula. Kedua, sekarang timbul banyak masalah etis baru yang dulu tidak terduga. Ketiga,

26 M. Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, hlm. 523 27 K. Bertens, hlm.30

28 Nurul Zuriah, 2007, Pendidikan Moral dan Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan, Jakarta: Bumi Aksara, hlm. 11


(43)

dalam dunia modern tampak semakin jelas juga suatu kepedulian etis yang universal.29

Di Amerika Serikat, serta di masyarakat Indonesia dewasa ini muncul tuntutan untuk menyelenggarakan pendidikan budi pekerti ataupun pendidikan moral, terutama didasarkan pertimbangan 3 (tiga) hal sebagai berikut:30

Melemahnya ikatan keluarga. Keluarga yang secara tradisional merupakan guru pertama dari setiap anak, mulai kehilangan fungsinya. Hancurnya keluarga menyebabkan hidup anak-anak menjadi telantar. Perceraian menjadi sesuatu yang biasa dan akan sangat memukul kehidupan emosional anak serta menjadi perangsang bagi kelainan kelakuan seperti berbagai jenis kenakalan dan tawuran dikalangan remaja. Dengan demikian, sekolah telah berganti peran menjadi pengganti keluarga didalam memperkenalkan nilai-nilai moral yang tidak lagi diperoleh oleh anak dalam keluarga. Sehingga sekolah mempunyai tugas ganda selain tugas pokoknya mengajar tapi juga mendidik.

Kecenderungan negatif di dalam kehidupan remaja dewasa ini, terutama di kota-kota besar sering terjadi perkelahian, tawuran dll. Hal ini memberikan gambaran bahwa belum tertanamnya pemahaman etika dan budi pekerti secara baik dalam hati nurani mereka. Karena suatu perbuatan jika tidak diiringi dengan etika yang baik maka tidak akan sempurna tindakan yang telah dilakukannya. Dalam norma agama juga telah diatur bahwa sebelum melakukan suatu perbuatan sebaiknya berfikir dan berdoa.31 Pernyataan perintah tersebut sesuai

dengan ajaran-ajaran agama yang lain yang mengajarkan bagaimana proses yang harus dijalani manusia untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhiratnya.

Suatu kebangkitan kembali dari perlunya nilai-nilai etik, moral, dan budi pekerti dewasa ini, telah timbul suatu kecenderungan masyarakat yang mulai menyadari bahwa dalam masyarakat terdapat suatu


(44)

kearifan mengenai adanya suatu moralitas dasar yang sangat esensial dalam hidup bermasyarakat. Misalnya kita harus bisa menghormati kegiatan peribadatan agama lain di Indonesia, menanamkan nilai-nilai kejujuran dan kebaikan kepada anak-anaknya, menghadapi segala permasalahan hidup dengan sabar dan terus berusaha dalam mencari arti hidup untuk lebih bermakna buat dirinya dan lingkungannya.

Menurut Mahmudah, dari pengamatan hasil penelitian32 disebutkan

bahwa keberhasilan seseorang ditentukan dari empat aspek diantaranya;

pertama; personality; bahwa seorang yang bisa membawa nama baik diri maupun lingkungannya dimana dia berada, kedua; profesionality; kemampuan yang harus dimiliki sebagai pegangan hidup untuk lebih maju, Ketiga; leadership; jiwa kepemimpinan yang dimiliki setiap orang yang dibawa sejak dilahirkan ke dunia, dan keempat; spiritual ini lebih penting dari ketiga aspek sebelumnya, karena menurut Ginanjar33; dijelaskan dalam bukunya tentang kecerdasan spiritual itu

sangat berpengaruh dalam gerak langkah setiap kegiatan manusia yang bersumber dari hati nurani seseorang.

32 Mahmudah, 2011, Karakter Pendidik, hasil seminar Rapat Terbuka di Malang 33 Ginanjar, ESQ


(45)

BAB IV


(46)

(47)

BAB IV

HAKIKAT PENDIDIKAN BUDI PEKERTI

A. Pengertian Pendidikan Budi Pekerti

Pengertian pendidikan budi pekerti yang dirumuskan oleh Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional diartikan sebagai sikap dan prilaku sehari-hari baik individu, keluarga, maupun masyarakat, bangsa yang mengandung nilai-nilai yang berlaku dan dianut dalam bentuk jati diri, nilai persatuan dan kesatuan, integritas, dan kesinambungan masa depan dalam suatu system moral, dan yang menjadi pedoman prilaku manusia Indonesia untuk bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan bersumber pada falsafah Pancasila dan diilhami oleh ajaran agama serta budaya Indonesia.

Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) ditegaskan, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Dirumuskan dalam Ensiklopedia Pendidikan: budi pekerti diartikan sebagai kesusilaan yang mencakup segi-segi kejiwaan dan perbuatan manusia; sedangkan manusia susila adalah manusia yang sikap lahiriyah dan batiniyahnya sesuai dengan norma etik dan moral. Pengertian yang telah dikemukakan di atas, mengindikasikan bahwa budi pekerti mengacu pada sikap dan prilaku seseorang maupun masyarakat yang mengedepankan norma dan etika.

Pendidikan budi pekerti adalah usaha sadar penanaman/ internalisasi nilai-nilai akhlak/moral dalam sikap dan prilaku manusia peserta didik agar memiliki sikap dan prilaku yang luhur (akhlakul karimah) dalam keseharian baik dalam berinteraksi dengan Tuhan,


(48)

Secara konsepsional Pendidikan Budi Pekerti merupakan usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik menjadi manusia seutuhnya yang berbudi pekerti luhur dalam segenap peranannya di masa yang akan datang atau pembentukan, pengembangan, peningkatan, pemeliharaan dan perbaikan prilaku peserta didik agar mampu melaksanakan tugas-tugas hidupnya secara selaras, serasi, seimbang lahir batin, jasmani-rohani, material-spiritual, individu-sosial dan dunia-akhirat.

Dalam tataran operasional menurut Pusat Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan (Pusbangkurandik), pendidikan budi pekerti adalah upaya untuk membentuk peserta didik yang tercermin dalam kata, perbuatan, sikap, pikiran, perasaan, dan hasil karya berdasarkan nilai, norma dan moral luhur bangsa Indonesia melalui kegiatan bimbingan, pelatihan dan pengajaran.

Menurut Pusbangkurandik, Balitbang dikbud pendidikan budi pekerti dikategorikan menjadi tiga komponen yaitu:

1. Keberagamaan, terdiri dari nilai-nilai; (a) kekhusukan hubungan dengan Tuhan, (b) kepatuhan kepada Agama, (c) niat baik dan keikhlasan, (d) perbuatan baik, (e) pembalasan atas perbuatan baik dan buruk.

2. Kemandirian, terdiri dari nilai-nilai; (a) harga diri, (b) disiplin, (c) etos kerja (kemauan untuk berubah, hasrat mengejar kemajuan, cinta ilmu, teknologi dan seni), (d) rasa tanggung jawab, (e) keberanian dan semangat, (f) keterbukaan, (g) pengendalian diri.

3. Kesusilaan, terdiri dari nilai-nilai; (a) cinta dan kasih sayang, (b) kebersamaan, (c) kesetiakawanan, (d) tolong-menolong, (e) tenggang rasa, (f) hormat menghormati, (g) kelayakan (kapatuhan), (h) rasa malu, (i) kejujuran dan (j) pernyataan terima kasih, permintaan maaf (rasa tahu diri).

Aspek-aspek yang ingin dicapai dalam pendidikan budi pekerti:

Pertama kognitif, mengisi otak, mengajarinya dari tidak tahu menjadi tahu, dan pada tahap-tahap berikutnya dapat membudayakan akal pikiran, sehingga dia dapat memfungsi akalnya menjadi kecerdasan


(49)

intelegensia. Kedua, afektif, yang berkenaan dengan perasaan, emosional, pembentukan sikap di dalam diri pribadi seseorang dengan terbentuknya sikap, simpati, antipati, mencintai, membenci, dan lain sebagainya. Sikap ini semua dapat digolongkan sebagai kecerdasan emosional. Ketiga, psikomotorik, adalah berkenaan dengan aktion, perbuatan, prilaku, dan seterusnya.

Apabila disinkronkan ketiga ranah tersebut dapat disimpulkan bahwa dari memiliki pengetahuan tentang sesuatu, kemudian memiliki sikap tentang hal tersebut dan selanjutnya berprilaku sesuai dengan apa yang diketahuinya dan apa yang disikapinya.

Pendidikan budi pekerti, adalah meliputi ketiga aspek tersebut. Seseorang mesti mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk. Selanjutnya bagaimana seseorang memiliki sikap terhadap baik dan buruk, dimana seseorang sampai ketingkat mencintai kebaikan dan membenci keburukan. pada tingkat berikutnya bertindak, berprilaku sesuai dengan nilai-nilai kebaikan, sehingga muncullah akhlak dan budi pekerti mulia.

B. Visi dan Misi Pendidikan Budi Pekerti

1. Visi

Visi pendidikan budi pekerti dalam konteks ini adalah kemampuan untuk memandang arah pendidikan budi pekerti ke depan dengan berpijak pada permasalahan saat ini untuk disusun perencanaan secara bijak dan mewujudkan proses pengembangan budi pekerti siswa yang terarah kepada kemampuan berpikir rasional, memiliki kesadaran moral, berani mengambil keputusan dan bertanggung jawab atas perilakunya berdasarkan hak dan kewajiban warga Negara yang pada gilirannya mampu bekerja sama dengan anggota masyarakat lainnya.

Selain itu visi pendidikan budi pekerti adalah mewujudkan budi pekerti sebagai bentuk pendidikan nilai, moral, etika yang berfungsi menumbuhkembangkan individu warga Negara Indonesia yang berakhlak mulia dalam berpikir, sikap dan perbuatannya


(50)

sehari-semua mata pelajaran yang relevan serta system sosial cultural dunia pendidikan sehingga dari dalam diri setiap lulusan setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan terpancar akhlak mulia.

2. Misi

Adapun misi adalah harapan pendidikan budi pekerti untuk mencapai tujuan pembelajaran. lebih lanjut misi pendidikan budi pekerti adalah sebagai berikut;

a) Membantu siswa memahami kecenderungan masyarakat yang terbuka dalam era globalisasi, tuntutan kualitas dalam segala bidang, dan kehidupan yang demokratis dengan tetap berdasarkan norma budi pekerti warga Negara Indonesia.

b) Membantu siswa memahami disiplin ilmu yang berperan mengembangkan budi pekerti diperoleh wawasan keilmuan yang berguna untuk mengembangkan penggunaan hak dan kewajibannya sebagai warga Negara.

c) Membantu siswa memahami arti demokrasi dengan cara belajar dalam suasana demokratis sebagai upaya mewujudkan yang lebih demokratis.

C. Tujuan dan Sasaran Pendidikan Budi Pekerti

Dalam Sistem Pendidikan Nasional, rumusan tujuan pendidikan baik tujuan Kurikuler maupun tujuan Instruksional menggunakan klasifikasi belajar dari Benyamin Bloom yang secara garis besar dibagi tiga ranah, yaitu ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual, ranah afektif berkenaan dengan sikap, dan ranah psikomotorik berkenaan dengan keterampilan dan kemampuan untuk bertindak.

Menurut Haidar Putra Daulay, mengatakan bahwa tujuan pendidikan Budi Pekerti adalah untuk mengembangkan nilai, sikap dan prilaku siswa yang memancarkan akhlak mulia/budi pekerti luhur. Dengan kata lain dalam pendidikan Budi Pekerti, nilai-nilai yang ingin dibentuk adalah nilai-nilai akhlak yang mulia. yaitu tertanamnya nilai-nilai akhlak yang mulia kedalam diri peserta didik yang kemudian terwujud dalam tingkah lakunya. Adapun tujuan


(51)

Pendidikan Budi Pekerti sebagaimana yang diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantoro adalah “ngerti-ngerasa-ngelakoni” (menyadari, menginsyafi dan melakukan). Hal tersebut mengandung pengertian bahwa Pendidikan Budi pekerti adalah bentuk pendidikan dan pengajaran yang menitikberatkan pada prilaku dan tindakan siswa dalam mengapresiasikan dan mengimplementasikan nilai-nilai budi pekerti kedalam tingkah laku sehari-hari.

Implementasi nilai budi pekerti: Basa Jawi mengandung nilai-nilai budaya dan adat istiadat masyarakat Jawa yang sangat menghargai perbedaan dan menghormati tata krama dalam kehidupan bermasyarakat. Seperti, terdapat tatanan Bahasa Jawa Ngoko (kasar/biasa), Krama (halus/sopan) dan Krama Inggil (sangat sopan/sangat halus). Strata dalam berkomunikasi dalam Bahasa Jawa tersebut mengandung unsur pendidikan budi pekerti dengan menghargai perbedaan dan menghormati seseorang misalnya kepada orang tua, guru, atasan, kawan, dan sesuai asas norma kehidupan bermasyarakat Jawa pada umumnya. Misalnya:

 Penggunaan unsur kata “Panjenengan” (Krama Inggil) untuk menghormati orang yang dianggap lebih tua, dan itu harus sering dipakai apabila menyapa seseorang yang lebih senior atau untuk para pejabat (Yang Dipertuan Agung). Namun begitu, unsur kata “Sampeyan” yang artinya sama (Krama), Koen atau Kowe (Ngoko), model Bahasa Jawa Timuran, tetap menjadi unsur komunikasi sehari-hari di masyarakat. Bedanya, “Panjenengan” itu lazim digunakan menghormati orang dengan sangat halus (Jawa Mataraman) dan “Koen” sifatnya datar seperti dalam komunikasi kehidupan di masyarakat Jawa Timuran (Dialek Jawa Timur).

 Implementasi pendidikan budi pekerti ini juga diterapkan kepada siswa TK dan SD, disaat siswa memberikan penghormatan kepada guru ketika bertemu di sekolah yaitu dengan mencium tangan guru sebagai rasa hormat. Dan rasa patuh kepada orang yang lebih senior juga diterapkan di sekolah agar siswa tersebut terbiasa menghargai budaya unggah-ungguh dalam


(52)

 Kemudian dalam pengembangannya, mapel Bahasa Jawa ini telah masuk dalam kategori KTSP yang mesti dikembangkan oleh masing-masing sekolah.

 Proses pembelajaran budi pekerti harus diupayakan agar menarik, menantang, dan menyenangkan siswa dan guru. Untuk itu, berbagai metode belajar yang mengaktifkan siswa secara mental dan sosial seperti simulasi, analisis, media massa, proyek, aksi sosial, pemecahan masalah secara kelompok, pertunjukan, dll, perlu diterapkan dan dikelola secara efektif. Dari sudut guru dan pengelola pendidikan perlu diupayakan untuk menjadikan guru dan unsur pengelola pendidikan sebagai teladan insan yang berbudi pekerti. Dengan demikian para siswa akan dapat melakukan proses identifikasi dan pembiasaan berperilaku yang baik. (Artikel ini disarikan dari makalah seminar pendidikan budi pekerti di Denpasar, 27 Maret 2004)

Untuk mengimplementasikan pendidikan budi pekerti diperlukan optimalisasi peran dan tanggungjawab berbagai pihak: Pertama, peran sekolah. Hal ini bisa diwujudkan melalui (1) keteladanan guru. Guru merupakan panutan dalam segala hal, termasuk pembinaan akhlak. Keteladanan merupakan strategi dan metode efektif untuk pembelajaran dan pendidikan. Guru yang menjadi pendidik harus memenuhi kriteria, (a) bertakwa kepada Allah SWT; (b) ikhlas berkorban karena merindukan rida-Nya; (c) berilmu pengetahuan luas mengenai kekuasaan Allah; (d) santun, lemah lembut sabar, dan pemaaf, serta (e) memiliki rasa tanggung jawab tinggi dan berlaku adil.

Adapun tujuan Pendidikan Budi Pekerti sebagaimana yang diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantoro adalah “ngerti-ngerasa-ngelakoni” (menyadari, menginsyafi dan melakukan). Hal tersebut mengandung pengertian bahwa Pendidikan Budi pekerti adalah bentuk pendidikan dan pengajaran yang menitikberatkan pada prilaku dan tindakan siswa dalam mengapresiasikan dan mengimplementasikan nilai-nilai budi pekerti ke dalam tingkah laku sehari-hari.

Pertama: Pengintegrasian pendidikan budi pekerti dengan mata pelajaran lainnya. Sebab, pendidikan budi pekerti tidak hanya


(53)

tugas bagi guru pendidikan agama Islam (PAT), tetapi tugas semua guru. Guru harus mampu mengaitkan pendidikan budi pekerti dengan mata pelajarannya. Guru geografi, geologi, dan astronomi, misalnya, menjelaskan kepada peserta didik bahwa alam yang kita tempati ini, dengan langit dan buminya, teratur dengan sangat rapi. Ini menunjukkan alam ini diciptakan Pencipta Yang Mahabijaksana dan Mahatahu. Guru matematika menjelaskan perhitungan dengan contoh-contoh perhitungan zakat harta atau perhitungan warisan. Guru bahasa dan sastra berusaha agar tema-tema yang diajarkan, baik pada bagian mengarang, cerita, maupun puisi, mengandung ide-ide Islami.

Kedua; Membentuk lingkungan sekolah sebagai laboratorium pengamalan nilai-nilai agama. Misalnya, salat fardu berjamaah, salat Dhuha saat istirahat tada-rus Al-quran di awal kegiatan be-lajar-mengajar, membiasakan puasa sunah senin dan kamis, mengucapkan salam, serta menggelar kantin kejujuran.Kedua, peran keluarga. Melalui keluarga, pendidikan prasekolah bisa didapatkan. Selain itu, pengembangan kecerdasan afektif dan psikomotorik pun membutuhkan peran keluarga dalam pengembangannya. Keluarga juga berperan dalam pemberian gizi yang cukup dalam menjamin tumbuh kembang anak. Dan yang paling utama adalah pembentukan sikap dan mental anak.

Ketiga, peran masyarakat; hal ini bisa diwujudkan melalui kontrol sosial masyarakat. Kontrol sosial ini haruslah membangun nilai-nilai religius, serta menciptakan mental yang sehat diharapkan masyarakat turut memberikan teguran pada pelajar saat menjumpai mereka berkeliaran setelah pulang sekolah atau pada saat jam-jam sekolah.

Keempat, peran pemerintah. Bisa dibilang pemerintah kurang serius dalam pembangunan pendidikan. Mulai dari kebijakannya sampai pengawasannya. Sebagai contoh, masih ada sekolah kekurangan guru, belum lagi tidak meratanya penyebaran guru. Pemerintah juga masih sangat minim perhatiannya dalam pemenuhan sarana dan


(54)

negara bagi pemerintah. Hal ini tertuang dalam pembukaan UUD 1945 dan juga termaktub dalam UUD itu sendiri. Demikian pula UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 49 ayat (1) yang menegaskan, dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari APBN dan minimal 20 persen dari APBD.

Dengan kata lain dalam pendidikan Budi Pekerti, nilai-nilai yang ingin dibentuk adalah nilai-nilai akhlak yang mulia. yaitu ertanamnya nilai-nilai akhlak yang mulia kedalam diri peserta didik yang kemudian terwujud dalam tingkah lakunya.

D. Kegunaan dan Fungsi Pendidikan Budi Pekerti

Menurut Draf Kurikulum Berbasis Kompetensi (2001) fungsi pendidikan budi pekerti bagi peserta didik ialah sebagai berikut: 1. Pengembangan, yaitu untuk meningkatkan perilaku yang baik

peserta didik yang telah tertanam dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.

2. Penyaluran, yaitu untuk membantu peserta didik yang memiliki bakat tertentu agar dapat berkembang dan bermanfaat secara optimal sesuai dengan budaya bangsa.

3. Perbaikan, untuk memperbaiki kesalahan, kekurangan dan kelemahan peserta didik

4. Pencegahan, yaitu mencegah perilaku negative yang tidak sesuai dengan ajaran agama dan budaya bangsa.

5. Pembersih, yaitu untuk membersihkan diri dari penyakit hati seperti sombong, iri, dengki, egois, dan ria.

E. Sifat-sifat Pendidikan Budi Pekerti

lingkungan sosial-budaya sekolah yang sengaja ditata dengan wawasan budi pekerti akan memungkinkan siswa belajar sambil berbuat melalui pembiasaan dan pembudayaan perilaku yang mencerminkan nilai budi pekerti yang luhur. Karena pendidikan budi pekerti lebih mengutamakan pengembangan afeksi dan perilaku, maka sistem


(55)

penilaiannya lebih mengutamakan penggunaan alat penilaian non-tes seperti laporan pribadi, laporan teman, evaluasi diri, dan portofolio (kumpulan pengalaman yang dilakukan). Alat penilaian yang berupa tes yang cocok untuk digunakan adalah skala sikap. Dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya. Maksudnya, guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Sesuatu yang baru (baca: pengetahuan dan ketrampilan) dalam dari “menemukan sendiri”, bukan dari “apa kata guru”. Begitulah peran guru di kelas yang dikelola dengan pendekatan kontekstual. Sifat-sifat budi pekerti:

 Mengutamakan kebajikan sesuai dengan hati nuraninya.

 Mengalami perkembangan seiring dengan bertambahnya usia.

 Cenderung mewujudkan bersatunya pikiran dan ucapan dalam kehidupan sehari-hari.

 Budi pekerti akan menampilkan diri berdasarkan dorongan dan kehendak untuk melakukan sesuatu yang berguna dengan tujuan yang memenuhi kepentingan diri sendiri dan orang lain berdasarkan pertimbangan moral.

F. Ruang Lingkup Pendidikan Budi Pekerti

Atas dasar batasan konsepsional dan operasional tersebut, maka ruang lingkup Pendidikan Budi Pekerti mencakup :

1. Dimensi Nilai - Nilai Keagamaan (Spiritual Values), yang Meliputi:

 Ketaqwaan

 Keikhlasan

 Rasa Syukur

 Perbuatan Baik (Amalan Shalihah)


(56)

2. Dimensi Nilai - Nilai Kemandirian, yang Meliputi :

 Harga Diri

 Disiplin

 Etos Kerja

 Bertanggung Jawab

 Keberanian dan SemangatKeterbukaan

 Pengendalian Diri

 Kepribadian Mantap

 Berpikir Positip

3. Dimensi Nilai - Nilai Kemanusiaan (Human Values), yang Meliputi:

 Kejujuran

 Teguh Memegang Janji

 Cinta dan Kasih Sayang

 Kebersamaan dan Gotong Royong

 Kesetiakawanan

 Tolong Menolong

 Tenggang Rasa

 Saling Menghormati

 Tata Krama dan Sopan Santun

 Rasa Malu

Dimensi - dimensi tersebut secara akumulatif tercermin dalam perilaku sehari - hari, dan secara umum orang akan menetapkan kriteria perilaku yang berbudi pekerti yaitu :

a. Teguh memegang dan melaksanakan ajaran agama b. Melaksanakan nilai - nilai luhur dalam Pancasila c. Mendatangkan kebahagiaan


(57)

e. Patuh terhadap hukum dan perundang - undangan yang berlaku

f. Saling menghormati dan penuh tepo sliro g. Mengikuti hati nurani

h. Melandasi semua perilakunya dengan niat baik

i. Mendapat pengakuan umum

G. Sifat- sifat budi pekerti

Pada implementasi pendidikan budi pekerti memiliki ciri-ciri yang diutamakan dalam kehidupan sehari-hari, diantaranya; a. Nilai kebajikan yang di utamakan sesuai hati nurani

b. Mengalami perkembangan seiring dengan bertambahnya usia c. Cenderung mewujudkan bersatunya pikiran dan ucapan dalam

kehidupan sehari-hari

d. Budi pekerti akan menampilkan diri berdasarkan dorongan dan kehendak untuk melakukan sesuatu yang berguna , baik untuk diri sendiri maupun orang lain.


(58)

(59)

BAB V

URGENSI PENDIDIKAN ETIKA

DAN BUDI PEKERTI


(60)

(61)

BAB V

URGENSI PENDIDIKAN ETIKA

DAN BUDI PEKERTI

A. Peranan Keluarga Dalam Pendidikan Budi Pekerti

1. Peran orang Tua

orang tua berperan membentuk pribadi anggota keluarga terutama anak. Usaha membimbing, mengarahkan, dan memperbaiki perilaku anak merupakan perilaku orang tua yang disengaja. Peran ini berlangsung melalui interaksi didalam keluarga. Penanaman nilai dalam keluarga pada umumnya menjadi komitmen bagi orang tua. Hal ini akan dilakukan dengan cara pemberian pendidikan atau bimbingan yang berkenaan dengan penanaman nilai bagi anak. Permasalahannya yaitu, (1) Peran apa saja yang dilakukan oleh orang tua dalam penanaman nilai agama, nilai budi pekerti dan nilai sosial dan (2) Faktor apa yang menghambat dan mendukung dalam pelaksanaan penanaman nilai agama, nilai budi pekerti dan nilai sosial bagi anak. Tujuan dari pembahasan ini adalah untuk mengetahui peran apa saja yang dilakukan oleh orang tua dalam penanaman nilai agama, nilai budi pekerti, dan nilai sosial.

2. Peran saudara atau anggota keluarga

Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Menurut Salvicion dan Celis (1998) di dalam keluarga terdapat dua atau lebih dari dua pribadi yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan, di hidupnya dalam satu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan di dalam perannya masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu kebudayaan. Pada dasarnya tugas keluarga ada delapan tugas pokok sebagai berikut :


(1)

PENDIDIKAN

ETIKA DAN BUDI PEKERTI BERBASIS KARAKTER 93

menulis, menjahit, memasak dan sebagainya. Dalam mengajar Kartini tidak menggunakan cara-cara yang dipakai di Sekolah melainkan dengan memberikan kebebasan dan mendasarkan pada kesenangan anak-anak. Dengan demikian murid-muridnya akan merasa terikat oleh pelajaran-pelajaran yang diberikan.

Jadi, upaya R.A Kartini dalam memajukan pendidikan dengan cara mendirikan sekolah yang bernama “Sekolah Gadis” dalam pembelajarannya kartini tidak memberikan pengajaran seperti disekolah-sekolah, Kartini memberikan pengajaran berdasarkan pada kesenangan anak, Kartini memberikan pengajaran seperti ini bertujuan agar anak didiknya merasa terikan dengan pengajaran yang Kartini berikan. Dalam pendidikan Kartini memperjuangkan agar wanita bisa mendapat hak yang sama dengan laki-laki, bisa memperoleh pendidikan yang sama dengan laki-laki.

B. Manajemen Pendidikan

Sejak tahun 1899 R.A Kartini menulis surat kepada teman-temannya bangsa Belanda. Melalui surat-suat itu kartini membentangkan cita-citanya. Surat-surat kartini yang banyak itu, dari tahun 1899 sampai wafatnya pada tahun 1904, kemudian diterbitkan dalam bentuk buku, buku itu berjudul Door Duisternis tot lich, artinya “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Semua surat berisi jiwa perjuangan untuk kebebasan kaum wanita dan kemajuan pendidikannya. Drs. Mardanas Safwana, Sutrisno Kutojo, 2001, 21.

Kartini juga mendidik diri sendiri agar gemar membaca dan menulis. Buku yang digemarinya antara lain ialah kisah perjalanan ke Aljazair yang ditulis oleh Anna Ekker. Buku ini berisi sastra kuno Junani beserta sejumlah sajak dan ulasan tentang music dan tinjauan luar negeri. Kartini juga menulis karangan tentang perkawinan suku Koja di Jepara. Karangan tersebut di muat dalam majalah Bijdrage tot de Taal, land an Volkenkunde Van Nederlandsch Indie, yaitu sebuah majalah tentang kebudayaan yang terkenal. R.A Kartini pernah mengatakan bahwa “dengan sekolah saja tidak dapat memajukan masyarakat. “lingkungan keluarga atau orang tua harus membantu juga”


(2)

Jadi, melalui berkirim surat dengan sahabat-sahabatnya yang berada di negeri Belanda Kartini dapat menambah pengalaman baru, surat-surat kartini yang dikirim diterbitkan menjadi buku yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang” semua isi surat yang dibukukan tersebut berisi tentang perjuangan untuk kebebasan wanita. Sebelum Kartini mendidik orang lain Kartini terlebih dahulu mendidik diri sendiri dengan gemar membaca dan dan menulis, Kartini juga mengatakan bahwa lingkungan keluarga sangat berpengaruh terhadap pendidikan anak. Karna pendidikan pertama yang diperoleh anak melalui keluarga.

Kontribusi Ki Hajar Dewantara dan R.A Kartini Dalam Dunia Pendidikan. Pada tanggal 3 Juli 1992 Taman Siswa didirikan oleh K.H.D dan mula-mula bernama “Mational onderwijs Instituut Taman Siswa” yang mula-mula dibuka hanya bagian Taman Anak dan Kursus Guru saja. Kartini juga berusaha mendirikan sekolah sendiri, usaha kartini ini pada hakekatnya bertujuan untuk memperbaiki keadaan pendidikan. Sekolah yang didirikan kartini bernama “Sekolah Gadis” materi yang diajarkan adalah membaca, menulis, menjahit, memasak dan sebagainya.


(3)

PENDIDIKAN

ETIKA DAN BUDI PEKERTI BERBASIS KARAKTER 95

DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, Masykuri. 2000. Peran “Civil Society” Pascaorba. Jakarta

Ahmad Santhut, Khatib. 1998. Menumbuhkan sikap sosial, Moral dan Spiritual Anak dalam Keluarga Muslim. Yogyakarta : Mitra Pustaka

Cahyoto, 2002. Budi Pekerti Dalam Perspektif Pendidikan, Malang: Depdiknas-Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah-Pusat Penataran Guru IPS dan PMP Malang.

Depdikbud. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Dirjen Dikti, Depdikbud. (2003). Undang-undang Republik Indonesia N0. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Bandung: Citra Umbara.

Fais Ali. 2007. Pendidikan Budi Pekerti Kelas IV SD/MI. Klaten: Cempaka Putih

Indawati, Ninik. 2009. Buku Ajar Etika dan Budi Pekerti, Diterbitkan di Universitas Kanjuruhan Malang

K. Bertens. 2004. ETIKA. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum loso. 2008. Akhlak Siswa Terhadap Teman. Semarang: CV. Ghyyas

Putra Semarang

Muhtadi, Ali. 2010. Strategi Untuk Mengimplementasikan Pendidikan Budi Pekerti Secara Efektif Disekolah.(online),(http://staff.uny. ac.id), diakses 11 November 2012

Martini. 2008. Akhlak Siswa Terhadap Guru. Semarang: PT. Sindur Press

Maimunah, Hasan. 2013. Panduan Pendidikan Anak Usia Dini, DIVA PRESS

Pusat Pengembangan Kurikulum.(2011). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta:Depdiknas


(4)

Rahardjo, Suparto.2015. Ki Hajar Dewantara Biografi Singkat 1889-1959.Jogjakarta: Garasi

Safwan. Mardanas. 2004. Raden Ajeng Kartini.Jakarta: Mutiara Sumber Widya

Sumirin. 2007. Budi Pekerti 3. Semarang: CV. Sinar Cemerlang Abadi

Suherman, Dedi. 2011. Pendidikan Berwawasan Budi Pekerti. (online), (http://enewsletterdisdik.wordpress.com) diakses 11 November 2012

Universitas Negeri Malang. 2010. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, Tensis, Disertasi, Artikel, Makalah, Laporan Penelitian. Malang: Universitas Negeri Malang.

Zuriah, Nurul. Buku Pendidikan Moral & Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan. Bumi Aksara


(5)

PENDIDIKAN

ETIKA DAN BUDI PEKERTI BERBASIS KARAKTER 97

BIoDATA PENULIS

Yulianti panggilan bu Ani dilahirkan 15 Februari 1982 di Desa Ngrupit Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo-Jawa Timur. Ia adalah anak ke dua (kembar) dari tiga bersaudara yang dilahirkan dari pasangan Bapak H.Ich.Sandi dan Ibu Sumar’ah. Ia menikah dengan Muhammad Madih Setiawan, S.Pd pada tahun 2010 dan dikaruniai dua orang anak, yaitu Auliya Putri Madani dan Muhammad Irsyam Al-Madani.

Pendidikan formal yang ditempuh SD Negeri Ngrupit Ponorogo, MTsN Setono Ponorogo, MA.PP. Al-Mawaddah ditempuh Ponorogo. Ia melanjutkan pendidikannya ke S-1 Program Studi Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Malang dan lulus pada tahun 2007, kemudian, pendidikan S-2 ditempuhnya di program studi Pendidikan Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) Universitas Islam Negeri (UIN) Malang dan lulus pada tahun 2010.

Ia adalah Seorang Dosen Tetap Universitas Kanjuruhan Malang di Prodi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD). Ia juga sebagai pemberi materi atau narasumber di berbagai pelatihan, diantaranya: (1). Pemateri Seminar Kurikulum Pembelajaran Pos PAUD, (2) Pelatihan penulisan usulan PKM bagi mahasiswa PGSD, (3) Pelatihan penyusunan RKH, RKM perangkat pembelajaran Pos PAUD, (4). Pelatihan Pemberdayaan Kantin Sekolah Sebagai Wadah Pendidikan Karakter Di tingkat SD/MI. Ia juga pemakah pada Seminar Nasional dalam bidang Pendidikan. Selain itu, ia juga punya pengalaman menjadi guru sekolah dasar (SD) Negeri Ketawanggede 1 Kota Malang mulai tahun 2005 sampai 2010 dan sebagai ketua paguyuban Pos PAUD Kelurahan Tlogomas mulai tahun 2015 sampai sekarang 2016.


(6)

Beberapa karya hasil penelitian dan pengabdian yang telah dihasilkan, antara lain sebagai berikut.

1. Pengembangan Kurikulum PAUD (2012).

2. Pelatihan Penerapan Metode Pembelajaran Inovatif outbond Sains Untuk Guru-guru Paud Se-Kecamatan Sumberpucung. (2012)

3. Pelaksanaan Program Pendidikan Karakter di SDN Pandanwangi I Malang (2013)

4. Kajian Kantin Jujur dalam Rangka Mewujudkan Pendidikan Karakter di Tingkat SD (2013)

5. Diklat Penyusunan RKH bagi Guru Paud se-Kecamatan Sumber Pucung (2013)

6. Seminar Implementasi Pendidikan Karakter bagi Guru-guru dan walimurid Pos Paud Tlogomas (2014)

7. Perintisan dan Penguatan Kader Posdaya Kelurahan Tlogomas Malang (2014)

8. Model dan perancangan kantin jujur berbasis entrepreneurship (studi kasus di SDN Panggungrejo 04 Kepanjen Malang) (2014)

9. Bahan Ajar matakuliah Etika dan Budi Pekerti Berbasis KKNI 2015.

10. Pengembangan Bahan Ajar Mata Kuliah Telaah Kurikulum pada tahun 2016

Disamping itu, beberapa karya ilmiah yang telah dilakukannya dan ada beberapa yang telah dijurnalkan.