PENGARUH DOSIS INJEKSI ANTEMORTEM EKSTRAK PAPAIN KASAR DAN WAKTU PELAYUAN TERHADAP KUALITAS FISIK DAN ORGANOLEPTIK DAGING AYAM PETELUR AFKIR

(1)

commit to user

i

PENGARUH DOSIS INJEKSI ANTEMORTEM EKSTRAK PAPAIN

KASAR DAN WAKTU PELAYUAN TERHADAP KUALITAS FISIK DAN ORGANOLEPTIK DAGING

AYAM PETELUR AFKIR

Skripsi

Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana Peternakan

di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret

Jurusan/Program Studi Peternakan

Oleh: Ika Mardiyani

H 0506056

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2011


(2)

commit to user


(3)

commit to user

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan karunia dan hidayah-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Pengaruh Dosis Injeksi Antemortem Ekstrak Papain Kasar Dan Waktu Pelayuan Terhadap Kualitas Fisik Dan Organoleptik Daging Ayam Petelur Afkir sebagai salah satu persyaratan guna memperoleh derajad Sarjana Peternakan di Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Selama pelaksanaan penelitian hingga selesainya skripsi ini Penulis telah mendapat bimbingan, pengarahan, dan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dekan Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

2. Ketua Jurusan/Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

3. Bapak Drh. Sunarto, MSi. selaku Pembimbing Akadenik.

4. Bapak Ir. Pudjomartatmo, MP. selaku Dosen Pembimbing Utama dan Bapak Adi Magna P. N., S.Pt, MP. selaku Dosen Pembimbing Pendamping yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengarahan.

5. Bapak Sigit Prastowo, S.Pt, MSi. selaku Dosen Penguji.

6. Bapak Sulistyo S. Si. selaku petugas Lab. Program Studi Peternakan. 7. Bapak, ibu dan adik penulis tercinta atas kasih sayang, bantuan dan doanya. 8. Semua pihak yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu atas bantuannya

selama ini.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, oleh sebab itu Penulis mengharapkan adanya kritik dan saran demi sempurnanya skripsi ini dan akhirnya semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi kita semua.

Surakarta, 20 April 2011


(4)

commit to user

iv

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GRAFIK ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

RINGKASAN ... x

SUMMARY ... xii

I. PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 2

C. Tujuan Penelitian ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA... 4

A. Ayam Petelur ... 4

B. Daging Ayam... 5

C. Injeksi Antemortem ... 6

D. Enzim Papain ... 8

E. Pelayuan Daging ... 9

F. Kualitas Daging ... 10

1. pH Daging... 11

2. Daya Ikat Air ... 12

3. Susut Masak ... 13

4. Keempukan ... 14

HIPOTESIS ... 16

III. METODE PENELITIAN ... 17


(5)

commit to user

v

B. Bahan dan Alat Penelitian ... 17

C. Persiapan Penelitian ... 18

D. Tata Laksana Penelitian ... 20

E. Perencanaan Penelitian dan Analisis Data ... 22

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23

A. Aktivitas Ektrak Papain Kasar ... 23

B. pH Daging ... 24

C. Daya Ikat Air ... 27

D. Susut Masak ... 31

E. Kekuatan Tarik Daging ... 35

F. Keempukan Secara Organoleptik ... 38

G. Tekstur Secara Organoleptik ... 42

H. Jus Daging Secara Organoleptik ... 45

I. Kesukaan Secara Hedonik ... 48

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 52

A. Kesimpulan... 52

B. Saran ... 52

DAFTAR PUSTAKA ... 53


(6)

commit to user

vi

DAFTAR TABEL

Tabel

1. Hasil perhitungan dosis penyuntikan ekstrak papain kasar pada ternak ayam dengan berat yang berbeda pada larutan yang dibuat 1 ml mengandung 10 mg ... 19 2. Nilai pH daging ayam petelur afkir dengan injeksi ekstrak papain

kasar pada dosis 0, 1, 2, 3 mg/bb dan pelayuan pada 0, 4 dan 8 jam... 24 3. Nilai daya ikat air daging ayam petelur afkir dengan injeksi ekstrak

papain kasar pada dosis 0, 1, 2, 3 mg/bb dan pelayuan pada 0, 4 dan 8 jam (dalam %). ... 27 4. Nilai susut masak daging ayam petelur afkir dengan injeksi ekstrak

papain kasar pada dosis 0, 1, 2, 3 mg/bb dan pelayuan pada 0, 4 dan 8 jam (dalam %). ... 30 5. Nilai kekuatan tarik daging ayam petelur afkir dengan injeksi ekstrak

papain kasar pada dosis 0, 1, 2, 3 mg/bb dan pelayuan pada 0, 4 dan

8 jam……….. 34

6. Tingkat keempukan secara organoleptik daging ayam petelur afkir dengan injeksi ekstrak papain kasar pada dosis 0, 1, 2, 3 mg/bb dan pelayuan pada 0, 4 dan 8 jam. ... 38 7. Tingkat tekstur secara organoleptik daging ayam petelur afkir dengan

injeksi ekstrak papain kasar pada dosis 0, 1, 2, 3 mg/bb dan pelayuan pada 0, 4 dan 8 jam ... 42 8. Tingkat jus secara organoleptik daging ayam petelur afkir dengan

injeksi ekstrak papain kasar pada dosis 0, 1, 2, 3 mg/bb dan pelayuan pada 0, 4 dan 8 jam ... 44 9. Tingkat kesukaan secara hedonik daging ayam petelur afkir dengan

injeksi ekstrak papain kasar pada dosis 0, 1, 2, 3 mg/bb dan pelayuan pada 0, 4 dan 8 jam. ... 47


(7)

commit to user

vii

DAFTAR GRAFIK

Grafik

1. Grafik B.1. Rerata nilai pH daging ayam petelur afkir dengan injeksi ekstrak papain kasar pada dosis 0, 1, 2, 3 mg/bb………… 24 2. Grafik B.2. Rerata nilai pH daging ayam petelur afkir dengan

waktu pelayuan 0, 4, 8 jam. ………. 24 3. Grafik C.1. Rerata nilai daya ikat air daging ayam petelur afkir

dengan injeksi ekstrak papain kasar pada dosis 0, 1, 2, 3 mg/bb. .. 28 4. Grafik C.2. Rerata nilai daya ikat air daging ayam petelur afkir

dengan pelayuan pada 0, 4 dan 8 jam. ……… 29 5. Grafik C.3. Nilai interaksi daya ikat air daging ayam petelur afkir

dengan kombinasi perlakuan injeksi ekstrak papain kasar pada dosis 0, 1, 2, 3 mg/bb dan pelayuan pada 0, 4 dan 8 jam. ……….. 30 6. Grafik D.1. Rerata nilai susut masak daging ayam petelur afkir

dengan injeksi ekstrak papain kasar pada dosis 0, 1, 2, 3 mg/bb. .. 31 7. Grafik D.2. Rerata nilai susut masak daging ayam petelur afkir

dengan waktu pelayuan 0, 4, 8 jam. ……… 33 8. Grafik D.3. Nilai interaksi susut masak daging ayam petelur afkir

dengan kombinasi perlakuan injeksi ekstrak papain kasar pada dosis 0, 1, 2, 3 mg/bb dan pelayuan pada 0, 4 dan 8 jam. ……….. 34 9. Grafik E.1. Rerata nilai daya tarik daging ayam petelur afkir

dengan injeksi ekstrak papain kasar pada dosis 0, 1, 2, 3 mg/bb. .. 36 10. Grafik E.2. Rerata nilai daya tarik daging daging ayam petelur

afkir dengan waktu pelayuan 0, 4, 8 jam. ……… 36 11. Grafik F.1. Rerata tingkat keempukan daging ayam petelur afkir

dengan injeksi ekstrak papain kasar pada dosis 0, 1, 2, 3 mg/bb. ………... 40 12. Grafik F.2. Rerata tingkat keempukan daging daging ayam petelur

afkir dengan waktu pelayuan 0, 4, 8 jam. ……… 41 13. Grafik G.1. Rerata tingkat tekstur daging ayam petelur afkir

dengan injeksi ekstrak papain kasar pada dosis 0, 1, 2, 3 mg/bb. .. 44 14. Grafik G.2. Rerata tingkat tekstur daging daging ayam petelur

afkir dengan waktu pelayuan 0, 4, 8 jam. ……… 44 15. Grafik H.1. Rerata tingkat jus daging ayam petelur afkir dengan

injeksi ekstrak papain kasar pada dosis 0, 1, 2, 3 mg/bb. ……….. 46 16. Grafik H.2. Rerata tingkat jus daging daging ayam petelur afkir

dengan waktu pelayuan 0, 4, 8 jam. ……… 46 17. Grafik I.1. Rerata tingkat kesukaan daging ayam petelur afkir

dengan injeksi ekstrak papain kasar pada dosis 0, 1, 2, 3 mg/bb. .. 50 18. Grafik I.2. Rerata tingkat kesukaan daging daging ayam petelur

afkir dengan waktu pelayuan 0, 4, 8 jam. ……… 50 Halaman


(8)

commit to user

viii

DAFTAR GAMBAR

Gambar

1. Alur sirkulasi darah dalam pembuluh darah. ...

Halaman 7


(9)

commit to user

ix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1. Tabel dosis injeksi ekstrak papain kasar pada ayam petelur afkir ... 57

2. Tabel analisis variansi uji pH daging ayam petelur afkir dengan injeksi ekstrak papain kasar pada dosis 0, 1, 2, 3 mg/bb dan pelayuan pada 0, 4 dan 8 jam. ... 59

3. Tabel analisis variansi uji DIA daging ayam petelur afkir dengan injeksi ekstrak papain kasar pada dosis 0, 1, 2, 3 mg/bb dan pelayuan pada 0, 4 dan 8 jam. ... 62

4. Tabel analisis variansi uji susut masak daging ayam petelur afkir dengan injeksi ekstrak papain kasar pada dosis 0, 1, 2, 3 mg/bb dan pelayuan pada 0, 4 dan 8 jam. ... 66

5. Tabel analisis variansi uji kekuatan tarik daging ayam petelur afkir dengan injeksi ekstrak papain kasar pada dosis 0, 1, 2, 3 mg/bb dan pelayuan pada 0, 4 dan 8 jam. ... 70

6. Tabel analisis variansi uji keempukan secara organoleptik daging ayam petelur afkir dengan injeksi ekstrak papain kasar pada dosis 0, 1, 2, 3 mg/bb dan pelayuan pada 0, 4 dan 8 jam. ... 73

7. Tabel analisis variansi uji tekstur secara organoleptik daging ayam petelur afkir dengan injeksi ekstrak papain kasar pada dosis 0, 1, 2, 3 mg/bb dan pelayuan pada 0, 4 dan 8 jam... 76

8. Tabel analisis variansi uji jus secara organoleptik daging ayam petelur afkir dengan injeksi ekstrak papain kasar pada dosis 0, 1, 2, 3 mg/bb dan pelayuan pada 0, 4 dan 8 jam. ... 78

9. Tabel analisis variansi uji kesukaan secara hedonik daging ayam petelur afkir dengan injeksi ekstrak papain kasar pada dosis 0, 1, 2, 3 mg/bb dan pelayuan pada 0, 4 dan 8 jam... 80

10. Tabel hasil pengujian aktivitas ekstrak papain kasar ... 82

11. Skema alur pelatihan panelis ... 83

12. Tabel daftar panelis dan nilai skoring uji panelis ... 84 Halaman


(10)

commit to user I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pertambahan jumlah penduduk dan kesadaran kualitas pangan menjadikan permintaan daging meningkat. Kenyataan tersebut berdasarkan Indonesia masih sebagai negara impotir daging ayam, dan bahkan dengan kecenderungan yang meningkat (Kariyasa, 2003). Sehubungan dengan hal tersebut, daging mempunyai peran yang penting sebagai pangan dengan nutrisi tinggi yang bersifat digestible. Menurut Anonim (2000) peningkatan ekonomi masyarakat yang ditunjukkan dengan semakin naiknya pendapatan perkapita dari Rp 21,7 juta pada tahun 2008 menjadi Rp 24,3 juta pada tahun 2009 dan seiring dengan perkembangan konsep kesehatan menjadikan daging ayam sebagai pangan sumber protein yang banyak diminati selain karena lebih ekonomis, daging putih juga lebih sehat dikonsumsi masyarakat. Di samping itu, harga yang lebih murah memungkinkan daging ayam dapat mensubtitusi kebutuhan daging yang berasal dari ternak besar maupun ternak kecil (Yunus et al., 2007).

Perkembangan populasi ayam petelur afkir yang semakin meningkat tiap tahunnya, dengan peningkatan 12,6 % merupakan penambahan populasi terbesar ke 2 dari sektor peternakan unggas (DBPS, 2007). Melalui peluang tersebut pemanfaatan daging ayam petelur afkir sebagai ayam potong oleh masyarakat dapat menjadi sumber panyediaan daging alternatif selain dari ayam broiler yang dapat diharapkan kontinuitasnya. Menurut Soeparno (2005) dan Tarwotjo (1998) daging ternak tua mempunyai sifat yang liat menyebabkan nilai penjualan produk daging ayam petelur afkir ini rendah dan daging ayam petelur afkir jarang dikonsumsi.

Ternak tua memiliki daging yang liat karena tingginya jaringan ikat daging sedangkan keempukan daging merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas daging (Soeparno, 2005). Berbagai metode dilakukan oleh industri daging untuk meningkatkan keempukan daging, diantaranya


(11)

commit to user

adalah pelayuan. Teknik pelayuan dingin dalam industri pengolahan daging dipergunakan sebagai metode untuk meningkatkan kualitas dan palatabilitas daging, namun untuk proses sampai didapatkan daging yang empuk dibutuhkan waktu pelayuan yang lama sehingga kurang efisien. Menurut Santos et al. (2004) daging ayam membutuhkan waktu pelayuan selama 8 jam sampai didapatkan keempukan dan daya putus yang paling tinggi.

Solusi untuk mengempukan daging sebelum dilakukan pelayuan yaitu pemberian injeksi antemortem ekstrak papain kasar. Penambahan enzim protease eksogenous diharapkan dapat meningkatkan keempukan daging sehingga waktu pelayuan daging lebih singkat. Enzim yang terkandung dalam getah pepaya adalah enzim papain dan kimopapain merupakan enzim protease yang mampu menghidrolisis protein daging sehingga daging menjadi lebih empuk (Winarno, 1986). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh dosis injeksi ekstrak papain kasar dan waktu pelayuan terhadap kualitas daging ayam petelur afkir.

B. Rumusan Masalah

Sifat daging ternak tua yang liat menjadikan daging ayam petelur afkir kurang disukai, sehingga perlu diusahakan adanya perlakuan untuk meningkatkan keempukan daging. Proses pelayuan pada karkas menyempurnakan proses rigormortis dan mengoptimalkan kinerja enzim proteolisis. Selama aging akan terjadi perbaikan keempukan daging yang secara fisik diakibatkan oleh terjadinya fragmentasi miofibrilar akibat kerja enzim pencerna protein, namun untuk proses sampai didapatkan daging yang empuk dibutuhkan waktu pelayuan yang lama sehingga kurang efisien.

Usaha pengempukan daging dengan papain merupakan salah satu cara yang lebih efisien digunakan karena enzim bekerja dengan spektrum yang lebih luas. Proses pengempukan terjadi karena proteolisis pada berbagai fraksi protein daging oleh enzim. Proteolisis miofibril menghasilkan fragmen protein dengan rantai peptida lebih pendek. Semakin banyak terjadi proteolisis pada miofibril maka daging akan semakin empuk. Perlakuan injeksi ekstrak papain


(12)

commit to user

kasar pada dosis yang berbeda dan mengkombinasikannya dengan metode pelayuan untuk mempelajari pengaruhnya terhadap kualitas daging menjadi alasan penelitian ini dilakukan.

C. Tujuan

Tujuan dalam penelitian ini adalah

1. Mengetahui pengaruh dosis injeksi antemortem ekstrak papain kasar terhadap kualitas daging ayam petelur afkir.

2. Mengetahui pengaruh waktu pelayuan terhadap kualitas daging ayam petelur afkir.

3. Mengetahui pengaruh interaksi antara dosis injeksi antemortem ekstrak papain kasar dan waktu pelayuan terhadap kualitas daging ayam petelur afkir.


(13)

commit to user II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Ayam petelur

Berdasarkan sistematikanya ternak ayam petelur afkir digolongkan dalam phylum chordata. Karena ayam merupakan hewan bertulang belakang maka termasuk dalam subphylum vertebrata. Ayam petelur afkir termasuk unggas sehingga masuk dalam classis aves dan subclassis neornithes. Ayam petelur afkir masuk dalam ordo galiformes, genus gallus dan species gallus domestikus (Suprijatna, 2005).

Ayam cull adalah ayam yang sebenarnya bukan tipe pedaging, tetapi dijadikan sebagai ayam penghasil daging dengan alasan tertentu. Umumnya ayam cull berasal dari ayam petelur yang diafkir. Biasanya pengafkiran ayam petelur dilakukan karena ayam yang bersangkutan terdapat cacat atau tidak berfungsi normal, misalnya produktivitasnya turun. Mutu daging ayam cull umumnya lebih rendah dari ayam ras karena sudah tua dan ukurannya tidak seragam serta jumlahnya sedikit (Muchtadi, 1992).

Ayam petelur adalah ayam-ayam betina dewasa yang dipelihara khusus untuk diambil telurnya. Asal mula unggas ayam adalah berasal dari ayam hutan yang ditangkap dan dipelihara serta dapat bertelur cukup banyak. Tahun demi tahun ayam hutan dari wilayah dunia diseleksi secara ketat oleh para pakar (Aziz, 2007).

Ayam petelur yang dipelihara di Indonesia pada umumnya terdapat dua jenis tipe yaitu petelur putih atau biasa dikenal sebagai tipe ringan, yang di khususkan untuk bertelur dengan ciri-ciri tubuh ramping, warna bulu putih, dan dengan kemampuan produksi 250 butir telur setiap tahun produksi. Jenis kedua adalah ayam petelur coklat atau yang biasa dikenal sebagai ayam dwiguna, pada dasarnya tipe petelur ini tidak hanya diharapkan telurnya akan tetapi dagingnya pun juga (Rasyaf, 1997).


(14)

commit to user B. Daging Ayam

Daging secara umum didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan produk hasil proses jaringan yang dapat dikonsumsi namun tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang mengkonsumsinya. Otot hewan berubah menjadi daging setelah pemotongan atau penyembelihan karena fungsi fisiologisnya telah berhenti. Daging unggas bisa berasal dari (1) cock, ayam jantan dewasa, (2) hen, ayam atau kalkun betina dewasa, (3) capon atau ayam kastrasi, anak ayam, kalkun, itik dan angsa, masing-masing disebut chick, poult, duckling dan goshing (Soeparno, 2005).

Otot merah menurut Lawrie (1996) mempunyai serabut otot berwarna merah lebih banyak daripada serabut otot putih dan mengandung lebih banyak mioglobin, lemak, Fe, Na, Cu dan Zn. Sementara otot putih, lebih banyak mengandung protein terlarut, jaringan otot dan glikogen tinggi serta lebih banyak mengandung serabut otot putih, pada daging ayam yang termasuk otot

putih adalah pada daging dada dan otot merah adalah daging paha. Soeparno (2005) menyatakan bahwa otot Pectoralis adalah otot unggas yang

terbesar dan terdapat pada bagian superfisialis atau permukaan dada. Berat otot pectoralis kira-kira adalah 8% dari berat tubuh sehingga untuk pengujian kualitas daging sering digunakan otot dada.

Serat otot tersusun atas sejumlah miofibril pada suatu sistem koloid yang disebut sarkoplasma. Miofibril terdapat pada jaringan otot yang bentuknya memanjang yang bergaris tengah 1 – 2 µm, kira-kira 1000 – 2000 miofibril. Miofibril ini diikat sehingga memberi bentuk yang melintang dan berlapis-lapis (Forrest et al., 1975). Miofibril terdiri dari miofilamen yang membentuk suatu sistem yang saling menutupi dalam garis sejajar dan lurus. Unit dasar ini disebut sarkomer yang terdiri dari protein aktin dan miosin, jadi struktur otot adalah jaringan halus yang sangat kompleks yang mengandung protein aktin dan miosin dalam cairan protein sarkoplasma yang kompleks. Sarkoplasma tersebut mengandung pigmen otot dan bermacam-macam bahan yang kompleks yang dibutuhkan oleh otot dalam melakukan fungsinya (Buckle et al., 1985).


(15)

commit to user

Protein dalam otot diklasifikasikan dalam empat kelompok, kelompok yang paling besar sebagai penyusun otot adalah protein miofibrillar. Protein miofibrillar merupakan 60% penyusun dalam protein daging, 29% adalah protein sarkoplasmik, 6% protein stroma, dan 5% adalah granula protein. Secara kuantitatif, protein yang paling penting adalah miosin, yaitu 43% dari protein miofibril, 26% protein otot, 23% dari semua komponen bernitrogen dan 5% dari seluruh berat otot segar (Suhartatik, 2002).

C. Injeksi Antemortem

Menurut Kang et al, (1974) penyuntikan enzim secara antemortem adalah teknik penyuntikan larutan enzim proteolitik ke dalam aliran darah hewan hidup dan menunggunya hingga beberapa waktu agar larutan dapat terdistribusi keseluruh tubuh hewan untuk kemudian dilakukan penyembelihan. Dosis penyuntikan yang baik adalah 0,1 sampai 150 mg enzim per berat badan hewan hidup dan 0,5 sampai 60 mg per berat badan hewan hidup merupakan cakupan yang umum digunakan untuk kemudian hewan disembelih setelah 10-30 menit dari waktu injeksi.

Penyuntikan larutan enzim papain kedalam ternak hidup dikenal sebagai pengempukan daging antemortem atau teknik proten process dan dagingnya disebut daging proten. Penyuntikan dilakukan di pembuluh vena pada sayap unggas. Penyuntikan ini dilakukan beberapa waktu sebelum ternak dipotong. Waktu penyuntikan ini berhubungan dengan sirkulasi darah secara lengkap (dari jantung keseluruh tubuh kemudian kembali ke jantung lagi) pada hewan. Sirkulasi darah secara lengkap untuk unggas sekitar 2 detik (Winarno, 1986).

Menurut Isnaeni (2006) sistem sirkulasi darah pada unggas termasuk dalam sirkulasi darah tertutup, sehingga dilengkapi dengan pembuluh darah perifer yang merupakan pembuluh darah terkecil namun dengan luas penampang terbesar. Keuntungan dari hewan yang memiliki sistem sirkulasi ini adalah darah dapat mengalir pada jaringan untuk selanjutnya mengalir bebas diantara sel jaringan secara cepat. Hal ini didorong oleh kekuatan yang


(16)

commit to user

berasal dari kerja jantung, sehingga darah beredar dalam sistem pembuluh darah yang kontinu dan tetap mempertahankan tekanan dalam darah tetap tinggi.

Gambar 1. Alur sirkulasi darah dalam pembuluh darah (Ganong, 1995). Sistem sirkulasi darah tertutup pada unggas dengan adanya teknik injeksi antemortem ekstrak papain kasar pada vena sayap dapat digambarkan alur masukknya enzim kedalam pembuluh darah adalah sebagai berikut. Enzim masuk dalam vena untuk kemudian masuk kedalam saluran venacava dan bersama darah akan dibawa menuju jantung. Setelah masuk kedalam jantung maka oleh adanya kontraksi dari jantung maka darah keluar melalui Aorta dan selanjutnya bersama dengan enzim didalamnya mengalir menuju Arteri. Karena adanya kontraksi terus menerus dari jantung maka akan mendorong darah mengalir ke pembuluh arteriol dan masuk ke percabang ateriol yaitu metarteriol yang kemudian bercabang lagi menjadi kapiler. Dari kapiler maka darah bersama enzim akan bebas masuk kedalam sel jaringan. Setelah dari jaringan darah bersama hasil metabolisme sel akan dibawa masuk kedalam venula selanjutnya masuk kedalam vena dan akhirnya ke dalam venacava dan dibawa kejantung. Sirkulasi ini terus menerus terjadi selama jantung masih berkontraksi sehingga enzim akan terdistribusi merata keseluruh tubuh ternak (Ganong, 1995).


(17)

commit to user D. Enzim papain

Secara umum yang dimaksud dengan papain adalah salah satu enzim

proteolitik yang dihasilkan dari isolasi penyadapan getah pepaya (Carica papaya, L.) Papain memiliki EC 3.4.4.10 yang tersusun atas 212

residu asam amino dengan berat molekul 21 000 dalton. Enzim papain termasuk golongan enzim protease sulfhidril yaitu enzim yang mempunyai residu sulfhidril pada lokasi aktifnya (Dongoran, 2004). Menurut Nurhidayati (2003) enzim papain memutus ikatan peptida pada residu asparagin-glutamin, glutamat-alanin, leusin-valin dan penilalanintirosin.

Papain kasar adalah getah pepaya yang telah dikeringkan, dihaluskan berbentuk tepung. Bahan dari tepung getah pepaya kering ini sesungguhnya mengandung empat macam enzim proteolitik yakni papain, khimopapain A, khimopapain B, dan papain peptidase A. Keempat jenis enzim proteolitik tersebut biasanya disebut sebagai papain atau papain kasar. Papain murni adalah hasil pemisahan dan pemurnian papain menjadi keempat enzim proteolitik tersebut (Kalie, 1990).

Aktivitas efektif papain menunjukkan atas kisaran temperatur 10- 90°C pada pH 6-7 (Krishnaiah et al., 2002). Papain mempunyai sifat kemantapan yang relatif tinggi terhadap faktor temperatur dan pH. Papain relatif stabil pada pH 3-11 dengan suhu mencapai 75ºC. Papain mempunyai aktivitas optimum pada suhu 50-60ºC pada pH 5-7. Ada beberapa keuntungan dalam penggunaan enzim papain ini, yakni tidak bersifat toksik, tak ada reaksi samping, tak ada mengubah tekanan, suhu dan pH yang drastis, dan pada konsentrasi rendah sudah bisa berfungsi baik (Anonim, 2008).

Proses pengempukan daging dengan enzim papain dan bromelin mendorong reaksi hidrolisis terbatas pada protein daging sapi. Tingkatan hidrolisis lebih menonjol ketika penggunaan enzim papain dan bromelin ditingkatkan pada level yang lebih tinggi dan perlakuan maturasi yang lebih lama untuk aktivitas enzim. Terlihat bahwa tingkatan nilai asam amino bebas sebagai komponen utama nitrogen bukan protein meningkat sebanding dengan perbandingan tingkatan pelakuan enzim. Enzim papain memotong ikatan


(18)

commit to user

peptida pada residu Arg, Lys, and Gly. Sebanyak 42 % residu ikatan peptida ini terdapat di dalam moisin (Ionescu et al., 2008).

Secara umum dalam reaksi enzim dikenal kecepatan hidrolisis, penguraian, atau reaksi katalisasi lain yang disebut Vello city atau disingkat V. Harga V dari suatu reaksi enzimatik pada umumnya sangat bergantung pada konsentrasi subtrat. Pada konsentrasi subtrat yang tinggi (berlebih), kecepatan reaksi V akhirnya mencapai maksimum.dengan kata lain semakin tinggi konsentrasi subtrat reaksi enzim semakin cepat, sampai mencapai kecepatan yang tetap (Winarno, 1986).

E. Pelayuan Daging

Menurut Abustam (2009) sesaat setelah hewan dipotong, perubahan biokimia dalam jaringan masih terjadi. Proses kontraksi menyebabkan jaringan otot menjadi keras dan kaku sedangkan proses relaksasi menyebabkan jaringan otot menjadi lunak dan empuk. Fase yang dialami jaringan otot hewan setelah dipotong (fase postmortem) adalah prerigor, rigormortis dan paska rigormortis. Daging pada fase prerigor, memiliki karakteristik sifat daging yang masih lunak karena daya ikat air dan jaringan otot masih tinggi. Ketika daging masuk pada fase rigormortis, jaringan otot menjadi kaku. Fase ini sangat tergantung pada kondisi penyimpanan. Penyimpanan pada suhu rendah dapat menyebabkan fase rigormortis berlangsung cukup lama. Fase paska rigormortis adalah fase pembentukan aroma dan pada fase ini daging menjadi lunak kembali.

Pelayuan yang lebih lama dari 24 jam atau sejak terjadinya kekakuan daging atau rigor mortis dapat disebut pematangan. Pelayuan biasanya dilakukan pada temperatur 32 - 38°F (0 - 3oC), setelah pendinginan selama kira-kira 24 jam pada temperatur -4oC sampai 1°C atau disebut chilling. Selama jam pertama postmortem, proses yang dominan adalah glikolisis postmortem. Perubahan degradatif termasuk denaturasi protein dan proteolisis terjadi sebelum pH ultimate atau pH akhir karkas tercapai. Otot mengandung enzim-enzim proteolitik. Peningkatan keempukan daging selama proses


(19)

commit to user

pelayuan, antara lain adalah karena kerja enzim-enzim proteolitik terhadap protein fibrus otot, termasuk elemen-elemen kontraktil (Soeparno, 2005).

Waktu rigormortis fillet daging ayam dimulai sekitar 4-5jam setelah posmortem. Terdapat peningkatan secara jelas pada penurunan nilai daya tarik setelah pelayuan selama 8-10 jam yang mengindikasikan effek pengempukan enzimatis oleh enzim proteolitik endogenous (Thielke et al., 2005).

Pelayuan merupakan penanganan karkas dengan cara menggantung atau menyimpan pada tempat tertentu dan pada temperatur di bawah temperatur kamar dan di atas temperatur beku daging (-1,5oC). Selama pelayuan ini, akan terjadi peningkatan keempukan dan flavor daging dan penyelesaian proses-proses fisiologis otot postmortem (setelah disembelih). Proses fisiologis ini yang pasti terjadi adalah rigormortis, yaitu suatu kekakuan otot yang terjadi setelah penyembelihan. Proses kekakuan ini merupakan kontraksi otot yang ireversibel. Pelayuan dengan cara menggantung karkas akan mengurangi pemendekan otot akibat rigormortis karena secara fisik, penggantungan menyebabkan gaya berat karkas menahan proses kontraksi otot. Selain itu dengan adanya pelayuan maka memberikan kesempatan enzim proteolitik untuk mendegradasi protein protein serat sehingga menjadikan daging terasa lebih empuk (Suharyanto, 2009).

F. Kualitas Daging

Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan sesudah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging antara lain adalah genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan termasuk bahan additif (hormon, antibiotik dan mineral). Faktor setelah pemotongan yang mempengaruhi kualitas daging antara lain meliputi metode pelayuan, stimulasi listrik, metode pemasakan, pH karkas dan daging, bahan tambahan termasuk enzim pengempuk daging, hormon dan antibiotika, lemak intramuskular atau marbling, metode penyimpanan dan preservasi, macam otot daging dan lokasi otot daging (Soeparno, 2005).


(20)

commit to user

Uji inderawi dan organoleptik digunakan dengan tujuan untuk mengetahui kualitas masing-masing sampel daging petelur afkir dengan penambahan papain dan pelayuan, peubah meliputi keempukan, tekstur, jus daging dan kesukaan dengan menggunakan empat klasifikasi. Uji inderawi merupakan pengujian yang panelisnya cenderung melakukan penilaian berdasarkan kesukaan. Uji organoleptik adalah suatu pengujian terhadap sifat karakteristik bahan pangan dengan menggunakan indera manusia termasuk indera penglihatan, pembau, perasa dan pendengar (Kartika et al., 1988).

F.1. pH daging

Penurunan pH akan mempengaruhi sifat fisik daging. Laju penurunan pH otot yang cepat akan mengakibatkan rendahnya kapasitas mengikat air, karena meningkatnya kontraksi aktomiosin yang terbentuk, dengan demikian akan memeras cairan keluar dari dalam daging. Suhu tinggi juga dapat mempercepat penurunan pH otot paskamortem dan menurunkan kapasitas mengikat air karena meningkatnya denaturasi protein otot dan meningkatnya perpindahan air ke ruang ekstraseluler (Lawrie, 1995).

Nilai pH digunakan untuk menunjukkan tingkat keasaman dan kebasaan suatu substansi. Jaringan otot hewan pada saat hidup mempunyai nilai pH sekitar 5,1 sampai 7,2 dan menurun setelah pemotongan karena mengalami glikolisis dan dihasilkan asam laktat yang akan mempengaruhi pH. pH ultimat daging tercapai setelah glikolisis otot menjadi habis atau setelah enzim-enzim glikolitik menjadi tidak aktif pada pH rendah atau glikogen tidak lagi sensitif terhadap serangan-serangan enzim glikolitik. pH ultimat normal daging postmortem adalah sekitar 5,5 yang sesuai dengan titik isoelektrik sebagian besar protein daging termasuk protein miofibril (Lawrie, 1995). pH daging akan mengalami penurunan sesuai dengan waktu penyimpanan, semakin lama penyimpanan akan semakin rendah pH daging sampai tercapai pH akhir pada kisaran 5,4 sampai 5,8 (Soeparno, 2005). Menurut Sams (2001) ketika asam laktat mulai dihasilkan maka akan terjadi perubahan sel otot yaitu perubahan pH dari pH mendekati netral 7 menjadi pH yang lebih asam sekitar


(21)

commit to user

5,7. Penurunan ini menyebabkan pengurangan aktivitas memproduksi enzim, dan selanjutnya akan mengurangi produksi ATP.

Nilai pH juga berpengaruh terhadap keempukan daging. Daging dengan pH tinggi mempunyai keempukan yang lebih tinggi daripada daging dengan pH rendah. Kealotan atau keempukan serabut otot pada kisaran pH 5,4 sampai 6,0 lebih banyak ditentukan oleh status kontraksi serabut otot dari pada oleh status fisik serabut otot (Bouton et al., 1986).

F.2. Daya ikat Air

Air dalam bahan pangan berperan sebagai pelarut dari beberapa komponen, di samping ikut sebagai bahan pereaksi, sedangkan bentuk air dapat ditemukan sebagai air bebas dan air terikat. Air bebas dapat dengan mudah hilang apabila terjadi penguapan dan pengeringan, sedangkan air terikat sulit dibebaskan dengan cara tersebut. Air dapat terikat secara fisik, yaitu ikatan menurut sistem kapiler dan air terikat secara kimia, antara lain kristal dan air yang terikat dalam sistem disperse (Purnomo, 1995). Air yang diikat dalam daging dapat dibagi dalam tiga komponen, yaitu air yang terikat secara kimiawi oleh protein daging sebesar 4 – 5% yang merupakan lapisan monomolekuler pertama. Lapisan kedua adalah air yang terikat agak lemah dari molekul air terhadap kelompok hidrofilik yakni sebesar 4%. Lapisan ketiga merupakan air bebas yang terdapat di antara molekul-molekul protein yang memiliki jumlah terbanyak. Selanjurtnya, Forest et al. (1975) menyatakan bahwa air bebas terletak di bagian luar sehingga mudah lepas, sedangkan air terikat adalah kebalikkannya dimana air sulit dilepaskan karena terikat kuat pada rantai protein, dan air dalam bentuk tidak tetap merupakan air labil sehingga mudah lepas bila terjadi perubahan.

Dalam otot (hewan yang masih hidup) kira-kira 10 % air terikat pada protein otot. Akan tetapi sebagian besar air dalam otot terikat pada bagian antar filamen tebal dan filamen tipis pada protein. Kontraksi pada filamen ini disebabkan oleh perbedaan interaksi antara aktin dan miosin. Selama proses rigormortis daging akan mengalami penyusutan dan air akan dikeluarkan.


(22)

commit to user

Faktor yang mempengaruhi pembentukan filamen dan tingkat keasaman yang terjadi selama postmortem juga akan mempengaruhi jumlah air yang keluar dari daging (Mead, 1984).

Kapasitas mengikat air didefinisikan sebagai kemampuan dari daging untuk mengikat atau menahan air selama mendapat tekanan dari luar, seperti pemotongan, pemanasan, penggilingan atau pengepresan. Kapasitas mengikat air jaringan otot mempunyai efek langsung pada pengkerutan dari daging selama penyimpanan. Daging dengan kapasitas mengikat air yang rendah akan menyebabkan banyaknya cairan yang hilang, sehingga selama pemasakan akan terjadi kehilangan berat yang besar. Kapasitas mengikat air merupakan faktor mutu yang penting karena berpengaruh langsung terhadap keadaan fisik daging seperti keempukan, warna, tekstur, jus daging, serta pengerutan daging (Forrest et al.,1975).

Kebasahan merupakan kemampuan daging untuk melepaskan jus (cairan daging) selama pengunyahan, sebaliknya kemampuan daging untuk mempertahankan kandungan air disebut sebagai water holding capacity (WHC). Kebasahan merupakan faktor yang dipertimbangkan dalam penilaian kualitas daging, bersama dengan keempukan dapat menjelaskan sampai lebih dari 80 % pilihan konsumen dinegara maju terhadap kualitas daging. Daging yang empuk pada umumnya pada saat gigitan pertama akan menghasilkan jus yang cukup berarti. Terdapat korelasi yang baik antara pelepasan jus daging dengan keempukan. Kebasahan bervariasi berdasarkan pH, maturasi dan faktor stress (Abustam, 2009).

F.3. Susut masak

Susut masak merupakan fungsi dari temperatur dan lama pemasakan. Pemanasan daging pada temperatur yang tinggi dalam waktu yang lama akan menyebabkan meluasnya dehidrasi, yang berarti susutnya berat daging yang dikonsumsi. Susut masak adalah banyaknya berat yang hilang selama pemasakan (cooking loss). Semakin tinggi temperatur dan waktu pemasakan, maka semakin besar kadar cairan daging yang hilang sampai tingkat konstant.


(23)

commit to user

Susut masak bisa dipengaruhi oleh pH, panjang sarkomer serabut otot, panjang potongan serabut otot, ukuran dan berat sampel daging (Soeparno, 2005).

Susut masak bervariasi antara 1,5 sampai 54,5 Persen dengan kisaran 15 sampai 40 %. Sifat mekanik daging termasuk susut masak merupakan indikasi dari jaringan ikat dengan bertambahnya umur ternak, terutama peningkatan panjang sarkomer (Bouton et al., 1978).

Daging yang berkualitas baik nilai susut masaknya lebih sedikit dari pada daging yang berkualitas rendah, meskipun daging yang baik kehilangan lemak lebih banyak, tetapi total kehilangan air lebih sedikit. Kandungan lemak yang terdapat dalam daging akan mempengaruhi kapasitas menahan air, yang lebih lanjut akan berpengaruh terhadap susut masak daging. Keluarnya cairan daging pada saat dimasak akan dihambat oleh adanya lemak yang terdapat di dalam dan dipermukaan daging serta translokasi lemak yang ada didalamnya. Selama proses pemanasan lemak akan mencair, terdistribusi ke dalam dan akan menutup jaringan makrostruktur daging, sehingga akan menahan hilangnya cairan daging (Lawrie, 1995).

F.4. Keempukan

Salah satu penilaian mutu daging adalah sifat keempukannya yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor yang mempengaruhi keempukan daging ada hubungannya dengan komposisi daging itu sendiri, yaitu berupa tenunan pengikat, serabut daging, sel-sel lemak yang ada diantara serabut daging serta rigormortis daging yang terjadi setelah ternak dipotong (Reny, 2009). Keempukan bervariasi di antara spesies, bangsa, ternak dalam spesies yang sama, potongan karkas, dan di antara otot, serta pada otot yang sama.

Keempukan daging banyak ditentukan oleh tiga komponen daging yaitu struktur miofibril dan status kontraksinya, kandungan jaringan ikat dan tingkat ikatan silangnya, dan daya ikat air oleh protein daging serta jus daging (Soeparno, 2005). Kekuatan tarik daging adalah keempukan daging yang


(24)

commit to user

diekspresikan dengan gaya maksimal (Newton) yang diperlukan untuk menarik sampel daging, semakin kecil gaya yang diperlukan maka semakin empuk sampel daging yang diukur (Murtini dan Qomarudin, 2003). Soeparno (2005) menyatakan uji kekuatan tarik lebih mengukur keempukan daging yang disebabkan oleh keempukan serat-serat miofibril. Sebagian besar serabut otot mengandung 55 persen protein miofibril. Faktor kekuatan tarik antara lain pH dan pemasakan.

Penilaian sensorik kualitas daging, khususnya keempukan, didasarkan atas kemudahan penetrasi gigi pada daging dan usaha-usaha yang dilakukan oleh otot-otot pada daerah geraham selama pengunyahan. Penilaian secara sensorik dilakukan oleh sejumlah juri degustasi dalam bentuk panelis. Masing-masing juri menilai keempukan berdasarkan atas angka-angka (skor) yang telah ditentukan terlebih dahulu ; 1 (sangat keras) dan 10 (sangat empuk). Indeks keempukan daging ditentukan berdasarkan nilai rata-rata dari masing-masing juri (Abustam, 2009).


(25)

commit to user HIPOTESIS

Hipotesis yang diambil dalam penelitian ini adalah

1. Kualitas daging ayam petelur afkir dipengaruhi oleh dosis injeksi antemortem ekstrak papain kasar.

2. Kualitas daging ayam petelur afkir dipengaruhi oleh lama waktu pelayuan. 3. Terdapat interaksi antara dosis injeksi papain dan waktu pelayuan terhadap


(26)

commit to user

III.METODE PENELITIAN

A. Tempat dan waktu penelitian

Penelitian tentang Pengaruh Dosis Injeksi Antemortem Ekstrak Papain Kasar dan Waktu Pelayuan Terhadap Kualitas Fisik dan Organoleptik Daging Ayam Petelur Afkir dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan bulan Oktober 2010. Pelaksanaan penelitian uji kualitas fisik daging yang meliputi pH, daya ikat air, dan susut masak di Laboratorium Biologi Pusat, Universitas Sebelas Maret Surakarta, selanjutnya uji organoleptik (keempukan, tekstur, dan jus daging), dan uji hedonik (kesukaan) di Laboratorium Industri dan Pengolahan Hasil Ternak, Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Uji kualitas fisik daging yaitu kekuatan tarik di lakukan di Laboratorium Rekayasa Pangan dan Gizi, Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

B. Bahan dan Alat penelitian

Bahan dan alat yang digunakan untuk penelitian adalah:

1. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah ayam petelur afkir ras Lohman berumur 82 minggu dengan berat 1,659 ± 0,09 kg sebanyak 60 ekor berjenis kelamin betina dengan pakan yang terkontrol diambil dari peternakan ayam petelur TIHONGGOREJEKI Multifarm di Mojorejo, Jatikuwung. Papain kasar dari getah pepaya segar dibuat di Laboratorium Industri Pengolahan dan Hasil Ternak Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret.

2. Alat yang digunakan untuk penelitian ini antara lain timbangan merek Chamry kapasitas 5 kg, plastik PP, spuit spyringe with needle, inkubator, termometer, alumunium foil, penyaring bakteri micron Seitz 0, 22 µm, pisau, dan gunting, neraca analitik, Liyod instrument, pH meter, plat kaca, pemberat, kertas saring, waterbath, erlenmeyer dan panelis.


(27)

commit to user C. Persiapan Penelitian

1. Proses Ekstraksi Enzim Papain dari Getah Pepaya

Pepaya sehat yang masih melekat pada batangnya dibersihkan dari kotoran yang menempel. Toreh kulit pepaya dengan kedalaman 1-2 mm, memanjang dari ujung hingga pangkal buah. Getah yang keluar ditampung kemudian diletakkan pada pendingin. Campurkan getah yang telah terkumpul banyak dengan NaCl 0,03% dan Natrium bisulfit (NaHSO3)

0,7% selanjutnya dikeringkan dengan oven selama 8 jam (Hasbulloh, 2001).

2. Pengujian aktivitas ekstrak papain kasar

Sebanyak 2,5 mL buffer pospat pH 6,5; 0,05 M ditambah 0,5 mL kasein dimasukkan ke dalam tabung sentrifus. Pada tabung lain dimasukkan enzim papain 0,25 mL. Keduanya dipreinkubasi pada suhu 55°C selama 10 menit. Setelah preinkubasi, enzim papain dimasukkan dalam tabung yang berisi buffer dan kasein, kemudian diinkubasi pada suhu 55°C selama 10 menit. Setelah inkubasi, reaksi dihentikan dengan ditambah 1 mL TCA 10%, didinginkan selama 10 menit, kemudian disentrifus pada 3000 rpm selama 10 menit. Filtrat dianalisa dengan cara: 2 mL filtrat ditambah 4 mL Na2CO3 ditambah 1 mL reagen folin, diamkan

selama 10 menit, selanjutnya dianalisa dengan Spektrofotometer UV-vis pada panjang gelombang 650 nm (Sari E, 2007).

3. Pembuatan bahan injeksi ekstrak papain kasar

Seribu mg ekstrak papain kasar dicampurkan dengan aquabides steril sebanyak 100 mililiter sehingga setiap mililiter larutan mengandung 10 mg ekstrak papain kasar. Larutan yang telah tercampur dilakukan penyesuaian pH dengan penambahan NH4OH hingga menjadi 7.3 untuk

kemudian larutan dilakukan penyaringan bakteri micron Seitz 0, 22 µm (Huffman et al., 1967).

4. Proses persiapan ternak dan injeksi ekstrak papain kasar

Ternak ayam petelur afkir dari peternakan TRIHONGGOREJEKI Multifarm di Mojorejo dibawa ke RPA Prima Ayam di Kartasura dan


(28)

commit to user

dilakukan pengistirahatan selama 12 jam (Soeparno, 2005). Ternak yang telah diistirahatkan ditimbang untuk menentukan dosis injeksi. Proses injeksi dengan ekstrak papain kasar dilakukan melalui pembuluh darah besar yang ada pada vena sayap dengan dosis injeksi disesuaikan dengan berat badan ayam.

Tabel 1. Hasil perhitungan dosis penyuntikan ekstrak papain kasar pada ternak ayam dengan berat yang berbeda pada larutan yang dibuat 1 ml mengandung 10 mg.

Dosis dalam mg Dosis injeksi ekstrak papain kasar

1,6 kg 1,7 kg

1 0,16 ml 0,17 ml

2 0,32 ml 0,34 ml

3 0,48 ml 0,51 ml

Sumber : Lampiran 1

5. Proses pemotongan dan karkasing

Dalam waktu 1 jam setelah injeksi dilakukan proses pemotongan secara islami (Kang et al., 1978). Proses pemotongan diawali dengan memotong arteri karotis, vena jugularis dan esofagus. Tahan ayam selama 50 sampai dengan 120 detik untuk proses pengeluaran darah. Pembersihan bulu dilakukan dengan mencelupkan ayam pada air dengan suhu 50 sampai dengan 80°C selama 3-5 menit. Selanjutnya diteruskan periode pengeluaran jeroan dengan memotong tembolok, trakea serta kelenjar minyak pada ekor. Mengeluarkan kloaka dan visera seta dilakukan pemotongan kepala, leher, dan kaki (Soeparno, 2005). Karkas yang telah siap dilakukan proses pendinginan pada suhu 0-4°C selama 90 menit (Thielke et al., 2005).

6. Proses pelayuan

Karkas bagian dada yang telah didinginkan dikeluarkan kemudian dikemas dalam plastik dan dilayukan ke dalam inkubator pada temperatur 4°C selama 0, 4 dan 8 jam (Thielke et al., 2005 dan Ionescu et al., 2008). 7. Proses preparasi sampel

Karkas bagian dada dikeluarkan dari inkubator, untuk kemudian dipisahkan bagian kulit dan dagingnya. Sebanyak 60 fillet daging


(29)

commit to user

disiapkan untuk pengujian kekuatan tarik, pH, DIA, dan susut masak. Sejumlah fillet lain dibekukan untuk persiapan preparasi sampel dan pengujian selanjutnya (Thielke et al., 2005).

D. Tata Laksana Penelitian 1. Macam penelitian

Penelitian mengenai pengaruh dosis injeksi antermortem ekstrak papain kasar dan waktu pelayuan terhadap kualitas fisik dan organoleptik daging ayam petelur afkir merupakan penelitian eksperimental.

2. Rancangan penelitian

Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Pola Faktorial dengan dua faktor, yaitu: faktor dosis injeksi ekstrak papain kasar dengan level 0, 1, 2, dan 3 mg/bb dan faktor waktu pelayuan dengan level 0, 4, dan 8 jam. Setiap perlakuan terdiri dari 5 ulangan dan setiap ulangan diuji dua kali (duplo).

3. Peubah Penelitian

1). Uji Organoleptik dan Uji Hedonik a. Uji Organoleptik

Karakteristik daging penelitian ini diujikan dengan metode skalar pada taraf skala satu sampai empat, yang semakin baik bila penilaian panelis mendekati skala empat.

1. Keempukan

1 = Keras, 2 = Kurang empuk, 3 = Empuk, 4 = Sangat empuk

2. Tekstur

1 = Kasar, 2 = Kurang Kasar, 3 = Lembut, 4 = Sangat lembut

3. Jus (berair)


(30)

commit to user

b. Uji Hedonik

1 = Tidak suka, 2 = Kurang suka, 3= Suka, 4= Sangat suka,

(Kartika et al., 1988 dan Wagiyono, 2003). 2). Uji Kualitas Fisik

a). pH

Pengukuran pH daging menggunakan pH meter merk Walk Lab dengan ketelitian 0,002 yang telah dikalibrasi dengan buffer pH 7,0 dan pH 4,0. Sampel seberat 5 g dicacah, ditambahkan 5 ml aquades kemudian diukur pH dagingnnya (Bouton et al., 1971). b). DIA (Daya Ikat Air)

Daya Ikat Air (DIA) oleh protein dapat ditentukan dengan menguji KAB dan KAT yang diuji dengan metode Hamm (Abustam, 2009), yaitu dengan menekan daging seberat 0,3 g diletakkan di antara 2 plat kaca, dialasi dengan kertas saring, diberi beban 35 kg selama 5 menit. Area basah yang terbentuk dihitung (luas area basah).

mg H2O =

0948 , 0 ) (cm basah area luas 2 - 8

Kadar Air Bebas = 100% 300

O 2 mgH

x

Kadar Air Total (KAT)

Sampel kadar air total digunakan 1 g daging sebagai berat awal. Sampel dioven pada suhu 105oC selama 8 sampai 24 jam atau hingga kadar air tetap dan timbang berat akhir.

KAT = x 100% 1gram

y x

-Keterangan :

X = berat sampel + kertas saring sebelum dioven Y = berat sampel + kertas saring setelah di oven KAT = Kadar Air Total


(31)

commit to user

c). Uji Susut Masak

Penetapan susut masak menggunakan metode Soeparno (2005) dengan melihat berat yang hilang selama pemasakan. Sampel daging ditimbang 10 g (x) dimasukkan dalam plastik PP, dan ditutup dengan rapat, kemudian direbus dalam penangas air dengan temperatur 60oC selama 60 menit. Selanjutnya daging diambil dan serap permukaan daging menggunakan tissue kemudian ditimbang (y). Susut masak adalah nilai dari selisih berat sebelum dimasak dan sesudah dimasak dibagi berat sample sebelum dimasak dikalikan 100 persen.

Susut masak = x 100% x

y

x

-d). Kekuatan Tarik

Pengukuran kekuatan tarik dilakukan dengan metode Person and Dutson yaitu menarik daging, dengan ukuran sampel tebal 0,5 cm, lebar 0,5 cm dan panjang 5 cm. Sama dengan pengukuran keempukan, tetapi tangkai penekan diganti dengan penjepit. Lioyd instrument diaktifkan, penjepit akan menarik daging. Tarikan dilakukan searah dengan arah serat sampel daging. Kekuatan tarik daging diekspresikan dengan gaya maksimal dengan satuan Newton (Murtini dan Qomarudin, 2003).

E. Perencanaan Penelitian dan Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan Analysis of Variance (ANOVA) untuk mengetahui ada tidaknya beda nyata pada tingkat α = 0,05 dan 0,01. Apabila terdapat perbedaan yang nyata atau signifikan maka dilanjutkan dengan uji Duncan’s New Multiple Range Test (DMRT).


(32)

commit to user

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Aktivitas Ekstrak Papain Kasar

Menurut Sudarmaji (2009) aktivitas enzim papain dinyatakan sebagai kemampuan enzim untuk mereduksi protein menjadi asam amino tiap satuan berat enzim dalam tiap satuan waktu. Ekstrak papain kasar yang didapatkan dengan proses ekstraksi berdasarkan metode Hasbulloh (2001) dalam Konsentrat Papain, menghasilkan aktivitas enzim papain sebesar 21,15 mg asam amino/50 mg enzim/jam (Lampiran 10).

Nilai ini berarti dalam tiap 50 mg asam amino mampu mendegredasi sejumlah 21,15 mg protein dalam miofibril per jamnya. Nilai aktivitas ini lebih tinggi dari aktivitas enzim papain komersial yang menunjukkan nilai 6,01 mg asam amino/50 mg enzim/jam (Lampiran 10) dan nilai aktivitas ekstrak papain kasar pada penelitian Sebayang (2006) yang menyatakan aktivitas enzim ekstrak papain kasar sebesar 55 unit/ml yang setara dengan 55 µg tirosin/ml/20 menit (8,25 mg asam amino/50 mg enzim/jam). Hasil ini disebabkan perbedaan varietas jenis buah yang digunakan dalam pengujian (Rimayoga, 2010). Sumber ekstrak papain kasar pada penelitian ini berasal dari getah papaya Thailand yang dimungkinkan memiliki kadar aktivitas yang lebih tinggi.

Metode pemurnian enzim juga dapat berpengaruh terhadap perbedaan nilai aktivitas papain (Muchtadi et al., 1992). Metode pemurnian berdasarkan prosedur dalam Hasbulloh (2001) merupakan metode untuk mendapatkan enzim papain kering. Sementara pada metode pemurnian enzim pada Sebayang (2006) merupakan metode untuk mendapatkan enzim kering standar. Oleh karenanya nilai aktiviatas papain berbeda. Rimayoga (2010) menambahkan dalam penelitannya yang menyatakan bahwa getah papaya Thailand memiliki nilai aktivitas papain yang tertinggi dibanding varietas papaya yang lain.


(33)

commit to user B. pH Daging

Rata-rata nilai pH daging ayam petelur afkir selama penelitian ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Rata-rata nilai pH daging ayam petelur afkir dengan injeksi ekstrak papain kasar pada dosis 0, 1, 2, 3 mg/bb dan pelayuan pada 0, 4 dan 8 jam

Waktu Pelayuan (jam)

Dosis injeksi ekstrak papain kasar (mg/bb) Rerata

0 1 2 3

0 5,91 6,10 6,11 6,19 6,08A

4 5,68 6,06 6,09 6,09 5,98AB

8 5,63 5,95 6,03 6,07 5,92B

Rerata 5,74A 6,04B 6,08B 6,12B

Keterangan: A, B Superskrip yang berbeda pada kolom atau baris yang sama menunjukkan

perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)

Grafik B.1. Rerata nilai pH daging ayam petelur afkir dengan injeksi ekstrak papain kasar pada dosis 0, 1, 2, 3 mg/bb.

Grafik B.2. Rerata nilai pH daging ayam petelur afkir dengan waktu pelayuan 0, 4, 8 jam.

5.5 5.6 5.7 5.8 5.9 6 6.1 6.2

0 mg/bb 1 mg/bb 2 mg/bb 3 mg/bb

5.74

6.04 6.08

6.12

5.8 5.85 5.9 5.95 6 6.05 6.1

0 jam 4 jam 8 jam

6.08

5.98


(34)

commit to user

Rerata nilai pH daging ayam petelur afkir dengan injeksi ekstrak papain kasar pada dosis 0, 1, 2, dan 3 mg/bb masing-masing adalah 5,74, 6,05, 6,08, dan 6,12. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pemberian injeksi ekstrak papain kasar secara antemortem pada dosis yang berbeda memberikan perbedaaan sangat nyata (P<0,01) terhadap pH daging ayam petelur afkir. Hasil penelitian yang digambarkan pada Grafik B.1. diatas menunjukkan bahwa injeksi ekstrak papain kasar mampu meningkatkan nilai pH daging. Hasil ini disebabkan karena meningkatnya kepolaran protein. Menurut Irma et al. (1997) proses hidrolisis protein akan menambah kepolaran protein. Asam amino polar mengandung gugus fungsionil yang membentuk ikatan hidrogen dengan air. Banyaknya ikatan hidrogen berpengaruh terhadap konsentrasi OH- dalam daging, semakin meningkat kosentrasi OH- dalam daging mengakibatkan pH daging meningkat (Lehninger, 1982). Perlakuan dosis injeksi 0 mg/bb menghasilkan nilai peningkatan pH yang berbeda sangat nyata dengan dosis injeksi 1, 2, dan 3 mg/bb. Adanya peningkatan ion OH- dalam bahan karena intensifnya proses hidrolisis enzim mengakibatkan perlakuan injeksi ekstrak papain kasar dapat meningkatkan pH daging.

Peningkatan nilai pH daging melambat pada penambahan dosis injeksi diatas 1 mg/bb. Anonim (2008) menjelaskan keuntungan dari penggunaan enzim papain adalah tidak mengubah pH bahan secara drastis. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya dosis injeksi masih dapat mempertahankan nilai pH daging dalam kisaran normal 5,8-6,2. Adanya sifat enzim dimana kecepatan aktivitasnya menurun jika mendekati konsentrasi jenuh enzim dan subtrat menghasilkan percepatan hidrolisis yang tetap (Girindira, 1990). Oleh karena itu dihasilkan nilai yang relatif sama pada injeksi dengan dosis 1 mg/bb hingga 3 mg/bb.

Rerata nilai pH daging ayam petelur afkir selama pelayuan 0, 4 dan 8 jam adalah 6,08, 5,98, dan 5,92. Hasil analisis statistik menunjukkan lama waktu pelayuan berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap pH daging. Proses pelayuan menyebabkan penurunan pH daging. Hasil penelitian yang digambarkan pada Grafik B.2. diatas menunjukkan bahwa semakin lama


(35)

commit to user

waktu pelayuan mengakibatkan penurunan pH daging. Penurunan nilai pH ini disebabkan adanya hasil dari proses glikolisis posmortem yaitu asam laktat (Soeparno, 2005). Penelitian Thielkhe et al. (2005) menunjukkan bahwa semakin lama waktu pelayuan nilai pH daging ayam turun, dalam penelitiannya dijelaskan selama jam pertama postmortem, proses yang dominan adalah glikolisis postmortem. Waktu rigormortis daging ayam dimulai sekitar 4 sampai dengan 5 jam setelah postmortem sehingga penurunan pH selama pelayuan 4 jam mulai tampak.

Pelayuan selama 8 jam menghasilkan rata-rata pH daging yang berbeda sangat nyata dengan kontrol dan tidak berbeda nyata dengan pelayuan selama 4 jam. Hal ini dapat dijelaskan karena akumulasi asam laktat yang semakin tinggi dan terhentinya proses glikolisis posmortem. Proses rigormortis yang sudah selesai menunjukkan terhentinya proses perubahan

glikogen menjadi asam laktat yang menandakan habisnya ATP

(Soeparno, 2005; Young L. L., 1997). Oleh karenanya sudah tidak terjadi peningkatan asam laktat, namun demikian penurunan pH akan terus berlangsung hingga dicapai pH ultimate daging (Kusmadjadi, 2009).

Hasil interaksi kombinasi perlakuan dosis injeksi ekstrak papain kasar dan waktu pelayuan menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap pH daging. Hal ini disebabkan adanya sifat hidrofobik dan hidrofilik potein. Sifat ini timbul oleh adanya rantai sisi polar disepanjang rantai peptida yaitu gugus karboksil dan amino. Molekul protein mempunyai beberapa gugus yang mengandung N atau O yang tidak berpasangan. Atom N pada rantai peptida bermuatan negatif sehingga mampu menarik atom H+ dari air (Damadran dan Paraf, 1997). Selama pelayuan terdapat pembebasan ion H+, hal ini menunjukkan bahwa selama pelayuan dengan injeksi ekstrak papain kasar menghasilkan rata-rata nilai pH yang tidak berbeda, karena kemungkinan terjadi akumulasi konsentrasi ion OH- dan H+. Namun demikian perlakuan injeksi antemortem ekstrak papain kasar yang disertai pelayuan menunjukkan nilai pH daging yang masih dalam kisaran normal.


(36)

commit to user C. Daya Ikat Air Daging (DIA)

Rata-rata nilai daya ikat air daging selama penelitian ditunjukkan pada Tabel 3. Rerata nilai daya ikat air daging dengan perlakuan injeksi ekstrak papain kasar pada dosis 0, 1, 2, dan 3 mg/bb masing-masing adalah 14,51%, 19,66%, 27,11%, dan 27,46%. Hasil analisis variansi menunjukkan bahwa dosis injeksi ekstrak papain kasar berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap DIA daging.

Hasil penelitian yang digambarkan pada Grafik C.1. dibawah menunjukkan bahwa semakin meningkatnya dosis injeksi ekstrak papain kasar dapat meningkatkan nilai daya ikat air daging. Menurut Muchtadi (1992) daya ikat air protein dipengaruhi oleh pH dan jumlah ATP, oleh karenanya peningkatan nilai DIA ini kemungkinan dipengaruhi oleh naiknya nilai pH daging perlakuan dan meningkatnya kepolaran protein dalam daging, sehingga menyebabkan banyak air yang terikat dengan protein. Menurut Lawrie (1995) pada pH yang lebih tinggi dari pH isoleutrik protein daging, sejumlah muatan positif dibebaskan dan terdapat surplus muatan negatif yang mengakibatkan penolakan dari miofilamen, sehingga memberi lebih banyak ruang untuk molekul air. Meningkatnya molekul air yang mengisi ruang-ruang dalam interfilamen mengakibatkan peningkatkan nilai DIA daging.

Tabel 3. Nilai daya ikat air daging ayam petelur afkir dengan injeksi ekstrak papain kasar pada dosis 0, 1, 2, 3 mg/bb dan pelayuan pada 0, 4 dan 8 jam (dalam %).

Waktu Pelayuan (jam)

Dosis injeksi ekstrak papain kasar (mg/bb) Rerata

0 1 2 3

0 13,65 26,52 35,32 33,94 27,36A

4 14,12 17,18 29,82 31,22 23,08B

8 15,77 15,30 16,21 17,21 16,12C

Rerata 14,51A 19,66B 27,11C 27,46C

Keterangan: A, B, C Superskrip yang berbeda pada kolom dan atau baris yang sama


(37)

commit to user

Grafik C.1. Rerata nilai daya ikat air daging ayam petelur afkir dengan injeksi ekstrak papain kasar pada dosis 0, 1, 2, 3 mg/bb.

Rerata nilai DIA perlakuan injeksi ekstrak papain kasar pada dosis 0 mg/bb berbeda sangat nyata dengan injeksi pada level dosis 1, 2, dan 3 mg/bb. Hasil DIA yang lebih rendah ini kemungkinan karena nilai pH daging kontrol yang lebih rendah dari pH daging perlakuan yang mengakibatkan ruang interfilamen berkurang ukurannya sehingga lebih sedikit air yang mengisi ruang interfilamen (Lawrie, 1995).

Perlakuan dosis injeksi 1 mg/bb berbeda sangat nyata dengan dosis injeksi 2 dan 3 mg/bb, sementara dosis injeksi 2 mg/bb tidak berbeda nyata dengan dosis injeksi 3 mg/bb. Hasil ini dimungkinkan terjadi karena semakin intensifnya hidrolisis protein dengan meningkatnya dosis injeksi yang menyebabkan peningkatan kepolaran protein, sehingga banyak ion air yang terikat dalam daging (Lehninger, 1982). Nilai DIA daging yang relatif sama pada injeksi ekstrak papain kasar dosis 2 dan 3 mg/bb dimungkinkan karena konsentrasi enzim telah jenuh dengan subtrat sehingga menghasilkan percepatan hidrolisis yang tidak berbeda nyata pada pemberian dosis injeksi diatas 2 mg/bb (Girindira, 1990).

0 5 10 15 20 25 30

0 mg/bb 1 mg/bb 2 mg/bb 3 mg/bb

14.51

19.66


(38)

commit to user

Grafik C.2. Rerata nilai daya ikat air daging ayam petelur afkir dengan pelayuan pada 0, 4 dan 8 jam.

Rerata nilai daya ikat air daging selama pelayuan 0, 4, dan 8 jam adalah 27,36%, 23,08%, dan 16,12%. Berdasarkan perhitungan statistik perlakuan lama waktu pelayuan berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap daya ikat air daging. Hasil penelitian yang digambarkan pada Grafik C.2. diatas menunjukkan perlakuan pelayuan dapat menurunkan daya ikat air daging, hal ini disebabkan karena daya ikat air protein dipengaruhi oleh pH dan jumlah ATP. Menurut Soeparno (2005) pH otot paskamerat akan menurun pada saat pembentukan asam laktat yang mengakibatkan menurunnya DIA, serta akan banyak air yang berasosiasi dengan protein otot yang bebas meninggalkan serabut otot. pH daging yang mencapai titik isoelektrik protein miofibril, menyebabkan filamen miosin dan filamen aktin akan saling mendekat, sehingga ruang diantara filamen-filamen menjadi kecil. Daya Ikat Air akan menurun pada saat pemecahan dan habisnya ATP serta pada saat terbentuknya rigormortis.

Rerata nilai DIA pada pelayuan 0 jam berbeda sangat nyata dengan pelayuan selama 4 jam dan 8 jam, sedangkan pelayuan 4 jam berbeda sangat nyata dengan pelayuan selama 8 jam, hal ini dimungkinkan karena semakin menurunnya pH daging menyebabkan enzim proteolisis aktif dan terjadi pemotongan ikatan peptida dalam miofibril (Soeparno, 2005). Akibatnya semakin lama waktu pelayuan menyebabkan semakin banyak air yang keluar, sehingga menurunkan daya ikat air daging (Irma et al., 1997). Nilai pH

0 5 10 15 20 25 30

0 jam 4 jam 8 jam

27.36

23.08


(39)

commit to user

daging yang rendah pada pelayuan 8 jam menyebabkan kekuatan protein untuk menahan air dalam daging juga menurun, sehingga nilai DIA daging pada pelayuan yang lebih lama semakin rendah dibanding kontrol yang memiliki pH lebih tinggi.

Grafik C.3. Nilai interaksi daya ikat air daging ayam petelur afkir dengan kombinasi perlakuan injeksi ekstrak papain kasar pada dosis 0, 1, 2, 3 mg/bb dan pelayuan pada 0, 4 dan 8 jam.

Data yang digambarkan pada Grafik C.3. diatas menunjukkan terdapat interaksi (P<0,01) antara kombinasi perlakuan dosis injeksi dan lama waktu pelayuan terhadap daya ikat air daging. Perlakuan kombinasi antara dosis injeksi dan lama waktu pelayuan mengakibatkan penurunan DIA daging. Hal ini disebabkan dengan semakin bertambahnya hidrolisis protein menyebabkan semakin banyak air yang keluar. Menurut Irma et al. (1997) proses pemecahan protein oleh enzim mernbentuk ikatan-ikatan dipeptida dan dalam setiap ikatan dipeptida dibebaskan satu molekul air, sehingga dengan semakin tingginya dosis injeksi dan lama pelayuan mengakibatkan semakin banyak hirolisis pada protein daging yang menyebabkan nilai DIA turun.

Dosis injeksi 2 mg/bb disertai pelayuan selama 0 dan 4 jam mampu memberikan perbedaan sangat nyata dari kontrol, Tabel 3 diatas juga menunjukkan bahwa semakin meningkatnya dosis injeksi diatas 2 mg/bb tidak memberikan pengaruh yang berbeda. Namun nampak berbeda pada dosis 2

0 10 20 30 40

0 mg/bb 1 mg/bb 2 mg/bb 3 mg/bb

0 Jam 4 Jam 8 Jam


(40)

commit to user

mg/bb dan 3 mg/bb yang disertai pelayuan selama 4 jam, hal ini dimungkinkan semakin intensifnya hidrolisis protein oleh enzim proteolitik. Sementara pelayuan 4 jam dengan injeksi ekstrak papain kasar 0 dan 1 mg/bb tidak berbeda dengan pelayuan selama 8 jam pada injeksi dengan dosis 0, 1, 2, 3 mg/bb, hal ini dimungkinkan karena habisnya ATP setelah 4 jam pertama pelayuan (Ionescu et al., 2005). Oleh kerena itu perlakuan kombinasi setelah pelayuan selama 4 jam menghasilkan nilai DIA yang relatif sama. Nilai interaksi dihasilkan pada dosis injeksi 1 mg/bb dan pelayuan 4 jam.

D. Susut Masak Daging

Rata-rata nilai susut masak daging selama penelitian ditunjukkan pada Tabel 4.

Tabel 4. Nilai susut masak daging ayam petelur afkir dengan injeksi ekstrak papain kasar pada dosis 0, 1, 2, 3 mg/bb dan pelayuan pada 0, 4 dan 8 jam (dalam %).

Waktu Pelayuan (jam)

Dosis injeksi ekstrak papain kasar (mg/bb) Rerata

0 1 2 3

0 10,31 11,31 14,21 14,88 12,68A

4 9,51 9,89 11,54 11,97 10,73B

8 9,31 9,42 11,08 11,37 10,29B

Rerata 9,71A 10,20A 12,28B 12,74B

Keterangan: A, B Superskrip yang berbeda pada kolom atau baris yang sama menunjukkan

perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)

Grafik D.1. Rerata nilai susut masak daging ayam petelur afkir dengan injeksi ekstrak papain kasar pada dosis 0, 1, 2, 3 mg/bb.

Rerata nilai susut masak daging pada dosis injeksi 0, 1, 2, dan 3 mg/bb adalah 9,71%, 10,20%, 12,28%, dan 12,74%. Hasil analisis

0 2 4 6 8 10 12 14

0 mg/bb 1 mg/bb 2 mg/bb 3 mg/bb

9.71 10.2


(41)

commit to user

menunjukkan dosis injeksi ekstrak papain kasar berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap nilai susut masak daging. Hasil penelitian yang digambarkan pada Grafik D.1. diatas menunjukkan bahwa semakin meningkatnya dosis injeksi ekstrak papain kasar dapat meningkatkan susut masak daging seperti yang ditunjukkan Grafik D.1. diatas, hal ini disebabkan semakin intensifnya proteolisis protein. Adanya proses proteolisis beberapa protein daging pada saat prosesing menjadi bagian yang lebih sederhana membuat ada sebagian protein yang akan larut dengan air, seperti misalnya protein miofibrilar (Lin dan Park, 1996 cit. Nuhriawangsa, 2002). Begitu juga terdapat hubungan yang sangat erat antara kompartemen di dalam daging dengan adanya keterikatan protein dengan air.

Menurut Soeparno (2005) air akan terikat lemah bersama nutrien jika terjadi degradasi protein, sehingga semakin bertambahnya dosis ekstrak papain kasar yang diinjeksikan mengakibatkan peningkatan nilai susut masak. Nilai susut masak daging kontrol berbeda sangat nyata dengan perlakuan pada dosis 2 dan 3 mg/ bb dan tidak berbeda nyata dengan dosis 1 mg/bb. Sementara itu perlakuan dosis 1 mg/bb berbeda sangat nyata dengan perlakuan dosis 2 dan 3 mg/bb, sedangkan perlakuan dosis 2 tidak berbeda nyata dengan perlakuan dosis 3 mg/bb. Perlakuan injeksi dosis 1 mg/ bb belum mampu secara sangat nyata meningkatkan nilai susut masak daging, hal ini disebabkan hidrolisis enzim belum maksimal karena konsentrasi enzim belum maksimal

terikat pada subtrat sehingga proses degradasi masih lambat (Lehninger, 1982). Namun demikian pada dosis injeksi 2 mg/bb nilai susut

masak semakin besar. Hasil ini disebabkan adanya degradasi protein oleh enzim papain yang lebih intensif pada protein jaringan ikat dan miofibrilar pada dosis injeksi yang semakin tinggi.

Menurut Soeparno (2005) proteolisis protein mengakibatkan keterikatan protein dan air merenggang sehingga pada saat dimasak akan terjadi eksudasi pada cairan daging karena proses pengkerutan daging. Sedangkan pada dosis injeksi 3 mg/bb nilai susut masak relatif sama hal ini disebabkan konsentrasi enzim telah jenuh dengan subtrat sehingga


(42)

commit to user

menghasilkan percepatan hidrolisis yang tidak berbeda nyata pada pemberian dosis injeksi diatas 2 mg/bb (Girindira,1990).

Grafik D.2. Rerata nilai susut masak daging ayam petelur afkir dengan waktu pelayuan 0, 4, 8 jam.

Rerata nilai susut masak daging ayam petelur afkir pada perlakuan lama pelayuan 0 ,4, dan 8 jam adalah 12,68%, 10,73%, dan 10,29 %. Berdasarkan analisis statistik perlakuan pelayuan berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap susut masak daging. Hasil penelitian yang digambarkan pada Grafik D.2. diatas menunjukkan rata-rata nilai susut masak turun dengan bertambahnya waktu pelayuan. Menurut Soeparno (2005) selama proses postmortem terjadi perubahan struktur jaringan otot karena adanya kontraksi dan kelebihan energi ATP. Otot daging mengalami pemendekan semasa melewati rigormortis dan meregang setelah melewati faserigor.

Metode penggantungan daging selama pelayuan menyebabkan otot meregang oleh gaya berat karkas dan dimungkinkan ruang interfilamen bertambah ukurannya. Menurut Lawrie (1995) ruangan interfilamen sebagian besar menentukan kapasitas memegang air dari miofibril dengan pelayuan ruangan interfilamen bertambah ukurannya sehingga banyak air yang mengisi ruang tersebut. Nilai susut masak daging pada waktu pelayuan 0 jam berbeda nyata dengan waktu pelayuan 4 dan 8 jam, sedangkan perlakuan waktu pelayuan 4 jam tidak berbeda dengan pelakuan 8 jam, hal ini dimungkinkan pada 4 dan 8 jam postmortem rigormortis telah berhenti dan terjadi relaksasi

0 2 4 6 8 10 12 14

0 jam 4 jam 8 jam

12.67


(43)

commit to user

otot sehingga menyebabkan ruang interfilamen semakin lebar yang menyebabkan susut masak relatif sama dengan pelayuan selama 4 jam.

Grafik D.3. Nilai interaksi susut masak daging ayam petelur afkir dengan kombinasi perlakuan injeksi ekstrak papain kasar pada dosis 0, 1, 2, 3 mg/bb dan pelayuan pada 0, 4 dan 8 jam.

Data yang digambarkan pada grafik D.3. diatas menunjukkan terdapat interaksi (P<0,01) antara kombinasi perlakuan dosis injeksi dan lama waktu pelayuan terhadap susut masak daging. Dosis injeksi yang meningkat dengan semakin lamanya waktu pelayuan dapat menurunkan nilai susut masak daging, hal ini disebabkan pada temperatur dingin lemak akan membentuk emulsi (Lehninger, 1982). Selama proses pelayuan lemak akan memadat dan bersamaan dengan proses rigormortis akan mengembang (Muchtadi et al., 1992). Menurut Lawrie (1995) kandungan lemak yang terdapat dalam daging akan mempengaruhi kapasitas menahan air, yang lebih lanjut akan berpengaruh terhadap susut masak daging.

Menurut Soeparno (1992) keluarnya cairan daging pada saat dimasak akan dihambat oleh adanya lemak yang terdapat di dalam dan dipermukaan daging serta translokasi lemak yang ada didalamnya. Selama proses pemanasan lemak akan mencair, terdistribusi ke dalam dan akan menutup jaringan makrostruktur daging, sehingga akan menahan hilangnya cairan daging oleh karena itu dengan semakin tinggi dosis dan lama waktu pelayuan

0 5 10 15 20

0 mg/bb 1 mg/bb 2 mg/bb 3 mg/bb

0 Jam 4 Jam 8 Jam


(44)

commit to user

menyebabkan nilai susut masak turun. Nilai interaksi dihasilkan pada dosis injeksi 1 mg/bb dan pelayuan 4 jam.

E. Kekuatan Tarik Daging

Rata-rata nilai kekuatan tarik daging selama penelitian ditunjukkan pada Tabel 5.

Tabel 5. Nilai kekuatan tarik daging ayam petelur afkir dengan injeksi ekstrak papain kasar pada dosis 0, 1, 2, 3 mg/bb dan pelayuan pada 0, 4 dan 8 jam.

Waktu Pelayuan (jam)

Dosis injeksi ekstrak papain kasar (mg/bb) Rerata

0 1 2 3

0 2,41 2,06 1,56 1,58 1,90a

4 2,03 2,01 1,50 1,46 1,75b

8 1,98 1,95 1,46 1,49 1,72b

Rerata 2,14A 2,01A 1,51B 1,51B

Keterangan: A, B Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang

sangat nyata (P<0,01)

a, b

Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Rerata nilai kekuatan tarik daging pada dosis injeksi ekstrak papain kasar 0, 1, 2, dan 3 mg/bb adalah 2,14, 2,01, 1,51, dan 1,51 Newton. Hasil analisis statistik menunjukkan dosis injeksi berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap kekuatan tarik daging. Hasil penelitian yang digambarkan pada Grafik E.1. dibawah menunjukkan pemberian injeksi antemortem ekstrak papain kasar dapat meningkatkan keempukan daging ayam petelur afkir. Hal ini disebabkan adanya degradasi jaringan miofibril dalam daging oleh enzim papain. Menurut Lawrie (1995) dan Calkins et al. (2007) aktivitas katalitik enzim papain bersifat mendegradasi protein jaringan ikat yang meliputi aktomiosis elastin, miofibril dan kolagen menjadi struktur yang lebih sederhana.

Istika (2009) dan Calkins et al. (2007) menyatakan protein (kolagen dan miofibril) terhidrolisis menyebabkan hilangnya ikatan antar serat, dan pemecahan serat menjadi fragmen yang lebih pendek, menjadikan serat otot lebih mudah terpisah sehingga daging memiliki kekuatan tarik yang rendah. Kekuatan tarik daging perlakuan menunjukkan penurunan yang sangat nyata


(45)

commit to user

dengan semakin naiknya dosis. Dosis injeksi 1 mg/bb belum mampu secara nyata menurunkan kekuatan tarik daging dibanding dosis 0 mg/bb. Hal ini disebabkan kecepatan hidrolisis belum maksimal karena konsentrasi enzim

yang lebih kecil dibanding konsentrasi subtrat didalam daging (Winarno, 1986). Namun pada dosis 2 mg/bb tingkat penurunan kekuatan tarik

daging semakin besar, dan pada dosis 3 mg/bb tidak berbeda nyata dengan 2 mg/bb.

Grafik E.1. Rerata nilai daya tarik daging ayam petelur afkir dengan injeksi ekstrak papain kasar pada dosis 0, 1, 2, 3 mg/bb.

Grafik E.2. Rerata nilai daya tarik daging daging ayam petelur afkir dengan waktu pelayuan 0, 4, 8 jam.

Enzim protease merupakan biokatalisator yang dapat mempercepat terjadinya hidrolisis protein. Oleh karena itu injeksi ekstrak papain kasar pada ayam memungkinkan enzim protease mengkatalisis hidrolisa protein daging,

0 0.5 1 1.5 2 2.5

0 mg/bb 1 mg/bb 2 mg/bb 3 mg/bb

2.14

2.01

1.51 1.51

1.6 1.65 1.7 1.75 1.8 1.85 1.9

0 jam 4 jam 8 jam

1.9

1.751


(46)

commit to user

dengan demikian peningkatan konsentrasi enzim yang digunakan juga akan meningkatkan hidrolisa protein jaringan ikat sehingga dihasilkan daging yang semakin empuk (Dongaran, 2003). Injeksi antemortem ekstrak papain kasar dapat dilakukan pada dosis 2 mg/bb namun peningkatan dosis diatas 2 mg/bb tidak memberikan efek yang berbeda nyata, hal ini disebabkan konsentrasi subtrat telah jenuh dengan enzim maka kecepataan hidrolisisnya akan tetap (Girindira, 1990).

Rerata nilai kekuatan daya tarik daging dengan pelayuan 0, 4, dan 8 jam adalah 1.90 , 1,75, dan 1.72 Newton. Hasil analisis menunjukkan bahwa lama waktu pelayuan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kekuatan tarik daging. Perlakuan pelayuan mampu meningkatkan keempukan daging hal ini ditunjukkan dengan semakin menurunnya nilai kekuatan tarik daging sebagaimana ditunjukkan pada Grafik E.2. di atas. Pelayuan selama 4 jam dan 8 jam memberikan penurunan yang nyata dibanding kontrol, hal ini disebabkan selama pelayuan terjadi fragmentasi miofibriler yang menyebabkan terjadinya perbaikan keempukan daging akibat melonggarnya stuktur protein serat daging (Abustam, 2006).

Soeparno (2005) menyatakan bahwa uji kekuatan tarik lebih mengukur keempukan daging yang disebabkan oleh keempukan serat-serat miofibril, sehingga semakin banyak serat-serat daging yang longgar maka akan menurunkan kekuatan tarik daging. Menurut penelitian Thielkhe et al. (2005) selama jam pertama postmortem, proses yang dominan adalah glikolisis postmortem, waktu rigormortis daging ayam terjadi dalam 4 sampai dengan 5 jam setelah postmortem. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya karena terjadi penurunan kekuatan tarik daging yang sangat nyata selama pelayuan 4 jam. Hal ini karena selama pelayuan 4 jam dimungkinkan daging telah melalui proses rigormortis.

Setelah melewati rigormortis jaringan otot mengalami fase paska rigor dimana jaringan otot menjadi lunak dan daging menjadi empuk karena mekanisme proteolisis. Hal ini dibuktikan pada perbedaan yang sangat nyata antara 0 jam pelayuan dan 8 jam pelayuan namun pelayuan selama 8 jam


(1)

commit to user

Hasil analisis statistik menunjukkan dosis injeksi ekstrak papain kasar memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap jus daging. Hasil penelitian yang digambarkan pada Grafik H.1. di atas menunjukkan perlakuan dosis injeksi ekstrak papain kasar menghasilkan rerata tingkat jus daging yang relatif sama. Hasil ini disebabkan proses degradasi enzim papain dalam merusak struktur miofibril menambah cepatnya proses eksudasi cairan daging selama pemasakan sehingga daging menjadi kering, hal ini ditunjukkan pada nilai susut masak yang semakin besar.

Lawrie (1995) menyebutkan hampir semua air di dalam urat daging berada dalam miofibril dalam ruang antar filamen. Oleh karenanya rusaknya struktur miofibril mengakibatkan turunnya kekuatan menahan air dalam daging, sehingga dihasilkan tingkat jus daging yang kurang berair menuju berair, dimungkinkan panelis belum mampu mendeteksi adanya perbedaan jus daging karena daging yang terlalu kering.

Menurut Soeparno (2005) nilai pH yang rendah mengakibatkan kekuatan menahan air daging dalam ruang interfilamen juga rendah. Hal ini berakibat tingginya eksudasi cairan daging selama pemasakan. pH daging kontrol menunjukkan nilai yang lebih rendah dari pH daging perlakuan sehingga menghasilkan tingkat jus daging yang kurang berair menuju berair. Kedua proses diatas dimungkinkan mengakibatkan tingkat jus daging yang relatif sama yaitu kurang berair menuju berair pada daging kontrol dan perlakuan.

Rerata tingkat jus daging dengan perlakuan pelayuan 0, 4, dan 8 jam adalah 2.44 (kurang berair menuju berair), 2,63 (kurang berair menuju berair), dan 2,63 (kurang berair menuju berair). Berdasarkan hasil statistik perlakuan lama pelayuan memberikan pengaruh yang berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap jus daging. Hasil penelitian yang digambarkan pada Grafik H.2. di atas menunjukkan perlakuan lama waktu pelayuan menghasilkan rerata nilai jus daging yang relatif sama, hal ini di sebabkan kesan jus daging yang


(2)

commit to user

sukar dibedakan oleh panelis mengingat jus daging juga dipengaruhi oleh faktor salivias (Soeparno, 2005).

Lawrie (1995) menyatakan, pada umumnya lemak intramuskular tidak terhidrolisis selama pelayuan yang menyebabkan masih tingginya kandungan lemak dalam daging. Muchtadi et al. (2005) menambahkan lemak akan ikut mengembang bersamaan dengan proses rigormortis sehingga lemak terdistribusi merata pada jaringan daging. Menurut Leenstra et al. (1986) cit. Nuhriawangsa (2002) kandungan lemak daging unggas dipengaruhi oleh umur, dengan bertambahnya umur berakibat pada semakin tingginya kandungan lemak daging, hal inilah yang menyebabkan terjadinya kesan jus daging sukar dibedakan oleh panelis karena adanya kandungan lemak daging, sehingga panelis kemungkinan lebih melihat pada kesan saliviasnya.

Interaksi antar perlakuan kombinasi dosis injeksi ekstrak papain kasar dan lama waktu pelayuan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap jus daging. Hasil penelitian menunjukkan perlakuan kombinasi dosis injeksi ekstrak papain kasar dan lama waktu pelayuan menghasilkan rerata nilai jus daging yang relatif sama. Menurut Nuhriawangsa (2002) dan Irma et al. (1997) hal ini karena hidrolisis protein mengakibatkan terjadinya eksudasi cairan dalam daging sehingga daging menjadi kering yang mengakibatkan kesulitan panelis dalam menilai perbedaan jus daging, dimungkinkan tingginya kadar lemak pada daging tua juga mengakibatkan kesan jus daging yang sukar dinilai oleh panelis mengingat lemak intramuskular berpengaruh terhadap dibebaskannya saliva atau tingkat salivasi (Soeparno, 2005). Oleh karena faktor tersebut dimungkinkan panelis lebih melihat pada kesan saliviasnya sehingga menyebabkan nilai jus daging yang relatif sama antara daging kontrol dan perlakuan.

I. Uji Kesukaan Daging Secara Hedonik

Rata-rata tingkat kesukaan secara hedonik daging ayam petelur afkir pada perlakuan injeksi antemortem ekstrak papain kasar pada dosis yang


(3)

commit to user

berbeda dan lama waktu pelayuan selama penelitian ditunjukkan pada Tabel 9. Uji kesukaan adalah cara pengujian yang mengunakan panelis untuk mengemukakan responnya berupa senang tidak senang terhadap sifat bahan. Rerata tingkat kesukaan panelis terhadap daging dengan perlakuan dosis injeksi ekstrak papain kasar 0, 1, 2, dan 3 mg/bb adalah 2,22 (kurang suka menuju suka), 2,30 (kurang suka menuju suka), 2,67 (kurang suka menuju suka), dan 2,67 (kurang suka menuju suka). Berdasarkan perhitungan statistik perlakuan dosis injeksi ekstrak papain kasar berpengaruh tidak nyata (P<0,05) terhadap tingkat kesukaan panelis.

Hasil penelitian yang digambarkan pada Grafik I.1. di bawah menunjukkan bahwa injeksi ekstrak papain kasar menghasilkan tingkat kesukaan yang relatif sama dengan daging tanpa perlakuan. Hal ini disebabkan tingkat kesukaan panelis berhubungan dengan beberapa sifat fisik dalam daging. Menurut Santos et al. (2004) kesukaan objektif terhadap daging dipengaruhi oleh tingkat kekerasan, jus daging, flavor dan warna daging. Hasil pengujian keempukan walaupun memberikan hasil yang bereda nyata dengan kontrol namun sifat fisk lain seperti tingkat jus daging dan tekstur menghasilkan nilai yang relatif sama. Oleh karena itu dimungkinkan sifat fisik jus dan tekstur daging yang relatif sama tersebut lebih dominan dalam menghasilkan tingkat kesukaan daging, sehingga didapatkan tingkat kesukaan yang relatif sama dengan semakin meningkatnya dosis injeksi.

Tabel 9. Tingkat kesukaan secara hedonik daging ayam petelur afkir dengan injeksi ekstrak papain kasar pada dosis 0, 1, 2, 3 mg/bb dan pelayuan pada 0, 4 dan 8 jam.

Waktu Pelayuan (jam)

Dosis injeksi ekstrak papain kasar (mg/bb) Rerata

0 1 2 3

0 2,30 2,10 2,40 2,50 2,42

4 2,30 2,40 2,80 2,70 2,63

8 2,40 2,40 2,80 2,80 2,69

Rerata 2,33 2,30 2,67 2,67

Keterangan: Nilai derajat skala kesukaan :1 (tidak suka), 2 (kurang suka), 3 (suka), 4 (sangat suka)


(4)

commit to user

Grafik I.1. Rerata tingkat kesukaan daging ayam petelur afkir dengan injeksi ekstrak papain kasar pada dosis 0, 1, 2, 3 mg/bb.

Grafik I.2. Rerata tingkat kesukaan daging daging ayam petelur afkir dengan waktu pelayuan 0, 4, 8 jam.

Rerata tingkat kesukaan daging ayam petelur afkir pada perlakuan lama waktu pelayuan 0, 4, dan 8 jam adalah 2,44 (kurang suka menuju suka), 2,63 (kurang suka menuju suka) dan 2,69 (kurang suka menuju suka). Hasil analisis statistik menunjukkan perlakuan pelayuan berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap tingkat kesukaan daging ayam petelur afkir. Hasil penelitian yang digambarkan pada Grafik I.2. di atas menunjukkan lama waktu pelayuan menghasilkan tingkat kesukaan daging yang relatif sama. Hal ini disebabkan tingkat kesukaan daging berhubungan dengan keempukan daging (Soeparno, 2005). Kesukaan terhadap pangan dipengaruhi oleh

2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7

0 mg/bb 1 mg/bb 2 mg/bb 3 mg/bb

2.33

2.3

2.67 2.67

2.3 2.35 2.4 2.45 2.5 2.55 2.6 2.65 2.7

0 jam 4 jam 8 jam

2.44

2.63


(5)

commit to user

berbagai macam faktor diantaranya aroma, rasa, tekstur dan keempukan,

berbagai macam faktor tersebut menimbulkan penerimaan yang utuh (Puspitasari, 2008). Tahap pengujian organoleptik daging menyatakan

pelayuan menghasilkan rerata tingkat keempukan dan tekstur daging yang relatif sama. Nilai tersebut berkorelasi dengan tingkat kesukaan pada sifat daging sehingga preferensi panelis pada tingkat kesukaan secara hedonik tidak berbeda antar perlakuan pelayuan.

Berdasarkan analisis statistik hasil interaksi antara perlakuan kombinasi dosis injeksi ekstrak papain kasar dan lama waktu pelayuan berpengaruh tidak nyata (P<0,05) terhadap tingkat kesukaan daging. Perlakuan kombinasi dosis injeksi ekstrak papain kasar dan lama waktu pelayuan menghasilkan nilai yang relatif sama terhadap tingkat kesukaan daging ayam petelur afkir. Hasil ini senada dengan nilai interaksi pada keempukan, tekstur dan jus daging daging perlakuan, yang menunjukkan pengaruh tidak berbeda nyata antar perlakuan. Korelasi antara sifat bahan berupa keempukan, tekstur, dan jus daging terhadap tingkat kesukaan dimungkinkan yang menimbulkan preferensi panelis menyatakan nilai kesukaan produk yang hampir sama.


(6)

commit to user

52

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A.Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah:

1. Injeksi ekstrak papain kasar pada berbagai dosis dapat meningkatkan kualitas pH, daya ikat air, kekuatan tarik, dan keempukan daging, tetapi menurunkan kualitas susut masak daging ayam petelur afkir. Dosis injeksi ekstrak papain kasar tidak berpengaruh terhadap tingkat tekstur, jus dan kesukaan daging ayam petelur afkir. Injeksi ekstrak papain kasar dapat dilakukan pada dosis 2 mg/bb.

2. Waktu pelayuan dapat meningkatkan kualitas susut masak dan kekuatan tarik, tetapi menurunkan nilai pH dan daya ikat air daging ayam petelur afkir. Waktu pelayuan tidak berpengaruh terhadap tingkat keempukan, tekstur, jus, dan kesukaan daging ayam petelur afkir. Pelayuan daging dapat dilakukan dalam waktu 4 jam.

3. Interaksi antara dosis injeksi ekstrak papain kasar dan waktu pelayuan berpengaruh terhadap susut masak dan daya ikat air daging tetapi tidak berpengaruh terhadap pH, kekuatan tarik, keempukan, tekstur, jus, dan kesukaan daging. Kombinasi perlakuan injeksi ekstrak papain kasar dapat dilakukan pada dosis 1 mg/bb dengan waktu pelayuan 4 jam.

B.Saran

Berdasarkan hasil penelitian penambahan ekstrak papain kasar 1 mg/bb dan waktu pelayuan 4 jam dapat diterapkan untuk meningkatkan