MODEL PENDIDIKAN NILAI BERBASIS DZIKIR DAN DO’A DALAM MENGEMBANGKAN KEPRIBADIAN KAFFAH :Studi Naturalistik Dampak Pengamalan Dzikir Dan Do’a di Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya.

(1)

vi DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK i

ABSTRACT ii

KATA PENGANTAR iii

DAFTAR ISI vi

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1

B. Perumusan Masalah 24

C. Tujuan Penelitian 24

D. Kerangka Berpikir Penelitian 25

BAB II PENDIDIKAN, PENDIDIKAN UMUM, KEPRIBADIAN KAFFAH,

ZIKIR/DOA, DAN TAREKAT 26

A. Pendidikan 26

1. Konsepsi Pendidikan 26

2. Kategori Pendidikan dan Tujuan Pembelajaran 31

3. Pendidikan Umum/Nilai 34

4. Pendidikan Hati 38

5. Pendidikan Nilai (Akhlaq) dan Pribadi Utuh (Kaffah) 44

a. Pengertian Akhlak 47

b. Pendidikan akhlak dalam Keluarga 50

B. Pesantren 54

1. Pesantren dan nilai tradisional 56

2. Peran Kyai 57

3. Keunggulan pesantren 58

C. Kepribadian, Guru dan Murid 60

1. Kepribadian dalam Al Qur`an Menurut Ahli

Tafsir/Hikmah 63

2. Kriteria dan karakteristik guru muslim (Mursyid) 67 3. Interaksi Mursyid/Guru-Murid menurut Al Ghazali 72 4. Sifat-sifat yang harus dimiliki Murid 78

D. Hakikat Zikir dan Doa 82

1. Zikir 83

a. Tata cara Melaksanakan Dzikir dalam Tarekat 85

b. Praktek Zikir 86

c. Manfaat Zikir 87


(2)

vii

3. Keutamaan Zikir/Doa 93

E. Tasawuf 95

1. Tarekat Sebagai Jalan Tasawuf 97

a. Sejarah Singkat Tarekat Qadiriyah 98 b. Sejarah Singkat Tarekat Naqsyabandiyah 99 c. Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah 101 d. Inti Ajaran Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah 102 e. Silsilah Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah 105

2. Penelitian Terdahulu 107

BAB III METODE PENELITIAN 115

A. Pendekatan dan Metode Penelitian 115

1. Pendekatan Kualitatif 118

2. Metode Studi Kasus 127

3. Pengumpulan Data` 122

4. Langkah Penelitian 125

B. Lokasi Penelitian 129

BAB IV HASIL PENELITIAN 131

A. Deskripsi Lokasi Penelitian 131

1. Sejarah Singkat Pendiri Pondok Pesantren Suryalaya 131

2. Riwayat Singkat Abah Sepuh 134

3. Perkembangan Pondok Pesantren Suryalaya 138

4. Aktivitas Talqin 140

B. Hasil Analisis Data

1. Deskripsi Profil Informan 141

2. Konstruksi Pengalaman Pezikir TQN 146

3. Interpretasi 175

a. Pembahasan terhadap Kategori Motif Pezikir 175 b. Pembahasan terhadap Praktek Zikir Pelaku/Informan 178 c. Pembahasan terhadap Manfaat Zikir bagi Pezikir 189

4. Model Hasil Penelitian 193

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan 197

B. Implikasi 199

C. Rekomendasi 200

DAFTAR PUSTAKA 202

LAMPIRAN


(3)

viii DAFTAR TABEL

Halaman

4.1 Latar Belakang Informan 145


(4)

ix DAFTAR BAGAN

Halaman

1.1 Kerangka Berpikir Penelitian 25

2.1 Silsilah Tarehoriqot Qadiriyah wa Naqsabandiyah 105

3.1 Bagan Desain Penelitian 129


(5)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Dalam dekade terakhir ini, suasana kehidupan bangsa Indonesia amat memprihatinkan. Munncul berbagai perilaku menyimpang dari kaidah ajaran agama, nilai moral, budaya bangsa yang selama ini dianut, dihormati dan dijunjung tinggi. Hal tersebut mencerminkan seperti bangsa yang tidak beradab. Kecenderungan masyarakat berperilaku negatif ini semakin nampak muncul dalam kehidupan sehari-hari, bukan saja di kota-kota besar, bahkan telah melanda pula sebagian masyarakat di pedesaan. Bukan saja masyarakat awam, tetapi merambah pula pada sebagian masyarakat terpelajar, para penyelenggara negara, kelompok mahasiswa, dan para siswa yang justru diharapkan sebagai generasi penerus bangsa.

Hampir setiap saat, media massa memberitakan berbagai penyimpangan seperti maraknya korupsi (Kompas, 27 Juli 2008), jaringan narkoba/napza, minuman keras, pelecehan seksual, sadisme, mutilasi, pornografi, pembalakan, kelompok geng serta penyimpangan lainnya yang mengarah pada tindakan kekerasan dan amoral. Sampai saat ini, berbagai ketegangan mental pun masih terus terjadi. Hanya karena masalah kecil/sepele saja, seseorang bisa mencederai orang lain dan berujung pada perkelahian massal (tawuran), sehingga memakan banyak korban, baik harta maupun nyawa. Karena kecewa idola atau tim favorit yang dijagokannya tidak berhasil (gagal), lalu mereka melakukan aksi perusakan terhadap barang-barang dan sarana


(6)

milik masyarakat maupun pemerintah. Dalam mengatasi berbagai persoalan, tidak jarang di antara mereka yang frustasi, stres, depresi lalu mereka memilih jalan pintas (instan), seperti bunuh diri, membunuh orang lain bahkan ibu kandungnya sendiri, tindakan kriminal, dan tindakan negatif lainnya yang mencerminkan kepribadian masyarakat yang sedang sakit.

Kondisi masyarakat tersebut merupakan dampak reformasi dan globalisasi. Selain itu hal ini terjadi akibat hak asasi manusia (HAM) yang ditafsirkan oleh sebagian masyarakat sebagai era ”kebebasan”. Seperti dikemukakan Sularto (Kompas, 21 Juli 2008), ”globalisasi dan neoliberalisme jangan dijadikan kambing hitam. Kondisi sakit akut parah ini disebabkan antara lain oleh demokratisasi pascareformasi yang terlanjur diartikan serba boleh dan saling berebut menang”. Sedangkan Hasyim Muzadi sebagai salah seorang tokoh masyarakat (ulama) menyatakan bahwa ”Sebab utama bangsa ini terpuruk, karena manusia di Indonesia tidak lagi memiliki rasa takut kepada Allah SWT, sebagai bangsa yang beragama Islam terbesar di dunia” (Republika, 7 Oktober 2008). Hilangnya rasa takut kepada Allah mengakibatkan hilangnya rasa malu dan menghalalkan segala cara. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: ”Idzā lam tastahi, fashna’ mā syi’ta” artinya:

”Jika kamu tidak punya lagi rasa malu, maka berbuatlah semaumu” (H.R Bukhari). Demikian juga, sikap mahasiswa/siswa di beberapa kampus/sekolah dalam

mengatasi berbagai masalah atau menyampaikan aspirasinya, mereka lebih suka berunjuk rasa daripada bermusyawarah. Pernyataan kebebasan berpendapat dengan slogan-slogan yang menyesatkan keyakinan agama. Maraknya demo-demo yang


(7)

mengarah pada perbuatan destruktif/anarkis. Tawuran antar kelompok yang pro dan kontra dan menjalar ke kampus/sekolah lain dan berakibat lebih fatal. Sebenarnya mereka mengetahui bahwa berdemo itu banyak menyita waktu belajar dan mengganggu ketenangan, baik di kampus/sekolah maupun lingkungan masyarakat sekitarnya.

Perbuatan negatif lainnya yang mencemari dan merusak kepribadian mahasiswa/siswa seperti sikap tidak jujur, kebiasaan buruk (nyontek), merokok di sembarang tempat, kurang menghargai waktu, tidak disiplin, berkata kasar, saling memanggil nama yang tidak pantas, laki-laki berperilaku seperti wanita, hilangnya rasa hormat/tawadu’ terhadap guru/dosen, tindak kekerasan (sadisme), terjerat jaringan narkoba, minuman keras, pergaulan bebas, dan tindak kriminalitas.

Sikap dan perilaku di kalangan para pelajar, ketika mereka menerima pengumuman kelulusan hasil ujian negara, dengan luapan kegembiraan yang berlebihan, mereka lakukan hal-hal yang tidak wajar dan mubazir seperti mencoret-coret baju seragam sekolah, mewarna-warni rambut dan wajah mereka. Mereka berarak keliling kota mengganggu ketertiban lalu lintas dan ketertiban umum, melanggar norma sopan santun kehidupan bermasyarakat dan aturan agama.

Perilaku para mahasiswa/siswa tersebut mencerminkan bangsa yang telah kehilangan jati dirinya. Bukan lagi bangsa yang patut diteladani, sebagai bangsa yang bermoral, berakhlak mulia, dan bermartabat. Padahal, di masa-masa silam masyarakat Indonesia dikenal sebagai bangsa yang ramah, santun, cinta kedamaian, suka tolong-menolong, toleran, punya rasa malu, saling menghormati, dan disegani bangsa lain.


(8)

Kondisi bangsa yang mencemaskan dan membahayakan menjadikan bangsa tidak punya masa depan. Apakah mungkin bangsa ini bisa bangkit kembali menjadi bangsa yang hidup tenang, istiqamah, berwibawa, adil makmur wa Robbun ghofur (diridhoi Tuhan) di tengah peradaban bangsa-bangsa di dunia seperti yang dicita-citakan para pendiri/perintis kemerdekaan dahulu? Jawabannya ada pada diri kita sendiri. Sebagaimana firman Allah swt: ”Innallaha la yughoyyiru ma biqaumin, hatta yughoyyiru ma bianfusihim”. (Q.S Al Ra’du (13): 11), artinya: ”Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum/bangsa, sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri”.

Betapa tingginya nilai moral/akhlak bagi suatu bangsa, Syauqy (Al Iskandari et al, 1954: 112), seorang penyair Arab berkata: ”Wa innamā al-umamu al-akhlāqu baqiyat. Fain humu dzahabat, akhlāquhum dzahabu. Wa laisa bi-’āmirin bunyānu qaomin. Idzā akhlāquhum kanat khoroba”, artinya ”Sesungguhnya tegak bangsa karena budi-bahasa (akhlak). Jika rusak budi-bahasa, maka runtuhlah bangsa. Mana bisa membangun bangsa sejahtera, jika akhlak mereka rusak binasa”.

Pada hakekatnya krisis nilai-moral-akhlak yang menimpa bangsa ini adalah krisis hati nurani, krisis sumber daya insani, krisis kemanusiaan yang berpribadi retak (split personality) yang amat berkaitan dengan masalah-masalah pendidikan karena perilaku manusia amat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikannya. Peran pendidikan moral-akhlak sebagai suatu wahana dalam mentranformasikan nilai-nilai luhur, baik dalam konteks individual maupun kehidupan berbangsa menjadi sangat penting.


(9)

Seperti telah diketahui bahwa kehadiran manusia di dunia ini sebagai mahluk yang dimuliakan Tuhan. Melihat kondisi bangsa seperti ini, jika dibiarkan, tidak segera ditanggulangi, diprediksi bisa mengancam keselamatan dan keutuhan bangsa, khususnya generasi muda yang akan meneruskan dan menghadapi kehidupan masa depan, era global yang lebih kompleks dan kompetitif. Penyebab krisis nilai-moral-akhlak ini diasumsikan antara lain karena terpicu oleh krisis ekonomi yang berkepanjangan yang semakin menghimpit kehidupan masyarakat, kemudian memicu krisis-krisis lainnya secara multidimensional. Selain itu, terjadi pula multibencana dan musibah yang menimpa kehidupan bangsa ini baik karena faktor alam maupun manusia. Akibatnya bangsa ini menjadi bangsa yang terpuruk, miskin nilai, nyaris kehilangan arah dan cenderung pada kehidupan free value (bebas nilai). Sebagaimana sabda Nabi SAW: ”Kāda al-faqru an yakūna kufron”, artinya: ”Kefakiran/kemiskinan bisa mendekatkan pada kekufuran” (HAMKA, juz 17, 1982: 45). Hadits tersebut mengisyaratkan bahwa kemiskinan bisa memicu pada tindak kejahatan karena kehidupan orang tersebut dalam keadaan tidak mampu yang menyebabkan imannya jadi luntur.

Ditinjau secara kronologis faktor-faktor yang menyebabkan menurunnya ketahanan mental dan nilai-moral-akhlak bangsa Indonesia ini diprediksi karena hal-hal berikut:

1. Kesalahan atau kurang berhasilnya dunia pendidikan dalam menyiapkan generasi muda bangsa. Seperti dikemukakan Maman Rachman (Abdul Hakam, 2007: 56) bahwa tujuan utama pendidikan seharusnya


(10)

mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan secara simultan dan seimbang. Dunia pendidikan cenderung meremehkan mata pelajaran yang berkaitan dengan pembentukan karakter bangsa. Di sisi lain, tidak dipungkiri bahwa pelajaran yang mengembangkan karakter bangsa dalam pelaksanaan pembelajarannya lebih banyak menekankan pada aspek kognitif dari pada aspek afektif dan psikomotor. Pendidikan nilai belum secara total mengukur sosok utuh pribadi siswa.

Demikian pula menurut Abdul Hamid (2000) bahwa

Selama ini pendekatan hasil pendidikan lebih mengutamakan pada nilai-nilai kognisi yang teramati saja. Sedangkan transformasi nilai moral, pembinaan dan pengembangan kepribadian siswa yang justru penting bagi hubungan sosial, baik dalam kontek individual maupun bermasyarakat dan bernegara, kurang mendapat perhatian serius.

Jika menilik porsi waktu pembelajaran dalam kurikulum lama (1975), untuk Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU), khususnya Pendidikan Agama (Islam) secara jelas bertujuan membina dan mengembangkan keimanan, ketakwaan, akhlak mulia serta pembinaan kepribadian peserta didik, alokasi waktunya sangat tidak memadai. Bagi mahasiswa program S1 selama masa studi delapan semester (4 tahun), mereka hanya memperoleh pendidikan agama sebanyak dua sks. Maka untuk memenuhi mata kuliah Seminar Pendidikan Agama (SPAI) dalam mengembangkan wawasan keagamaan, ketajaman emosional spritual dan bimbingan praktek ibadah, lazimnya diambil dari porsi mata kuliah muatan lokal (mulok) atau mata kuliah pilihan lain dengan materi tambahan bimbingan program tutorial/mentoring. Karena itu, tujuan


(11)

pendidikan nasional yang begitu tinggi berbobot yaitu ”membangun manusia Indonesia seutuhnya” dapat dicapai secara optimal hanya dengan bahan materi dan alokasi waktu yang sangat minim, tidak seimbang dengan porsi mata kuliah lainnya yang berkaitan dengan pengembangan kecerdasan intelektual. Hal lain menunjukkan tidak adanya kesungguhan, ketekunan dan kedisiplinan dari sebagian mahasiswa/siswa dalam proses pembelajaran. Mereka tidak/belum terbiasa menekuni cara-cara belajar yang baik, bagaimana agar studi mereka berhasil. Sebagian siswa hanya mau belajar sekedar untuk mengejar nilai angka kelulusan ujian (Ujian Negara). Sebab itu, pelaksanaan ujian, mahasiswa/siswa sering berbuat tidak jujur. Jika ada peluang mereka cenderung melakukan ”kerja sama”, melihat catatan (nyontek), perjokian dan menggunakan alat elektronik canggih yang bisa mengakses jawaban soal-soal ujian. Sikap ini menunjukkan adanya gejala ketidaksiapan mereka, sehingga timbul keraguan dan tidak percaya diri akan kemampuan yang mereka miliki. Mereka tidak belajar secara sungguh-sungguh dengan persiapan yang matang. Mereka ingin mendapatkan sesuatu yang instan dan tidak mau bersusah payah. Besarnya minat para siswa untuk mengikuti kursus atau bimbingan belajar di saat-saat menjelang pelaksanaan ujian negara dengan suatu harapan agar mereka mampu menjawab soal-soal ujian. Kondisi seperti itu menunjukkan bahwa angka kelulusan semata-mata merupakan target utama dalam pembelajaran, bukannya ilmu pengetahuan yang harus mereka kuasai yang selanjutnya untuk diimplementasikan dalam kehidupan.


(12)

Salah satu dampak negatif dari proses pembelajaran yang hanya mementingkan nilai semu tersebut, maka terjadilah kasus di beberapa sekolah di salah satu daerah di Jawa Barat. Mereka merekayasa nilai hasil Ujian Negara dengan angka kelulusan siswa 100 %, padahal bukan hasil yang sebenarnya (nilai murni). Hal itu bisa terjadi karena keinginan keras yang dikehendaki oleh pimpinan daerah tersebut (Pikiran Rakyat, 15 Januari 2007). Kasus-kasus lain seperti pengawas yang memberikan kunci jawaban ujian pada kandidat. Maraknya ijazah ”aspal” asli tapi palsu, copy paste suatu karya ilmiah dan kasus-kasus kecurangan lainnya yang menyimpang dari nilai-moral-akhlak mulia (Makmun,1999: 9). Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa pencapaian nilai kognisi lebih dipentingkan dari pada nilai pembentukan sikap yang tercermin dalam kepribadian utuh dan berarti pula telah menyimpang jauh dari tujuan pendidikan yang sesungguhnya. Kondisi seperti ini mengisyaratkan pula sebagai kegagalan atau ketidakberhasilan Pendidikan Nilai-Moral Akhlak di negeri ini.

2. Dampak kebijakan politik ”Etis” penjajah. Di masa pra-kemerdekaan, pemerintah kolonial Belanda secara sengaja selalu berusaha menjauhkan (memisahkan) agama (Islam) sebagai basis/sumber nilai-moral-akhlak dari kehidupan masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim. Pemerintah Kolonial Belanda menganggap bahwa Islam sebagai ajaran yang amat membahayakan bagi kepentingan politik mereka. Oleh karena itu,


(13)

selama pemerintahan Belanda maupun masa pendudukan Jepang, pendidikan agama (Islam) tidak diajarkan di sekolah-sekolah umum negeri.

Untuk mempercepat maksud tersebut, Belanda melancarkan politik ”Etis” dengan tujuan ”De-Islamisasi” (pendangkalan/pemurtadan) dan ”Westernisasi” (pem-Barat-an/ala Barat) sebagai sublimasi ”Kristenisasi” terhadap keyakinan sebagian masyarakat Indonesia. Seperti dikemukakan Husein (1969: 7) menukil pidato Ratu Belanda (1901):

Als Christelijke in Nederland verplicht in den Indischen Archipel de rechtpositie der Indische Christenen beter te regelen,van de Christelijke zanding op vaster voet steun te verleenen, en geheel het regeringbeleid te doordringen van het besef, dat Nederland tegen over de bevolking dezer geweeste een zedelijke roeping heeft te vervullen Arti/terjemahnya:

Sebagai negara Kristen, Pemerintah Belanda berkewajiban mengatur lebih baik kedudukan hukum rakyat Kristen yang berada di Kepulauan Hindia Belanda (Indonesia), memperkuat zending Kristen, meneruskan kebijaksanaan Pemerintah tentang keinsafan bahwa Pemerintah Belanda harus mengisi panggilan moral terhadap negeri jajahan ini Atas dasar kebijakan politik tersebut, Belanda berhasil memecah masyarakat Indonesia dalam kelompok Kristen, kaum “abangan” di satu sisi dan kaum “santri” di sisi lain. Demikian juga dengan politik Devide et Impera, Belanda berhasil memperlebar dan menyuburkan perbedaan kebihnekaan bangsa Indonesia. Dampak dari kebijakan tersebut masih dirasakan pengaruhnya baik di masa pemerintahan Orde Lama maupun Orde Baru, karena sebagian masyarakat beranggapan bahwa semua yang datang dari Barat adalah baik. Kenyataannya pada masa-masa pascakemerdekaan hingga saat ini, masih ada


(14)

sebagian masyarakat Indonesia yang merasa rendah diri (hina/malu), jika berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia atau bahasa ibu, cara beradat istiadat dan berbudaya sebagai orang ”timur/pribumi”, seperti dalam menampilkan nilai dan pesan moral kesenian daerah, mengkonsumsi jenis makanan/minuman dan berbusana yang sesuai adat ketimuran (muslim). 3. Sekularisasi ajaran agama (Islam). Di masa pemerintahan Orde Lama, sejak

pascakemerdekaan (1945) hingga berakhirnya pemerintahan presiden pertama (1965), bahwa fokus tujuan pendidikan (agama) lebih diorientasikan bagi kepentingan politik penguasa yang cenderung mengarah pada sekularisme. Seperti terlihat pada Undang-undang nomor 4 tahun 1950 dalam penjelasannya menunjukkan bahwa Pendidikan Agama dalam sistem Pendidikan Nasional berstatus; a. sebagai mata pelajaran elektif (pilihan), b. murid-murid dewasa boleh menentukan apakah ikut atau tidaknya dalam pelajaran agama, c. sifat dan jam pelajaran agama disesuaikan dengan jenis sekolah, d. pelajaran agama tidak mempengaruhi kenaikan kelas bagi siswa. Suatu hal yang ironis, bagaimana moral-akhlak bangsa dapat dibina dan dikembangkan dengan baik, jika sumbernya sendiri (Islam) diangggap sebagai ajaran yang tidak penting atau sebagai ”anak bawang”.

Demikian pula pada tahun 1965, Presiden RI mengeluarkan keputusan (Kepres) nomor 145, tentang dasar dan tujuan pendidikan yang sangat dipengaruhi oleh politik NASAKOM (Nasional, Agama dan Komunis) dengan ajaran ”Panca Cinta”. Salah satu di antaranya adalah menyejajarkan


(15)

nilai moral agama dengan moral nasional/internasional yang tidak jelas rumusannya. (Natsir, dalam Al- Muslimun, No. 207/ XVlll,1987: 58-59) Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, maka terdapat kecenderungan kuat adanya upaya sekularisasi dalam pendidikan agama. Karena para siswa diberi kebebasan boleh memilih belajar atau tidak belajar agama sama saja, nonkredit dan tidak turut menentukan kenaikan kelas (ujian). Pada masa pemerintahan Orde Lama juga ada pembinaan watak bangsa melalui “Nation and Character building” (karakter moral bangsa), namun hanya sebatas wacana yang dikenal dengan politik ”mercusuar” suatu kecenderungan untuk mencari popularitas belaka.

4. Di masa pemerintahan Orde Baru, Pendidikan Nilai dengan bahan materi nilai-nilai moral bangsa yang diajarkan guna membentuk, membina dan mengembangkan karakter/kepribadian bangsa. Sayangnya ajaran tersebut belum diaplikasikan sepenuhnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, baru sekedar wacana pengkajian, penataran, bedah masalah, diskusi, simulasi dan laporan karya tulis. Sosialisasi nilai-nilai moral agama (Islam) dalam kehidupan masyarakat selalu dipantau dan dicurigai terutama pada masa awal-awal pemerintahan. Dampaknya menjadi kenyataan dalam kehidupan bangsa hingga saat ini, karena masih banyak terjadi penyimpangan seperti merebaknya korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), terkoyaknya supremasi hukum, kemunafikan, degradasi moral dan tindak kejahatan lainnya secara


(16)

material yang amat merugikan masyarakat serta melumpuhkan perekonomian negara.

Kondisi buruk seperti itu menunjukkan ketidaksiapan masyarakat dalam menghadapi era reformasi (keterbukaan) akibat pembodohan, hilangnya ketajaman berpikir, lunturnya demokrasi (semu) dan apa yang diperoleh dari penataran selama ini ”mubadzir” (kurang bermanfaat). Sebagaimana dikemukakan Sumantri (Pikiran Rakyat, 22 Oktober 2007), ”Pemerintahan Orde Baru berupaya membangun karakter bangsa yang berjiwa Pancasila melalui penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Sayangnya dalam praktiknya penataran ini kemudian digunakan untuk kepentingan elite politik, sehingga mengalami resistensi yang tinggi”.

Selain itu, dewasa ini semakin sulit menemukan figur masyarakat yang mencerminkan pribadi teladan seperti kepemimpinan Rasulullah SAW dan sirah (pola hidup) para sahabat untuk dijadikan panutan oleh generasi muda bangsa Indonesia. Kepemimpinan yang berwibawa, adil, ikhlas, jujur, disiplin, sederhana, bijak, tanggung jawab dan sifat-sifat terpuji lainnya. Moto kepemimpinan yang diajarkan Ki Hajar Dewantara: ”Ing ngarso sungtulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani”, sistem among kerja sama yang serasi antara pemimpin dan yang dipimpin. Di depan (pemimpin) menjadi teladan, di belakang (yang dipimpin) turut pula menyukseskan. Selama ini baru sampai wacana dalam penataran dan indoktrinasi.


(17)

Terjadinya kesenjangan dalam kepemimpinan ini, karena generasi muda kita pada saat itu tidak dipersiapkan secara sungguh-sungguh untuk menjadi pemimpin sejati, ikhlas, tanpa pamrih seperti keberhasilan Rasulullah SAW dalam membina para sahabat beliau dengan keteladanan uswah hasanah. Karena itu cermin kehidupan bangsa Indonesia pada saat ini adalah merupakan refleksi pewarisan dari kondisi masa lalu.

Pada masa Orde Baru-pun (1978) adanya kecenderungan sekularisasi terhadap moral para pelajar, terutama di sekolah-sekolah swasta (Islam) dengan diberlakukannya kebijakan pemerintah (Mendikbud) yaitu larangan meliburkan para siswa di bulan Ramadhan dengan sanksi subsidinya akan ditinjau kembali (dicabut). Sejak dahulu setiap bulan Ramadhan hampir di semua sekolah menyelenggarakan banyak program yang ditawarkan kepada para siswa, terutama dalam pembinaan praktek keagamaan, agar mereka mengikutinya, seperti pesantren kilat, baca Al-Qur’an intensif, lomba dakwah dan puisi serta kegiatan lainnya guna meningkatkan keimanan, ketakwaan dan pembinaan akhlak para siswa. Masa libur Ramadhan itu bukan untuk bermalas-malas, tetapi merupakan kesempatan kerja sama antara pihak sekolah (guru/pembimbing) dan orang tua, dimana anak-anak mereka dituntun dan dibina untuk mendalami ilmu agama sebagai basis nilai, agar mereka memiliki kepribadian yang mantap (utuh). Menurut M. Natsir (Al Muslimun, No. 207 Thn. XVIII, 1987: 62), kebijakan pemerintah secara sepihak yang tidak simpati tersebut menunjukkan adanya paham sekuler telah sengaja


(18)

diselipkan melalui peraturan karena menurut pemahaman menteri pada saat itu, negara RI ini adalah negara ”Laique”, yakni negara sekuler.

5. Bisnis media massa yang disalahfungsikan. Seperti dinyatakan Tisna Amidjaja D. (1980: 68), bahwa dalam kehidupan moderen sekarang ini telah terjadi ”complex bussiness-science-technology”. Selain menuju super-efisiensi, dapat menimbulkan pula gejala dehumanisasi seperti krisis kejiwaan, krisis kejujuran, lenyapnya sense of vocation (kesempatan kerja) pada para remaja dan materialis oriented (serba materialis), lebih mengutamakan kepentingan pribadi, keduniawian dan jauh dari tujuan akhirat. Bergulirnya reformasi di negeri ini yang termotivasi pula oleh lajunya era globalisasi, menjadikan kehidupan masyarakat dunia ini seakan-akan telah menyatu, tidak ada lagi batas wilayah/negara,saling ketergantungan yang salah satu cirinya ditandai dengan pesatnya teknologi canggih dan derasnya arus informasi. Begitu mudahnya komunikasi antar individu maupun kelompok masyarakat dan bangsa. Merebaknya teknologi informasi canggih ini, selain memberikan kemudahan dapat pula menimbulkan gejala adanya kristalisasi ragam nilai yang mengglobal sebagai medan magnet yang saling mengimbas dan saling mempengaruhi. Memang hasil teknologi mutakhir media audio visual elektronik ini amat membantu bagi kemudahan proses pembelajaran, namun di sisi lain dapat menimbulkan dampak negatif, karena bisa disalahfungsikan oleh para pengguna komoditas media massa yang tidak bertanggung jawab. Maraknya peredaran VCD porno dan media cetak lainnya


(19)

yang memuat kisah-kisah fiktif, cerita dunia hitam, gambar, foto adegan vulgar dan tontonan-tontonan lainnya yang tidak mendidik yang bisa mempercepat hancurnya nilai-moral-akhlak masyarakat dan kepribadian anak bangsa (mahasiswa/pelajar) sebagai dampak penyebaran virus-virus (bakteri) yang menggerogoti rohani manusia yang ditebarkan oleh iblis (syetan).

Berkaitan dengan bahaya penyalahgunaan media massa ini, seperti dinyatakan Meutia Hatta, Menteri Negara Pemberdayaan Wanita (Pikiran Rakyat, 20 Oktober 2008) tentang pornografi: ”Kejahatan seksual sudah merajalela tidak bisa terbendung lagi. Jika anak kecil sudah bisa menonton film atau gambar porno, mereka akan selalu memikirkan apa yang dilihatnya, sehingga mereka tidak punya lagi semangat belajar”. Data-data lain mengenai bahaya pornografi seperti diungkapkan dari hasil penelitian Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2008 yang dilakukan di dua belas kota besar dengan responden anak remaja berusia 12-18 tahun tentang menurunnya moral akhlak mereka menunjukkan bahwa: 97% anak Indonesia telah menonton film dewasa, 33% melakukan kegiatan seksual dan 21% anak di bawah usia 18 tahun melakukan aborsi. (Republika, 22 Oktober 2008). Sekaitan dengan rendahnya ketahanan mental kepribadian anak remaja awal abad ini, Djawad Dahlan (2006) menyatakan bahwa abad 21 adalah abad ”kehilangan anak”.

Demikian juga hasil penilaian Komisi Penyiaran Indonesia selama 1,5 tahun mengungkapkan bahwa hampir semua tayangan anak dalam televisi telah


(20)

melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS). Pelanggaran tayangan tersebut terutama karena mengandung unsur kekerasan, mistik, pornografi dan memberi contoh buruk/negatif kepada anak. (Kompas, 4 Juni 2008). Survey UNICEF (2007), anak Indonesia menonton TV rata-rata lima jam sehari atau 30-35 jam seminggu atau 1.560-1.820 jam per tahun dengan 220 hari efektif belajar dalam setahun (Kompas, 27 April 2009).

Menyikapi data-data hasil dari beberapa penelitian di atas menunjukkan bahwa betapa bahayanya penyalahgunaan media massa bagi nilai-moral-akhlak bangsa, khususnya bagi generasi muda (pelajar/mahasiswa). Sebab itu kebebasan media massa yang tidak diatur dengan undang-undang dan sanksi yang memadai akan lebih mempercepat keterpurukan dan kehancuran bangsa ini.

6. Lemahnya pendidikan keluarga dan tanggung jawab orang tua. Keluarga merupakan lembaga/institusi pendidikan yang pertama dan utama dalam pembinaan moral-akhlak anak. Seyogianya orang tua mendidik anak-anak mereka dengan menanamkan nilai-nilai moral keagamaan dan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Ketika anak baru lahir segera diperkenalkan dengan bisikan kalimat thayyibah (baik), dilantunkan adzan dan iqamah di kedua telinganya. Para orang tua harus mencontohkan dan membimbing anak-anak mereka dengan melakukan kebiasaan-kebiasaan yang baik seperti mengamalkan ibadah harian dan tata kesopanan pergaulan dalam keluarga, sejak anak


(21)

berusia dini, masa kanak-kanak, remaja hingga dewasa dengan sentuhan kasih sayang, akrab, sabar, harmonis, saling menyintai antar anggota keluarga dan penuh tanggung jawab. Besarnya tanggung jawab orang tua terhadap pendidikan anaknya, Rasulullah SAW bersabda: ”Kullu maulūdin yūladu ’alā al-fitrah, fainnamā abawāhu yuhawwidānihī aw yunassirānihī aw yumajjisānihī”. Artinya ”Setiap bayi yang dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan dia seorang Yahudi atau Nasrani atau Majusi ” (H.R Bukhari dan Muslim).

Keteladanan orang tua sangat berpengaruh terhadap sikap perilaku kepribadian anak sepanjang hayatnya dan berpengaruh juga bagi anggota lainnya di lingkungan keluarga tersebut. Peribahasa mengatakan: ”Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”. Oleh sebab itu suasana keluarga yang tidak kondusif (lost/broken family) akan membekas (mirror image) pada jiwa anak dan akan terbaca kembali dalam memori selama hidupnya seperti halnya pembinaan keluarga yang baik/sukses akan menerap pada jiwa anak dalam pengalaman hidupnya, sehingga mereka memiliki pribadi yang mantap dan menjadi anggota masyarakat yang baik.

Krisis ekonomi saat ini merupakan salah satu faktor yang memicu rapuhnya kehidupan keluarga dengan suasana yang selalu tegang, tidak ada rasa kedamaian, individualistik hedonis dan egois,sehingga banyak orang tua yang lalai terhadap masa depan pendidikan anak-anak mereka. Orang tua seakan-akan hendak melepaskan diri dari amanah dan pertanggungjawaban kepada


(22)

Allah SWT atas kepercayaan yang dibebankan kepada mereka. Firman Allah SWT: ”Yā ayyuhalladzīna āmanū qū anfusakum wa ahlīkum nāron” (Q.S At Tahrim (66): 6), artinya: ”Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”.

Kelalaian, kesibukan dan longgarnya pengawasan orang tua terhadap pergaulan anak, seperti dengan siapa dia berteman, makanan/minuman yang dikonsumsi, buku-buku bacaan, waktu pulang dari sekolah, tontonan acara televisi, narkoba, geng motor dan lain sebagainya, dapat mengakibatkan terimbasnya anak-anak mereka pada perbuatan-perbuatan yang negatif. Pemantuan dan perawatan ini merupakan hal yang amat penting terhadap proses perkembangan kepribadian anak selanjutnya. Menurunnya moral akhlak para remaja yang sudah hampir merata ini salah satu penyebabnya karena faktor kesibukan, kurangnya kepedulian dan perhatian orang tua dalam menanamkan nilai-moral-akhlak terhadap anak-anak mereka.

Akhir-akhir ini timbul gejala/kasus dalam kehidupan masyarakat kita yang kurang beruntung di suatu daerah di Jawa Barat. Guna menopang ekonomi keluarga, maka ada orang tua yang rela membiarkan anaknya mencari nafkah dengan melakukan perbuatan asusila di lembah hitam. Berapa banyak orang tua yang sudah tidak peduli lagi terhadap keselamatan dan masa depan anak-anak mereka. Akibatnya terjadi kasus anak-anak yang membunuh ibu kandungnya sendiri karena permintaannya tidak dipenuhi, anak yang bunuh diri karena sering dicela ibunya dan kehidupan duniawi hedonis materialis lainnya yang


(23)

membuat mereka telah kehilangan kendali arah hidup, rasa malu, terhina dan perasaan dosa. Bukti-bukti tersebut menunjukkan adanya gejala ketidakmampuan atau kegagalan orang tua terhadap pembinaan nilai-moral-akhlak anak-anak mereka dalam kehidupan keluarga yang berdampak pula dalam kehidupan masyarakat luas.

7. Suasana pembelajaran di sekolah yang kurang kondusif. Sarana ibadah di sekolah belum difungsikan secara maksimal. Praktek pembinaan keagamaan siswa di sebagian besar sekolah sejak Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas masih terabaikan, belum dilaksanakan secara sungguh-sungguh. Dalam kehidupan beragama setiap sekolah baik negeri maupun swasta, seyogianya menyediakan tempat ibadah yang memadai dan strategis, seperti masjid atau mushala beserta sarana tempat bersuci, sehingga para siswa dengan mudah dapat melaksanakan shalat berjamaah setiap waktu. Pelaksanaan shalat berjamaah di sekolah ini amat penting bagi pembinaan mental, spiritual dan kehidupan sosial, minimal selama siswa berada di sekolah pada waktu siang, sore hari dan momen tertentu. Demikian juga guru-guru sebagai pendidik harus menjadi teladan bagi mereka para siswa, sehingga pada waktu-waktu shalat berjamaah dilaksanakan, baik pimpinan sekolah, guru-guru maupun para karyawan, mereka beribadah bersama para siswa tersebut. Kegiatan yang dilakukan siswa terutama dalam pembinaan keagamaan (kepribadian) di sekolah akan terkesan dan terpolakan dalam memori sepanjang hayatnya. Karena pembinaan keimanan, ketakwaan, moral


(24)

dan akhlak mulia seyogianya bukanlah monopoli tugas guru atau dosen agama semata, tetapi kewajiban seluruh guru/dosen bidang studi termasuk para karyawan di sekolah tersebut.

Selain berfungsi sebagai sarana ibadah, masjid dan mushala dapat dimanfaatkan juga sebagai arena pentas acara-acara keagamaan dan ibadah sosial lainnya seperti zikir/doa bersama, latihan berpidato (kutbah) yang baik, pembacaan puisi (keagamaan), pembagian santunan, praktik penyembelihan hewan qurban dan bentuk ibadah lainnya yang dilaksanakan oleh para siswa, warga sekolah dan orang tua (masyarakat). Sebagaimana Rasul SAW memanfaatkan halaman mesjid untuk membina generasi muda para sahabat dengan mengadakan perlombaan ketangkasan berkuda, memanah, berlari, mencontohkan membaca syair yang baik dan keterampilan lainnya (An-Nahlawi, 1989: 266).

Karena itu fungsi mesjid dan mushala di sekolah merupakan laboratorium untuk praktikum dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat seperti halnya fungsi laboratorium bahasa, ilmu kimia, biologi dan ilmu-ilmu lainnya. Program sekolah seharusnya mampu memadukan antara konsep/teori pendidikan nilai kehidupan beragama dengan praktek pengamalan, baik dalam suasana belajar di kelas maupun lingkungan sekolah. Mental kerohanian para siswa bagaikan tanaman yang harus dipupuk, dibina dan dirawat sejak usia dini setiap saat, jika mereka diharapkan menjadi bibit-bibit unggul (khoiru ummah) yang tetap eksis, tahan uji, inovatif dan lestari bagi kehidupan bangsa


(25)

di masa mendatang. Sebagaimana peribahasa Arab menyatakan: ”Bidzru al- yaumi wa tsamaru al- ghadi”, artinya : ”Hari ini berupa benih, esok-lusa menjadi buah”.

Berdasarkan pada prediksi/asumsi tersebut, maka salah satu upaya untuk menyelamatkan dan mengembalikan martabat bangsa Indonesia khususnya generasi muda (mahasiswa/pelajar), transformasi penyampaian pendidikan nilai-akhlak-moral perlu direvitalisasi kembali. Tujuan pendidikan nilai-akhlak-moral yang pada masa lalu lebih cenderung sebatas pencapaian nilai kognisi, pengetahuan dan keilmuan semata, maka harus diupayakan pendidikan akhlak yang menyentuh kalbu, hati nurani dan kesadaran pribadi yang mendalam pada peserta didik. Untuk itu diperlukan kolaborasi, terpadu antara lembaga pendidikan formal (sekolah), pendidikan informal (keluarga) dan pendidikan nonformal (masyarakat). Perlunya perubahan tersebut sebagaimana yang diisyaratkan Rasulullah SAW: ”Addibu auladakum fainnahum makhluquna lizamanin ghoiri zamanikum”, artinya: ”Didiklah anak-anakmu, karena sesungguhnya mereka itu (generasi) yang hidup pada zaman yang berbeda dengan zamanmu” (Athiyah Al-Abrasyi, 1996: 33).

Untuk merevitalisasi pendidikan nilai-akhlak-moral seperti yang dijelaskan di atas, proses pendidikan dapat melibatkan aktivitas berdimensi spriritual. Proses pendidikan berdimensi spiritual itu dilakukan dengan pendekatan zikir. Seperti yang disampaikan Sobarna (Jurnal Mimbar, No. 4/XV, 1999: 19) bahwa ”Proses pendidikan selama ini baru menggunakan dua pendekatan logis dan empiris. Dengan memperhatikan dimensi-dimensi manusia secara utuh, maka proses pendidikan perlu


(26)

melibatkan dimensi lain yang selama ini belum banyak terjamah yaitu dimensi spiritual dengan dzikir sebagai pendekatannya”.

Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya merupakan lembaga pendidikan nilai-moral-akhlak yang selama ini telah menjadikan zikir sebagai pendekatannya. Zikir adalah metode utama membina dan mengembangkan pendidikan dengan pendekatan spiritual (zikir dan doa). Dengan zikir dan doa, diharapkan tujuan pendidikan nilai mengembangkan manusia berakhlak karimah dan berjiwa sehat seutuhnya (kaffah) tercapai.

Zikir dan doa adalah aktivitas penting bagi muslim. Zikir merupakan suatu ibadah utama yang diperintahkan Tuhan dalam jumlah yang banyak. Kata zikir tidak kurang dari 283 kali disebut dalam Al Qur’an yang bertebar dalam berbagai ayat (surat). Makna zikir adalah ingatan. Dalam hal ini, ada dua tingkatan ingatan yaitu tingkat kesadaran mental dan tingkat kesadaran eksistensial. Zikir sebagai upaya untuk meningkatkan ingatan kepada Allah SWT dari tingkat kesadaran mental menuju kesadaran eksistensial. Menurut Shihab (2006: 175-178), Setiap zikir kendati redaksinya tidak terdapat permohonan, tetapi kerendahan hati dan rasa butuh kepada Allah yang selalu menghiasi pezikir, menjadikan zikir mengandung doa. Jadi doa adalah bagian dari zikir. Selanjutnya mengenai doa, Shihab menambahkan,

”Doa adalah permohonan hamba kepada Tuhan agar memperoleh pemeliharaan dan pertolongan, baik buat si pemohon maupun pihak lain. Permohonan tersebut harus lahir dari lubuk hati yang terdalam disertai dengan ketundukan dan pengagungan kepada-Nya” (Shihab. 2006: 177)


(27)

Berzikir dan berdo’a merupakan dua kegiatan ibadah yang saling berkorelasi dan tak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Hadits Nabi SAW: ”Doa itu otaknya ibadah” (H.R Tirmidzi). ”Tak ada sesuatu yang mulia di sisi Allah yang dapat membandingi doa” (H.R Ibnu Majah dan Al Hakim). ”Tidak menolak takdir selain doa dan tidak menambah umur selain kebajikan (H.R Tirmidzi). ”Doa itu bermanfaat untuk apa-apa yang telah terjadi dan apa-apa yang belum terjadi, karena itu berdoalah wahai hamba-hamba Allah” (H.R Hakim dan Ahmad).

Berdasarkan uraian di atas, peneliti berupaya untuk menggali mutiara nilai-nilai zikir dan doa dalam membina dan mengembangkan kepribadian kaffah seperti yang dilakukan para mursyid terhadap murid-murid di Pesantren Suryalaya Tasikmalaya. Diharapkan hal itu dapat dimanfaatkan sebagai pedoman model pembelajaran bagi para guru/pendidik dan siswa, khususnya pengajar Pendidikan Nilai Agama (Islam).

B. Rumusan Masalah

Berdasar pada uraian di atas, penulis melakukan penelitian ini di Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya, salah satu pesantren yang membina dan mengembangkan nilai-nilai zikir dan doa. Masalah penelitian dijabarkan ke dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana motif murid sebagai pezikir Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah?


(28)

3. Bagaimana manfaat zikir dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan pandangan pezikir?

C. Tujuan Penelitian.

1. Tujuan Umum

Untuk memperoleh gambaran bahwa ibadah zikir dan doa yang diamalkan secara tulus dan istiqamah akan memberi kontribusi positif terhadap perilaku penzikir sebagai insan kamil dan mengarah pada kepribadian kaffah.

2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian yaitu untuk menjawab:

1. Menggali motif dan latar keterlibatan murid sebagai pezikir Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah

2. Menguraikan praktek amaliah pezikir Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah

3. Menggali manfaat zikir dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan persepsi pezikir


(29)

D. Kerangka Berpikir Penelitian

KERANGKA BERFIKIR EMPIRIK/INDUKTIF

PENELITIAN NILAI-NILAI ZIKIR

Pertanyaan : Apa? Bagaimana?

Mengapa?

Nilai zikir Perilaku zikir

Indikator Teori/konsep/Asumsi Hakekat zikir Analisis Kualitatif (triangulasi teori /konsep): Transkripsi Reduksi Display Organisasi Deskripsi Eksplanasi Interpretasi Koleksi, analisis,tafsiran,

awal Data & Informasi Verbal Instrumen: Triangulasi: Pengamatan Wawancara Dokumentasi Hasil Temuan: Pernyataan-pernyataan Diskusi Teoretis dan Empiris Kesimpulan: Hipotesis Kerangka Konseptual Operasional Informan: Tokoh Pengelola Penzikir Temuan Terdahulu


(30)

(31)

BAB II

PENDIDIKAN, KEPRIBADIAN KAFFAH, ZIKIR DAN DOA,

SERTA TAREKAT

A. Pendidikan

1. Konsepsi Pendidikan

Setiap manusia lahir dalam keadaan lemah, tidak berdaya, tidak tahu informasi, kemudian Allah SWT memberinya potensi pendengaran (as sam’u), penglihatan (al abshar) dan akal pikiran (al af’idah), agar manusia berterima kasih (Q.S an Nahl (16): 78). Berbeda dengan hewan, begitu lahir pada umumnya telah memiliki kemampuan untuk hidup mandiri.

Untuk pemeliharaan, perawatan dan pengembangan potensi tersebut, anak manusia membutuhkan bantuan, bimbingan, pelatihan dan keteladanan (kebiasaan) dari orang dewasa, agar potensi tersebut tumbuh berkembang secara fungsional dan optimal. Ciri kedewasaan secara normatif didasarkan pada individualitas, sosialitas dan moralitas. Menurut Immanuel Kant, manusia hanya akan menjadi manusia, dapat hidup sebagai manusia, melalui pendidikan. Sebagai realisasinya diperlukan suatu sistem/konsep pendidikan yang terencana, terarah dan sistimatis. Dalam skala nasional konsep tersebut secara sistimatis seperti tertuang dalam Undang-undang Pendidikan Nasional.

Seiring dengan retorika kehidupan bangsa Indonesia dari masa ke masa, rumusan konsepsi dan tujuan pendidikan nasional ini mengalami perubahan, minimal


(32)

tiga kali sejak pasca kemerdekaan (1952, 1989 dan 2003). Perubahan rumusan ini bertujuan untuk lebih memberi arahan akan perbaikan dan pengembangan pemikiran, guna menemukan jati diri bangsa (Makmun, 2004: 8). Penyempurnaan paradigma tersebut nampak pada dua rumusan Undang-undang Pendidikan Nasional (UUSPN) nomor 2 tahun 1998 dan nomor 20 tahun 2003 yang berbunyi ”Pendidikan adalah usaha sadar menyiapkan peserta didik, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang”.

Sedangkan konsep pendidikan menurut Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003, Bab I, pasal 1, ayat 1 :

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara

Ditinjau dari fungsi dan tujuannya

Pendidikan Nasional adalah untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab

Kedua rumusan tersebut menunjukkan bahwa hal-hal berikut:

a. Hakikat pendidikan itu sebagai ikhtiar/upaya yang dilakukan generasi tua (terdahulu) untuk membina dan mendewasakan generasi muda/anak bangsa dengan menggunakan cara (alat, bahasa, media, dls) guna mewarisi dan


(33)

melestarikan nilai-nilai luhur budaya bangsa, berlangsung dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.

b. Pendidikan merupakan upaya membawa peserta didik dari satu keadaan ke keadaan lain yang lebih baik dalam pengertian yang komprehensif, baik moral maupun intelektual. Oleh karena itu pendidikan merupakan upaya yang seharusnya diprioritaskan dalam keseluruhan kehidupan kemanusiaan, jika tujuan hidup ini agar menjadi lebih baik dari kondisi pada saat ini (Abdul Hamid, 2001: 1). Seperti sabda Rasul SAW: ”Addabani Robbi faahsana ta’dibi”, artinya “Tuhanku telah mendidikku, maka dengan pendidikan itu menjadikan aku orang yang baik”. Karena itu hasil dari proses pendidikan harus memberi dampak positif kepada pembelajar dari kondisi tidak tahu menjadi manusia yang memiliki pengetahuan, meningkatkan pengalaman dan pengamalan, menjadikan ilmunya itu ilmu yang amaliah dan amal ilmiah. Langeveld M.J (Makmun A.S, 1996: 23) mengemukakan pendidikan yang berorientasi pedagogis dan andragogis. Pedagogis dikonsepsikan sebagai suatu proses pendewasaan seseorang untuk menunaikan tugas-tugas hidupnya secara mandiri yang indikatornya:

- mampu mencukupi kebutuhan hidupnya secara ekonomis, siap berumah tangga : prinsip individualitas;

- memiliki pandangan dan pegangan hidup tertentu serta mampu membuat keputusan normatif secara bertanggung jawab; prinsip moralitas;

- mampu menjadi warga masyarakat yang konstruktif, produktif dan turut bertangung jawab atas kelangsungan hidup masyrakatnya; prinsip sosialitas


(34)

Sedangkan pendidikan yang berorientasi andragogik (adult education) berpendirian bahwa dalam realitasnya, manusia yang telah mencapai dan berada pada tingkat/ kategori dewasa pun pada umumnya masih membutuhkan bimbingan dan bantuan orang lain dalam hal dan batas tertentu seperti mengembangkan karir, penyesuaian sosial, pemecahan masalah-masalah pribadi. Maka pada dasarnya pendidikan merupakan suatu proses interaksi (perjumpaan) antara dua orang (dewasa) atau lebih dimana yang satu membantu yang lain atau saling membantu dalam rangka menemukan, memantapkan pandangan hidup dan keterampilan hidup secara lebih memadai.

Jika proses perjumpaan dilakukan secara terencana, maka dapat melahirkan pendidikan formal atau non-formal. Tetapi jika peristiwa tersebut terjadi tanpa direncanakan, namun mempunyai dampak yang serupa, maka dapat disebut pendidikan informal. Seperti dirumuskan Jarvis (Makmun, 1996), `Planned series of events, having a humanistic basis, directing toward person’s or person’s learning and understanding.`

Jumsai (2008: 18) mengemukakan pendapatnya mengenai ada dua jenis pendidikan lain, yaitu worldy ecucation (pendidikan duniawi) dan educare. Pendidikan duniawi akan memberikan seseorang pengetahuan-pengetahuan yang dibutuhkan untuk mencari nafkah dan dapat membantu seseorang menjadi terkenal, sedangkan educare akan membangkitkan nilai-nilai kemanusiaan yang laten dari dalam diri dan akan mengubah seseorang menjadi orang baik. Education berkaitan dengan mendidik kepala sedangkan educare berkaitan dengan mendidik hati.


(35)

Hati nurani berasal dari pikiran super sadar di mana hati nurani akan mendikte seseorang untuk melakukan tindakan yang benar yang harus dilakukan. Hati nurani juga akan memberi tahu, mana perbuatan yang baik tanpa dibutuhkan pemikiran atau diskriminasi. Orang tersebut mengetahuinya begitu saja. Pada tahapan ini siswa menjadi guru bagi dirinya sendiri dan inilah bentuk belajar yang paling tinggi. Belajar melampaui jangkauan buku-buku, internet, guru-guru atau sumber pengetahuan lainnya.

Lebih lanjut, Jumsai mengemukakan ada lima nilai kemanusiaan yaitu kebenaran, kebajikan, kedamaian, kasih sayang dan tanpa kekerasan yang merupakan satu kesatuan. Jika satu nilai hilang, maka semua nilai akan hilang. Orang tidak akan merasakan kedamaian, bila tidak ada cinta kasih. Tanpa kedamaian, kasih sayang, kebenaran dan kebajikan, maka akan terjadi kekerasan atau violence. Nilai-nilai tersebut tidak bisa diajarkan, tapi harus dibangkitkan dari dalam diri siswa itu. Telah menjadi suatu kesalahan di masa lampau, guru-guru mengajarkan moralitas, etika, nilai-nilai, karakter yang baik, hanya sebagai mata pelajaran. Siswa bisa menghapal semua itu dan lulus ujian, tetapi mereka gagal dalam menerapkannya dalam praktek kehidupan sehari-hari. Nampaknya secara umum sedang terjadi kemerosotan moral. Transformasi seseorang tidak bisa terjadi hanya melalui pengajaran, tetapi hal itu dapat dicapai melalui upaya-upaya membangkitkan kesadaran diri (self-realization) yang muncul dari dalam diri siswa sendiri.

Tujuan model pembelajaran nilai-nilai kemanusiaan terpadu untuk membantu siswa menjadi manusia unggul (human excelence) atau manusia seutuhnya, tidak


(36)

hanya dalam dimensi fisik dan mental, tetapi juga dalam dimensi spiritual. Tujuan tersebut bisa dimaknai untuk menghasilkan seseorang dengan kepribadian terpadu yaitu terjadinya keselarasan (keharmonisan) antara 3 H, Head/kepala (pikiran dan emosi), Heart/hati nurani (aspek spiritual) dan Hands/tangan (tindakan dan perkataan).

2. Kategori Pendidikan dan Tujuan Pembelajaran

Ditinjau dari programnya menurut P.H Coombs (Sudjana, 2000: 1-2), ada tiga kategori pendidikan:

a. Pendidikan Formal adalah kegiatan yang sistematis, berstruktur, berjenjang dan bertingkat dimulai dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi dan yang setarap dengannya termasuk di dalamnya kegiatan studi yang berorientasi akademik dan umum, program spesialis dan latihan yang diselenggarakan dalam waktu yang terus menerus.

b. Pendidikan Nonformal ialah setiap kegatan terorganisasi dan sistematis di luar sistem persekolahan yang mapan, dilakukan mandiri atau merupakan bagian penting dari kegiatan yang lebih luas yang sengaja dilakukan untuk melayani peserta didik dalam memenuhi kebutuhan belajarnya.

c. Pendidikan Informal adalah proses yang berlangsung sepanjang usia, sehingga setiap orang memperoleh nilai, sikap, keterampilan dan pengetahuan yang bersumber dari pengalaman hidup sehari-hari, pengaruh lingkungan termasuk di dalamnya pengaruh kehidupan keluarga, hubungan dengan tetangga, lingkungan pekerjaan, permainan, pasar, perpustakaan dan media masa.

Selanjutnya Sudjana mengemukakan bahwa ketiga lembaga pendidikan tersebut mempunyai fokus tujuan yang berbeda, seperti berikut ini:

a. Pendidikan sekolah, programnya bersifat formal, keluaran utamanya kognisi diikuti ranah afeksi dan psikomotorik (skill).


(37)

b. Pendidikan nonformal, pendidikan di lingkungan masyarakat, ranah utamanya pada psikomotorik (skill) diikuti ranah kognisi dan afeksi.

c. Pendidikan informal di lingkungan keluarga, fokus keluarannya pada afeksi diikuti ranah psikomotorik dan kognisi.

Agar memperoleh produk pendidikan secara utuh (total), maka perlu dibina keterkaitan dan kesinambungan dari setting ketiga institusi/lembaga pendidikan tersebut. Selain memiliki ranah-ranah tersebut, tujuan utama pendidikan harus mampu pula menciptakan dan menumbuhkan suasana budaya belajar bagi peserta didik atau menjadikan manusia pembelajar, sehingga mereka mampu menghadapi kehidupan masa depan yang penuh tantangan. Aktivitas belajar merupakan nafas dan pintu gerbang kemajuan suatu bangsa, karena bangsa yang maju dan moderen adalah bangsa yang berpendidikan. Bangsa yang berpendidikan akan tetap eksis dalam menghadapi persaingan hidup dengan bangsa lain.

Dalam membudayakan suasana belajar menurut Jauques Delores (UNESCO: 1996) ada empat pilar tujuan pembelajaran:

a. Learning to know, belajar untuk mengetahui dan memahami. Hasil belajar bukan semata-mata untuk memahami informasi, tapi agar bisa beradaptasi dan mampu berinteraksi serta berkomunikasi dengan lingkungannya. Mampu memberi motivasi untuk terus memperoleh ilmu pengetahuan. Seperti kata Al Ghazali semakin dipelajari ilmu itu semakin banyak yang perlu diketahui, maka timbul kebiasaan belajar atau tolabul ilmi sepanjang hayat. Menuntut ilmu agama bukan semata-mata hanya untuk memperoleh pengetahuan


(38)

tentang materi agama, tapi dituntut pula untuk mengamalkannya. Ilmu bukan hanya semata untuk dibicarakan, tapi untuk diamalkan (Q.S As Shaf (61): 2-3).

b. Learning to do, belajar untuk melakukan apa yang telah dipahami. Mengimplementasikan ilmu dalam kehidupan, sehingga mampu beradaptasi dan mengkritisi nilai-nilai sosial, budaya, ekonomi, teknologi dan lainnya. Mampu mengembangkan kompetensi, baik yang bersifat intelektual maupun mental spiritual. Sebagaimana firman Allah SWT, ”Sesunguhnya manusia dalam kerugian, kecuali orang yang beriman dan beramal shaleh serta saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati dalam kesabaran” (Q.S Al-’Ashr (103): 3).

c. Learning to be, belajar untuk mengembangkan semua potensi secara optimal dan utuh (total). Belajar untuk mencapai kemandirian. Mampu mengambil keputusan sendiri dan bertanggung jawab yang mencerminkan kepemilikan pribadi utuh/kaffah.

d. Lerning to live together (in peace and harmony), belajar untuk mengembangkan kemampuan dan kesalehan sosial dengan damai dan harmonis. Mau bekerja sama dengan orang lain, bersikap toleran dengan tidak mengorbankan kepribadian yang dimilikinya. Allah SWT menciptakan manusia bersuku-suku (kabilah), berbangsa untuk saling mengenal dan memahami (Q.S Al Hujurat (49): 13).


(39)

Dampak era global yang semakin dirasakan, tak dapat dihindari keberadannya, terjadi saling ketergantungan hidup antara satu bangsa dengan masyarakat/bangsa lainnya. Jika sikap egoisme yang ditonjolkan dan bukannya kebersamaan, ukhuwwah insaniyah seperti dalam menghadapi krisis moral, masalah global warming, krisis ekonomi dan aspek-aspek kehidupan lainnya, maka manusia akan semakin jauh dari moralitas dan nilai-nilai akhlak karimah.

3. Pendidikan Umum/Nilai

Pendidikan Umum dimaknai sebagai Pendidikan Nilai-Moral-Norma seperti dinyatakan Djahiri A.K (1989: 17) bahwa Pendidikan Nilai-Moral-Norma adalah proses pilihan nilai-nilai, norma-norma, harapan serta proses transformasi, transaksi dan interaksi seluruh struktur organisme diri dengan lingkungan kehidupan nilai-moral-norma tersebut dan atau media stimulus terarah, sehingga tercapainya proses afektual dan internalisasi-personalisasi moral-pilihan tadi ke dalam tatanan nilai-keyakinan dengan penuh arti, kegunaan serta manusiawi. Nilai moral itu penting bagi pembentukan totalitas kepribadian seseorang, namun tidak kalah pentingnya membina, mengembangkan dan meningkatkan affectual-skills yang bersangkutan dalam kehidupan yang selalu dinamis. Pendidikan nilai, moral, etika, budi pekerti dalam Pendidikan Agama Islam disebut dengan akhlak karimah (mulia) atau akhlak mahmudah (terpuji).

Fokus dan arah Pendidikan Umum dalam pembinaan aspek-aspek kepribadian yang dikemukakan Soelaiman M.I (1988: 5) bahwa Pendidikan Umum adalah


(40)

pendidikan yang mengarah program dan tujuannya untuk membina seluruh aspek kepribadian siswa secara merata dan umum. Bersesuaian dengan pendapat Dawam Raharjo (1985) bahwa Pendidikan Umum sebagai ikhtiar Pendidikan Nilai dan Kepribadian (pembentukan jati diri manusia sebagai mahluk individu, sosial sekaligus hamba Allah Swt). Pada saat dilahirkan, manusia dibekali dengan seperangkat potensi yang meliputi kesadaran indrawi, akal dan kesadaran rohani. Potensi tersebut diwujudkan dalam taksonomi kognitif, afektif dan psikomotorik yang harus dikembangkan untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi sebagai Insan Kamil (kaffah, paripurna).

Berkaitan dengan Pendidikan (Umum), Phenix PH (1964: 6-8)

mengemukakan enam dunia makna sebagai acuan dalam kurikulum: “Six

fundamental patterns of manning emerge from the analysis of the possible distinctive modes of human understanding. These six patterns may be designated respectively as symbolics, empirics, esthetics, synoetics, ethics and synoptics”.

Mengutip enam dunia makna yang disampaikan Phenix, Mulyana (2004: 36-38) menerjemahkannya sebagai berikut:

1. Simbolik

Makna ini meliputi bahasa, matematika, dan berbagai macam bentuk simbol yang tidak memiliki kaitan antara satu dengan lainnya (nondiskursif) seperti pola bahasa tubuh, ritual, dan ritmik. Makna ini dituangkan dalam struktur simbol manasuka dengan äturan-aturan bentuk dan perambatan yang dapat diterima oleh masyarakat dan diciptakan untuk alat mengungkapkan dan menyambungkan beragam makna lainnya. Sistem simbolik ini dipandang sebagai makna yang paling fundamental, karena tanpa makna ini manusia akan mengalami kesulitan dalam rnengkomunikasikan gagasannya.


(41)

2. Empirik

Makna ini terdiri atas ilmu pengetahuan tentang dunia fisik, benda hidup, dan manusia. Ilmu pengetahuan ini menyediakan uraian fakta, kesimpulan, rumusan dan penjelasan teori yang didasarkan pada hasil pengamatan dan uji coba tentang benda, kehidupan, pemikiran, atau masyarakat. Melalui makna ini seseorang dapat menguji kemungkinan-kemungkinan kebenaran empiris yang dikaji berdasarkan bukti-bukti, dikuatkan oleh data tertentu, dan didukung oleh sejumlah analisis tertentu.

3. Estetik

Makna ini terdiri atas sejumlah seni seperti seni musik, seni visual, seni gerak, dan sastra. Makna estetik terkait dengan keindahan tentang sesuatu obyek yang dipersepsi. Pada tingkat yang lebih rendah, sifat makna estetik berlaku subyektif, artinya setiap individu dapat memiliki cita rasa keindahan masing-masing. Namun pada wilayah estetik tingkat tinggi, makna ini berlaku dapat sampai pada keindahan yang hakiki yang semua orang dapat mengakuinya.

4. Sinoetik

Penggunaan istilah sinoetik ini, menurut Phenix, digunakan karena tidak ada konsep lain yang lebih tepat untuk mewakili pemahaman yang hendak dijelaskan. Namun demikian pemahaman dunia makna ini dapat dijelaskan dari pengertian pengetahuan pribadi, hubungan Aku-Tuhan, dan kesadaran-kesadaran yang bersifat langsung. Istilah itu pun sebagai analog untuk menggambarkan adanya hubungan antara pengetahuan yang dimiliki seseorang dengan kesadaran makna dalam menjalin hubungan secara interpersonal dan transendental. Pengetahuan personal ini merupakan suatu yang konkret, langsung dan penting.

5. Etik

Makna ini mencakup makna-makna moral yang memiliki konsekuensi tanggung jawab bagi seseorang untuk memenuhi suatu kewajiban. Makna etika lahir karena fakta, persepsi, atau kepedulian seseorang untuk melakukan hubungan sosial secara harmonis. Berbeda dari ilmu pengetahuan yang terkait dengan pemahaman kognitif yang abstrak, seni yang mengekspresikan persepsi estetik, pengetahuan pribadi yang merefleksikan pemahaman intersubyektif, moralitas ini harus dilakukan melalui perilaku manusia yang didasarkan pada kebebasan, tanggung jawab, dan kehati-hatian.

6. Sinoptik

Makna sinoptik merupakan makna yang komprehensif dan integral. Makna ini meliputi sejarah, agama, dan filsafat yang merupakan kajian integral tentang empirik, estetik, dan sinoetik dalam satu keseluruhan yang koheren. Sejarah memberikan wawasan kewaktuan terhadap apa yang telah terjadi, agama terkait dengan makna-makna yang sifatnya


(42)

paripurna dan mutlak kebenarannya, sedangkan filsafat berkenaan dengan upaya melakukan penafsiran reflektif terhadap semua jenis makna. Untuk itu, menurut Phenix, pengajaran bahasa, matematika, ilmu pengetahuan, seni, hubungan pribadi, moral, sejarah, agama dan filsafat merupakan bidang kajian yang penting dalam menyadarkan manusia terhadap enam makna yang digagasnya. Penyadaran makna itu dapat memberikan jawaban atas persoalan pendidikan yang dinilai Phenix tengah menghadapi tantangan berat akibat modernitas kehidupan yang diikuti oleh lahirnya nilai-nilai destruktif.

Selanjutnya, Pendidikan Umum memiliki ciri dan karakteristik sebagai berikut :

1. Diarahkan untuk membina dan mengembangkan kepribadian agar

mencapai kesempurnaan/keutuhan (pribadi utuh)

2. Diberikan kepada semua orang, pada semua jenis, jenjang dan tingkat pendidikan (holistik).

3. Bertujuan membina Insan Kamil (manusia paripurna) atau manusia kaffah.

4. Membina sifat-sifat atau akhlak Ilahi yang harus dimiliki oleh semua manusia.

5. Membina dan mengembangkan nilai-nilai, sikap, pengertian dan

keterampiln yang harus dimiliki oleh semua orang.

6. Membina makna-makna esensial bagi manusia yang mencakup makna simbolik, empirik, sinoetik, estetik, etik dan sinoptik.

7. Menekankan pada pengetahuan terintregrasi dan hubungan antara berbagai disiplin ilmu pengetahuan (integrated knowledge system).

8. Berorientasi pada penyesuaian diri siswa dengan lingkungan/kondisi kehidupannya.

9. Bertanggung jawab tentang perkembangan emosional, sosial, moral dan intelektual secara seimbang dan integral.

10. Berkenaan dengan persoalan-persoalan individu, anggota keluarga, anggota masyarakat dan warga negara yang bertanggung jawab (good citizen) dan sebagai hamba Allah.

Sepuluh karakteristik tersebut tentunya masih bisa dikembangkan lagi, bukan suatu hal yang sudah final, minimal sudah dapat memberi gambaran perbedaan antara Pendidikan Umum dengan pendidikan lain pada umumnya.


(43)

4. Pendidikan Hati

Hakikat Pendidikan Umum adalah pendidikan yang bertujuan memanusiakan manusia. Karena itu pendidikan umum dapat dikategorikan dengan pendidikan hati. Hati (qalbu) merupakan salah satu komponen tubuh yang mempunyai peranan penting dalam konsep manusia utuh sebagaimana visi Pendidikan Umum SPS UPI, yaitu membentuk dan mengembangkan kepribadian manusia secara utuh (kaffah). Sebagai komponen tubuh yang berperanan penting itu, qalbu itulah yang bisa memerintahkan perilaku baik dan buruk. Baik dan buruk manusia ditentukan oleh hatinya. Sabda Rasulullah SAW, ”..Ala wa Inna fi al-jasadi mudghatan, idza shalahat, shalaha al- jasadu kulluhu, wa idza fasadat fasada al- jasadu kulluhu, ala wahiya al- qalbu”m artinya ”..Sesungguhnya pada jasad (tubuh) itu ada segumpal daging, jika dia baik, maka baiklah seluruh tubuhnya dan jika dia rusak/buruk, maka rusaklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah itulah qalbu” (H.R Bukhari dan Muslim)

Berdasarkan pendapat Al-Ghazali (tt, juz III : 6-8), ada empat potensi/dimensi yang mempengaruhi perilaku manusia : al-Qalbu, ar-Ruhu, an-Nafsu dan al-’Aqlu.

a. Dimensi al-Qalbu(hati) ada dua pengertian, pertama qalbu berupa segumpal

daging yang berbentuk bulat memanjang seperti buah shanaubar terletak di pinggir dada sebelah kiri didalamnya ada rongga yang mengandung darah hitam sebagai sumber/pusat ruh. Hati (jasmani) ini ada pada hewan bahkan pada orang mati. Pengertian kedua, qalbu (hati) berupa sesuatu yang amat halus (lathifah) bersifat Robbaniah (ketuhanan/kerohanian), tidak kasat mata dan tak dapat diraba serta dapat menangkap segala cita rasa, mengetahui dan


(44)

mengenal hakikat segala sesuatu. Hati lathifah ini yang jadi fokus pembicaraan yang akan diperkarakan (disiksa), dicela dan dituntut, ia mempunyai hubungan dengan hati jasmani. Begitu eratnya hubungan antara hati jasmani dan hati rohani, tidak banyak manusia yang tahu akan hubungan keduanya, terkadang membingungkan akal. Karena itu harus cermat dalam memahaminya seperti memahami sebuah benda dengan sifat/ karakteristik yang ada pada benda tersebut. Namun jika dilimpahi cahaya Allah, maka hati rohani ini dapat mengetahui rahasia-rahasia Allah. Selain itu kesulitan memahami hati rohani (robbaniah) karena hubungannya yang sangat erat dengan ilmu mukasyafah (ilham) dan untuk memahaminya memerlukan terbukanya rahasia ruh yang bagi Rasul Saw sendiri jarang membicarakannya. Hati mempunyai aparat yang terlihat (lahir) dan yang tak terlihat (batin). Aparat yang terlihat oleh kasat mata seperti tangan, kaki, telinga, lidah,mata dan lain-lain seluruh anggota badan. Semua itu menjadi pelayan hati mengikuti perintahnya. Secara naluri semua anggota badan tunduk dan patuh kepada hati seperti kapatuhan para malaikat kepada perintah Allah. Hanya bedanya para malaikat amat menyadari akan ketaatannya, sedangkan anggota badan mematuhi perintah hati karena taskhir (terpaksa).

Sesungguhnya hati memerlukan aparat tersebut sabagai kendaraan dan bekal untuk menuju Allah dengan melalui tempat-tempat yang dapat mengantarkan hingga berjumpa dengan-Nya. Itulah hakikat tujuan hati. Firman Allah SWT:


(45)

”Dan tidaklah Aku jadikan jin dan manusia, melainkan untuk berbakti (beribadah) kepada-Ku” (Q.S Adz-Dzaria (51): 56).

b. Dimensi al-Ruhu (ruh) ada dua pengertian, pertama ruh bermakna

al-lathifah (halus) bersumber dari rongga hati jasmani kemudian menyebar ke seluruh tubuh melalui sarana nadi. Penyebaran ruh ke seluruh tubuh mengalirkan kehidupan dalam ujud perasaan, penglihatan, pendengaran dan penciuman seperti cahaya lampu menyinari seluruh sudut rumah (listrik/batre). Makna kedua, ruh yang berpotensi untuk mengetahui dan mengenal segala sesuatu (abstrak). Ruh inilah yang menimbulkan kecerdasan qalbu (jisim lathif) sehingga menacapai kematangan yang sempurna. Jika manusia berada pada anasir malaikat, maka manusia berada pada tingkat

musyahadah (penyaksian) pada Dzat Maha Agung, Maha Indah dan

melepaskan diri dari nafsu angkara murka. Dalam konteks ini, manusia harus mengenal dirinya sendiri sehingga mampu menuju jalan Ilahi. Sabda Nabi saw: ”Barangsiapa telah mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya” (al-Hadits).

Al-Ghazali (2000: 41) mengatakan:

”Jika manusia ingin mengenal dirinya sendiri, maka ketahuilah bahwa manusia terdiri dari dua hal yaitu qalbu (hati) dan ruh (jiwa). Ruh manusia pada apapun juga mengikuti dan mengiringinya. Untuk mengetahui hakikat dan sifat-sifatnya merupakan kunci mengenal Allah SWT. Karena itu manusia harus melakukan mujahadah (perjuangan) hingga dapat mengenalinya. Ia merupakan unsur mulia dan anasir malaikat yang sumber asalnya adalah Allah SWT. Maka dari tempat itu ia datang dan kepada-Nya ia akan kembali”


(46)

Manusia tidak akan mampu memahami hakikat ruh yang sesungguhnya karena merupakan kerahasiaan ilmu Allah, seperti firman-Nya: ” Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh. Katakanlah Ruh itu termasuk urusan Tuhanku dan tidaklah kamu diberi pengetahuan kecuali hanya sedikit” (Q.S Al-Isra (17): 85). Oleh karena itu hakikat ruh merupakan bagian dari kekuasaan dan hak prerogatif kewenangan Allah semata. Memahami hakikat ruh ini begitu unik, ajaib dan sungguh mengagumkan, semua potensi akal manusia tidak akan mampu untuk memahami substansi dan hakikat yang sebenarnya.

c. Dimensi al-Nafs (nafsu) ada tiga macam. Menurut ahli tasawuf, nafsu itu

tempat berkumpulnya segala sifat-sifat (sumber dominan) yang cenderung tercela pada diri manusia. Karena itu nafsu ini harus dilawan dan diperangi sebagaimana diisyaratkan Rasulullah SAW, ”Musuhmu yang perlu engkau lawan adalah nafsumu yang ada di antara dua lambungmu” (H.R. Baihaqi). Nafsu model pertama ini, disebut nafsu Ammarah ada kecenderungan selalu menentang kepada Allah dan sulit untuk kembali kepada-Nya. Nafsu yang amat tercela termasuk kelompok iblis syaetan yang selalu mengajak pada kejahatan (Q.S Yusuf (12): 53). Kedua nafs al-lathifah (muthmainnah) nafsu yang terpuji, membawa ketenangan yaitu sesuatu yang abstrak yang membentuk jati diri dan esensi manusia serta mempunyai kemampuan untuk mengenal Allah SWT lebih dekat (Q.S al-Fajr (89): 27-28). Ketiga nafsu


(47)

lawwamah nafsu yang selalu mencela (menyesali) dirinya ketika lalai manakala tidak beribadah (Q.S al-Qiyamah (75): 2).

d. Dimensi al-Aqlu (akal)

Al-Aqlu dalam bahasa Indonesia (akal) berarti mengikat atau memahami sesuatu pada format hakikatnya. Menurut Al-Ghazali ada dua makna akal. Pertama diartikan sebagai pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu sebagai sifat dari ilmu yang tempatnya di dalam hati. Maka akal berarti pula hati nurani. Kedua diartikan bagian dari manusia yang memiliki kemampuan untuk menyerap ilmu pengetahuan. Akal merupakan ilmu awal yang menjaga manusia dari kejelekan. Barangsiapa penjagaannya lebih kuat, maka dia lebih berakal. Sabda Rasul SAW, ”Barang pertama yang Allah ciptakan adalah akal”. Jika Adam AS tidak berakal, maka dia tidak mungkin dapat menerima ilmu dari Tuhan.

Langkah seseorang yang ingin menjadi hamba Allah yang baik, dia harus memperbaiki dan membersihkan hati terlebih dulu. Manusia tidak mungkin dapat memperbaiki hatinya, jika dia tidak mengerti dan mengenal karakteristik (hakikat) hati tersebut. Karena itu pengetahuan tentang hakikat hati dan sifat-sifatnya merupakan pokok ajaran agama sebagai sumber utama ajaran akhlak mahmudah (akhlak terpuji). Sesungguhnya kemuliaan dan keutamaan manusia dari mahluk lain karena dia memiliki kemampuan untuk makrifat kepada Allah SWT. Dengan bermakrifat kepada Allah, manusia akan selalu berupaya untuk berbuat baik menuju kesempurnaan hidup di dunia dan akhirat.


(48)

Hati (qalbu) menjadi perangkat yang mampu mengakses ma’rifatullah, mengenal Allah, selalu ingin taqorrub mendekat kepada-Nya, mengamalkan perintah-Nya (ibadah) dan mampu menyingkap rahasia Kemahabesaran-Nya. Sedangkan anggota-anggota badan lainnya sebagai alat pelayan dan pelaksana qalbu belaka. Dia yang menerima cercaan atau pujian. Amat beruntung bagi orang yang menyucikannya dan sungguh merugi bagi yang mengotorinya (Q.S Al-Syams (91): 9-10). Qalbu juga yang menebarkan cahaya Allah ke seluruh anggota badan atau membelenggunya karena hati yang gelap. Sebab itu, perilaku baik dan buruk terpancar dari sinar terang atau hati yang gelap. Ibadah (amal saleh) yang dikerjakan oleh anggota badan adalah penjelmaan dari cahaya hati. Sebaliknya hati yang durhaka dengan melakukan kejahatan merupakan pantulan dari hati yang gelap. Hatilah yang mewadahi segala gera-gerik kehidupan manusia. Karena itu orang yang telah mengenal hatinya berati dia telah mengenal dirinya sendiri dan akan mengenal pula Tuhannya. Man ’arafa nafsahu faqad ’arafa Rabbahu. Sebaliknya, jika dia jahil (bodoh) tidak mengenal hatinya, maka dia tidak akan mengenal dirinya dan tak akan mengenal pula Tuhannya. Demikian juga orang yang tiada mengenal hatinya, maka lebih tidak mengenal lagi hati orang lain dan akan terhijab (terhalang) hatinya dari musyahadah (menyaksikan), muroqobah (keterdekatan) serta mengenal sifat-sifat Allah SWT. Hati bisa meluncur ke titik terendah sejajar dengan setan dan bisa pula melambung ke posisi tertinggi alam Malakut yang berhampiran dengan Allah.

Orang fasik adalah orang yang tidak mau mengerti akan keadaan hatinya untuk muraqobah, menjaga dan mengintip apa yang ada dalam alam Malakut yang


(49)

tidak mudah untuk dimengerti. Firman Allah SWT, : ”Mereka lupa kepada Allah dan Allah pun melupakan mereka, mereka itulah orang-orang yang fasiq” (Q.S Al-Hasyr (59): 19). Karena itu pengetahuan tentang hati dan hakikat sifat-sifatnya merupakan pokok ajaran agama (perilaku akhlak) bagi orang-orang yang menuju keridhoan Allah.

5. Pendidikan Nilai (Akhlaq) dan Pribadi Utuh (Kaffah)

Pendidikan Umum yang lazimnya disebut pula dengan Pendidikan Nilai. Pendidikan nilai berbeda dengan pendidikan pada umumnya karena bertujuan mengemas pengembangan pribadi utuh bagi peserta didik. Tujuan yang ingin dicapai Pendidikan Nilai bukan saja kecerdasan nilai-nilai intelektual (kognitif), tapi lebih ditekankan pada pencapaian kecerdasan emosional, spiritual (akhlakul karimah). Karena itu hakikat Pendidikan Nilai dalam perspektif konsentrasi agama memiliki esensi dan identik dengan pendidikan akhlak karimah (mahmudah), pendidikan moral, budi pekerti, karakter, pendidikan bagaimana berperilaku santun. Pendidikan akhlak ini bersumber dari Ad Din (Al Qur’an dan As Sunnah). Dengan pendidikan akhlak karimah ini, para peseta didik (murid) diharapkan memiliki kepribadian utuh atau insan kamil yang selalu berusaha untuk mencapai derajat kaffah (paripurna) seperti yang difirmankan Allah SWT dalam surat Al Baqarah (2) ayat 208. Sebab itu salah satu indikator keberhasilan pendidikan nilai ini diukur dengan perilaku dan akhlak peserta didik dalam pengamalannya, baik sebagai individu, anggota keluarga, lingkungan sekolah maupun di lingkungan masyarakatnya.


(50)

Dengan pendidikan, kepribadian manusia itu seharusnya kaffah, utuh, total, paripurna, komprehen. Jika manusia itu tidak memiliki pertahanan atau lemah, maka kepribadian tersebut menjadi retak (split) dan terjadilah degradasi moral. Untuk itu dilakukan berbagai upaya antara lain pendidikan yang terkait dengan pengamalan ibadah, di antaranya melalui dzikir dan doa.

Mengenai kaffah yang terdapat pada QS Al-Baqarah ayat 208, para ahli tafsir mengemukakannya sebagai berikut :

1. Al Buruswi (2006: 373)

“Istaslimu lillahi wa athi’uhu jumlatan dhahiran wa bathinan”, “berserah dirilah kamu kepada Allah dan mematuhi-Nya, total lahir dan batin”. Kaffah diartikan qathibah atau kulliyyah atau ‘ammah’, total seluruhnya dan jangan mencampurkan hal-hal lain ke dalam Islam. Awal peristiwa Abdullah bin Salam (Yahudi) setelah menganut Islam masih melakukan syariat lama dengan memuliakan Sabat dan mengharamkan daging unta serta air susunya. Hal itu menunjukkan bahwa setan meragu-ragukan hati mukmin dengan mencampur adukkan antara yang halal dan batil, karena setan adalah musuh manusia yang nyata

2. HAMKA (1966: 488-489)

Kaffah yang berarti semua atau seluruhnya. Pengertian pertama, seluruh kafir, musyrik, munafik dan orang yang telah masuk Islam sebelumnya, mulai saat ini lebih baik mereka bersatu dalam Islam. Pengertian kedua, kaffah dijadikan ‘hal’ dari as-Silmi (Islam) itu sendiri. Seruan kepada sekalian orang yang mengaku beriman, kalau mereka Islam janganlah masuk separuh-separuh, sebagian-sebagian, tapi masukilah keseluruhannya. Jika mengaku beriman telah menerima Islam sebagai agama, hendaklah seluruh isi Al-Qur’an dan tuntunan Nabi Saw, diakui dan diikuti. Semuanya diakui dengan mutlak, meskipun seandainya belum dikerjakan semuanya


(51)

3. Shihab (2008: 448-449)

Profil orang beriman yang berkepribadian kaffah yaitu mereka yang melaksanakan ajaran agama Islam secara keseluruhan, ia tidak mengamalkan sebagian dan meninggalkan sebagian yang lain. Ia dapat juga bermakna ‘masuklah kamu semua kaffah tanpa kecuali, jangan seorangpun di antara kamu yang tidak masuk ke dalam kedamaian (Islam)’. Karena setan selalu menggoda manusia, baik yang durhaka apalagi yang taat, maka Allah melanjutkan pesannya ‘dan janganlah kamu ikuti langkah setan’. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu. Ia bukan hanya menyatakan beriman tetapi tidak melaksanakan apa yang diimaninya. Bahkan lebih dari itu, ia adalah orang mukmin yang dengan imannya itu mampu memberi arah, mendorong dan mengendalikan fitrah jasmani, rohani dan nafs. Orang yang masuk Islam secara keseluruhan juga diartikan sebagai masuk dalam kedamaian sehingga semua kegiatannya ada dalam wadah atau koridor (kedamaian). Ia damai dengan dirinya, keluarganya, seluruh manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan serta alam raya

4. Usman Najati (1989: 275-276)

Kepribadian kaffah, insan kamil (lurus, tidak cacat), kepribadian matang, sehat memiliki indikator sebagai berikut:

a. Dimensi Ruhani. Iman kepada Allah, menunaikan ibadah dan

menerima ketetapan Allah. Perasaan yang selalu ingin dekat dengan Allah. Memakan dan menggunakan barang yang halal dan zikir yang mudawamah (terus-menerus).

b. Dimensi Nafsani, seperti bersikap jujur, menjauhkan diri dari hasud dan kebencian, sadar diri, menjauhkan diri dari yang tak berguna (sia-sia), menahan tidak tidur (ibadah malam), tidak suka menyakiti orang lain dengan sombong, berbohong, loba/rakus, kikir, malas, pesimis, taat pada peraturan/hukum, adil, lapang dada, mandiri, bercita-cita tinggi, cermat, menerima kenyataan hidup dan tanggung jawab. c. Dimensi Sosial yaitu mencintai orang tua, suka bekerja sama,

menyayangi anak, suka menolong, amanah, berkata benar, menjauhkan diri perbuatan negatif seperti dusta, hasud, korup, makan harta yatim, zina, membunuh, bersaksi palsu, dengki, mengumpat, fitnah, khianat, zalim, tetapi bersahabat, gemar bekerja dan mengatasi masalah-masalah sosial.


(52)

d. Dimensi Biologi (jasmani) yaitu menjaga kesehatan badan dari bermacam penyakit, memenuhi kebutuhan jasmaniah, menghindari akhlak tercela, melakukan sesuatu sesuai kemampuan.

b. Pengertian Akhlak.

Menurut logat, akhlak adalah bentuk jama’ dari khuluqun artinya tabiat, perangai, kebiasaan, budi pekerti, tingkah laku (Ya’kub,1991: 11). Ada akhlak (tabiat) yang baik dan ada kebiasaan yang buruk. Akhlak yang baik disebut akhlak karimah (mahmudah) dan akhlak yang buruk disebut akhlak madmumah (tercela). Makna lain adalah kholqun berarti kejadian atau sistem perilaku yang dibuat (Q.S As- Syu’aro (26): 137). Sebab setiap manusia lahir (bayi) dalam kondisi tidak berbusana. Sebagai makhluk yang dimuliakan Allah SWT, maka aurat badaniahnya memerlukan busana (pakaian) dan rohaniahnya agar menjadi santun dihiasi dengan busana taqwa (Q.S Al-A’raf (17): 26). Akhlak sebagai media yang mengkondisikan manusia berhubungan dengan Khalik secara baik, sesuai dengan tuntunan-Nya dan berlaku baik pula terhadap sesama makhluk. Menurut al Ghazali, akhlak adalah kebiasaan jiwa yang tetap yang terdapat dalam diri manusia yang dengan mudah dan tidak perlu berpikir, menumbuhkan perbuatan-perbuatan dan tingkah laku manusia.

Akhlak mahmudah (karimah) merupakan pola perilaku dengan

mengimplementasikan nilai-nilai iman (aqidah), Islam (ibadah) dan ihsan (akhlak). Ketiga dimensi tersebut saling berkolaborasi, sehinga terjadilah pengintegrasian antara akhlak dengan amal dan amal/ibadah yang berlandaskan pada keimanan. Selain itu dalam praktik amaliyah diperlukan pula dimensi lain yaitu ikhlas (Q.S Al


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur`an dan terjemahnya. (2004). Departemen Agama Republik Indonesia. Jakarta: CV. Naladana

Abdul Hamid, Fuad. (2003). Peran Islam Dalam Menciptakan Kondisi Pendidikan Yang Kondusif Pada Era milenium Ke-3. Makalah.

Al Abrasyi, Muhamad Athiyah. (1996). Dasar-dasar Pendidikan Islam (Terjemahan Bustami Abdul Gani). Jakarta: Bulan Bintang

Al-Ghazali. (1996). Membersihkan Hati dari Akhlak yang Tercela. Jakarta: Pustaka Amani.

____________, (2002). Manajemen Hati. Surabaya : Pustaka Oprogressif. ____________. (TT) Ihya Ulumuddin. Libanon Beirut: Darul Qolam

Al Iskandari, Ahmad, dkk, (1954). Al-Muntakhob min Adab bil Arobi. Mesir: Darul Kitab Arobi

Alba, Cecep. (2009). Cahaya Tasawuf. Bandung: CV. Wahana Karya Grafika. Al-Jaelani AQ, 1996. Sirrul Asror. Terjemahan KH. Zezen Zaenal Abidin Bazul

Ashab, Tasikmalaya: Pondok Pesantren Suryalaya.

Al-Khandalawi, Maulana Muhammad Zakariyya. (1999). Fadhail Amal. Bandung: Pustaka Da`i

al-Yassu’I, Fr. Louis Ma’luf, Fr. Bernard Tottel al-Yassu’i. (1956). Al-Munjid. Beirut: Al-Kasuliqiyyah.


(2)

Anang Syah. (2000). INABAH (Metode Penyadaran Korban Penyalahgunaan NAPZA). Tasikmalaya: Pondok Pesantren Suryalaya.

An-Nahlawi, A. (1989). Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam. (penyunting Dahlan, M.D. dan Soelaeman, M.I.) Bandung: CV. Dipenogoro

Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. (1958). Pedoman Dzikir dan Do’a, Jakarta: Bulan Bintang

Atjeh, H. Aboe Bakar. (1996). Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, Solo: Ramadhani

Bungin, Burhan. (2008). Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana

Creswel, John. W. (1993). Quality Inquiry And Research Design. USA: Sage Publication

Dahlan, M. Djawad. (1988). Sumbangan Pikiran Tentang Perwujudan Tujuan Pendidikan Nasional. Orasi Ilmiah Dies Natalis ke-29 IKIP Bandung Faqih, S. (1992). Dialog Tentang Ajaran Thoriqot Qodiriyah Naqsyabandiyah.

Bandung: Wahana Karya Grafika.

Hakam, Kama Abdul, (2003). Pendidikan Nilai. Bandung: Value Press Hamka. (2003). Tafsir Al-Azhar : Jilid I-II. Jakarta: PT. Pustaka Panjimas.

Hurlock, Elizabeth B. (1976). Personality Development. India: Publisher McGraw-Hill Education

Kuswarno, Engkus. (2009). Fenomenologi. Bandung: Widya Pajajaran

Makmun, Abin Syamsudin. (2004). Psikologi Kependidikan. Bandung: Remaja Rosda Karya


(3)

Mansur. (2004). Sejarah Sarekat Islam dan Pendidikan Bangsa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Maxwell, Joseph A. (1996). Desain Penelitian Kualitatif: Sebuah Pendekatan Interaktif. UK: Thousand Oaks, CA Sage

Megawangi, Ratna. (2004). Pendidikan Karakter Untuk Membangun Masyarakat Madani. Jakarta : Star Energy.

Moleong, L.J. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Moustakas, Clark. (1994). Phenomenological research Methods. USA: Sage. Mujib, Abdul. (1999). Fitrah & Kepribadian Islam. Jakarta: Darul Falah

Musfah, Jejen. (2006). Meraih Makrifat: Tafsir Hamka atas Ayat-Ayat Hati. Jakarta: Mizania

Na Ayudhya, Art Ong Jumsai. (2008). Model Pembelajaran Nilai-Nilai Kemanusiaan Terpadu. Thailand: Yayasan Pendidikan Sathya SAI Indonesia

Najati, M. (1989). Al-Hadits An Nabawi wa `Ilmin Nafsi. Kairo: Syuruq

_______. (2005). Al-Qur`an wa `Ilmun Nafsi. (Terj. Oleh M. Zaka Al Farisi). Bandung: CV. Pustaka Setia

Nasution, H. (editor), (1990). Thoriqot Qodiriyyah Naqsabandiyyah. Tasikmalaya: Institut Agama Islam Latifah Mubarokiyah (IAILM)

Nawawi, Imam. (1960). Hadits `Arbain an-Nawawi. Jakarta: Jaya Bakti Phenix, Philip. (1964). Realms of Meaning. USA: McGraw Hill


(4)

Sauri, Sofyan. (2011). Filsafat dan Teosofat Akhlak. Bandung: Rizqi

Shihab, M.Q. (2006). Wawasan Al-Quran Tentang Zikir dan Doa. Jakarta: Penerbit Lentera Hati

Sobarna, Ayi. (1999). Zikir : Pendekatan Spiritual Pendidikan Islam. Jurnal Mimbar, No. 4 Th. XV

Strauss, Anselm dan Juliet Corbin. (2003). Dasar-dasar Penelitian Kualitatif, Tata langkah dan Teknik-teknik Teoritisasi Data. Jakarta: Pustaka Pelajar. Subandi, M.A. (2009). Psikologi Dzikir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Sudjana, D. (2000). Nisbah Ilmu Pendidikan terhadap Kerangka Ilmu Pengetahuan. Bandung: FIP UPI

Sulaiman, Fathiah Hasan. (1996) Al-Ghazali dan Plato dalam Aspek Pendidikan. Surabaya: PT Bina Ilmu

Sulaiman, H. F. (1964). Al Madzhab at Tarbawi `indal Ghazali. Kairo: Maktabah Nahdhoh.

Sumadi Suryabrata, (2006). Psikologi Kepribadian. Jakarta: Rajawali Pers

Sumantri, E. (1993). Pendidikan Moral Suatu Tinjauan dari Sudut Konstruksi dan Proposisi. Bandung: FPIPS IKIP.

Sutopo. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif Dasar Teori dan Terapannya dalam /Penelitian. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Sutoyo, A. (2007). Bimbingan dan Konseling Islami. Semarang: CV. Cipta Prima Nusantara.


(5)

Tauhid, Ki Moch., dkk. (1962). Ki Hajar Dewantara. Jogyakarta: Percetakan Taman Siswa

U., Sarqowi, 2002. Zikir itu Nikmat. Bandung: Remaja Rosda Karya. Ulwan, A. N. (1985). Tarbiyatul Aulad fil Islami. Kairo: Darus Salam Ya`qub, Hamzah. (1991). Etika Islam. Bandung : CV. Dipenogoro

Zahri, M. (1997). Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. Surabaya: PT. Bina Ilmu

Sumber lain :

Anwar, Zaenal Abidin. (tt). Konsep Islam Dalam Memanusiakan Manusia. Diktat. Dahlan, M. D. (1983). Sumbangan Pikiran Tentang Pewujudan Tujuan Pendidikan

Nasional. (Orasi Ilmiah Dies Natalis ke-29 IKIP Bandung Pada 19 Oktober 1983). Bandung: IKIP

Kompas. 27 April 2009. Harus Tegas, Membatasi Anak Menonton Televisi. _________. 4 Juni 2008. Tayangan Anak Banyak Pelanggaran.

Natsir, M. (1987). Sekitar Pembaharuan Pendidikan Nasional. Al-Muslimun No. 207, XVIII. Hlm. 55

Odih. 2009. Pondok Pesantren Bengkel Akhlak di Tengah Dekadensi Moral. Robithoh. 28 Maret-26 April: hlm 9

Raharjo, Mudjia. (2010). Mengenal Lebih Jauh Tentang Studi Kasus [online]. Terlihat: http://www.mudjiarahardjo.com/materi-kuliah/203.html?task=view) (diakses 20/07/11 02:17:17)


(6)

Rasjidi, H.M. (1987). Orang Islam di Indonesia UmumnyaSukar Adakan Approach Multidimensional.. Al-Muslimun No. 207, XVIII. Hlm. 55

Republika. 28 April 2006. Pornografi, Ironi Sebuah Negeri Muslim. hal. 8

________. 7 Oktober 2008. ESQ : Apa Kata Ulama dan Tokoh Nasional? (Bagian 1). Sularto, ST. 21 Juli 2008. Masa Depan "Manusia Indonesia"-nya Mochtar Lubis.

Kompas.

Sumantri, Endang. 1994. Harmoni Hidup Berpancasila Dalam Masyarakat Yang Religius : Suatu Analisis Fenomenologis. (Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Pendidikan Bidang Kajian Pendidikan dan Filsafat Pancasila Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Pada Tanggal 28 April 1994), Bandung: IKIP.

_________.. 22 Oktober 2007. Edukologi Bangun Karakter. Kompas: Hlm 28

Widianto, Satrio. 20 Oktober 2008. Dari Kompor Gas Hingga Makam Dikorupsi. Kompas