Hubungan dukungan sosial dengan Coping stres homoseksual di Jakarta

(1)

Oleh:

ANDI SUTANDI 106070002213

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

ii Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi

Oleh : ANDI SUTANDI NIM : 106070002213

Di Bawah Bimbingan :

Pembimbing I Pembimbing II

Neneng Tati Sumiati, M.Si, Psi Yufi Adriani, M.Psi NIP. 19730328 200003 203 NIP. 19820918 200901 2 000

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(3)

iii

HOMOSEKSUAL DI JAKARTA” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 7 Februari 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana psikologi.

Jakarta, 7 Februari 2011 Sidang Munaqasyah

Dekan/ Pembantu Dekan/

Ketua merangkap Anggota Sekretaris merangkap Anggota

Jahja Umar, Ph.D Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si

NIP.130 885 522 NIP.19561223 198303 2001

Anggota

Ikhwan Lutfi, M. Psi Neneng Tati Sumiati, M.Si.,Psi NIP. 19730710 200501 1 006 NIP. 19730328 200003 203

Yufi Adriani, M.Psi NIP. 19820918 200901 2 000


(4)

iv

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, Nama : Andi Sutandi

NIM : 106070002213

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul“Hubungan Dukungan Sosial dengan Coping Stres Homoseksual di Jakarta” adalah benar merupakan karya saya dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam penyusunan skripsi tersebut. Adapun kutipan-kutipan yang ada dalam penyusunan skripsi ini telah saya cantumkan sumber pengutipannya dalam daftar pustaka.

Saya bersedia untuk melakukan proses yang semestinya sesuai dengan Undang-Undang jika ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau jiplakan dari karya orang lain

Demikian pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan dengan sebaik-baiknya.

Jakarta, 7 Februari 2011 Yang Menyatakan

Andi Sutandi


(5)

v

My life is meaningful if we

share together…”

PERSEMBAHAN :

Skripsi ini saya persembahkan untuk kedua orang tua saya,

Bapak Endang & Ibu Nani yang menyayangi saya dengan sepenuh

hati serta selalu mendoakan saya dalam kebaikan.


(6)

vi

B) 7 Februari 2011 C) Andi Sutandi

D) Hubungan Dukungan Sosial dengan Coping Stres Homoseksual di Jakarta E) Jumlah halaman i-xvii halaman + 154 Halaman (belum termasuk lampiran) F) Penelitian ini membahas masalah homoseksualitas yaitu jenis Gay.

Homoseksual menurut kamus psikologi adalah daya tarik terhadap individu dari jenis kelamin yang sama. Penelitian ini membahas mengenai hubungan dukungan sosial dengan coping stres yang dikhususkan kepada positif coping homoseksual di Jakarta. Dukungan sosial menjadi faktor penting yang dapat membuat individu khususnya homoseksual dapat mengatasi stres yang timbul karena masalah eksternal maupun internal yang ada sepanjang rentang kehidupan mereka.

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif, kuantitatif, dan metode penelitian korelasional. Teknik sampling yang digunakan adalah non probability sampling yaitu purposive sampling. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah gay berusia sekitar 18-22 tahun, sebanyak 31 orang, berdomisili di Jakarta dan pernah menjalin hubungan sesama jenis. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah kuesioner, yaitu skala dukungan sosial terdapat 30 item valid dan skala coping stress 31 item valid. Hasil penelitian ini memiliki koefisien korelasi 0,00 yang artinya ada hubungan yang signifikan antara dukungan sosial dengan coping stres pada homoseksual di Jakarta.

Hasil penelitian ini adalah terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan sosial dengan coping stres pada homoseksual di Jakarta (sig.0.000 KD = 33,3%). Artinya dukungan sosial pada homoseksual di Jakarta berhubungan secara signifikan dengan coping stres homoseksual tersebut dan variabel dukungan sosial mempengaruhi variabel coping stres sebesar 33,3%. Dari hasil penelitian untuk dimensi dukungan emosional (IV1), dukungan

Instrumental (IV2), dukungan penghargaan (IV3), dukungan informatif (IV4) ,

didapat kelas dukungan sosial tertinggi yaitu dukungan instrumental dan dukungan informatif (48,4%), dan kelas dukungan sosial terendah adalah

dukungan penghargaan dan dukungan informatif(19,3%), dan untuk dimensi menceritakan dan menuliskan masalah (Y1), menemukan hikmah dari

masalah (Y2), mengambil respon positif ketika kehilangan (Y3), mencari

kebermaknaan hidup (Y4), humor (Y5), meditasi (Y6), kerohanian (Y7) di

dapat dua kelas coping stres tertinggi menemukan hikmah dari masalah

(64,5%) dan mencari kebermaknaan hidup (41,9%), dua kelas coping stres terendah menceritakan dan menuliskan masalah dan humor (19,4%), dan


(7)

vii

dengan coping humor, antara dukungan emosional dengan coping meditasi, antara dukungan informatif dengan coping meditasi, antara dukungan emosional dengan coping kerohanian, dan antara dukungan penghargaan dengan coping kerohanian pada homoseksual di Jakarta.

Mengingat pentingnya peran dukungan sosial bagi kehidupan homoseksual, sudah sepantasnya kaum heteroseksual mampu memberikan dukungan yang baik dan bijak, dan juga diharapkan melalui dukungan sosial yang diberikan, kaum homoseksual dapat kembali kepada jalan hidup sebagai heteroseksual. Dari hasil penelitian ini juga dapat dilihat semua sampel penelitian adalah homoseksual yang pernah menjalin hubungan dengan sesama jenis dengan mayoritas responden menjalin hubungan sesama homoseksual sebanyak lebih dari tiga kali, dan mayoritas responden pun sudah berada dalam komunitas dalam rentangan lebih dari lima tahun, maka dapat disimpulkan homoseksual yang menjadi responden penelitian ini adalah homoseksual yang sudah terjun ke dalam status homoseksualnya sejak lama dan akan sulit bagi mereka untuk kembali ke jalan heteroseksual jika dibiarkan berlarut-larut. Jika dilihat rendahnya coping menceritakan dan menuliskan masalah, humor serta kerohanian maka diharapkan hendaknya lingkungan terdekat homoseksual itu sendiri memberikan dukungan sosial yang tepat agar ketiga coping terendah tersebut khususnya coping kerohanian dapat lebih dilakukan oleh kaum homoseksual sehingga dengan coping tersebut khususnya coping kerohanian kaum homoseksual itu sendiri dapat lebih mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga mereka dapat diharapkan kembali kepada lingkungan sebagai heteroseksual sebagaimana mestinya.


(8)

viii

B) February 7 , 2011 C) Andi Sutandi

D) Relationship between Social Support with Coping Stress on Homosexuals in Jakarta. (Hubungan Dukungan Sosial dengan Coping Stres Homoseksual di Jakarta)

E) Number of pages i-xvii pages + 154 pages (not include attachments)

F) This study discusses the problem of homosexuality that is kind Gay. Gay, according to the dictionary of psychology is the appeal to individuals of the same gender. This study discusses the relationship of social support with stress coping which is devoted to the positive coping homosexuals in Jakarta. Social support is an important factor that can make individuals, especially homosexual can overcome the stress arising from external and internal problems that exist throughout their life span.

This research is descriptive research, quantitative and correlational research methods. The sampling technique used was non-probability sampling, name purposive sampling. The sample used in this study were approximately 18-22 years old gay, as many as 31 peoples, based in Jakarta and had same sex relationships. Data collection techniques used was questionnaires, which scale contained of social support was 30 items valid and stress coping scale was 31 items valid. The result of this study is, there was a significant correlation between social supports with coping stress on homosexuals in Jakarta because a result of correlation coefficient is 0.000.

The result of this study is, there was a significant correlation between social support with coping stress on homosexuals in Jakarta (sig.0.000 KD = 33,3%). It’s means that the social support on homosexuals in Jakarta is significantly associated with homosexual stress coping and social support variables influencing stress coping variables of 33.3%. From the research to the dimensions of emotional support (IV1), instrumental support (IV2), support award (IV3), and informational support (IV4), obtained the highest grade of social support namely instrumental support and informational support (48.4%), and lowest class is support award (IV3) and informational support (19.3%), and for the dimension of share and write the problem (Y1), find the wisdom of the problem (Y2), taking a positive response when losing (Y3), seek meaningfulness of life (Y4), humor (Y5), meditation (Y6),


(9)

ix

relationship between emotional support and taking a positive response when losing’s coping, between emotional support and humor’s coping, between support award and humor’s coping, between informational support and humor’s coping, between emotional support and meditation’s coping, between informational support and meditation’s coping, between emotional support and spirituality’s coping, and between support award and spirituality’s coping on homosexuals in Jakarta.

Given the important role of social support for homosexual life, it is appropriate that the heterosexuals are able to provide good support and wise, and also expected through the social support provided, homosexuals can go back to the way of life as a heterosexuals. From the results of this study also can be seen that all the research sample is a homosexual who had relationship with same-sex with majority of respondents fellow homosexual relationship by more than three times, and already in the community in a span of more than five years, so it can be concluded that a homosexual whose be a homosexual respondents of this research has been plunged into a homosexual status for a long time and it would be difficult for them to return to the right road if they left a heterosexual way. If seen from the lowest coping; share and write the problem, humor, and spirituality, it is expected that the nearest environment homosexual providing appropriate social support, so the third lowest of coping stress particularly spiritually coping, can more be done by homosexuals, so with these coping, homosexuals can get closer to God so they can return to the environment as heterosexuals as they should.


(10)

x

kemudahan, kelancaran, dan kekuatan yang telah diberikan kepada penulis, dan salam kepada Nabi besar junjungan kita Muhammad SAW, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sesuai dengan yang diharapkan.

Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Skripsi ini diselesaikan dengan judul“Hubungan Dukungan Sosial dengan Coping Stres Homoseksual di Jakarta”. Inti dari skripsi ini adalah untuk memperoleh gambaran akan hubungan dukungan sosial dengan coping stres pada homoseksual di Jakarta.

Selesainya skripsi ini juga tidak lepas dari bantuan dan bimbingan orang-orang di sekitar penulis. Maka dari itu penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :

1. Kedua orang tua penulis yaitu bapak Endang Adi dan mama Nani Parida serta kedua adik penulis Dewi Puspita dan Riki Junaedi yang dengan penuh kasih sayang, perhatian, dan pengorbanannya telah berdoa, membantu, memberi semangat dan membimbing penulis dalam proses menyelesaikan skripsi ini. Tanpa adanya doa, bimbingan dan dukungan dari mereka, penulis tidak akan mampu menyelesaikan semua ini,

2. Jahja Umar, Ph.D, Dekan Fakultas Psikologi, Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si, Pembantu Dekan I, beserta seluruh jajaran dekanat lainnya, yang Insya Allah tiada henti berusaha menciptakan lulusan-lulusan Fakultas Psikologi yang semakin baik dan berkualitas.

3. Neneng Tati Sumiati, M.Si.,Psi selaku dosen pembimbing skripsi I dan Yufi Adriani, M.Psi selaku dosen pembimbing II atas bimbingan, dorongan, serta kesediaan meluangkan waktunya kepada penulis sehingga penulis terdorong dan termotivasi untuk dapat menyelesaikan skripsi ini dengan cepat,

4. Ikhwan Luthfi, M.Psi, sebagai penguji I, Liany Luzvinda, M.Si selaku dosen pembimbing akademik, atas kesabarannya dalam membimbing penulis selama kuliah sampai penulis dapat menyelesaikan skripsi ini,

5. Para dosen dan staf UIN Syarif Hidayatullah yang telah banyak membantu sehingga mempermudah jalan bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Khususnya bagi para dosen, terima kasih atas ilmu-ilmu yang telah diberikan selama penulis menjalani perkuliahan di UIN Syarif Hidayatullah, sehingga mempermudah mendapatkan materi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan skripsi ini,

6. Eneng Renapatria Apriane, S.Ikom yang telah sabar menemani dan mendengar keluhan, amarah, memberikan dorongan dan motivasi, serta mengajarkan banyak hal kepada penulis, sejak pertama kali skripsi ini dibuat sehingga penulis mendapatkan banyak pengetahuan baru terkait dengan penelitian yang penulis lakukan,

7. Para responden yang telah meluangkan waktunya kepada penulis untuk membagi pengalamannya dan juga mengisi kuesioner yang penulis berikan.


(11)

xi

Sirait S.Psi atas bantuan, nasihat, dan kerjasamanya sehingga penulis dapat mencari data penelitian dengan mudah serta bantuan-bantuan lain yang mempermudah penulis menyelesaikan skripsi ini,

Penulis sadar, terdapat banyak keterbatasan dalam menyelesaikan skripsi ini, antara lain keterbatasan waktu, biaya, dan fisik penulis. Oleh sebab itu, penulis sadar bahwa skripsi ini masih jauh untuk dikatakan sempurna. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan digunakan dengan sebagaimana mestinya bagi orang lain, dan khususnya bagi penulis sendiri. Semoga skripsi ini dapat memberikan acuan bagi peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian yang lebih baik. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun, penulis harapkan untuk menambah kesempurnaan dari skripsi ini.

Jakarta, 7 Februari 2011


(12)

xii

Lembar Persetujuan... ii

Lembar Pengesahan Sidang ... iii

Pernyataan ... iv

Motto ... v

Abstrak ... vi

Abstrack ... viii

Kata Pengantar ... x

Daftar Isi... xii

Daftar Tabel ... xv

Daftar Lampiran ... xvii

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah... 10

1.2.1 Pembatasan Masalah... 10

1.2.2 Perumusan Masalah ... 11

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 11

1.3.1 Tujuan Penelitian ... 11

1.3.2 Manfaat Penelitian ... 12

1.4 Sistematika Penulisan... 13

BAB II KAJIAN TEORI ... 15

2.1 Stres... 15

2.1.1 Definisi Stres ... 15

2.1.2 Sumber-Sumber Stres ... 16

2.1.3 Reaksi Umum Pada Stres... 17

2.1.3.1 Reaksi Psikologis Pada Stres ... 17

2.1.3.2 Reaksi Fisik Pada Stres dan Kesehatan ... 18

2.1.4 Situasi yang Berpotensi Menyebabkan Stres ... 19

2.1.5 Langkah Penyesuaian Diri Terhadap Stres... 20

2.1.6 Stres dan Dukungan Sosial ... 21

2.2 Coping Stres ... 22

2.2.1 Definisi Coping Stres...22

2.2.2 Jenis Coping... 23

2.2.3 Strategi Coping ... 24

2.3 Coping Stres (Psikologi Positif) ... 25

2.3.1 Menceritakan dan Menuliskan Masalah ... 25

2.3.2 Menemukan Hikmah dari Masalah... 27

2.3.3 Mengambil Respon yang Positif Ketika Kehilangan... 28

2.3.4 Mencari Kebermaknaan Hidup... 29


(13)

xiii

2.4.3 Aspek Dukungan Sosial ... 44

2.5 Homoseksual ... 45

2.5.1 Pengertian Homoseksual ... 45

2.5.2 Jenis Homoseksual ... 47

2.5.3 Penyebab Individu Menjadi Homoseksual... 48

2.5.4 Identitas dan Perilaku Homoseksual ... 49

2.5.5 Ekspresi Homoseksual Laki-Laki (Gay) ... 50

2.5.6 Perilaku Seks Homoseksual Laki-Laki (Gay)... 50

2.6 Pertumbuhan dan Perkembangan Remaja Akhir... 51

2.6.1 Pertumbuhan dan Perkembangan Fisik (Jasmani) pada Remaja Akhir ... 51

2.6.2 Pertumbuhan Kelenjar-Kelenjar Seks dan Perkembangan Seksual pada Remaja Akhir ... 53

2.6.3 Pertumbuhan Otak dan Perkembangan Kemampuan Fikir pada Remaja Akhir... 54

2.6.4 Perkembangan Sikap, Perasaan, Emosi pada Remaja Akhir ... 54

2.6.5 Perkembangan Minat/Cita-Cita pada Remaja Akhir... 55

2.6.6 Perkembangan Pribadi, Sosial, dan Moral pada Remaja Akhir ... 56

2.7 Beberapa Panelitian yang Terkait ... 58

2.8 Kerangka Berikir ... 62

2.9 Hipotesis... 66

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 69

3.1 Jenis Penelitian ... 69

3.1.1 Pendekatan dan Metode Penelitian ... 70

3.1.1.1 Pendekatan Penelitian ... 70

3.1.1.2 Metode Penelitian ... 70

3.1.2 Variabel-Variabel Penelitian... 71

3.1.3 Definisi Konseptual dan Operasional Variabel ... 71

3.1.3.1 Definisi Konseptual... 72

3.1.3.2 Definisi Operasional ... 72

3.2 Subjek Penelitian ... 75

3.2.1 Populasi dan Sampel ... 75

3.2.1.1 Populasi... 75

3.2.1.2 Sampel... 75

3.2.2 Teknik Pengambilan Sampel... 76

3.2.3 Karakteristik Sampel ... 77

3.3 Teknik Pengumpulan Data... 77


(14)

xiv

3.5.1 Tahap Persiapan ... 88

3.5.2 Tahap Pelaksanaan... 89

3.5.3 Tahap Pengolahan Data ... 89

BAB IV HASIL PENELITIAN... 90

4.1 Gambaran Umum Subjek Penelitian... 90

4.2 Analisis Deskriptif ... 92

4.2.1 Kategorisasi Skor Coping Stres... 93

4.2.2 Kategorisasi Skor Dukungan Sosial...95

4.3 Uji Instrumen Penelitian ... 97

4.3.1 Uji Validitas Item ... 97

4.3.2 Uji Reliabilitas Data ... 105

4.4 Hasil Analisis Data Penelitian ... 106

4.4.1 Analisis Hipotesis Mayor ... 107

4.4.2 Analisis Hipotesis Minor... 108

4.4.2.1 Analisis Korelasional ... 108

4.4.2.2 Analisis Regresi... 118

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN... 148

5.1 Kesimpulan ... 148

5.2 Diskusi ... 148

5.3 Saran ... 152 DAFTAR PUSTAKA


(15)

xv

Tabel 3.2 Blue Print Skala Dukungan Sosial ... 80

Tabel 3.3 Blue Print Skala Coping Stres... 82

Tabel 4.1 Jumlah Sampel Berdasarkan Usia... 90

Tabel 4.2 Jumlah Sampel Berdasarkan Lama Berada dalam Komunitas ... 91

Tabel 4.3 Responden Berdasarkan Pernah atau Tidak Menjalin Hubungan Sesama Pria... 91

Tabel 4.4 Responden Berdasarkan Jumlah Hubungan Sesama Pria ... 92

Tabel 4.5 Descriptive Statistics... 93

Tabel 4.6 Descriptive Statistics... 94

Tabel 4.7 Distribusi Skor Coping Stres ... 94

Tabel 4.8 Distribusi Skor Klasifikasi Coping Stres ... 95

Tabel 4.9 Descriptive Statistics... 96

Tabel 4.10 Distribusi Skor Dukungan Sosial... 96

Tabel 4.11 Distribusi Skor Klasifikasi Dukungan Sosial ... 97

Tabel 4.12 Hasil Uji Instrument yang Valid Skala Dukungan Sosial... 98

Tabel 4.13 Distribusi Penyebaran Item Valid Skala Dukungan Sosial... 99

Tabel 4.14 Hasil Uji Instrument yang Valid Skala Coping Stres ... 101

Tabel 4.15 Distribusi Penyebaran Item Valid Skala Coping Stres ... 103

Tabel 4.16 Correlations... 107

Tabel 4.17 Model Summaryb... 107

Tabel 4.18 Coefficientsa... 107

Tabel 4.19 Matrix Korelasi ... 108

Tabel 4.20 Coefficientsa... 118

Tabel 4.21 Model Summaryb... 118

Tabel 4.22 Model Summaryb... 119

Tabel 4.23 Model Summaryb... 120

Tabel 4.24 Model Summaryb... 120

Tabel 4.25 Model Summaryb... 121

Tabel 4.26 Ringkasan variabel X1,X2,X3,X4mempengaruhi Y1... 121

Tabel 4.27 Coefficientsa... 122

Tabel 4.28 Model Summaryb... 123

Tabel 4.29 Model Summaryb... 124

Tabel 4.30 Model Summaryb... 124

Tabel 4.31 Model Summaryb... 125

Tabel 4.32 Model Summaryb... 125

Tabel 4.33 Ringkasan variabel X1,X2,X3,X4mempengaruhi Y2... 126

Tabel 4.34 Coefficientsa... 127

Tabel 4.35 Model Summaryb... 127

Tabel 4.36 Model Summaryb... 128

Tabel 4.37 Model Summaryb... 129


(16)

xvi

Tabel 4.44 Model Summary... 133

Tabel 4.45 Model Summary... 134

Tabel 4.46 Model Summary... 134

Tabel 4.47 Ringkasan variabel X1,X2,X3,X4mempengaruhi Y4... 135

Tabel 4.48 Coefficientsa... 136

Tabel 4.49 Model Summaryb... 136

Tabel 4.50 Model Summary... 137

Tabel 4.51 Model Summary... 137

Tabel 4.52 Model Summary... 138

Tabel 4.53 Model Summary... 138

Tabel 4.54 Ringkasan variabel X1,X2,X3,X4mempengaruhi Y5... 139

Tabel 4.55 Coefficientsa... 140

Tabel 4.56 Model Summaryb... 140

Tabel 4.57 Model Summary... 141

Tabel 4.58 Model Summary... 141

Tabel 4.59 Model Summary... 142

Tabel 4.60 Model Summary... 142

Tabel 4.61 Ringkasan variabel X1,X2,X3,X4mempengaruhi Y6... 143

Tabel 4.62 Coefficientsa... 144

Tabel 4.63 Model Summaryb... 144

Tabel 4.64 Model Summary... 145

Tabel 4.65 Model Summary... 145

Tabel 4.66 Model Summary... 146

Tabel 4.67 Model Summary... 146


(17)

xvii


(18)

BAB I

PENDAHULUAN

Bab ini terdiri dari empat subbab. Subbab pertama membahas latar belakang masalah. Subbab kedua membahas tentang pembatasan dan perumusan masalah. Subbab ketiga membahas tentang tujuan dan manfaat penelitian. Dan Subbab Terakhir, subbab keempat membahas mengenai sistematika penulisan.

1.1 Latar Belakang Masalah

Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa berikut dengan kelebihan dan kekurangannya. Untuk itu manusia membutuhkan manusia lain untuk saling mengisi masing-masing kekurangannya. Hal ini masih terkait dengan kehidupan sebagai karunia dari Tuhan bagi manusia yang wajib disyukurinya. Kewajiban bagi manusia untuk mengisi kehidupan tersebut setiap harinya dengan meningkatkan kualitas diri agar bertambah baik dari hari ke hari.

Dengan segala kelebihan dan kekurangan yang diberikan Tuhan, sebagai seorang umat manusia sudah seharusnya dapat menyikapinya dengan bijak sehingga antara kelebihan dan kekurangan menjadi seimbang. Dalam hal menyikapi ini, kebanyakan manusia tidak dapat menyeimbangkan keadaan dirinya. Mereka lebih cenderung menonjolkan kelebihan dan menutupi kekurangan. Padahal kekurangan yang dimiliki dapat disikapi dengan hal yang lebih positif.


(19)

Pada penelitian ini akan dibahas masalah homoseksualitas. Yang juga secara tradisional, psikologi cenderung mengabaikan masyarakat lesbian dan gay, atau menganggap mereka sebagai orang abnormal. Bahkan, sampai tahun 1974,

Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (sistem untuk menjelaskan dan mendiagnosa gangguan mental) memasukkan homoseksualitas sebagai gangguan mental (Matt Jarvis, 2009: 200). Homoseksual menurut kamus psikologi adalah daya tarik terhadap individu dari jenis kelamin yang sama; psikoanalisis menerapkan istilah homosexual neuroseskepada sekelompok cacat, yang dipandang oleh mereka itu sebagai berasal dari kecenderungan-kecenderungan seksual yang ditekan (Henry Sitanggang, 1994: 184). Sehingga dari fenomena ini sangat dimungkinkan seorang homoseksual akan menyembunyikan identitas dirinya sebagai homoseksual dikarenakan opini masyarakat yang masih menganggap mereka sebagai kaum abnormal yang patut diabaikan.

Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pola pikir dari masyarakat tentang homoseksual pun berubah, sebagian masyarakat tidak lagi memandang homoseksual sebagai sesuatu yang abnormal, tentu saja perubahan sikap yang terjadi dewasa ini membangun wacana baru tentang homoseksualitas, sehingga banyak pula penelitian-penelitian seputar penjelasan mengapa ada orang tertentu menjadi homoseks. Keadaan ini tetap mengidentifikasikan bahwa homoseksual masih perlu diperjelas alasannya.

Homoseksual itu sendiri dibagi menjadi dua yaitu gaydanlesbian.Gay diartikan sebagai laki-laki yang homoseksual dan lesbian adalah wanita yang homoseksual (Henry Sitanggang, 1994: 236). Dalam penelitian ini yang akan dibahas adalah kaum


(20)

homoseksual jenis gay. Mengingat kemudahan peneliti dalam hal pengambilan sampel penelitian.

Dari berbagai stigma dan dukungan masyarakat tentang homoseksual khususnya gay baik itu stigma dan dukungan positif maupun stigma dan dukungan negatif memunculkan berbagai sikap dan perilaku dari kaum homoseksual gay itu sendiri. Sikap dan perilaku yang dimunculkan oleh kaum gay pun beraneka ragam, seperti yang diberitakan dalam sebuah website berita kompas. Sabtu, 7 Maret 2009 di Sydney, Australia, pada saat itu sedikitnya 300.000 orang berikut 130 kendaraan hias berkeliling memadati jalan Oxford Street, mereka berkumpul, dan melakukan parade untuk merayakan Mardi Gras, yaitu perayaan tahunan untuk homoseksual dan lesbian. Karena sudah sejak setahun dari perayaan ini pemerintahaan Australia melegalisasikan peraturan kesetaraan antara pasangan homoseksual, termasuk lesbian dan heteroseksual. Tema yang diambil dalam parade ini bertajuk Nation United yang dimana tema ini diambil untuk menghormati kaum homoseksual diseluruh dunia. Khususnya bagi kaum homoseksual yang masih tinggal di negara-negara yang belum memperkenankan kaum homoseksual hidup secara terbuka. (http://internasional.kompas.com/read/xml/2009/03/07/2124527/australia.peringati.m ardi.gras).

Dari berita tersebut tergambar bahwa masyarakat homoseksual khususnya di Australia dapat dengan mudah menunjukkan jati diri mereka sebagai seorang homoseksual tanpa merasa takut atau malu karena status mereka sebagai seorang homoseksual, sehingga sikap dan perilaku mereka sebagai seorang homoseksual lebih terbuka pada masyarakat sekitarnya. Faktor penyebab lainnya yang dapat


(21)

memunculkan sikap dan perilaku terbuka dari homoseksual diantaranya adalah bahwa kaum homoseks memang lebih liberal, tidak cepat merasa bersalah dalam perilaku seksual mereka, (Crowden & Koch dalam Sarlito, 2002: 187), mereka pun lebih berperilaku saling menolong, (Salais & Fischer dalam Sarlito, 2002: 187), dan dibeberapa kalangan memang makin banyak pendapat yang mengatakan bahwa homoseksual tidak dapat dinilai melanggar etika atau moral, (Murphy dalam Sarlito, 2002: 187).

Namun, tidak semua stigma dan dukungan yang positif dapat memunculkan sikap dan perilaku yang diharapkan oleh lingkungan sekitar kaum homoseksual tersebut. Misalnya keinginan lingkungan sekitar mereka yang menginginkan mereka untuk kembali hidup sebagai seorang heteroseksual. Dan jika dukungan positif telah diberikan namun kaum homoseksual tersebut tidak dapat melakukan apa yang diharapkan lingkungan sekitarnya hal ini mungkin disebabkan karena mereka ingin kembali tetap wajar, dapat meneruskan keturunan, tapi mereka tidak mampu, karena sudah terlalu jauh tenggelam dalam komplikasi yang dihadapinya (Zakiah Darajat, 2001: 47).

Selain stigma dan dukungan yang positif, stigma dan dukungan yang negatif pun memberikan efek yang berbeda, seperti yang terjadi di Indonesia saat ini, berbagai pertentangan muncul untuk kaum homoseksual. Salah satu bentuk pertentangan tersebut tergambar dalam sebuah berita yang baru-baru ini terjadi yang diambil dari akses website berita di Jawa Timur http://m.beritajatim.com. Yaitu, belasan jamaah Front Pembela Islam berkumpul di loby Hotel Oval, para jemaah ini beniat mengusir para peserta gay dan lesbian dalam kongres ILGA (International, Lesbian, Gay,


(22)

Biseksual, Transgender and Interseks Association) yang diadakan di Hotel Oval tersebut. Kongres ILGA ini adalah acara rutin yang dilakukan sejak tahun 2002, untuk tahun ganjil digelar konfrensi tingkat dunia, dan untuk tahun genap dilakukan konferensi regional seperti yang digelar di jawa timur tersebut. Dalam kesempatan itu baik dari pihak ILGA maupu FPI belum menemukan titik temu dan masih melakukan perundingan.

Dari berita tersebut tergambar jelas secara umum bahwa masyarakat di Indonesia kurang mendukung atau bahkan menentang keberadaan kaum homoseksual. Namun akibat dari pertentangan-pertentangan yang terjadi tidak lantas membuat kaum homoseksual tersebut menjadi sadar akan penyimpangan seksual yang ada pada diri mereka. Berdasarkan hasil observasi langsung yang di lakukan oleh peneliti, banyak diantara mereka yang bersikap acuh bahkan dengan sadar menunjukkan pada masyarakat bahwa mereka adalah seorang homoseks, meskipun ada pula yang menjadi takut atau bahkan membenci pihak-pihak yang menentang keberadaan mereka. Keanekaragaman sikap homoseksual dalam menunjukkan jati dirinya tersebut tidak terlepas dari faktor-faktor yang salah satunya adalah faktor pengaruh dukungan sosial. Lingkungan sosial dapat membentuk perilaku dan sikap yang diharapkan dalam suatu lingkungan budaya. Maka dari itu pemberian dukungan yang tepat dan bermakna diharapkan dapat memberikan efek yang positif dan efek yang diharapkan dari homoseksual tersebut.

Selain itu dukungan dari lingkungan sosial juga dapat mengurangi hambatan-hambatan yang berasal dari kebutuhan-kebutuhan hidup yang ada dalam rentang kehidupan kaum gay, namun kebutuhan-kebutuhan tidak selalu dapat terpenuhi


(23)

dengan lancar. Sehingga seringkali terjadi hambatan dalam pemuasan suatu kebutuhan, motif dan keinginan. Keadaan terhambat dalam mencapai tujuan dinamakan frustrasi. Keadaan frustrasi yang berlangsung terlalu lama dan tidak dapat diatasi oleh seseorang akan menimbulkan stres. Stres adalah suatu keadaan di mana beban yang dirasakan seseorang tidak sepadan dengan kemampuan untuk mengatasi beban itu. Seseorang melakukan bermacam-macam cara penyesuaian diri (Coping) untuk mengatasi berbagai macam stres. Setiap manusia mempunyai cara-cara penyesuaian diri yang khusus, tergantung dari kemampuan-kemampuan yang dimiliki, pengaruh-pengaruh lingkungan, pendidikan, dan bagaimana ia dapat mengembangkan dirinya (Suprapti, 2003: 35-36).

Pentingnya perlakuan lingkungan sosial bagi daya tahan manusia terhadap stress juga tergambar dalam eksperimen yang dilakukan oleh Bernstein (Suprapti, 2003: 42) pada sekelompok tikus yang diperlakukan secara berbeda. Ada sekelompok tikus yang sering dibelai (extra handling group/ EH), ada kelompok tikus yang tidak dibelai sama sekali (non-handling/NH), dan ada yang jarang dibelai (IH). Dalam maze learning, ternyata tikus pada kelompok EH persentase keberhasilannya lebih tinggi dan daya tahan tikus EH lebih besar daripada kelompok lainnya. Dari eksperimen tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa cara lingkungan sosial memperlakukan individu dapat berpengaruh besar terhadap perkembangan dan daya tahan individu terhadap masalah-masalah yang dihadapi. Dalam penelitian ini perlakuan dan dukungan yang baik dari lingkungan sosial diharapkan dapat mengurangi stres yang terjadi sepanjang rentang kehidupan individu homoseksual, juga dapat membuat individu homoseksual tersebut lebih berkembang dan


(24)

berperilaku sesuai dengan harapan lingkungannya. Salah satunya adalah kembali ke dalam status heteroseksual yang sudah dikodratkan kepada mereka sejak mereka diciptakan, sebagaimana yang tertulis dalam firman Allah dalam Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 72:


(25)

(26)

Artinya:

“Barangsiapa kamu temui melakukan perbuatan kaum Luth (Homoseksual), maka bunuhlah al-fail dan al-maf’ul bi (kedua-duanya)”.

Dari sabda rasulullah di atas ancaman hukuman terhadap pelaku homoseksual jauh lebih berat dibandingkan dengan hukuman bagi pelaku pezina. Di dalam perzinahan, hukuman dibagi menjadi dua yaitu bagi yang sudah menikah dihukum rajam, sedangkan bagi yang belum menikah dicambuk 100 kali dan diasingkan selama satu tahun. Adapun dalam praktek homoseksual tidak ada pembagian tersebut. Asalkan sudah dewasa dan berakal (bukan gila) maka hukumannya sama saja atau tidak ada perbedaan hukuman bagi yang sudah menikah atau yang belum menikah (http://kozam.wordpress.com/).

Karena hal di atas, sebagai masyarakat yang baik sudah seharusnya kita merangkul kaum homoseksual agar tidak terjerumus dalam dosa besar, memberikan dukungan yang sesuai agar mereka kembali ke jalan yang sudah dikodratkan kepada mereka, bukan dengan cara menghujat namun dengan cara bersahabat agar terjalin kesadaran tanpa rasa takut ataupun cemas.

Namun apakah setiap dukungan yang positif akan menimbulkan cara penyesuaian diri terhadap stres (Coping) yang baik, mengingat seperti yang disebutkan sebelumnya berdasarkan fakta yang terdapat dikehidupan sehari-hari di Indonesia khususnya bahwa tidak semua dukungan yang positif akan menimbulkan sikap dan perilaku yang baik serta tidak semua dukungan negatif dapat menimbulkan sikap dan perilaku yang negatif pula. Sikap dan perilaku di sini termasuk pula sikap dan perilaku penyesuaian diri terhadap stres (Coping).


(27)

Maka dari itu dalam penelitian ini peneliti tertarik untuk melihat sejauh mana hubungan antara dukungan sosial terhadap coping stres (usaha individu untuk menghadapi sumber-sumber stres dan dikhususkan kepada problem focus coping yaitu positif coping) pada homoseksual. Di mana penelitian ini juga dibuat mengingat banyaknya fenomena-fenomena khususnya fenomena kriminalitas yang dilakukan oleh kaum homoseksual di Indonesia yang mungkin disebabkan oleh tingkat stres yang tinggi dan dukungan sosial yang tidak tepat sasaran. Dan juga dari observasi awal yang dilakukan peneliti, sebagian homoseksual yang ditemui banyak diantaranya yang tidak percaya diri, rendah diri, bahkan ada yang sering melakukan percobaan bunuh diri dikarenakan tuntutan lingkungan dalam hidup mereka yang tidak dapat terpenuhi dan pada akhirnya mempengaruhi sikap dan perbuatan mereka di tengah-tengah masyarakat. Dan melalui fenomena–fenomena tersebut penelitian ini diberi judul “HUBUNGAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN COPING STRES HOMOSEKSUAL DI JAKARTA”

1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah

1.2.1 Pembatasan Masalah

Agar penelitian ini lebih terarah, maka peneliti memberikan batasan-batasan dalam membahas masalah penelitian, pembatasan masalah itu adalah sebagai berikut: 1. Pria homoseksual yang dimaksud di sini adalah pria homoseksual yang berdomisili di Jakarta, dalam rentang usia remaja akhir yaitu berusia sekitar 18-22 tahun, dan pernah menjalin hubungan dengan sesama pria.


(28)

2. Coping stres yang dimaksud adalah usaha individu antara aksi reaksi dengan intra fisik untuk menghadapi sumber-sumber stres dan atau reaksi kontrol individu terhadap sumber stres. Coping stres disini coping stress dalam psikologi positif yang kemudian dibagi menjadi tujuh bagian yaitu menceritakan dan menuliskan masalah, menemukan hikmah dari masalah, mengambil respon yang positif ketika kehilangan, mencari kebermaknaan hidup, humor, melakukan meditasi, dan mendekatkan diri kepada tuhan (kerohanian).

3. Dukung sosial yang dimaksud adalah informasi atau nasehat verbal dan non verbal yang diberikan oleh suatu jaringan sosial tersebut dan mempunyai manfaat perilaku bagi penerima. Yang kemudian dukungan sosial tersebut dibagi menjadi empat yaitu, dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dan dukungan informatif.

1.2.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

Apakah ada hubungan yang signifikan antara dukungan sosial yang terdiri dari dukungan emosional, dukungan instrumental, dukungan penghargaan, dan dukungan informatif dengan coping stres yang terdiri dari menceritakan dan menuliskan masalah, menemukan hikmah dari masalah, mengambil respon positif ketika kehilangan, mencari kebermaknaan hidup, humor, meditasi, dan kerohanian pada homoseksual di Jakarta?


(29)

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran tentang hubungan antara dukungan sosial yang terdiri dari dukungan emosional, dukungan instrumental, dukungan penghargaan, dan dukungan informatif dengan coping stres yang terdiri dari menceritakan dan menuliskan masalah, menemukan hikmah dari masalah, mengambil respon positif ketika kehilangan, mencari kebermaknaan hidup, humor, meditasi, dan kerohanian pada homoseksual di Jakarta.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Ada beberapa yang dapat diperoleh dari penelitian ini antara lain meliputi : A. Manfaat Teoritis

Dapat memberikan kontribusi untuk berkembangnya ilmu pengetahuan, khususnya bidang ilmu psikologi klinis dan psikologi sosial.

B. Manfaat Praktis

1. Bagi kaum homoseksual, sebagai bahan informasi agar dapat memotivasi diri mereka sehingga dapat mengubah jalan hidupnya menjadi lebih baik dan menjadi seseorang yang dapat diandalkan bagi lingkungan sosial dan diri sendiri. 2. Bagi orang tua, mengingat pentingnya dukungan sosial dan arahan yang positif, maka diharapkan pihak keluarga khususnya orang tua dapat memilih jenis-jenis dukungan yang paling dibutuhkan oleh anaknya serta tetap mendukung anaknya sehingga dapat mengembangkan potensinya secara optimal dan ke arah yang lebih positif.


(30)

3. Bagi para pembaca, diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan tentang pentingnya dukungan sosial bagi para homoseksual untuk mengembangkan potensi mereka secara maksimal.

4. Manfaat lainnya, untuk memberikan sumbangan yang bermanfaat di dalam dunia psikologi terutama sebagai bahan referensi penelitian-penelitian selanjutnya dan mendorong minat teman-teman lainnya yang berkecimpung di bidang psikologi untuk melakukan penelitian yang berkaitan dengan homoseksual, sehingga masih banyak hal yang dapat digali mengenai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi homoseksual.

1.4 Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab pendahuluan ini memuat latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, sistematika penulisan.

BAB II KAJIAN TEORI

Dalam bab kajian teori ini memuat tentang stres yang meliputi definisi stres, sumber-sumber stres, reaksi umum pada stres, reaksi psikologis terhadap stres, reaksi fisik pada stres dan kesehatan, situasi yang berpotensi menyebabkan stres, langkah penyesuaian diri terhadap stres, stres dan dukungan sosial. Perilaku coping yang meliputi definisi coping, jenis coping, strategi coping. Coping dalam psikologi positif meliputi menceritakan dan menuliskan masalah,menemukan hikmah dari masalah, mencari kebermaknaan hidup, humor, meditasi, mendekatkan diri kepada tuhan


(31)

(kerohanian). Dukungan sosial meliputi pengertian dukungan sosial, jenis-jenis dukungan sosial, sumber dukungan sosial. Homoseksual meliputi pengertian homoseksual, jenis homoseksual, penyebab individu menjadi homoseksual, identitas dan perilaku homoseksual, ekspresi homoseksual laki-laki (gay), perilaku homoseksual laki-laki (gay), pertumbuhan dan perkembangan remaja akhir yang meliputi pertumbuhan dan perkembangan fisik pada remaja akhir, pertumbuhan kelenjar-kelanjar seks dan perkembangan seksual pada remaja akhir, pertumbuhan otak dan perkembangan kemampuan pikir pada remaja akhir, perkembangan sikap, perasaan, emosi pada remaja akhir, perkembangan minat/cita-cita remaja akhir, perkembangan pribadi, sosial, dan moral remaja akhir, beberapa penelitian terkait, kerangka berfikir, dan hipotesis.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Dalam bab metodologi penelitian ini memuat jenis penelitian, pendekatan penelitian, metode penelitian, variable-variable penelitian, definisi konseptual variable, definisi operasional variable, subjek penelitian yang meliputi populasi dan sample, tehnik pengambilan sample, karakteristik sample, tehnik pengumpulan data, instrument data kuantitatif, tehnik analisis data statistik, tehnik uji instrument, tehnik uji validitas, tehnik uji reliabilitas, prosedur penelitian yang meliputi tahap persiapan, tahap pelaksanaan, tahap pengolahan data.

BAB IV HASIL PENELITIAN

Dalam bab hasil penelitian ini memuat gambaran umum subyek penelitian, analisis deskriptif yang meliputi kategori skor dukungan sosial dan kategori skor coping stress, uji instrument penelitian, uji validitas item, uji reliabilitas item, hasil


(32)

analisa data penelitian yang meliputi analisis hipotesis mayor dan analisis hipotesis minor.

BAB V PENUTUP

Dalam bab penutup ini memuat kesimpulan, diskusi, dan saran.

BAB II

KAJIAN TEORI

Bab ini terdiri dari sembilan subbab. Subbab pertama membahas tentang stres. Subbab kedua membahas tentang coping stres. Subbab ketiga membahas tentang coping stress dalam psikologi positif. Subbab keempat membahas tentang dukungan sosial. Subbab kelima membahas tentang homoseksual. Subbab keenam membahas tentang pertumbuhan dan perkembangan remaja akhir. Subbab tujuh membahas tentang penelitian-penelitian yang terkait. Subbab delapan membahas tentang kerangka berfikir. Terakhir, subbab sembilan adalah hipotesis.

2.1 Stres

2.1.1 Definisi Stres

Menurut Baum, stres adalah pengalaman emosional yang negatif yang disertai dengan gejala biokimia, psikologis, kognitif, dan perubahan perilaku yang


(33)

dapat dilihat secara langsung diantara perubahan keadaan stres atau penyesuaian diri terhadap stres ke efek dari stres tersebut (Baum, dalam Taylor, 2003: 179).

Cannon yang dikutip oleh Bart Smet (1994: 107) mendeskripsikan stres dengan suatu keadaan ketika organisme merasakan adanya ancaman, maka secara cepat tubuh akan terangsang dan termotivasi melalui sistem saraf simpatetik dan endokrin. Respon fisiologis ini mendorong organisme untuk menyerang ancaman tadi atau melarikan diri.

Sementara itu menurut Sarafino (dalam Bart Smet 1994: 112) stres adalah suatu kondisi disebabkan oleh interaksi antara individu dengan lingkungan yang menimbulkan persepsi jarak antara tuntutan-tuntutan yang beraal dari situasi dengan sumber-sumber daya sistem biologis, psikologis, dan sosial dari seseorang.

Jadi, dari beberapa pengertian tentang stres tersebut dapat disimpulkan bahwa stres adalah pengalaman emosional yang dirasakan individu saat adanya ancaman, di mana ancaman tersebut disebabkan oleh interaksi antara individu dengan lingkungan sekitarnya.

2.1.2 Sumber-Sumber Stres

Menurut Sarafino (dalam Smet, 1994: 115-116) membedakan sumber-sumber stres menjadi tiga sumber stres yaitu,

1) Sumber stres dalam diri seseorang

Terkadang sumber stres ada di dalam diri seseorang, salah satunya melalui kesakitan. Tingkatan stres yang muncul tergantung pada keadaan rasa sakit dan umur individu (Sarafino, dalam Smet, 1994: 115). Stres juga akan muncul dalam


(34)

diri seseorang melalui penilaian dari kekuatan motivasional yang melawan, bila seseorang mengalami konflik. Konflik merupakan sumber stres yang utama. Menurut teori Kurt Lewin (dalam Smet, 1994: 115) kekuatan motivasional yang melawan menyebabkan dua hal yaitu, pertama, kecenderungan yang melawan dan yang kedua perdekatan dan penghindaran.

2) Sumber-sumber stres di dalam keluarga

Stres di sini dapat bersumber dari interaksi diantara para anggota keluarga seperti: perselisihan dalam masalah keuangan, perasaan saling acuh tak acuh, tujuan yang saling berbeda, dll.

3) Sumber-sumber stres di dalam komunitas dan lingkungan

Interaksi subjek di luar lingkungan keluarga melengkapi sumber-sumber stres. Contohnya, pengalaman stres anak di sekolah dan di beberapa kejadian kompetitif seperti olah raga. Sedangkan beberapa pengalaman stres orang tua bersumber dari pekerjaan dan lingkungan yang stressful sifatnya.

2.1.3 Reaksi Umum Pada Stres

Ketika kita dalam keadaan stres, kita akan merasakan dan beraksi terhadap stres itu. Untuk mendapat keuntungan dari stres, kita harus mengerti dua hal penting yang menjadi penyebab stres (Lahey, 2007: 443-446):


(35)

1. Pertama, bereaksi terhadap stres seperti selayaknya. Reaksi pada stres ini biasanya disebabkan oleh reaksi psikologis dan reaksi fisiologis – bukan salah satu, namun keduanya.

2. Kedua, reaksi psikologis dan reaksi tubuh kita terhadap stres sangatlah biasa, baik itu stres fisik ataupun stres psikologis.

2.1.3.1

Reaksi Psikologis Terhadap Stres

Stres diawali dari banyaknya perubahan pada aspek psikologis dan proses perubahan ini termasuk perubahan emosi, motifasi, dan kognisi. Dalam keadaan stres kita merasakan gabungan dari emosi yang buruk, depresi, kemarahan, iritabilatas (Cano & O’Leary, 2000, dalam Lahey, 2007: 444).

2.1.3.2

Reaksi Fisik Pada Stres dan Kesehatan

Meskipun semua orang mengetahui keadaan stres didapat dari emosi mereka, namun mereka masih saja terkejut dalam mempelajari penyebab stres yang dapat mempengaruhi fungsi fisik di dalam tubuh mereka. Untuk memahami akibat-akibat stres pada tubuh kita, pertama-tama kita mempelajari aspek umum pada tubuh ketika merespon keadaan stres.

The General Adaptation Syndrome. Hans Selye yang pertama kali memberikan pemahaman kepada kita mengenai reaksi tubuh terhadap stres psikologis memiliki cara yang sama terhadap reaksi tubuh ketika terserang infeksi atau demam. Tubuh melakukan general adaptation syndrome (GAS) untuk mempertahankan diri dari serangan stres. Tiga tahapan dalam GAS ini adalah,


(36)

1. Alarm Reaction(Reaksi Alarm).

Tubuh pertama kali merespon dengan reaksi ini terhadap beberapa gejala, termasuk gejala stres psikologis, yang kemudian dilanjutkan untuk dicari penyebabnya.

2. Resistence Stage(Tahap Resistensi)

Selama tahap kedua pada GAS ini, tubuh telah benar-benar bekerja, dan tingkat resistensi terhadap stres telah tinggi (Segerstrom & Miller, 2004, dalam Lahey, 2007: 445).

3. Exhaustion Stage

Jika stres berlanjut, reaksi pada individu dapat berupa kelelahan, resistensi, dan infeksi menurun (Ray, 2004, dalam Lahey 2007: 445).

2.1.4 Situasi Yang Berpotensi Menyebabkan Stres

Berikut ini beberapa situasi yang berpotensi menyebabkan stres dalam diri individu (Taylor, 2003: 187-189):

a. Situasi yang negatif.

Situasi negatif banyak memengaruhi produksi stres daripada situasi yang positif. Banyak situasi yang berpotensi untuk mengakibatkan stres karena situasi tersebut membuat seseorang bekerja dan berfikir lebih keras.

b. Situasi yang tidak terkontrol

Situasi yang tidak dapat dikontrol atau tidak dapat diprediksi lebih banyak menghasilkan stres dari pada situasi yang terkontrol atau terprediksi. Situasi


(37)

negatif seperti gangguan, keramaian, atau ketidaknyamanan membuat keadaan menjadi lebih stres, tapi penelitian mengenai stres tetap konsisten menunjukkan bahwa keadaan yang tidak terkontrol lebih membuat keadaan menjadi stres daripada keadaan yang terkontrol.

c. Situasi yang ambigu

Situasi ambigu lebih mengakibatkan keadaan stres daripada keadaan yang sudah jelas. Ketika keadaan menjadi ambigu, seseorang akan mengambil tindakan. Dia harus lebih mengeluarkan energinya untuk memahami penyebab stres yang ada di sekitarnya, di mana akan memakan waktu lebih banyak untuk melihat penyebabnya.

d. Situasi yang melebihi batas

Seseorang memiliki batas dalam hidupnya. Ketika keadaan melebihi batas, akan menybabkan stres bagi seseorang. Contohnya, salah satu penyebab dari stres dalam pekerjaan adalah pekerjaan yang terlalu menumpuk.

2.1.5 Langkah Penyesuaian Diri Terhadap Stres

Secara berturut turut, langkah yang dilakukan utuk penyesuaian diri terhadap stres adalah (Suprapti, 2008: 37):

a) Menilai situasi stres, yaitu menggolongkan jenis stres (kategorisasi), dan memperkirakan bahaya yang berkaitan dengan stres itu.

b) Merumuskan alternatif tindakan yang dapat dilakukan dan menentukan tindakan yang paling mungkin untuk dilakukan.


(38)

d) Melihat feedback.

Jika langkah-langkah pertama berhasil maka diteruskan, kalau tidak segera lakukan alternatif lain. Tindakan yang diambil orang yang mengalami stres kemungkinan hanya berfungsi untuk melindungi diri terhadap kemungkinan disorganisasi. Tindakan-tindakan ini merupakan tingkah laku yang sifatnya defensif. Reaksi defensi tidak diarahkan pada sumber stres sehingga menghabiskan energi secara tidak efisien. Reaksi defensif juga tidak objektif tetapi subjektif dan emosional (tidak rasional). Reaksi defensif terjadi secara otomatis atau tidak disadari (Suprapti, 2008: 38).

2.1.6 Stres dan Dukungan Sosial

Banyak penelitian yang menunjukkan manfaat dukungan sosial, diantaranya penelitian (Cohen & Hebert, dalam Aliyah, 2008: 84) yang mengadakan riset tentang sistem kekebalan, riset ini menunjukkan bahwa hubungan pernikahan yang buruk dan dukungan sosial yang rendah memiliki akibat terhadap kesehatan seseorang. Penelitian lain dilakukan oleh Kiecolt – Glaser (dalam Aliyah, 2008: 84) menunjukkan bahwa pasangan pernikahan muda (rata-rata 25 tahun) yang memiliki interaksi negatif atau permusuhan memiliki hubungan dengan bertambahnya tingkat

norepinephrine, epinephrine, hormone pertumbuhan, dan ACTH yang kesemuanya berfungsi pada sistem kekebalan tubuh, 24 jam setelah interaksi negatif.

Menurut Thomas, (dalam Aliyah, 2008: 84), individu yang merasa mereka memiliki seseorang yang memberi keyakinan dan tempat berbagi pikiran dan


(39)

perasaan akan memiliki fungsi kekebalan yang lebih baik daripada yang tidak memiliki.

Dari hal di atas, tidak ada keraguan bahwa dukungan sosial mempengaruhi kesehatan. Banyak penelitian memusatkan pengaruh dukungan sosial pada stres sebagai variable penengah dalam perilaku kesehatan dan hasil kesehatan. Ada dua teori pokok yang diusulkan (Gottlieb, dalam Bart Smet, 1994: 137-139):

a. Hipotesis Penyangga(Buffer Hypothesis)

Menurut hipotesis ini, dukungan sosial mempengaruhi kesehatan dengan melindungi orang itu dari efek negatif dari stres yang berat. Fungsi yang bersifat melindungi ini hanya atau terutama efektif kalau orang itu menjumpai stres yang kuat.

b. Hipotesis Efek Langsung (Direct Effect Hypothesis)

Hipotesis ini berpendapat bahwa dukungan sosial itu bermanfaat bagi kesehatan dan kesejahteraan, tidak perduli banyaknya stres yang dialami orang-orang. Menurut hipotesis ini, efek dukungan sosial yang positif sebanding di bawah intensitas-intensitas stres tinggi dan rendah. Contohnya, orang-orang dalam dukungan sosial yang tinggi dapat memiliki penghargaan diri yang lebih tinggi, yang membuat mereka tidak begitu mudah diserang stres.

2.2 Coping Stres


(40)

Menurut Lazarus dan Olkman, dalam Taylor (2003: 219) mendefinisikan coping stres dengan:

“the process of managing demands (eksternal or internal) that resources of the person.”

Atau dapat diartikan sebagai suatu proses dimana individu mencoba untuk mengelola jarak yang ada antara tuntutan-tuntutan (baik tuntutan yang berasal dari individu maupun dari lingkungan) dengan sumber daya yang mereka gunakan dalam menghadapi situasistressful.

Menurut Lazarus dan Launier, 1978 (dalam Taylor, 2003: 219) mendefinisikan coping stres sebagai:

“coping consists off efforts, both action-oriented and intrapsychic, to manage (master, tolerate, reduce, minimize) environmental and internal demands and conflicts among them”

Yaitu bahwa coping mengacu kepada usaha antara aksi reaksi dengan intra fisik untuk memanage (konflik utama, toleransi terhadap konflik, melubur konflik, meminimalisir konflik) lingkungan dan tuntutan internal serta konflik diantara keduanya.

Selain itu menurut (Lahey, 2007: 456) coping stres merupakan :

attempts by individual to deal with the source of stress and/or control their reaction to it”.

Yaitu bahwa coping merupakan usaha individu untuk menghadapi sumber-sumber stres dan atau reaksi kontrol diri individu tersebut terhadap sumber-sumber stres.

Jadi dapat disimpulkan coping stres adalah usaha individu antara aksi reaksi dengan intra fisik untuk menghadapi sumber-sumber stres dan atau reaksi kontrol individu terhadap sumber stres.


(41)

2.2.2 Jenis Coping

Menurut Lazarus dkk (dalam Taylor 2003: 229) strategi coping dibagi menjadi dua tipe umum yaitu:

1. Emotional-focused coping, yaitu digunakan untuk mengatur respon emotional terhadap stres. Pengaturan ini melalui perilaku individu bagaimana meniadakan fakta-fakta yang tidak menyenangkan melalui strategi kognitif. Dan bila individu tidak mampu mengubah kondisi yang stressful, individu akan cenderung untuk mengatur emosinya.

2. Problem-solving coping, yaitu untuk mengurangi stresor, individu akan mengatasi dengan mempelajari cara-cara atau keterampilan yang baru. Individu akan cenderung menggunakan strategi ini, bila dirinya yakin akan dapat mengubah situasi.

2.2.3 Strategi Coping

Berdasarkan penelitian-penelitian lanjutan yang dilakukan Lazarus dkk (1986), kedua jenis coping yaitu emotion – focused coping dan problem - solving coping,dibagi lagi menjadi delapan bagian strategi coping (Lazarus dkk, 1986 dalam Taylor, 2003: 230).

Kedelapan strategi coping tersebut yaitu:


(42)

Individu menganalisa situasi yang dihadapi hingga memperoleh cara-cara yang diperlukan untuk mengatasi masalah kemanusiaan melakukan tindakan nyata untuk mengatasi masalah yang dihadapi.

2. Controntatif coping (problem focused coping)

Ciri dari tindakan ini adalah adanya tindakan asertif, yang pada akhitnya seringkali berubah menjadi tindakan agresif untuk merubah situasinya.

3. Seeking social support (emotion or problem coping)

Individu akan berusaha memperoleh informasi atau dukungan emosional dari orang lain.

4. Distancing (emotion focused coping)

Usaha individu untuk menghindar atau menjauhkan diri dari situasi stresful atau usaha dari sudut pandang yang positif.

5. Escape-avoindance (emotion focused coping)

Individu berharap agar permasalahan yang ada segera berakhir atau bertindak secara nyata atau melarikan diri dari permasalahannya tersebut.

6. Possitive repraisal (Emotion focused coping)

Usaha individu untuk mencari sisi positif dari situasi, yang bertujuan untuk mencapai pertumbuhan pribadi yang terkadang dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat rohani (religi).

7. Self control (emotion focused coping)

Usaha seseorang untuk mengatur tindakan dan emosi yang berkaitan dengan situasi yang dihadapi.


(43)

Pengakuan masalah yang dibuat individu sehingga masalah-masalah itu terjadi.

2.3 Coping Stres

Ada beberapa bagian yang termasuk ke dalam coping stres dalam psikologi positif (C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659).

2.3.1 Menceritakan dan Menuliskan Masalah

Peristiwa traumatik sering mengisolasi kehidupan sosial. Tetapi dengan berbicara dengan orang lain (lisan atau tulisan) tentang pengalaman traumatis, secara otomatis akan membangun hubungan sosial yang lebih luas antara individu. Maka dari itu komunikasi menjadi hal yang penting di bidang kesehatan mental. Dukungan sosial telah dikaitkan dengan kesehatan mental dan fisik, sebagai bentuk pemulihan lebih cepat dari penyakit, walaupun dengan kemungkinan stres yang masih akan terjadi (Cf. Holahan et al, dalam C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659). Pentingnya hubungan sosial karena dalam kelompok-kelompok sosial itu sendiri menawarkan tempat untuk tumbuh, melakukan eksperimen sosial, dan perubahan.

Dalam studi ditemukan bahwa dukungan sosial adalah cara yang signifikan yang diberikan masyarakat untuk mengubah perilaku mereka ke arah yang lebih sehat (Davison, Pennebaker, & Dickerson, dalam C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659). Pengalaman traumatis, kegelisahan dan ketidakpastian individu dapat dikurangi melalui pertukaran interpersonal. Di sisi lain memiliki kepedulian yang sama memberikan suatu kekuatan agar dapat menjadi cermin bagi diri mereka sendiri, serta untuk berbagi pikiran dan perasaan atas kondisi yang dihadapi.


(44)

Selain itu dengan komunikasi yang baik dapat memfasilitasi hubungan dan ikatan sosial antara individu, sehingga memudahkan integrasi sosial. Seperti sisi mata uang, individu satu dengan yang lain harus saling memahami, harus ada yang menjadi pendengar dalam sebuah pembicaraan. Maka dari itu interaksi harus disinkronkan, namun meskipun demikian masih sering terdapat hambatan dalam berkomunikasi, ketidakmampuan untuk mengungkapkan masalah dengan orang lain menimbulkan masalah dalam berkomunikasi, mungkin karena takut tidak dipahami atau diterima oleh orang lain. Maka dari itu disinilah peran menuliskan masalah dapat dilihat (C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659).

Meskipun menulis bukanlah suatu obat mujarab, dan memiliki potensi untuk mengganggu kehidupan. Sebagai contoh, seorang peserta baru-baru ini mengatakan kepada kita bahwa, setelah menulis, dia revaluasi hidupnya dan pernikahannya. Dia kemudian bercerai dengan suaminya dalam 8 tahun usia pernikahan mereka dan dipaksa untuk pindah bersama anak-anaknya ke sebuah apartemen yang jauh lebih kecil. Meskipun dia melaporkan yang lebih bahagia dan sehat karena tulisan, beberapa mungkin berpendapat bahwa menulis memiliki beberapa efek samping yang sangat negatif (C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659).

Walaupun demikian menulis tentang pengalaman traumatis dapat memiliki manfaat bagi kesehatan secara signifikan, dalam arti individu tersebut didorong untuk memikirkan kesengsaraan dalam hidup mereka, dan bertanggung jawab atas hidup mereka sendiri (C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659).


(45)

Menemukan manfaat memiliki hubungan erat dengan kesehatan fisik dan psikologis, dan hal itu berhubungan dengan teori adaptasi kognitif yang bekerja ketika ada bahaya dilingkungan sekitar (Janoff Bulman, 1992 & Taylor, dalam C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659), pertumbuhan setelah traumatik (Tedeschi & Calhoun, dalam C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659), pertumbuhan psikologis (Epel, McEwen & Ickovics, dalam C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659). Menurut Snyder dan McCullough (2000) menemukan manfaat dari masalah tergantung pada kekuatan manusia itu sendiri, dan dorongan itu sampai memunculkan apa yang ada dalam paradigm psikologi positif (C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659).

Menurut Lazarus dan Folkman (dalam C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659) menemukan hikmah dalam setiap masalah termasuk ke dalam emotion focused coping. Sebagai contoh perubahan atau pertumbuhan adalah sebuah jalan kehidupan yang baik, pengalaman yang datang dan pergi menjadikan manusia lebih baik dari hari ke hari, memiliki suatu keyakinan yang baru, dan pengetahuan adalah sesuatu yang penting dalam hidup. Teori coping ini membedakan antara perilaku adaptif yang alami, kepercayaan, dan strategi coping. Meskipun tidak semua peneliti dan teori menyetejui bahwa “segala sesuatu mengenai coping adalah pilihan yang disengaja” (Haan, dalam C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659). Dari perspektif ini ditemukan bukti bahwa pencarian hikmah dari suatu masalah adalah sebuah coping individu (C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659).


(46)

Mengambil respon positif ketika kehilangan berarti, menemukan makna dalam setiap masalah dan kembali bangkit diatas pengalaman yang pahit. Yang juga berarti merasionalkan segala bentuk kehilangan dan mencari manfaat sebagai pengalaman dari sebuah peristiwa kehilangan serta mendorong dan memudahkan terjadinya proses atau pertumbuhan atau perubahan kearah yang positif. Jadi menemukan manfaat dari sebuah peristiwa kehilangan dengan menemukan makna dari sebuah peristiwa kehilangan memerlukan proses yang nyata, pertama, mereka tidak berhubungan satu dengan yang lainnya, kedua, dua hal itu datang dalam waktu yang berlainan atau tidak datang dalam waktu yang bersamaan. Individu yang menemukan makna dengan cepat dari sebuah peristiwa setelah dia kehilangan dan setelah itu menemukan makna yang positif dari peristiwa kehilangan tersebut akan memiliki emosi yang lebih baik dibandingkan dengan individu yang menemukan manfaat dari peristiwa kehilangan yang lebih lama. Pada kesimpulannya penemuan manfaat ini berkaitan dengan penyesuaian diri yang lebih positif terhadap lingkungan ketika manfaat itu telah ditemukan (C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659).

2.3.4 Mencari Kebermaknaan Dalam Hidup

Makna berarti menghubungkan. Makna akan menghubungkan dua pemikiran yang terpisah meskipun terdapat perbedaan. Seperti misalnya pemikiran tersebut dalam kategori yang sama, dimiliki oleh individu yang sama, atau keduanya digunakan untuk menuju satu tujuan. Hubungan keduanya bukan bagian dari perubahan fisik dan jadi hal tersebut hanya bisa dihasilkan dari pemikiran seseorang (atau beberapa pikiran lain dalam proses pemaknaan). Oleh kerena itu, makna adalah


(47)

sebuah realitas yang berbentuk non fisik. Hal tersebut nyata dan bersifat alami yang memiliki hubungan sebab-akibat, dan tidak dapat dilepaskan dari prinsip-prinsip yang ada (C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659).

Baumeister (dalam C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659) memasukkan penelitian tentang kebermaknaan hidup agar lebih memahami apa yang dimaksud dengan kebermaknaan hidup. Terdapat empat kebutuhan utama dalam menemukan kebermaknaan hidup dan berhubungan dengan motivasi yang mendorong individu untuk membuat hidup mereka lebih bermakna. Seseorang merasa puas dengan empat kebutuhan tersebut seperti menemukan hidup mereka menjadi lebih bermakna. Yang membedakannya, seseorang yang tidak puas dengan satu atau lebih dari kebutuhan tersebut merasa seperti tidak memilki makna dalam hidup mereka. Kebutuhan tersebut adalah:

1. Kebutuhan untuk mencapai suatu tujuan

Maksud dari kebutuhan ini adalah seseorang dapat menggambarkan hubungan saat ini dengan masa depan mereka. Tujuan dapat dibagi menjadi dua jenis. Pertama adalah tujuan sederhana, hasil masih objektif atau bagian-bagiannya masih berupa keinginan, dan belum tentu menjadi nyata, dan dengan begitu individu akan melakukan aktifitas yang lebih bermakna sebagai jalan untuk memahami situasi yana diinginkan dimasa yang akan datang. Kedua, tujuan yang lebih kompleks, di mana lebih bersifat subjektif daripada objektif. Hidup berorientasi kepada tindakan antisipasi masa depan, seperti hidup bahagia selamanya, dicintai atau masuk surga.


(48)

Di mana dapat mengambil kebaikan atau hidup yang positif dan dapat mengambil tindakan yang benar. Nilai membuat indivuidu dapat menentukan mana yang baik dan mana yang buruk, nilai akan menjaga kita dalam konteks kepercayaan yang akan membuat kita untuk berfikir dengan baik, dan akan meminimalisir rasa bersalah, kegelisahan, penyesalan dan beberapa hal lain yang menyangkut moral yang dapat mengakibatkan stres.

3. Kebutuhan untuk dipercaya

Kebutuhan ini mempercayai bahwa setiap orang dapat membuat perubahan. Hidup mempunyai tujuan tapi tanpa adanya kepercayaan sangatlah menyedihkan. Setiap orang mengetahui apa yang mereka butuhkan tetapi tidak selalu dapat diperoleh dari pengetahuan tersebut. Hal ini cukup sering terjadi pada seseorang yang mengontrol lingkungan mereka (dan pastinya diri merka sendiri: dalam Baumeister, 1998), dan kontrol yang buruk dapat membuat masalah seseorang menjadi serius yang akan berdampak pada kesehatan fisik dan mental mereka. 4. Kebutuhan akan harga diri

Hampir sebagian besar individu mencari alasan agar mereka dipercaya sebagai individu yang baik, dan menjadi orang yang berguna. Harga diri dapat membuat individu meraih makna dalam hidupnya (dalam Wood, 1989). Hal ini dapat diraih dengan mengumpulkan seperti ketika seseorang menggambarkan penghargaan diri yang bermakna dari beberapa kelompok mereka atau orang-orang lain yang mereka anggap penting dan hormati.


(49)

2.3.5 Humor

Dalam tulisan awal yang dibuat Plato dalamPhilebus(dalam C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659), Aristoteles dalam Poetics (dalam C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659), Hobbes dalam Leviathan (dalam C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659), dan Rousseau dalamLettre a. M. D'alembert(dalam C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659), humor ditandai sebagai bentuk dari permusuhan. Bagi para filsuf tersebut, kualitas tertawa mengejek, paling sering diarahkan untuk keburukan dan kekurangan orang lain. Hal ini membuat humor menjadi sesuatu tidak diinginkan dan kejam. Tertawa dikatakan mencerminkan sifat agresif yang lebih besar dari manusia yang mengakibatkan korban untuk orang lain. Aristoteles mengatakan bahwa, "komedi bertujuan untuk mewakili manusia yang lebih buruk lagi, tragedi seperti yang lebih baik daripada di kehidupan nyata" dan “yang menggelikan hanyalah bagian yang jeleknya” (Piddington, 1963). Hal tersebut menjadi pelajaran untuk mengingat kembali bahwa hingga akhir abad ke-19, misalnya, hal rutin yang dilakukan dan menjadi kebiasaan dengan mengunjungi rumah sakit jiwa untuk menikmati sambil tertawa melihat para narapidana menyedihkan dan berantakan yang terikat dengan penjara mereka masing-masing (C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659).

Pada abad ke-16, Joubert (dalam C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659) menyatakan bahwa tertawa dapat melancarkan aliran darah yang dapat membantu membuat kulit terlihat sehat dan wajah menjadi berseri-seri. Oleh karena


(50)

itu, tertawa dikatakan tepat untuk kekuatan proses penyembuhan yang memberikan kontribusi yang baik untuk kesehatan pasien.

Tokoh psikologi yang memberikan kontribusi awal yang menggambarkan efek positif dari humor adalah William McDougal (dalam C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659), yang menyarankan bahwa dengan tertawa dapat mengurangi dampak dari serangan sosial yang dapat digunakan sebagai perangkat untuk mencegah simpati yang berlebihan dan untuk menahan diri kita dari depresi, kesedihan, dan berpotensi merusak emosi lainnya. Posisi ini sejajar dengan tulisan-tulisan baru-baru ini mengenai humor sebagai cara untuk mengurangi tekanan (rangsangan emosional).

Freud (dalam C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659), dalam bukunya Jokes and Their Relation to the Unconscious (1905), dijelaskan bahwa tertawa dapat digunakan sebagai pelepasan ketegangan defensif yang telah terangsang oleh keadaan awal untuk tertawa. Ketegangan dikatakan menimbulkan oleh sesuatu yang bisa menimbulkan perasaan atau pikiran terkait dengan kemarahan dan seksualitas dalam situasi di mana ekspresi mereka akan disesuaikan. Ketika ego pertahanan yang menghambat ekspresi emosional tersebut terbukti tidak diperlukan, seperti ketika seorang melakukan lelucon dalam ceritanya dan dengan demikian dapat meringankan emosi pendengarnya, energi dari emosional tersebut dapat ditahan dengan tertawa. Dalam tulisan-tulisan Freud, sesuai dengan McDougall, dia mengisyaratkan pada efek yang menguntungkan dari humor dalam membantu mengurangi dampak tekanan emosional.


(51)

Freud juga menulis sebuah makalah singkat berjudul "Humor" (dalam C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659), di mana ia menyajikan pandangan dari "humor" yang membedakan dari "kecerdasan" dan "komik". Humor dikatakan dapat mewakili internalisasi pengampunan orangtua yang memungkinkan seorang individu untuk memperoleh perspektif dan bantuan dari emosi atas kekecewaan dan kegagalan. Humor melibatkan interpretasi kegagalan sebagai sesuatu yang kurang penting atau keseriusan dari kepercayaan yang sudah ada sebelumnya, sehingga mengubah kegagalan tersebut menjadi seperti "permainan anak kecil". Dengan cara ini, humor menjadi alat untuk bersahabat dengan kekecewaan dan menghindari kecemasan episodic dan depresi. Ini adalah bentuk humor, yang dijelaskan oleh Freud dan dijelaskan oleh McDougall, yang mencirikan banyak penelitian kontemporer tentang humor sebagai pengurangan gangguan emosi.

Perilaku Coping Terkait Dengan Humor

Investigasi yang terkait dengan efek dari stres mengarahkan perhatian mereka pada perilaku coping yang memfasilitasi atau menghambat fungsi optimal pada kondisi yang membahayakan. Sering ditegaskan bahwa metode coping yang melibatkan penghindaran atau penolakan dari pengalaman stres selanjutnya, membuat seseorang menjadi lebih rentan dalam menghadapi stres yang melibatkan kesadaran dan penyesuaian mereka terhadap stres (Lazarus; Janis dalam C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659). Dalam serangkaian studi yang telah dilakukan, humor ditemukan terkait dengan perilaku coping yang lebih aktif dan konfrontatif, yang secara negatif juga berkaitan dengan penghindaran dan penyangkalan.


(52)

Humor juga telah ditemukan terkait dengan “pendekatan” perilaku coping oleh Kuiper, Martin, dan Olinger (dalam C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659) dalam studi mereka tentang respon siswa terhadap ujian akademik. Para penulis tersebut menemukan CHS yang secara positif terkait dengan sejauh mana siswa berhasil melakukan ujian sebagai tantangan daripada ancaman. Selain itu, CHS tersebut ditemukan secara positif berkaitan dengan jarak dan serangan terhadap coping, bagian dalam Ways of Coping Scale (Lazarus & Folkman, dalam C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659). Temuan terakhir ini menunjukkan bahwa orang-orang yang menggunakan humor sebagai mekanisme coping cenderung terlibat dalam problem-focus coping dengan emosi sekecil mungkin selama mereka berhubungan dengan stres. Untuk mendukung pendapat tersebut, penulis juga menemukan bahwa CHS berhubungan negatif dengan ukuran dari Persepsi Tegangan (Cohen, Kamarck, & Mermelstein, dalam C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659) dan Sikap Disfungsional (Cane, Olinger, Gotlib, & Kuiper, dalam C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659), yang menilai bahwa disfungsi kemampuan evaluatif diri berhubungan dengan kerentanan terhadapdysphoria.

Pembelajaran yang meneliti hubungan antara humor dengan perilaku coping memberikan dukungan bagi penyelidikan penelitian sebelumnya yang menunjukkan humor dapat berperan sebagai moderator stres. Perilaku coping yang berhubungan dengan humor tampaknya merupakan jenis yang aktif menandakan konfrontasi dengan pengalaman stres, membantu mengurangi stres, jika tidak segera dilakukan maka ada cukup waktu yang memungkinkan untuk melakukan perubahan pada perspektif yang ada (C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659).


(53)

2.3.6 Melakukan Meditasi

Hasil meditasi yang ditemukan oleh positif psikologi adalah sebagai berikut: 1. Ingatan dan Kecerdasan

Meditasi tampaknya menghasilkan peningkatan kecerdasan, nilai di sekolah, kemampuan belajar, dan ingatan jangka pendek dan ingatan jangka panjang (Cranson et al., 1991; Dillbeck, Assimakis, & Raimondi, 1986; Lewis, 1078 dalam C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659). Penelitian pertama yang memeriksa efek TM pada Culture Fair Intelligence Test (CFIT) atau tes kecerdasan budaya, dan waktu reaksi (Reaction Time/RT) yang dihubungkan dengan kontrol kelompok. Bahkan ketika kontrol dilakukan pada tingkat usia, tingkat pendidikan, kepentingan pada meditasi, tingkat pendidikan orang tua, dan pendapatan tahunan, kelompok TM meningkat secara signifikan pada kedua tindakan tersebut dibandingkan pada kontrol kelompok. Para penulis menunjukkan bahwa meditasi TM nampaknya menjadi alat "pendidikan yang menjanjikan untuk meningkatkan kemampuan pembelajaran untuk belajar" (Cranson et al., dalam C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659).

2. Kreativitas

Kreativitas adalah sesuatu yang bersifat kompleks, yang terdiri dari berbagai sifat dan kemampuan, termasuk keterampilan untuk menilai/mempersepsi, kelancaran ideasional, keterbukaan untuk melakukan, dan fleksibilitas emosional. Dalam beberapa penelitian meditasi, satu atau lebih sifat-sifat tersebut telah membaik. Cowger dan Torrance (dalam C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659) mempelajari 24 mahasiswa perguruan tinggi yang diajarkan meditasi Zen dan


(54)

10 yang diajarkan relaksasi. Para meditator mencapai keuntungan yang signifikan secara statistik dalam kreativitas seperti yang didefinisikan oleh kesadaran masalah tingkat tinggi, perubahan persepsi, penemuan, pengalaman sensoris, ekspresi emosional/perasaan, humor dan fantasi. Peneliti TM lain juga telah melaporkan adanya hubungan antara TM dan kreativitas misalnya, Margid pada tahun 1986 (dalam C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659).

3. Peran Hubungan Interpersonal

Tloczynski dan Tantriella (dalam C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659) memeriksa efek dari meditasi napas sebagai proses relaksasi di perguruan tinggi. 75 mahasiswa, masuk ke dalam awal kegelisahan, yang secara acak masuk ke dalam meditasi, relaksasi, dan kelompok kontrol. Para siswa yang diterima hanya diberikan waktu 1 jam instruksi untuk melakukan hal tersebut dengan teknik yang baik. Menariknya, setelah 6 minggu, skor masalah interpersonal menurun secara signifikan hanya pada kelompok meditasi, meskipun, kegelisahan dan depresi skor menurun secara signifikan pada kedua kelompok meditasi dan relaksasi, dibandingkan dengan kelompok kontrol.

4. Kepribadian dan Penghargaan Diri

Berdasarkan penemuan yang berhubungan dengan hal tersebut, meditasi tampaknya terkait dengan karakteristik kepribadian positif. Misalnya, ketika kelompok nonmeditators dicocokkan dengan kelompok pemula, meditasi jangka pendek, dan meditasi jangka panjang dan hasilnya dibandingkan, hasil menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam pertumbuhan kepribadian yang positif sebagai fungsi dari meditasi yang panjang (C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659).


(55)

Emavardhana dan Tori (dalam C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659), memeriksa efek dari partisipasi meditasi yang dilakukan oleh pelatihan meditasi Vipassana selama 7 hari yang dibandingkan dengan kelompok kontrol yang sesuai. Para meditator yang telah mundur mengalami peningkatan yang signifikan dalam keseluruhan harga diri, perasaan dibutuhkan, kebajikan, dan penerimaan diri dibandingkan dengan kelompok kontrol yang sesuai.

5. Kebahagiaan dan Efek Yang Positif.

Smith, Compton, dan West (dalam C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659) menyelidiki dampak dari penambahan meditasi dalam Fordyce’s (dalam C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659) Personal Happiness Enhancement Program(PHEP) atau program peningkatan kebahagiaan pribadi. 36 materi pelajaran diberikan secara acak kepada kelompok ekperimental atau kelompok kontrol yang tidak diberikan pengobatan. Subjek percobaan dibagi menjadi dua kelompok, dimana kedua-duanya diberikan instruksi dari PHEP, namun satu kelompok eksperimental juga diajarkan latihan meditasi yang serupa yaitu Benson’s Relaxation Responses

atau respon relaksasi dari Benson (dalam C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659). Groups bertemu dalam 12 kali pertemuan, masing-masing 11/2 jam, selama 6

minggu. Kelompok meditasi yang ditambah dengan PHEP mengalami peningkatan secara signifikan pada ukuran kebahagiaan, kecemasan, dan depresi, dibandingkan dengan kelompok yang tidak menggunakan PHEP dan kelompok kontrol saja. Para meditator juga melaporkan tingkat yang meningkat secara signifikan pada perilaku positif, stres dan gejala penyakit yang menurun secara signifikan, tingkat kecemasan,


(56)

permusuhan, depresi, dan dysphoria yang juga menurun (Beauchamp – Turner & Levinson, dalam C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659).

6. Latihan Informal: Penilaian dalam Kehidupan Sehari-Hari

Meskipun masih sangat sedikit penelitian yang mengkhususkan untuk menguji efek dari latihan meditasi dari waktu ke waktu mengenai pengalaman hidup sehari-hari (praktek informal), hal ini merupakan topik penelitian yang sangat penting. Easterlin dan Cardena (dalam C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659) mengevaluasi dampak dari awal meditasi Vipassana dalam kehidupan sehari-hari dan meditasi lanjutannya. Peserta meditasi terdiri dari 43 meditator, diantaranya 19 meditator pemula, dan 24 lainnya adalah meditator yang lebih berpengalaman, menjawab pertanyaan secara acak mengenai kesadaran, penerimaan, pengaruh, dan gaya kognitif. Sehubungan dengan para pemula tersebut, pelaku meditasi yang lebih berpengalaman tersebut melaporkan kesadaran yang lebih besar, suasana hati yang positif, dan penerimaan dan tingkat kecemasan yang lebih rendah, serta tingkat stres yang lebih rendah, dan akal sehat yang terkontrol.

7. Ketahanan Menghadapi Stres dan Rasa Kecocokan

Ketahanan Menghadapi Stres (Kobasam dalam C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659) dan Rasa Kecocokan (Antonovsky) mengacu pada karakteristik kepribadian yang relatif stabil yang memengaruhi bagaimana penerimaan seseorang dan merasakan dunia. Ketahanan menghadapi stres terdiri dari tiga komponen penting; komitmen, kontrol, dan tantangan. Rasa kecocokan mengacu pada kemampuan seseorang untuk menemukan makna keduniawian, mengerti, dan mengendalikannya. Kabat – Zinn dan Skillings (dalam C. R. Snyder & Shane J.


(57)

Lopez, 2005: 573-659) memeriksa efek dari program pengurangan stres yang dilakukan selama 8 minggu dalam program Ketahanan Menghadapi Stres dan Rasa Kecocokan (Stress Hardiness and Sense of Coherence). Para peneliti menemukan bahwa 6% - 7% nilai rata-rata peningkatan kedua hal tersebut yang diikuti oleh 582 pasien. Mereka yang melakukan peningkatan terbesar dalam mengikuti program

Sense of Coherence membuat perubahan yang besar pula dalam psikologi dan gejala pengurangan fisik. Pada tiga tahun ke depannya (Kabat-Zinn & Skilling, 1992), keuntungan program tersebut tetap dipertahankan, bahkan dilakukan perbaikan lebih lanjut pada programSense of Coherencetersebut.

8. Sikap Empati

Seluruh kelompok meditasi telah menekankan perhatian mereka terhadap kondisi orang lain yang dimaksudkan untuk “mempromosikan sikap empati mereka ke hal-hal yang dibuat yang mengarah kepada satu sama lain” (Murphy, et al., dalam C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659). Pada studi lain yang dilakukan oleh Saphiro (dalam C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659) memeriksa efek dari makna meditasi pada 78 siswa yang sakit dan sedang dalam pengobatan. Hasil menunjukkan adanya peningkatan pada tingkat empati dan penurunan pada tingkat kegelisahan dan depresi pada kelompok meditasi bila dibandingkan dengan daftar tunggu kelompok kontrol.


(58)

Meditasi telah dideskripsikan sebagai “cara untuk mengaktualisasikan dan menyatukan kepribadian seseorang untuk memenuhi penggabungan pribadi” (Ferguson, dalam C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659).

10. Kepercayaan Afiliatif dan Motivasi Keesaan

Weinberger, McLeod, McClelland, Santorelli, dan Kabat-Zinn (dalam C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659) memberikan hipotesis bahwa MBSR akan memberikan peningkatan pada kepercayaan afiliatif dan motivasi keesaan. Kepercayaan afiliatif ditandai dengan rasa kepercayaan, keterbukaan, dan kepedulian dan dapat memprediksi hasil kesehatan positif (McClelland, dalam C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659).

11. Kerohanian

Shapiro dan teman-temannya (dalam C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659) melakukan studi acak terkontrol untuk menguji efek meditasi kesadaran pada siswa paramedis dan medis. Skor yang lebih tinggi terlihat secara signifikan diperoleh oleh kelompok spiritual meditasi daripada kelompok kontrol. Selanjutnya, hasil ini diulang ketika kelompok kontrol menerima intervensi yang sama. Astin (dalam C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659) juga menunjukkan peningkatan yang signifikan dari kelompok spiritual setelah intervensi kesadaran meditasi yang diberikan pada sekelompok mahasiswa.


(59)

Kerohanian adalah suatu proses yang mengatakan potensi terbaik dalam diri kita. Kemampuan untuk membayangkan, mencari, berhubungan dan berpengangan, serta berdoa mungkin yang menjadikan manusia unik dan berbeda dari mahluk lainnya. Kerohanian, bagaimanapun juga, tidak dapat dihapuskan dari proses biologis, psikologis, atau proses sosial tanpa menghilangkan karakter penting dari hal tersebut (C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659)

Dalam spiritualitas, kita dapat menemukan cara untuk memahami dan berhubungan dengan kekurangan manusia, sesuatu yang menjadi batas kendali kita. Sayangnya, bahasa-bahasa kerohanian seperti – yang Kudus, transendensi, ikhlas, kesabaran, penderitaan, iman, misteri, keterbatasan, pengorbanan, rahmat, dan transformasi – masih asing dalam psikologi. Meskipun demikian, mungkin masih banyak yang bisa diperoleh dengan menjembatani pandangan dunia, metode, dan nilai-nilai spiritualitas dengan orang-orang psikologi. Jadi, kerohanianlah yang membantu kita untuk menerima batas-batas yang kita miliki meskipun bertentangan psikologis yang seharusnya membuat kita mencoba untuk meningkatkan kekuatan dan kontrol yang kita miliki (C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659).

Para ahli sosial, pakar kesehatan, dan pakar kesehatan mental telah mulai mengembangkan “intervensi psikospiritual” yang menggabungkan sumber daya spiritual dengan klinis/kesehatan. Pendekatannya berorientasi pada spiritual yang berhubungan dengan rasional-emotif, terapi kognitif-perilaku, psikoanalisis, perkawinan-keluarga, dan eksistensial (Shafranske, dalam C. R. Snyder & Shane J. Lopez, 2005: 573-659).


(60)

2.4 Dukungan Sosial

2.4.1 Pengertian Dukungan Sosial

Dukungan sosial telah didefinisikan sebagai informasi dari orang lain yang mencintai dan peduli, menghargai dan bernilai, dan bagian dari jaringan komunikasi serta menjadi kewajiban bersama dari orang tua, pasangan, orang-orang yang berkepentingan, teman-teman, lingkungan sosial, dan komunitas tertentu (seperti komunitas gereja atau kelompok) (Rietschlin, 1998 dalam Taylor 2003: 235), atau dengan binatang kesayangan sekalipun (J. M. Siegel, 1993 dalam Taylor, 2003: 235). Menurut Sarafino, dukungan sosial mengacu kepada kesenangan yang dirasakan, penghargaan akan kepedulian, atau membantu orang menerima dari orang-orang atau kelompok-kelompok lain (dalam Smet, 1994: 136). (Gottlieb dalam Smet, 1994: 135) mendefinisikan hal serupa, menurutnya dukungan sosial secara operasional yaitu dukungan sosial yang terdiri dari informasi atau nasehat verbal dan non verbal yang diberikan oleh suatu jaringan sosial tersebut dan mempunyai manfaat perilaku bagi penerima.

Berdasarkan definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial adalah pemberian bantuan baik secara verbal maupun non-verbal seperti kasih sayang, perhatian, penghargaan, atau pertolongan yang mempunyai manfaat dan bernilai bagi penerimanya. Pemberian dukungan sosial dapat dilakukan oleh orang tua, keluarga, teman-teman, lingkungan sosial, dan teman dalam komunitasnya.


(1)

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

R Square Change

F

Change df1 df2 Sig. F Change

1 .887a .787 .754 2.32782 .787 23.986 4 26 .000

a. Predictors: (Constant), Dukungan Informatif, Dukungan Penghargaan, Dukungan Emosional, Dukungan Instrumental

Y5

dengan X1

Model Summary

Model R

R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

Change Statistics R Square

Change F

Change df1 df2 Sig. F Change

1 .047a .002 -.032 2.01435 .002 .065 1 29 .800

a. Predictors: (Constant), Dukungan Emosional

Y

5

dengan X

2

Model Summary

Model R

R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

Change Statistics R Square

Change F

Change df1 df2 Sig. F Change

1 .644a .415 .373 1.56989 .415 9.926 2 28 .001

a. Predictors: (Constant), Dukungan Instrumental, Dukungan Emosional


(2)

Model Summary

Model R

R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

Change Statistics R Square

Change F

Change df1 df2

Sig. F Change

1 .646a .418 .353 1.59470 .418 6.458 3 27 .002

a. Predictors: (Constant), Dukungan Penghargaan, Dukungan Instrumental, Dukungan Emosional

Y5

dengan X4

Model Summary

Model R

R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

Change Statistics R Square

Change F

Change df1 df2 Sig. F Change

1 .653a .426 .338 1.61340 .426 4.827 4 26 .005

a. Predictors: (Constant), Dukungan Informatif, Dukungan Penghargaan, Dukungan Emosional, Dukungan Instrumental

Y6

dengan X1

Model Summary

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

Change Statistics R Square

Change F Change df1 df2

Sig. F Change

1 .245a .060 .028 1.27229 .060 1.849 1 29 .184


(3)

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

R Square Change

F

Change df1 df2

Sig. F Change

1 .464a .215 .159 1.18293 .215 3.843 2 28 .034

a. Predictors: (Constant), Dukungan Instrumental, Dukungan Emosional

Y6

dengan X3

Model Summary

Model R

R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

Change Statistics R Square

Change F

Change df1 df2

Sig. F Change

1 .533a .285 .205 1.15029 .285 3.580 3 27 .027

a. Predictors: (Constant), Dukungan Penghargaan, Dukungan Instrumental, Dukungan Emosional

Y6

dengan X4

Model Summary

Model R

R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

Change Statistics R Square

Change

F

Change df1 df2

Sig. F Change

1 .564a .318 .213 1.14451 .318 3.030 4 26 .035

a. Predictors: (Constant), Dukungan Informatif, Dukungan Penghargaan, Dukungan Emosional, Dukungan Instrumental


(4)

Model Summary

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

Change Statistics R Square

Change F

Change df1 df2 Sig. F Change

1 .186a .035 .001 2.30324 .035 1.039 1 29 .316

a. Predictors: (Constant), Dukungan Emosional

Y

7

dengan X

2

Model Summary

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

Change Statistics R Square

Change F

Change df1 df2 Sig. F Change

1 .731a .534 .501 1.62874 .534 16.035 2 28 .000

a. Predictors: (Constant), Dukungan Instrumental, Dukungan Emosional

Y7

dengan X3

Model Summary

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

Change Statistics R Square

Change F

Change df1 df2 Sig. F Change

1 .800a .640 .600 1.45709 .640 16.019 3 27 .000

a. Predictors: (Constant), Dukungan Penghargaan, Dukungan Instrumental, Dukungan Emosional


(5)

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

Change Statistics R Square

Change F Change df1 df2 Sig. F Change

1 .800a .640 .585 1.48470 .640 11.573 4 26 .000

a. Predictors: (Constant), Dukungan Informatif, Dukungan Penghargaan, Dukungan Emosional, Dukungan Instrumental

Korelasi faktor-faktor coping stres

Correlations

Menceritaka n dan Menuliskan

Masalah

Menemu kan hikmah

dari Masalah

Mengambil Respon Positif Ketika

Kehilangan

Mencari Kebermakn

aan hidup Humor Meditasi Kerohanian Pearson

Correlation

Menceritakan dan

Menuliskan Masalah 1.000 .761 .720 .830 .418 .681 .578

Menemukan hikmah

dari Masalah .761 1.000 .799 .914 .587 .567 .698

Mengambil Respon Positif Ketika Kehilangan

.720 .799 1.000 .777 .519 .646 .699

Mencari Kebermaknaan hidup

.830 .914 .777 1.000 .532 .597 .690

Humor .418 .587 .519 .532 1.000 .340 .568

Meditasi .681 .567 .646 .597 .340 1.000 .494

Kerohanian .578 .698 .699 .690 .568 .494 1.000

Sig. (1-tailed)

Menceritakan dan

Menuliskan Masalah . .000 .000 .000 .010 .000 .000

Menemukan hikmah


(6)

Positif Ketika Kehilangan

.000 .000 . .000 .001 .000 .000

Mencari Kebermaknaan hidup

.000 .000 .000 . .001 .000 .000

Humor .010 .000 .001 .001 . .031 .000

Meditasi .000 .000 .000 .000 .031 . .002

Kerohanian .000 .000 .000 .000 .000 .002 .

N Menceritakan dan

Menuliskan Masalah 31 31 31 31 31 31 31

Menemukan hikmah

dari Masalah 31 31 31 31 31 31 31

Mengambil Respon Positif Ketika Kehilangan

31 31 31 31 31 31 31

Mencari Kebermaknaan hidup

31 31 31 31 31 31 31

Humor 31 31 31 31 31 31 31

Meditasi 31 31 31 31 31 31 31