EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM KEGIATAN AGROFORESTRI DI KAWASAN HUTAN BROMO KABUPATEN KARANGANYAR

(1)

commit to user

i

EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM KEGIATAN AGROFORESTRI DI KAWASAN HUTAN BROMO

KABUPATEN KARANGANYAR

SKRIPSI

Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana Pertanian

di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret

Jurusan/Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian

Oleh:

Yullie Akhiril Izzati H 0406081

Dosen Pembimbing

1. Dr. Sapja Anantanyu, SP, MSi

2. D. Padmaningrum, SP, MSi

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2010


(2)

commit to user

ii

HALAMAN PENGESAHAN

EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM KEGIATAN AGROFORESTRI DI KAWASAN HUTAN BROMO

KABUPATEN KARANGANYAR

Yang dipersiapkan dan disusun oleh: Yullie Akhiril Izzati

H 0406081

Telah dipertahankan didepan Dewan Penguji Pada tanggal: 8 November 2010 dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Susunan Tim Penguji Ketua

Dr. Sapja Anantanyu, SP, MSi NIP. 19681227 199409 1 002

Anggota I

D. Padmaningrum, SP, MSi NIP. 19720915 199702 2 001

Anggota II

Dr. Ir. Kusnandar, MSi NIP. 19670703 199203 1 004 Surakarta, 12 Desember 2010

Mengetahui Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret

Prof. Dr. Ir. H. Suntoro, MS. NIP. 19551217 198203 1 003


(3)

commit to user

iii

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat-Nya sehingga penulis diberikan kesempatan untuk menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Evaluasi Program Pemberdayaan Masyarakat dalam Kegiatan Agroforestri di Kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar”. Tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. H. Suntoro, MS selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Dr. Ir Kusnandar, MSi selaku Ketua Jurusan Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian, Universitas Sebelas Maret Surakarta sekaligus dosen penguji tamu. 3. Dwiningtyas Padmaningrum, SP, MSi selaku Ketua Komisi Sarjana

Jurusan/Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta sekaligus pembimbing akademik dan pembimbing pendamping dalam penulisan skripsi.

4. Dr. Sapja Anantanyu, SP, MSi selaku pembimbing utama dalam penulisan skripsi.

5. Bapak Ketut dan seluruh karyawan Jurusan/Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta atas kemudahan dalam menyelesaikan administrasi penulisan skripsi.

6. Kepala Bappeda dan Kesbangpolinmas Kabupaten Karanganyar yang telah mempermudah perijinan pengumpulan data.

7. Camat Karanganyar yang telah memberikan ijin untuk mengadakan penelitian di wilayah Kecamatan Karanganyar.

8. Pimpinan Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah dan Administratur KPH Surakarta yang telah memberikan ijin untuk mengadakan penelitian di kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar.

9. Asisten Perhutani dan Mandor Hutan Bromo yang telah membantu mempermudah pengumpulkan data.


(4)

commit to user

iv

10. Segenap responden yang telah berpartisipasi dalam pengumpulan data.

11. Kedua orang tua penulis, Ibu Dra. Hj. Roswita dan Bapak Drs. H. M. Hasyimi, terimakasih atas doa dan dukungan yang tiada henti. Mbak, Mas, Kakak, serta Abangku yang juga selalu memberikan motivasi.

12. Teman-teman Kost Annisa, Ten Community, dan teman-teman seperjuangan PKP’06, terimakasih atas bantuan dan dukungan serta persahabatan yang kalian berikan.

13. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan secara keseluruhan, yang telah membantu kelancaran penulisan skripsi ini.

Pada akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan.

Surakarta, 12 Desember 2010


(5)

commit to user

v DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PENGESAHAN... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI... v

DAFTAR TABEL... vii

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN... xi

RINGKASAN ... xii

SUMMARY ... xiii

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 3

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Kegunaan Penelitian ... 5

II. LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka ... 7

B. Kerangka Berfikir ... 35

C. Pembatasan Masalah ... 36

D. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel... 36

III. METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian ... 43

B. Metode Penentuan Lokasi Penelitian... 43

C. Metode Penentuan Populasi dan Sampel Penelitian ... 44

D. Jenis dan Sumber Data... 45

E. Teknik Pengumpulan Data... 45

F. Metode Analisis Data... 46

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Alam... 48


(6)

commit to user

vi

B. Keadaan Penduduk... 49

C. Keadaan Pertanian... 55

D. Keadaan Perekonomian... 57

E. Gambaran Umum Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar ... 58

F. Profil Program Agroforestri Hutan Bromo Karanganyar ... 59

V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Identitas Responden ... 63

B. Tingkat Aksesibilitas Informasi ... 65

C. Tingkat Keterlibatan atau Partisipasi ... 69

D. Tingkat Kapasitas Organisasi Lokal ... 78

E. Tingkat Kemanfaatan Agroforestri ... 81

F. Analisis Keragaan Pelaksanaan Kegiatan Agroforestri sebagai Program Pemberdayaan Masyarakat... 86

VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 93

B. Saran ... 95

DAFTAR PUSTAKA ... 96 LAMPIRAN


(7)

commit to user

vii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Distribusi Skor Tingkat Kemanfaatan dari Aspek Ekonomi... . 38 Tabel 2.2 Distribusi Skor Tingkat Kemanfaatan dari Aspek Sosial ... . 38 Tabel 2.3 Distribusi Skor Tingkat Kemanfaatan dari Aspek Ekologi... . 39 Tabel 2.4 Distribusi Skor Tingkat Kemanfaatan Total dari Aspek

Sosial, Ekonomi dan Ekologi ... . 39 Tabel 2.5 Pengukuran Variabel ... . 39 Tabel 3.1 Luas Total BKPH Lawu Utara ... . 44 Tabel 4.1 Keadaan Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin di

Desa Delingan dan Desa Gedong... . 49 Tabel 4.2 Jumlah Penduduk menurut Tingkat Pendidikan di Desa

Delingan dan Desa Gedong... . 52 Tabel 4.3 Keadaan Penduduk menurut Mata Pencaharian Desa

Delingan dan Desa Gedong... . 54 Tabel 4.4 Luas Penggunaan Lahan Pertanian di Desa Delingan dan

Desa Gedong ... . 55 Tabel 4.5 Jumlah Produksi Komoditas Utama di Desa Delingan dan

Desa Gedong ... . 56 Tabel 4.6 Keadaan Sarana Perekonomian di Desa Delingan dan Desa

Gedong ... . 57 Tabel 4.7 Keadaan Lembaga Perekonomian di Desa Gedong ... . 58 Tabel 5.1 Identitas Responden yang Pernah dan Masih Mengikuti

Kegiatan Agroforestri di Kawasan Hutan Bromo Kabupaten

Karanganyar dari Tahun 1990-2010 ... . 63 Tabel 5.2 Jenis Sumber Informasi yang Diakses oleh Responden yang

Pernah dan Masih Menjadi Peserta Agroforestri di Kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar dari Tahun

1990-2010... . 66 Tabel 5.3 Tingkat Keterlibatan atau Partisipasi Responden yang

Pernah dan Masih Menjadi Peserta Agroforestri di Kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar dari Tahun

1990-2010... . 70 Tabel 5.4 Tingkat Keterlibatan atau Partisipasi Responden yang

Pernah dan Masih Menjadi Peserta Agroforestri dalam Kegiatan Penentuan Lokasi Agroforestri di Kawasan Hutan


(8)

commit to user

viii

Bromo Kabupaten Karanganyar dari Tahun 1990-2010 (38

Responden)... . 71 Tabel 5.5 Tingkat Keterlibatan atau Partisipasi Responden yang

Pernah dan Masih Menjadi Peserta Agroforestri dalam Kegiatan Persiapan Lahan Agroforestri di Kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar dari tahun 1990-2010 (40

esponden) ... . 72 Tabel 5.6 Tingkat Keterlibatan atau Partisipasi Reswponden yang

Pernah dan Masih Menjadi Peserta Agroforestri dalam Kegiatan Persiapan Benih Tanaman Agroforestri di Kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar dari Tahun

1990-2010 (40 Responden) ... . 73 Tabel 5.7 Tingkat Keterlibatan atau Partisipasi Responden yang

Pernah dan Masih Menjadi Peserta Agroforestri dalam Kegiatan Penanaman Tanaman Pokok di Kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar dari Tahun 1990-2010 (40

Responden)... . 74 Tabel 5.8 Tingkat Keterlibatan atau Partisipasi Responden yang

Pernah dan Masih Menjadi Peserta Agroforestri dalam Kegiatan Pemeliharaan Tanaman Pokok di Kawsan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar dari Tahun 1990-2010 (40

Responden)... . 75 Tabel 5.9 Tingkat Keterlibatan atau Partisipasi Responden yang

Pernah dan Masih Menjadi Peserta Agroforestri dalam Kegiatan Patroli Hutan di Kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar dari Tahun 1990-2010 (5 Responden) ... . 76 Tabel 5.10 Tingkat Keterlibatan atau Partisipasi Responden yang Pernah

dan Masih Menjadi Peserta Agroforestri dalam Kegiatan Panen Tanaman Pokok di Kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar dari Tahun 1990-2010 (4 Responden) ... . 77 Tabel 5.11 Tingkat Kapasitas Organisasi Lokal di Kawasan Hutan

Bromo Kabupaten Karanganyar dari Tahun 1990-2010 ... . 78 Tabel 5.12 Distribusi Responden yang Pernah dan Masih Menjadi

Peserta Agroforestri berdasarkan Tingkat Kemanfaatan Agroforestri pada Aspek Ekonomi di Kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar dari Tahun 1990-2010 ... . 82 Tabel 5.13 Pertambahan Pendapatan Responden yang Pernah dan Masih

Menjadi Peserta Agroforestri setelah Mengikuti Program Agroforestri di Kawsan Hutan Bromo Kabupaten

Karanganyar dari Tahun 1990-2010 ... . 82 Tabel 5.14 Distribusi Responden yang Pernah dan Masih Menjadi


(9)

commit to user

ix

Agroforestri pada Aspek Sosial di Kawasan Hutan Bromo

Kabupaten Karanganyar dari Tahun 1990-2010 ... . 84 Tabel 5.15.Distribusi Responden yang Pernah dan Masih Menjadi

Peserta Agroforestri berdasarkan Tingkat Kemanfaatan Agroforestri pada Aspek Ekologi di Kawasan Hutan Bromo

Kabupaten Karanganyar dari Tahun 1990-2010 ... . 85 Tabel 5.16 Distribusi Responden yang Pernah dan Masih Menjadi

Peserta Agroforestri berdasarkan Tingkat Kemanfaatan Agroforestri di Kawasan Hutan Bromo Kabupaten

Karanganyar dari Tahun 1990-2010 ... . 86 Tabel 5.17 Analisis Keragaan dalam Kegiatan Agroforestri di Kawasan

Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar dari Tahun


(10)

commit to user

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Interaksi Sosial pada Pembangunan Hutan dan Desa

dengan Konsep Agroforestri... 7 Gambar 2.2. Tahapan Evaluasi dari Suatu Tahapan Program ... 22 Gambar 2.3. Kerangka Berpikir Penelitian... 35


(11)

commit to user

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kuisisoner Penelitian... 100

Lampiran 2 Identitas responden dan Tabulasi Data... 116

Lampiran 3 Surat Ijin ... 138

Lampiran 4 Peta Kecamatan ... 143


(12)

commit to user

xii RINGKASAN

Yullie Akhiril Izzati, H 0406081. “Evaluasi Program Pemberdayaan Masyarakat dalam Kegiatan Agroforestri di Kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar”. Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta. Di bawah bimbingan Dr. Sapja Anantanyu, SP, MSi dan D. Padmaningrum, SP, MSi.

Indonesia merupakan negara dengan keragaman ekosistem yang melimpah, salah satunya adalah hutan yang dapat memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat. Hal ini menyebabkan pembangunan kehutanan perlu dilakukan karena dapat memberikan keuntungan bagi masyarakat desa hutan sebagai pelaku utama pembangunan kehutanan yang telah memiliki kearifan lokal dalam menjaga hutan. Sifat inilah yang dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mengelola hutan bersama masyarakat. Untuk menjaga kelestarian hutan juga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam bentuk partisipasi yang lebih populer dengan kata “perhutanan sosial”, dimana salah satu bentuknya adalah kegitan agroforestri. Begitu pula yang dilakukan di kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar. Seluruh kegiatan agroforestri ini membutuhkan evaluasi untuk mengetahui seberapa jauh kegiatan tersebut telah dilakukan.

Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji tingkat aksesibilitas informasi, tingkat keterlibatan dan tingkat kapasitas organisasi lokal peserta agroforestri, mengkaji tingkat kemanfaatan ekonomi, sosial dan ekologi yang dirasakan peserta agroforestri, serta menganalisis keragaan yang ada. Metode penelitian berdasarkan tujuannya adalah metode deskriptif dan berdasarkan kegunaannya adalah metode evaluasi dengan teknik survai. Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja (purposive), penentuan responden dilakukan dengan teknik snowball sampling dan convenience sampling. Distribusi frekuensi digunakan untuk mengetahui seberapa jauh kegiatan telah dilakukan, untuk menarik kesimpulan digunakan median skor, untuk mengukur tingkat kemanfaatan digunakan distribusi skor, serta analisis keragaan menggunakan perbandingan data potensial dan aktual.

Hasil penelitian menunjukkan umur responden 90,00% termasuk dalam kategori umur produktif yaitu umur 15-54 tahun dengan jenis kelamin laki-laki. Pendidikan formal 45,00% responden yaitu tamat SD/sederajat. Pekerjaan tetap 87,50% responden adalah petani dan seluruh reponden pekerjaan sampingannya adalah petani Hutan Bromo. Pengalaman reponden mengelola agroforestri 60,00% < 8 tahun. Tingkat aksesibilitas peserta yang paling tinggi adalah kepada Perhutani diikuti sesama peserta, LMDH, dan penyuluh. Dari 40 responden, 100,00 % terlibat pada kegiatan persiapan lahan dan benih, penanaman tanaman pokok, serta pemeliharaan tanaman pokok. 38 responden (95,00%) terlibat pada kegiatan penentuan lokasi, 5 responden (12,50%) pada kegiatan patroli hutan, 4 responden (10,00%) pada kegiatan panen tanaman pokok, dan evaluasi sebesar 0,00%. Tingkat kapasitas organisasi lokal kepada peserta tidak pernah dilakukan. Tingkat kemanfaatan agroforestri dari aspek ekonomi, ekologi dan sosial yang tergolong sangat baik sebanyak 13 responden, yang tergolong baik 21 dan yang tergolong cukup 6 responden. Masalah yang muncul dalam analisis keragaan


(13)

commit to user

xiii

adalah pada kegiatan perencanaan, monitoring, pelaksanaan evaluasi, dan kelembagaan.


(14)

commit to user

xiv SUMMARY

Yullie Akhiril Izzati, H 0406081. "Evaluation of Community Empowerment Programme in Agroforestry Activities in Bromo Forest Area Karanganyar District”. Agriculture Faculty of Sebelas Marert University Surakarta. Under guidance Dr. Sapja Anantanyu, SP, MSI and D. Padmaningrum, SP, MSi.

Indonesia is a country with an abundant diversity of ecosystems, one of which is the forest that can provide benefits to people's lives. So that needs to be done for forestry development that can benefit the rural community as the main perpetrators of forestry development that actually has local knowledge to maintain and conserve forests. Nature is utilized by the government to manage the forest with the community together. To keep the forests preservation is also to improve people's welfare in the form of participation is more popular with the word "social forestry", where one form is the agroforestry activity. Similarly, conducted in the of Bromo Forest area Karanganyar District. All of these agroforestry activities require evaluation to determine how far these activities have been conducted.

The aim of this researchs are to inspect the information accessibility level, involvement (participation) level and the participant agroforestry capacity of local organizations level, inspect the usefulness of economic, social and ecological agroforestry participant perceived, as well as analyzing impact point existing. The method of this research is descriptive method based on objective and based on the usefulness evaluation method with survey techniques. The location of this reaserch is determined intentional (purposive), the determination of the respondents was done by using snowball sampling and convenience sampling. Frequency distribution used to find out how far the activities have been conducted, to draw conclusions use the median score, to measure the usefulness level used the score distribution, and to analyze the real fact used the potential and actual data comparison.

Results showed that 90,00% respondents included in the productive age category 15-54 years of age with male gender. 45,00% formal education of respondent taken by the namely complete primary school or equivalent. 87,50% respondents work remains as farmers and all respondents are Bromo Forest farmers. Experience the majority of respondents manage agroforestry more less than 8 years old as much as 60,00%. Accessibility level is the highest participant to Perhutani followed to fellow participants, LMDH, and extension. All of 40 respondents (100,00%) involvement on land preparation activities, seeds and seedlings preparation, main crops planting, and the principal crops maintenance. The involvement of participants level in the activity determination of the location are 38 respondents (95,00%), forest patrols 5 respondents (12,50%), main crop harvest 4 respondents (10,00%), and evaluation of 0.00%. The local organizational capacity to participants level is never done. Agroforestry benefits Level from the economic, ecological and social issues as very good is as much as 13 respondents, who belong to both 21 and of the fairly 6 respondents. Problem that was appears from the real fact analyze are activities of planning, monitoring, evaluation, and institutional.


(15)

commit to user

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia merupakan negara dengan keragaman ekosistem yang melimpah, salah satunya adalah hutan. Hutan sebagai salah satu sumber daya alam yang dapat memberikan banyak manfaat bagi kehidupan masyarakat. Kemanfaatannya yang besar itu menimbulkan banyak kegiatan illegal logging yang pada akhirnya dapat merugikan berbagai pihak. Data yang dikeluarkan Bank Dunia menunjukkan bahwa Indonesia sejak tahun 1985-1997 telah kehilangan hutan sekitar 1,5 juta hektar setiap tahun dan diperkirakan sekitar 20 juta hektar hutan produksi yang tersisa. Menurut data Departemen Kehutanan RI tahun 2006, luas hutan yang rusak dan tidak dapat berfungsi optimal telah mencapai 59,6 juta hektar dari 120,35 juta hektar kawasan hutan di Indonesia, dengan laju deforestasi (perusakan hutan atau penggundulan hutan) dalam 5 tahun terakhir mencapai 2,83 juta hektar per tahun (Parasdya, 2010).

Oleh karena itu, pembangunan hutan perlu dilakukan untuk mendukung kelancaran pembangunan nasional, mengingat potensi hutan dan permasalahan yang dimilikinya sama besar dan pentingnya. Pembangunan kehutanan tidak hanya dapat berupa pembangunan dalam peningkatan komoditasnya, namun juga dari yang awalnya berupa industrial menuju ke kehutanan masyarakat.

Kehutanan masyarakat diharapkan dapat memberikan keuntungan kepada masyarakat desa hutan guna merealisasikan pembangunan kehutanan, karena masyarakat desa hutan sebenarnya merupakan pelaku utama dalam kegiatan kehutanan karena kondisi geografis mereka yang dekat dengan hutan. Hasil pembangunan kehutanan dianggap belum dirasakan secara optimal oleh masyarakat desa hutan, padahal masyarakat desa hutan telah memberikan andil yang cukup besar bagi pembangunan yang ada, baik itu dalam bentuk memanfaatkan hasil hutan hingga tanggung jawab mengelola kelestarian hutan dengan kearifan lokal yang mereka miliki. Kearifan lokal yang dimiliki


(16)

commit to user

masyarakat desa hutan inilah yang dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mengelola hutan bersama masyarakat. Tujuannya adalah untuk menjaga kelestarian hutan dan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam bentuk partisipasi.

Partisipasi mayarakat desa hutan dalam mengelola hutan, menurut Mardikanto (2005), sebenarnya telah dimulai sejak masa penjajahan Hindia Belanda dan Jepang, meskipun baru dilibatkan dalam kegiatan penanaman dan pemeliharaan tanaman. Pada prakteknya saat ini kegiatan mengelola hutan dengan melibatkan masyarakat tersebut lebih populer dengan istilah “perhutanan sosial” sejak dilaksanakannya proyek Perhutanan Sosial oleh Perum Perhutani pada tahun 1986. Adapun manfaat-manfaat yang diharapkan dari kegiatan perhutanan sosial adalah perbaikan dan perluasan tanaman, perluasan lapangan kerja dan kesempatan kerja bagi masyarakat desa hutan, perbaikan mutu sumberdaya manusia, pengembangan sarana-prasarana, serta penumbuhan dan efektivitas kelembagaan.

Sebenarnya dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep antara perhutanan sosial dengan kehutanan masyarakat adalah sama bila dilihat dari tujuan keduanya secara garis besar yaitu: perbaikan kesejahteraan masyarakat desa hutan dan perbaikan sumber daya alam (hutan) melalui kegiatan-kegiatan yang telah dirancang pemerintah. Begitu pula dengan agroforestri, dimana ia merupakan salah satu bentuk kegiatan rancangan pemerintah sebagai wujud dari perhutanan sosial bila dilihat dari tujuan yang hendak dicapainya.

Kebutuhan pemerintah akan keamanan hutan, lahan dan hasil hutan, serta keinginan untuk memberdayakan masyarakat desa hutan merupakan salah satu faktor mengapa pemerintah perlu melakukan kegiatan agroforestri. Hal ini juga didukung dengan adanya kebutuhan petani penggarap akan pendapatan tambahan guna meningkatkan kesejahteraan petani dan keluarganya. Kebutuhan antara pemerintah dan petani yang saling menguntungkan tersebut mendorong pemerintah untuk mengadakan kegiatan agroforestri dan mendorong petani untuk ikut serta dalam rangkaian kegiatan agroforestri tersebut.


(17)

commit to user

Kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar adalah satu-satunya hutan produksi yang dimiliki Kabupaten Karanganyar dengan luas area 208,3 hektar di bawah kekuasaan dan wilayah kerja BKPH Lawu Utara (Sumber: Badan Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Lawu Utara), juga melakukan kegiatan agroforestri demi keberlangsungan fungsi hutan dan mensejahterakan masyarakat di desa sekitar hutan. Seluruh rangkaian dari suatu kegiatan membutuhkan evaluasi untuk mengukur dan menilai seberapa jauh kegiatan tersebut telah dilakukan. Adanya evaluasi ini akan diketahui apakah program pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan agroforestri di Kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar dapat diterima baik atau tidak. Evaluasi terhadap program pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan agroforestri merupakan umpan balik yang sangat berguna bagi pelaksanaan untuk mengevaluasi kembali kekurangan-kekurangan yang ada sehingga dapat disesuaikan dengan kebutuhan petani setempat.

B. Perumusan Masalah

Pemberdayaan masyarakat penting untuk dilakukan bila dilihat dari tujuannya yaitu untuk memandirikan masyarakat dalam mengelola potensi yang dimilikinya dengan masyarakat itu sendiri sebagai pelaku utama pemberdayaan (subyek bukan obyek). Begitu pula yang harus dilakukan dalam memberdayakan masyarakat desa hutan, karena masyarakat tersebut berdomisili dekat sekali dengan hutan. Namun kondisi mayarakat desa hutan ternyata bertolak belakang dengan kondisi hutan yang kaya raya akan hasil hutan. Jadi, pemberdayaan ini dimaksudkan agar apa yang dilakukan adalah dari, oleh dan untuk masyarakat itu sendiri.

Agroforestri adalah salah satu bentuk terpenting dari penerapan konsep perhutanan sosial. Agroforestri dapat dipahami sebagai suatu sistem penggunaan lahan dengan tujuan yang spesifik. Melalui agroforestri, peserta perhutanan sosial diberi lahan garapan (andil) untuk ditanami tanaman pertanian di sepanjang lajur diantara tanaman kehutanan. Sebagai timbal balik dari lahan garapan yang diterima, peserta perhutanan sosial wajib ikut


(18)

commit to user

berpartisipasi dalam penanaman kembali pohon hutan dan pengamanan hutan. Namun sebaik apapun fasilitas yang diberikan akan tidak berguna apabila tidak ada partisipasi dari sasaran/petani.

BKPH Lawu Utara memiliki banyak hutan, namun hanya Hutan Bromo yang dijadikan hutan produksi dengan luas area 208,3 hektar. Agroforestri di Hutan Bromo sebenarnya sudah dilakukan oleh masyarakat dari dahulu secara turun menurun untuk menambah pendapatan keluarga. Namun karena masyarakat seringkali mengambil hasil hutan berupa kayu-kayuan, maka Perhutani melakukan agroforestri bersama masyarakat dengan membentuk Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH).

Ada atau tidaknya permasalahan dalam suatu kegiatan bukan merupakan indikator penentu bahwa kegiatan tersebut baik atau buruk, namun tetap perlu dievaluasi sejauh mana kegiatan tersebut telah berjalan. Dari penjelasan di atas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini antara lain: 1. Bagaimana tingkat aksesibilitas informasi peserta agroforestri selama

program pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan agroforestri di kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar?

2. Bagaimana tingkat keterlibatan atau partisipasi peserta agroforestri selama program pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan agroforestri di kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar?

3. Bagaimana tingkat kapasitas organisasi lokal peserta agroforestri selama program pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan agroforestri di kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar?

4. Bagaimana tingkat kemanfaatan ekonomi, sosial dan ekologi yang dirasakan peserta agroforestri selama program pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan agroforestri di kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar?

5. Bagaimana analisis keragaan pelaksanaan kegiatan agroforestri sebagai program pemberdayaan masyarakat di kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar?


(19)

commit to user

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian Evaluasi Program Pemberdayaan Masyarakat dalam Kegiatan Agroforestri di Kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar adalah untuk:

1. Mengkaji tingkat aksesibilitas informasi peserta agroforestri selama program pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan agroforestri di kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar.

2. Mengkaji tingkat keterlibatan atau partisipasi peserta agroforestri selama program pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan agroforestri di kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar.

3. Mengkaji tingkat kapasitas organisasi lokal peserta agroforestri selama program pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan agroforestri di kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar.

4. Mengkaji tingkat kemanfaatan ekonomi, sosial dan ekologi yang dirasakan peserta agroforestri selama program pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan agroforestri di kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar. 5. Menganalisis keragaan pelaksanaan kegiatan agroforestri sebagai program

pemberdayaan masyarakat di kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar.

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan dari penelitian Evaluasi Program Pemberdayaan Masyarakat dalam Kegiatan Agroforestri di Kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar adalah sebagai berkut:

1. Bagi peneliti, penelitian ini merupakan proses belajar yang ditempuh peneliti untuk mendalami tema penelitian yang diangkat dan memberikan solusi bagi permasalahan yang muncul di lapang. Selain itu juga sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian. 2. Bagi pemerintah dan instansi terkait, diharapkan dapat menjadi bahan


(20)

commit to user

pengembangan program pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan agroforestri.

3. Bagi peneliti lain, dapat dipergunakan sebagai bahan perbandingan dalam penelitian sejenis selanjutnya.


(21)

commit to user

7

II. LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Pembangunan Kehutanan

Di dalam pembangunan hutan yang bertitik tolak pada pendekatan prosperity approach harus selalu berusaha mempertimbangkan penduduk desa sebagai subyek dan bukan sebagai obyek. Telah banyak bukti dengan pendekatan ini pembangunan hutan dan masyarakat hutan akan berhasil. Di dalam membina hutan dan masyarakat sekitar hutan sebaiknya diusahakan adanya interaksi yang positif sifatnya yaitu bekerjasama (cooperation). Skema interaksi sosial dalam pembangunan menurut konsep agroforestri dapat dilihat pada gambar berikut:

program pembangunan oleh

kehutanan

masyarakat desa Gambar 2.1. Interaksi Sosial pada Pembangunan Hutan dan Desa dengan

Konsep Agroforestri (Sumber: Fandeli, 1985)

Pembangunan kehutanan sebagai bagian dari pembangunan nasional merupakan suatu usaha berencana yang diharapkan menghasilkan produk-produk baik materiil maupun spiritual (tangible dan intangible) guna meningkatklan kesejahteraan rakyat dan negara (Fandeli, 1985).

conflict

competation


(22)

commit to user

Secara keseluruhan, isi pola umum pembangunan jangka panjang merupakan pangarahan dalam melaksanakan pembinaan dan pembangunan, dan khusus untuk pembangunan kehutanan dapat dipetik: a. Untuk mencapai keseimbangan antara bidang pertanian dan bidang

industri, serta terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat, yang berarti bahwa sebagian besar dari usaha pembangunan diarahkan kepada pembangunan ekonomi, sedangkan pembangunan di bidang-bidang lainnya bersifat menunjang dan melengkapi bidang ekonomi.

b. Dalam melaksanakan pembangunan, sumber-sumber alam Indonesia harus digunakan secara rasional. Penggalian sumber kekayaan alam tersebut harus diupayakan dengan tidak merusak tata lingkungan hidup manusia, yaitu dilaksanakan dengan kebijakan yang menyeluruh dan dengan memperhitungan kebutuhan generasi yang akan datang.

Pembangunan kehutanan diharapkan pada berkembangnya kehutanan yang maju, efisien dan tangguh. Pembangunan kehutanan bertujuan untuk meningkatkan hasil dan mutu produksi, meningkatkan pendapatan dan taraf hidup masyarakat, memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha, menunjang pembangunan industri serta meningkatkan ekspor. Untuk itu perlu dilanjutkan dan ditingkatkan usaha-usaha diversifikasi, intensifikasi, dan ekstensifikasi serta rehabilitasi yang harus dilaksanakan secara terpadu, serasi dan merata disesuaikan dengan kondisi tanah, air, dan iklim, dengan tetap memelihara kelestarian sumber alam dan lingkungan hidup serta memperhatikan pola kehidupan masyarakat setempat. Dalam rangka pembangunan kehutanan, perlu ditingkatkan pula kemampuan pengusahaan dan pengelolaan serta penerapan teknologi yang tepat pada usaha-usaha kehutanan. Pembangunan kehutanan harus memanfaatkan sumber daya yang ada dan yang dapat dikembangkan secara efisien serta harus merupakan usaha yang terpadu dan saling menunjang dengan pembangunan di sektor lain, terutama untuk pembangunan industri, daerah dan pedesaan, transmigrasi serta upaya


(23)

commit to user

memelihara kelestarian kemampuan sumber alam dan lingkungan hidup (Departemen Kehutanan, 1988).

Amanah dan arah pembangunan kehutanan Indonesia didasarkan pada Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 dan pasal 33 dan Garis-Garis Besar Haluan Negara 1988. Arahan pembangunan kehutanan pada intinya mencakup hal-hal sebagai berikut:

a. Menciptakan iklim yang merangsang pengembangan industri di negara berkembang sebagai usaha mengurangi tekanan pembangunan pada sumber daya alam kehutanan dan tanah, serta menggeser tekanan itu pada pemanfaatan ilmu dan teknologi.

b. Mengembangkan sistem tarip impor-ekspor yang mendorong ekspor barang dan jasa yang diproses, serta mengurangi ekspor bahan mentah dari negara berkembang ke negara industri. Dengan demikian, ekspor negara berkembang meningkat dan mengurangi tekanan pada alam sebagai sumber bahan mentah, termasuk hutan tropis.

c. Mengembangkan pariwisata lingkungan alam yang unik sebagai upaya mendorong perkenalan lingkungan dan cinta pada alam beserta isinya. d. Meningkatkan dan merealisasikan penghutanan kembali lahan-lahan

kritis.

e. Melakukan ikhtiar pengembangan keanekaragaman hayati di hutan asli dan di luarnya untuk menjaga kelanggengan tumbuh-tumbuhan dan satwa, menciptakan bibit unggul untuk menjadi sumber bagi bahan obat-obatan, pangan, dan industri masa depan.

(Arief, 2005).

Sebagai unsur pendukung pembangunan nasioanal, pembangunan kehutanan bertujuanan untuk mencapai sasaran utama sektor kehutanan, yaitu: yang titik beratnya diletakkan pada bidang ekonomi dan dengan memperhatikan faktor-faktor strategis yang mempengaruhi maka sasaran utama sektor kehutanan dalam kurun waktu 25 tahun yang akan datang adalah terjaminnya kemantapan dan keberadaan sumber daya hutan dengan fungsi-fungsinya secara optimal dalam memenuhi kebutuhan hasil


(24)

commit to user

hutan bagi industri, menjamin terpeliharanya keragaman biologi (biodiversity), pemeliharaan keseimbangan tata air (hydrology), penyangga kehidupan, serta tercapainya fungsi sosial dan ekonomi yang tinggi (Sumitro,1992).

Menurut Nugraha (2005), memasuki tahun 1998 dalam konteks kehutanan terjadi pergeseran paradigma pembangunan kehutanan, dimana pengelolaan hutan tidak hanya berpusat pada satu komoditas melainkan bergeser menjadi multikomoditas. Pergeseran tersebut diharapkan mampu mewujudkan suatu sistem pengelolaan hutan yang adil, demokratis dan berkelanjutan berdasarkan partisipasi masyarakat secara keseluruhan.

2. Hutan

Info tentang definisi “hutan” sangat penting untuk dikemukakan, sebab UU No. 41 Tahun 1999 sebagai landasan dasar pengurusan kehutanan Indonesia mendefinisikan hutan sebagai “suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan” (Srihadiono, 2005).

Kata hutan merupakan terjemahan dari kata bos (Belanda) dan forrest (Inggris). Forrest merupakan dataran tanah yang bergelombang, dan dapat dikembangkan untuk kepentingan di luar kehutanan, seperti pariwisata. Di dalam hukum Inggris Kuno, forrest (hutan) adalah suatu daerah tertentu yang tanahnya ditumbuhi pepohonan, tempat hidup binatang buas dan burung-burung hutan. Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan, hutan diartikan dengan suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohon (yang ditumbuhi pepohon-pohonan) yang secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta lingkungannya, dan yang telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan.

Hutan mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam menunjang pembangunan nasional. Hal ini disebabkan hutan itu bermanfaat bagi sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat


(25)

commit to user

Indonesia. Manfaat itu dapat dibedakan atas dua macam: langsung dan tidak langsung. Manfaat hutan secara langsung adalah menghasilkan kayu yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, serta hasil hutan ikutan antara lain rotan, getah, buah-buahan, madu, dan lain-lain. Ada delapan manfaat hutan secara tidak langsung, antara lain: mengatur tata air, mencegah terjadinya erosi, memberikan manfaat di sektor pariwisata, memberikan manfaat dalam bidang pertahanan keamanan, menampung tenaga kerja, dan menambah devisa negara. Di dalam Agenda 21 Konferensi Tingkat Tinggi di Rio de Janeiro pada tahun 1992 disebutkan manfaat hutan sebagai paru-paru dunia (Salim, 2004).

Hutan sebagai suatu ekosistem, seperti yang dikemukakan Odum dalam Sumardi dan S. M. Widyastuti (2004), tidak hanya terdiri atas komunitas tumbuhan dan hewan semata, akan tetapi meliputi juga keseluruhan interaksinya dengan faktor tempat tumbuh dan lingkungan. Dalam perkembangan kehidupan dan peradaban manusia, hutan semakin banyak dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pemanfaatan hutan dilakukan dengan cara dan intensitas yang sangat bervariasi, mulai dari pemanfaatan yang tidak banyak mempengaruhi kondisi klimaks hutan sampai pada tindakan-tindakan yang menimbulkan perubahan komposisi hutan yang mencolok.

Hutan di Indonesia, yang merupakan hutan tropika basah yang karena pengaruh faktor geografi, hidrogafi dan klimatologi memiliki berbagai macam tipe hutan dan jenis flora dan fauna yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan. Dalam kaitan ini sumber daya hutan merupakan penentu siklus kehidupan dan siklus alami, sehingga hilangnya hutan berarti hilang pula sumber daya alam dan daya dukungnya. Pemanfaatan sumber daya alam hutan bila dilakukan sesuai dengan fungsi yang terkandung di dalamnya, seperti adanya fungsi lindung, fungsi suaka, fungsi produksi, fungsi wisata, dan lain-lain dengan dukungan kemampuan pengembangan sumber daya manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi, akan sesuai dengan hasil yang ingin dicapai, baik terukur maupun yang


(26)

commit to user

dapat diukur berupa produksi, jasa, energi, perlindungan lingkungan dan lain sebagainya (Pamulardi, 1999).

Kawasan hutan sebagian besar menempati daerah yang jauh dari pemukiman penduduk dan lahan pertanian. Pada umumnya tanah hutan memiliki kesuburan rendah sampai marginal, topografinya landai sampai terjal, menempati kawasan sampai ke puncak-puncak bukit dan gunung. Oleh karena itu pengelolaan hutan pada awalnya berangkat dari daerah yang berpenduduk jarang, bahkan seringkali tidak dihuni oleh penduduk sama sekali. Dengan adanya kegiatan penebangan kayu dari hutan alam untuk tujuan komersial, daerah yang kosong dari penduduk lambat laun akan diisi oleh pemukim, baik yang bekerja dalam kegiatan penebangan tersebut maupun yang menyediakan jasa kepada para pekerja. Komunitas baru itu menarik masyarakat lain untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar sehingga kegiatan pertanian pun mulai berkembang pula. Semuanya itu menyebabkan daerah tersebut menjadi terbuka, aksesibilitas dan sarana komunikasi berkembang sehingga mobilitas penduduk di kawasan itu meningkat. Akibatnya problem sosial di kawasan tersebut juga meningkat yang akhirnya menimbulkan dampak negatif terhadap pengelolaan hutan yang semula dapat berlangsung dengan tenang tanpa gangguan masyarakat di sekitarnya (Hardiyanto dan Hardjono A., 2004).

Perhutani sebagai BUMN yang mengelola hutan di Jawa telah melakukan beberapa pendekatan pengelolaan hutan yang melibatkan peran serta masyarakat, diantaranya:

a. Sekitar tahun 1970-an, muncul program MALU (Mantri dan Lurah). Program ini mengintegrasikan program kerja mantri dengan program kerja lurah.

b. Tumpang sari konvensional (sampai dengan 1972).

c. Prosperity approach atau pendekatan kemakmuran (1972-1982). Program ini disusun demi kemakmuran rakyat di sekitarnya.

d. Perhutanan sosial yang pelaksanaannya diintegrasikan dengan Pembangunan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) (1984-1994).


(27)

commit to user

e. Pembangunan Masyarakat Desa Hutan Terpadu (PMDT) (1994-2000). (Perhutani, 2003).

3. Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan masyarakat sebenarnya mengacu kepada pada kata empowerment, yaitu sebagai upaya untuk mengaktualisasikan potensi yang sudah dimiliki sendiri oleh masyarakat. Jadi pendekatan pemberdayaan masyarakat titik beratnya adalah penekanan pada pentingnya masyarakat lokal yang mandiri sebagai suatu sistem yeng mengorganisir diri mereka sendiri. Pendekatan pemberdayaan masyarakat yang demikian diharapkan dapat memberi peranan kepada individu bukan sebagai obyek, tetapi justru sebagai subyek pelaku pembangunan yang ikut menentukan masa depan dan kehidupan masyarakat secara umum. Prioritas utama program pemberdayaan masyarakat adalah terciptanya kemnadirian, yang artinya masyarakat diharapkan mampu menolong dirinya sendiri dalam berbagai hal, terutama yang menyangkut kelangsungan kehidupan (Setiana, 2005).

Empowerment atau pemberdayaan secara singkat dapat diartikan sebagai upaya untuk memberikan kesempatan dan kemampuan kepada kelompok masyarakat (miskin) untuk mampu dan berani bersuara (voice) serta kemampuan dan keberanian untuk memilih (choice). Karena itu, pemberdayaan dapat diartikan sebagai proses terencana guna meningkatkan skala/upgrade utilitas dari obyek yang diberdayakan. Upaya pemberdayaan masyarakat perlu memperhatikan empat unsur pokok, yaitu:

a. Aksesibilitas informasi, karena informasi merupakan kekuasaan baru kaitannya dengan peluang, layanan, penegakkan hukum, efektivitas negosiasi, dan akuntabilitas.

b. Keterlibatan atau partisipasi, yang menyangkut siapa yang dilibatkan dan bagaimana mereka terlibat dalam keseluruhan proses pembangunan.

c. Akuntabilitas, kaitannya dengan pertanggungjawaban publik atas segala kegiatan yang dilakukan dengan mengatasnamakan rakyat.


(28)

commit to user

d. Kapasitas organisasi lokal, kaitannya dengan kemampuan bekerjasama, mengorganisir warga masyarakat, serta memobilisasi sumberdaya untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi.

(Mardikanto, 2005).

Arti pemberdayaan pada dasarnya bertujuan membangun manusia agar meningkatkan kualitas dirinya untuk membangun kehidupannya. Pemberdayaan saat ini merupakan pilihan satu-satunya saat ini dalam membangun secara bertahap, perlu diprioritaskan dalam peningkatan sumber daya manusia. Oleh karena itu, dalam pemberdayaan masyarakat, hal-hal yang perlu diperhatikan yaitu:

a. Pengembangan organisasi/kelompok masyarakat yang dikembangkan yang berfungsi mendinamisasi kegiatan pemberdayaan masyarakat. b. Pengembangan jaringan strategis antara kelompok yang terbentuk dan

berperan dalam pengembangan masyarakat.

c. Jaminan atas hak-hak masyarakat dalam mengelola sumber daya lokal. d. Terpenuhinya kebutuhan hidup dan kesejahteraan hidup.

(Nuraeni, 2005).

Menurut Wilson dalam Sumaryadi (2005), pemberdayaan individu merupakan sebuah proses yang terdiri dari awakening, understanding, harnessing, dan using. Tahap pertama dari proses pemberdayaan individu adalah awakening, yang membantu orang mengadakan penelitian terhadap situasi mereka saat ini, pekerjaan dan posisi mereka dalam organisasi. Mereka menggambarkan kemampuan, sikap dan keterampilan mereka untuk menentukan apakah mereka secara efektif dimanfaatkan. Tahap kedua, yaitu understanding, dimana orang mendapat pemahaman dan persepsi baru yang sudah mereka dapat mengenai diri mereka sendiri, pekerjaan mereka, aspirasi mereka dan keadaan umum. Misalnya, proses mencari alasan mengapa mereka merasa perlu melakukan dan kemudian mengembangkan suatu strategi atau prosedur untuk menyelesaikan suatu masalah. Tahap ketiga yaitu harnessing, yang diakibatkan oleh proses


(29)

commit to user

awakening dan understanding. Individu, yang sudah memperlihatkan keterampilan dan sifat, harus memutuskan bagaimana mereka dapat menggunakannya bagi pemberdayaan. Tahap terakhir yaitu using atau menggunakan keterampilan dan kemampuan pemberdayaan sebagai bagian dari kehidupan kerja setiap hari.

Dalam kerangka pemberdayaan masyarakat yang terpenting adalah dimulai dengan bagaimana cara menciptakan kondisi, suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat untuk berkembang. Dalam mencapai tujuan pemberdayaan, berbagai upaya dapat dilakukan melalui berbagai macam strategi, diantara strategi tersebut adalah modernisasi yang mengarah pada perubahan struktur sosial, ekonomi dan budaya yang bersumber pada peran serta masyarakat setempat. Prioritas utama program pemberdayaan masyarakat adalah terciptanya kemandirian, yang artinya masyarakat mampu menolong dirinya sendiri dalam berbagai hal, terutama yang menyangkut kelangsungan hidupnya. Dalam pemberdayaan masyarakat petani/peternak, perlu diketahui sumber daya alam dan sumber daya manusia yang ada sehingga dalam menyusun program pemberdayaan akan lebih mengena sasaran (Setiana, 2005).

Menurut Suharto dalam Suharto (2009), pemberdayaan merujuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah sehingga mereka memiliki kekuatan atau kemampuan dalam (a) memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan (freedom), dalam arti bukan saja bebas mengemukakan pendapat, melainkan bebas dari kelaparan, kebodohan, kesakitan; (b) menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang mereka perlukan; dan (c) berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka.

Untuk menjelaskan pembangunan masyarakat sebagai suatu realita sosial dapat digunakan berbagai perspektif yang berbeda. pembangunan yang berorientasi perspektif pertumbuhan yang dikombinasikan dengan


(30)

commit to user

kebijakan yang berorientasi stabilitas telah melahirkan pelaksanaan pembangunan yang bersifat sentralistis dan top down. Untuk mendukung pendekatan itu dibutuhkan kekuasaan dan kewenangan negara yang besar dan terpusat. Dalam pelaksanaanya, kebijakan ini juga telah melahirkan dominasi negara di suatu pihak dan marginalisasi masyarakat di lain pihak, terutama dalam proses pengambilan keputusan dan pengelolaan pembangunan. Walaupun secara makro kebijakan ini dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tetapi secara mikro ternyata kurang menyentuh peningkatan taraf hidup lapisan terbawah, bahkan kemudian menimbulkan kesenjangan. Oleh sebab itu, kemudian muncul pemikiran alternatif dalam kebijakan pembangunan, yaitu suatu pendekatan pembangunan yang memberikan kewenangan kepada masyarakat sampai pada tingkat terbawah, khususnya masyarakat lokal dalam proses pengambilan keputusan dan pengelolaan pembangunan (perspektif people centered development). Oleh karena penyebab marginalisasi masyarakat menjadi sumber masalah tidak terangkatnya taraf hidup lapisan bawah adalah faktor ketidakberdayaan maka pendekatan yang banyak digunakan oleh perspektif ini adalah pemberdayaan masyarakat. Dengan demikian, dua unsur penting dari pemberdayaan adalah desentralisasi dan pengembangan kapasitas (Soetomo, 2009).

Menurut Nugraha (2005), pemberdayaan masyarakat desa hutan dengan melibatkan mereka dalam pengelolaan hutan perlu dilakukan dalam rangka mencapai keberhasilan pengelolaan sumber daya hutan. Di satu sisi, kelestarian fungsi lingkungan akan berlanjut secara lintas generasi, kesejahteraan masyarakat desa hutan pun terwujud secara optimal. Fakta tersebut mendesak keberadaan institusi lokal dalam rangka mengatur dan mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan dengan melalui revitalisasi institusi lokal untuk selanjutnya perlu diberikan peran yang meliputi kewenangan pengaturan. Hal inilah yang disebut dengan pemberdayaan.


(31)

commit to user

Menurut Sulistiyani (2004), pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses yang akan berlangsung secara bertahap. Tahap-tahap yang harus dilalui meliputi:

a. Tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan peduli sehingga merasa membutuhkan peningkatan kapasitas diri. b. Tahap transformasi kemampuan berupa wawasan pengetahuan,

kecakapan keterampilan agar terbuka wawasan dan memberikan keterampilan dasar sehingga dapat mengambil peran di dalam pembangunan.

c. Tahap peningkatan kemampuan intelektual, kecakapan-keterampilan sehingga terbentuklah inisiatif dan kemampuan inovatif untuk mengantarkan pada kemandirian.

4. Evaluasi Program

Evaluasi yaitu kegiatan pengukuran dan penilaian yang dapat dilakukan pada sebelum (formatif), selama (on-going, pemantauan) dan setelah kegiatan selesai dilakukan (sumatif, ex-post). Meskipun demikian, evaluasi seringkali hanya dilakukan setelah kegiatan selesai, untuk melihat proses dan hasil kegiatan, hasil (output) dan dampak (outcome) kegiatan, yang menyangkut kinerja (performance) baik teknis maupun finansialnya (Mardikanto, 2003).

Evaluasi adalah suatu penilaian berkala terhadap relevansi, dayaguna, efisiensi dan dampak dari suatu proyek dalam kaitannya dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan. Kegiatan ini biasanya mencakup pembandingan-pembandingan informasi yang dibutuhkan dari luar proyek

tersebut, baik menyangkut waktu, area/lahan atau penduduk (von Maydell, 1988).

Evaluasi adalah alat manajemen yang berorientasi pada tingkatan dan proses. Informasi yang dikumpulkan kemudian dianalisis sehingga relevansi dan efek serta konsekuensinya ditentukan sesistematis dan seobjektif mungkin. Data ini digunakan untuk memperbaiki kegiatan sekarang dan yang akan datang seperti dalam perencanaan, program,


(32)

commit to user

pengambilan keputusan, dan pelaksanaan program untuk mencapai kebijaksanaan yang lebih efektif. Data tersebut mencakup penentuan penilaian keefektifan kegiatan dibanding dengan sumber daya yang digunakan (van den Ban dan H. S. Hawkins, 2003).

Evaluasi yang paling utama harus dititikberatkan terhadap perubahan yang terjadi dalam kehidupan sasaran baik perubahan dalam cara hidup maupun berusahatani. Evaluasi dapat dilaksanakan pada saat kegiatan berlangsung, awal kegiatan dan pada akhir dari suatu kegiatan (Samsudin, 1977).

Menurut Subagio (2002) dalam Nuraeni (2005), dijelaskan bahwa informasi yang diperoleh dari evaluasi akan dianalisis sehingga relefansi dan efek serta konsekuensinya dapat ditentukan subjektif dan sesistematik mungkin. Evaluasi adalah proses pengumpulan data yang sistematis untuk mengukur efektifitas program latihan. Evaluasi lebih ditekankan sebagai suatu proses menentukan nilai yang berhubungan dengan tujuan yang direncanakan.

Evaluasi program adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan dengan sengaja untuk melihat tingkat keberhasilan program. Evaluasi program dimaksudkan untuk melihat pencapaian target program. Untuk menentukan seberapa jauh target program sudah tercapai, yang dijadikan tolok ukur adalah tujuan yang sudah dirumuskan dalam tahap perencanaan kegiatan. Terdapat dua ranah pengukuran, yaitu:

a. Pengukuran ranah afektif

Pengukuran ini tidak dapat dilakukan setiap saat (dalam arti pengukuran formal) karena perubahan tingkah laku tidak dapat berubah sewaktu-waktu. Pengukuran sikap seseorang memerlukan waktu yang relatif lama. Demikian juga pengembangan minat dan penghargaan serta nilai-nilai.


(33)

commit to user

b. Pengukuran ranah psikomotorik

Pengukuran ini dilakukan terhadap hasil-hasil belajar yang berupa penampilan. Namun demikian biasanya pengukuran ranah ini disatukan atau dimulai dengan pengukuran ranah kognitif sekaligus. (Arikunto, 1995).

Menurut Bloom (1956) dalam Sudijono (2005), salah satu prinsip dasar yang harus senantiasa diperhatikan dan dipegangi dalam rangka evaluasi hasil belajar adalah prinsip kebulatan, dengan prinsip mana evaluator dalam melaksanakan evaluasi hasil belajar dituntut untuk mengevaluasi secara menyeluruh terhadap peserta didik, baik dari segi pemahamannya terhadap materi atau bahan pelajaran yang telah diberikan (aspek kognitif), maupun dalam segi penghayatan (aspek afektif) dan pengalamannya (aspek psikomotor).

a. Ranah kognitif

Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental (otak). Segala upaya yang menyangkut aktivitas otak adalah termasuk dalam ranah kognitif.

b. Ranah afektif

Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai.

c. Ranah psikomotor

Ranah psikomotor adalah ranah yang berkaitan dengan keterampilan (skill) atau kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pengalaman belajar tertentu. Hasil belajar psikomotor ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari hasil belajar kognitif (memahami sesuatu) dan hasil belajar afektif (yang baru tampak dalam bentuk kecenderungan-kecenderungan untuk berperilaku). Hasil belajar kognitif dan afektif akan menjadi hasil belajar psikomotor apabila peserta didik telah menunjukkan perilaku atau perbuatan tertentu sesuai dengan makna yang terkandung dalam ranah kognitif dan afektifnya.


(34)

commit to user

Menurut Suharto (2009), evaluasi adalah pengidentifikasian keberhasilan dan/atau kegagalan suatu rencana kegiatan atau program. Secara umum dikenal dua tipe evaluasi, yaitu on-going evaluation atau evaluasi terus menerus dan ex-post evaluation atau evaluasi akhir. Evaluasi biasanya lebih difokuskan pada pengidentifikasian kualitas program. Evaluasi berusaha mengidentifikasi mengenai apa yang sebenarnya terjadi pada pelaksanaan atau penerapan program. Evaluasi bertujuan untuk:

a. Mengidentifikasi tingkat pencapaian tujuan

b. Mengukur dampak langsung yang terjadi pada kelompok sasaran c. Mengetahui dan menganalisis konsekuensi-konsekuensi lain yang

mungkin terjadi di luar rencana (externalities).

Menurut Iskandar (1981), sasaran dari evaluasi proyek adalah mencari penyelesaian yang secara teknis dimungkinkan pada suatu kondisi tertentu yang dapat memberikan pengembalian ekonomis yang baik, dapat disesuaikan dengan kondisi institusional dan kepemimpinan suatu negara dan dapat dibiayai dengan sumber daya yang ada. Dengan demikian proyek haruslah dinilai dalam berbagai bentuk yang akan mencakup nilai dari elemen-elemen berikut:

a. Kemungkinan teknis yang bersangkutan dengan pemilihan yang tepat dari proses produksi termasuk ukuran yang paling tepat dari proyek, pemilihan teknis peralatan dan lay out yang paling tepat. Dengan demikian ini menyangkut pemilihan spesies, pembangunan hutan tanaman beserta teknik-teknik pemeliharaannya, skala ekonomi dan design dari pabrik.

b. Penilaian komersial yang sehat, yang bersangkutan dengan dua hal: ongkos-ongkos haruslah berada di dalam batasan sumber-sumber finansial yang ada, dan proyek harus dapat memenuhi kewajiban-kewajiban finansialnya.

c. Keuntungan ekonomis dan sosial yang bersangkutan dengan alokasi yang paling efisien dari sumber-sumbernya yang ada di masyarakat


(35)

commit to user

secara keseluruhan, dan bukan hanya keuntungan finansial yang bersangkutan dengan pengembalian pinjaman yang khusus dibebankan kepada proyek.

d. Kemungkinan-kemungkinan institusional dan efesiensi organisasi yang bersangkutan dengan:

1) Adanya stuktur administrasi yanng dapat menjalankan proyek, 2) Adanya keahlian yang cukup dan terlatih dari personil-personilnya, 3) Peraturan-peraturan yang memadai dan efektif beserta

sarana-sarana untuk melaksanakan peraturan ini,

4) Kegiatan-kegiatan untuk melaksanakan proyek yang konsisten dengan pola sosial yang berlaku, sikap mental dan motivasi dari masyarakat.

Menurut UNESCO (1982), evaluasi dapat disimpulkan sebagai berikut:

a. Evaluasi dapat dan seringkali mulai dilakukan pada tahap perencanaan program,

b. Esensi evaluasi adalah infomasi yang berhubungan dengan program, yang berasal dari kenyataan di lapang dan tidak menghakimi.

c. Evaluasi lebih berorientasi pada desain dan isi program. Standarisasi evaluasi adalah keluaran berupa dimensi kualitatif.

d. Evaluasi adalah proses yang melengkapi, dan perlu perhatian khusus untuk mencapai tujuan yang sama, untuk meningkatkan efektifitas sebuah program.


(36)

commit to user

Tahap Proses Evaluasi Tahap Proses Program

Gambar 2.2. Tahapan Evaluasi dari Suatu Tahapan Program

Menurut Hawkins, et al (1982), evaluasi program penting dilakukan, karena:

a. Penyelenggara program harus tahu bahwa program yang dilaksanakan berlangsung dengan baik atau tidak,

b. Metode evaluasi menyediakan petunjuk untuk mengetahui metode apa yang tepat untuk masing-masing situasi dan juga dapat digunakan untuk mengetahui apakah penyelenggara program menggunakan metode yang tepat atau tidak,

c. Hasil evaluasi dapat dijadikan masukkan untuk program selanjutnya (fungsi timbal balik).

Lunandi (1981) mengungkapkan bahwa ada beberapa cara untuk melakukan evaluasi, yaitu:

a. Umpan balik. Tiap-tiap peserta evaluasi secara bergantian mengemukakan pikiran dan perasaannya mengenai pelajaran hari itu. b. Refleksi. Masing-masing peserta merenungkan arti hari itu bagi

dirinya dan apa yang telah dipelajarinya. Setelah selesai, peserta Formulasi Program Perencanaan Program

Keluaran Efek/ pengaruh

Penyelesaian setelah program berlangsung Pengaruh jangka panjang

Evaluasi sebelum program berlangsung

Evaluasi selama program berlangsung

Evaluasi setelah program berlangsung


(37)

commit to user

diminta mengungkapkan refleksinya. Refleksi bersifat subjektif yang khas pribadi, maka tidak ditanggapi oleh pembimbing maupun sesama peserta, apalagi dibantah.

c. Diskusi kelompok. Para peserta dapat dibagi dalam kelompok kecil agar lebih mudah dan lebih bebas berbicara. Secara informal para peserta itu memperbincangkan evaluasi masing-masing, lalu menuangkannya dalam sebuah laporan.

d. Questionnaire. Berupa formulir pertanyaan yang disiapkan dan dibagikan kepada semua peserta untuk diisi.

e. Tim pengelola. Dari antara para peserta dibentuk sebuah tim yang terdiri dari seorang moderator, satu atau dua orang menjadi pencatat dan satu atau dua orang menjadi evaluator.

f. Evaluasi menyeluruh. Dapat dilakukan secara lisan ataupun secara tertulis, dan dapat menyangkut dua aspek:

1) umpan balik bagi penyelenggara mengenai kekuatan maupun kelemahan program,

2) apa yang dipelajari oleh peserta selama program ini dalam bidang penambahan pengetahuan dan bidang perubahan sikap.

Menurut Morgan, et al dalam Suprijanto (2007), terdapat beberapa prinsip umum yang harus diketahui:

a. Mempunyai tujuan yang pasti. Evaluasi tidak dilakukan karena hanya karena “merupakan sesuatu yang harus dikerjakan”. Penemuan dari hasil evaluasi harus dapat digunakan untuk memecahkan beberapa masalah pendidikan.

b. Menggunakan tujuan perilaku yang terjangkau dan pasti.

c. Bukti tentang perubahan dalam diri individu. Hal yang penting adalah mengukur seberapa jauh orang bergerak dari tempat ketika program dimulai ke tempat ketika program berakhir.

d. Menggunakan instrumen yang tepat dalam evaluasi. Instrumen tersebut akan memberikan data yang jauh lebih baik daripada sekedar perkiraan. Sejumlah instrumen yang dapat digunakan adalah tes, skala,


(38)

commit to user

lembar penilaian, inventori, survai, kartu penilaian, kuesioner, studi kasus, catatan, laporan, dan keputusan ahli.

e. Kerjasama antara peneliti dengan orang yang dinilai kemajuannya. f. Tidak perlu mengevaluasi semua hasil pembelajaran.

g. Evaluasi harus berkesinambungan.

Sejalan dengan hal tersebut Hamali (1990) mengungkapkan prinsip-prinsip evaluasi sebagai berikut: Pertama, suatu penilaian hendaknya diberikan berdasarkan contoh-contoh atau sample prestasi yang cukup banyak, baik macam maupun jumlahnya. Kedua, secara teknis harus dibedakan antara pembijian (scoring) dan penilaian (grading). Pembijian berarti proses pengubahan prestasi menjadi angka-angka. Sedangkan penilaian adalah pengenalan skala baik buruk, bisa diterima tidak bisa diterima, memenuhi syarat dan yang sebangsanya berdasarkan sesuatu orientasi tertentu terhadap prestasi yang telah diangkakan melalui proses pengukuran. Dalam pembijian perhatian terutama ditujukan kepada aspek kecermatan dan kemantapan (accuracy dan reliability), sedangkan dalam penilaian perhatian terutama ditujukan kepada validitas dan kegunaan (validity dan utility). Ketiga, dalam proses pemberian nilai dikenal adanya dua macam orientasi yang bisa sejalan dan bisa pula tidak sejalan, yaitu norm dan standard. Norm atau norma adalah patokan prestasi yang diperoleh dari sesuatu kelompok tertentu, sedangkan standard adalah patokan yang bukan berasal dari prestasi sesuatu kelompok tertentu. Keempat, kegiatan pemberian nilai hendaknya merupakan bagian integral daripada proses belajar-mengajar. Kelima, penilaian bersifat komparabel (comparable). Keenam, sistem penilaian yang dipergunakan hendaknya jelas bagi siswa dan terlebih-lebih lagi bagi pengajar sendiri.

Menurut Steele dalam Sudjana (2006) mengemukakan tujuh karakteristik evaluasi program:

a. Evaluasi program lebih mengutamakan proses kegiatan yang bersifat umum, artinya bahwa semua program yang diangkat dari satuan, jenis


(39)

commit to user

dan lingkupnya menggunakan prinsip-prinsip umum dalam evaluasi terhadap sistem dan atau manajemennya.

b. Evaluasi program lebih luas daripada pemeriksaan terhadap pencapaian program. Evaluasi program mencakup semua komponen, proses dan tujuan program yang disusun secara sistemik.

c. Evaluasi program lebih luas dibandingkan dengan evaluasi hasil program.

d. Evaluasi program lebih luas daripada evaluasi proses pembelajaran. e. Evaluasi program berbeda dengan penelitian evaluatif terhadap

program (evaluative research) dan penelitian program (program research). Evaluasi program dilakukan hanya untuk menghasilkan data sebagai masukan bagi pengambilan keputusan.

f. Evaluasi program merupakan alat dalam manajemen (management tool) atau sebagai fungsi manajemen program. Evaluasi dapat dilakukan terhadap fungsi-fungsi manajemen yang terdiri dari perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, pembinaan, dan pengembangan. Hasil evaluasi digunakan sebagai masukan dalam pengambilan keputusan mngenai setiap fungsi manajemen program. g. Evaluasi program lebih berpusat pada manusia (people centered) yang

terlibat dalam dan terkait dengan program.

Menurut Rossi dan Howard (1921) penilaian dampak (impact evaluation) dilakukan untuk memperkirakan ada atau tidaknya intervensi. Perkiraan tersebut tidak dapat dibuat dengan pasti tetapi hanya dengan berbagai tingkat yang masuk akal. Sebuah prinsip yang umum berlaku: semakin ketat rancangan penelitian, semakin masuk akal perkiraan yang dihasilkan. Desain evaluasi dampak perlu mempertimbangkan dua tekanan yang bersaing: di satu sisi evaluasi harus dilakukan dengan ketelitian yang memadai sehingga kesimpulan relatif dapat dicapai, dan di sisi lain perlindungan subyek manusia membatasi pilihan desain dan prosedur metodologi yang dapat dipekerjakan. Evaluator hanya menilai hasil-hasil program sosial dengan membandingkan informasi tentang peserta maupun


(40)

commit to user

yang bukan peserta dengan melakukan pengukuran pengulangan pada peserta, sebelum dan sesudah intervensi, atau menggunakan metode lain yang berusaha untuk mencapai suatu perbandingan. Tujuan dasar dari penilaian dampak adalah untuk menghasilkan estimasi yang tidak terkontaminasi oleh pengaruh lain atau peristiwa yang dapat mempengaruhi perilaku atau kondisi dimana program sosial sedang dievaluasi.

5. Agroforestri

Agroforestri (wanatani) adalah suatu bentuk pengelolaan lahan dengan mengkombinasikan tanaman pepohonan dengan tanaman semusim/pertanian. Maksud pengelolaan lahan dengan agroforestri, yaitu dalam rangka mengoptimalkan/meningkatkan produktivitas lahan. Melalui kegiatan agroforestri diharapkan kebutuhan petani berupa bahan pangan (seperti palawija dan umbi-umbian) dan kayu untuk berbagai keperluan dapat terpenuhi. Pola agroforestri yaitu:

a. menghasilkan produksi untuk memenuhi kebutuhan petani secara berkesinambungan,

b. mampu melindungi dan meningkatkan kesuburan tanah, dan c. menjaga kelestarian lingkungan hidup.

(Silabus Pelatihan Agroforestri, 2002).

Menurut Hairiah, dkk (2003), pada dasarnya agroforestri terdiri dari tiga komponen pokok yaitu kehutanan, pertanian dan peternakan, dimana masing-masing komponen sebenarnya dapat berdiri sendiri-sendiri sebagai satu bentuk sistem penggunaan lahan. Hanya saja sistem-sistem tersebut umunya ditujukan pada produksi satu komoditi khas atau kelompok produk yang serupa. Penggabungan tiga komponen tersebut menghasilkan beberapa kemungkinan bentuk kombinasi sebagai berikut:

a. Agrisilvikultur, yaitu kombinasi antara komponen atau kegiatan kehutanan (pepohonan, perdu, palem, bambu, dan lain-lain) dengan komponen pertanian.


(41)

commit to user

b. Agropastura, yaitu kombinasi antara komponen atau kegiatan pertanian dengan komponen peternakan.

c. Silvopastura, yaitu kombinasi antara komponen atau kegiatan kehutanan dengan peternakan.

d. Agrosilvopastura, yaitu kombinasi antara komponen atau kegiatan pertanian dengan kehutanan dan peternakan/hewan.

Dari keempat kombinasi tersebut, yang termasuk dalam agroforestri adalah Agrisilvikultur, Silvopastura dan Agrosilvopastura. Sementara Agropastura tidak dimasukkan sebagai agroforestri, karena komponen kehutanan atau pepohonan tidak dijumpai dalam kombinasi. Menurut Nair dalam Hairiah, dkk (2003), di samping ketiga kombinasi tersebut dapat ditambahkan sistem-sistem lainnya yang dapat dikategorikan sebagai agroforestri:

a. Silvofishery, yaitu kombinasi antara komponen atau kegiatan kehutanan dengan perikanan.

b. Apiculture, yaitu budidaya lebah atau serangga yang dilakukan dalam kegiatan atau komponen hutan.

Menurut Mardikanto (2005), telaah terhadap arti penting agroforestri, dapat dilihat pada tiga perannya terhadap pembangunan kehutanan, pembangunan pertanian dan pembangunan masyarakat secara keseluruhan. Ditinjau dari sudut pembangunan kehutanan, dengan semakin meningkatnya nilai ekonomi komoditas kayu-kayuan dan beragam jenis tanaman serbaguna telah menarik perhatian masyarakat (pedesaan) untuk mengembangkan “hutan rakyat” di lahan perkarangan maupun lahan kering (tegalan). Kegiatan seperti ini, akan berdampak pada semakin meningkatnya kesadaran dan minat masyarakat untuk meningkatkan pendapatannya melalui kegiatan penghijauan, reboisasi dan konservasi tanah secara vegetatif. Dengan kata lain, kegiatan agroforestri yang semula dilaksanakan di lahan perkarangan, dapat berdampak positif kepada partisipasi masyarakat di dalam pembangunan kehutanan, terutama yang menyangkut fungsi-fungsi ekonomi.


(42)

commit to user

Ditinjau dari kepentingan pembangunan pertanian, kegiatan agroforestri memberikan kesempatan kepada masyarakat desa hutan untuk terlibat dalam pemanfaatan lahan kehutanan, terutama di daerah-daerah yang telah mengalami “lapar lahan”. Melalui kegiatan agroforestri yang menghasilkan beragam komoditas pertanian, di satu pihak akan mendukung program “ketahanan pangan” (food security) dan di pihak lain akan merangsang kegiatan agrobisnis dan agroindustri. Di samping itu, karena kegiatan agroforestri merupakan sistem pertanian yang senantiasa memperhatikan pelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup, maka pengembangan agroforestri akan sangat mendukung upaya pembangunan pertanian yang lestari dan berkelanjutan.

Pengembangan masyarakat (community development) sebagai salah satu bentuk kegiatan berbasis masyarakat (community based development), pada hakekatnya merupakan kegiatan pembangunan yang dikerjakan oleh (dengan melibatkan partisipasi) masyarakat, dan diperuntukkan bagi kesejahteraan atau perbaikan mutu hidup masyarakat. Oleh sebab itu, kegiatan agroforestri yang merupakan salah satu bentuk kegiatan perhutanan sosial, akan memberikan sumbangan kepada pembangunan masyarakat dalam arti luas untuk:

a. perluasan lapangan kerja dan kesempatan kerja, b. penambahan/perbaikan pendapatan masyarakat,

c. peningkatan pengetahuan dan keterampilan masyarakat,

d. penumbuhkembangan partisipasi masyarakat dan pembangunan, serta e. pelestarian dan perbaikan sumber daya alam dan lingkungan hidup.

Pada saat ini penduduk Indonesia telah mencapai kurang lebih 150 juta. Suatu jumlah penduduk yang cukup besar. Pertambahan penduduk yang semakin meningkat dengan tingkat pertumbuhan yang tidak merata antara satu pulau dengan pulau yang lain menimbulkan masalah kependudukan yang cukup pelik. Sementara itu, sebagai akibat dari adanya pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi dan kurang memadainya pengaturan sumber alam dan lingkungan hidup, maka


(43)

commit to user

dilakukanlah kegiatan agroforestri yang dianggap sebagai suatu ekosistem untuk memecahkan berbagai masalah, khususnya kependudukan. Dengan praktek agroforestri di lahan milik dan di lahan hutan akan dapat:

a. Menanggulangi masalah ketenagaan kerja,

b. Menanggulangi peningkatan kebutuhan pangan, dan c. Menanggulangi kerusakan lingkungan yang lebih parah. (Fandeli, 1985).

Agroforestri sebagai salah satu model teknologi usahatani semakin meningkat peranannya terutama bagi masyarakat pedesaan yang memiliki luas lahan sempit. Pola usahatani seperti ini memberikan kemungkinan bagi pemilik lahan untuk meningkatkan intensitas pengambilan hasil per satuan luas tertentu. Model usahatani agroforstri tersebut dianggap dapat mengatasi permasalahan kehidupan petani terutama dalam upaya memenuhi kebutuhan subsistensinya. Veer dalam Kartasubrata mengatakan bahwa agroforestri merupakan bagian dan perkembangan multicropping yang biasanya dilaksanakan oleh petani-petani kecil, yaitu petani subsisten dan miskin, yang kadang-kadang sambil melayani permintaan pasar. Golongan seperti inilah sebenarnya yang merupakan “target group” untuk kegiatan pengembangan agroforestri, dengan demikian, untuk membangun bidang pertanian di pedesaan dengan sistem agroforestri kerangka pemikirannya haruslah didasarkan pada pemenuhan kebutuhan paling dasar (basic need), seperti pangan, pakaian dan perumahan (Andayani, 2005).

Menurut Kartasubrata (2003), konsepsi social forestry sering dikaburkan dengan konsepsi agroforestri dan disarankan agar menggunakan definisi oleh Lindgrean dan Raintree (1982) sebagai berikut: “Agroforestri adalah suatu nama kolektif untuk sistem-sistem penggunaan lahan dan teknologi budidaya, dimana tanaman keras berkayu (pohon-pohonan, jenis-jenis palma, bambu, dan sebagainya) ditanam bersamaan dengan tanaman pertanian dan atau dalam suatu bentuk pengaturan spasial atau urutan temporal, dan di dalamnya terdapat interaksi-interaksi ekologi


(44)

commit to user

dan ekonomi diantara berbagai komponen yang bersangkutan”. Tujuan utama social forestry adalah mencapai keadaan sosial ekonomi penduduk pedesaan yang lebih baik, terutama penduduk di dalam dan sekitar hutan. Dalam program-program social forestrymasyarakat setempat diajak untuk berpartisipasi dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan secara lebih bertanggung jawab. Adapun program-program agroforestri diarahkan pada peningkatan dan pelestarian produktifitas sumber daya yang akhirnya akan meningkatkan taraf hidup masyarakat juga. Tidak mengherankan bila program-program agroforestri biasanya (meskipun tidak selalu) merupakan paket teknologi yang juga mencakup teknik-teknik untuk membina masyarakat secara efektif, sebagaimana halnya dalam program perhutanan sosial.

Menurut Martin et al (2007), terdapat beberapa faktor-faktor kunci dalam implementasi agroforestri untuk rehabilitasi hutan, yaitu:

a. Kondisi dari area yang dijadikan target

1) Program agroforestri harus disesuaikan dengan kondisi desa, karena masing-masing desa memiliki segmen populasi yang berbeda-beda.

2) Ketetapan lahan, meliputi kepemilikan lahan warisan yang tepat, penanaman pohon yang tepat, penggunaan hasil produksi yang tepat, dan pengolahan hasil produksi yang tepat.

3) Kearifan lokal terhadap hutan (adat istiadat). b. Merencanakan program agroforestri

1) Partisipasi masyarakat lokal dalam seluruh tahapan kegiatan. 2) Partisipasi petani lokal dalam inovasi teknologi agroforestri.

3) Pemasaran hasil produksi agroforestri merupakan pendapatan tertinggi dan berkesinambungan serta insentif yang kuat dalam mengajak masyarakat untuk berpartisipasi.

4) Program agroforestri mampu memberikan pendapatan jangka pendek.


(45)

commit to user

6) Kebutuhan akan biaya (modal).

7) Membuat organisasi yang akan mampu menyelenggarakan penyuluhan dan pendidikan bagi masyarakat lokal seputar berbagai macam tahapan program agroforestri, begitu juga permasalahan transportasi dan pemasaran selama kegiatan agroforestri. Organisasi ini harus mampu menjembatani antara masyarakat lokal dengan stakeholders yang ada.

8) Kemampuan untuk membangun partisipasi. c. Peran stakeholders

1) Pemerintah Daerah Hutan yang berpengaruh untuk memerintah dan mengatur kebijakan-kebijakan yang ada di daerah kekuasaannya.

2) Bekerjasama dengan agen pemerintahan lainnya, sektor-sektor pribadi, atau NGOs. Kerjasama tersebut dapat berupa memfasilitasi antara program dengan masyarakat lokal, memfasilitasi aktivitas selama program berlangsung, dan menyediakan dukungan dan biaya.

Menetapkan kurikulum agroforestri membutuhkan waktu yang cukup lama dan proses yang cukup rumit. Bagaimanapun, untuk mempercepat pembangunan, kita harus memiliki program baru atau kurikulum baru yang dapat digunakan di semua kondisi dalam sistem agroforestri. Secara umum, prosesnya adalah sebagai berikut:

a. Penilaian umum mengenai permintaan keprofesionalitasan dalam sistem agroforestri di masa yang akan datang. Ini membutuhkan begitu banyak input dari pemerintah, NGO dan perusahaan swasta yang bergerak di bidang agroforestri.

b. Frekuensi peninjauan kembali dan evaluasi kurikulum yang digunakan. Sistem agroforestri yang dijalankan tentu memerlukan kesan yang baik dengan cara pengawasan dan peninjauan ulang terhadap program yang berhati-hati.


(1)

commit to user

Sumber: Perum Perhutani 2009 dan Analisis Data Primer

Berdasarkan identifikasi keragaan di atas, dapat diketahui bahwa masalah yang muncul dalam kegiatan agroforestri di Kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar meliputi:

1. Kegiatan perencanaan

Perencanaan seharusnya dilakukan bersama masyarakat secara terintegrasi dan terpadu, namun pada kenyataannya tidak semua peserta dapat mengikuti kegiatan tersebut. Hal ini dikarenakan perencanaan dilakukan pada awal sebelum terbentuknya agroforestri, dan hal tersebut tidak diketahui masyarakat. Selain itu, dalam perencanaan, biasanya hanya tokoh masyarakat atau yang memiliki hubungan dekat dengan Perhutani saja yang dapat mengikuti kegiatan tersebut.

Kegiatan perencanaan yang tidak dihadiri oleh seluruh peserta dikarenakan terbatasnya waktu dan quota. Selain itu masyarakat juga enggan mengikuti kegiatan tersebut karena merasa itu adalah hak dan kewajiban Perhutani saja, sedangkan masyarakat hanya menjalani saja. 2. Kegiatan Monitoring

Monitoring seharusnya dilakukan bersama masyarakat. Namun seperti halnya kegiatan perencanaan, masyarakat merasa hal tersebut adalah hak dan kewajiban Perhutani. Hanya beberapa peserta saja yang pernah mengikuti kegiatan monitoring di lapang, seperti pada kegiatan patroli hutan.

3. Kegiatan Pelaksanaan

Prosedur pendaftaran yang berlaku yaitu diawali adanya bukaan lahan dimana akan disosialisasikan oleh Perhutani kepada masyarakat desa hutan untuk mengetahui siapa saja yang berminat untuk menjadi petani kontrak Hutan bromo. Informasi bukaan lahan tersebut juga dapat diketahui melalui teman maupun melihat sendiri ke lokasi bukaan secara langsung. Selanjutnya, masyarakat yang berminat menjadi petani kontrak Hutan Bromo mendaftarkan dirinya kepada mantri atau mandor setempat,


(2)

commit to user

dengan syarat I KK hanya boleh mendaftarkan satu nama. Kemudian nama yang telah tercatat diberikan petak dengan luas berdasarkan pembagian luas petak keseluruhan dibagi jumlah yang mendaftar, dimana lokasi tepatnya petak dilakukan dengan cara dilotre sehingga tidak menimbulkan kecemburuan sosial. Terakhir peserta dapat menanam dan merawat tanaman pokok dan tumpangsasri di petaknya masing-masing. Namun ada peserta yang mendapatkan petak melalui perantara, dimana ia tidak tercatat dalam administratif Perhutani dan tidak memiliki petak secara resmi. Hanya antara perantara dengan peserta saja, dan peserta dikenakan biaya atas petak yang didapatkannya tersebut. Hal ini terjadi dikarenakan kebutuhan masyarakat akan lahan garapan yang tidak sebanding dengan jumlah lahan yang akan dikelola serta ketidakmilikan skill selain bercocok tanam.

Pada kegiatan pemanenan hasil hutan, tidak semua peserta dapat mengikuti kegiatan tersebut seperti dapat dilihat pada kegiatan panen tanaman pokok. Hanya peserta yang dekat dengan Perhutani dan pekerja Perhutani saja yang dapat mengikuti kegiatan pemanenan tanaman pokok. Peserta hanya dapat memanen tanaman tumpangsarinya saja karena tanaman pokok merupakan milik Perhutani.

Pada peraturan pola tanam, ketika tanaman pokok telah berumur 2-3 tahun dan atau menaungi lahan, sebaiknya peserta tidak menanami lahan dengan tanaman tumpangsari kembali. Namun karena peserta tidak memiliki lahan lain untuk berusahatani, maka peserta tetap melakukan kegiatan tumpangsari. Selain itu juga dikarena keterbatasan skill yang dimiliki peserta, dimana peserta hanya mampu melakukan kegiatan bercocok tanam saja. Hal ini tentu berpengaruh terhadap tumbuhnya tanaman tumpangsari, begitupun halnya dengan tanaman pokok. Namun Perhutani tidak dapat berbuat banyak, sehingga Perhutani hanya dapat menyarankan untuk tidak menanam tanaman selain ketela pohon (singkong) saat kondisi sudah ternaungi. Hal ini dilakukan guna menjaga pertumbuhan tanaman pokok agar tetap baik dan peserta juga tetap dapat


(3)

commit to user

mendapatkan penghasilan. Biasanya, bila tanaman tumpangsari sudah benar-benar tidak mendapatkan cahaya matahari untuk pertumbuhannya, peserta akan menghentikan sendiri kegiatan agroforestrinya.

4. Kegiatan Evaluasi

Seperti yang telah dijelaskan pada kegiatan evaluasi pada keterlibatan atau partisipasi, peserta tidak pernah mengikuti kegiatan evaluasi. Hal ini dikarenakan peserta merasa hal tersebut adalah hak dan kewajiban Perhutani saja dan peserta tidak merasa kegiatan tersebut perlu dilakukan. Peserta hanya tahu bahwa mereka hanya harus menanam dan merawat tanaman pokok yang ada.

5. Kelembagaan

Kelembagaan sangat penting keberadaannya untuk mewadahi aspirasi peserta dan menjembatani antara peserta dengan Perhutani. Seharusnya, peserta mempersiapkan kelompok untuk mengoptimalkan fasilitas yang diberikan oleh Perhutani dan atau pihak yang berkepentingan. Namun peserta belum memiliki kelompok tersebut. Seperti dijelaskan pada tingkat kapasitas organisasi lokal, bahwa LMDH pada saat ini dalam kondisi tidak aktif, sehingga hal ini berpengaruh pada kewajiban Perhutani untuk melakukan kegiatan penguatan kelembagaan berupa pelatihan, pendampingan dan fasilitas masyarakat desa hutan yang tidak dapat dilakukan.

Pihak yang berkepentingan seperti Pemerintah Daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat, Lembaga Ekonomi Masyarakat, Usaha Swasta, Lembaga Pendidikan dan Lembaga Donor seharusnya ikut memfasilitasi peserta dalam kegiatan agroforestri. Fasilitas tersebut dapat berupa mempermudah perijinan pembukaan lahan, bantuan modal, pelatihan, dan sebagainya. Namun pada kenyataannya hanya Pemerintah Daerah saja yang baru dapat memfasilitasi. Hal ini terkait juga permasalahan ketidakaktifan LMDH, sehingga peserta tidak dapat memperjuangkan nasibnya secara lebih terstruktur bersama dengan LMDH dan Perhutani.


(4)

commit to user

93

VI.KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai Evaluasi Program Pemberdayaan Masyarakat dalam Kegiatan Agroforestri di Kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Keadaan umum responden meliputi:

a. Umur responden tertua 90 tahun dan yang termuda 35 tahun. Sebagian besar termasuk dalam kategori umur produktif, yaitu umur 15-64 tahun sebanyak 36 orang.

b. Responden laki-laki sebanyak 36 orang dan responden perempuan sebanyak 4 orang.

c. Pendidikan formal yang banyak ditempuh oleh responden yaitu tamat SD/sederajat dengan jumlah responden 18 orang setara dengan jumlah reponden yang tidak bersekolah.

d. Pekerjaan tetap responden terbanyak adalah sebagai petani sebanyak 35 orang dan seluruh responden pekerjaan sampingannya adalah sebagai petani kontrak Hutan Bromo.

e. Pengalaman responden mengelola agroforestri terbanyak adalah kurang dari 8 tahun sebanyak 24 orang.

2. Tingkat aksesibilitas informasi peserta kepada Perhutani dinilai baik yaitu sebanyak 38 orang karena dianggap yang informasinya paling banyak dan tepat seputar agroforestri. Tingkat aksesibilitas informasi peserta kepada sesama peserta dinilai cukup baik yaitu sebanyak 23 orang, karena memiliki kedekatan fisik dan mudah dijangkau. Tingkat aksesibilitas informasi peserta kepada LMDH dan penyuluh dinilai kurang baik, yaitu sebanyak 3 orang dan kepada penyuluh hanya 1 orang.

3. Tingkat keterlibatan atau partisipasi peserta dalam kegiatan agroforestri di Kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar:

a. Tingkat keterlibatan atau partisipasi peserta pada kegiatan persiapan lahan, persiapan benih dan bibit, penanaman tanaman pokok, dan


(5)

commit to user

pemeliharaan tanaman pokok dinilai sangat baik karena dilakukan oleh seluruh peserta. Hal ini dikarenakan kegiatan-kegiatan tersebut wajib dilakukan setiap peserta di lahan garapannya masing-masing.

b. Tingkat keterlibatan atau partisipasi peserta pada kegiatan penentuan lokasi dinilai baik karena dilakukan sebanyak 38 orang, patroli hutan dan panen tanaman pokok dinilai kurang baik karena dilakukan sebanyak 5 dan 4 orang.

c. Tingkat keterlibatan atau partisipasi peserta pada kegiatan evaluasi dinilai tidak baik karena tidak dilakukan oleh seluruh responden. Hal ini dikarenakan keengganan untuk berpartisipasi baik karena diajak maupun kesadaran individual.

4. Tingkat kapasitas organisasi lokal Perhutani dan LMDH kepada peserta: a. Kemampuan organisasi lokal dalam menjalin hubungan baik dengan

peserta agroforestri sering dilakukan dan dinilai baik.

b. Kemampuan organisasi lokal dalam mengajak peserta agroforestri untuk bekerja sama, membagi-bagikan tugas, melakukan kegiatan sesuai prosedur yang berlaku, mengawasi kinerja peserta, menerima dan menjalankan keputusan yang berasal dari luar lembaga, berkomunikasi dengan peserta, menyimak informasi dan keluhan dari peserta, mencari solusi bersama peserta, serta menyebarkan informasi dalam kegiatan agroforestri pernah dilakukan dan dinilai cukup baik. c. Kemampuan dalam mendelegasikan wewenang, menerima kritik dan

saran, menolak keputusan yang berasal dari luar lembaga, mencari informasi yang valid, mementingkan perbedaan status, mengidentifikasikan masalah, memberikan solusi, mengevaluasi kinerja lembaga dan kinerja peserta, timbul konflik, serta menyelesaikan konflik dengan baik dan bersama-sama tidak pernah dilakukan dan dinilai tidak baik.

5. Tingkat kemanfaatan agroforestri dari aspek ekonomi, ekologi dan sosial yang tergolong sangat baik adalah sebanyak 13 responden, yang tergolong baik sebanyak 21 dan yang tergolong cukup sebanyak 6 responden. Hal ini


(6)

commit to user

berarti bahwa kegiatan agroforestri memberikan dampak yang baik bagi peserta agroforestri sendiri maupun lingkungan.

6. Masalah yang muncul dalam kegiatan agroforestri di Kawasan Hutan Bromo Kabupaten Karanganyar adalah pada kegiatan perencanaan, kegiatan monitoring, kegiatan pelaksanaan yaitu pada prosedur pendaftaran, pemanenan tanaman pokok dan peraturan pola tanam, kegiatan evaluasi, serta kelembagaan meliputi persiapan kelompok, kegiatan penguatan kelembagaan dan fasilitas dari pihak yang berkepentingan.

B. Saran

1. Timbul penyelewengan dalam pelaksanaan kegiatan agroforestri di Hutan Bromo, seperti lahan yang dibagi-bagi penggarapannya lagi oleh peserta maupun tidak adanya evaluasi bagi kegiatan yang telah berlangsung. Oleh karena itu, perlu dilakukan peninjauan kembali kondisi kegiatan agroforestri Hutan Bromo di lapang oleh Perhutani agar sesuai prinsip dasar agroforestri dan tidak menimbulkan penyelewengan lagi. Misalnya dengan memperjelas kontrak yang telah ada.

2. Organisasi lokal seperti LMDH diperlukan untuk mewadahi kegiatan dan aspirasi peserta agroforestri. Namun semenjak dibentuk struktur pada tahun 2000 organisasi tersebut sedang tidak aktif karena ketiadaan fungsi dan kinerja yang jelas dan diketahui oleh seluruh anggota. Oleh karena itu, perlu dilakukan penguatan kelembagaan LMDH bersama Perhutani untuk meningkatkan lagi kinerjanya dengan mengajak kembali pengurus lama dan disahkan menjadi sebuah lembaga dengan fungsi dan kinerja yang jelas.