Persepsi perilaku dukungan sosial menurut kaum homoseksual.

(1)

PERSEPSI PERILAKU DUKUNGAN SOSIAL MENURUT KAUM HOMOSEKSUAL

Studi Pada Mahasiswa Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Ni Luh Putu Rika Ayu Wulandari

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi kaum homoseksual terhadap perilaku dukungan sosial. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh perlakuan diskriminatif dan stigma negatif yang diberikan oleh masyarakat terhadap kaum homoseksual. Kaum homoseksual seharusnya berhak mendapatkan perlakuan yang sama dengan masyarakat lain karena homoseksualitas bukan merupakan sebuah abnormalitas di dalam DSM IV. Fokus dari penelitian ini adalah mencari perilaku-perilaku yang dipersepsi oleh kaum homoseksual sebagai perilaku dukungan sosial. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif fenomenologi sebagai metode penelitian. Penelitian fenomenologi ini merujuk kepada suatu pengalaman dari berbagai informan yang memiliki jenis dan tipe berbeda sehingga memiliki pengalaman informantif yang bisa jadi berbeda-beda. Dalam penelitian ini, peneliti berusaha mendapatkan dan memahami arti suatu peristiwa yang dialami oleh informan penelitian serta hubungan-hubungannya terhadap orang lain yang berada di dalam situasi tertentu. Informan dari penelitian ini adalah empat orang homoseksual yang terdiri dari dua orang gay dan dua orang lesbian. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara semi terstruktur kepada para informan penelitian. Validitas hasil penelitian dilakukan dengan member member checking dimana hasil penelitian sudah dianggap akurat dari sudut pandang peneliti, partisipan dan pembaca secara umum. Hasil penelitian ini menunjukkan ada kesamaan persepsi mengenai dukungan sosial yang terdiri atas empat perilaku. Perilaku tersebut adalah dihargai pilihannya sebagai homoseksual, tidak didiskriminasi menurut orientasi seksualnya, diberikan saran ketika ada masalah dan dibiarkan untuk menjadi homoseksual. Dari perilaku tersebut, ditemukan bahwa kaum homoseksual memiliki kebutuhan dukungan sosial yang serupa dengan masyarakat pada umumnya. Terdapat empat sumber dukungan sosial menurut persepsi informan, yaitu teman, keluarga, teman homoseksual, dan orang yang tidak bergitu dikenal atau orang asing. Dilihat dari sumber pemberi dukungan sosial, semua informan menyatakan bahwa teman merupakan pemberi dukungan yang paling banyak dibandingkan dengan sumber yang lain. Dari hasil ini bisa dilihat suatu pola bahwa persepsi dukungan sosial dipengaruhi oleh sumber pemberi dukungan sosial. Semakin dalam ikatan emosional informan dengan sumber pemberi, semakin tinggi tuntutan informan dalam hal dukungan sosial.


(2)

PERCEPTION OF SOCIAL BEHAVIOR SUPPORT ACCORDING TO THE HOMOSEXUALS

Study in Psychology in Sanata Dharma University Ni Luh Putu Rika Ayu Wulandari

Abstract

This study aims to determine the perception of homosexuals to behavior of social support. This research is motivated by discriminatory treatment and negative stigma that society places against homosexuals. Homosexuals should be treated equally with the other communities because homosexuality is not an abnormality in the DSM IV. The focus of this study is to look for behaviors perceived by homosexuals as social support behavior. This research uses qualitative research phenomenology as a research method. This phenomenological study refers to an experience from various informants who have different types and types that have different informative experiences. In this study, researchers sought to obtain and understand the meaning of an event experienced by studied informants as well as relationships to other people who are in certain situations. Informants of this study are four people consisting of two gays and two lesbians. Data were collected by semi-structured interviews to the researched informants. The validity of the results of research carried out by "member checking" where the research is considered accurate from the perspective of the researcher, participants and readers in general. The results showed there was a common perception of the social support of four behaviors. Such as to be respected as a homosexual, not to be discriminated against their sexual orientation, allowed to be given advices when they have problems and allowed to be homosexual. By taking

conclusions of these behaviors, found that homosexual’s needs of social support are similar to

the public at large. There are four sources of social support as perceived by informants, friends, family, homosexual friends, and acquaintance or a stranger. Judging from the source provider of social support, all of the informants stated that a friend is giving most support compared with other sources. This can be seen from the results of a pattern that the perception of social support is influenced by the source of social support providers. The deeper the emotional bond with the source, the higher the informants demands in social support.


(3)

PERSEPSI PERILAKU DUKUNGAN SOSIAL MENURUT KAUM

HOMOSEKSUAL

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh

Ni Luh Putu Rika Ayu Wulandari 109114055

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

(5)

(6)

iv

HALAMAN MOTTO

Homosexuality is assuredly no advantage, but it is nothing to be ashamed of, no

vice, no degradation, it cannot be classified as an illness; we consider it to be

variation of the sexual function produced by a certain arrest of sexual

development

-Sigmund Freud-

Tak ada yang lebih baik bagi manusia dari pada makan dan minum dan

bersenang-senang dalam jerih payahnya. Aku menyadari bahwa inipun dari

tangan Allah

-Pengkhotbah 2:24-

It’s not the future that you’re afraid of. It’s repeating the past that makes

you

anxious.


(7)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini kupersembahkan kepada:

Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat dan perlindungannya di dalam

hidupku

Mama, Papa, Ito, Tio yang selalu mendukung dengan sepenuh hati di saat

suka dan duka

Almh. Eyang Soepartini Soengkowo


(8)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 19 Mei 2015 Peneliti,


(9)

vii

PERSEPSI PERILAKU DUKUNGAN SOSIAL MENURUT KAUM HOMOSEKSUAL

Studi Pada Mahasiswa Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Ni Luh Putu Rika Ayu Wulandari

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi kaum homoseksual terhadap perilaku dukungan sosial. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh perlakuan diskriminatif dan stigma negatif yang diberikan oleh masyarakat terhadap kaum homoseksual. Kaum homoseksual seharusnya berhak mendapatkan perlakuan yang sama dengan masyarakat lain karena homoseksualitas bukan merupakan sebuah abnormalitas di dalam DSM IV. Fokus dari penelitian ini adalah mencari perilaku-perilaku yang dipersepsi oleh kaum homoseksual sebagai perilaku dukungan sosial. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif fenomenologi sebagai metode penelitian. Penelitian fenomenologi ini merujuk kepada suatu pengalaman dari berbagai informan yang memiliki jenis dan tipe berbeda sehingga memiliki pengalaman informantif yang bisa jadi berbeda-beda. Dalam penelitian ini, peneliti berusaha mendapatkan dan memahami arti suatu peristiwa yang dialami oleh informan penelitian serta hubungan-hubungannya terhadap orang lain yang berada di dalam situasi tertentu. Informan dari penelitian ini adalah empat orang homoseksual yang terdiri dari dua orang gay dan dua orang lesbian. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara semi terstruktur kepada para informan penelitian. Validitas hasil penelitian dilakukan dengan member member checking dimana hasil penelitian sudah dianggap akurat dari sudut pandang peneliti, partisipan dan pembaca secara umum. Hasil penelitian ini menunjukkan ada kesamaan persepsi mengenai dukungan sosial yang terdiri atas empat perilaku. Perilaku tersebut adalah dihargai pilihannya sebagai homoseksual, tidak didiskriminasi menurut orientasi seksualnya, diberikan saran ketika ada masalah dan dibiarkan untuk menjadi homoseksual. Dari perilaku tersebut, ditemukan bahwa kaum homoseksual memiliki kebutuhan dukungan sosial yang serupa dengan masyarakat pada umumnya. Terdapat empat sumber dukungan sosial menurut persepsi informan, yaitu teman, keluarga, teman homoseksual, dan orang yang tidak bergitu dikenal atau orang asing. Dilihat dari sumber pemberi dukungan sosial, semua informan menyatakan bahwa teman merupakan pemberi dukungan yang paling banyak dibandingkan dengan sumber yang lain. Dari hasil ini bisa dilihat suatu pola bahwa persepsi dukungan sosial dipengaruhi oleh sumber pemberi dukungan sosial. Semakin dalam ikatan emosional informan dengan sumber pemberi, semakin tinggi tuntutan informan dalam hal dukungan sosial.


(10)

viii

PERCEPTION OF SOCIAL BEHAVIOR SUPPORT ACCORDING TO THE HOMOSEXUALS

Study in Psychology in Sanata Dharma University Ni Luh Putu Rika Ayu Wulandari

Abstract

This study aims to determine the perception of homosexuals to behavior of social support. This research is motivated by discriminatory treatment and negative stigma that society places against homosexuals. Homosexuals should be treated equally with the other communities because homosexuality is not an abnormality in the DSM IV. The focus of this study is to look for behaviors perceived by homosexuals as social support behavior. This research uses qualitative research phenomenology as a research method. This phenomenological study refers to an experience from various informants who have different types and types that have different informative experiences. In this study, researchers sought to obtain and understand the meaning of an event experienced by studied informants as well as relationships to other people who are in certain situations. Informants of this study are four people consisting of two gays and two lesbians. Data were collected by semi-structured interviews to the researched informants. The validity of the results of research carried out by "member checking" where the research is considered accurate from the perspective of the researcher, participants and readers in general. The results showed there was a common perception of the social support of four behaviors. Such as to be respected as a homosexual, not to be discriminated against their sexual orientation, allowed to be given advices when they have problems and allowed to be homosexual. By taking

conclusions of these behaviors, found that homosexual’s needs of social support are similar to

the public at large. There are four sources of social support as perceived by informants, friends, family, homosexual friends, and acquaintance or a stranger. Judging from the source provider of social support, all of the informants stated that a friend is giving most support compared with other sources. This can be seen from the results of a pattern that the perception of social support is influenced by the source of social support providers. The deeper the emotional bond with the source, the higher the informants demands in social support.


(11)

ix

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertandatangan dibawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma

Nama : Ni Luh Putu Rika Ayu Wulandari

Nomor Mahasiswa : 109114055

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah yang berjudul:

Persepsi Perilaku Dukungan Sosial Menurut Kaum Homoseksual

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai peneliti.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta, Pada tanggal : 19 Mei 2015 Yang menyatakan,


(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan setinggi-tingginya terhadap tritunggal Bapa, Putera dan Roh Kudus karena hanya oleh rahmat dan berkat-Nya, penulis bisa menyelesaikan penelitian ini. Penelitian dengan judul Persepsi Dukungan Sosial pada Homoseksual ini disusun untuk memperoleh gelar sarjana psikologi (S.Psi) dari Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Dalam proses pengerjaan penelitian ini, penulis dibantu dan didukung oleh banyak pihak. Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya, penulis haturkan kepada :

1. Bapak Dr. Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi. 2. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si. selaku Kaprodi Fakultas Psikologi.

3. Bapak C. Wijoyo Adinugroho, M.Psi, Psi selaku dosen pembimbing yang telah membimbing penulis dari awal pengerjaan penelitian ini. Terimakasih atas dukungan dan pengarahannya yang sangat membantu penulis.

4. Bapak C. Siswa Widyatmoko, M.Psi dan Y. B. Cahya Widyanto, M.Si selaku dosen penguji yang sudah memberikan masukan yang berarti dalam hasil penelitian ini.

5. Ibu Dra. Lusia Pratidarmanastiti, M.S. selaku dosen pembimbing akademik atas waktu dan dukungannya.

6. Jajaran dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang sudah membantu setiap proses yang dijalani oleh penulis dalam melakukan kegiatan belajar mengajar. Terimakasih banyak atas ilmu dan bimbingannya selama penulis menjadi mahasiswa.

7. Staf dan karyawan di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang sangat suportif dalam membantu serta melayani penulis di dalam setiap dinamika yang penulis lakukan.

8. Dr. I Gede Oka Subagia, M. Hum, dr. Lipur Riyantiningtyas B.S., S.H., Sp.F, (soon to be “drh”) I Made Andre Oktavicto, selaku orang tua dan


(13)

xi

saudara yang sudah memberikan dukungan secara material dan emosional dalam penyelesaian penelitian ini.

9. Teman-teman seperjuangan “Road to S.Psi”, Anin, Sondra, Tari, Sheilla, Astrid dan Rosari. Banyak terimakasih diucapkan atas semangat dan dukungannya selama ini.

10. Teman-teman yang menemani penulis dalam mengerjakan penelitian; Pino, cik Fani, mbok Ayu, Ajeng Wijayanti, Raaf Muerthe Thierry. Terimakasih sebanyak-banyaknya untuk waktu dan kesediannya.

11. P2TKP crews, Pak Toni, Mbak Thia, Pak Tius, Suster Wina, Pak Landung, Mbak Diah, Anju, Lito, Bella, Lukas, Ardi, Pudar, Christy, Natasya, Ester, Stanis, Retha, Cia, Lenny, Jejes, Tiara, Pipit, Estu, Dimas, Sasha. Terkhusus untuk Bianca, cik Grace, Yovino, Wuri dan Fiona yang selalu menemani dan

mendukung dalam pengerjaan skripsi di “ruang sebelah”.

12. Teman-teman kelompok “Menuju S.Psi” yang berada di bawah bimbingan Pak Adi. Regina, Vica, Vita, Ika, Vincent, Surya, Mbak Dinda, Aldo, Mimi dan yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terimakasih atas dukungan dan semangatnya, serta bantuan-bantuannya yang sangat membantu.

13. Teman-teman Psikologi 2010, Masdha FM 2010, PPK Sih Nugroho, SIM Corner Ramai Mall, dan teman-teman yang tidak bisa penulis sebutkan satu-satu yang telah membantu dan mendukung.

14. Informan P, A, R dan T yang telah memberikan kesediaan dan waktunya sehingga bersedia untuk menjadi informan dalam penelitian ini.

Yogyakarta, 11 Juni 2015


(14)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ...viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ...xvi

DAFTAR SKEMA ...xvii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

1. Manfaat Teoritis ... 7

2. Manfaat Praktis ... 7


(15)

xiii

A. Homoseksual ... 8

1. Pengertian Homoseksual ... 8

2. Penyebab Homoseksual ... 10

3. Klasifikasi Homoseksual ... 13

4. Komponen dari Homoseksualitas ... 13

5. Masalah-Masalah Kaum Homoseksual ... 14

a. Kesehatan ... 14

b. Sosial ... 14

c. Psikologis ... 15

B. Homoseksual di Masa Dewasa... 16

1. Fase Dewasa ... 16

2. Homoseksual di Fase Dewasa ... 16

C. Dukungan Sosial ... 17

1. Pengertian Dukungan Sosial ... 17

2. Macam-Macam Dukungan Sosial ... 19

3. Manfaat Dukungan Sosial ... 21

D. Persepsi ... 21

1. Pengertian Persepsi ... 21

2. Faktor-Faktor Penentu Persepsi ... 22

E. Persepsi Dukungan Sosial ... 23

F. Persepsi Dukungan Sosial pada Homoseksual ... 25

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 29

A. Jenis Penelitian ... 29

B. Fokus Penelitian ... 30

C. Informan Penelitian ... 30

D. Prosedur Penelitian... 31

E. Metode Pengumpulan Data ... 32

1. Wawancara ... 32

F. Analisis Data ... 34


(16)

xiv

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 38

A. Proses Pengambilan Data ... 38

1. Proses Penelitian ... 38

2. Proses Pengambilan Data ... 39

3. Identitas Informan ... 41

B. Hasil Penelitian ... 44

1. Latar Belakang Informan ... 44

2. Persepsi Dukungan Sosial menurut Informan ... 43

a. Informan 1 ... 46

b. Informan 2 ... 51

c. Informan 3 ... 54

d. Informan 4 ... 59

3. Hasil Persepsi Dukungan Sosial ... 63

a. Dukungan Emosional ... 63

b. Dukungan Instrumental ... 65

c. Dukungan Informasi ... 65

d. Dukungan Pertemanan ... 66

e. Dukungan Lain ... 67

4. Pembahasan ... 70

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN. ... 82

A. Kesimpulan ... 82

B. Saran ... 84

1. Bagi Masyarakat... 84

2. Bagi Peneliti Lain ... 84

DAFTAR PUSTAKA ... 86


(17)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Panduan Pertanyaan ...33

Tabel 2 : Keterangan Koding ...35

Tabel 3 : Jadwal Pengambilan Data ...40


(18)

xvi

DAFTAR SKEMA

Skema 1 : Alur Berpikir ...28

Skema 2 : Ringkasan Hasil Penelitian Informan 1 ...50

Skema 3 : Ringkasan Hasil Penelitian Informan 2 ...53

Skema 4 : Ringkasan Hasil Penelitian Informan 3 ...58

Skema 5 : Ringkasan Hasil Penelitian Informan 4 ...61

Skema 6 : Ringkasan Hasil Penelitian Keempat Informan ...62


(19)

1

BAB I

LATAR BELAKANG

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Orang lain akan lebih mudah menerima individu yang memiliki orientasi seksual berlainan jenis kelamin (heteroseksual) dibandingkan dengan individu yang memiliki orientasi seksual pada jenis kelamin yang sama (homoseksual). Hal ini bisa disebabkan oleh kurangnya pengakuan dan penerimaan masyarakat pada individu dengan orientasi seksual sejenis (Dessy, 2012). Dalam bukunya, Mikulincer dan Shaver (2007) mengungkapkan bahwa individu yang memiliki orientasi seksual sejenis kurang mampu untuk menerima orientasi seksualnya. Kurangnya penerimaan tersebut disebabkan karena kaum homoseksual merasa mendapatkan tekanan dari lingkungan untuk menjadi sama atau normal sesuai dengan pandangan masyarakat meskipun tidak sesuai dengan kepercayaan, values dan kemauan pada dirinya. Hal ini sesuai dengan salah satu definisi normalitas yang menyebutkan bahwa sesuatu dianggap normal jika diterima oleh masyarakat dan sesuatu dianggap normal jika sesuai dengan suara atau pendapat yang terbanyak.

Sebagai kaum minoritas, homoseksual menghadapi beberapa stressor dari lingkungannya seperti rasa malu, kebingungan identitas, ketakutan, penolakan dari lingkungan dan penyiksaan (Diamond, Jurgensen & White., 2007). Dalam survei yang dilakukan oleh Kaiser Family Foundation pada


(20)

tahun 2001 (dalam Peplau & Fingerhut, 2007) menemukan bahwa 74% kaum homoseksual dilaporkan mendapatkan perlakuan diskriminatif karena orientasi seksualnya. Selain itu, 34% kaum homoseksual menerima penolakan dari anggota keluarganya mengenai orientasi seksualnya.

The Indonesia Survey Circle (2001) di dalam web

http://www.touchmagz.com/2012/11/tetangga-gay-di-indonesia.html?zx=4b6bb167278ff305 meneliti bahwa terdapat peningkatan penolakan atau intoleransi terhadap kaum homoseksual. Pada tahun 2005, terdapat 64,7% dari populasi masyarakat di Indonesia yang melakukan penolakan atau intoleransi terhadap homoseksual. Pada tahun 2012, terdapat peningkatan sebanyak 15,9% sehingga penolakan atau intoleransi masyarakat terhadap homoseksual mencapai 80,6% dari total populasi masyarakat di Indonesia. Selain itu, salah satu bentuk nyata penolakan kaum LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender) di Indonesia adalah ancaman yang dilakukan oleh FUI (Front Umat Islam) terhadap seminar LGBT yang rencananya akan dilaksanakan oleh Fakultas Psikologi, Universitas Sanata

Dharma pada tanggal 27 September 2014

( http://www.merdeka.com/peristiwa/ini-alasan-fui-diy-ancam-bubarkan-seminar-lgbt-di-sanata-dharma.html)

Selain itu, dalam artikel di VOA (Voice of America) di dalam web

http://www.voaindonesia.com/content/indonesia-termasuk-paling-tidak-toleran-terhadap-homoseksualitas/1675468.html pada Desember 2013 memberitakan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki


(21)

3

toleransi yang rendah terhadap kaum homoseksual. 93% dari 1.000 warga Indonesia berusia dewasa yang dijadikan sampel mengatakan bahwa kaum gay tidak seharusnya diterima. Dua negara lain yang memiliki toleransi rendah terhadap kaum homoseksual adalah Malaysia dan Pakistan yang sudah melarang praktik sesama jenis melalui undang-undang.

Penolakan terhadap kaum homoseksual sering kali didasari pada orientasi seksual mereka yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Sering kali masyarakat menganggap homoseksualitas sebagai suatu penyakit yang menular sehingga layak untuk dijauhi. Hal ini didukung oleh American Psychiatric Association (APA) yang mengeluarkan buku Diagnostic and Statistical of Mental Disorder (DSM) yang pertama. Di dalam DSM terdapat diagnosis bahwa homoseksualitas merupakan salah satu dari daftar abnormalitas khususnya pada sociopathic personality disturbances. Seiring berjalannya waktu, pada tahun 1957, Hooker, untuk pertama kalinya, mulai mempertanyakan keabnormalan dari homoseksualitas. Pada akhirnya, di tahun 1975, APA menyatakan bahwa homoseksual bukanlah penyakit mental (Guidelines for Psychotherapy with Lesbian, Gay, Bisexual Client, www.apa.org).

Pernyataan bahwa homoseksualitas bukan penyakit mental memiliki berbagai alasan. Hooker (1957 dalam www.apa.org) menemukan bahwa tidak ada perbedaan pada respon di dalam tes proyektif antara sampel non klinikal yang memiliki orientasi seksual sejenis maupun yang memiliki orientasi beda jenis. Selain itu tidak ada perbedaan antara kaum homoseksual dan


(22)

heteroseksual dalam kemampuan kognitif (Tuttle & Pillard, 1991), psychological well-being dan self-esteem (Coyle, 1993; Herek, 1990; Savin-Williams, 1990). Jika ada perbedaan fungsi psikologis antara homoseksual dan heteroseksual, bisa jadi dipengaruhi oleh efek tekanan dan stigma yang diperoleh dari masyarakat berdasarkan orientasi seksualnya (Guidelines for Psychotherapy with Lesbian, Gay, Bisexual Client, www.apa.org).

Penolakan yang diterima oleh kaum homoseksual akan mempengaruhi perkembangan psikologis ke arah yang lebih buruk dan memperbesar kemungkinan untuk mengalami distress (Mays & Cochran 2001; Meyer 1995, 2003 dalam Peplau & Fingerhut, 2007). Penolakan dari lingkungan yang berkepanjangan terhadap kaum homoseksual, jika tidak mampu diatasi dengan baik, maka akan menimbulkan dampak negatif seperti terjadinya konflik, kecemasan dan perasaan frustasi (Kusumastuti, 2002). Selain itu, penolakan yang berkepanjangan dari figur yang lekat seperti sosok pengasuh, keluarga dan masyarakat sekitar akan mengganggu harga diri dan value personal yang stabil dan kuat (Milkulincer & Shaver, 2007). Dalam sebuah penelitian, ditemukan bahwa kaum homoseksual yang tidak diterima oleh keluarganya akan memiliki tingkat depresi dan keinginan untuk bunuh diri yang lebih besar daripada yang diterima oleh keluarganya (Ryan, Rusell, Huebner, Diaz & Sanchez, 2010).

Untuk menangani kondisi psikologis tersebut, dibutuhkan dukungan sosial terhadap homoseksual. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sutandi (2011) yang menemukan bahwa adanya hubungan


(23)

5

antara dukungan sosial dengan coping stress. Selain itu dukungan sosial yang tinggi dapat menyebabkan kebermaknaan hidup yang tinggi (Astuti & Budiyani), penyesuaian diri (Wibawati, 2013), rendahnya tingkat stress (Anggoro, 2011), dan rendahnya kecemasan (Buntoro, 2005).

Di dalam Guidelines for Psychotherapy with Lesbian, Gay, Bisexual Client yang diterbitkan oleh APA, seorang psikolog tidak diperkenankan untuk melakukan diskriminasi yang tidak adil berdasarkan orientasi seksual di dalam aktifitas pekerjaan. Namun pada kenyataannya, tidak banyak informasi yang ada mengenai macam perilaku dukungan sosial yang dibutuhkan oleh kaum homoseksual. Kurangnya informasi ini bisa membuat orang-orang yang ingin memberikan dukungan sosial merasa tidak enak hati dalam menyampaikan dukungan sosialnya. Perasaan ini muncul apabila individu memiliki ketakutan bahwa dukungan sosial yang diberikannya akan dipersepsi dengan tidak benar oleh kaum homoseksual. Dukungan sosial yang diberikan kepada kaum homoseksual akan memiliki hasil yang baik dan menjadi bantuan apabila kaum homoseksual tersebut merasa mendapatkan dukungan dari orang lain. Hal ini sejalan dengan definisi persepsi yaitu sebagai cara manusia menangkap rangsangan (Sobur, 2003). Rangsangan yang diterima oleh individu akan diorganisasi dan diinterpretasi sehingga dapat rangsangan tersebut dapat disadari (Walgito, 2003). Penerimaan dukungan sosial dapat dipersepsikan berbeda-beda oleh kaum homoseksual karena adanya perbedaan dalam memaknai dan menilai sesuatu yang diterima dari orang lain (Wibawati, 2013). Dalam hal ini, dukungan sosial yang


(24)

diberikan oleh kaum homoseksual bisa dipersepsikan menjadi sesuatu hal yang menyakiti bila dipersepsi secara negatif.

Di samping itu, penelitian mengenai persepsi dukungan sosial khususnya pada kaum homoseksual tidak banyak ditemui. Jikapun ada, penelitian dilakukan dengan metode kuantitatif. Selain itu penelitian ini digunakan untuk menggali lebih dalam mengenai konsep persepsi dukungan sosial pada heteroseksual ketika diaplikasikan pada homoseksual. Penelitian ini juga menjawab saran dari penelitian yang dilakukan oleh Larasati (2012) yang mengatakan bahwa agar dilakukan penelitian mengenai persepsi dukungan sosial pada homoseksual yang menggunakan dimensi-dimensi persepsi terhadap dukungan sosial. Pada penelitian yang dilakukan Angelie (2013) juga memberikan saran untuk menggunakan dimensi dukungan sosial dari ahli selain Sarason (1983) dan lebih spesifik untuk mengungkapkan dimensi jenis dukungan sosial yang diterima. Angelie juga menambahkan untuk menggunakan metode wawancara dalam penelitian selanjutnya.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa banyaknya penolakan yang diterima oleh kaum homoseksual secara tidak langsung membuat dukungan sosial yang diterimanya menjadi terbatas. Sebagai individu yang ingin memberikan dukungan sosial, terkadang ada ketakutan ketika kaum homoseksual memberikan persepsi yang negatif terhadap dukungan sosial yang akan diberikan. Oleh karena itu, penulis ingin mengetahui mengenai persepsi perilaku dukungan sosial pada kaum homoseksual.


(25)

7

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan paparan di atas, maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah: Bagaimana persepsi perilaku dukungan sosial menurut kaum homoseksual?

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui persepsi kaum homoseksual mengenai perilaku dukungan sosial.

D. MANFAAT PENELITIAN a. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini dapat menambah pengetahuan bagi ilmu psikologi, khususnya pada psikologi sosial mengenai persepsi perilaku dukungan sosial pada kaum homoseksual.

b. Manfaat Praktis

Secara praktis, penelitian ini dapat menjadi acuan bagi psikolog, maupun individu lain yang ingin memberikan dukungan sosial kepada kaum homoseksual sehingga mereka bisa mengerti perilaku apa yang seharusnya dilakukan dalam memberikan dukungan sosial terhadap kaum homoseksual.


(26)

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. HOMOSEKSUAL

1. Pengertian Homoseksual

Orientasi seksual dapat diartikan sebagai ketertarikan baik secara emosional, romantisme maupun secara seksual. Homoseksual merupakan orientasi seksual dimana seseorang memiliki ketertarikan secara emosional, romantisme dan seksual terhadap orang lain yang memiliki jenis kelamin yang sama dengan dirinya. (APA, 2002).

Menurut ensiklopedia psikologi (Weiner & Craighead, 2010), homoseksualitas merujuk pada perilaku seksual, hasrat, ketertarikan dan relasi yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain yang memiliki jenis kelamin yang sama, termasuk jika di dalamnya terdapat unsur kebudayaan, identitas dan komunitas.

Homoseksualitas meliputi lima fenomena atau aspek. Aspek yang

pertama adalah bahwa homoseksualitas digunakan untuk

mendeskripsikan contoh spesifik dari perilaku seksual seseorang yang dilakukan oleh orang lain yang berjenis kelamin sama. Aspek yang kedua adalah homoseksualitas merujuk pada ketertarikan seksual atau ketertarikan romantisme yang terjadi secara terus menerus pada seseorang terhadap orang lain yang berjenis kelamin sama, yang diekspresikan atau tidak diekspresikan dalam bentuk perilaku. Aspek


(27)

ketiga dari homoseksualitas adalah identitas psikologis. Identitas psikologis yang dimaksud adalah menyadari dan merasakan dirinya sendiri sebagai seseorang yang memiliki ketertarikan terhadap orang yang berjenis kelamin sama secara terus menerus. Komponen yang keempat dalam homoseksualitas adalah relasi romatis dengan sesama jenis. Relasi ini sama seperti relasi romatis heteroseksual yang ditandai

dengan adanya bermacam-macan rencana kehidupan, gaya

berkomunikasi, komitmen, pola intimasi, dan metode penyelesaian masalah. Aspek yang terakhir adalah sosialisasi dengan sesama homoseksual. (Weiner & Craighead, 2010)

Homoseksualitas menurut Kartini Kartono (1989) adalah perasaan mencintai atau perasaan tertarik seseorang dengan orang lain yang memiliki jenis kelamin yang sama. Homoseksual juga bisa diartikan sebagai hubungan seksual seseorang dengan orang lain yang memiliki jenis kelamin yang sama.

Homoseksualitas juga didefinisikan sebagai keadaan dimana seseorang hanya dapat tertarik, merasakan kasih sayang, memiliki hubungan emosional dan erotis kepada orang lain yang sama jenis kelaminnya. Hubungan homoseksual ini dapat diikuti dengan adanya hubungan fisik atau tidak (Heerdjan, 1987).

Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa homoseksual adalah orientasi seksual atau ketertarikan secara emosional, romantisme


(28)

dan seksual yang terjadi pada seseorang dengan orang lain yang memiliki jenis kelamin yang sama.

2. Penyebab Homoseksual

Sampai saat ini masih banyak perdebatan mengenai penyebab seseorang menjadi seorang homoseksual. Kartini Kartono menyebutkan beberapa hal yang menjadi penyebab terjadinya homoseksualitas:

a. Faktor herediter, yaitu berupa ketidakseimbangan hormon-hormon seksual yang dimiliki.

b. Faktor lingkungan yang tidak baik sehingga menghambat perkembangan kematangan seksual.

c. Adanya pengalaman homoseksual ketika masih remaja yang menggairahkan, sehingga sampai sekarang masih mencari kepuasan di dalam relasi homoseksual.

d. Adanya pengalaman traumatis dengan ibu atau sosok wanita lain sehingga timbul kebencian terhadap sosok wanita yang membuat dorongan homoseks menetap.

e. Lingkungan homogen seperti penjara atau asrama homogen yang membuat seseorang terpisah dari orang lain yang memiliki jenis kelamin yang berbeda.

f. Adanya pengalaman yang tidak memuaskan dan traumatik yang bisa mendorong seseorang untuk mencari pemuasan lain, yaitu relasi homoseks.


(29)

Menurut Cass (1979, dalam Alessi, Ahm, Kulkin & Ballard, 2011), terdapat enam tahap formasi identitas bagi kaum homoseksual

a. Identity Confusion. Di dalam tahapan ini, individu memiliki kebingungan dan perasaan tidak yakin mengenai tindakan, perasaan dan pikiran yang ia miliki bahwa dirinya adalah seorang homoseksual.

b. Identity Comparasion. Di dalam tahapan ini individu membandingkan dirinya dengan orang-orang lain yang bukan merupakan homoseksual dan ia merasa bahwa dirinya berbedan dengan orang lain (heteroseksual).

c. Identity Tolerance. Di dalam tahapan ini, individu memiliki peningkatan komitmen terhadap identitas homoseksualnya sehhingga individu tersebut memiliki toleransi terhadap orientasi seksual sejenis ini.

d. Identity Acceptance. Di dalam tahapan ini individu mulai menerima identitas orientasi seksual sejenisnya dan melakukan coming out atau mengungkapkan orientasi seksualnya kepada beberapa orang.

e. Identity Pride. Tahapan ini ditunjukkan dengan munculnya kemarahan pada diri individu terhadap kelompok yang menentang atau yang tidak menerima homoseksualitas.


(30)

f. Identity Synthesis. Di dalam tahapan ini, individu tidak lagi menyembunyikan orientasi seksual sejenisnya sehingga ia mampu untuk mengungkapkan orientasi seksualnya terhadap orang lain.

McCarn dan Fassinger (1996 dalam Alessi, Ahm, Kulkin & Ballard, 2011) mengembangkan proses pembentukan identitas seksual. Model ini dapat menjelaskan identitas seksual baik secara individual maupun kelompok orientasi seksual tertentu. Model ini terdiri dari empat tahapan yaitu Awareness atau kesadaran, Exploration atau eksplorasi identitas seksual, Deepening/Commitment atau penggalian terhadap orientasi seksualnya sehingga menimbulkan komitmen dan Internalization/Synthesis. Selain itu, di dalam jurnal yang ditulis oleh Munoz-Plaza dkk (2002) kaum homoseksual yang dijadikan responden penelitian menyatakan bahwa formasi pembentukan identitas seksual yang dialaminya adalah proses karakterisasi yang berasal dari berbagai macam penolakan dan penerimaan orang-orang di sekitarnya.

Untuk setiap identitas seksual pada homoseksual, dibutuhkan dukungan yang berbeda-beda (Cass, 1979). Sebagai contoh, ketika homoseksual berada di dalam tahap pertama dari formasi identitasnya yaitu identity confusion, maka ia akan lebih membutuhkan dukungan berupa informasi dan dorongan agar ia mau mengeksplorasi identitasnya lebih dalam. Hal ini berbeda jika dibandingkan dengan tahap ketiga dari formasi identitasnya yaitu identity tolerance. Pada tahap ini, individu


(31)

lebih membutuhkan dukungan berupa dorongan untuk mengetahui lebih dalam mengenai perasaan malu yang didapat dari kaum heteroseksual dan cara menghadapinya. Selain itu dukungan untuk mencari komunitas homoseksual yang membangun dan positif juga dibutuhkan pada kaum homoseksual di tahap ini.

3. Klasifikasi Homoseksual

Berdasarkan orang yang terlibat, kaum homoseksual bisa dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu:

1. Gay

Gay merupakan salah satu istilah yang digunakan untuk memanggil individu berjenis kelamin laki-laki yang memiliki orientasi seksual terhadap laki-laki.

2. Lesbian

Lesbian berasal dari kata Lesbos, yaitu sebuah pulau di jaman dahulu yang hanya dihuni oleh kaum wanita (Kartono, 1989). Lesbian merupakan orientasi seksual dari perempuan terhadap perempuan.

4. Komponen dari Homoseksualitas

Herek, di dalam jurnalnya yang berjudul Homosexual, mengatakan bahwa hubungan sesama jenis atau homoseksualitas, terdapat beberapa komponen yang membentuk relasi homoseksual ini, yaitu, ketertarikan


(32)

seksual dan hasrat, perilaku seksual, identitas, relasi dan keluarga, dan komunitas

5. Masalah-Masalah Kaum Homoseksual

a. Kesehatan

Masalah kesehatan menghinggapi kaum homoseksual. Di dalam penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat, ditemukan bahwa 44% kaum homoseksual menderita HIV pada tahun 2000 sampai 2003. Selain itu hubungan seksual anal yang biasa terjadi pada homoseksual laki-laki (gay) bisa menyebabkan wasir, retakan pada anus, trauma pada anus, dan meningkatkan kemungkinan kanker pada anus. (Lehrman, 2005). Kaum homoseksual juga lebih rentan mengalami ketergantungan obat-obat terlarang dan minuman beralkohol (Munoz-Plazza, Quinn, Rounds, 2002).

b. Sosial

Kaum homoseksual mendapatkan penolakan dari lingkungan dan penyiksaan. (Diamond, Jurgensen & White, 2007). Hal ini membuat kaum homoseksual merasakan keterasingan (Munoz-Plaza, Quinn, Rounds, 2002). 74% kaum homoseksual mendapatkan perlakuan diskriminasi karena orientasi seksualnya dan 34% kaum homoseksual menerima penolakan dari anggota keluarganya (Survey


(33)

oleh Kaiser Family Foundation di tahun 2001 dalam Peplau & Fingerhut, 2007).

Di Indonesia sendiri, hukum nasional tidak menyinggung mengenai masalah LGBT dan tidak dianggap sebagai sebuah kriminalitas, namun pernikahan dan adopsi oleh LGBT tidak diperbolehkan. Di lingkungan yang lebih kecil, beberapa daerah menganggap bahwa homoseksualitas merupakan kriminalitas karena dianggap sebagai perilaku yang tidak bermoral. Mekipun begitu, empat dari lima lingkungan tersebut belum menyatakan hukuman secara eksplisit terhadap kaum homoseksual. (UNDP, 2014). Di dalam jurnal ini juga menyatakan bahwa aparat kepolisian di Indonesia secara umum gagal untuk melindungi kaum LGBT dari ekstrimis agama tertentu. Hal ini terjadi karena tidak adanya hukum anti diskriminasi terhadap LGBT di Indonesia. Selain itu, mayoritas populasi masyarakat Indonesia yang beragama Muslim dan Kristen juga menolak homoseksualitas karena menginterpretasi kepercayaannya dengan cara konservatif.

c. Psikologis

Secara psikologis, kaum homoseksual mengalami tekanan dari lingkungan untuk menjadi sama atau normal sesuai dengan pandangan masyarakat meskipun tidak sesuai dengan kepercayaan, values dan kemauan pada dirinya (Milkulincer & Shaver, 2007). Selain itu


(34)

stressor dari lingkungannya berupa rasa malu, kebingungan identitas, ketakutan (Diamond, Jurgensen & White, 2007). dan kebingungan mengenai identitas seksualnya (Munoz-Plaza, Quinn, Rounds, 2002). Kaum homoseksual yang ditolak oleh keluarganya akan mengalami depresi, percobaan bunuh diri dan resiko kesehatan seksual (Ryan, Russell, Huebner, Diaz, & Sanchez, 2009)

B. HOMOSEKSUAL DI MASA DEWASA 1. Fase Dewasa

Fase dewasa terdiri dari fase dewasa awal, dewasa tengah dan dewasa akhir. Fase dewasa dimulai pada usia 18 tahun (Santrock, 2014). Pada fase dewasa, individu sudah mulai mandiri dalam hal ekonomi. Selain itu, penanda lain fase dewasa adalah dengan adanya rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri. Hal ini dibuktikan oleh studi yang dilakukan oleh Nelson & others pada tahun 2007 (dalam Santrock, 2014) dimana mahasiswa dan orang tua setuju bahwa rasa tanggung jawab terhadap diri sendiri dan pengembangan kontrol emosional adalah salah satu aspek yang penting untuk masuk ke fase dewasa.

2. Homoseksual di Fase Dewasa

Sebagian besar kaum LGBT (lesbian, gay, bisexual, transgender) sudah memahami dengan jelas mengenai orientasi seksual mereka di fase dewasa awal (Lefkowitz & Gillen dalam Papalia & Feldman, 2014). Hal


(35)

ini berbeda dengan individu di fase remaja. Menurut Santrock (2009), pada masa ini, remaja ingin melakukan banyak eksperimen mengenai kehidupan romantisnya, termasuk bereksperimen untuk menjalin relasi romantis dengan sesama jenis. Pada remaja dengan kasus ini, biasanya mereka akan kembali menjalin relasi dengan lawan jenis sebagai orientasi seksualnya yang sebenarnya.

Terdapat lima tahap pengidentitasan relasi romantis sejenis (Papalia, 2007). Tahap pertama adalah kesadaran akan ketertarikan seksual dengan sesama jenis yang dimulai pada usia 8 sampai 11 tahun. Tahap kedua adalah perilaku seksual dengan sesama jenis yang dimulai pada usia 12 sampai 15 tahun. Tahap ketiga adalah identifikasi orientasi seksual sejenis yang dimulai pada usia 15 sampai 18 tahun. Tahap keempat adalah pembukaan diri mengenai orientasi seksualnya kepada orang lain yang dimulai pada usia 17 sampai 19 tahun. Tahap terakhir adalah perkembangan relasi romantis dengan sesama jenis yang dimulai pada usia 18 tahun.

C. DUKUNGAN SOSIAL

1. Pengertian Dukungan Sosial

Dukungan sosial adalah hubungan intrapersonal dimana seseorang memberikan bantuan kepada orang lain. Dukungan sosial ini bisa berasal dari mana saja, seperti teman, pasangan, keluarga,


(36)

komunitas, teman sekerja, atasan dan lain sebagainya (Taylor, Peplau, Sears, 2000).

Menurut Wallston et al dan Wills & Fegan (dalam Sarafino, 2008) dukungan sosial merujuk pada perasaan nyaman, diperhatikan, dibantu yang dirasakan seseorang dari orang atau kelompok lain. Orang-orang dengan dukungan sosial mempercayai bahwa mereka dicintai, dihargai dan menjadi bagian dari jaringan sosial seperti keluarga atau komunitas sosial lain yang dapat membantu ketika individu dalam tekanan atau bahaya.

Dukungan merupakan interaksi kepada orang lain dimana individu mengakui dan mempercayai kekuatan dan kemampuan mereka untuk mengelola situasi secara produktif. Mendukung dan menerima bukan berarti menyetujui semua yang dikatakan atau dilakukan. Individu bisa mengungkapkan dukungan dan penerimaannya dengan menjadi terbuka terhadap perbedaan (Johnson & Johnson, 2003).

Gottlieb (dalam Smet, 1994) menyatakan bahwa perilaku ataupun informasi apapun yang diterima individu dari lingkungan sosialnya, yang memiliki efek positif, menegaskan dan membantu, merupakan ungkapan dukungan sosial.


(37)

2. Macam-Macam Dukungan Sosial

Dukungan sosial dapat diberikan dengan beberapa cara (Taylor, Peplau, Sears, 2000), yaitu

a. Dukungan emosional. Dukungan emosional yang ditunjukkan dengan menyukai, mencintai atau merasa empati bisa menjadi salah satu bentuk dukungan sosial terhadap orang lain.

b. Penyediaan sarana. Penyediaan sarana ini tidak hanya berupa barang, melainkan juga jasa kepada orang yang membutuhkan. Penyediaan barang dan jasa terhadap orang lain yang sedang mengalami tekanan tinggi, bisa merupakan bentuk dari dukungan sosial.

c. Informasi. Pemberian dukungan sosial berupa informasi akan bermanfaat ketika informasi yang diberikan sesuai dengan self-appraisal orang yang diberi dukungan..

Dalam buku Sarafino (2008), Cutrona & Gardner, 2004; Schaefer, Coyne, & Lazarus, 1981; Wills & Fegan, 2001 membagi dukungan sosial menjadi empat fungsi dasar:

a. Dukungan emosional dan penghargaan. Dukungan emosional meliputi perasaan empati, kepedulian, perhatian, perasaan hormat, dan pemberian semangat terhadap individu. Hal ini menyebabkan timbulnya kenyamanan dan ketentraman hati dengan rasa kebersamaan dan dicintai di saat-saat individu merasa tertekan.


(38)

b. Dukungan instrumental atau dukungan nyata. Dukungan instrumental ini meliputi hal-hal nyata berupa pemberian barang atau jasa kepada individu.

c. Dukungan informasi. Dukungan informasi meliputi pemberian saran, arahan, usulan dan umpan balik yang bersifat informatif atau hal-hal yang berkaitan dengan penyelesaian masalah yang dihadapi oleh individu.

d. Dukungan pertemanan. Dukungan pertemanan diberikan dengan memberikan kesediannya untuk menemani dan menghabiskan waktu bersama dengan individu. Dukungan ini menimbulkan perasaan diterima sebagai salah satu anggota di dalam suatu kelompok yang memiliki minat dan aktifitas sosial yang sama.

Kebutuhan akan keempat dukungan sosial tersebut bisa sangat bervariasi tergantung dari tingkat tekanan yang dialami individu. Hal ini dibuktikan dalam penelitian Martin (dalam Sarafino, 2008) yang menyatakan bahwa dukungan emosional lebih membantu pada individu dengan penyakit yang berat dibandingkan pada individu dengan penyakit yang lebih ringan. Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Cutrona (dalam Sarafino 2008) menemukan bahwa seseorang akan mendapatkan dukungan sosial yang lebih pada kelompok yang sedang melalui tekanan berat dibandingkan dengan kelompok yang memiliki tekanan tidak terlalu berat. Penelitian tersebut juga menemukan bahwa bentuk


(39)

dukungan yang paling sering muncul adalah dukungan informasi dan emosional sedangkan yang paling jarang muncul adalah dukungan instrumental.

3. Manfaat Dukungan Sosial

Dukungan sosial dapat menghilangkan efek dari stress, membantu orang lain untuk mengatasi stress (Bromman 1993, dalam Taylor, Peplau, Sears, 2000), meningkatkan penyembuhan dari penyakit fisik (House, Landis, & Umberson, 1988 dalam Taylor, Peplau, Sears, 2000), meningkatkan sistem imun (Kiecolt-Glaser & Glaser dalam Taylor, Peplau, Sears, 2000) dan meningkatkan kebiasaan yang baik mengenai kesehatan. (Taylor, Peplau, Sears, 2000). Selain itu, dukungan sosial dari lingkungan akan meringankan efek dari kejadian-kejadian yang menegangkan (Smet, 1994).

D. PERSEPSI

1. Pengertian Persepsi

Secara etimologis, persepsi berasal dari bahasa Latin perception dari kata percipere yang berarti menerima atau mengambil (Sobur, 2003). Persepsi merupakan pemberian makna terhadap stimuli yang diterima oleh alat indera mengenai pengalaman tentang suatu kejadian, objek ataupun suatu hubungan dengan cara menyimpulkan informasi yang diterima dan menafsirkan pesan (Desiderato dalam Rakhmat, 2008)


(40)

Persepsi juga bisa diartikan sebagai kesadaran seseorang terhadap suatu objek atau kejadian yang dirasakan melalui stimuli-stimuli oleh panca inderanya. Ketika stimuli yang didapatkan tidak lengkap atau terganggu, maka fungsi otak akan berkontribusi dalam proses persepsi sehingga bisa memunculkan hasil persepsi yang bermakna (Braun, Linder & Asimov, 1979)

Selain itu, persepsi sosial mengacu kepada suatu proses yang terjadi di antara presentasi informasi mengenai orang lain dengan kesadaran akan dirinya. Persepsi sosial meliputi informasi dan penilaian mengenai orang-orang lain. Hal ini akan memperngaruhi status psikologis individu. ( Newcome, Turner, Converse, 1965)

Dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah suatu kesadaran seseorang dalam memberikan makna, menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan terhadap stimuli yang diterima oleh panca indera mengenai pengalaman tentang suatu kejadian, objek maupun hubungan.

2. Faktor-Faktor Penentu Persepsi

Krech dan Crutchfield (dalam Rakhmat, 2008) menyebutkan bahwa persepsi dapat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor fungsional dan faktor sktruktural. Faktor fungsional berasal dari dalam diri orang yang menerima stimulus atau biasa disebut sebagai faktor personal. Faktor fungsional ini antara lain adalah pengalaman masa lalu, kebutuhan, kondisi biologis, nilai sosial, kesiapan mental, suasana emosional dan


(41)

latar belakang budaya. Faktor struktural berasal dari sifat stimuli fisik dan efek-efek saraf yang ditimbulkannya pada sistem saraf individu. Selain itu, di dalam Myers (1999) ditemukan bahwa situasi lingkungan sekitar juga menjadi penentu bagaimana seseorang mempersepsi sesuatu di sekitarnya.

E. PERSEPSI DUKUNGAN SOSIAL

Dukungan sosial yang diberikan oleh seseorang, bisa dipersepsi secara tidak tepat oleh orang yang menerima dukungan sosial tersebut. Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ritter (dalam Smet 1994) yang membuktikan bahwa adanya perbedaan efek antara persepsi dukungan sosial (perceived support) dengan dukungan sosial yang diterima (received support). Selain itu semua perilaku dan informasi bisa menjadi dukungan sosial ketika individu merasa mendapatkan efek positif, ditegaskan dan dibantu oleh lingkungan sosialnya (Gottlieb dalam Smet, 1994). Oleh karena itu persepsi seseorang terhadap dukungan sosial dirasa penting bagi individu yang ingin memberikan dukungan sosial karena dukungan sosial yang diberikan tidak selalu dipersepsi sebagai dukungan bagi orang lain.

Pemberian dukungan sosial menyangkut dua hal, yaitu persepsi mengenai keberadaan (availability) dan ketepatan (adequacy) yang dirasakan oleh penerima dukungan sosial terhadap dukungan sosial yang diterimanya (Kuntjoro, 2002)


(42)

Dukungan sosial yang diterima oleh seseorang hanya akan bermaanfaat ketika ia mempersepsi dukungan sosial yang diterimanya dengan tepat sesuai dengan maksud pemberi dukungan sosial. (Dunkel-Schetter & Bennett; Wilcox, Kasl & Berkman dalam Sarafino 2008). Namun pada kenyataannya, dukungan sosial yang diberikan oleh orang lain tidak selalu bermanfaat. Hal ini terjadi apabila dukungan sosial tidak dipersepsi atau diterima sebagai sebuah dukungan atau support (Sarafino, 2008).

Kesalahan seseorang dalam menginterpretasi dukungan sosial yang didapat dari lingkungannya dapat membuatnya merasa tidak didukung secara sosial oleh masyarakat. Selain itu kesalahan dalam mempersepsi tujuan dan motif orang lain, mampu menyebabkan terjadinya konflik sosial (Myers, 1999). Sebagai contoh, seseorang yang memiliki tujuan untuk memberikan dukungan sosial bisa menyebabkan timbulnya konflik ketika dukungan sosial tersebut dipersepsi dengan tidak tepat.

Menurut Sarason (dalam Kuntjoro, 2002) ada dua pendekatan persepsi dukungan sosial, yaitu pendekatan berdasarkan kuantitas dan pendekatan berdasarkan kualitas. Pendekatan berdasarkan kuantitas merupakan persepsi seseorang dalam menentukan kuantitas atau jumlah dukungan sosial yang tersedia bagi dirinya, seperti jumlah orang yang membantu dan jumlah harta benda yang diberikan. Pendekatan berdasarkan kualitas merupakan persepsi seseorang dalam pemenuhan dukungan sosial yang diberikan kepadanya. Sebagai contoh adalah, apakah individu sudah merasa terpenuhi atau belum terpenuhi atas dukungan sosial yang diterimanya.


(43)

Individu tidak mampu menerima atau mempersepsi dukungan sosial sebagai bantuan apabila ia tidak pernah bersosialisasi, tidak membantu orang lain dan tidak membiarkan orang lain tahu ketika ia membutuhkan bantuan (Sarafino, 2008).

Dari penjelasan ini, bisa ditarik kesimpulan bahwa suatu tindakan yang dilakukan seseorang bisa dipersepsi sebagai hal yang berbeda-beda. Persepsi sosial ini ditentukan oleh beberapa hal, yaitu interpretasi, kuantitas dan kualitas dukungan sosial serta tingkat pemahaman seseorang terhadap kebutuhannya.

F. PERSEPSI DUKUNGAN SOSIAL PADA HOMOSEKSUAL

Sama seperti masyarakat pada umumnya, dukungan sosial yang diberikan kepada kaum homoseksual hanya dapat bermanfaat jika dipersepsi dengan tepat sesuai dengan maksud pemberi dukungan sosial. Ketika terjadi kesalahan dalam mempersepsi dukungan sosial yang diberikan, maka dukungan sosial itu tidak akan bermanfaat atau bahkan bisa menjadi sebuah tekanan bagi kaum homoseksual. Kesalahan dalam mempersepsi dukungan sosial yang diberikan juga bisa membuat kaum homoseksual menganggap bahwa dirinya tidak diterima atau didukung secara sosial.

Mercier dan Berger (1989, dalam Munoz-Plaza, Quinn, Rounds, 2002) menyatakan bahwa anak muda dengan orientasi seksual LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender), memiliki dukungan yang terbatas di rumah, di komunitas dan di dalam sistem pendidikan yang disebabkan oleh isolasi


(44)

sosial yang banyak dialami oleh LGBT. Isolasi sosial yang dialami oleh LGBT bisa menyebabkan mereka tidak mampu menerima atau mempersepsi dukungan sosial sebagai bantuan. Hal ini sesuai dengan teori yang menyataakan bahwa individu tidak mampu menerima atau mempersepsi dukungan sosial sebagai bantuan apabila ia tidak pernah bersosialisasi, tidak membantu orang lain dan tidak membiarkan orang lain tahu ketika ia membutuhkan bantuan (Sarafino, 2008).

Di dalam penelitian yang dilakukan oleh Mayock, Bryan, Carr, dan Kitching (2008), ditemukan bahwa empat sumber dukungan sosial yang paling berpengaruh bagi kaum homoseksual adalah teman, keluarga, komunitas LGBT dan lingkungan sosial lain seperti sekolah dan tempat kerja. Dari keempat sumber dukungan sosial tersebut, dukungan dari teman merupakan dukungan sosial yang paling kuat karena membantu responden melalui pengalaman yang menyedihkan, menakutkan dan menekan.

Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Munoz Plaza, Quinn dan Rounds (2002) terhadap murid SMA yang memiliki orientasi seksual LGBT menemukan bahwa orang yang bukan merupakan anggota keluarga seperti teman sebaya dan orang dewasa lain lebih suportif dibandingkan dengan anggota keluarganya.

Selain itu, persepsi dukungan pada homoseksual bisa dikaitkan dengan jenis dukungan sosial yang diterima. Terdapat empat jenis dukungan sosial, yaitu dukungan emosional, dukungan instrumental, dukungan infromasi dan dukungan pertemanan (Sarafino, 2008). Dari hasil penelitian juga dinyatakan


(45)

bahwa murid dengan orientasi seksual LGBT mendapatkan dukungan emosional paling banyak dari teman dekatnya (Munoz-Plaza, Quinn, Rounds, 2002).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ellis, Kitzinger dan Wilkinson bahwa sumber dukungan sosial yang diterima oleh kaum homoseksual dapat dibedakan menurut jenis kelamin, status anggota keagamaan dan usia (2003). Masyarakat yang berjenis kelamin laki-laki lebih tidak suportif terhadap hak-hak homoseksual dibandingkan dengan masyarakat yang berjenis kelamin perempuan.

Bisa disimpulkan bahwa persepsi dukungan sosial pada homoseksual meliputi dukungan emosional, dukungan instrumental, dukungan informasi dan dukungan pertemanan. Keempat jenis dukungan ini, bisa dipersepsi secara berbeda-beda tergantung dari sumber pemberi dukungan sosial yang bisa dibagi menjadi empat sumber, yaitu teman, keluarga, komunitas dan lingkungan sosial lain.

Karena ada banyaknya variasi dan kemungkinan terjadi salah persepsi dukungan sosial yang diberikan oleh masyarakat, maka peneliti menjadi tertarik untuk melihat bagaimana kaum homoseksual mempersepsi dukungan sosial.


(46)

Dari penjelasan di atas, dapat dibuat alur berpikir sebagai berikut,

Skema 1 Alur Berpikir

HOMOSEKSUAL

PERSEPSI KAUM HOMOSEKSUAL TERHADAP DUKUNGAN

SOSIAL

TEKANAN STIGMA NEGATIF

KELUARGA TEMAN

HOMOSEKSUAL

LAIN LAIN-LAIN

PERILAKU YANG DIPERSEPSI SEBAGAI:

DUKUNGAN EMOSIONAL DUKUNGAN INSTRUMENTAL

DUKUNGAN EMOSIONAL DUKUNGAN PERTEMANAN

DUKUNGAN LAIN PERILAKU


(47)

29

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. JENIS PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang mendiskripsikan fenomena dengan menggunakan kata-kata dan bahasa. Penelitian ini bermaksud untuk memahami fenomena yang dialami oleh informan penelitian dengan menganalisis secara keseluruhan pada suatu konteks khusus yang alamiah. (Moleong, 2008)

Penelitian mengenai persepsi dukungan sosial pada homoseksual ini secara khusus menggunakan metode kualitatif fenomenologi. Fenomenologi merujuk kepada suatu pengalaman dari berbagai informan yang memiliki jenis dan tipe berbeda sehingga memiliki pengalaman subjektif yang bisa jadi berbeda-beda. Dalam penelitian fenomenologi, peneliti berusaha mendiskripsikan makna atau esensi dari suatu pengalaman atau fenomena yang dialami oleh satu atau lebih individu yang mengalami pengalaman atau fenomena yang sama. Fokus dari penelitian ini adalah deskripsi mengenai kesamaan-kesamaan yang dimiliki oleh informan di dalam pengalamannya (Creswell, 2007)


(48)

B. FOKUS PENELITIAN

Fokus dari penelitian ini adalah memahami bagaimana persepsi dukungan sosial menurut kaum homoseksual dilihat dari macam dukungan sosial yang ada. Selain itu fokus penelitian ini juga untuk memahami bagaimana kaum homoseksual mempersepsi dukungan sosial yang diberikan oleh teman, keluarga, komunitas dan lingkungan sosial lainnya.

C. INFORMAN PENELITIAN

Informan dalam penelitian fenomenologi merupakan individual atau sekelompok orang yang mengalami fenomena yang sama. Penggunaan metode ini dimaksudkan untuk mencari informasi terbaik yang terkait dengan pencapaian tujuan penelitian sehingga peneliti mencari informan yang dianggap memiliki informasi yang dibutuhkan (Widi, 2010). Oleh karena itu, informan dalam penelitian ini harus memenuhi kriteria sebagai berikut,:

1. Memiliki orientasi seksual sejenis atau homoseksual (gay dan lesbian)

2. Berusia minimal 18 tahun atau minimal fase dewasa muda.

3. Terbuka mengenai orientasi seksualnya, minimal kepada orang terdekat.

Individu yang ditindaklanjuti sebagai informan penelitian dipilih berdasarkan tujuan penelitian yang akan mengungkapkan persepsi mengenai perilaku dukungan sosial. Peneliti mengenal dengan baik beberapa informan,


(49)

31

sedangkan informan yang lain merupakan teman dari informan yang dikenal peneliti.

D. PROSEDUR PENELITIAN

Prosedur penelitian merupakan tahap-tahap yang dilakukan oleh peneliti dalam melakukan penelitian ini. Tahapan tersebut adalah,

1. Mengumpulkan data yang berkaitan dengan topik penelitian yaitu homoseksual, persepsi dan dukungan sosial. Data dikumpulkan dari buku, jurnal, artikel serta informasi-informasi terkait yang bisa ditemukan di internet.

2. Peneliti menentukan karakteristik informan penelitian dan menentukan individu yang akan menjadi informan di dalam penelitian ini.

3. Peneliti bertemu dengan informan dan membangun rapport kepada informan. Di dalam tahap ini, informan juga menanyakan kesediaan informan untuk menjadi informan dalam penelitian ini.

4. Menyusun panduan pertanyaan yang akan digunakan sebagai dasar dalam melakukan wawancara.

5. Menghubungi informan penelitian mengenai waktu dan tempat pengambilan data atau wawancara. Waktu dan tempat ini disepakati oleh peneliti dan informan sehingga informan merasa nyaman ketika melakukan wawancara.

6. Sebelum melakukan wawancara, peneliti kembali menanyakan kesediaan informan untuk menjadi informan di dalam penelitian ini dengan


(50)

menandatangani lembar informed consent yang berisi proses pengambilan data, efek yang akan didapatkan oleh informan, dan hak-hak yang bisa didapatkan informan ketika melakukan proses wawancara ini.

7. Setelah melakukan wawancara, peneliti membuat verbatim dari hasil wawancara yang diperoleh dengan bantuan sound recorder. Peneliti juga membuat kode-kode dan keterangan kode pada hasil verbatim tersebut 8. Melakukan analisis data sesuai dengan metode yang sudah ditentukan.

Tahap ini diawasi dan dikoreksi oleh dosen pembimbing sehingga tercapai maksud dan tujuan dari penelitian ini.

9. Hasil data yang sudah dikonsultasikan dengan dosen pembimbing lalu ditarik kesimpulannya. Dari situ juga didapatkan saran bagi masyarakat dan peneliti lain sesuai dengan hasil penelitian.

E. METODE PENGUMPULAN DATA

1. Wawancara

Wawancara merupakan percakapan antara dua orang dimana satu pihak berusaha mengarahkan pembicaraan untuk memperoleh informasi yang dipergunakan dalam tujuan tertentu (Gorden dalam Herdiansyah, 2013). Dalam konteks penelitian kualitatif, wawancara dapat didefinisikan sebagai proses interaksi yang dilakukan oleh dua orang orang atau lebih di setting alami, dimana orang tersebut bersedia dan


(51)

33

saling percaya untuk melakukan pembicaraan yang mengacu pada suatu tujuan yang telah ditetapkan (Herdiansyah, 2013)

Peneliti melakukan teknik wawancara yang bersifat semi terstruktur dengan panduan pertanyaan yang bersifat terbuka sehingga data yang didapatkan mendalam dan tidak terbatas. Hal ini juga dilakukan agar informan tidak merasa ditekan ketika dilakukan wawancara. Sebelum melakukan wawancara, peneliti menyusun panduan wawancara yang akan digunakan untuk membantu mengumpulkan data.

Tabel 1

Panduan Pertanyaan

Panduan Pertanyaan 1. Jenis perilaku dukungan sosial

- Perilaku seperti apa yang anda anggap sebagai dukungan sosial terhadap orientasi seksual anda?

- Mengapa perilaku tersebut anda persepsi sebagai dukungan sosial?

- Perilaku dukungan sosial seperti apa yang anda harapkan? 2. Pelaku pemberi dukungan sosial

- Siapa yang biasa memberikan dukungan sosial seperti itu? - Bagaimana bila perilaku tersebut diberikan oleh orang lain?


(52)

Daftar pertanyaan di atas hanya digunakan sebagai panduan wawancara. Dalam kenyataannya di lapangan saat pengambilan data, pertanyaan yang diajukan oleh peneliti bersifat mengalir dan tidak terlalu mengacu kepada pertanyaan-pertanyaan di atas.

Dalam mengambil data, peneliti menggunakan alat perakam sebagai alat bantu. Alat perekam digunakan agar tidak ada hasil wawancara yang terlewatkan atau hilang sehingga terjaga keutuhan hasil data. Selain itu alat perekam digunakan agar peneliti berkonsentrasi penuh pada proses wawancara. Dalam penggunannya, alat perekam akan digunakan ketika sudah mendapatkan ijin dari responden.

F. ANALISIS DATA

Analisis data menurut Creswell (2012) dilakukan melalui beberapa tahap yaitu,

1. Mengolah dan mempersiapkan data untuk dianalisis. Mengolah dan mempersiapkan data untuk dianalisis ini diwujudkan dengan melibatkan panduan wawancara, scanning hasil data, mengetik data lapangan dalam bentuk verbatim, memilah dan menyusun data ke dalam jenis yang berbeda tergantung pada informan penelitian.

2. Membaca keseluruhan data. Dalam tahap ini, peneliti membuat tema umum atas hasil verbatim yang diperoleh dari hasil wawancara dengan informan. Peneliti lalu menuliskan catatan-catatan khusus atau gagasan-gagasan umum tentang hasil data yang diperoleh.


(53)

35

3. Menganalisis data lebih rinci dengan melakukan koding data. Koding sendiri merupakan proses mengolah materi atau informasi menjadi segmen-segmen tertulis sebelum memaknainya (Rossman & Rallis dalam Sarafino, 2012). Pada penelitian ini, peneliti mengkombinasikan jenis kode emerging dan kode predetermined dimana koding sudah ditetapkan sebelumnya dengan menggunakan teori, namun tidak menutup kemungkinan adanya koding baru ketika hasil data bervariasi. Koding yang digunakan pada penelitian ini, bisa digambarkan sebagai berikut,

Tabel 2 Keterangan Koding

KODE KETERANGAN

A - S1 - S2 - S3 - S4 Dukungan Emosional

- Diberikan oleh keluarga - Diberikan oleh teman

- Diberikan oleh homoseksual lain - Diberikan oleh orang yang tidak

begitu dikenal B - S1 - S2 - S3 - S4 Dukungan Instrumental - Diberikan oleh keluarga - Diberikan oleh teman

- Diberikan oleh homoseksual lain - Diberikan oleh orang yang tidak


(54)

C - S1 - S2 - S3 - S4 Dukungan Informasi

- Diberikan oleh keluarga - Diberikan oleh teman

- Diberikan oleh homoseksual lain - Diberikan oleh orang yang tidak

begitu dikenal D - S1 - S2 - S3 - S4 Dukungan Pertemanan

- Diberikan oleh keluarga - Diberikan oleh teman

- Diberikan oleh homoseksual lain - Diberikan oleh orang yang tidak

begitu dikenal E - S1 - S2 - S3 - S4

Jenis dukungan lain

- Diberikan oleh keluarga - Diberikan oleh teman

- Diberikan oleh homoseksual lain - Diberikan oleh orang yang tidak

begitu dikenal

Jenis dukungan lain merupakan unsur tambahan jika perilaku dukungan sosial yang dimaksud subjek tidak bisa dimasukkan ke dalam keempat jenis dukungan sosial.

4. Koding digunakan untuk menetapkan sejumlah tema atau kategori yang akan dianalisis dan diinterpretasi lebih dalam dalam bentuk deskripsi umum. Tema-tema ini yang biasanya akan menjadi hasil penelitian di dalam suatu penelitian


(55)

37

G.UJI KEABSAHAN DATA

Untuk menetapkan keabsahan data, diperlukan teknik pemeriksaan. Uji keabsahan data yang digunakan peneliti, antara lain adalah member checking. Member checking dilakukan dengan mengecek kembali data yang sudah diberikan oleh informan dengan cara menunjukkan hasil akhir penelitian kepada informan (Creswell, 2007). Hal ini bertujuan untuk mengecek apakah hasil penelitian sudah sesuai dengan data yang diperoleh dari informan. Jika data sudah disetujui oleh informan, maka hasil penelitian bisa dinyatakan valid.


(56)

38

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. PROSES PENGAMBILAN DATA 1. Proses Penelitian

Dalam penelitian ini, informan yang menjadi responden berjumlah empat orang yang memiliki orientasi seksual sejenis, yaitu dua orang gay dan dua orang lesbian. Keempat informan memiliki usia di atas 18 tahun dan sudah mengakui orientasi seksualnya, minimal kepada orang-orang terdekatnya.

Sebelum melakukan wawancara pengambilan data terhadap informan, peneliti menjelaskan secara singkat mengenai maksud dan tujuan dari wawancara. Selain itu peneliti juga menanyakan kesediaan informan untuk menjadi responden dalam penelitian ini (informed concent). Setelah para informan yang dipilih peneliti untuk menjadi responden menyatakan kesediaannya, maka peneliti membuat janji kepada informan untuk melakukan proses wawancara. Proses wawancara dilakukan di beberapa tempat yang berbeda sesuai dengan kesepakatan antara peneliti dan informan. Hasil wawancara direkam dengan menggunakan aplikasi sound recorder di handphone peneliti, setelah sebelumnya meminta ijin terlebih dahulu. Peneliti menjelaskan bahwa hasil wawancara bersifat rahasia dan hanya dapat dilihat oleh beberapa orang yang berkepentingan di dalam penelitian ini.


(57)

39

Hasil wawancara didengarkan dengan seksama oleh peneliti dan disalin secara lengkap dalam bentuk verbatim. Hal ini berfungsi agar data yang diperoleh dari informan tidak berubah dan sesuai dengan maksud informan.

Peneliti mencari makna dari tabel verbatim sesuai dengan persepsi dukungan sosial dari informan. Makna tersebut dibahas dan disimpulkan sehingga peneliti akan mendapatkan bagaimana persepsi dukungan sosial menurut para informan.

2. Proses Pengambilan Data

Proses pengambilan data dilakukan secara individual pada waktu dan tempat yang sudah disepakati oleh peneliti dan informan. Hal ini menyebabkan waktu dan tempat pengambilan data berbeda-beda bagi masing-masing informan. Sebelum dimulai wawancara, peneliti menjelaskan kembali mengenai kesediaan informan sebagai responden penelitian serta mengenai penggunaan alat perekam sebagai alat bantu pengambilan data (informed consent). Jika informan sudah menyetujuinya, lalu proses wawancara dimulai.


(58)

Tabel 3

Jadwal Pengambilan Data

No Informan Hari, tanggal, jam

Tempat pengambilan data

1. S1 Minggu, 19 Oktober 2014,

19.38 – 19.50 WIB

Minggu, 26 Oktober 2014, 20.45 – 21.10 WIB

Selasa, 18 November 2014 21.37 – 22.00 WIB

Kedai Kopi

District café

Aniayya Resto

2. S2 Minggu, 26 Oktober 2014,

20.20 – 20.45 WIB

Senin, 24 November 2014, 21.00 – 21.18 WIB

District café

District cafe

3. S3 Senin, 27 Oktober 2014,

11.35 – 11.58 WIB Rabu, 3 Desember 2014, 13.55 – 14.40 WIB

Perpustakaan

Perpustakaan

4. S4 Senin, 29 Desember 2014,

14.02 – 14.25 WIB


(59)

41

3. Identitas Informan

Tabel 4 Identitas Informan

Informan 1 Informan 2 Informan 3 Informan 4

Inisial P A R T

Jenis kelamin Perempuan Perempuan Laki-laki Laki-laki

Tanggal lahir 28 April 1992 22 Maret 1993 20 April 1994 5 Juli 1990

Usia 22 21 20 24

Pendidikan terakhir SMA SMA SMA SMA

Pekerjaan Mahasiswi Karyawan swasta Mahasiswa Karyawan Swasta

Urutan kelahiran Anak ke 2 dari 3

bersaudara

Anak ke 2 dari 2 bersaudara

Anak ke 2 dari 5 bersaudara

Anak ke 1 dari 2 bersaudara

Mempublikasikan orientasi seksual

Mempublikasikan kepada teman

Mempublikasikan kepada teman

Mempublikasikan hanya kepada teman dekat

Mempublikasikan kepada semua orang


(60)

42

Inisial Ayah D P (Alm) THN Y

Usia ayah 54 - 55 50

Pendidikan terakhir ayah SMA SMA SMA SMA

Pekerjaan ayah POLRI Karyawan swasta Wiraswasta PNS

Inisial Ibu SH S (Alm) LE I

Usia ibu 53 - 44 48

Pendidikan terakhir ibu D3 S1 SMP SMA

Pekerjaan ibu Karyawan swasta Dosen Ibu rumah tangga Ibu rumah tangga

Anak Pertama V G TP T (informan)

Jenis kelamin Perempuan Laki-laki Laki-laki Laki-laki

Usia 28 26 24 24

Pekerjaan Karyawan swasta Karyawan Swasta Guru Karyawan swasta

Anak kedua P (informan) A (informan) R (informan) S

Jenis kelamin Perempuan Perempuan Laki-laki Perempuan

Usia 22 21 21 22


(61)

43

Anak ketiga M - J -

Jenis kelamin Perempuan - Perempuan -

Usia 15 - 18 -

Pekerjaan Pelajar SMP - Mahasiswi -

Anak keempat - - GG -

Jenis kelamin - - Perempuan -

Usia - - 14 -

Pekerjaan - - Pelajar SMP -

Anak kelima - - DM -

Jenis kelamin - - Perempuan -

Usia - - 11 -


(62)

B. HASIL PENELITIAN

1. Latar Belakang Informan

Informan 1 adalah seorang perempuan beusia 22 tahun. Informan menyadari orientasi seksual sejenisnya ketika informan duduk di kelas satu SMA. Saat itu informan merasa bahwa hal itu tidak baik sehingga ia mencoba berpacaran dengan lawan jenis. Hal tersebut tidak berlangsung lama, ketika kelas 2 SMA, informan memutuskan bahwa dirinya menyukai perempuan. Hal ini dibuktikan dengan informan yang berpacaran dengan sahabat sekelasnya yang berjenis kelamin perempuan di SMA. Mengenai orientasi seksualnya, informan mulai terbuka terhadap temannya ketika mulai berkuliah. Selain teman-temannya, beberapa anggota keluarga informan juga mengetahui tentang orientasi seksual informan yang sejenis. Menurut informan, tanggapan keluarga terhadap orientasi seksual informan tidak melarang, namun juga tidak mendukung. Tanggapan keluarga informan adalah membiarkan dan tidak mencampuri masalah hubungan romantis informan.

Informan 2 adalah seorang perempuan berusia 21 tahun yang bekerja sebagai karyawan swasta. Informan menyadari orientasi seksual sejenisnya ketika informan duduk di bangku SMA. Hal ini dibuktikan dengan informan berpacaran dengan seorang perempuan ketika masa itu. Informan sempat memiliki keinginan untuk berpacaran dengan laki-laki setelah informan memutuskan hubungan dengan pacar pertamanya. Setelah dekat dengan laki-laki, informan kembali berpacaran dengan


(63)

45

perempuan. Informan menyatakan bahwa hati informan tidak mau berpacaran dengan laki-laki dan karena informan menganggap bahwa tidak ada laki-laki yang peka.

Informan 3 adalah seorang laki-laki yang berstatus mahasiswa di salah satu universitas swasta di Yogyakarta. Informan mengaku bahwa hanya teman-teman terdekatnya saja yang mengetahui mengenai orientasi seksual sejenisnya. Hal ini disebabkan karena informan memiliki ketakutan bahwa orang-orang akan berubah dan menghakiminya ketika dia mengungkapkan mengenai orientasi seksual sejenisnya. Informan juga memiliki ketakutan bahwa teman-temannya akan menjauhi dia karena orientasi seksual sejenisnya. Informan menyadari orientasi seksual sejenisnya ketika informan duduk di bangku SMP, namun mulai memiliki relasi dengan lelaki lain ketika informan kuliah.

Informan keempat adalah seorang laki-laki yang berusia 24 tahun. Informan bekerja sebagai karyawan swasta yang memiliki jabatan di bidang marketing dan relasi perusahaan. Informan lebih memilih berelasi romantis dengan laki-laki dibandingkan dengan perempuan karena informan merasa bahwa berpacaran dengan perempuan merepotkan dan membingungkan. Informan sudah terbuka mengenai orientasi seksual sejenisnya kepada teman dekatnya ketika SMA. Informan lalu terbuka kepada keluarganya pada tahun 2012.


(64)

2. Persepsi Dukungan Sosial menurut Informan a. Informan 1

Dukungan sosial yang bersifat emosional secara umum menurut informan meliputi perilaku tidak dianggap jijik dan menular orientasi seksual sejenisnya (S1.W1.B51-52) serta dihormati pilihannya sebagai homoseksual (S1.W1.B54-55). Informan juga menganggap bahwa dirinya didukung ketika orientasinya tidak dipandang sebagai abnormalitas (S1.W1.B45, W2.B7). Perilaku lain yang dianggap informan sebagai dukungan adalah ketika dirinya tidak dipandang dengan ekspresi jijik, risih, dan penuh ketidaksukaan (S1.W2.B11). Tatapan yang dipandang mendukung ialah pandangan mata yang tidak tajam yang menurut informan tanpa perasaan jijik di dalamnya (S1.W3.B5-7), serta ada kontak mata ketika sedang bercerita yang menurut informan merupakan suatu bentuk penghormatan (S1.W1.B16, W3.B14-18). Informan juga menganggap bahwa ketika informan disapa (S1.W3.B8-9) dan diberi senyuman (S1.W3.B8), informan merasa terdukung secara emosional. Bentuk dukungan lain menurut informan adalah ketika orang lain menerima dan mendukung orientasi seksual sejenisnya (S1.W2.B76-77). Hal ini bisa ditunjukkan dengan perilaku tidak dihakimi (S1.W2.B56-57, B58-59, B62-64), disindir dan dihina orientasi seksual sejenisnya (S1.W2.B58-59, W3.B120-124) dan berteman yang biasa saja (S1.W1.B13, W2.B17). Berteman yang biasa saja menurut informan


(65)

47

adalah yang tidak diperlakukan berbeda dengan teman yang lain yang memiliki orientasi heteroseksual (S1.W1.B18-19, W3. B113).

Dukungan sosial emosional dari teman dekatnya antara lain adalah perilaku tidak disindir ketika bercanda dengan teman (S1.W1.B28-29). Hal ini dianggap informan sebagai dukungan khususnya ketika menyangkut masalah aktivitas seksual, dimana informan merasa terdukung ketika teman tidak menyinggungnya dalam konteks aktivitas seksual sesama jenis (S1.W3.B48-55). Perilaku menyinggung aktivitas seksualnya hanya bisa dilakukan oleh teman, karena informan menganggap bahwa orang yang tidak begitu dekat dengan informan memiliki perasaan sungkan untuk melakukan hal tersebut (S1.W3.B57-59). Informan menganggap bahwa teman seharusnya sudah tahu sehingga informan merasa sedang menghina, sedangkan orang yang tidak begitu dikenal dianggap tidak tahu dan sedang mencari tahu (S1.W3.B73-78). Selain itu informan juga merasa didukung oleh teman ketika temannya menghormati pilihannya sebagai homoseksual

(S1.W2.B19-20) dan diutamakan kenyamannya sebagai

homoseksual (S1.W2.B24-26). Informan didukung ketika orang lain tetap menganggap teman tanpa melihat orientasi seksualnya (S1.W1.B55-56, W2.B26)

Dukungan sosial emosional dari keluarga antara lain adalah ketika informan diterima oleh keluarga meskipun pacarnya memiliki


(1)

162 86

87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104

Ada. Pasti ada. Kayak kalau hal-hal kecil aku nggak mempermasalahkan, masalah bully an kaya, ah lu demen tu kalo cowo2 kaya gitu lu demen tu. Sebenernya kalo gitu aku nggak masalah kalo yang kayak gitu. Cuma kalau dalam kasus2 besar kaya, aku sahabatan punya temen dari jaman SMP cuma setelah kita besar, umur kita udah lebih dari 22 tahun, dia tau aku gay, dan dia nggak mau temenan lagi.

Di saat apa kamu paling membutuhkan dukungan dari orang2 di sekitar kamu?

ee… waktu mau ngakuin ke orang tua sih. Itu berat banget sih. Jadi butuh dukungan. Dukungannya adalah, mereka kasih2 support gitu. Ya mereka make sure, lo yakin lo mau coming out ke keluarga, apalagi ke nyokab lo. Apalagi keluarga lo tu seperti itu. Jawabannya tu ntar nyokab lo bakal tetep nganggep lo anak atau lo bakal diusir dari keluarga. Cuman.. yaudah. Itu sih bentuk dukungan paling ini dari sahabat2 aku. Sampe akhirnya aku bisa coming out.

Selain tante dan nyokab, ada anggota keluarga lain nggak yang tau dan mendukung?

Diberikan semangat ketika menghadapi masa-masa sulit


(2)

163 105

106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123

Nggak ada sih sejauh ini. Soalnya. Nggak pernah ngebahas kalau di luar tante dan nyokab nggak pernah ngebahas. Cuma kalo kayak adek aku.. ya dia tau sih. Tapi kalo siapapun membahas itu, dia langsung ganti topik.

Nah menurutmu, respon adekmu itu merupakan dukungan, nggak?

Nggak sih. Itu bukan suatu dukungan sih. Tapi ya balik lagi, mereka ya yang ya sudahlah. Yang udah sama2 gede, udah sama2 dewasa, ambil keputusan hidupnya masing2.

Terus kalo dari temen2 gay, ada nggak dukungan yang kamu rasakan?

Pastilah, pastilah. Kita saling dukung ya pastinya. Misalnya temenku yang tau ya kalo aku coming out ke keluarga dan dia pingin gitu juga, ya aku sih ngasih masukan. Itu sih kan tergantung pribadinya, tergantung background keluarganya, kalo keluarga lo masih mau menjaga nama keluarga lo atau, atau banyak ee alasan2 lain, ya lo kudu berpikir dua kali. Selain itu ya pastinya yang aku rasain ya saling cerita, saling curhat kali ya.

Terus ada nggak jenis dukungan lain selain dukungan

Dibiarkan untuk menjadi homoseksual oleh keluarga

Diberi masukan oleh teman sesama homoseksual ketika ada masalah

Saling bercerita dan mencurahkan isi hati kepada teman sesama homoseksual

E.nv.s2

C.v.s3


(3)

164 124

125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142

emosional yang kamu rasakan?

Sebenernya nggak ada sih. Kalo kayak dukungan materi, dukungan apa, nggak ada sih. Ya balik lagi kita ini manusia, kita ini bekerja buat making money buat kehidupan sendiri. Bukan berarti karena aku gay aku bergantung pada orang, ya nggak. Kalo dukungan yang lain, bentuk materi atau apa, ngga ada sih selama ini.

Ada nggak dukungan dari temen?

Oohh, ada. Temen2 deket, temen2 main. Karena tiap hari ketemu ya pastinya ada. Kerjaanku bukan kerjaan kantoran gitu jadi pasti ada. Ditemenin atau apa gitu pasti ada.

Menurutmu dukungan yang sudah kamu terima ini sudah terpenuhi belum?

Udah sih. Aku nggak merasa butuh dukungan lagi kok dari orang lain. Sama sekali nggak. Bahkan dukungan yang aku terima ini sebenernya udah lebih dari cukup. Dukungan emosional ini dalam bentuk penerimaan aku, penerimaan mereka dengan adanya orang seperti aku ini menurutku udah lebih dari cukup.

Ekspektasimu beda nggak sih tentang pemberian dukungan

Bertemu dan ditemani oleh teman-teman dekat.

Diterima meskipun homoseksual

D.nv.s1


(4)

165 143

144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 157 158 159 160 161 162 163 164

dari temen atau dari keluarga? Maksudnya kamu berharap temen lebih bisa mendukung kamu daripada keluarga atau gimana?

Sama, semuanya sama. Temen aku, nyokab aku menurutku semuanya sama. Semuanya yang kenal aku, mereka udah mau menerima aku, meskipun itu penerimaan yang fake yang basa-basi, kadang kita butuh yang kayak gitu kan ya. Itu udah sangat, sangat cukup, sangat terpenuhi banget. Aku butuh orang baik sama aku, orang menerima aku. Even cuma senyum doang.

Misalnya ada stranger yang tau kamu gay, apa yang kamu harapkan?

Aku tipenya, kalo aku kenalan sama orang, daripada dia bertanya2, aku langsung bilang, iya aku gay gitu. Kita punya attitude kita yang bisa keliatan. Ya biar dia tau aja. Misalnya dia temennya temen, kita ketemu dimana. ya daripada dia bertanya2 ya mending langsung aku bilang aja, gue gay lo. Biar dia lebih nyaman aja. Kalo dia gak nyaman ya itu masalah lo sendiri. Kalo masih mau temenan ya ayo, kalo gak yaudah.

Kamu punya harapan gak ke orang stranger itu?

Diterima meskipun penerimaan tersebut hanya basa-basi


(5)

166 165

166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181 182 183

Ya harapannya ya dia lebih bisa menerima, lebih respect lah ke kita karena kita udah bisa jujur ke orang itu kalo kita gay. Maksudnya harapannya sih ya, yaa pingin nambah temen aja kalo dia bisa nerima.

Selama ini, ada manfaatnya nggak dukungan sosial yang udah kamu dapetin?

Ee manfaat sebenernya, apa ya, ya punya temen banyak, even mereka tau aku gay. Aku nggak tau itu bisa disebut manfaat atau nggak, tapi kalo ada yang tanya, (nama) yang mana? Oh (nama) yang gay. Mudah dikenali aja

Ketika orang bisa memberikan dukungan ke kamu, apasih yang kamu rasain?

Seneng sih, aku seneng dan kita bisa, ngerasa dihargai, aku juga harus bisa ngasih apresiasi ke orang itu dengan ngehargain balik orang itu. Misalnya orang itu cowo, ya aku gakbisa sembarangan gitu.

Pemberi duk sos paling banyak dari siapa?

Dari temen.. lebih banyak dari keluarga sendiri. Kalo mama sih lebih sekedar yang, gimana? Pacaran sama siapa sekarang? Kalo

Diterima orientasi seksualnya Dihormati orientasi seksualnya

A.nv A.nv


(6)

167 184

185 186 187 188 189 190 191 192 193 194 195 196 197 198

sama temen kan lebih mengerucut, lebih detail

Perkataan mama yang kaya gitu itu dukungan bukan?

Dukungan sih, mama aku selalu mendukung, selalu tau pacar aku siapa. Loh kenapa gak sama ini lagi? Iya mah putus. Oh yaudah jangan berantem2, selalu bina hubungan silaturahmu yang baik.

Apa itu duksos menurutmu?

Penerimaan dari orang lain. Udah itu doang. Menurutku ya. Penerimaan itu udah lebih dari cukup. Bukan dukungan yang bikin2 suatu organisasi yang memelegalkan pernikahan gay. Itu dukungan sih, tapi aku pribadi gak terlalu meluas kesana. Cuma ya ada sih bentuk dukungan di sana tapi yaa. Menurutku sih penerimaan. Bentuk penerimaan masyarakat ke orang2 speerti aku, kami dihargai, nggak dikotak2an udah bentuk dukungan yang bagus. Udah diterima aja, yaa.. masalah gay di Indonesia kan penerimaan. Masalah lu bisa diterima gak.

Ditanyai mengenai pasangan oleh keluarga (mama).

Diberi nasehat mengenai relasi oleh keluarga (mama)

Diterima, tidak didiskriminasi, dihargai oleh masyarakat

A.v.s2

C.v.s2