PELAKSANAAN PEMBELAJARAN PADA SISWA HIPERAKTIF DI SEKOLAH REGULER KELAS I SD NEGERI TIRTOMULYO KRETEK BANTUL YOGYAKARTA.

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Menerima pendidikan di segala jenjang merupakan hak semua orang, baik anak normal maupun anak yang memiliki kebutuhan khusus. Hal ini diperkuat dengan adanya Undang-undang No. 4 Tahun 1997 menegaskan bahwa penyandang cacat merupakan bagian masyarakat Indonesia yang juga memiliki kedudukan, hak, kewajiban, dan peran yang sama.

Pendidikan untuk anak normal biasanya ditempuh di sekolah reguler sedangkan pendidikan untuk Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) biasanya ditempuh di sekolah khusus atau SLB dan sekolah Inklusi disesuaikan dengan kemampuan mereka. Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 77/P Tahun 2007 Pasal 1 mengenai inklusi sebagai sistem penyelengaraan pendidikan untuk semua, maka banyak sekolah-sekolah inklusi yang terbentuk. Sekolah inklusi adalah sekolah yang dapat menerima siswa berkebutuhan khusus belajar bersama dengan siswa-siswa normal lainnya. Siswa yang termasuk berkebutuhan khusus namun masih mampu mengikuti pembelajaran dan berinteraksi dengan lingkungan layaknya siswa normal menempuh pendidikan di sekolah inklusi.

Akhmad Sudrajat (2008), mengemukakan “penerapan inklusi di Sekolah Dasar didasari dari kebijakan Kurikulum Satuan Pendidikan (KTSP) yang menggunakan program elektik yaitu program yang mencari keseimbangan antara organisasi kurikulum yang terpusat pada mata pelajaran dan peserta didik”. Untuk mewujudkan sistem penyelenggaraan pendidikan inklusi dibutuhkan guru yang memiliki kebebasan untuk membuat dan mengembangkan ide-ide kreatif, berani


(2)

2

tampil beda, mengembangkan potensi diri dan mandiri. Dalam pendidikan inklusi ini guru dituntut untuk dapat mengembangkan kemampuannya agar dapat menyajikan pembelajaran yang dapat diterima oleh semua siswa baik siswa normal sekaligus juga dapat diterima oleh siswa yang memiliki kebutuhan khusus.

Anak berkebutuhan khusus yang mampu bersosialisasi dengan lingkungan dapat menempuh pendidikan di sekolah inklusi, namun masih ada beberapa sekolah reguler yang menerima siswa berkebutuhan khusus. Ifdiali (2010: 1) menyatakan bahwa sekolah inklusi adalah sekolah reguler yang mengkoordinasikan dan mengintegrasikan siswa reguler dan siswa berkebutuhan khusus dalam suatu program pembelajaran yang sama. Sedangkan sekolah reguler adalah sekolah yang memiliki siswa umum. Siswa umum disini yang dimaksud adalah bukan siswa yang berkebutuhan khusus.

Hal ini diperkuat dengan pernyataan SG dan RB (dalam wawancara dengan peneliti pada tanggal 25 September 2013) yang merupakan guru Sekolah Dasar reguler. Sugito yang memberitakan bahwa “ Jumlah SLB masih kurang, sehingga Dinas Pendidikan mewajibkan sekolah-sekolah reguler tetap menerima anak yang berkebutuhan khusus.”. Rubiyati yang menyatakan bahwa “Kebanyakan orang tua belum bisa menerima bahwa anak mereka mengalami hambatan, mereka merasa malu jika anaknya sekolah di SLB. Sehingga mereka lebih memilih menyekolahkan anak mereka di sekolah reguler”. Selain itu, anak ini secara fisik tidak berbeda jauh dengan anak normal, sehingga mereka diharapkan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan anak normal. Kebijakan Dinas Pendidikan ini membuat sekolah reguler belum siap dalam


(3)

3

penyelenggaraannya, salah satunya adalah SD Negeri Tirtomulyo Kretek Bantul Yogyakarta mempunyai siswa yang diduga hiperaktif.

Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan oleh peneliti disalah satu sekolah yaitu SD Negeri Tirtomulyo Kretek Bantul Yogyakarta tepatnya di kelas I saat pembelajaran berlangsung terdapat siswa yang selalu membuat suasana kelas menjadi tidak kondusif. Keributan yang biasanya dilakukan seperti ramai yang berlebihan saat pembelajaran berlangsung maupun diluar pembelajaran, memukuli meja, berjalan kesana kemari tanpa tujuan, mudah beralih perhatian, tidak sabar menunggu giliran, dan suka memaksakan kehendaknya pada orang lain. Siswa dengan inisial AR, AL, dan MF mempunyai daya konsentrasi yang rendah dan mengalami kesulitan saat mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh guru.

Siswa ini tidak menyukai pekerjaan rumah maupun pekerjaan sekolah. Guru kelas dan teman-teman sebayanya mengatakan bahwa siswa ini sering tidak mengerjakan pekerjaan rumah. Jika disekolah siswa ini juga enggan untuk mengerjakan tugas dari guru, mereka lebih suka berjalan-jalan kesana kemari.

Guru kelas sering menegur dan mengingatkan pada siswa tersebut untuk tidak melakukan hal-hal yang dapat membuat gaduh saat pembelajaran seperti ramai yang berlebihan, berjalan kesana kemari tanpa tujuan, dan memukuli meja. Teguran guru tidak direspon oleh siswa yang mengalami gangguan hiperaktif. Pada akhirnya siswa ini dibiarkan oleh guru, dan dalam pembelajaran siswa ini dianggap seolah-olah tidak ada.

Berdasarkan hasil observasi dengan menggunakan pedoman Diagnostic And Statiscal Manual of Mental Disorder IV (DSM IV) ditemukan (1) siswa


(4)

4

sering gagal dalam memperhatikan dengan detail saat pembelajaran berlangsung; (2) siswa lebih suka ramai sendiri, tidak mendengarkan ketika orang lain bicara; (3) merasa kesulitan saat mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru; (4) tidak menyukai pekerjaan rumah maupun sekolah; (5) mudah beralih perhatian; dan (8) mudah melupakan aktifitas yang sedang dilakukan. Gejala ini terjadi pada dua lingkungan lebih selain itu gejala ini berlangsung lebih dari 6 bulan maka siswa tersebut dapat diklasifikasikan sebagai siswa hiperaktif. Walaupun siswa yang mengalami gangguan hiperaktif dianggap seolah-olah tidak ada di dalam kelas, pada kenyataanya perilaku-perilaku yang dilakukan sangat menganggu jalannya proses pembelajaran. Dengan melihat kondisi kelas yang gaduh, yang disebabkan dari perilaku siswa hiperaktif akan mengganggu proses penyerapan materi oleh siswa lainnya. Selain itu, konsentrasi guru dalam menyampaikan pembelajaran terganngu dengan adanya siswa hiperaktif. Sehingga jalannya pembelajaran tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Banyaknya aktifitas negatif serta rendahnya konsentrasi yang dimiliki anak hiperaktif menyebabkan mereka mengalami hambatan-hambatan dalam pemebelajaran dan hal ini berdampak pada kemampuan akademik yang kurang baik. Guru kelas mengganggap bahwa hal tersebut dikarenakan siswa malas belajar dan tidak mau memperhatikan saat pembelajaran berlangsung. Guru belum dapat mengerti bahwa hiperaktif yang dimiliki seorang anak merupakan hambatan belajar, bukan karena anak malas belajar.

Pada sekolah inklusi terdapat guru khusus yang menanggani Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang dijadikan sebagai pendamping siswa


(5)

5

berkebutuhan khusus. Namun pada sekolah reguler tidak ada guru khusus yang mendampingi siswa yang mempunyai kebutuhan khusus. Guru kelas seolah-olah tidak menghiraukan siswa yang memiliki kebutuhan khusus, sehingga praktik pembelajaran yang berlangsung seperti dengan pembelajaran biasa.

Berdasarkan pada permasalahan-permasalahan di atas dapat disampaikan bahwa terdapat hambatan-hambatan dalam pembelajaran yang terjadi pada siswa kelas I, yang di dalamnya terdapat siswa hiperaktif. Siswa hiperaktif yang ada di kelas tersebut tidak mendapatkan pelayanan khusus saat pembelajaran. Hal ini dikarenakan ketidaktahuan guru tentang bagaimana caranya memberikan pembelajaran untuk siswa hiperaktif. Bagi guru kelas hendaknya mengetahui karakteristik masing-masing siswa sehingga dapat menciptakan pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik siswa dan dapat mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan.

Berdasarkan permasalahan di atas maka penelitian tentang pelaksanaan pembelajaran pada siswa hiperaktif di sekolah reguler Kelas I SD Negeri Tirtomulyo Kretek Bantul Yogyakarta penting untuk dilaksanakan. Hasil penelitian ini berupa deskripsi tentang proses dan hasil kegiatan pembelajaran untuk siswa hiperaktif di Kelas 1 SD Negeri Tirtomulyo Kretek Bantul Yogyakarta.


(6)

6 B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini diantaranya adalah:

1. Tingginya aktifitas siswa yang diduga hiperaktif di sekolah reguler Kelas I SD Negeri Tirtomulyo Kretek Bantul Yogyakarta dapat mengganggu pelaksanaan pembelajaran.

2. Guru kurang memahami karakteristik siswa yang diduga hiperaktif sehingga dinilai sebagai seswa yang malas belajar, sehingga berdampak pada nilai akademik.

3. Pelaksanaan pembelajaran di sekolah reguler Kelas I SD Negeri Tirtomulyo Kretek Bantul Yogyakarta yang di dalamnya terdapat siswa yang diduga hiperaktif masih belum sesuai dengan kondisi dan kebutuhan mereka.

4. Guru kurang memperhatikan dan kurang memberikan perlakuan yang tepat pada siswa yang diduga hiperaktif di sekolah reguler Kelas I SD Negeri Tirtomulyo Kretek Bantul Yogyakarta.

5. Adanya hambatan yang dialami oleh siswa hiperaktif sehingga berdampak pada nilai akademik yang rendah.

C. Pembatasan Masalah

Permasalahan pembelajaran pada siswa hiperaktif sangat kompleks, oleh karena itu penelitian ini membatasi pada pelaksanaan pembelajaran siswa hiperaktif di sekolah reguler Kelas I SD Negeri Tirtomulyo Kretek Bantul Yogyakarta yang masih belum optimal. Penelitian dilaksanakan di Sekolah Dasar


(7)

7

Negeri karena pembelajaran di sekolah negeri yang terdapat siswa hiperaktif belum banyak diteliti.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah dan batasan masalah dalam penelitian ini dikemukakan rumusan masalah yaitu: “Bagaimana pelaksanaan dan hasil pembelajaran pada siswa hiperaktif di sekolah reguler Kelas I Sekolah Dasar Negeri Tirtomulyo Kretek Bantul Yogyakarta?”

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui dan mendeskripsikan perencanaan pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan oleh guru pada siswa hiperaktif di sekolah reguler Kelas I Sekolah Dasar Negeri Tirtomulyo Kretek Bantul Yogyakarta?

2. Mengetahui dan mendeskripsikan pelaksanaan dan hasil pembelajaran untuk siswa hiperaktif di sekolah reguler Kelas I Sekolah Dasar Negeri Tirtomulyo Kretek Bantul Yogyakarta.

3. Mengetahui dan mendeskripsikan bentuk dan hasil evaluasi yang dilakukan guru pada siswa hiperaktif di sekolah reguler Kelas I Sekolah Dasar Negeri Tirtomulyo Kretek Bantul Yogyakarta?


(8)

8 F. Manfaat Penelitian

Berdasarkan hal-hal yang diungkapkan, hasil penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat yaitu:

1. Manfaat teoristis penelitian ini yaitu diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan bidang pendidikan ABK utamanya mengenai konsep dan prinsip pelaksanaan pembelajaran pada anak hiperaktif.

2. Kegunaan praktis ditujukan untuk: a. Bagi guru kelas

Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai salah satu sarana memahami konsep pendidikan bagi anak hiperaktif. Diharapkan guru memahami karakteristik setiap siswa sehingga pembelajaran yang dilaksanakan dapat optimal.

b. Bagi Kepala Sekolah

Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai salah satu sarana untuk menentukan kebijakan dalam pembelajaran bagi anak yang memiliki kebutuhan khusus.

G. Batasan Istilah

1. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik kepada peserta didik agar dapat terjadi proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan, penugasan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik (Wikipedia).


(9)

9

2. Anak hiperaktif adalah seseorang anak yang mempunyai aktivitas yang tinggi atau banyak aktivitas yang bersifat negatif seperti tidak bisa diam saat duduk dikursi, merasa tidak tenang, mudah terganggu, suka menganggu teman dan cepat frustasi.

3. Sekolah reguler adalah sekolah yang memiliki siswa umum. Siswa umum disini yang dimaksud adalah siswa normal bukan siswa yang memiliki kebutuhan khusus.


(10)

10 BAB II

KAJIAN PUSTAKA A. Tinjauan Mengenai Siswa Hiperaktif

1. Pengertian Siswa Hiperaktif

Tin Suharmini (2005: 7) mengunggkapkan bahwa istilah hiperaktivitas berasal dari dua kata, yaitu hyper berarti banyak, di atas, tinggi dan activity berarti keadaan yang selalu bergerak, mengadakan eksplorasi serta respon terhadap rangsangan dari luar. Dengan demikian istilah dari hiperaktivitas berarti aktifitas yang dimiliki sangat tinggi tidak bertujuan dan cenderung bersifat negatif.

Arga Paternotte dan Jan Buitelaar (2010: 4) mengemukakan bahwa hiperaktif atau yang sering disebut dengan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) anak yang selalu bergerak sepanjang hari, dan tidak dapat duduk diam dikursi, merasa tidak tenang, mudah terganggu dan cepat frustrasi. senada dengan Arga, Fardimand Zaviera (2007: 11) mengungkapkan bahwa anak hiperaktif adalah anak yang mengalami gangguan pemusatan pemusatan perhatian dengan hiperaktivitas (GPPH) atau Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). Mudzakkir Hafidz (2010) hiperaktif adalah gangguan tingkah laku yang tidak normal yang disebabkan disfungsi neurologia dengan gejala utama tidak mampu memusatkan perhatian. Dari beberapa istilah di atas penulis memilih menggunakan istilah hiperaktif dalam penelitian ini.

Dari beberapa pendapat di atas dapat ditegaskan bahwa hiperaktif adalah gangguan pada tingkah laku yang ditandai dengan tingginya aktifitas yang tidak bertujuan dan bersifat negatif yang disebabkan oleh disfungsi neurologia. Hiperaktif ini ditandai dengan gejala utama tidak mampu memusatkan perhatian.


(11)

11 2. Faktor Penyebab Siswa Hiperaktif

Betty B. Osman (2002: 26- 32) menyatakan bahwa penyebab anak hiperaktif ada 4 yaitu faktor kelemahan saraf sensor, faktor genetik, faktor pranatal, dan faktor lingkungan. Lebih lanjut dapat dikaji sebagia berikut:

a. Faktor Kelemahan Saraf Sensor

Faktor kelemahan saraf sensor yaitu lemahnya saraf sensor yang ada di otak dapat mengacu pada sistem kerja mata dan telinga anak, atau pada hubungan saraf pusat sehingga sering terjadi kesalahan dalam menyampaikan pesan-pesan ke saraf pusat. Hal ini merupakan salah satu penyebab anak mengalami gangguan hiperaktif.

b. Faktor Genetik

Salah satu penyebab faktor hiperaktif adalah faktor genetik. Faktor Genetik merupakan faktor internal yang diwariskan dari keluarganya.

c. Faktor Prenatal

Salah satu faktor hiperaktif adalah faktor pranatal. Faktor pranatal yaitu kondisi yang dialami ibu saat kehamilan seperti kelahiran prematur, berat badan turun pada masa kehamilan, atau luka fisik serius dapat mempengaruhi kondisi anak yang dilahirkan mengalami hiperaktif. Namun hal ini masih dalam penelitian lebih lanjut.

d. Faktor Lingkungan

Lingkungan dapat menyebabkan perilaku anak menjadi hiperaktif. Hal ini dikarenakan lingkungan yang negatif meliputi pengabaian, penyiksaan,


(12)

12

kurang gizi dan deprivasi budaya dapat menyebabkan anak mengalami gangguan hiperaktif.

Ada beberapa faktor penyebab utama anak mengalami hiperaktif. Tin Suharmini (2005: 37) mengemukakan bahwa ada 6 faktor yang dapat mempengaruhi anak hiperaktif yaitu faktor neurologi, toxic reactious, kondisi pranatal, faktor genetik, faktor biologis dan faktor lingkungan. Lebih lanjut dapat dikaji sebagai berikut:

a. Faktor Neurologik

Banyak ahli yang mengemukakan bahwa penyebab dari hiperaktif adalah kerusakan yang terdapat pada neurologis. Kerusakan pada neurologis yang ada dalam otak ini akan menyebabkan gangguan pada susunan saraf menjadi kacau atau tidak teratur. Dengan kata lain bahwa faktor lemahnya susunan syaraf pada seorang anak akan menyebabkan hiperaktivitas.

b. Toxic Reaction

Hiperaktif juga dapat disebabkan karena reaksi toxic (keracunan). Banyak para ahli menyatakan dengan istilah timbal. Timbal ini diperoleh manusia melalui udara yang sudah tercemar dihirup manusia, makanan dalam kemasan kaleng, asap dari cerobong pabrik dan proses industri. Jika kandungan timbal dalam tubuh sudah banyak maka akan menyebabkan infeksi. Infeksi anak masuk pada otak dan mempengaruhi fungsi intelektual, persepsi, sensasi dan memori. Dengan demikian orientasi dan memori tidak dapat bekerja dengan baik sehingga anak menjadi berperilaku hiperaktif.


(13)

13 c. Kondisi Parental

Kondisi pranatal dapat mempengaruhi tingkah laku anak setelah lahir menjadi anak hiperaktif, seperti:

1) Toxaemia adalah suatu kondisi dimana ibu hamil pada tahap akhir mengalami tekanan darah meningkat, kaki membengkak, dan protein terbuang melalui urine. Hal ini ada kemungkinan anak yang dilahirkan anak mengalami gangguan hiperaktif. Namun tidak semua ibu hamil yang mengalami hal tersebut melahirkan anak dengan gangguan hiperaktif.

2) Kebiasaan merokok pan minum minuman keras pada saat kehamilan dapat digolongkan sebaai penyebab dari hiperaktif

3) Kerusakan otak pada saat lahir. Kerusakan ini bisa terjadi karena proses melahirkan yang mengalami kesulitan sehingga membutuhkan alat untuk membantu proses persalinan. Penggunaan alat oleh tenaga yang belum ahli dapat menyebabkan cedera pada otak atau luka pada otak sehingga mengganggu perkembangan.

d. Faktor Genetik

Beberapa ahli mengemukakan bahwa hiperaktif disebabkan oleh faktor genetik. Ada sejumlah kromoson yang ada dalam diri manusia yang dapat menurunkan sifat pada genenrasi berikutnya.

e. Faktor Biologis

Faktor biologik merupakan salah satu penyebab terjadinya perilaku hiperaktif, faktor ini akan mempengaruhi perkembangan anak hiperaktif.


(14)

14

Anak yang hiperaktif memiliki gangguan susunan saraf yang terdapat pada otak.

f. Faktor lingkungan

Lingkungan rumah termasuk sikap orang tua juga dapat menyebabkan anak menjadi hiperaktif. Sikap orang tua yang otoriter kadang tidak menyebabkan anak menjadi takut namun justru kadang menentang dengan melakukan aktifitas yang tidak disukai oleh orang tuanya. Kurangnya perhatian dari orang tua terkadang membuat anak ingin mencari perhatian dengan berperilaku yang sangat aktif. Jika hal ini tidak ditindak lanjuti maka lama kelamaan anak akan mengalami gangguan hiperaktif.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa penyebab anak hiperaktif dibedakan menjadi 2, yaitu faktor dari dalam diri anak dan faktor dari luar diri anak. Faktor dari dalam diantaranya, neorologik, genenik dan biologis. Sedangkan faktor dari luar adalah masa parental, toxic dan lingkungan.

3. Klasifikasi Siswa Hiperaktif

Tin Suharmini (2005: 29) menjelaskan anak hiperaktif dapat digplongkan menjadi 4 tipe yaitu penggolongan berdasarkan gejala-gejala perilaku, jenis kelainan perilaku, penyebab, dan berat ringannnya penyimpangan perilaku.

a. Penggolongan Berdasarkan Gejala-gejala Perilaku

Klasifikasi dari American Psychiatric Association dikemukakan dalam Diagnostic and Statistical-III / DSM III(dalam Quay & Werry, 1986: 165) membagi tipe hiperaktif menjadi 2 tipe, yaitu:


(15)

15

1) Attention Deficit Disorder dengan hiperaktif, yang lebih sering kita sebut ADD-H. Pada tipe ini anak mengalami gangguan perkembangan pada aktifitas memperhatikan, kontrol perilaku (impluisif dan hiperaktif).

2) Attention Deficit Disorder, yang sering disebut dengan ADD. Pada tipe ini anak hanya mengalami gangguan pada aktifitas memperhatikan dan impulsif tetapi tidak ada gejala otoritas pada gerak motoriknya. Anak mengalami gangguan pada kemampuan untuk memusatkan perhatian. Anak juga sukar dalam mengorganisasi perilaku, kesulitan dalam menunggu giliran, berbuat sebelum berfikir, dansering berpindah-pindah dari aktifitas satu ke aktifitas yang lainnya.

b. Penggolongan Berdasarkan Jenis Kelainan Perilaku

Mardiati Busono (Tin Suharmini, 2005: 32) mengemukakan ada tiga tipe hiperaktif, yaitu hiperaktif sensoris, hiperaktif motoris dan hiperaktif campuran.

1) Hiperaktif Sensoris

Heperaktif sensoris disebabkan adanya kelainan pada otak. Kelainan ini menyebabkan penderitanya tidak sanggup untuk merespon segala sesuatu yang tidak ada hubungannya. Anank yang mengalami gangguan ini setiap mendapatkan rangsangan baik berupa gerak, bau warna atau bunyi akan teranggsang dan mengalihkan perhatiannya. Karena lemahnya neorologis membuat mereka tidak sanggup menahan diri terhadap terhadap rangsangan. Hal ini sangat berpengaruh pada prestasi di sekolah.


(16)

16 2) Hiperaktif Motoris

Hiperaktif motoris juga terjadi akibat adanya gangguan pada neorologis.Kelainan ini menyebabkan ketidakmampuan anak untuk bertahan pada rangsangan yang menimbulkan respon motorik. Hiperaktif motoris ini kebalikan dengan hiperaktif sensoris, mereka mengalami “katastoris” yaitu keseluruhan tubuh yang mungkin mereaksi dengan cara yang tidak dikendalikan.

3) Hiperaktif Campuran

Hiperakatif campuran merupakan tipe hiperaktif motoris diikuti dengan gejala hiperaktif sensoris.Anak yang mengalami hiperaktif vampuran dapat memiliki ciri-ciri yang ada pada hiperaktif motoris dan hiperaktif sensoris.

c. Penggolongan Berdasarkan Penyebab

Tin Suharmini (2005: 35) penyebabnya maka hiperaktif dapat digolongkan menjadi 3 tipe, yaitu:

1) Tipe hiperaktif yang disebabkan oleh gangguan neurologis. Penyebab gangguan neurologis itu dapat digolongkan menjadi dua tipe hiperaktif yang disebabkan karena kerusakan otak dan ketidakmasakan.

Tipe hiperaktif yang disebabkan karena kerusakan otak ini apabila gejala hiperaktifnya telah hilang oleh pengobatan, tetapi tidak bisa sepenuhnya hilang. Hal ini terjadi karena pada tipe ini terdapat gangguan pada neurologis.

2) Tipe hiperaktif yang disebabkan karena faktor perkembangan. Termasuk faktor perkembangan yaitu faktor genetik dan faktor biologis.


(17)

17

3) Tipe hiperaktif yang disebabkan oleh psikogen. Tipe ini disebabkan oleh faktor lingkungan misalnya pola asuh orang tua.

d. Penggolongan Berdasarkan Berat Ringannya Penyimpangan

Berdasarkan berat ringannya penyimpangan perilaku hiperraktif dapat digolongkan menjadi 2 tipe, yaitu:

1) Tipe Hiperaktif yang berat. Tipe ini ditandai dengan perhatian rendah, perilaku kacau, dan aktifitas gerak yang sangat tinggi.

2) Tipe hiperaktif ringan. Penyimpangan pada perilaku ini termasuk ringan dan masih bisa dikontrol.

Ferdinand Zaviera (2007: 12) mengemukakan beberapa tipe hiperaktif atau GPPH/ ADHD adalah:

a. Tipe sulit konsentrasi

Hiperaktif dengan tipe sulit berkonsentrasi mempunyai kriteria seperti: 1) sering melakukan kecerobohan atau gagal menyimak hal-hal yang

terperinci dan sering membuat kesalahan, 2) sulit memusatkan perhatian,

3) tidak mendengarkan saat diajak bicara,

4) sering tidak mengikuti intruksi dan gagal melaksanakan tugas, 5) mudah beralih perhatian, dan


(18)

18 b. Tipe hiperaktif-implusif

Hiperaktif dengan tipe hiperaktif-implusif mempunyai kriteria sebagai berikut:

1) sering menggerak-gerakkan tangan dan kaki ketikaduduk, 2) sering berlari-lari, memanjat yang berlebihan,

3) selalu bergerak seolah-olah tidak pernah merasa lelah, 4) banyak bicara,

5) sulit menunggu giliran, dan

6) sering memotong pembicaraan orang lain. c. Tipe kombinasi

Hiperaktif tipe ini mempunyai kriteria gabungan antara tipe sulit berkonsentrasi dan tipe hiperaktif dan implusif.

Dari beberapa pendapat di atas hiperaktif dapat diklasifikasikan menjadi 4 yaitu, berdasarkan gejala-gejala perilaku, berdasarkan jenis kelainan perilaku, berdasarkan penyebab, dan berdasarkan berat ringannya perilaku. Berdasarkan gejala-gejala perilaku dibedakan menjadi 2 yaitu, ADD-H dan ADD. Berdasarkan jenis kelainan perilaku hiperaktif dibedakan menjadi 3 yaitu, hiperaktif sensoris (sulit berkonsentrasi), hiperaktif motoris (implusif), dan hiperaktif campuran (kombinasi). Berdasarkan jenis penyebab perilaku hiperaktif dibedakan menjadi 3 yaitu, neorologis, perkembangan dan psikogen. Sedangkan berdasarkan berat ringannya perilaku hiperaktif dibedakan menjadi 2 yaitu, berat dan ringan. Tipe-tipe hiperaktif ini perlu dipahami oleh setiap orang yang menangani anak


(19)

19

hiperaktif. Setiap tipe membutuhkan penanganan yang berbeda dengan tipe lainnya.

4. Karakteristik Siswa Hiperaktif

Ferdinand Zaviera (2007: 11-12) mengungkapkan bahwa karakteristik anak hiperaktif adalah:

“1) kemampuan akademik tidak optimal, 2) kecerobohan dalam hubungan sosial, 3) kesembronoaan dalam menanggapi situasi yang berbahaya, 4) sikap melanggar tata tertib secara implusif, 5) mengalami kesulitan berkonsentrasi dalam belajar, mendengarkan guru, dan permainan, 6) hiperaktivitas, selalu bergerak dan tidak bisa tenang, dan 7) implulsivitas, melakukan sesuatu tanpa berpikir terlebih dahulu”.

Karakteristik siswa hiperaktif dapat dilihat dari perilaku anak setiap harinya. Dengan mengetahui karakteristik siswa hiperaktif sejak dini maka akan mudah dalam memberikan penanganan yang tepat.

Tin Suharmini (2005: 17) mengemukakan karakteristik anak hiperaktif adalah sebagai berikut:

“1) daya konsentrasi rendah, 2) mudah beralih perhatian, 3) sering gagal dalam pemusatan perhatian, 4) kesulitan dalam memperhatikan tugas, 5) sering tidak mendengarkan ketika oranglain bicara, 6) tidak menyukai pekerjaan rumah maupun sekolah, 7) sering memukuli benda-benda disekitarnya dengan tangan dan kaki, 8) tidak sabar menunggu giliran, dan 9) terjadi ketika anak berusia sebelum 7 tahun”.

Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristik yang dimiliki siswa hiperaktif diantaranya adalah daya konsentrasi rendah, mudah beralih perhatian, tidak memperhatikan saat orang lain bicara, tidak sabar menunggu giliran, suka memukuli barang disekitarnya dengan tangan dan kaki,


(20)

20

dan terjadi ketika anak berusia kurang dari 7 tahun. Saat pembelajaran siswa mengalami masalah seperti di atas maka siswa tersebut dapat diduga hiperaktif.

5. Perlakuan Guru terhadap Siswa Hiperaktif

Kebanyakan guru merasa kesulitan dalam menangani siswa hiperaktif. Guru sering memarahi, mencaci, memberi hukuman, mengeluh, dan terkadang guru cenderung memberi hukuman badan.

Tin Suharmini (2005: 218) memberikan contoh penanganan yang dilakukan guru dimana di dalamnya mengandung bagaimana guru harus bersikap terhadap siswa hiperaktif. Berikut akan dipaparkan mengenai usaha-usaha yang dilakukan guru dalam menangani siswa hiperaktif adalah:

“ a) anak dipilihkan tempat duduk yang sulit untuk keluar masuk ruangan, b) rangsangan yang berpengaruh meningkatkan perilaku anak dikurangi atau dihilangkan, c) ruangan jangan menggunakan warna yang mencolok, d) guru menciptakan lingkungan yang tersetruktur, yaitu tersedianya aturan beserta konsekuensinya, e) dalam usaha melakukan perbaikan perilaku ini guru harus bekerjasama dengan orang tua, f) diajak belajar disiplin, dan g) memberikan penguatan disetiap kegiatan positif yang dilakukan siswa hiperaktif”.

Perlakuan guru di dalam kelas sangat penting dilakukan, apalagi perlakuan-perlakuan khusus untuk siswa hiperaktif. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi kekacauatan yang ada di dalam kelas yang disebabkan oleh perilaku siswa hiperaktif . Guru di sekolah inklusi atau sekolah reguler yang di dalamnya terdapat siswa berkebutuhan khusus termasuk siswa hiperaktif diharapkan dapat memberikan penanganan yang tepat berdasarkan karakteristik siswa hiperaktif .


(21)

21 B. Tinjauan tentang Pembelajaran

1. Pengertian Pembelajaran Siswa Hiperaktif

Winataputra (2008 : 40) pengertian pembelajaran adalah serangkaian kegiatan yang dirancang untuk memungkinkan terjadinya proses belajar pada siswa. Menurut UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Warsita (2008: 85) “Pembelajaran adalah suatu usaha untuk membuat peserta didik belajar atau suatu kegiatan untuk membelajarkan peserta didik”.

Siswa hiperaktif tergolong siswa yang memiliki kebutuhan khusus. Siswa yang memiliki kebutuhan khusus ini dapat menempuh pendidikan di sekolah inklusi dimana sekolah tersebut menerima anak yang memiliki kebutuhan khusus belajar bersama anak normal lainnya. Akhmad Sudrajad (2008), mengatakan bahwa “penerapan inklusi di sekolah Dasar didasari dari kebijakan Kurikulum Satuan Pendidikan (KTSP) yang menggunakan program elektik yaitu program yang mencari keseimbangan antara organisasi kurikulum yang berpusat pada mata pelajaran dan peserta didik”.

Pelaksanaan pembelajaran untuk anak ABK termasuk di dalamnya anak hiperaktif berbeda dengan anak normal lainnya. Perbedaan ini terlihat dari ciri khas penyelenggaraan pembelajaran bagi anak ABK. Endang Rochyadi dan Zaenal Alimin (2005: 61) ciri khas dari penyelenggaraan pendidikan untuk ABK selalu berorientasi pada kebutuhan anak. Sehingga pembelajaran yang tercipta


(22)

22

tidak terpaku dengan kurikulum, sedangkan pembelajaran bagi anak normal berorientasi pada kurikulum.

Endang Rochyadi dan Zaenal Alimin (2005: 61) mengungkapkan bahwa untuk dapat menggali data dan informasi tentang kebutuhan dari masalah yang dihadapi anak, guru dapat melakukannya melalui asesmen. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Tarmansyah (2007: 183) menyatakan bahwa assesmen merupakan suatu proses dalam upaya mendapatkan informasi tentang hambatan-hambatan belajar dan kemampuan yang sudah dimiliki serta kebutuhan yang harus dipenuhi agar dijadikan dasar dalam membuat program pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik siswa.

Tujuan utama dari asesmen pada prinsipnya adalah untuk menentukan bagaimana keadaan anak saat ini. Gambaran mengenai kondisi anak saat ini dapat diperoleh dengan cara melakukan modifikasi asesmen, sehingga program pembelajaran yang disusun cocok dengan keadaan dan kebutuhan setiap anak.

Asesmen sebagai dasar dalam menentukan program pembelajaran yang relevan dan fungsional bagi anak sebaiknya dilakukan secara terus menerus. Untuk melihat bagaimana perilaku anak, asesmen hendaknya dilakukan dalam situasi ilmiah, misalnya: di rumah, di dalam kelas, di kantin dan sebagainya. Terkait dengan hal-hal yang diperlukan dalam asesmen Endang Rochyadi dan Zaenal Alimin (2005: 66) menyatakan bahwa terdapat empat bidang yang memerlukan tindakan asesmen yaitu bidang akademik, bidang sensori motor, bidang monolog diri dan bidang perilaku. Data akurat dari anak dapat diperoleh dari asesmen dengan instrumen yang memadai. Prosedur pengembangan


(23)

23

instrumen asesmen tersebut dapat ditempuh guru dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Memahami konsep secara komprehensif setiap bidang yang akan diasesmen. 2. Memahami aspek dan ruang lingkup dari bidang yang akan diasesmen.

3. Menyusun butir-butir instrumen asesmen dari setiap aspek dalam bidang yang akan diasesmen.

Untuk selanjudnya melakukan kegiatan asesmen dalam situasi yang alami, sehingga ditemukan data-data yang akurat mampu menjawab kebutuhan anak untuk kepentingan penyusunan program pembelajaran individual (PPI).

Dalam proses penyusunan program pembelajaran individual, hasil asesmen akan berkaitan erat dengan kurikulum yang menjadi rujukan utama para guru dalam menyelenggarakan pembelajaran, sekalipun isi kurikulum sangat berkaitan jauh, bahkan bertentangan dengan kebutuhan belajar siswa ABK termasuk siswa hiperaktif. Hasil dari asesmen tadi perlu diselaraskan dengan materi kurikulum, sehingga rentang kebutuhan dengan tuntutan kurikulum menjadi selaras. Proses penyelarasan hasil asesmen dengan materi kurikulum dapat dilakukan dengan jalan:

1. Menganalisis hasil asesmen.

2. Menganalisis materi kurikulum. Analisis ini dapat dilihat dari susunan materi kurikulum maupun kesinambungan materi antara jenjang yang satu dengan jenjang yang lainnya. Setelah itu menetapkan dimana hasil asesmen dapat diselaraskan dengan urutan materi kurikulum.


(24)

24

3. Menyusun seluruh materi berdasarkan asesmen dengan materi kurikulum yang digunakan saat ini.

PPI yang diselaraskan antara hasil asesmen dengan kurikulum dapat menjadi solusi bagi guru dalam melaksanakan pembelajaran bagi siswa ABK termasuk hiperaktif. PPI tidak hanya dilakukan di sekolah luar biasa saja, namun dapat digunakan pula di sekolah inklusi maupun sekolah reguler yang di dalamnya terdapat siswa ABK termasuk siswa hiperaktif dengan cara memodifikasi sehingga proses pembelajaran dapat berjalan dengan lancar.

2. Komponen-Komponen Pembelajaran Siswa Hiperaktif

Pendidikan merupakan usaha secara sadar dan terencana untuk mewujudkan suatu pembelajaran agar siswa mampu mengembangkan potensi yang dimiliki. Pembelajaran dapat berhasil jika didukung oleh komponen-komponen yang mendasari berjalannya pembelajaran tersebut. Komponen-komponen pembelajaran yang ada di sekolah inklusi tidak berbeda jauh dengan pembelajaran di yang ada di sekolah reguler hanya lebih memperhatikan kemampuan yang dimiliki siswa yang memiliki kebutuhan khusus termasuk siswa hiperaktif. Saat ini pendidikan menggunakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), namun kurikulum siswa yang memiliki kebutuhan khusus kurikulum disesuaikan dengan hasil assesmen. Tarmansyah (2007: 154) mengemukakan bahwa kurikulum hendahnya disesuaikan dengan kebutuhan anak, selama ini anak dipaksakan mengikuti kurikulum. Oleh sebab itu sekolah


(25)

25

hendaknya memberikan kesempatan untuk menyesuaikan kurikulum dengan anak yang memiliki berbagai kemampuan, bakat dan minat.

Komponen-komponen pembelajaran di sekolah inklusi yaitu: a) tujuan pembelajaran; b) materi; c) strategi pembelajaran; d) siswa; e) evaluasi. (Akhmad Sudrajat, 2008: 32). Sedangkan Depdiknas (2007) menambahkan komponen-komponen lain yaitu guru, media dan sarana prasarana.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa komponen pembelajaran yang ada dalam sekolah inklusi ataupun sekolah reguler yang di dalamnya terdapat siswa berkebutuhan khusus antara lain: a) tujuan pembelajaran; b) materi; c) siswa atau peserta didik; d) pendekatan pembelajaran; e) metode; f) guru; g) media dan h) evaluasi.

a. Tujuan Pembelajaran

Oemar Hamalik (2008: 76) mengemukakan bahwa tujuan pembelajaran merupakan rumusan mengenai hasil-hasil pendidikan yang akan dicapai. Perumusan tujuan pembelajaran harus mengambil suatu rumusan tujuan dan menentukan tingkah laku siswa yang spesifik yang mengacu pada tujuan pembelajaran. Suatu pembelajaran seyogyanya memenuhi kriteria sebagai berikut: 1) Tujuan itu menyediakan situasi atau kondisi untuk belajar, misalnya:

dalam situasi bermain peran

2) Tujuan mendefinisikan tingkah laku siswa dalam bentuk dapat diukur dan diamati


(26)

26

3) Tujuan menyatakan tingkat minimal perilaku yang dikehendaki, misalnya pada peta pulau jawa, siswa dapat mewarnai dan memberi label pada sekurang-kurangnya 3 gunung utama.

Cepi Ryana ( 2010: 7) mengatakan bahwa tujuan pembelajaran merupakan suatu target yang ingin dicapai, oleh kegiatan pembelajatan. Sedangkan tujuan praktis yang ingin dicapai dalam penyelenggaraan pembelajaran inklusi yaitu membuat pembelajaran fungsional dapat dirasakan manfaatnya langsung baik siswa, guru, orang tua maupun masyarakat. Tarmansyaah (2007: 111-114) tujuan umum yang ingin dicapai dalam pembelajaran inklusi, yaitu: 1) tujuan untuk siswa, 2) tujuan untuk guru, 3) tujuan untuk orang tua siswa, 4) tujuan untuk masyarakat. Tujuan-tujuan pembelajaran dalam penelitian ini dijelaskan sebagai berikut ini:

1) Tujuan untuk siswa secara umum.

a) Berkembangnya kepercayaan diri anak, merasa bangga pada diri sendiri atas prestasi yang diperolehnya.

b) Anak dapat belajar secara mandiri

c) Anak mampu berinteraksi secara aktif bersama teman-temannya, dan lingkungan

d) Anak dapat belajar untuk menerima adanya perbedaan dan mampu beradaptasi

Dengan demikian secara keseluruhan tujuan pembelajaran untuk siswa berkebutuhan khusus hendaknya dapat mencakup aspek pengembangan kepercayaan diri, kemandirian, sosialisasi dengan lingkungan sekitar. Selain itu tujuan pembelajaran yang disusun hendaknya dapat melatih siswa untuk dapat menghargai perbedaan.


(27)

27 2) Tujuan untuk guru

a) Guru memiliki kesempatan untuk mengajar dengan setting kelas inklusi.

b) Guru dilatih dalam melakukan pembelajaran untuk siswa yang memiliki beragam karakteristik.

c) Guru dilatih dalam mengatasi berbagai permasalahan dengan bermacam-macam karakteristik yang dimiliki siswa.

d) Guru dilatih bersikap positif terhadap siswa, orang tua, dan masyarakat dalam kondisi apapun.

e) Guru diberikan peluang agar mengenali dan mengembangkan serta mengaplikasikan berbagai gagasan baru melalui komunikasi dengan anak dilingkungan sekolah maupun lingkungan masyarakat. Dengan demikian tujuan pembelajaran yang disusun oleh guru hendaknya dapat memberikan kesempatan mengajar dengan seting kelas inklusi, melakukan pembelajaran terhadap siswa hiperaktif, dapat mengatasi permasalahan yang ada di dalam kelas. Selain itu tujuan pembelajaran yang disusun oleh guru hendaknya sesuai dengan kurikulum dan karakteristik siswa hiperaktif.

3) Tujuan bagi orang tua siswa

a) Memberikan pengalaman belajar pada orang tua tentang bagaimana cara mendidik dan membimbing anaknya di rumah.

b) Membantu anak dalam belajar

c) Orang tua sebagai mitra sejajar dalam memberikan kesempatan belajar kepada anaknya.

d) Orang tua akan lebih memahami kemampuan anaknya.

Tujuan pembelajaran yang disusun oleh guru disekolah inklusi hendaknya tidak meninggalkan peran orang tua. Guru di sekolah inklusi harus membina komunikasi yang baik dengan orang tua. Sehingga di rumah orang tua dapat membantu guru dalam pencapaian tujuan pembelajaran yang ditetapkan.


(28)

28 4) Tujuan untuk masyarakat

a) Masyarakat mengetahui adanya layanan pendidikan untuk semua. b) Semua anak di masyarakat dapat mengenyam pendidikan sehingga

dapat menjadi sumber daya yang potensial.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan pembelajaran adalah suatu rumusan target yang ingin dicapai setelah kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Tujuan pembelajaran dapat dibedakan menjadi 4, yaitu: 1) tujuan untuk siswa, 2) tujuan untuk guru, 3) tujuan untuk orang tua siswa, dan 4) tujuan untuk masyarakat.

b. Materi

Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab Pasal 36 ayat 2 (halaman 20), mengenai kurikulum dinyatakan bahwa “kurikulum pada semua jenjang pendidikan dan semua bentuk atau jenis penyelenggaraan pendidikan divareasikan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah dan potensi peserta didik. Materi dikembangkan sesuai dengan relevansi oleh setiap satuan pendidikan”. Materi umumnya memuat tentang peningkatan iman dan takwa, peningkatan akhlak mulia, peningkatan potensi, peningkatan kecerdasan dan peningkatan minat bakat peserta didik.

Dalam pembelajaran untuk anak yang mengalami kebutuhan khusus termasuk siswa hiperaktif penentuan atau pemilihan materi pembelajaran disesuaikan berdasarkan hasil asesmen. Hal ini diungkapkan oleh Endang Rochyadidan Zaenal Alimin (2005: 148) mengemukakan bahwa materi pelajaran merupakan ruang lingkup dari pokok bahasan/ sub pokok bahasan.


(29)

29

Dalam mengembangkan materi pembelajaran, hal yang harus dilakukan guru adalah melihat kembali hasil asesmen dan menganalisis kurikulum. Selain itu dalam penyusunan materi, guru harus menganalisis urutan prerequisit materi pembelajaran. Prerequisit adalah pengembangan materi secara runtut dan relevan sesuai dengan perkembangan kognitif dan karakteristik siswa yang mengalami hiperaktif.

Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat ditegaskan bahwa materi adalah isi pembelajaran yang akan disampaikan kepada siswa sesuai dengan kurikulum dan tujuan yang telah ditepakkan. Dalam penentuan atau pemilihan materi pembelajaran untuk siswa yang memiliki kebutuhan khusus disesuaikan berdasarkan hasil asesmen.

c. Siswa

Setiap anak berhak mendapatkan pendidikan yang layak, tidak terkecuali bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Siswa atau peserta didik merupakan pengguna utama layanan pendidikan. Undang- Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 ayat 4 (halaman 3), yang dimaksud dengan “peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri memali proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.

Pendidikan inklusi merupakan pendidikan yang mengabungkan pendidikan untuk anak yang berkebutuhan khusus belajar bersama anak normal. Oleh karena itu, siswa menjadi fokus utama dalam pembelajaran inklusi. Pembelajaran inklusi


(30)

30

merupakan solusi yang baik bagi perkembangan pendidikan untuk semua, khususnya bagi sekolah yang menerima siswa dengan beragam karakteristik.

Pada pembelajaran inklusi guru dituntut memiliki pengetahuan dan pemahaman yang luas tentang karakteristik siswanya, sehingga diharapkan nantinya guru dapat memberikan penanganan yang tepat sesuai dengan karakteristik yang dimiliki siswa. Kenyataan yang ada dilapangan, tidak hanya sekolah yang berlabel inklusi yang menerima siswa berkebutuhan khusus, namun ada sekolah reguler juga menerima siswa berkebutuhan khusus. Siswa normal (tidak memiliki kebutuhan khusus) dan siswa berkebutuhan khusus menempuh pendidikan dalam satu kelas. Walaupun jumlah siswa normal lebih banyak dari pada siswa yang memiliki kebutuhan khusus. Berdasarkan hasil observasi peneliti dalam satu kelas biasanya terdapat 3-5 siswa berkebutuhan khusus.

Berdasarkan pendapat di atas dapat ditegaskan bahwa siswa adalah peserta didik yang merupakan anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri memali proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu. Guru hendaknya mampu mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh siswa sehingga pembelajaran dapat berjalan dengan lancar.

d. Pendekatan Pembelajaran

Pendekatan pembelajaran merupakan cara yang dipilih guru dalam melakukan pendekatan saat pembelajaran. pendekatan pembelajaran berfungsi sebagai perantara keberhasilan penyambaian materi yang dilakukan oleh guru. pendekatan pembelajaran yang biasanya digunakan untuk sekolah inklusi ataupun


(31)

31

sekolah yang didalamnya terdapat siswa yang memiliki kebutuhan khusus termasuk siswa hiperaktif idealnya menggunakan pendekatan indiviual.

Guru diharapkan dapat mengajar menggunakan gaya konvensional klasikal, mengingat guru menghadapi siswa yang tidak sedikit dalam satu kelas. Maksudnya guru kelas tetap berperan sebagai pengajar dan fasilitator yang mengampu satu kelas dengan berbagai karakteristik siswa. Namun selain menggunakan gaya konvensional klasikal guru juga menggunakan pendekatan individual pada siswa yang memiliki kebutuhan khusus termasuk siswa hiperaktif. Pendekatan secara individual dapat guru lakukan di langkah awal sebelum merancang pembelajaran. Langkah awal guru adalah melakukan asesmen. Tarmansyah (2007: 183) menyatakan bahwa assesmen merupakan suatu proses dalam upaya mendapatkan informasi tentang hambatan-hambatan belajar dan kemampuan yang sudah dimiliki serta kebutuhan yang harus dipenuhi. Hal ini dilakukan agar dijadikan dasar daam membuat program pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik siswa. Program pembelajaran individual dimaksudkan agar pembelajaran yang diberikan sesuai dengan kemampuan dan karakteristik siswa.

Diharapkan dengan menggunakan pendekatan individual dan pendekatan konvensional klasikal dapat menciptakan pembelajaran yang ramah dan fungsional untuk semua siswa. Dengan demikian semua siswa diharapkan mampu mengembangkan potensi yang mereka miliki.

e. Metode Pembelajaran

Dwi Siswoyo, dkk (2007: 142) mengemukakan bahwa metode adalah cara yang berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan. Pada dasarnya metode


(32)

32

dalam pembelajaran inklusi ataupun sekolah reguler yang di dalamnya terdapat siswa berkebutuhan khusus dapat diaplikasikan dengan metode pembelajaran pada pembelajaran yang ada di sekolah reguler. Namun pada pembelajaran inklusi wajib menggunakan metode konvensional dan metode khusus untuk memberikan layanan pendidikan dalam pelaksanaan pembelajaran.

Metode pembelajaran yang digunakan pada kelas inklusi menggunakan dua prinsip, yaitu prinsip utama dan prinsip khusus. Tarmansyah (2007: 191-194) mengungkapkan prinsip-prinsip umum pembelajaran di kelas inklusi:

“1) metode yang digunakan diharapkan mampu meningkatkan motivasi belajar siswa; 2) metode kontekstual yang memanfaatkan sumberdaya yang ada dilingkungan sekitar; 3) strategi belajar terarah, yang mengemukakan tujuan pembelajaran secara jelas; 4) dinamika sosial yang mampu mengoptimalkaan interaksi sosial; 5) belajar sambil bekerja, diaplikasikan dengan percobaan; 6) pendekatan individual dengan tujuan mengenali karakteristik siswa secara mendalam; 7) metode inkuiri yang mendorong siswa melibatkan diri dalam pemecahan masalah yang dihadapi; 8) metode pemecahan masalah, dengan metode ini diharapkan anak mampu memecahkan masalah yang dihadapi sesuai dengan kemampuan yang dimiliki”.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa metode adalah cara yang berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan. Pemilihan metode pembelajaran dalam sekolah inklusi atau sekolah yang di dalamnya terdapat siswa yang memiliki kebutuhan khusus termasuk siswa hiperaktif harus disesuaikan dengan karakteristiknya. Pnggunaan metode dengan prinsip khusus pada kelas inklusi bergantung pada karakteristik siswa yang ada didalam kelas tersebut. Prinsip khusus mengarah pada metode pembelajaran khusus yang digunakan guru dalam membantu proses kegiatan belajar mengajar untuk siswa berkebutuhan khusus.


(33)

33 f. Guru

Kata Guru berasal dari bahasa Sansekerta “guru”yang juga berarti guru, tetapi arti harfiahnya adalah “berat” yaitu seorang pengajar suatu ilmu. Dalam bahasa Indonesia, guru umumnya merujuk pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik.

Undang- Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen menyebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Dwi Siswoyo, dkk (2007: 126) mengungkapkan bahwa pendidik adalah setiap orang yang dengan sengaja mempengaruhi orang lain untuk mencapai tingkat kemanusiaan yang lebih tinggi. Guru bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan terhadap siswa yang bertujuan untuk mencapai jenjang kedewasaan.

Di dalam masyarakat, dari yang paling terbelakang sampai yang paling maju, guru memegang peranan penting. Guru merupakan satu diantara pembentuk-pembentuk utama calon warga masyarakat. Peranan guru tidak hanya terbatas sebagai pengajar (penyampai ilmu pengetahuan), tetapi juga sebagai pembimbing, pengembang, dan pengelola kegiatan pembelajaran yang dapat memfasilitasi kegiatan belajar siswa dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Daoed Yoesoef (1999: 15) menyatakan bahwa seorang guru mempunyai tiga tugas pokok yaitu tugas profesional, tugas manusiawi, dan tugas kemasyarakatan. Tugas profesional dari seorang guru yaitu meneruskan atau


(34)

34

transmisi ilmu pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai lain yang sejenis yang belum diketahui anak dan seharusnya diketahui oleh anak.

Tugas manusiawi adalah tugas-tugas membantu anak didik agar dapat memenuhi tugas-tugas utama dan manusia kelak dengan sebaik-baiknya. Tugas-tugas manusiawi itu adalah transformasi diri, identifikasi diri sendiri dan pengertian tentang diri sendiri. Tugas kemasyarakatanmerupakan konsekuensi guru sebagai warga negara yang baik, turut mengemban dan melaksanakan apa-apa yang telah digariskan oleh bangsa dan negara lewat UUD 1945 dan GBHN.

Ketiga tugas guru itu harus dilaksanakan secara bersama-sama dalam kesatuan organis harmonis dan dinamis. Seorang guru tidak hanya mengajar di dalam kelas saja tetapi seorang guru harus mampu menjadi katalisator, motivator dan dinamisator pembangunan tempat di mana ia bertempat tinggal.

Dalam sekolah inklusi terdapat dua guru di dalam kelas, yaitu guru kelas dan guru pendamping khusus. Guru dituntut untuk mengembangkan kemampuan dan keterampilanya dalam mengelola kelas, memilih strategi belajar, metode, media dengan baik sehingga mampu mengembangkan posensi yang dimiliki masing-masing siswa. Guru kelas dan guru pendamping dalam sekolah inklusi mempunyai peran yang saling berkaitan, yang dijelaskan berikut ini:

1) Peran Guru Kelas

Wahyu Sri Ambar Arum (2005: 198) guru kelas merupakan “guru yang mampu mengemban tanggung jawab umum program-program dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi”. Peran guru kelas antara lain: a) menetapkan tujuan pembelajaran secara jelas dalam RPP; b) dapat


(35)

35

memilih pendekatan yang tepat dengan disesuaikan karakteristik siswa; c) mengelola materi yang akan diajarkan; d) terampil dalam memilih dan menggunakan metode yang dapat meningkatkan motivasi siswa; dan e) melakukan evaluasi belajar.

2) Peran Guru Pendamping

John W Santrick (2007: 246) “guru pendamping khusus adalah guru sumber daya berfungsi memberikan pelayanan yang bermanfaat bagi anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus”. Guru pendamping khusus ini tentu harus memiliki kompetensi khusus untuk menangani siswa berkebutuhan khusus. Guru pendamping harus mampu bekerja sama dengan guru kelas mulai dari perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, dan evaluasi.

Pada sekolah reguler yang memiliki siswa berkebutuhan tidak ada guru pendamping, sehingga guru kelas harus merangkap tugas dari guru khusus. Guru kelas di sekolah seguler yang memiliki siswa berkebutuhan dituntut untuk menguasai semuanya

g. Alat Pembelajaran (Media)

Kata media berasal dari bahasa latin dan merupakan bentuk jamak dari “medium” yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar. Jadi media adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim kepada penerima pesan. Arif S. Sudirman (2003: 7), “menyetakan bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemajuan pembelajaran sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar pada


(36)

36

diri pembelajarnya”. Wina Sanjaya (2008: 205) mengemukakan bahwa “media pengajaran meliputi perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software). Hardware berupa alat-alat yang dapat mengantarkan pesan. Sedangkan software adalah isi program yang mengandung pesan.”

Dalam memilih media guru hendaknya memperhatikan kemampuan kognitif yang dimiliki siswakhususnya siswa hiperaktif, dan materi pembelajaran. Guru harus memilih media yang dapat membantu meningkatkan aktifitas belajar siswa, agar tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan baik. Selain itu, guru di sekolah inklusi atau sekolah yang di dalamnya terdapat siswa yang memiliki kebutuhan khusus termasuk siswa hiperaktif harus menggunakan media yang bervareasi. Hal ini disesuaikan dengan karakteristik siswa hiperaktif yang mudah beralih perhatian. Akibatnya mereka mengalami kemampuan akademik yang rendah.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran merupakan wahana dan alat penyampaian informasi atau pesan pembelajaran pada siswa. Pemilihan media pembelajaran bagi sekolah inklusi atau sekolah yang di dalamnya terdapat siswa yang memiliki kebutuhan khusus termasuk siswa hiperaktif harus bervareasi, sesuai materi dan sesuai dengan karakteristik siswa. Media pada hakekatnya merupakan salah satu komponen sistem pembelajaran. Sebagai komponen, media hendaknya merupakan bagian integral dan harus sesuai dengan proses pembelajaran secara menyeluruh. Dilihat dari jenisnya, media dibagi menjadi 3 macam, yaitu :


(37)

37

1) Media auditif, yaitu media yang hanya mengandalkan kemampuan suara saja, seperti radio, cassette recorder.

2) Media visual, yaitu media yang hanya mengandalkan indera penglihatan, seperti foto, gambar atau lukisan, slide dll.

3) Media audiovisual, yaitu media yang mempunyai unsure suara dan unsure gambar,seperti film, video-cassete, dll.

Dengan demikian hendahnya guru yang memiliki siswa ABK termasuk siswa hiperaktif dapat membuat media sesuai dengan karakteristik siswa tersebut, baik dari bentuk, warna maupun tektur. Sehingga diharapkan dengan adanya media tersebut dapat menarik perhadian semua siswa, tidak terkecuali siswa hiperaktif. Dengan demikian siswa hiperaktif tidak lagi membuat gaduh suasana kelas, dan pembelajaranpun dapat terlaksana denagn baik.

h. Evaluasi

Istilah evaluasi berasal dari bahasa Inggris yaitu “evaluation”. Tarmansyah (2007: 200), “evaluasi merupakan kegiatan tindak lanjut dari perencanaan dan pelaksanaan pendidikan inklusi”. Guba dan Licoln (Wina Sanjaya, 2008: 241), “ evaluasi merupakan suatu proses memberikan pertimbangan mengenai nilai dan arti suatu yang dipertimbangkan (evaluation). Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa evaluasi adalah kegiatan mengumpulkan data seluas-luasnya, sedalam-dalamnya yang bersangkutan dengan kapabilitas siswa, guna mengetahui sebab akibat dan hasil belajar siswa yang dapat mendorong dan mengembangkan kemampuan belajar.


(38)

38

Evaluasi di sekolah inklusi pada dasarnya sama dengan evaluasi di sekolah reguler hanya saja bentuk evaluasi disesuaikan dengan karakteristik siswa. Evaluasi berfungsi untuk mengetahui dan mengukur ketercapaian kompetensi (daya serap sesuai indikator) dan kemajuan belajar. Rando Harsanto (2007: 167), memaparkan tujuan evaluasi yaitu:

“1) mendiaknosis kekuatan dan kelemahan siswa; 2) memonitoring kemajuan belajar siswa; 3) mengualisasikan nilai prestassi siswa; 4) mengukur efektifitas proses pembelajaran; 5) menentukan standar sekolah dalam masyarakat; 6) membantu mengevaluasi guru; 7) mengklarifikasi tujuan pembelajaran”.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa evaluasi adalah kegiatan tindak lanjut dari perencanaan dan pelaksanaan pendidikan berupa pengumpulan data seluas- luasnya mengenai nilai berdasarkan kemampuan setiap individu. Pemilihan bentuk evaluasi pada sekolah inklusi atau sekolah yang di dalamnya terdapat siswa berkebutuhan khusus termasuk siswa hiperaktif disesuaikan berdasarkan kemampuan dan karakteristik siswa tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan guru mengukur pencapaian kompetensi oleh siswa tersebut.

Evaluasi yang efektif harus mempunyai dasar yang kuat dan tujuan yang jelas. Disekolah guru menggunakan beberapa jenis evaluasi diantaranya adalah sebagai berikut:

1) Tes tertulis adalah tes yang diikuti secara serempak oleh pengikut tes yang harus menjawab sejumlah pertanyaan/soal secara tertulis dalam waktu yang telah ditentukan. Jenis tes berupa pilihan ganda dan essay.


(39)

39

2) Tes lisan adalah bila sejumlah pengikut tes, satu demi satu diuji secara lisan oleh seorang penguji atau lebih.

3) Tes praktek adalah tes yang dinilai berdasarkan praktek dalam melakukan sesuatu, seperti mata pelajaran olahraga.

3. Rencana Pembelajaran Siswa Hiperaktif

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen pada pasal 20 menjelaskan bahwa guru berkewajiban untuk merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran. Dengan demikian guru diwajibkan membuat RPP sebelum melaksanakan pembelajaran.

Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2005 pasal 20 menerangkan bahwa “perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar dan penilaian hasil belajar”. Wina Sanjaya (2008: 23) mengatakan bahwa “ perencanaan berasal dari kata rencana yaitu pengambilan keputusan tentang apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan”. Dengan demikiaan, proses perencanaan dimulai dari perencanaan tujuan sampai dengan perencanaan evaluasi.

Sesuai dengan Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007 tentang standar Proses dijelaskan bahwa RPP dijabarkan dari silabus untuk mengarahkan kegiatan belajar peserta didik dalam mencapai KD. Setiap guru berkewajiban menyusun RPP secara lengkap dan sistematis agar pembelajaran berlangsung interaktif.


(40)

40

Suhaidah (2012) mengatakan bahwa RPP adalah rencana yang menggambarkan prosedur dan pengorganisasian pembelajaran untuk mencapai satu kompetensi dasar yang ditetapkan dalam standar isi dan dijabarkan dalam silabus. RPP merupakan persiapan wajib yang harus dibuat oleh guru sebelum mengajar. Selain itu guru harus mempersiapkan mental, situasi emosional yang ingin dibangun, lingkungan belajar yang produktif termasuk meyakinkan siswa agar ikut serta secara penuh dalam proses pembelajaran.

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) adalah rencana yang dibuat oleh guru sebelum mengajar berupa gambaran langkah-langkah pembelajaran dijabarkan dari Standar Kompetensi dan Kompetensi dasar yang telah di tetapkan. Pembuatan RPP disesuaikan dengan karakteristik siswa di kelas tersebut.

Tujuan pembuatan RPP adalah mempermudah pembelajaraan, meningkatkan hasil proses pembelajaran, pembelajaran yang sistematis dan mempermudah guru dalam penggunaan waktu yang efisien. Oleh karena itu, RPP hendaknya bersifat fleksibel dan memberi kemungkinan bagi guru untuk menyesuaikan dengan kondisi siswa dalam pembelajaran.

Siswa yang memiliki kebutuhan khusus mempunyai perbedaan dengan siswa normal lainnya. Hal ini dapat dilihat dari karakteristik yang dimiliki. Dengan demikian, hendaknya RPP yang dibuat oleh guru di sekolah inklusi atau sekolah reguler yang di dalamnya terdapat anak berkebutuhan khusus termasuk siswa hiperaktif disesuaikan dengan kebutuhan, karakteristik siswa tersebut dan berdasarkan hasil asesmen yang telah dilakukan guru sebelum membuat RPP.


(41)

41

Untuk itu Program Pembelajaran Individu (PPI) merupakan cara yang tepat di dalam proses belajar mengajar di sekolah inklusi atau di sekolah reguler yang di dalamnya terdapat siswa berkebutuhan khusus termasuk hiperaktif.

Endang Rochyadi dan Zaenal Alimin (2005: 103) mengemukakan bahwa proses penyusunan RPP dengan pengembangan PPI atau sering disebut dengan RPI berbeda dengan RPP klasikal biasa dilakukan di sekolah reguler. Perbedaannya terdapat pada RPP klasikal biasanya dikembangkan hanya dari kurikulum yang telah ditetapkan secara nasional, tanpa memperhatikan kebutuhan anak secara individu. Sedangkan dalam RPI dikembangkan berdasarkan dua sisi. Pertama, berdasarkan data hasil asesmen yang menggambarkan kebutuhan belajar siswa secara individual. Kedua, berdasarkan kepada materi kurikulum dari bidang studi yang disampaikan. Oleh karena itu rencana program pembelajaran individual merupakan penyesuaian antara kebutuhan anak yang materinya diambil dari kurikulum.

Endang Rochyadi dan Zaenal Alimin (2005: 151) komponen RPP dengan pengembangan Program Pembelajaran Individu (RPI) adalah: 1) identifikasi, 2) materi, 3) rumusan tujuan, 4) metode, material (media), kegiatan pembelajaran, dan 5) evaluasi. Komponen-komponen dalam RPPI dijelaskan sebagai berikut.

a. Identifikasi

Identifikasi mata pelajaran meliputi satuan pendidikan, kelas, semester, mata pelajaran, materi dan jumlah pertemuan. Identifikasi harus dituliskan secara jelas.


(42)

42 b. Materi

Materi ajar merupakan ruang lingkup dari pokok bahasan. Materi dapat dikembangkan oleh guru sesuai dengan asesmen dan fakta di lingkungan sekolah.

c. Rumusan tujuan

Tujuan pembelajaran menggambarkan proses dan hasil belajar yang diharapkan dicapai oleh peserta didik sesuai dengan materi yang akan diajarkan.tujuan disini meliputi tujuan jangka panjang dan jangka pendek. Setiap tujuan harus dirumuskan secara jelas, spesifik dan dapat diukur.Rumusan tujuan yang baik sekurang-kurangnya harus memuat tentang empat komponen yitu, pelaku, tingkah laku, kondisi dan kriteria.

d. Metode, Material (Media) dan Kegiatan

1) Metode pembelajaran tidak hanya menggambarkan bagaimana bahan ajar (materi) disampaikan, akan tetapi secara aktif harus memilih metode pembelajaran yang dapat memberikan kemudahan dalam belajar sehingga menjadi efisien dalam proses belajar, misalnya metode games (permainan), bermain peran, karya wisata, dan sebagainya.

2) Material (Media) sangat diperlukan dalam pembelajaran sebagai alat untuk membantu meningkatkan aktivitas siswa agar tujuan yang ditetapkan dapat dicapai dengan baik. Media pembelajaran dapat berupa audio, visual, maupun audio visual. Dalam pemilihan media hendaknya disesuaikan dengan karakteristik dan kemampuan siswa,


(43)

43

baik warna bentuk maupun tekturnya. Dihaparkan dengan adanya media siswa yang memiliki kebutuhan khusus termasuk siswa hiperaktif dapat tertarik dengan keberadaan media tersebut, sehingga mereka tidak mengganggu jalannya pembelajarn bagi siswa lainnya. 3) Aktivitas (KBM) dalam kontek pembelajaran individual dapat

dilakukan dengan 3 setting. Pertama pembelajaran dilakukan secara individual, yaitu satu guru dengan satu siswa. Kedua pembelajaran dilakukan dalam kelompok kecil, yaitu satu guru dengan dua sampai enam anak. Ketiga pembelajaran dilakukan dalam kelompok besar, yaitu satu guru satu kelas dengan catatan guru harus membimbing siswa yang mengalami kebutuhan khusus. Kegiatan pembelajaran hendaknya dilakukan secara vareatif dengan melibatkan gerak, suara, bermain peran, simulasi dan lain-lain. Kegiatan pembelajaran harus dilakukan secara runtut dari pendahuluan, isi, dan penutup.

a) Pendahuluan

Pendahuluan merupakan kegiatan awal dalam suatu pertemuan pembelajaran yang ditujukan untuk membangkitkan motivasi dan memfokuskan perhatian peserta didik untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran. Dalam kegiatan pendahuluan, guru : (1) menyiapkan peserta didik secara psikis dan fisik untuk mengikuti proses pembelajaran; (2) mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengaitkan pengetahuan sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari; (3) menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar


(44)

44

yang akan dicapai; dan (4) menyampaikan cakupan materi dan penjelasan uraian kegiatan sesuai silabus.

b) Inti

Kegiatan inti merupakan proses pembelajaran untuk mencapai KD. Kegiatan pembelajaran dilakukan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreatifitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Kegiatan ini dilakukan secara sistematis dan sistemik melalui proses eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi.

c) Penutup

Penutup merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengakhiri aktifitas pembelajaran yang dapat dilakukan dalam bentuk rangkuman atau kesimpulan, penilaian dan refleksi, umpan balik, dan tindak lanjut.

e. Penilaian (evaluasi)

Penilaian (evaluasi) hasil belajar berfungsi untuk mengukur kemajuan siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Selain itu evaluasi dapat berfungsi untuk mengambil keputusan dalam merencanakan program pembelajaran selanjutnya. Evaluasi dalam PPI dapat dilakukan dengan cara kualitatif dan kuantitatif.


(45)

45

Mulyani Sumantri dan Johar Permana (1999: 232-237) menambahkan bahwa dalam mengembangkan kegiatan pembelajaran meliputi: a) merumuskan tujuan; b) mengembangkan alat evaluasi; c) pemilihan dan penetapan metode mengajar; c) penentuan media; dan d) penetapan alokasi waktu. Komponen-komponen tersebut dijelaskan sebagai berikut:

a. Menentukan bahan atau materi

Menentukan bahan dan materi dimaksudkan sebagai kegiatan guru menetapkan buku atau sumber yang digunakan dalam pembelajaran. Sumber pokok berupa buku paket dari pemerintah. Selain itu guru dalam memilih materi harus memperhatikan tujuan yang telah dirumuskan, karakteristik siswa, ketentuan kurikulum, dan berurutan dari yang mudah ke tingkat yang sulit.

b. Pemilihan dan penetapan metode

Dalam pemilihan dan penetapan metode mengajar yang akan digunakan , guru hendaknya memperhatikan tujuan yang telah dirumuskan. Metode mengajar sesungguhnya adalah cara atau alat untuk pencapaian tujuan. Karena itu, penggunaan suatu metode berarti menunjukan bagaimana seorang guru melakukan penyajian materi dengan metode yang dipilih. Metode dalam suatu pembelajaran diperbolehkan lebih dari satu, hal ini dimaksudkan untuk menarik perhatian siswa dan efektifitas pencapaian tujuan. Pemilihan metode pembelajaran di sekolah inklusi atau sekolah yang di dalamnya terdapat siswa berkebutuhan khusus termasuk siswa hiperaktif harus disesuaikan dengan materi dan karakteristik siswa.


(46)

46 c. Penentuan media

Media yang perlu ditetapkan adalah media atau alat-alat yang mendukung pencapaian tujuan. Oleh karena itu media yang dicantumkan hendaknya media yang dapat menunjang keberhasilan pengajaran. Media diharapkan dapat membantu menjelaskan dan memudahkan siswa dalam memahami materi yang diajarkan. Pemilihan media pembelajaran di sekolah inklusi atau sekolah yang di dalamnya terdapat siswa berkebutuhan khusus termasuk siswa hiperaktif harus disesuaikan dengan materi dan karakteristik siswa.

d. Penetapan alokasi waktu

Alokasi waktu sebenarnya telah ditetapkan dalam GBPP, tetapi hal itu baru dalam bentuk alokasi waktu satu tahun. Selanjutnya guru dituntut untuk mengalokasikan waktu bagi pelaksanaan program pengajarannya.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa komponen-komponen RPP klasikal adalah; a) topik; b) Standar Kompetensi; c) Kompetensi Dasar; d)indikator; e) tujuan; f) materi; g) metode; h) kegiatan pembelajaran; i) sumber belajar; dan j) penilaian. Sedangkan komponen RPP dengan penggembangan PPI adalah; a) identifikasi (nama siswa, mata pelajaran, kelas, dan waktu), b) materi, c) tujuan, d) metode, material, dan aktivitas, dan e) evaluasi. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) klasikal dan RPP dengan pengembangan PPI mempunyai perbedaan. Hal ini dikarenakan dalam RPP dengan pengembangan PPI lebih menekankan pada pendekatan individual siswa yang memiliki kebutuhan khusus. Di sekolah reguler yang terdapat siswa berkebutuhan khusus


(47)

47

termasik siswa hiperaktif diharapkan guru membuat RPP yang mampu menggabungkan antara RPP klasikal dan RPP dengan pengembangan PPI sehingga tujuan pelaksanaan pembelajaran dapat dicapai oleh anak normal maupun anak yang memiliki kebutuhan khusus.

4. Pelaksanaan Pembelajaran Siswa Hiperaktif

Kemampuan siswa hiperaktif berbeda dengan kemampuan yang dimiliki oleh siswa normal lainnya. Dengan demikian dalam proses pelaksanaan pembelajaran siswa hiperaktif mendapatkan penanganan yang berbeda dari siswa normal lainnya. Salah satu penanganan terhadap siswa hiperaktif dalam pelaksanaan pembelajaran menggunakan Program Pembelajaran Individual (PPI). Pelaksanaan PPI berlandaskan pada aliran psikologi yang disebut dengan behaviorisme. Aliran ini pertama kali dikembangkan oleh John. B Waston (1914), kemudian dikembangkan oleh BF. Skinner (1974). Aliran behaviosisme menyatakan bahwa tingkah laku manusia dapat dibentuk, diubah dan dihilangkan. Aliran behaviorisme ini berkeyakinan bahwa tingkah laku itu merupakan hasil belajar. Oleh karenanya tingkah laku dapat diubah dengan jalan mengubah lingkungan dimana individu itu berada.

Proses pelaksanaan pembelajaran bagi siswa hiperaktif hendaknya sejalan dengan yang telah direncanakan dalam RRP dengan pengembangan PPI. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Mulyani Sumantri dan Johar Permana (1999: 237) menyatakan bahwa dalam melaksanakan program pengajaran guru hendaknya mengikuti langkah yang konsisten dengan rumusan- rumusan yang


(48)

48

telah disusun dalam RPP. Namun tidak menutup kemungkinan pelaksanaan pembelajaran berbeda dengan RPP yang telah disususn. Hal ini dikarenakan guru menyesuaikan keadaan siswa khususnya siswa hiperaktif. Dalam penyampaian materi untuk siswa hiperahtif diperlukan bimbingan secara individual. Selain itu dalam pengerjaan tugas, siswa hiperaktif berbeda dengan siswa normal lainnya. Misalnya: siswa normal diberikan tugas dengan tata aturan 1-5. Jika siswa normal akan mengerjakan dari aturan 1 menuju aturan 5. Sedangkan untuk siswa hiperaktif dilakukan secara terbalik dimulai dari urutan ke 5 menuju urutan ke 1. Dengan demikian bimbingan individual dari guru sangat dibutuhkan dalam pembelajaran.

Komponen dalam RPP meliputi mata pelajaran, tema tujuan, metode sampai pada evaluasi pembelajaran disesuaikan dengan karakterteristik anak hiperaktif. Disamping itu, guru harus mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan komponen-komponen behaviorisme yang harus ada dalam pembelajaran, khususnya siswa hiperaktif.

Pelaksanaan proses pembelajaran dimulai dari kegiatan pembelajaran yang di dalamnya terdapat tahap pendahuluan, isi dan penutup. Kegiatan pendahuluaan dapat meliputi membuka pembelajaran. Ngatman Soewito (2013: 19) menytatakan bahwa kegiatan membuka pelajaran kegiatan yang berisi usaha mengkoordinasikan siswa agar siap secara mental dan fisik untuk mengikuti pembelajaran. Tahap selanjudnya adalah isi atau sering disebut dengan inti pembelajaran. dimana materi akan disampaikan oleh guru sesuai dengan RPP yang telah disusun sebelumnya. Materi akan tersampaikan dengan baik jika guru


(49)

49

sudah menguasai semua ketempilan yang dibutuhkan dalam tahap isi/inti pembelajaran. Ngatman Soewito (2013: 20-22) pada tahap isi guru harus menguasai beberapa keterampilan diantaranya a) keterampilan membuka pelajaran, b) keterampilan menyampaikan materi, c) keterampilan interaksi pembelajaran, dan d) keterampilan berbahasa, gerak dan penggunaan waktu selang. Lebih lanjud dapat dikaji sebagai berikut :

a. Keterampilan membuka pelajaran

Dalam keterampilan membuka pelajaran meliputi mempersiapkan siswa, melakukan apersepsi, menjelaskan pokok bahasan yang akan dibahas, dan menyampaikan KD. Kegiatan membuka pelajaran bertujuan untuk menarik perhatian dan motivasi pembelajaran khususnya siswa hiperaktif, menginformasikan cakupan materi yang akan dipelajari.

Guru diharapkan di dalam keterampilan membuka pelajaran ini dapat mengkondisikan semua siswa termasuk siswa hiperaktif sebelum pembelajaran dimulai. Selain itu dalam keterampilan membuka pelajaran guru diharapkan mampu memberikan motivasi dan menyampaikan KD kepada semua siswanya termasuk siswa hiperaktif, sehingga dalam pembelajaran siswa lebih semangat.

b. Keterampilan penyampaian materi

Keterampilan menyampaikan materi meliputi kesesuaian urutan materi dengan KD, penguasaan materi pembelajaran, dan penyampaian materi secara logis dan sistematis. Indikator keberhasilan dari keterampilan penyampaian materi adalah 1) membantu siswa memahami dengan jelas semua permasalahan dalam kegiatan pembelajaran, 2) siswa (khususnya siswa hiperaktif) mampu memahami


(50)

50

suatu konsep dengan benar, dan 3) siswa terlibat aktif dalam pembelajaran. Di dalam keterampilan penyampaian materi ini diharapkan guru mampu melaksanakan indikator keberhasilan penyampaian materi. Sehingga semua siswa termasuk siswa hiperaktif mampu menerima materi pembelajaran dengan baik. Untuk penyampaian materi pada siswa hiperaktif dapat menggunakan bimbingan secara individual.

c. Keterampilan interaksi pembelajaran

Keterampilan interaksi pembelajaran meliputi kesesuaian langkah pembelajaran, keaktifan mengelola kelas, kesesuaian metode dan media dengan KD, kecakupan penggunaan waktu selang, dan kecakupan menggunakan media dan sumber belajar. Ketercapaian dalam keterampilan ini meliputi 1) pembelajaran berjalan secara lancar semua siswa dapat dikendalikan tidak terkecuali siswa hiperaktif, 2) ketepatan penggunaan metode dan media khususnya untuk siswa hiperaktif, dan 3) ketepatan penggunaan waktu. Dalam pembelajaran diharapkan penggunaan waktu dapat efektif dan tepat. Metode dan media yang digunakan guru diharapkan mampu menarik perhatian dan motivasi siswa khususnya siswa hiperaktif. Guru harus mampu memmilih media dan metode yang sesuai dengan karakteristik siswa khususnya siswa hiperaktif.

d. Keterampilan berbahasa, gerak dan penggunaan waktu selang

Keterampilan berbahasa, gerak dan penggunaan waktu selang meliputi volume suara, kejelasan, ketetapan penggunaan bahasa, keaktifan dan keluesan gerak, kepercayaan diri dan kecakupan proporsi waktu. Indikator keberhasilan dari keterampilan berbahasa, gerak dan penggunaan waktu selang adalah 1)


(51)

51

volume suara yang memadai artinya suara guru dapat terdengar jelas di semua sudut ruangan. 2) intonasi bervareasi sesuai dengan materi yang disampaikan, dengan demikian dapat menarik perhatian siswa selain itu penyampaian materi juga tidak terlihat membosankan, 3) vokal dan bahasa baik dan benar, 4) penggunaan waktu selang efektif, dan 4) pandangan mata menyeluruh. Dihapakan guru mampu menguasai keterampilan ini sehigga pembelajaran dapat berjalan optimal.

Setelah pelaksanaan pembelajaran, tahap selanjudnya dalam pembelajaran adalah evaluasi. Evaluasi merupakan cara yang digunakan guru untuk mengetahui seberapa besar kemampuan yang didapat siswa melalui pembelajaran. Selain itu evaluasi juga dapat digunakan sebagai tolak ukur pemilihan metode dan media pembelajaran bagi guru. Untuk itu guru harus mempunyai keterampilan evaluasi. Ngatman Soewito (2013: 21) keterampilan ini meliputi pelaksanaan evaluasi proses dan hasil. Indikator pelaksanaan evaluasi yang baik adalah sebagai berikut.

a. Jenis evaluasi sesuai dengan kompetensi pembelajaran

b. Jenis evaluasi mampu mengukur kemampuan siswa secara kognitif, afektif, maupun psikomotor

c. Bentuk evaluasi sesuai dengan ranah yang akan dicapai dan karakteristik siswa.

Proses evaluasi dapat dilakukan tidak hanya terletak pada akhir pembelajaran, namun dapat dilaksanakan sepanjang proses pembelajaran. Proses evaluasi seperti ini diharapkan dapat membantu pemahaman pembelajaran khususnya pada siswa hiperaktif. Selain itu, bentuk evaluasi dapat mempengaruhi


(52)

52

pencapaian tujuan pembelajaran. Diharapkan guru mampu memberikan evaluasi yang tepat bagi siswa hiperaktif sehingga bener-benar dapat mengukur kemajuan siswa tersebut.

Tahapan pembelajaran yang terakhir adalah penutup. dalam kegiatan penutup guru harus memiliki keterampilan menutup. Ngatman Soewito (2013: 19) menyatakan bahwa keterampilan menutup pelajaran adalah keterampilan guru mengakhiri pembelajaran. Indikator kegiatan penutup yang baik sebagai berikut.

a. Membuat kesimpulan materi pembelajaran b. Membuat ringkasan materi pembelajaran c. Menyampaikan materi berikutnya

d. Memberi tugas

Guru diharapkan sudah menguasai seluruh keterampilan dalam mengajar. Sehingga diharapkan mampu melaksanakan pembelajaran dengan maksimal, baik untuk siswa hiperaktif maupun siswa normal.

C. Kerangka Pikir

Pendidikan yang cocok ditempuh bagi anak yang mengalami gangguan diantaranya hiperaktif adalah pendidikan inklusi. Dimana pendidikan inklusi memberikan layanan khusus bagi anak berkebutuhan khusus. Namun dalam penelitian ini anak yang hiperaktif mengikuti pembelajaran di sekolah dasar reguler. Secara kasat mata tidak ada perbedaan fisik yang mencolok antara anak yang normal dengan anak yang hiperaktif.


(53)

53

Sering terjadi siswa yang menalami hiperaktif mendapat nilai buruk karena terlalu banyak bergerak, kurang dapat berkonsentrasi sehingga tidak dapat mencapai Kriteria Kemampuan Minimal (KKM) yang diharapkan oleh guru. Dalam hal ini ada indikasi bahwa guru belum dapat mengerti bahwa hiperaktif merupakan salah satu bentuk ketunalarasan dan merupakan hambatan belajar, bukan anak malas belajar. Banyak sekolah reguler yang menerima anak yang menalami kebutuhan khusus. Namun pada prakteknya sekolah tersebut belum siap dalam pelaksanaan pembelajarannya.

Anak hiperaktif sering mengalami hambatan di pembelajaran keterampilan dasar seperti membaca, menulis dan berhitung, namun guru kelas hanya membimbing semampunya, tidak memberikan layanan khusus bagi mereka. Hal ini dikarenakan lemahnya pengetahuan guru tentang karakteristik anak hiperaktif dan cara penanganannya. Seringkali guru membiarkan ketertinggalan mereka. Guru mempunyai pendapat bahwa jika mereka mengulangi pelajaran maka waktu dalam pembelajaran tidak efektif.

Berdasarkan permasalahan-permasalahan hasil pengamatan singkat tersebut dapat ditegaskan bahwa ada indikasi pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan oleh guru pada umumnya di kelas yang ada anak hiperaktif belum optimal. Sejauh ini diduga layanan pembelajaran di kelas yang ada anak hiperaktifnya dirasa belum cukup memadai, baik dari segi tujuan, perencanaan, pengelolaan, maupun penggunaan media dan penggunaan metode serta pendekatan yang tepat dari guru. Hal tersebut menyebabkan pelaksanaan pembelajaran di sekolah belum optimal.


(1)

109

guru kelas I SD N Tirtomulyo Kretek Bantul masih kurang baik, masih perlu ditingkatkan lagi dengan disesuaikan karakteristik siswa.

D. Keterbatasan Penelitian

Penelitian yang dilakukan oleh peneliti dengan lokasi di SD N Tirtomulyo Kretek Bantul Yogyakarta tentunya tidak luput dari kekurangan. Kekurangan tersebut diantaranya adalah sebagai berikut.

1. Dalam menentukan siswa hiperaktif hanya menggunakan DSM IV yang di isi oleh wali kelas tidak di tentukan oleh ahli. Hal ini dikarenakan keterbatasan biaya dan waktu yang dimiliki oleh peneliti.

2. Dalam melakukan penelitian terhadap pelaksanaan pembelajaran tidak dapat berturut-turut, hal ini dikarenakan saat penelitian berlangsung terjadi bencana meletusnya Gunung Kelut. SD N Tirtomulyo Kretek Bantul saat itu terkena abu vulkanik dari bencana tersebut, akibatnya sekolah diliburkan selama 4 hari.


(2)

110 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan BAB IV mengenai pelaksanaan pembelajaran pada siswa hiperaktif di kelas I SD N Tirtomulyo Kretek Bantul adalah sebagai berikut.

1. Penyusunan RPP untuk siswa hiperaktif oleh guru kelas

Penyusunan RPP yang telah dilakukan guru kelas I secara keseluruhan masih perlu ditingkatkan lagi. Ada beberapa aspek yang sudah baik yaitu pemilihan metode dan pemilihan media. Namun masih ada aspek yang cukup baik yaitu penyusunan tujuan dan penyusunan kegiatan pembelajaran. Selain itu masih ada aspek yang kurang baik yaitu pada perbedaan penyusunan RPP untuk siswa hiperaktif dengan siswa normal.

2. Pelaksanaan pembelajaran pada siswa hiperaktif di sekolah reguler Secara keseluruhan pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan oleh guru kelas I SD N Tirtomulyo Kretek Bantul terhadap siswa hiperaktif sudah baik. Adapun aspek yang sudah baik yaitu penguasaan dan penyampaian materi, interaksi pembelajaran (kegiatan pembukaan, isi, dan penutup, keefektifan penggunaan media dan metode), penggunaan bahasa, penampilan dan derak, serta keterampilan menutup pelajaran. Namun dalam aspek perlakuan terhadap siswa hiperaktif dan ketemampilan membuka pelajaran masih termasuk cukup baik, hal ini dikarenakan saat pelaksanaan pembelajaran terkadang perlakuan yang diberikan guru belum sesuai dengan karakteristik siswa hiperaktif.


(3)

111

3. Proses evaluasi oleh guru kelas pada siswa hiperaktif

Proses dan hasil evaluasi yang dilakukan guru kelas I SD N Tirtomulyo Kretek Bantul pada aspek kesesuaian dengan tujuan dan KKM cukup baik, hal ini dikarenakan hasil evaluasi yang diperoleh siswa hiperaktif di bawah KKM yang telah ditetapkan. Namun dalam aspek kesesuaian dengan karakteristik siswa masih kurang baik, hal ini dikarenakan jenis evaluasi yang digunakan guru masih kurang sesuai dengan karakteristik siswa hiperaktif.

B. Saran

Saran yang dapat diberikan peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagikepalasekolah

Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk kepala sekolah sebagai dasar pengambilan kebijakan dalam penyelenggaraan program diklat untuk guru tentang penanganan yang tepat dalam pelaksanaan pembelajaran bagi siswa hiperaktif di sekolah reguler kelas I SD N Tirtomulyo Kretek Bantul

2. Bagi guru

Hasil penelitian ini dapat dipergunakan guru sebagai berikut:

a. Sebagai pertimbangan guru dalam membedakan penyusunan antara RPP untuk siswa normal dan siswa hiperaktif di SD N Tirtomulyo Kretek Bantul.

b. Sebagai pertimbangan guru dalam memberikan penanganan khusus saat pelaksanaan pembelajaran untuk siswa hiperaktif di SD N Tirtomulyo Kretek Bantul.


(4)

112

c. Sebagai pertimbangan guru dalam menyusun evaluasi berdasarkan karakteristik siswa hiperaktif di SD N Tirtomulyo Kretek Bantul.

3. Bagi Orang Tua

Hasil penelitian ini dapat dipergunakan guru sebagai:

a. Sebagai acuan bagi orang tua mengenai perilaku anaknya di sekolah. b. Sebagai pertimbangan orang tua dalam membimbing dan mendidik


(5)

113

DAFTAR PUSTAKA

Akhmad Sudrajad. (2008). Komponen-Komponen dalam Kurikulum. Diakses dari http: //akhmadsudrajad. Wordpress.com/2008/01/22/komponen-komponen-dalam-kurikulum diunduh pada 28 Oktober 2013, jam 14.00 WIB.

Angel. (2008). Penyebab Anak Hiperaktif. Diakses dari http://www.angelfire.com/mt/matrixs/psikologi.htmdiunduh pada 5 November 2013, jam 20.00 WIB.

Arga Paternotte dan Jan Buitelaer. (2010). ADHD. Jakarta: Media Grup.

Arif S. Sudirman. (2003). Media Pendidikan Pengertian, Pengembangan, dan Pemanfaatannya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Betty B. Osman. (2002). Lemah Belajar dan ADHD. Jakarta: Grasindo.

Depdiknas. (2003). Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas.

Dwi Siswoyo, dkk. (2007). Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press.

Endang Rochyadi dan Zaaenal Alimin. (2005). Pengembangan Program Pembelajaran Individual Bagi Anak Tuna Grahita. Jakarta: Depdiknas. Ferdinand Zaviera. (2007). Anak Hiperaktif. Jogjakarta: Katahati.

John W. Santrock. (2007). Psikologi Pendidikan. Penerjemah: Tri Wibowo, B. S. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

J. David Smith. (2012). Sekolah Inklusi Konsep dan Penerapan Pembelajaran. Bandung: Nuansa.

Lexi J. Moleong. (2005). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Mudzakkir Hafidz. (2010). Pengertian Anak Hiperaktif. Diakses dari http://ideguru.wordpress.com/2010/04/08/pengertian-anak-hiperaktif/

diunduh pada 5 November 2013, jam 17.00 WIB.

Mulyani Sumantri dan Johar Permana. (1999). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Depdiknas.


(6)

114

Ngatman Soewito. (2013). Panduan PPL. Yogyakarta: UNY.

Oemar Hamalik. (2008). Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung: Bina Aksara. Radno Harsanto. (2007). Pengelolaan Kelas yang Dinamis: Paradikma Baru

Pembelajaran Menuju Kompetensi Siswa. Yogyakarta: Kanisius.

Sudarwan Danim. (2002). Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: Pustaka Setia. Sugiyono. (2006). Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif R & D. Bandung:

Alfabeta.

Suharsimi Arikunto. (2002). Prosedur suatuPendekatan dan Praktek. Edisi Revisi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Taryansyah, Sp. (2007). INKLUSI: Pendidikan Untuk Semua. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi: Direktorat Ketenagaan.

Tin Suharmini. (2005). Penanganan Anak Hiperaktif. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Wahyu Sri Ambar Arum. (2005). Perspektif Pendidikan Luar BiasadanImplementasi Bagi Penyiapan Tenaga Kependidikan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktoral Jendral Pendidikan Tinggi Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Perguruan Tinggi.

Wina Sanjaya. (2008). Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran. Bandung: Kencana.