PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN NILAI-NILAI SOSIAL PADA KEGIATAN EKSTRAKURIKULER TARI UNTUK MEMBANGUN KESANTUNAN SOSIAL : Studi Pada Kegiatan Ekstrakurikuler Tari di SMP Kota Bandung.

(1)

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN NILAI-NILAI SOSIAL PADA KEGIATAN EKSTRAKURIKULER TARI

UNTUK MEMBANGUN KESANTUNAN SOSIAL

(Studi pada Kegiatan Ekstrakurikuler Tari di SMP Kota Bandung)

DISERTASI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat untuk Memperoleh Gelar

Doktor Ilmu Pendidikan

Program Studi Pendidikan Luar Sekolah

Oleh:

Frahma Sekarningsih 0707293

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG


(2)

(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul “Pengembangan Model Pembelajaran Nilai-nilai Sosial pada Kegiatan Ekstrakurikuler Tari untuk Membangun Kesantunan Sosial (Studi Pada Kegiatan Ekstrakurikuler Tari di SMP Kota Bandung)” ini beserta seluruh isinya adalah benar-benar karya saya sendiri, dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan.

Atas pernyataan ini, saya siap menanggung risiko/sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini, atau ada klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini.

Bandung, 17 Januari 2013 Yang Membuat Pernyataan,


(4)

Ekstrakurikuler Tari di SMP Kota Bandung) berangkat dari permasalahan melemahnya rasa kesantunan pada sebagian remaja yang mempengaruhi kualitas penghargaan terhadap sesama, bahkan dapat memicu berbagai konflik yang perlu segera diantisipasi.

Remaja usia 13-15 tahun mempunyai psikologis yang labil dan lebih bersifat kolektif, dengan demikian mereka memerlukan “bekal” kesantunan saat berinteraksi dengan kelompoknya agar tidak terjadi konflik, dan pembelajaran nilai-nilai sosial pada ekstrakurikuler tari (latihan seni tari) sebagai salah satu solusi. Didasarkan pada permasalahan ini, maka pertanyaan penelitian yang perlu dibahas: Bagaimana model pembelajaran nilai-nilai sosial untuk menumbuhkan kesantunan sosial melalui kegiatan ekstrakurikuler (latihan seni tari)?.

Penelitian ini bertujuan untuk: mengamati proses pembelajaran, hasil pembelajaran, dan akhirnya menemukan model pembelajaran nilai-nilai sosial yang dapat menumbuhkan kesantunan sosial yang merenah melalui kegiatan ekstrakurikuler (latihan seni tari).

Teori dan konsep yang melandasi penelitian ini dicoba diramu berdasarkan (1) konsep PLS; (2) konsep ekstrakurikuler tari; dan (3) konsep kesantunan sosial

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian dan pengembangan (research and development). Populasi penelitian: seluruh siswa SMPN14, SMPN 15 dan SMP YAS yang memilih kegiatan ekstrakurikuler tari, sedangkan pemilihan sampel dilakukan secara purposive sesuai kebutuhan peneliti. Analisis data menggunakan analisis kualitatif dan kuantitatif. Untuk mengetahui peningkatan nilai-nilai kesantunan ditinjau dari aspek kejujuran, disiplin, keberanian, toleransi, tanggung jawab dan sikap hormat, sehingga dapat menuju pada kesantunan yang “merenah” digunakan alat statistik non parametrik Wilcoxon. Temuan penelitian: (1) melalui apresiasi dan pembelajaran yang diterapkan telah menuntun peserta didik menjadi manusia yang bisa menempatkan diri dalam berkomunikasi, berinteraksi, dan berperilaku; (2) model konseptual dalam pembelajaran nilai-nilai sosial meliputi perencanaan, pelaksanaan pembelajaran, penentuan materi sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan evaluasi; (3) implementasi model pada ekstrakurikuler tari mampu membina karakter manusia yang merenah dan wani masamoan. Oleh karena itu model pembelajaran nilai-nilai sosial melalui pemaknaan simbol-simbol gerak tari direkomendasikan menjadi alternatif pembelajaran untuk membangun kesantunan sosial bagi sanggar-sanggar tari, instruktur/tutor, lembaga penyelenggara kegiatan ekstrakurikuler, dan Departemen Sosial. Adapun rekomendasi untuk tindak lanjut yakni perlu penyempurnaan model ini agar mengakomodasi kompetensi kreasi, sehingga mampu membina karakter manusia yang merenah dan wani makalangan.

Kata kunci: Ekstrakurikuler tari, kesantunan sosial


(5)

in junior high schools in Bandung). The study was driven by the low social politeness of some teenagers that influenced the quality of respect to others, which furthermore could create conflicts to be anticipated. The teenagers within 13 to 15 years old psychologically unstable and living collectively, so they should have sense of politeness during interaction with their peers to avoid conflicts. Social values learned in dance extracurricular activity can be one of the solutions. According to the problem stated, this study investigates what the learning model to develop social politeness through the dance extracurricular activity is.

The study focuses on observing the learning process and the learning results, and finally, it seeks a model of social politeness teaching that can develop proper students social politeness through dance extracurricular activity.

This study is supported by some theories. The theories proposed are based on (1) informal education outlooks, (2) concepts on dance extracurricular activity, and (3) concepts on social politeness.

This study employs research and development method involving all students taking dance extracurricular activity in three junior high schools in Bandung - two state-runs and one private - and the sample used was chosen purposively. The collected data were then analyzed qualitatively on honesty, discipline, encouragement, tolerance, responsibility, and respects, and quantitatively by Wilcoxon non-parametric statistics computation.

It was found that (1) dance learning process and dance appreciation have led students appropriately in communicating, interacting, behaving properly with their peers, (2) there is such a conceptual model for social politeness lesson on planning, learning process, and assessment, (3) the implementation of the model on dance learning process has led to developing student’s characters; merenah (proper) and wani masamoan (motivated and

skillful). Therefore, it is recommended to teach social politeness through comprehending dance symbolic movements in private dance courses, instructors/mentors, extracurricular activity institutions, and social departments. For further improvement, it is recommended to refine the model especially to accommodate competence of creation in order to promote student’s character; merenah (proper) and wani makalangan (courageous).


(6)

Frahma Sekarningsih, 2013

hHalaman

LEMBAR PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN ... i

PERNYATAAN ... ii

ABSTRAK ... iii

ABSTRACK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR BAGAN ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN 1 A Latar Belakang Masalah ... 1

B Identifikasi dan Rumusan Masalah... 15

C Tujuan Penelitian ... 16

D Manfaat Penelitian ... 16

E Kerangka Berpikir ... 18

F Struktur Organisasi Disertasi... 21

BAB II LANDASAN TEORETIS 23 A Hakikat Ekstrakurikuler ... 23

B Pembelajaran Nilai Sosial ... 41

C Kesantunan Sosial ... 61

BAB III METODE PENELITIAN 80 A Lokasi dan Subjek/Populasi/Sampel Penelitian ... 80

B Desain Penelitian ... 82

C Metode Penelitian 88

D Definisi Operasional ... 90

E Instrumen Penelitian 91 F Pengembangan Instrumen Penelitian ... 92

G Teknik Pengumpulan Data ... 93

H Analisis Data ... 98

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN 98 A Deskripsi Hasil Studi Awal ... 98

1. Hasil Pembelajaran Nilai-nilai Sosial Pada Kegiatan Ekstrakurikuler Tari di SMP Kota Bandung ... 98

2. Analisis Kebutuhan Pembelajaran Nilai-Nilai Kesantunan…………. B Model Konseptual Pembelajaran Nilai-nilai Sosial………. 118

C Validasi dan Revisi Model Konseptual………... 135


(7)

Frahma Sekarningsih, 2013

Pengembangan Model Pembelajaran Nilai-nilai Sosial Pada Kegiatan Ekstrakurikuler Tari Untuk Membangun

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 205

A Kesimpulan ... 205

B Rekomendasi ... 207

DAFTAR PUSTAKA ... 209

RIWAYAT HIDUP ... 214


(8)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Merebaknya arus informasi, modernisasi, dan globalisasi yang tanpa batas dewasa ini sedikitnya telah melunturkan nilai-nilai budaya di masyarakat, terutama pada sebagian generasi muda (kalangan pelajar) baik dari tutur bahasanya maupun perilakunya (Elliott, 2004, p. 274). Akhir-akhir ini sering kita jumpai sebagian remaja menunjukkan kecenderungan semakin jauhnya dari norma dan adat yang berlaku di masyarakat. Hal ini dapat diamati dari perilaku keseharian mereka dalam pergaulannya.

Remaja (pelajar) sebagian besar terutama di perkotaan sudah kehilangan rasa santunnya terhadap sesama anggota masyarakat, utamanya terhadap orang tua, guru, orang yang lebih tinggi status sosialnya, dan sesama (Meyer, 2003). Mereka kehilangan rasa kasih sayang terhadap teman sebayanya, kehilangan sikap untuk saling menasehati, saling mengingatkan, dan sikap saling menghargai serta saling melindungi agar masing-masing menemukan jalan yang terbaik untuk membentuk sistem pergaulan yang penuh kedamaian, keakraban, persaudaraan, penuh nuansa untuk maju, mencapai bentuk masyarakat yang ideal (Bolder, 2004).

Sudah kurang pedulinya sebagian remaja, baik laki-laki maupun perempuan terhadap lingkungan dapat dilihat dari perilakunya misalnya di kendaraan umum mereka berbicara keras sambil tertawa cekikikan. Mereka lupa kalau di sekitarnya ada orang lain, cara bertutur sapa kurang merenah (tidak pada tempatnya) bahkan tidak jarang penghuni kebun binatang berhamburan keluar dari mulut mereka. Kata-kata kotor sering terlontar dari mulut mereka, adu kekuatan atau kekuasaan antar geng remaja, kebut-kebutan di jalanan. Hal kecil menjadi besar, tindak kekerasan terjadi di mana-mana yang berujung pada perkelahian, yang bukan saja antar individu melainkan melibatkan orang banyak bahkan lebih tak terkendali lagi sampai terjadi pembunuhan. Tingkat kekerasan yang tinggi membuat kita hidup dalam ketidakdamaian (Tempo, 2011).


(9)

Kondisi ini cukup memprihatinkan dan perlu menjadi bahan perenungan semua pihak, karena fenomena perilaku di atas seakan-akan menyiratkan bahwa nilai-nilai etika di kalangan pelajar sebagai generasi muda yang diperolehnya di dalam keluarga dan sekolah belum diaplikasikan dalam kehidupannya. Hal tersebut seharusnya tidak terjadi, bila pembelajaran nilai-nilai sosial diberikan secara terpadu di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat, sehingga pembentukan watak kepribadian peserta didik bisa tercermin pada perilaku berupa ucapan, perbuatan, sikap, pikiran, perasaan dan hasil karya yang baik.

Winters (2010) dalam tesisnya mengutip pendapat Mathews (2002) menyatakan,

contended that in practice children remain outside participatory processes and form a section of society with little or no influence over decision making. Indeed, it may be argued that society may make begin decisions based on

ignorance of children’s wishes or needs, and at worst they may be simply

ignored

Sebagian besar masyarakat di perkotaan berpandangan negatif terhadap sebagian remaja dengan memojokkan posisinya. Hal ini dimungkinkan, karena terjadi kesenjangan antara harapan remaja dengan para orang tua, atau dengan kata lain sebagian orang tua cenderung tidak memahami persoalan dan kebutuhan psikologisnya. Solusi yang biasanya ditempuh oleh sebagian orang tua yakni pemenuhan kebutuhan materi semata, dan mengabaikan kebutuhan psikologisnya. Ini menyebabkan melemahnya kesantunan sosial di kalangan sebagian remaja di perkotaan.

Dalam situasi dan kondisi seperti tersebut manusia memerlukan kecerdasan intelektual, kecerdasan moralitas dan komitmen berpegang teguh pada ajaran agama atau disebut dengan kecerdasan spiritual (Panani, 2009). Untuk itu konsep dan praktik pendidikan seni harus mampu merangkul semua aspek, dalam hal ini bukan hanya menonjolkan aspek kognitif dan psikomotor saja melainkan aspek afektif pun harus menjadi perhatian utama.

Melihat fakta demikian kiranya perlu dilakukan pengamatan lebih mendalam mengenai terjadinya krisis kesantunan sosial di kalangan sebagian pelajar Sharif & Noor (2011) menyatakan bahwa: ” Some adolescents are deemed


(10)

guilty of poor ... spoken politeness due to their low proficiency leve”l. Sebab

kesantunan sosial merupakan wujud budi pekerti luhur yang diperoleh melalui pendidikan dan latihan dari berbagai pihak seperti orang tua, guru, para tokoh agama dan masyarakat serta berbagai sumber lain yang merupakan bagian dari ajaran moral dan seperti dinyatakan terdahulu memiliki kaitan erat dengan kinerja dalam kehidupan. Berita Kompas (Rabu, 25 Juli 2012) menyatakan seorang anak usia 14 tahun telah mampu melakukan pembunuhan secara keji pada seorang bapak dan anak. Ini merupakan kulminasi dari berbagai ketimpangan sosial.

Bila dikaji lebih jauh fenomena di atas timbul disebabkan oleh berbagai faktor yang menjadi pemicunya, di antaranya disebabkan oleh terjadinya pergeseran nilai dalam keluarga yang dipengaruhi oleh media, terutama media elektronik (internet, TV, hand phone) dan media cetak, serta arus modernisasi khususnya di masyarakat perkotaan, seperti diamini oleh media Province Nova Scotia, (2004) yang menyatakan terdapat hubungan antara kehadiran media dengan semakin meningkatnya pembunuhan dan mental illness.

Mereka menyerap informasi yang sampai tanpa filter, apalagi sekarang tayangan-tayangan di televisi banyak yang tidak memberikan keteladanan, seperti menentang orang tua, menentang guru, mengejek orang lain, dan mengumbar fitnah. Tontonan seperti demikian seolah-olah sudah menjadi hal biasa dan melekat di masyarakat, padahal dampak yang ditimbulkannya sangat dahsyat yakni dapat melunturkan nilai-nilai kesantunan di kalangan sebagian remaja. Jadi dampak media ini sangat besar dan dapat menimbulkan perubahan yang bermacam-macam di antaranya perubahan gaya hidup, kesadaran, sikap, emosi, dan tingkah laku.

Disamping hal di atas adanya akulturasi budaya dalam keluarga, mau tidak mau turut berpengaruh pula terhadap proses pendidikan dalam keluarga. Selain dua hal tersebut terjadi pula mobilisasi keluarga yang dipicu oleh adanya kebutuhan ekonomi. Sinyalemen valueoptions.com (2012) akulturasi selain memiliki sejumlah nilai tambah, menjurus pada:

1. depression/anxiety disorder – loss of loved one or normal activities may increase risk for depression or anxiety disorder


(11)

2. substance abuse – participant may resort to substance use/abuse to relieve the pain of losing a loved one or an ideal

3. eating disorder – participant may decrease or increase normal eating routine because of loss of a loved one or an ideal

4. adjustment disorder- participant may socially withdraw because of an identifiable stressor occurring within 3 months of the onset and lasting less than 6 months and can be associated with another mental health

Faktor-faktor tersebut menjadi pendorong memudarnya nilai-nilai budaya salah satunya menyangkut tata krama dan nilai kesantunan, baik di lingkungan keluarga maupun di masyarakat. Permasalahan tersebut harus segera diatasi serta dicarikan solusinya dan hal ini tentu menjadi tanggung jawab kita bersama khususnya orang tua, disamping para pendidik baik di lembaga formal maupun nonformal, sebab masalah kesantunan ini harus sudah diperoleh dan diinternalisasikan mulai dalam keluarga.

Kiranya solusi yang paling tepat untuk mengatasi hal tersebut ialah pendidikan, pelatihan dan pembelajaran. Salah satunya melalui ekstrakurikuler (latihan seni tari) yang merupakan salah satu bentuk pembelajaran PLS yang berfungsi sebagai pelengkap pendidikan formal. Kegiatan pembelajaran tersebut sejalan dengan pendapat Russel Kleis dalam Sudjana (2004) mengenai pendidikan luar sekolah adalah usaha pendidikan yang dilakukan secara sengaja dan sistematis.

Biasanya pendidikan ini berbeda dengan pendidikan tradisional terutama yang menyangkut waktu, materi, isi dan media. Pendidikan luar sekolah dilaksanakan dengan sukarela dan selektif sesuai dengan keinginan serta kebutuhan peserta didik yang ingin belajar dengan sungguh-sungguh.

(nishanga.blogspot.com berbagai konsep mengenai PLS 22 September 2012). Ekstrakurikuler tari sebagai bentuk pembelajaran PLS tidak hanya

memperkenalkan pengetahuan kepada peserta didik, melainkan juga mengajarkan keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang tidak sempat dipelajari di lingkungan pendidikan sekolah.

Pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan seseorang, sebab melalui pendidikan seseorang dapat meningkatkan kecerdasan,


(12)

keterampilan, mengembangkan potensi diri serta dapat membentuk pribadi yang bertanggung jawab, cerdas dan kreatif (Undang-Undang No 20 tahun 2003). Pendidikan juga merupakan segenap upaya yang mempengaruhi pembinaan dan pembentukan kepribadian, termasuk perubahan perilaku melalui proses pembelajaran. Oleh sebab itu melalui pendidikan diharapkan peserta didik dapat mewujudkannya dalam sikap, dan perilaku yang “merenah selaras dengan norma

dan etika yang berlaku pada lingkungan di mana mereka berada.

Hal ini sejalan dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2003 Pasal 3 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengamanatkan bahwa:

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Undang-undang di atas menjelaskan bahwa pendidikan merupakan sarana untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi insan berpribadi, aktif, kreatif dan mandiri. Salah satu upaya membentuk manusia yang memiliki pribadi ialah melalui sektor pendidikan.

Selain sektor pendidikan formal, sektor pendidikan nonformal pun memiliki peran dan andil yang besar terhadap pembangunan sumber daya manusia. Pendidikan nonformal sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 butir 12 dan 13 menyebutkan bahwa pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang, diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam mendukung pendidikan sepanjang hayat. Di mana tujuan pendidikan sepanjang hayat adalah meningkatkan kualitas hidup, yaitu bahwa individu-individu dalam masyarakat terus belajar dan secara berkesinambungan berupaya mengikis ketertinggalan.


(13)

Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional. Sebagai suatu alternatif seperti dinyatakan ...since the alternative education also needs teachers,

curriculum, textbooks and building, it was experimented in some places and based on experiment only they were expanded. So this approach was also called gradualist approach (Literacy Watch BULLETIN, 2001)

Melalui pendidikan diharapkan peserta didik menjadi orang yang bertanggung jawab dapat diandalkan, mampu mengendalikan diri, serta menghargai orang lain. Selain itu juga mampu membina sikap kerjasama.

Peserta didik sebagai insan pribadi, insan pendidikan, insan pembangunan baik secara individu maupun kelompok, sebagai makhluk sosial yang hidup dalam lingkungan sosial harus mampu mewujudkan sikap dan perilaku yang dapat mencerminkan norma nilai sopan santun yang dimilikinya. Hal ini dapat dipenuhi apabila proses pembelajaran yang dilalui oleh peserta didik berjalan seperti konsep yang dikemukakan oleh Delor (2000) yakni learning to know, learning to

do, learning to be, dan learning to life together.

Proses pembelajaran yang dilakukan di pendidikan formal sebagian besar mencakup dua hingga tiga konsep yang diungkapkan oleh Delor, yakni learning

to know, learning to do, terkadang ada yang melakukan pula learning to be. Learning to know dilakukan saat proses memahami konsep, learning to do

dilaksanakan saat mengeksplorasi konsep, learning to be diterapkan pada saat mengaplikasikan konsep. Sementara itu, proses learning to life together sebagian besar belum dilakukan di pembelajaran formal, karena keterbatasan waktu, kurikulum, dan materi.

Agar nilai kesantunan di kalangan generasi muda tetap terjaga dengan baik maka orang tua, guru atau yang dituakan harus selalu menanamkan nilai-nilai kesantunan tersebut disamping memberi keteladanan, seperti bersikap sopan dan ramah kepada setiap orang, memberi perhatian kepada orang lain, berusaha selalu menjaga perasaan orang lain, bersikap ingin membantu, memiliki rasa toleransi yang tinggi, serta dapat menguasai diri, mengendalikan emosi dalam situasi dan


(14)

kondisi apapun. Pembentukan kesantunan ini akan melibatkan beberapa pihak dan lingkungan yang terkait dengan peserta didik, seperti yang dideskripsikan pada gambar berikut ini.

Aspek-aspek di atas dapat ditanamkan melalui berbagai wadah pendidikan baik formal, nonformal maupun informal, dan salah satunya melalui kegiatan ekstrakurikuler yang dalam kajian ini peneliti lebih memfokuskan pada ekstrakurikuler tari (latihan seni tari) sebagai media penyampaian nilai-nilai kesantunan. Hal ini disebabkan kebanyakan remaja saat ini kurang atau sulit memahami simbol, mereka lebih senang yang instan. Oleh karenanya melalui kegiatan ekstrakurikuler tari (latihan seni tari) lewat pemaknaan simbol gerak diharapkan para remaja mampu menimba berbagai pengetahuan, pengalaman dan keterampilan yang dikembangkan di dalamnya.

Ekstrakurikuler tari memiliki misi membangun karakter percaya diri, sedangkan visi kegiatan ekstrakurikuler tari adalah berkembangnya potensi, bakat dan minat secara optimal, serta tumbuhnya kemandirian dan kebahagiaan peserta didik yang berguna untuk diri sendiri, keluarga dan masyarakat.


(15)

Kegiatan ekstrakurikuler tari bertujuan menumbuhkembangkan pribadi peserta didik yang sehat jasmani dan rohani, bertakwa kepada Tuhan YME, memiliki kepedulian dan tanggung jawab terhadap lingkungan sosial, budaya dan alam sekitarnya, serta menanamkan sikap sebagai warga negara yang baik dan bertanggung-jawab melalui berbagai kegiatan positif di bawah tanggung jawab sekolah. Ekstrakurikuler tari (latihan seni tari) adalah tempat menempa keterampilan dan pengetahuan, memupuk jiwa disiplin dan penanaman nilai-nilai serta membina semangat kebersamaan bagi pesertanya. Melalui keteladan dari tokoh yang ada dalam tarian serta pesan-pesan yang disampaikan dalam tarian diharapkan dapat mengembangkan potensi, sehingga mampu mengubah perilaku atau karakteristik peserta didik.

Proses kegiatan ekstrakurikuler tari (latihan seni tari) dilakukan di luar jam pelajaran sekolah dengan model kegiatan yang menarik, menyenangkan, sehat, teratur, terarah, dan praktis. Ekstrakurikuler tari (latihan seni tari) sebagai salah satu wadah bagi generasi muda dalam mengembangkan bakat dan minatnya serta dapat menyalurkan hobi kreatifnya, sehingga generasi muda dapat berkontribusi positif bagi pembangunan bangsa. Dilihat dari pendekatannya, ekstrakurikuler tari (latihan seni tari) dapat dikelompokkan pada pendidikan luar sekolah seperti dikemukakan Knowles (2005) yang melihat hubungan antara peserta didik dengan tutor yang lebih banyak pada kemampuan memfasilitasi maupun sifatnya yang lebih menekankan pada kemampuan untuk mengarahkan diri ... A common label

given to such activity is self-directed learning. In essence, self-directed learning is seen as any study form in which individuals have primary responsibility for planning, implementing, and even evaluating the effort (Tough, 1979)

Pernyataan di atas menjelaskan bahwa peserta didik mempunyai kekuatan untuk mencari, mencoba, menemukan dan mengembangkan dirinya sendiri sehingga tumbuh kemandirian. Dengan demikian, ekstrakurikuler tari (latihan seni tari) sebagai media untuk memperoleh pengetahuan nilai-nilai kesantunan dengan pengamatan sendiri, pengalaman sendiri, penyelidikan sendiri, bekerja sendiri, dengan fasilitas yang diciptakan sendiri sehingga pembelajaran menjadi bermakna bisa digolongkan sebagai self directed learning.


(16)

Kegiatan ekstrakurikuler tari (latihan seni tari) diharapkan dapat memenuhi kebutuhan belajar peserta didik untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman yang pada suatu saat nanti bermanfaat bagi peserta didik dalam kehidupannya. Melalui kegiatan ekstrakurikuler tari (latihan seni tari) dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi peserta didik untuk mengembangkan minat, menanamkan tanggung jawab sebagai warga negara, memahami nilai kesantunan melalui pengalaman langsung, sehingga tercipta keyakinan diri sebagai individu yang mandiri.

Kegiatan ekstrakurikuler tari (latihan seni tari) yang pelaksanaan kegiatannya lebih mengarah pada pemberian pengalaman–pengalaman hidup dan pembentukan keterampilan dipandang cocok sebagai media penanaman nilai–nilai kehidupan pada peserta didik. Seperti nilai-nilai kesantunan yang di dalamnya meliputi kejujuran, peduli terhadap sesama (toleran), keberanian, disiplin dan tanggung jawab serta sikap hormat.

Nilai-nilai tersebut dapat dikaji melalui pembelajaran tari, sebab dalam kegiatan menari seseorang melalui pengalaman estetisnya dapat mempertajam daya tangkapnya untuk menyerap berbagai informasi yang masuk melalui pancaindera. Norma-norma dan nilai-nilai yang dianggap benar pada sebuah masyarakat ditanamkan dalam tiap individu lewat cara belajar. Dengan pembelajaran itulah suatu kelompok individu dapat membentuk sebuah masyarakat yang teratur. Pembelajaran tari juga merupakan media transformasi budaya dan proses pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Deklarasi Dakar tahun 2000 menuntut semakin diperlukan pendidikan yang berbasis pemberdayaan, dimana pendidikan harus menjamin kebermutuan yang seimbang antara nilai, pengetahuan, kecakapan dan kompetensi untuk hidup berkelanjutan dan berpartisipasi dalam masyarakat melalui pekerjaan yang terhormat. Unesco dalam hal ini menekankan kebermutuan dari pendidikan dasar, mutu pendidikan bukan hanya ditujukan untuk kelompok kecil akan tetapi untuk semua. Kualitas yang paling mendesak yaitu untuk peserta belajar yang berresiko dan termarginalisasikan, sehingga perlu dicarikan peluang pendidikan yang lebih


(17)

responsif sesuai dengan tuntutan dari pertemuan Dakar April 2000. Seperti ditekankan:

(iii) ensuring that the learning needs of all young people and adults are met

through equitable access to appropriate learning and life skills programs; ... (v) eliminating gender disparities in primary and secondary education by 2005, and achieving gender equality in education by 2015, with a focus on

ensuring girls’ full and equal access to and achievement in basic education of

good quality;

(vi) improving all aspects of the quality of education and ensuring excellence of all so that recognized and measurable learning outcomes are achieved by all, especially in literacy, numeracy and essential life skills.

Selain itu secara kebetulan Kota Dakar Senegal sedemikian jauh telah menginspirasi kesatuan antara tari dengan identitas, seperti tertuang (Cruz Banks 2010; Daniels 2005; Dunham 1947, 2005) and ethnomusicology (Castaldi 2006; Tang 2007, 2008) as theoretical frameworks, this study draws from

auto-ethnographical experiences of dancing at the Sissoko School. I explore what links dance, music and identity.

Lebih jauh arahan dari pertemuan Dakar yang menyatakan akan pentingnya pendidikan nilai adalah sebagai berikut:

1) Kehidupan fisik dan psikologis yang sehat dan memberikan motivasi pada peserta belajar;

2) Pendidik yang terlatih secara memadai dan menguasai teknik pembelajaran aktif;

3) Dukungan fasilitas dan bahan ajar yang memadai;

4) Kurikulum yang relevan yang dapat dipelajari dan diajarkan menggunakan bahasa lokal dan dikembangkan secara bersama oleh pendidik dan peserta belajar;

5) Lingkungan yang bukan hanya bisa merangsang kemampuan belajar akan tetapi ramah, sensitif gender, sehat dan aman;

6) Adanya definisi yang jelas mengenai penilaian yang akurat dari hasil belajar, mencakup pengetahuan, kecakapan, sikap dan nilai;

7) Tata kelola dan pengelolaan yang partisipatif;

8) Menghargai pada keragaman budaya lokal dan masyarakat local.

Seni tari sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia selalu berkembang dalam berbagai aspek yang melingkupinya, baik aspek-aspek di dalam seni itu sendiri maupun dalam pendidikan seni yang merupakan upaya sadar untuk mewariskan nilai-nilai dari generasi ke generasi. Kegiatan


(18)

ekstrakurikuler tari yang diselenggarakan di sekolah formal sebagai pusat transformasi nilai-nilai tentu turut andil dalam mengemban amanat pendidikan yang merupakan salah satu syarat dan upaya utama dalam membentuk generasi yang akan datang, yang diharapkan akan menjadi generasi unggul dan membawa perubahan positif di segala bidang dalam mengembangkan intelektual dan moralitas bangsa.

Pendidikan seni tari sebagai bagian dari PLS secara umum berfungsi untuk mengembangkan kemampuan setiap anak (peserta didik) menemukan pemenuhan dirinya dalam hidup, untuk meneruskan warisan budaya, memperluas kesadaran sosial dan sebagai jalan untuk menambah wawasan serta mendukung kepada proses pendidikan secara umum melalui cara berpikir dan belajar sekaligus mendorong terbentuknya sikap belajar sepanjang hayat. Melalui pendidikan seni tari, peserta didik memperoleh pengalaman sensasional dalam diri yang sangat kuat, dari mulai membentuk sesuatu hingga mengekspresikan sesuatu tentang dirinya.

Tari sebagai produk budaya yang disimbolkan dalam segala aspek penyajiannya, memuat beberapa nilai dan norma yang dianut oleh masyarakat pendukungnya. Entitas tari dapat dianalisis dari sisi teks dan konteksnya di

masyarakat. Teks tari adalah (1) Gerak; (2) Rias dan Busana; (3) Iringan tari; (4) Pencahayaan; (5) Pola lantai; dan (6) Dialog. Adapun konteks tari bisa

dianalisis dari berbagai perspektif yaitu (1) Sejarahnya; (2) Fungsi di masyarakat; (3) Filosofi; (4) Pendidikan; (5) Komunikasi; (6) Manajemen dan bisnis. Hal ini sejalan dengan ungkapan Marinis (1993:1-9) bahwa: “tari terbentuk dari berbagai lapis (multlayer)”.

Pada penelitian ini ditetapkan tari lenyepan sebagai materi pembelajaran nilai-nilai kesantunan sosial. Pemilihan tarian ini didasarkan pada nilai-nilai yang terkandung dalam tari lenyepan dipandang sangat sesuai sebagai media untuk membentuk kesantunan pada peserta didik. Tari lenyepan yang awalnya berkembang dari ibing tayub adalah tarian yang hidup dan berkembang di kalangan menak Sunda yang berkembang pada awal abad 20.


(19)

Kalangan menak Sunda terdiri dari: menak teureuh, menak paseban,

menak pasar, dan menak kaum. Dengan demikian dalam berbagai aspek

pendukung tari ini akan mencerminkan nilai-nilai dan norma yang berlaku pada kaum menak. Berbagai nilai dan norma menak direfleksikan melalui keempat aspek pendukung tari lenyepan, misalnya mengenai (1) Cara bersikap kepada Sang Pencipta, antar menak, atau kepada cacah; (2) Cara bertutur sapa dalam berinteraksi; (3) Cara berpakaian; dan (4) Cara memahami dan merespon simbol.

Tari lenyepan adalah salah satu tari putra yang termasuk dalam genre tari

keurseus. Tari keurseus adalah perkembangan tayuban yang menjadi kalangenan

menak Sunda. Kelahirannya atas kreasi R. Sambas Wirahadikusumah yang menata dengan kaidah moral : (1) supados teu aeb katingalna; (2) raos kanu

ngibingna; (3) angger waktosna; (4) raos kanu ningalna (Narawati: KIBS 2011).

Tari Keurseus terdiri dari dua tingkatan karakter yakni (1) halus: terdiri dari lenyep dan lanyap; (2) gagah: terdiri dari monggawa dan ngalana. Setiap karakter di atas memiliki pengolahan gerak yang berbeda. Adapun tari lenyepan adalah tarian yang mempunyai karakter gerak paling halus, sehingga selalu dijadikan tari dasar dalam pembelajaran tari keurseus. Kehalusan tari lenyepan terbangun dari estetika yang dianut oleh kalangan menak, hal ini tercermin dalam pengolahan elemen-elemen pembangun gerak, yakni: ruang, waktu, dan tenaga.

Kehalusan dalam pengolahan ruang, waktu dan tenaga pada tari lenyepan dibangun oleh sikap dasar bukaan tangan, kaki dan pandangan mata yang harus tetap dipertahankan selama tarian berlangsung. Kehalusan yang termuat dalam ketiga elemen pembangun gerak lenyepan tersebut pada dasarnya merupakan proses pengendalian diri yang menuju pada kesantunan. Wujud dari kesantunan yakni munculnya sikap merenah yang secara harafiah berarti tepat atau sesuai dengan konteks, dengan kata lain para menak selalu dituntut untuk dapat menempatkan dirinya secara proporsional sesuai status. Beberapa contoh sikap

merenah diantaranya: para menak tidak diperbolehkan berbicara atau marah tidak

pada tempatnya, tidak diperbolehkan berpakaian yang melanggar aturan.

Penerapan nilai kesantunan pada kalangan menak dilakukan dalam berbagai lingkungan informal, formal, dan non formal. Penerapan nilai


(20)

kesantunan di lingkungan informal diterapkan dalam keluarga. Pada lingkungan formal, diterapkan pada sekolah untuk calon ambtenar seperti STOVIA, MOSVIA, dan SGB. Pada lingkungan nonformal, dilakukan melalui rangkaian kegiatan masamoan yang terdiri dari menari (tayuban), pencak silat (makalangan), dan tembang Sunda (panglawungan). Kegiatan ini merupakan sarana pembiasaan dan penerapan kesantunan bagi kalangan menak untuk berinteraksi, berkomunikasi, dan bersikap. Rangkaian kegiatan di atas sebagai media untuk membentuk kesantunan yang merenah dengan status menaknya. Hal ini sesuai dengan paparan Narawati (2003: 163) dalam bukunya Wajah Tari

Sunda dari Masa ke Masai, sebagai berikut.

Paalus-alus ngibing atau „mengadu‟ kemahiran menari dalam acara tayuban menjadi keharusan, kebiasaan, dan akhirnya kalangenan (hiburan)

bagi kalangan priyayi. Oleh karena itu kreativitas menari menjadi tuntutan dari simbol status kebangsawanan bagi para priyayi Sunda.

Dengan demikian untuk membedakan status menak dapat diamati dari tutur kata, cara berbusana, dan tingkah lakunya. Hal ini sesuai dengan paparan Nina Lubis (49-91) dalam bukunya yang berjudul Kehidupan Kaum Menak

Priangan 1800-1942, dijelaskan bahwa terdapat beberapa kategori status sosial di

kalangan menak Sunda: (1) menak teureuh; (2) menak paseban; (3) menak pasar; dan (4) menak kaum.

Dengan demikian esensi nilai dari kalangan menak yang sangat sesuai untuk membentuk kesantunan sosial yakni pengolahan rasa, pengendalian emosi, pengaturan sikap, dan pemahaman simbol. Hal ini sejalan dengan tujuan pembelajaran seni tari yang dinyatakan Depdiknas (2003:7) yaitu:

Menumbuhkembangkan sikap toleransi, demokrasi, beradab, mampu hidup rukun dalam masyarakat yang majemuk, mengembangkan kemampuan imajinatif, intelektual dan ekspresi melalui seni. Mengembangkan kepekaan rasa, keterampilan, dan mampu menerapkan teknologi dalam berkreasi seni, memamerkan dan mempergelarkannya.

Dari uraian di atas menggambarkan bahwa dengan belajar seni tari peserta didik digiring untuk mengkonstruksi diri baik dari segi intelektual maupun moral


(21)

seperti nilai-nilai yang termuat dalam tari lenyepan, sehingga inti pengendalian diri pada tarian ini dapat membentuk peserta didik menjadi pribadi yang merenah. Pembelajaran kesantunan seperti yang tercermin dalam perilaku kalangan

menak Sunda di atas pada tahun 1960 hingga 1980-an pernah diwadahi dalam

mata pelajaran Budi Pekerti, kemudian berganti menjadi Pendidikan Moral Pancasila, dan berganti lagi menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Namun demikian, nilai-nilai yang diajarkan pada mata pelajaran tersebut adalah nilai-nilai universal, sedangkan pembelajaran yang menerapkan nilai-nilai kesantunan berbasis budaya lokal tidak dicantumkan dalam kurikulum. Oleh karena itu diperlukan upaya lain untuk menerapkan nilai-nilai kesantunan di berbagai lingkungan baik informal, formal, maupun nonformal. Salah satu upaya yang dianggap efektif untuk menanamkan nilai-nilai kesantunan ini ialah melalui kegiatan ekstrakurikuler.

Berdasarkan hasil survey pada studi pendahuluan ditemukan model pembelajaran dalam kegiatan ekstrakurikuler tari masih belum menyentuh pada pemahaman nilai-nilai kesantunan sehingga peserta didik kurang dapat menganalisis dan mempersepsi nilai-nilai tersebut yang akan teraplikasikan dalam perilaku sehari-harinya. Oleh karena itu, akan dikembangkan model ekstrakurikuler tari yang lebih berorientasi pada pemahaman nilai-nilai kesantunan sehingga peserta didik selain keterampilannya lebih terasah juga dapat memiliki kesantunan yang merenah dan akan terinternalisasi dalam kehidupannya. Dari model konseptual ini selanjutnya dikembangkan model empirik dengan memilih bentuk tari dan model pembelajaran yang lebih menekankan pada peningkatan nilai luhur budaya bangsa.

Dalam hal ini fokus kajian ditekankan pada ketiga aspek yakni kognitif, afektif, dan psikomotor yang menyangkut kecenderungan perilaku/behavioral tendensius, persepsi/perseptual, dan emosional anak yang diusung dalam judul

“Pengembangan Model Pembelajaran Nilai-nilai Sosial Pada Kegiatan Ekstrakurikuler Tari Untuk Membangun Kesantunan Sosial (Studi Pada Kegiatan Ekstrakurikuler Tari di SMP Kota Bandung)”.


(22)

B. Identifikasi dan Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka fokus kajian penelitian ini ialah mengenai kesantunan. Adapun untuk menumbuhkan kesantunan sosial ini dapat diidentifikasi dan dirumuskan masalah sebagai kajian riset dan pengembangan dalam pendidikan nilai bagian dari pendidikan luar sekolah sebagai berikut. 1. Akhir-akhir ini terjadi melemahnya kesantunan di kalangan sebagian remaja. 2. Faktor-faktor apa yang menjadi penyebab melemahnya kesantunan di kalangan

sebagian remaja

3. Mengapa terjadi banyak tawuran di kalangan sebagian remaja di perkotaan? 4. Persoalan apakah yang menyebabkan terjadinya konflik sosial di antara

sebagian remaja di perkotaan?

5. Mengapa terjadi adu kekuatan atau kekuasaan di antara sebagian remaja? 6. Bagaimana perilaku kesantunan sebagian remaja yang tergabung dalam geng di

perkotaan di hadapan masyarakat umum?

7. Apakah sebagian besar remaja di perkotaan mempunyai wadah untuk sarana aktualisasi diri?

8. Apakah sebagian remaja mendapatkan tindakan atau proses pembelajaran yang membentuk dan membina kesantunan sosial?

9. Bagaimana upaya yang dilakukan dalam menumbuhkan kesantunan sosial? 10. Bagaimana nilai-nilai sosial yang terdapat dalam tari sebagai salah satu produk

budaya masyarakat dapat menumbuhkan kesantunan sosial peserta didik di SMP Kota Bandung melalui kegiatan ekstrakurikuler tari?

11. Bagaimana mengkemas tari agar dapat dijadikan solusi atas nilai-nilai aktual untuk menumbuhkan kesantunan sosial peserta didik di SMP Kota Bandung melalui kegiatan ekstrakurikuler tari?

12. Bagaimana penerapan pembelajaran tari sebagai materi kegiatan ekstrakurikuler untuk menumbuhkan kesantunan sosial peserta didik di SMP Kota Bandung?

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka rumusan masalah yang

diungkap dalam penelitian ini ialah “bagaimana model pembelajaran nilai-nilai sosial yang efektif melalui kegiatan ekstrakurikuler tari untuk menumbuhkan


(23)

kesantunan sosial? Untuk memperjelas fokus masalah dapat dirumuskan dalam beberapa pertanyaan berikut:

1. Bagaimana hasil pembelajaran nilai-nilai sosial pada ekstrakurikuler tari dalam menumbuhkan kesantunan sosial peserta didik di SMP Kota Bandung?

2. Bagaimana model konseptual pembelajaran nilai-nilai sosial pada ekstrakurikuler tari dalam menumbuhkan kesantunan sosial peserta didik di SMP Kota Bandung?

3. Bagaimana model empirik pembelajaran nilai-nilai sosial pada ekstrakurikuler tari dalam menumbuhkan kesantunan sosial peserta didik di SMP Kota Bandung?

C. Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan dari penelitian ini ialah menemukan model pembelajaran nilai-nilai sosial melalui media seni tari untuk menumbuhkan kesantunan sosial peserta belajar. Untuk mencapai tujuan ini secara khusus dilakukan melalui langkah-langkah berikut:

1. Memperoleh gambaran mengenai hasil pembelajaran nilai-nilai sosial pada ekstrakurikuler tari dalam menumbuhkan kesantunan sosial peserta didik di SMP Kota Bandung.

2. Mengembangkan model konseptual pembelajaran nilai-nilai sosial pada ekstrakurikuler tari dalam menumbuhkan kesantunan sosial peserta didik di SMP Kota Bandung?

3. Mengembangkan model empirik pembelajaran nilai-nilai sosial pada ekstrakurikuler tari dalam menumbuhkan kesantunan sosial peserta didik di SMP Kota Bandung?

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini dapat ditinjau dari dua aspek yaitu: 1. Manfaat Teoretis


(24)

a) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi pengayaan konsep tentang model pembelajaran untuk meningkatkan kesantunan sosial bagi remaja di perkotaan, sekaligus pengembangan keilmuan dan kajian pendidikan nilai sebagai bagian dari pendidikan dasar pada pendidikan luar sekolah.

b) Menambah kajian empiris mengenai peranan tari sebagai salah satu bidang ilmu untuk meningkatkan kesantunan sosial, sehingga dapat terinternalisasi baik di lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat.

c) Model yang dikembangkan ini diharapkan dapat memberikan nuansa baru yang inovatif dalam merancang dan mengorganisasikan kegiatan pembelajaran sehingga tujuan yang diharapkan dapat dicapai secara maksimal.

d) Model yang dikembangkan sebagai bahan kajian awal bagi yang berminat untuk meneliti permasalahan ini lebih lanjut, sehingga lahir model-model pembelajaran seni baru menyangkut konsep pendidikan luar sekolah dalam menumbuhkan kesantunan sosial.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak terkait dalam mengoptimalkan pembentukan kesantunan sosial peserta didik di antaranya:

a) Lembaga pendidikan baik nonformal maupun formal, membantu memberikan gambaran dan alternatif dalam merancang model pembelajaran nilai-nilai sosial dari mulai identifikasi kebutuhan belajar, menetapkan tujuan belajar, menetapkan dan menerapkan materi, sampai pada evaluasi proses dan akhir. b) Dinas sosial untuk membina sebagian remaja yang mengalami penyimpangan

perilaku sosial melalui kegiatan tari, seperti yang putus sekolah khususnya di perkotaan, yang terlibat geng, dan yang mengalami broken home.

c) Sanggar-sanggar tari mengenai pola dan upaya untuk internalisasi kesantunan sosial melalui kegiatan praktik.

d) Meningkatkan kesadaran remaja untuk berperan sebagai penggerak dalam menumbuhkan kesantunan sosial melalui kegiatan ekstrakurikuler.


(25)

F. Kerangka Berpikir

Usia SMP merupakan masa peralihan dari kanak-kanak ke remaja. Pada masa ini, terjadi perubahan yang besar di antaranya yaitu 1) pertumbuhan fisik semakin dewasa; 2) kematangan seksual; 3) kesadaran terhadap diri; 4) kebutuhan interaksi dan persahabatan lebih luas; 5) munculnya konflik-konflik sebagai akibat masa transisi. Hal ini menyebabkan remaja cenderung suka mengkritik, yang diwujudkan dalam bentuk pembangkangan, baik terhadap orang tua, guru maupun orang yang dituakan, karena ingin menunjukkan keakuannya. Bahkan para remaja cenderung lebih berani mengemukakan pendapatnya, dan akan mempertahankan keakuannya dengan sekuat tenaga.

Pada masa ini emosi mereka juga masih labil, sehingga bila ada yang menyulut emosi mereka sekecil apa pun akan berakibat besar. Ini pula yang menyebabkan terjadinya penyimpangan perilaku pada remaja seperti tawuran, ugal-ugalan, penyimpangan seks, dan narkoba yang berdampak pada melemahnya kesantunan sosial.

Berdasar pada permasalahan tersebut, maka perlu dilakukan upaya preventif dan penanaman nilai-nilai sosial untuk memenuhi kebutuhan psikisnya sehingga mampu mengatasi konflik yang sedang dialaminya. Salah satunya dapat dilakukan melalui pembiasaan olah rasa melalui tari dalam kegiatan ekstrakurikuler, karena melalui tari dipandang cukup efektif untuk membangun kesantunan yang merenah pada peserta didik. Proses olah rasa ini memerlukan waktu yang cukup lama, sehingga tidak bisa diberikan pada kegiatan intrakurikuler, karena waktunya terbatas dan minat serta kebutuhan peserta belajar pun heterogen.

Untuk itu, maka pembelajaran nilai-nilai sosial melalui kegiatan ekstrakurikuler tari (latihan seni tari) dipandang tepat. Sebagaimana konsep pendidikan non formal di antaranya ialah waktunya lebih longgar, bentuk dan isi program bervariasi, materi sesuai kebutuhan dan minat peserta. Demikian pula dengan kegiatan ekstrakurikuler tari waktunya lebih longgar, diselenggarakan di luar jam pelajaran, materi pembelajaran pun disesuaikan dengan kebutuhan serta


(26)

minat peserta didik, sehingga pembiasaan kesantunan sosial untuk peserta didik dapat dicapai secara maksimal.

Model pembelajaran nilai-nilai sosial melalui kegiatan ekstrakurikuler tari (latihan seni tari) dirancang untuk membangun kesantunan sosial peserta didik. Melalui pemaknaan terhadap simbol-simbol gerak tari diharapkan terjadi penyatuan antara pola pikir, rasa dan laku yang dapat diaplikasikan dalam perilaku keseharian peserta didik.

Penanaman nilai-nilai kesantunan sosial ini perlu segera dilakukan, sehingga kelak setelah peserta didik berbaur di masyarakat dapat membentengi dirinya terhadap pengaruh-pengaruh negatif yang mungkin timbul. Dengan demikian keteladanan yang diberikan lingkungan baik di rumah maupun di luar rumah berpengaruh besar terhadap perkembangan kepribadian peserta didik.

Begitu pula keteladanan yang disimbolkan dalam tari lenyepan sangat berpengaruh terhadap pembentukan karakter peserta didik. Oleh karenanya pendidikan bertujuan untuk membentuk manusia yang mempunyai keseimbangan antara kemampuan kognitif, psikomotrik dan afektif, sehingga nilai-nilai kesantunan dapat tertanam dengan baik.

Dalam kaitan ini seni tari sebagai media ungkap perasaan seseorang dapat dijadikan sarana yang efektif dalam menyampaikan pesan-pesan nilai kesantunan pada peserta didik. Belajar tari merupakan sarana untuk belajar tentang tata krama, etika, dan kepribadian. Selama belajar tari diberikan aturan tata gerak yang dilatih secara teratur dan dilakukan seirama dengan ritme musik pengiringnya.

Jika hal tersebut dapat dikuasai dengan baik maka akan tercermin dalam pergaulan sehari-hari, tindak-tanduk atau gerak-geriknya enak dipandang, menyenangkan, dan teratur, sehingga dalam setiap langkahnya akan terkontrol dengan harmonis dan merenah. Seni tari merupakan seni kolektif karena pada pelaksanaan kegiatannya selalu membutuhkan kerjasama dengan orang lain, yakni dengan penari, pemain musik, stage crew, penata cahaya, penata rias, penata busana, bahkan petugas gedung serta tenaga pembantu pelaksana lainnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tari merupakan kegiatan kesenian yang menjadi


(27)

wadah sosialisasi, dan menggugah kesadaran posisinya dalam kelompok ketika menari.

Secara tidak langsung mereka belajar menempatkan diri dan memainkan peranannya di tengah masyarakat, seperti yang diungkapkan oleh Marco de Marinis (1977) bahwa “tari bersifat multilapis (multilayer)”. Pada seni dimuat simbol tentang nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat pendukungnya. Dengan demikian untuk memahami nilai sosial dalam masyarakat dapat dicermati dan dianalisis dari aspek-aspek pembangun seni tersebut, misalnya pada nilai-nilai sosial yang termuat dalam seni tari dapat dianalisis dari gerak-gerak tarinya, dan rias serta busana yang digunakannya.

Berdasarkan paparan di atas, kegiatan ekstrakurikuler tari (latihan seni tari) sebagai salah satu wadah yang dapat dijadikan wahana dan sarana dalam menghasilkan insan yang mampu mengaktualisasikan diri. Selain itu juga kegiatan ekstrakurikuler tari merupakan salah satu wadah yang dapat dijadikan sarana untuk meningkatkan kecerdasan, keterampilan, mengembangkan potensi diri dan dapat membentuk pribadi yang bertanggung jawab, cerdas dan kreatif. Melalui kegiatan ekstrakurikuler tari diharapkan dapat membantu meningkatkan kepribadian peserta didik yang dapat dilihat pada bagan kerangka berpikir berikut ini:


(28)

Kondisi Objektif Penelitian terhadap Model pembelajaran

Ekskul Tari kondisi Objektif nilai-nilai sosial

SWOT pada ekskurikuler Tari

Bagan 1.1 Kerangka Berpikir G. Struktur Organisasi Disertasi

Struktur penulisan disertasi ini dibagi ke dalam lima bab dengan rincian sebagai berikut.

BAB I : Pendahuluan; yang berisi uraian berkaitan dengan latar belakang

masalah, identifikasi dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka berpikir dan struktur organisasi disertasi. Pada bab ini dijelaskan mengenai pentingnya penelitian ini dilakukan dan dasar-dasar yang melandasinya serta fokus penelitian.

BAB II: Landasan Teoretis; Bab ini merupakan suatu kajian teori yang

dijadikan landasan dalam penyusunan kerangka berpikir. Dalam bab ini peneliti mencoba mendudukkan masalah yang diteliti dalam konteks bidang keilmuan

Ekstrakurikuler tari - Tidak adanya

perencanaan - Pembelajaran

langsung praktik - Penanaman nilai

kesantunan kurang maksimal Kondisi umum remaja: Kesantunan rendah disebabkan oleh faktor internal & eksternal Lahirnya generasi yang santun, tangguh menghadapi segala tantangan

Temuan ekskul dengan keunggulan:

- Potensi peserta belajar, - Motivasi berprestasi, - Partisipasi peserta

belajar.

- Guru/pelatih yang loyal Kelemahan

- Intensitas latihan - Keterbatasan sarana - Kurangnya dukungan

dana dari lembaga Peluang:

- Seni tari menumbuhkan kemandirian

- Seni tari sebagai sarana pendidikan, kecakapan hidup

- Dukungan pemerintah Tantangan:

- Masuknya budaya asing - Penanaman nilai-nilai

kesantunan menjadi tugas bersama

-Pemahaman dan pengkemasan materi - Penerapan dan

pembiasaan - Evaluasi

Terbangunnya peserta didik yang terampil dan santun yang tercermin dalam perilaku kesehariannya


(29)

BAB III: Metodologi Penelitian; Bab ini menguraikan secara rinci mengenai

metode dan pendekatan yang digunakan, termasuk di dalamnya uraian mengenai lokasi dan subjek penelitian, desain penelitian, definisi operasional, instrumen penelitian, teknik dan analisis data, termasuk validitasnya.

BAB IV: Hasil dan Pembahasan Penelitian; Bab ini menjelaskan mengenai

hasil penelitian berupa deskripsi mengenai pembelajaran nilai-nilai sosial pada kegiatan ekstrakurikuler tari dalam perspektif pendidikan nonformal. Penyusunan model konseptual pembelajaran tari, lokasi dan subjek penerapan model pembelajaran kesantunan, uji coba terbatas dan implementasinya. Pada bagian kedua berisi hasil temuan pada penelitian pendahuluan, dianalisis untuk memperoleh data yang diperlukan dalam proses pembuatan suatu model pembelajaran. Hasil penelitian pendahuluan dan pembahasannya dipergunakan untuk membuat desain model pembelajaran/pelatihan nilai-nilai sosial melalui tari dan implementasinya pada kelompok ekstrakurikuler.

BAB V: Kesimpulan dan Rekomendasi: Menyajikan pemaknaan peneliti


(30)

METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Subjek Populasi/Sampel Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada salah satu kegiatan ekstrakurikuler seni tari di SMPN 14, SMPN 15, dan SMP YAS di kota Bandung, sebagai setting penelitian untuk memperoleh data primer. Penetapan lokasi ini didasarkan pada: 1) hasil observasi awal yang dilakukan ke beberapa SMP di Bandung yang menyelenggarakan kegiatan ekstrakurikuler tari (latihan seni tari). Dari studi pendahuluan diperoleh data bahwa ketiga lembaga ini yang masih konsisten menyelenggarakan kegiatan ekstrakurikuler tari; 2) pemilihan lokasi ini juga didasarkan kepada pertimbangan:

a. Kesediaan pelatih/guru seni tari pada lembaga tersebut untuk menjadi mitra dalam menumbuhkan nilai-nilai kesantunan sosial peserta didik dari aspek kecenderungan perilaku, persepsi/perseptual serta emosional.

b. Usia SMP (11-13 s/d 14-15) dikatakan sebagai masa remaja merupakan masa kritis dan merupakan masa pembentukan sikap-sikap yang dialami individu. Masa remaja adalah masa rawan sehingga akan mudah terpengaruh oleh lingkungan dimana ia berada. Untuk itu diperlukan benteng yang kuat agar mereka tidak terjerumus kepada hal-hal negatif. Oleh karena itu sangatlah tepat bila anak usia SMP ditetapkan sebagai subjek penanaman nilai-nilai kesantunan sosial melalui pemaknaan simbol gerak tari. Dalam tari diajarkan bagaimana seseorang harus bisa mengendalikan emosi dan mengatur ruang, waktu, serta tenaga secara konsisten yang menuju pada pengendalian diri.

Yang menjadi subjek penelitian ialah guru/pelatih, dan para remaja yang memilih ekstrakurikuler tari sejumlah 15 orang dari masing-masing sekolah. Adapun penentuan jumlah subjek dilakukan secara purposive yang didasarkan kepada efektivitas uji coba model pembelajaran nilai-nilai sosial untuk membangun kesantunan sosial. Untuk lebih jelasnya subjek yang dimaksud dapat dilihat pada tabel 3.1, 3.2, dan 3.3 di bawah ini:


(31)

Peserta Kegiatan Ekstrakurikuler Tari SMPN 14

NO NAMA SISWA KELAS KETERANGAN

1 Teni Fibrianti 8

2 Tsaniya Nurina Ramadhanty 8

3 Ilma Dinar Latissa 8

4 Nira Andani 8

5 Restu Ayu Lestari 8

6 Andina Nurokia 9

7 Dian Fuji Fitriani 9

8 Hasna Amindyta 9

9 Hana Alfianita 9

10 Meita Nurfitriani 9

11 Reza Octaviani A 9

12 Rizkia Adella 9

13 Fenda Khafidhotenty 9

14 Rika Mega Kartika 9

15 Mika 10

TABEL 3.2

Peserta Kegiatan Ekstrakurikuler Tari SMPN 15

NO NAMA SISWA KELAS KETERANGAN

1 Mega Dwi Oktaviana Rahayu 8

2 Luthfiah 8

3 Aida Rahmawati 8

4 Mutiara Rimbayati Putri 8

5 Anggi Anggella Hikhmalia 8

6 Rina Sumiati 8

7 Annisa Septiani Aska 9

8 Astri Nur A‟ini 9

9 Fahira Zahra 9

10 Aldi Thumila 9

11 Feliana Fenty Pitaloka 9

12 Imelda Lisa Febrianti Simarmata 9

13 Nurmala Sari 9

14 Agnes Shinta Dewi 9


(32)

Peserta Kegiatan Ekstrakurikuler Tari SMP YAS

NO NAMA SISWA KELAS KETERANGAN

1 Dini 7

2 Anggi 7

3 Desta 7

4 Febri 7

5 Nusa 7

6 Karina 7

7 Widi 7

8 Arya 7

9 Ferina 7

10 Ela 7

11 Adelia 7

12 Nur Maemunah 8

13 Marisa 8

14 Nila 8

15 Dian Arya 8

B. Desain Penelitian

Penelitian ini didesain dengan menggunakan penelitian dan pengembangan (Research and Development) yang dikembangkan Borg dan Gall (1989) dengan teknik analisis data secara kualitatif yang didukung oleh data kuantitatif. Pendekatan dalam penelitian pengembangan Borg & Gall ini meliputi sepuluh langkah yaitu:

(1) studi pendahuluan; (2) perencanaan;

(3) mengembangkan produk awal; (4) uji coba awal;

(5) revisi untuk menyusun produk utama; (6) uji lapangan utama;

(7) revisi untuk menyusun produk operasional; (8) uji coba untuk produk operasional;

(9) revisi produk final;


(33)

tersebut dalam penelitian ini pelaksanaannya dimodifikasi dan dikelompokkan ke dalam lima tahapan berikut.

1) Pendahuluan, merupakan kegiatan research and information collecting, di dalamnya meliputi dua kegiatan utama, yaitu studi literatur (kajian pustaka dari hasil penelitian terdahulu) dan studi lapangan. Studi literatur dilakukan untuk pengenalan sementara terhadap produk yang akan dikembangkan. Studi literatur ini dimaksudkan untuk mengumpulkan temuan riset dan informasi lain yang bersangkutan dengan kebutuhan pengembangan produk yang direncanakan yaitu model pembelajaran nilai-nilai sosial untuk menumbuhkan kesantunan peserta didik melalui media tari. Studi literatur juga diperlukan untuk mengetahui langkah-langkah yang paling tepat dalam pengembangan produk tersebut.

2) Perencanaan, dalam kegiatan perencanaan ini diperoleh draft desain model mengenai pembelajaran kesantunan yang akan dikembangkan, dalam hal ini pemahaman dan kecenderungan perilaku yang siap diujicobakan. Rancangan model ini meliputi tujuan, materi pembelajaran, metode dan teknik pembelajaran, teknik evaluasi serta pola interaksi antara guru/pelatih dengan peserta ekstrakurikuler tari sebagai peserta didik.

3) Uji coba, pada tahap ini terdiri atas dua kegiatan yakni uji coba terbatas dan uji coba lebih luas. Kegiatan uji coba ini dilakukan secara siklus (desain, implementasi, evaluasi dan penyempurnaan) sampai ditemukan model yang siap divalidasi. Pada uji coba terbatas ini diharapkan diperoleh deskripsi latar (setting) penerapan atau kelayakan suatu produk yaitu kecenderungan perilaku anak, serta didapatnya umpan balik dari produk yang sudah didesain sehingga desain produk menjadi lebih baik dari sebelumnya.

4) Tahap validasi, terdiri dari tahap operational field testing dan final product

revision yang bertujuan untuk menguji model melalui eksperimentasi model

kepada sejumlah responden. Hasil eksperimentasi ini menjadi bahan pertimbangan dalam membuat rekomendasi tentang efektivitas pembelajaran nilai-nilai sosial pada ekstrakurikuler tari (latihan seni tari) dalam membangun


(34)

dan emosional. Langkah ini merupakan uji produk secara lebih luas, biasanya disebut uji coba utama, dengan tujuan untuk melihat apakah model pendidikan yang hendak dikembangkan ini benar-benar telah menunjukkan suatu performansi sebagaimana yang diharapkan.

5) Tahap pelaporan, dimaksudkan sebagai tahap dissemination and

implementation meliputi kegiatan pelaporan dan distribusi model

pembelajaran kesantunan sosial anak yakni peningkatan persepsi dan kecenderungan perilaku anak.

Kelima tahap ini dapat digambarkan pada bagan alur pengembangan model berikut:

Tahap Studi Pendahuluan Tahap Pengembangan Tahap Implementasi

Gbr.3.1 Desain Penelitian Pembelajaran Kesantunan Sosial

Perumusan draft model pembelajaran nilai-nilai sosial melalui ekstrakurikuler tari

Verifikasi dan Validasi model melalui

operational field tes dan revisi

model bila diperlukan

Uji coba model dan revisi secara terbatas dan luas

1. Tahap

Implementasi, 2.Evaluasi, 3. Rekomendasi

dan 4. diseminasi

model Literatur

Studi Pendahuluan


(35)

langkah-langkah operasional sebagai berikut.

1. Studi pendahuluan

Studi pendahuluan merupakan kegiatan awal yang dilakukan untuk pengembangan. Pada tahap ini meliputi studi literatur dan survey lapangan. Studi literatur, dilakukan guna memperoleh landasan teoretis bagi pengembangan model dengan mengkaji dan menetapkan konsep serta teori-teori pokok sebagai landasan pengembangan pendidikan nonformal yang akan dijadikan dasar dalam pengembangan model pembelajaran nilai-nilai sosial pada kegiatan ekstrakurikuler tari (latihan seni tari), menyangkut persepsi dan kecenderungan perilaku meliputi metode dan teknik pembelajaran, evaluasi serta inovasi pembelajaran.

Survey lapangan dilakukan guna mengumpulkan data mengenai pelaksanaan pembelajaran nilai-nilai sosial pada kegiatan ekstrakurikuler tari (latihan seni tari), meliputi perencanaan, pelaksanaan evaluasi serta sarana prasarana. Pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan dan wawancara.

Untuk mengatasi kesenjangan yang ada peneliti menganalisis kebutuhan model pembelajaran dengan menelusuri langsung ke lokasi kegiatan sehingga didapat data mengenai kondisi empirik kegiatan pembelajaran nilai-nilai sosial dalam menumbuhkan kesantunan sosial lewat pemaknaan gerak tari. Analisis kebutuhan ini dilakukan untuk menemukan kebutuhan belajar dalam meningkatkan keterampilan menari dan menumbuhkan kesantunan sosial peserta didik. Analisa kebutuhan ini dirangkum berdasarkan hasil wawancara dengan guru/pelatih tari dilakukan sebelum masuk pada penentuan model pembelajaran meliputi:

a) kegiatan ekstrakurikuler (latihan tari) yang sedang berlangsung, b) potensi peserta didik,


(36)

Penyusunan model konseptual dilakukan berdasarkan hasil studi pendahuluan yaitu kegiatan yang dilakukan untuk menemukan model awal pembelajaran kesantunan sosial remaja. Kegiatan ini meliputi:

a) Analisis terhadap kerangka teoretis berdasarkan temuan model di lapangan. b) Menetapkan fokus kajian pengembangan model, yang meliputi proses

pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, metode dan evaluasi pembelajaran dalam model pembelajaran nilai-nilai sosial untuk menumbuhkan kesantunan sosial remaja lewat pemaknaan gerak tari.

c) Menyusun kerangka acuan model konseptual pembelajaran kesantunan sosial remaja ditinjau dari kecenderungan perilaku, persepsi/perseptual, dan emosional.

d) Menetapkan instrumen penelitian dan pengembangan model. e) Menyusun dan menerapkan kerangka model analisis.

3. Verifikasi model

Verifikasi yaitu kegiatan untuk menguji rancangan model yang telah disusun, meliputi:

a) Melakukan validasi teoretis kepada para ahli

b) Melakukan validasi kelayakan model konseptual kepada para ahli dan praktisi. c) Melakukan uji coba terbatas mengenai kelayakan model untuk

diimplementasikan.

d) Melakukan analisis dan revisi terhadap hasil uji coba terbatas, sehingga dapat diuji kelayakan model yang akan diterapkan.

e) Melakukan uji coba secara lebih luas berdasarkan pendapat dan masukan pada uji coba terbatas

f) Melakukan revisi kedua terhadap model setelah dilakukan uji lapangan lebih luas dari uji lapangan yang pertama.

g) Dari hasil verifikasi oleh para ahli dan praktisi serta uji coba terbatas dan uji coba lebih luas, maka dilakukan validasi model. Kegiatan ini merupakan


(37)

sesungguhnya.

4. Implementasi model

Implementasi model pembelajaran nilai-nilai sosial dilakukan menggunakan pre-experimental design bentuk one-group pretest-posttest design. Desain ini digunakan untuk menguji keefektifan model dan validasi model konseptual yang telah dihasilkan secara empirik. Keefektifan model konseptual yang dikembangkan dapat dilihat dari hasil pretest dan posttest (Sugiyono, 2008:74). Desain model yang digunakan secara visual dapat dilihat pada gambar 3.2 berikut.

O1 X O2

Observasi/tes Sebelum Perlakuan

Perlakuan Observasi/tes

Setelah Perlakuan

Gambar 3.2 One Group Pre-test and Post-test Design

Metode kuasi eksperimen ini digunakan untuk mengungkap pengaruh pembelajaran nilai-nilai sosial melalui pemaknaan gerak tari pada kegiatan ekstrakurikuler terhadap kesantunan sosial meliputi kejujuran, keberanian, toleransi, disiplin, tanggung jawab dan sikap hormat. Kegiatan eksperimen yang dilakukan meliputi tiga tahap yaitu:

(1) perencanaan dan persiapan, dengan mengorganisasikan kelompok ekstrakurikuler tari di SMP yang akan mengikuti pembelajaran nilai-nilai sosial dan mengukur kondisi awal karakteristik siswa;

(2) pelaksanaan dan observasi, yaitu penerapan model pembelajaran nilai-nilai sosial pada ekstrakurikuler tari (latihan seni tari) untuk membangun kesantunan sosial serta mengukur karakteristik siswa setelah mengikuti pembelajaran nilai-nilai sosial pada ekstrakurikuler tari (latihan seni tari); dan


(38)

sebagai bahan dalam memperbaiki model pembelajaran nilai-nilai sosial pada ekstrakurikuler tari (latihan seni tari) untuk membangun kesantunan sosial.

5. Tahap pelaporan

Pelaporan dimaksudkan sebagai tahap dissemination and implementation meliputi pembuatan laporan akhir memuat model pembelajaran kesantunan sosial lewat pemaknaan simbol gerak tari yang disesuaikan pula dengan konsep pembelajaran PLS. Selanjutnya setelah melalui quality control masuk pada tahap distribusi model ke lembaga-lembaga terkait baik melalui forum-forum ilmiah, media masa maupun melalui pengabdian masyarakat.

C. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian dan pengembangan (Research and Development). Menurut Gay (1990) bahwa: „Penelitian Pengembangan adalah suatu usaha untuk mengembangkan suatu produk yang efektif untuk digunakan sekolah, dan bukan untuk menguji teori‟. Tersedia:

http://navelmangelep.wordpress.com/2012/04/01/penelitian-pengembangan-development-research/.

Sementara Borg dan Gall (1989) mendefinisikan bahwa penelitian dan pengembangan adalah a process used to develop and validate educational

product”. Proses penelitian ini dilakukan secara siklus, diawali dengan mengkaji

topik melalui studi pendahuluan mengenai permasalahan yang ingin dikonstruksi, pengembangan model konseptual, pengembangan produk yang diujikan, melakukan revisi untuk memperbaiki kekurangan yang ditemukan dalam tahap pengujian.

Penelitian dan pengembangan (Research and Development) tujuan utamanya bukanlah untuk menguji teori melainkan mengembangkan produk untuk kepentingan pendidikan dan kegiatan lainnya sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Produk-produk yang dihasilkan bisa berupa perencanaan pembelajaran, proses atau pelaksanaan pembelajaran, evaluasi pembelajaran dan model


(39)

sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Selanjutnya dilakukan uji coba terhadap produk yang dihasilkan kemudian direvisi sehingga diperoleh tingkat keefektifan produk sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

Penelitian dan pengembangan merupakan jembatan untuk menghilangkan kesenjangan yang terjadi antara hasil-hasil penelitian dasar yang bersifat teoretis dengan penelitian terapan yang bersifat praktis. Penelitian pengembangan merupakan landasan untuk mengembangkan produk yang akan dihasilkan, dalam hal ini model pembelajaran kesantunan sosial peserta didik meliputi kejujuran, kedisiplinan, toleransi, keberanian, tanggung jawab dan sikap hormat.

Penelitian pengembangan model pembelajaran nilai-nilai sosial untuk menumbuhkan kesantunan sosial dilakukan melalui dua tahapan yakni kegiatan eksplorasi dan eksperimen. Kegiatan eksplorasi secara kualitatif digunakan untuk mendeskripsikan model pembelajaran nilai-nilai sosial pada ekstrakurikuler tari. Sementara pelaksanaan eksperimen digunakan sebagai tahap implementasi atau uji coba model pembelajaran nilai-nilai sosial untuk membangun kesantunan.

Model pengembangan dapat berupa model prosedural, model konseptual, dan model teoretis. Model prosedural ialah model yang bersifat deskriptif, menunjukkan langkah-langkah yang harus diikuti untuk menghasilkan produk. Model konseptual ialah model yang bersifat analitis, yang menyebutkan komponen-komponen produk, menganalisis komponen secara rinci dan menunjukkan hubungan antar komponen yang akan dikembangkan. Model teoretis ialah model yang menggambarkan kerangka berpikir yang didasarkan pada teori-teori yang relevan dan didukung oleh data empirik.

Dalam pelaksanaan penelitian ini digunakan metode deskriptif, yakni digunakan untuk menghimpun data awal tentang kondisi yang ada, yaitu mengenai pembelajaran nilai-nilai sosial pada kegiatan ekstrakurikuler tari (latihan seni tari). Sekaitan hal tersebut, pada penelitian ini ketiga model di atas akan saling terkait satu sama lain. Model yang dikembangkan dilandasi oleh teori-teori yang relevan, kemudian dianalisis dan selanjutnya dideskripsikan. Sementara untuk menguji coba produk yang dihasilkan dan memperkuat jawaban deskriptif


(40)

perubahan perilaku pada peserta didik dilihat dari aspek kognitif, afektif dan psikomotor yang tercermin dari perilaku kesehariannya.

Untuk melihat perubahan perilaku pada diri seseorang dapat dilakukan melalui pendekatan humanistik, sebagaimana diungkapkan Nasution (2003:12) bahwa dunia, realitas, situasi dan peristiwa yang terjadi sebagai objek suatu studi tentang perilaku manusia dan fenomena sosial, seharusnya dipandang dengan cara yang bermacam-macam dan oleh orang yang berbeda-beda serta dipahami melalui pendekatan humanistik.

Pendidikan humanistik menekankan pentingnya pelestarian eksistensi manusia, dalam arti membantu manusia lebih manusiawi, lebih berbudaya, sebagai manusia yang utuh berkembang. Sudjana (2004), menyatakan bahwa aliran humanistik menekankan pada pentingnya sasaran (objek) kognitif dan afektif pada diri seseorang serta kondisi lingkungannya. Dengan demikian penelitian ini secara umum bertujuan untuk melihat hasil pembelajaran yang telah dilaksanakan, yaitu untuk mengetahui perbedaan perilaku peserta didik sebelum dan sesudah mengikuti pembelajaran nilai-nilai sosial pada kegiatan ekstrakurikuler tari.

D. Definisi Operasional

Untuk menghindari adanya penafsiran yang variatif terhadap berbagai konsep yang terdapat dalam rumusan masalah, maka dianggap perlu adanya penjelasan istilah terhadap konsep-konsep tersebut, yaitu:

1) Model Pembelajaran; merupakan kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan kegiatan. Model merupakan pola (contoh, acuan ragam, dan sebagainya) (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1991:662). Model pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar, yakni terbangunnya perilaku santun para peserta belajar yang tercermin pada perilaku sehari-harinya.


(1)

207

Frahma Sekarningsih, 2013

Pengembangan Model Pembelajaran Nilai-nilai Sosial Pada Kegiatan Ekstrakurikuler Tari Untuk Membangun Kesantunan Sosial (Studi Pada Kegiatan Ekstrakurikuler Tari di SMP Kota Bandung) Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

pembelajaran nilai-nilai sosial pada ekstrakurikuler tari mampu membina karakter manusia yang “merenah” dan “wani masamoan

d. Model empirik yang dikembangkan dapat diimplementasikan untuk membangun kesantunan sosial remaja dan telah teruji kelayakannya melalui penilaian para ahli dan pengujian lapangan. Tari Lenyepan yang dijadikan media dalam pengembangan model ini dinilai efektif dalam membangun kesantunan sosial remaja..

B. Rekomendasi

Temuan penelitian ini mengandung beberapa implikasi bagi lembaga sekolah dan penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan dalam rangka peningkatan kualitas sekolah dan peserta didik dalam pendidikan luar sekolah untuk menumbuhkan kesantunan sosial. Berkaitan dengan kesimpulan penelitian di atas, berikut ini dapat diajukan beberapa rekomendasi kepada pihak-pihak terkait di antaranya:

1. Sanggar-sanggar tari, instruktur/tutor, lembaga penyelenggara kegiatan ekstrakurikuler; Model yang dikembangkan ini dapat menjadi alternatif pembelajaran disamping untuk meningkatkan keterampilan peserta yang kelak dapat bermanfaat dalam menopang hidupnya, juga sebagai alternatif pembelajaran untuk membangun kesantunansosial.

2. Departemen sosial; Model yang dikembangkan dapat diterapkan dengan efektif dan menjadi salah satu alternatif penanaman nilai-nilai kesantunan yang kini cenderung mulai memudar, serta untuk meminimalisir kenakalan remaja melalui pembelajaran tari.

3. Model pembelajaran yang dikembangkan dalam penelitian ini dengan keterbatasan studi pada penelitian perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai penanaman nilai-nilai kesantunan melalui pemaknaan gerak dan pembiasaan berperilaku santun. Perlu dilakukan lebih lanjut kajian teoretis yang mendalam mengenai simbol gerak dan maknanya untuk membangun kesantunan sosial peserta didik. Sebagai konsep baru belum banyak dijumpai kajian-kajian tentang perilaku masyarakat melalui analisis gerak tari


(2)

208

4. Model pembelajaran yang dikembangkan baru sampai tahap apresiasi dan sebagian kecil kompetensi kreasi sudah dilaksanakan. Oleh karena itu perlu dikembangkan model yang bisa mengakomodasi kompetensi kreasi, sehingga mampu membina karakter manusia yang “merenah” dan “wani makalangan”. Apabila kedua kompetensi ini dilakukan secara sistemik dan

berkesinambungan kemungkinan besar akan bisa membina manusia “tandang, teuneung ludeung


(3)

Frahma Sekarningsih, 2013

Pengembangan Model Pembelajaran Nilai-nilai Sosial Pada Kegiatan Ekstrakurikuler Tari Untuk Membangun Kesantunan Sosial (Studi Pada Kegiatan Ekstrakurikuler Tari di SMP Kota Bandung)

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu DAFTAR PUSTAKA

Abdulhak, Ishak.(2000). Metodologi Pembelajaran Orang Dewasa. Bandung: CV Andira --- (2000). Strategi: Membangun Motivasi Dalam Pembelajaran Orang

Dewasa. Bandung: CV Andira

Depdiknas. (2003). Undang-Undang Tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU RI No.2 Tahun 2003) Dan Peraturan Pelaksanaannya. Jakarta: Sinar Grafika.

---, (2006). Undang-undang Guru dan Dosen & Undang-undang SISDIKNAS. Jakarta: Asa Mandiri

Ariefyuri (2009) Pentingnya Pendidikan Ekstrakulikuler. [Online]. Tersedia di : http://ariefyuri.blogspot.com /2009/03/04/ Pentingnya Pendidikan Ekstrakulikuler [akses 7 September 2011

Atmarno Tri Widati Setiya. (2007). Peran Keluarga Dalam Membentuk Kepribadian Anak Pada Abad 21. Dinas Pendidikan Kabupaten Sukoharjo

Borg and Gall. (1989). Education Research An Introduction. New York & London: Longman Inc.

Bock, John C and Papagiannis, George J. (1983). Nonformal Education And National Development. New York: Praeger

Bogdan. Robert C. Biklen.(1992) .Riset Kualitatif Untuk Pendidikan. Jakarta: Depdikbud. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan Pusat Fasilitas Bersama antar Universitas/IUC (Bank Dunia XVII)

Bolder. (2004ED-2000/WS/27). Character Matters: Central Office Administrators' Perceptions of Character Education Mike Bolder B.A., St. Francis Xavier University, 1992

Brief, Policy. (2011). Perspektif Pendidikan Karakter Untuk Membangun Bangsa Edisi Empat. Jakarta: Dirjen Pendidikan Dasar

BULLETIN Literacy Watch BULLETIN January 2001-No. 17 Innovation in Literacy and Non Formal Education

Konperensi Dakar di Sinegal (2010) Anthropological Notebooks 16 (3): 9–22. ISSN 1408-032X © Slovene Anthropological Society 201010 Anthropological Notebooks, XVI/3, 2010

Dakar. (2000). The World Education Forum (26-28 April 2000, Dakar) adopted the Dakar Framework for Action, Education for All, ©UNESCO 2000 Printed in France

Depdiknas. (2002). Pendekatan Kontekstual. Jakarta: Depdiknas

________. (2002). Pembelajaran dan Pengajaran Kontekstual. Jakarta : Depdiknas

Delors, Jacques. Chairman. (2000). Learning The Treasure Within. Report to Unesco of The International Commission on Educational for the twenty first Century

E l l i o t t , D a n i e l C . ( 2 0 0 4 ) . Moral values for public education. Academic Exchange Quarterly,8(2), 2 7 4 - 2 7 8 .

Effendy, Chairil. (2007) Tentang Pendidikan. Tersedia http://bloomasak blogspot.com Elmubarok, Zaim. (2008). Membumikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta

Hauser, Arnold. (1979). The Sociology of Art. Chicago and London: The University of Chicago Press

Hill, Brian V. (1996). “Citizenships and the Teaching of Values”. Unicorn: Journal of the Australian College of Education, 22, 1, Mar. 1996, 35-43

Herdian (2010) Teori-teori Belajar [Online]. Tersedia di: http://herdian.blogspot.com /2010/05/27/ Teori-teori Belajar [akses 7 September 2012]

Ibrahim, M. & Nur, M. (2000). Pembelajaran Berdasarkan Masalah: Surabaya : Unesa-University Press


(4)

Ibrahim. (1988). Inovasi Pendidikan. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Dirjen DIKTI

J. Drost, SJ. 1999. Proses Pembelajaran Sebagai Proses Pendidikan. Jakarta: Grasindo Levine, Robert A. (1976). Culture And Personality. Chicago: Aldine Publishing Company Lickona, Thomas. (1992). Educating For Character. New York: Bantam Books

Lovett, Tom. (1988). Radical Approaches to Adult Education: A Reader. London and New York: Routledge

Lubis, Nina H. (1998). Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942. Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan Sunda

Lenny Nuraeni. (2010). Identifikasi Kebutuhan Belajar. Makalah. Bandung

Mc. Millan. James, Schumacher. Sally. (2001). Research in Education A Conceptual Introduction. New York & London: Longman

Meyer. (2003). The Accounting Review Vol. 78, No. 3 2003 pp. 725–758 Subjectivity and the Weighting of Performance Measures: Evidence from a Balanced Scorecard Marshall W. Meyer University of Pennsylvania

McDaniel, Elizabeth A. (1987). Faculty Collaboration for Better Teaching: Adult

Learning Principles Applied to Teaching Improvement. Digital Commons@University of Nebraska – Lincoln

Marinis, Marco. (1993). The Semiotics of Performance, Terj. Aine O/Healy Bloomington dan Indianapolis: Indiana University Press

Masunah, Juju, Narawati, Tati. (2003) Seni dan Pendidikan Seni. Bandung: P4ST UPI

Masnur Muslich. (2011). Pendidikan Karakter, Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional. Jakarta: Bumi Aksara.

Maulana, Ana. (2010). Konsep Pendidikan Umum di Indonesia. http://isbdku.blogspot.com/ (diakses tanggal 31/03/2010)

Morris, Desmond. (1977). Manwaching: A Field Guide to Human Behavior. New York: Harry N. Abrams, Inc.

Merriam, Sharan B and Cunningham, Phillis M.(1989). Handbook of Adult and Continuing Education. San Francisco: Jossey-Bass Publishers.

Matthews, G., (2002). Emotional Intelligence: Science and Myth. Cambridge, MA: MIT Press

Nasution. (2003). Metode Research. Bandung: Jemmars

Noeng Muhadjir, (2003). Metodologi Penelitian Kebijakan dan Evaluation Research: Integrasi Penelitian, Kebijakan dan Perencanaan. Yogyakarta: Rake Sarasin

Narawati, Tati. (2005). Tari Sunda, Dulu, Kini dan Esok. Bandung: P4ST UPI ……….. .(2008). Wajah Tari Sunda Dari Masa Ke Masa. Bandung: P4SI UPI

---. (2010) Makalah: Seni Wisata: Kemasan Industri Kreatif di Jawa Barat. Bandung: Program Studi Pendidikan Seni Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia

---. (2011) Makalah: Tranformasi Nilai Budaya Sunda dalam Tari Keurseus: Dulu, Kini dan Nanti. Bandung: KIBS

Nurul Zuriah. (2008). Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan. Jakarta: Bumi Aksara

Nur Shobah (2008) Aplikasi Andragogi dalam Pembelajaran Pendidikan Non Formal[Online]. Tersediadi:http://nurshobahpendidikanluarsekolah.blogspot.com /2008/05/22/ Aplikasi Andragogi dalam Pembelajaran Pendidikan Non Formal [akses 7 September 2012]

Knowles, Malcolm. (1986). The Adult Learner: A Neglected Species. Houston: Gulf Publishing Company


(5)

Frahma Sekarningsih, 2013

Pengembangan Model Pembelajaran Nilai-nilai Sosial Pada Kegiatan Ekstrakurikuler Tari Untuk Membangun Kesantunan Sosial (Studi Pada Kegiatan Ekstrakurikuler Tari di SMP Kota Bandung)

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

Pendidikan Moral. http://www.anneahira.com/artikel-pendidikan/pendidikan-moral.htm, diakses tanggal 23 Desember 2009.

Phenix, P. (1986). Realms of Meaning. (8th Edition). Ventura, California. Ventura County Superintendent of Schools Office.

Province Nova Scotia, (2004). http://www.gov.ns.ca/health/mhs/services_adults.asp Ramlan, Lalan. (2003). Tari Keurseus. Bandung: STSI PRESS

Rae, Leslie. (2005). Using Activities in Training and Development. Jakarta: PT Gramedia ... (2005). Effective Planning. Jakarta: PT Gramedia

Rohmat Mulyana. (2004). Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung: Alfabeta

Rosenthal, Ted L , Zimmerman, Barry J. (1978). Social Learning and Cognition. New York San Francisco London: Academic Press

Sinyalemen valueoptions.com (2012)

Sihombing. (1999). Pendidikan Luar Sekolah, Kini dan Masa Depan. Jakarta: PD Mahkota Sujana, anis. (1993). Tayuban di Kalangan Bupati dan Priyayi Di Priangan Pada abad Ke 19

Dan Ke 20 (Tesis). Yogyakarta: Fakultas Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Sochib, Moch. (2000). Pola Asuh Orang Tua. Jakarta: PT Rineka Cipta

Syah, Muhibbin. (2002). Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Syarif & Noor. (2001) Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Remaja Terlibat Dalam Masalah Sosial Di Sekolah Tunas Bakti, Sungai Lereh, Melaka, Zainudin Sharif& Mohamad Roslan Noor Journal of Education Psychology & Counseling, volume 1 Mac 2011, Pages 115-140 / ISSN: 2231-735X

Sudjana, D. (1983). Pendidikan Nonformal (Wawasa-Sejarah-Azas) Bandung: THEME 76 ………….. (2004). Pendidikan Nonformal (Wawasan, Sejarah Perkembangan, Filsafat &

Teori Pendukung, serta Asas).Bandung: Falah Production

---. (2005). Metode & Teknik Pembelajaran Partisipatif. Bandung: Falah Production ---. (2005).Strategi Pembelajaran Pendidikan Luar Sekolah. Bandung: Falah

Production.

________, (2005). Metode dan Teknik Pembelajaran partisipatif. Bandung : Falah Production

_________, (2006). Evaluasi Program Pendidikan Luar Sekolah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Smith, Robert M. (1970). Handbook of Adult Education. London: The Macmillan Company Soehardjo. (2005). Pendidikan Seni Dari Konsep sampai Program. Malang: Jurusan Seni dan

Desain FS-UM

Sagala, Syaiful. (2005) Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta Sauri, Sofyan. (2006). Pendidikan Berbahasa Santun. Bandung: PT Genesindo

Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta Sa’ud, Syaefudin Udin. (2009). Inovasi Pendidikan. Bandung: Alfabeta

Stithem, Joshua E. (2010). Between “Back to Basics” and “Back to Nature":

Exploring the Relationship Between California’s Content Standards and Non-Formal Outdoor Environmental Education. MA Program: Education Sonoma State University Tisnamansyah, S. (2004). Metode Aplikasi Perubahan Sosial, Handout Perkuliahan.

Bandung: Program PLS UPI

Universitas Pendidikan Indonesia.(2008). Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Yusuf Adie. (2008). teknologikinerja.wordpress.com/2008/.../organisasi belajar/ Feed for this Entry Trackback Address.

...(2008). One Response to Strategi Pengorganisasian Pembelajaran


(6)

Winter. (2000). Globalization and Postmodern Values The Center for Strategic and International Studies and the Massachusetts Institute of Technology The Washington Quarterly • 23:1 pp. 215–228. THE WASHINGTON QUARTERLY WINTER 2000 http://kompas.com/kompas-cetak/0504/02/daerah/1658181.htm

megapolitan.kompas.com/.../2012

http://massofa.wordpress.com/2008/10/03/pendidikan-dan-proses-pembudayaan/ http://lefthandsymphony.wordpress.com/2010/02/20/perkembangan-hubungan-sosial-peserta-didik/#more-675

http://ariefyuri.blogspot.com/2009/03/pentingnya-kegiatan-ekstrakurikuler.html http://almasdi.unri.ac.id/index.php?option=com

http://ptkmatematikaq.blogspot.com/

http://edukasi.kompasiana.com/2011/10/24/teori-belajar-humanisme/ http://edukasi.kompasiana.com/2011/10/14

http://eka-karatika.blogspot.com/2011/06/teori-kesantunan-menurut-brown-dan.html http://id.wikipedia.org/wiki/Nilai_sosial

http://id.wikipedia.org/wiki/Nilai_sosial www.tempo.co/read/news/2011/03