Evaluasi drug related problems pada pengobatan pasien stroke di instalansi rawat inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005.
INTISARI
Stroke merupakan penyebab kematian ke-3 di dunia dan penyebab kematian ke-1 di Indonesia. Di instalasi rawat inap Rumah Sakit Panti Rapih
(RSPR) Yogyakarta tahun 2005 stroke menempati urutan ke-4 dalam diagnosa
sepuluh besar penyakit di rumah sakit tersebut. Stroke akan mempengaruhi fungsi normal tubuh sehingga terapi pada pasien akan menggunakan lebih dari 2 macam obat sekaligus. Kondisi ini yang menyebabkan terjadinya drug related problems (DRPs). Adanya DRPs yang terjadi dalam pengobatan akan merugikan pasien. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kejadian DRPs pada terapi pasien stroke di instalasi rawat inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005.
Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental dengan rancangan deskriptif evaluatif yang bersifat retrospektif dengan menggunakan data rekam medik pasien stroke di instalasi rawat inap RSPR Yogyakarta tahun 2005. Drug related problems dievaluasi dengan melihat pengobatan pada pasien stroke dibandingkan dengan Standar Pelayanan Medis Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 1998, European Stroke Initiative (EUSI) Recommendations for stroke management-update 2003, National Cinical Guidelines for Stroke tahun 2004.
Hasil penelitian yang didapat yaitu persentase kasus laki-laki sebesar 63% dan wanita sebesar 37%, umur 55-64 tahun dan 65-74 tahun yang paling banyak terjadi kasus stroke 31%, kejadian stroke iskemik sebesar 91% dan stroke hemoragi sebesar 9%, obat yang digunakan untuk penyakit pada sistem kardiovaskuler 100%; obat yang bekerja pada sistem saluran pernafasan sebesar 23,94%; obat yang bekerja pada sistem saraf pusat sebesar 25,35%; obat yang bekerja sebagai analgesik sebesar 35,21%; obat yang digunakan untuk pengobatan infeksi sebesar 49,30%; obat-obat hormonal sebesar 16,90%; obat-obat yang mempengaruhi gizi dan darah sebesar 87,32%; obat-obat untuk penyakit otot skelet dan sendi sebesar 12,68%; dan obat lain-lain (antidotum parasetamol, antitetanus) sebesar 2,82%. Drug related problems yang terjadi dalam pengobatan stroke adalah butuh obat (26 kasus), tidak butuh obat (19 kasus), obat salah (3 kasus), dosis kurang (4 kasus), dosis berlebih (10 kasus), adanya efek samping obat dan interaksi obat ( 7kasus).
Kata kunci: drug related problems (drps), stroke.
(2)
ABSTRACT
Stroke is placed on third rank of the cause of death in the world and on the first rank in Indonesia. In 2005, the hospitalized unit of Panti Rapih Hospital Yogyakarta placed stroke on the fourth rank of big ten disease diagnose in that hospital. Stroke will affect normal function of humen body so patient’s theraphy will use two or more medicine at the time. This kind of condition is the one that cause drug related problems (DRPs). Drug related problems are problems that most frequently appear in a therapy. The existance of DRPs in a medication can terrible effect on patients. The purpose of this research is to evaluate DRPs which happened in stroke therapy in the hospitalized unit of Panti Rapih Hospital Yogyakarta in 2005.
This research is a non experimental research with descriptive evaluative research design which has retrospective characteristic by looking at the medical record of Panti Rapih Hospital Yogyakarta in 2005. The occurred DRPs are evaluated by looking at the treatment of stroke compared with Standard of medical service of Panti Rapih Hospital Yogyakarta in 1998, European Stroke Initiative (EUSI) Recommendations for stroke management-update in 2003 and National Cinical Guidelines for Stroke in 2004.
The result of this research that percentage of stroke patient 63% are man and 37% are woman, ischemic stroke are 91% and hemoragic stroke are 9%. Patients who used head CT scan was 89%. Class of medicine therapy often used is 36,62% for digestive tract; 100% for cardiovascular system; 23,94% for respiratory tract; 25,35% for central nervous system; 35,21% for analgesics; 49,30% for infection; 16,90% for hormone 87,32% for nutrition and blood; 12,68% for skleletal and neuromuscular, and 2,82% for the others. Drug related problems which happen in medication of stroke are need for additional drug therapy (26 cases), unnecessary drug therapy (19 cases), wrong drug (3 cases), dossage too low (4 cases), dossage too high (10 cases), adverse drug reaction and drug interaction (7 cases).
Keyword: drug related problems (drps), stroke
(3)
EVALUASI DRUG RELATED PROBLEMS PADA PENGOBATAN PASIEN STROKE DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT PANTI
RAPIH YOGYAKARTA TAHUN 2005 SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh :
Meita Krismayanti NIM : 028114141
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2007
(4)
(5)
(6)
(7)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa,
karena atas berkat dan perlindunganNya, penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “Evaluasi Drug Related Problems dalam Pengobatan Pasien Stroke di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005” sebagai
salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan strata satu di Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan dorongan, motivasi, saran, maupun bantuan finansial sampai
terselesaikannya skripsi ini, terutama kepada :
1. Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas farmasi dan dosen penguji
yang telah yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk melakukan
penelitian ini dan meluangkan waktu untuk menguji, memberikan kritik dan
saran demi kesempurnaan skripsi ini
2. dr. Luciana Kuswibawati, M.Kes selaku dosen penguji, atas saran dan kritik
yang telah diberikan demi terselesaikannya skripsi ini sebagai suatu karya
ilmiah.
3. Imono Argo Donatus, S.U., Apt (Alm.) selaku dosen pembimbing atas waktu,
kesabaran, nasihat dan semangat dalam proses penyusunan skripsi.
4. Aris Widayati, M.Si., Apt. selaku dosen pembimbing yang telah sabar
membimbing, memberi saran dan kritik, dorongan dan motivasi selama
penulisan skripsi ini.
(8)
5. Direktur Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta yang telah memberi
kesempatan untuk melakukan penelitian dan mengambil data yang diperlukan.
6. Bapak Ibu di Bagian Rekam Medik Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta
yang telah membantu kelancaran pengambilan data penelitian ini.
7. Dra.A.M.Wara Kusharwanti, M.Si., Apt dan mbak Vina yang telah membantu
survey data pasien dan masukan yang sangat membantu dalam penyusunan
skripsi ini.
8. Bapak dan mamaku tercinta atas doa, dukungan, cinta, bantuan finansial dan
semangat untuk pengerjaan skripsi ini.
9. Adik-adikku yang manis yang selalu mendukungku agar tetap semangat
menyelesaikan skripsi.
10.Sahabat-sahabatku tersayang Re dan Odel yang selalu bersamaku dalam suka
dan duka, trima kasih buat semua hal yang udah kita jalani.
11.Teman dan sahabatku Neea, Windut, Nopek dan Heyi, makasih buat waktu
dan pengalaman yang sudah diberikan.
12.Fransiskus Wijakongko, S.Farm, Apt., terima kasih untuk waktu, dukungan,
cinta dan kesetiaannya menemani dan mendengarkanku dalam setiap
kesempatan terutama selama penyusunan skripsi ini.
13.Keluarga besar Bapak Yok Wawan Sugeng yang bersedia menjadikanku
keluarga, trimakasih buat semangat dan nasehatnya.
14.Teman-teman kelas C khususnya kelompok F (Puri-J, Fretty-W, Mbakyu
Wira, Fifi, Ciput, Sindu, Vero, Cik San, Ncus, Arya, Tessa, Ratih, Inong,
Niek) yang telah menemaniku selama kuliah dan praktikum.
(9)
15. Rosa-ocha, dan Ika yang telah berkenan meminjamkan buku dalam
penyusunan skripsi ini hingga selesai.
16.Astu, Wenny, Cecil, Rina, Astri teman seperjuangan di Rekam Medik Rumah
Sakit Panti Rapih, trima kasih atas kerjasamanya.
17.Yereh dan Mbak Dhany kecil yang udah memberi masukan dalam penyusunan
skripsi ini.
18.Teman-teman di Butik Day or Night Kak Pipit, Mbak Dini, Mbak Sinta,
Dewi, Tya dan Miqu, trima kasih atas pengertiannya.
19.Semua temanku di farmasi, STBK dan kost yang telah memberikan dorongan
dan bantuan hingga terselesaikannya skripsi ini.
20. Semua orang di masa laluku dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan
satu persatu di sini, baik secara langsung maupun tidak langsung telah banyak
membantu terselesaikannya skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, oleh karena itu
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun.
Penulis
(10)
(11)
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
HALAMAN PENGESAHAN... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
KATA PENGANTAR ... vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... ix
DAFTAR ISI... x
DAFTAR TABEL... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN... xviii
INTISARI... xix
ABSTRACT... xx
BAB I. PENGANTAR ... 1
A. Latar Belakang Penelitian ... 1
1. Perumusan masalah... 3
2. Keaslian penelitian ... 4
3. Manfaat penelitian... 5
B. Tujuan Penelitian... 5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6
A. Drug Related Problems ... 6
B. Stroke... 7
(12)
1. Definisi... 7
2. Klasifikasi ... 8
3. Penyebab ... 9
4. Epidemiologi ... 9
5. Patofisiologi ... 10
6. Faktor resiko ... 12
7. Gambaran klinis ... 13
8. Diagnosis... 13
9. Penatalaksanaan terapi ... 15
a. Tujuan terapi ... 15
b. Sasaran terapi ... 15
c. Strategi terapi ... 16
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 27
A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 27
B. Definisi Operasional... 27
C. Subjek Penelitian ... 28
D. Bahan Penelitian dan Lokasi Penelitian ... 28
E. Jalannya Penelitian ... 29
1. Persiapan ... 29
2. Pengumpulan data ... 29
3. Analisis data ... 30
4. Pembahasan ... 31
(13)
F. Kesulitan ... 31
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 32
A. Karakteristik Pasien Stroke... 32
B. Pemeriksaan CT Scan Kepala... 34
C. Pola Pengobatan Stroke... 34
1. Obat yang bekerja pada sistem saluran cerna ... 36
2. Obat yang digunakan untuk penyakit pada sistem kardiovaskuler... 37
3. Obat yang bekerja pada sistem saluran pernafasan ... 39
4. Obat yang bekerja pada sistem saraf pusat ... 40
5. Obat yang bekerja sebagai analgesik ... 41
6. Obat yang digunakan untuk pengobatan infeksi ... 42
7. Obat-obat hormonal ... 43
8. Obat-obat yang mempengaruhi gizi dan darah ... 44
9. Obat-obat untuk penyakit otot skelet dan sendi ... 45
10. Obat lain-lain (antidotum parasetamol, antitetanus) ... 46
D. Evaluasi Drug Related Problems (DRPs)... 47
1. DRP Butuh obat (need for aditional drug therapy) ... 48
2. DRP Tidak butuh obat (unnecessary drug therapy) ... 49
3. DRP Obat salah (wrong drug) ... 50
4. DRP Dosis kurang (dosage too low) ... 51
5. DRP Dosis berlebih (dosage too high) ... 52
(14)
6. DRP Efek samping obat (Adverse drug reaction) dan adanya interaksi
obat (drug interaction) ... 54
E. Outcome Pasien Stroke ... 62
F. Rangkuman Pembahasan ... 63
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 65
A. Kesimpulan ... 65
B. Saran ... 66
DAFTAR PUSTAKA ... 67
LAMPIRAN... 71
BIOGRAFI PENULIS ... 106
(15)
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel I. Perbedaan stroke hemoragi dan iskemik (Junaidi, 2004)... 9
Tabel II. Penyebab stroke (Rice, 2002; Fagan and Hess, 2005)... 9
Tabel III. Faktor resiko stroke (Goldstein, Adams, Alberts, Appel,
Brass, Bushnell, et al., 2006; Fagan and Hess, 2005)... 12
Tabel IV. Penanganan hipertensi pada stroke iskemik akut
(EUSI, 2003)... 19
Tabel V. Insulin regular dengan cara skala luncur (Kelompok Studi
Serebrovaskuler dan Neurogeriatri Perdossi, 2000)... 20
Tabel VI. Pilihan obat yang digunakan pada terapi lipid dan lipoprotein menurut Anonim (20005f)... 22
Tabel VII. Indikasi dan kontraindikasi penggunaan tPA secara intravena
pada stroke iskemik akut (Fagan and Hess, 2005) ... 23
Tabel VIII. Distribusi penggunaan obat-obat pada pasien stroke di instalasi rawat inap RSPR Yogyakarta tahun 2005 ... 35
Tabel IX. Golongan, kelompok dan jenis obat pada sistem saluran
cerna yang digunakan dalam pengobatan pasien stroke di
instalasi rawat inap RSPR Yogyakarta tahun 2005 ... 36
Tabel X. Golongan, kelompok dan jenis obat pada sistem
kardiovaskuler yang digunakan dalam pengobatan pasien stroke di instalasi rawat inap RSPR Yogyakarta tahun 2005 ... 38
Tabel XI. Golongan, kelompok dan jenis obat pada sistem saluran
pernafasan yang digunakan dalam pengobatan pasien stroke di instalasi rawat inap RSPR Yogyakarta tahun 2005 ... 39
Tabel XII. Golongan, kelompok dan jenis obat pada sistem saraf pusat
yang digunakan dalam pengobatan pasien stroke di instalasi rawat inap RSPR Yogyakarta tahun 2005 ... 40
(16)
Tabel XIII. Golongan, kelompok dan jenis obat analgesik yang digunakan dalam pengobatan pasien stroke di instalasi rawat inap RSPR Yogyakarta tahun 2005 ... 41
Tabel XIV. Golongan, kelompok dan jenis obat untuk pengobatan
infeksi yang digunakan dalam pengobatan pasien stroke di instalasi rawat inap RSPR Yogyakarta tahun 2005 ... 42
Tabel XV. Golongan, kelompok dan jenis obat hormonal yang
digunakan dalam pengobatan pasien stroke di instalasi rawat inap RSPR Yogyakarta tahun 2005 ... 43
Tabel XVI. Golongan, kelompok dan jenis obat yang mempengaruhi gizi
dan darah yang digunakan dalam pengobatan pasien stroke
di instalasi rawat inap RSPR Yogyakarta tahun 2005 ... 44
Tabel XVII. Golongan, kelompok dan jenis obat untuk penyakit otot
skelet dan sendi yang digunakan dalam pengobatan pasien stroke di instalasi rawat inap RSPR Yogyakarta tahun 2005
... 45
Tabel XVIII Golongan,kelompok dan jenis obat lain-lain yang digunakan
dalam pengobatan pasien stroke di instalasi rawat inap
RSPR Yogyakarta tahun 2005 ... 46
Tabel XIX. Hasil analisis DRPs yang terjadi dalam pengobatan stroke di
instalasi rawat inap RSPR Yogyakarta tahun 2005 ... 47
Tabel XX Butuh obat pada pasien stroke di instalasi rawat inap RSPR
Yogyakarta tahun 2005 ... 48
Tabel XXI Tidak butuh obat pada pasien stroke di instalasi rawat inap
RSPR Yogyakarta tahun 2005 ... 49
Tabel XXII Obat salah pada pasien stroke di instalasi rawat inap RSPR
Yogyakarta tahun 2005 ... 50
Tabel XXIII Dosis kurang pada pasien stroke di instalasi rawat inap RSPR Yogyakarta tahun 2005 ... 51
Tabel XXIV Dosis berlebih pada pasien stroke di instalasi rawat inap RSPR Yogyakarta tahun 2005 ... 52
(17)
Tabel XXV Efek samping obat dan adanya interaksi obat pada pasien
stroke di instalasi rawat inap RSPR Yogyakarta tahun 2005 ... 54
Tabel XXVI Evaluasi DRPs kasus 5 (obat salah, tidak butuh obat, dan
interaksi obat) pada pasien stroke di instalasi rawat inap RSPR Yogyakarta tahun 2005... 56
Tabel XXVII Evaluasi DRPs kasus 19 (dosis berlebih dan butuh obat) pada pasien stroke di instalasi rawat inap RSPR Yogyakarta tahun 2005 ... 57
TabelXXVIII Evaluasi DRPs kasus 20 (dosis kurang dan butuh obat) pada pasien stroke di instalasi rawat inap RSPR Yogyakarta tahun 2005 ... 58
Tabel XXIX. Evaluasi DRPs kasus 22 (dosis kurang dan interaksi obat) pada pasien stroke di instalasi rawat inap RSPR Yogyakarta tahun 2005 ... 59
Tabel XXX Evaluasi DRPs kasus 39 (dosis berlebih, interaksi obat, obat
salah, tidak butuh obat) pada pasien stroke di instalasi rawat inap RSPR Yogyakarta tahun 2005 ... 60
Tabel XXXI Evaluasi DRPs kasus 53 (efek samping obat, butuh obat)
pada pasien stroke di instalasi rawat inap RSPR Yogyakarta tahun 2005 ... 61
(18)
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Persentase pasien stroke di instalasi rawat inap RSPR
Yogyakarta tahun 2005 berdasarkan kelompok umur ... 32
Gambar 2. Persentase pasien stroke di instalasi rawat inap RSPR
Yogyakarta tahun 2005 berdasarkan jenis kelamin ... 33
Gambar 3. Persentase pasien stroke di instalasi rawat inap RSPR
Yogyakarta tahun 2005 berdasarkan jenis stroke .…………. 33
Gambar 4. Pemeriksaan fisik utama CT Scan kepala pada pasien stroke di instalasi rawat inap RSPR Yogyakarta tahun 2005 ... 34
Gambar 5. Outcome pasien stroke di instalasi rawat inap RSPR
Yogyakarta tahun 2005... 62
(19)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Data pasien stroke tahun 2005 …...……….. 71
Lampiran 2. Catatan perkembangan kasus 56, 19, 20, 22, 39 dan 53
………... 99
Lampiran 3. Surat izin penelitian ……….. 105
(20)
INTISARI
Stroke merupakan penyebab kematian ke-3 di dunia dan penyebab kematian ke-1 di Indonesia. Di instalasi rawat inap Rumah Sakit Panti Rapih
(RSPR) Yogyakarta tahun 2005 stroke menempati urutan ke-4 dalam diagnosa
sepuluh besar penyakit di rumah sakit tersebut. Stroke akan mempengaruhi fungsi normal tubuh sehingga terapi pada pasien akan menggunakan lebih dari 2 macam obat sekaligus. Kondisi ini yang menyebabkan terjadinya drug related problems (DRPs). Adanya DRPs yang terjadi dalam pengobatan akan merugikan pasien. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kejadian DRPs pada terapi pasien stroke di instalasi rawat inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005.
Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental dengan rancangan deskriptif evaluatif yang bersifat retrospektif dengan menggunakan data rekam medik pasien stroke di instalasi rawat inap RSPR Yogyakarta tahun 2005. Drug related problems dievaluasi dengan melihat pengobatan pada pasien stroke dibandingkan dengan Standar Pelayanan Medis Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 1998, European Stroke Initiative (EUSI) Recommendations for stroke management-update 2003, National Cinical Guidelines for Stroke tahun 2004.
Hasil penelitian yang didapat yaitu persentase kasus laki-laki sebesar 63% dan wanita sebesar 37%, umur 55-64 tahun dan 65-74 tahun yang paling banyak terjadi kasus stroke 31%, kejadian stroke iskemik sebesar 91% dan stroke hemoragi sebesar 9%, obat yang digunakan untuk penyakit pada sistem kardiovaskuler 100%; obat yang bekerja pada sistem saluran pernafasan sebesar 23,94%; obat yang bekerja pada sistem saraf pusat sebesar 25,35%; obat yang bekerja sebagai analgesik sebesar 35,21%; obat yang digunakan untuk pengobatan infeksi sebesar 49,30%; obat-obat hormonal sebesar 16,90%; obat-obat yang mempengaruhi gizi dan darah sebesar 87,32%; obat-obat untuk penyakit otot skelet dan sendi sebesar 12,68%; dan obat lain-lain (antidotum parasetamol, antitetanus) sebesar 2,82%. Drug related problems yang terjadi dalam pengobatan stroke adalah butuh obat (26 kasus), tidak butuh obat (19 kasus), obat salah (3 kasus), dosis kurang (4 kasus), dosis berlebih (10 kasus), adanya efek samping obat dan interaksi obat ( 7kasus).
Kata kunci: drug related problems (drps), stroke.
(21)
ABSTRACT
Stroke is placed on third rank of the cause of death in the world and on the first rank in Indonesia. In 2005, the hospitalized unit of Panti Rapih Hospital Yogyakarta placed stroke on the fourth rank of big ten disease diagnose in that hospital. Stroke will affect normal function of humen body so patient’s theraphy will use two or more medicine at the time. This kind of condition is the one that cause drug related problems (DRPs). Drug related problems are problems that most frequently appear in a therapy. The existance of DRPs in a medication can terrible effect on patients. The purpose of this research is to evaluate DRPs which happened in stroke therapy in the hospitalized unit of Panti Rapih Hospital Yogyakarta in 2005.
This research is a non experimental research with descriptive evaluative research design which has retrospective characteristic by looking at the medical record of Panti Rapih Hospital Yogyakarta in 2005. The occurred DRPs are evaluated by looking at the treatment of stroke compared with Standard of medical service of Panti Rapih Hospital Yogyakarta in 1998, European Stroke Initiative (EUSI) Recommendations for stroke management-update in 2003 and National Cinical Guidelines for Stroke in 2004.
The result of this research that percentage of stroke patient 63% are man and 37% are woman, ischemic stroke are 91% and hemoragic stroke are 9%. Patients who used head CT scan was 89%. Class of medicine therapy often used is 36,62% for digestive tract; 100% for cardiovascular system; 23,94% for respiratory tract; 25,35% for central nervous system; 35,21% for analgesics; 49,30% for infection; 16,90% for hormone 87,32% for nutrition and blood; 12,68% for skleletal and neuromuscular, and 2,82% for the others. Drug related problems which happen in medication of stroke are need for additional drug therapy (26 cases), unnecessary drug therapy (19 cases), wrong drug (3 cases), dossage too low (4 cases), dossage too high (10 cases), adverse drug reaction and drug interaction (7 cases).
Keyword: drug related problems (drps), stroke
(22)
BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang
Stroke merupakan kedaruratan medis akibat kerusakan neurologik karena adanya gangguan akut aliran darah otak akibat terjadinya penyumbatan
atau terjadinya perdarahan pada stroke hemoragi (Wibowo dan Gofir, 2001).
Diperkirakan 1 dari 3 orang akan mengalami stroke dan 1 dari 7 orang akan
meninggal karena stroke (Junaidi, 2004).
Stroke adalah penyebab kematian ketiga di USA, selain penyakit kardiovaskular dan kanker. Pada pertengahan abad ke-20 stroke terjadi lebih dari 700.000 individu per tahun dan menyebabkan kematian 15.000 orang
(Fagan dan Hess, 2005). Secara umum, angka kejadian (prevalensi) stroke
hemoragi antara 15-30% dan stroke iskemik 70-85%. Secara khusus, untuk
negara-negara berkembang atau Asia angka kejadian stroke hemoragi sekitar 30% dan iskemik sebesar 70% (Junaidi, 2004).
Di Indonesia, diperkirakan setiap tahunnya 500.000 penduduk terkena
stroke, dan sekitar 25% atau 125.000 orang meninggal dan sisanya mengalami cacat berat atau ringan (Yayasan Stroke Indonesia, 2006). Selanjutnya, Yayasan Stroke Indonesia (Yastroki) juga menyebutkan stroke menempati urutan pertama sebagai penyebab kematian di rumah sakit. Menurut unit pencatatan medik
Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta periode 1 Januari-31 Desember 2005,
(23)
2
kasus stroke yang terjadi sebanyak 238 kasus dan menempati urutan ke- 4 dalam diagnosis 10 besar penyakit di Rumah Sakit Panti Rapih pada periode tersebut.
Risiko stroke akan meningkat pada penduduk usia lanjut. Penyakit
stroke paling banyak diderita oleh orang dengan umur berkisar antara 55-65 tahun dan merupakan penyebab umum dari kecacatan dan kematian pada penduduk
yang berusia pertengahan dan usia tua tersebut (Anonim, 2005a). Dengan
meningkatnya usia harapan hidup di Indonesia, maka diperkirakan angka kejadian
stroke akan meningkat pula, sehingga diperlukan upaya untuk mengurangi angka kematian dan kecacatan dengan penanganan setiap kasus stroke primer dan stroke
sekunder. Upaya tersebut adalah dengan mengendalikan faktor risiko stroke
(Haryono, 2002).
Penelitian mengenai drug related problems (DRPs) dalam pengobatan
pasien stroke dilakukan karena pengobatan kuratif stroke membutuhkan
kecermatan dan ketepatan pemberian obat. Pemberian obat dalam pengobatan
pasien stroke merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan terapi selain ketepatan diagnosis. Selain itu, pengobatan stroke juga memerlukan perawatan jangka panjang yang lebih bagi mereka yang menderita cacat berat sehingga
sebagian besar pasien stroke menjalani pengobatan di instalasi rawat inap.
Anonim (1995) menyebutkan DRPs terjadi kira-kira sepertiga bagian yang
berkaitan dengan pasien rawat inap. Adanya DRPs yang terjadi dalam pengobatan akan merugikan pasien. Drug related problems mengakibatkan penurunan kualitas hidup pasien, meningkatkan biaya pengobatan yang dikeluarkan oleh pasien, serta
(24)
Salah satu contoh akibat yang ditemui adalah peningkatan biaya
pengobatan. Peningkatan biaya akibat DRPs merupakan permasalahan utama di
USA padahal 50% kasus DRPs dapat dicegah (Nguyen, 2000). Menurut Rice
(2002), stroke merupakan penyakit dengan biaya paling mahal di USA. Biaya
pengobatan stroke di rumah sakit diperkirakan sekitar $ 3,6 milyar pada tahun
1998 dan $ 49,4 milyar pada tahun 2000. Untuk mengatasi DRPs tersebut
dibutuhkan peran seorang farmasis. Dengan peningkatan jumlah farmasi klinik di
rumah sakit maka kualitas hidup pasien akan meningkat dan biaya perawatan
kesehatan menurun pada instalasi rawat inap. Pada penelitian yang sama juga
disebutkan oleh Nguyen (2000) farmasi di rumah sakit lebih sering tidak tepat
dalam dispensing obat bila dibandingkan dengan farmasi di apotek. Oleh karena itu, penelitian DRPs dalam pengobatan pasien stroke dilakukan di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta yang memiliki jumlah pasien stroke dalam jumlah besar sehingga memiliki kemungkinan besar terjadinya DRPs.
1. Perumusan masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :
a. seperti apa karakteristik pasien stroke di instalasi rawat inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005 berdasarkan umur, jenis kelamin dan jenis
stroke?
b. berapa persentase pasien stroke di instalasi rawat inap Rumah Sakit Panti
(25)
4
c. seperti apa pola pengobatan pasien stroke di instalasi rawat inap Rumah Sakit Panti Rapih tahun 2005?
d. apakah ada drug related problems yang meliputi: 1) butuh obat (need for additional drug therapy)? 2) tidak butuh obat (unnecessary drug therapy)? 3) obat salah (wrong drug)?
4) dosis kurang (dosage too low)? 5) dosis berlebih (dosage too high)?
6) reaksi efek samping obat (adverse drug reaction) dan interaksi obat drug interaction)?
e. seperti apa outcome pasien stroke di instalasi rawat inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005?
2. Keaslian penelitian
Evaluasi drug related problems pada pengobatan pasien stroke di
Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih tahun 2005 belum pernah
dilakukan. Penelitian-penelitian tentang stroke yang pernah dilakukan adalah Pola Pengobatan Stroke di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Tahun 1999 (Kristanto, 2001) dan Kajian Medication Error Pada Kasus Stroke di RS PKU Muhammadiyah Surakarta Tahun 2004 (Mutmainah, 2005). Perbedaan dengan
penelitian ini adalah dilakukan evaluasi DRPs terhadap pengobatan pasien stroke di instalasi rawat inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005. Jika
terdapat DRPs dalam pengobatan, maka peneliti akan memberikan rekomendasi
(26)
3. Manfaat penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
a. manfaat praktis: dapat memberi informasi dan referensi untuk bahan
pertimbangan dalam meningkatkan pelayanan kesehatan, dan
b. manfaat teoritis: dapat menjadi salah satu sumber informasi tentang drug
related problems pada pengobatan stroke.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik pasien
stroke, pemeriksaan CT scan kepala, pola pengobatan pasien dalam pengobatan stroke, mengevaluasi adanya DRPs yang meliputi adanya butuh obat, tidak butuh obat, obat salah, dosis berlebih, dosis kurang, reaksi efek samping dan interaksi
obat, dan mendeskripsikan outcome pasien stroke di instalasi rawat inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005.
(27)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Drug related problems
Drug related problems terjadi kira-kira sepertiga bagian pada pasien yang menjalani rawat inap dan mengakibatkan penurunan kualitas hidup pasien,
meningkatkan biaya pengobatan yang dikeluarkan oleh pasien, serta
meningkatkan rata-rata angka kematian pada pasien dengan usia 55-65 tahun
(Anonim, 1995; Nguyen, 2000; Anonim 2005a). Masalah- masalah dalam kajian
DRPs menurut Cipolle, Strand dan Morley (1998) antara lain:
1. butuh obat (need for additional drug therapy), jika kondisi baru yang
membutuhkan obat, kondisi kronis yang membutuhkan kelanjutan terapi obat,
kondisi yang membutuhkan kombinasi obat, dan kondisi yang mempunyai
risiko kejadian efek samping dan membutuhkan obat untuk pencegahannya.
2. tidak butuh obat (unnecessary drug therapy), jika obat yang diberikan tidak sesuai dengan indikasi pada saat itu, pemakaian obat kombinasi yang
seharusnya tidak diperlukan, dan meminum obat dengan tujuan untuk
mencegah efek samping obat lain yang seharusnya dapat dihindarkan.
3. obat salah (wrong drug), jika obat yang diberikan kepada pasien tidak efektif (kurang sesuai dengan indikasinya), obat tersebut efektif tetapi tidak
ekonomis, pasien mempunyai alergi terhadap obat tersebut, obat yang
diberikan mempunyai kontraindikasi dengan obat lain yang dibutuhkan, dan
antibiotika yang sudah resisten terhadap infeksi pasien.
(28)
4. pasien mendapat obat yang tidak mencukupi atau kurang (dosage too low), jika dosis obat tersebut terlalu rendah untuk memberikan efek, dan interval
dosis tidak cukup.
5. pasien mendapat dosis obat yang berlebih (dosage too high), jika dosis obat terlalu tinggi untuk memberikan efek.
6. munculnya efek yang tidak diinginkan atau efek samping obat (adverse drug reaction) dan adanya interaksi obat (drug interaction), jika ada alergi, ada faktor risiko, ada interaksi dengan obat lain, dan hasil laboratorium berubah
akibat penggunaan obat.
7. ketidaktaatan pasien pada penggunaan obat yang diresepkan (uncompliance), jika pasien tidak menerima regimen obat yang tepat, terjadi medication error (peresepan, penyerahan obat dan monitoring pasien), ketidaktaatan pasien,
pasien tidak membeli obat yang disarankan karena mahal, pasien tidak
menggunakan obat karena ketidaktahuan cara pemakaian obat, pasien tidak
menggunakan obat karena ketidakpercayaan dengan produk obat yang
dianjurkan.
B. Stroke 1. Definisi
Stroke merupakan kedaruratan medis akibat kerusakan neurologik karena adanya gangguan akut aliran darah otak akibat terjadinya oklusi
(penyumbatan) atau terjadinya perdarahan pada stroke hemoragik
(29)
8
fokal maupun global akut dengan gejala dan tanda sesuai bagian otak yang
terkena yang sebelumnya tanpa peringatan dapat sembuh dengan cacat atau
kematian akibat gangguan aliran darah ke otak karena perdarahan ataupun non
perdarahan (Junaidi, 2004).
2. Klasifikasi
Stroke diklasifikasikan menjadi 2 yaitu iskemik dan hemoragi
(Fagan dan Hess, 2005). Berdasarkan perjalanan klinisnya stroke iskemik
dikelompokkan menjadi:
a. trancient ischemic attack (TIA), serangan stroke sementara yang berlangsung kurang dari 24 jam,
b. reversible ischemic neurologic deficit (RIND) yaitu gejala neurologis yang akan menghilang antara > 24 jam sampai dengan 21 hari,
c. progressing stroke atau stroke in evaluation yaitu kelumpuhan atau defisit neurologik yang berlangsung secara bertahap dari yang ringan sampai yang
berat,
d. completed stroke yaitu kelainan neurologis yang sudah menetap dan tidak berkembang lagi (Junaidi, 2004).
Berdasarkan lokasi perdarahan diotak stroke hemoragi dibedakan
menjadi 2 yaitu intracerebral hemorrhage (perdarahan intraserebral), jika terjadi perdarahan pada pembuluh darah dan masuk ke dalam jaringan otak sehingga,
terjadi hematom. Subarachnoid hemorrhage (perdarahan subarakhnoid), jika
(30)
(Fagan dan Hess, 2005). Menurut Junaidi (2004) perbedaan stroke iskemik dan hemoragi seperti yang tersaji pada tabel I.
Tabel I. Perbedaan stroke hemoragi dan stroke iskemik (Junaidi, 2004)
Stroke hemoragi Stroke iskemik
Pemeriksaan Intraserebral Subarakhnoid Trombosis Emboli
Umur 40-60 tahun Tak tentu 50-70 tahun Semua umur
Onset Aktivitas Aktivitas Bangun tidur Tak tentu
Terjadinya gejala Cepat Cepat Bertahap Cepat
Gejala penyerta TIA Sakit kepala Muntah Kejang Vertigo - ++ ++ ++ - - ++++ ++++ ++++ - + - - - +/- + - - - +/- Pemeriksaan fisik Kesadaran Kaku kuduk Kelumpuhan Aphasia CT scan Coma +/- Hemiplegi - Hipoden ++++ Somnolen ++++ Hemiparesis +/- - Normal/hiperden Normal - Hemiplegi ++/- Hipoden setelah
4 -7 hari
Normal - Hemiplegi ++/- Hipoden setelah 4-7 hari Faktor resiko Hipertensi DM Hiperlipidemia maligna - - +/- - - +/- ++ ++ - - -
3. Penyebab
Stroke disebabkan oleh beberapa faktor. Secara ringkas penyebab stroke disajikan pada tabel II.
Tabel II. Penyebab stroke (Rice, 2002;Fagan dan Hess, 2005)
Jenis stroke Penyebab
Stroke iskemik 1). Penyakit pembuluh darah besar (emboli pada
arteri)
2). Emboli pada arteri ke jantung
3). Penyakit pembuluh darah kecil (infark lakuner) 4). Penyebab yang jarang terjadi, misalnya infark
vena, vaskulopathi, penggunaan obat, migrain, dan lain-lain.
Strokehemoragi 1). Intraserebral primer
2). Hemoragi subarakhnoid
4. Epidemiologi
Stroke merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas ketiga di USA. Setiap tahunnya diperkirakan kejadian stroke ± 700.000 orang dan 150.000 orang
(31)
10
diantaranya meninggal karena stroke (Fagan and Hess, 2005). Angka kejadian stroke hemoragi 15-30% dan stroke iskemik 70-85%. Tetapi, untuk negara-negara berkembang atau Asia angka kejadian stroke perdarahan sekitar 30% dan iskemik 70% terdiri dari trombosis serebri 60%, emboli serebri 5% dan lain-lain 30%
(Junaidi, 2004). Meskipun angka kejadian stroke hemoragi lebih rendah daripada stroke iskemik tetapi tingkat kematian akibat stroke hemoragi 2 – 6 kali lebih tinggi (Fagan dan Hess, 2005).
4. Patofisiologi
Patofisiologi stroke dibedakan menurut jenis stroke, yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragik
a. Stroke iskemik
Nilai normal cerebral blood flow adalah 50 – 60 ml/100 g/menit dengan rata-rata tekanan darah arteri 50 – 150 mmHg. Pembuluh darah akan melebar dan
menyempit dengan adanya perubahan tekanan darah yang disebut cerebral
autoregulation (Fagan dan Hess, 2005). Batas atas tekanan darah sistemik yang masih dapat ditanggulangi adalah 220/110-120 mmHg (Haryono, 2005).
Adanya trombosis, emboli atau ateroma akan menghambat aliran darah
ke otak atau cerebral blood flow. Cerebral Blood Flow (CBF) akan turun menjadi <20 ml/100 g/menit yang akan menyebabkan keadaan iskemik. Iskemik akan
menyebabkan neuron tidak mendapat suplai yang cukup terhadap kebutuhan O2
untuk dapat menjalankan fungsinya. Keadaan ini menyebabkan metabolisme
dalam keadaan anaerob yang menghasilkan energi dalam jumlah yang kecil
(32)
dimana Na+ masuk dan K+ keluar secara berlebihan. Depolarisasi akan
menyebabkan influks Ca2+ yang berlebihan di dalam sel. Influks Ca2+ yang
berlebihan akan menyebabkan aktivasi fosfolipase A2 yang menimbulkan
gangguan fungsi mitokondria sebagai pernapasan sel, meningkatkan nitric oxide synthase (NOS)yang berefek neurotoksik. Gangguan fungsi mitokondria dan efek toksik NOS berakibat terjadinya oxidative stress. Oxidative sress dan aktivasi fosfolipase A2 akan menyebabkan kematian neuron. Neuron yang mati ini akan
direspon oleh jaringan dengan cara menghasilkan NOS kembali sehingga akan
menyebabkan lebih banyak lagi neuron yang mati yang disebut infark
(Junaidi, 2004).
Selain proses diatas, patofisiologi stroke juga dimulai dengan adanya sumbatan aliran darah tetapi akan direspon oleh tubuh melalui peningkatan
tekanan darah supaya terjadi reperfusi (Junaidi, 2004). Reperfusi justru akan
menyebabkan edema dan kemungkinan perdarahan di otak (Haryono, 2002).
b. Stroke hemoragi.
Stroke hemoragi (perdarahan) disebabkan oleh perdarahan pada arteri serebral. Darah yang keluar dari pembuluh arteri masuk ke jaringan otak
parenkima sehingga terjadi hematom. Hematom menyebabkan tekanan tinggi
intrakranial. Keadaan ini terjadi pada perdarahan intrakranial atau intraserebral.
Tekanan tinggi intrakranial (TTIK) menyebabkan terjadinya hipertensi. Semakin
tinggi tekanan intrakranial maka semakin parah hipertensi yang terjadi. Oleh
karena itu, pada stroke perdarahan intraserebral biasanya disertai hipertensi maligna. Jika darah dari sistem pembuluh darah masuk ke rongga subarakhnoid
(33)
12
terjadi perdarahan subarakhnoid sekunder. Jika sumber perdarahan berasal dari
rongga subarakhnoid maka terjadi perdarahan subarakhnoid primer
(Junaidi, 2004; Fagan danHess, 2005).
5. Faktor resiko
Faktor resiko stroke adalah kondisi yang membuat seseorang rentan
terhadap serangan stroke. Adanya faktor resiko juga dapat memperparah
terjadinya stroke ulang maupun stroke awal. Faktor resiko stroke dibagi menjadi 2 golongan besar yaitu faktor resiko tunggal dan faktor resiko ganda. Faktor
resiko tunggal dibedakan menjadi faktor yang dapat dikontrol (modifiable risk factors) dan faktor yang tidak dapat dikontrol (non modifiable risk factors). Faktor resiko tersebut tersaji pada tabel III.
Tabel III. Faktor resiko stroke (Goldstein, Adams, Alberts, Appel, Brass, Bushnell, et al., 2006; Fagan dan Hess, 2005)
Faktor resiko yang tidak dapat dikontrol
Umur Ras
Jenis kelamin Berat lahir
Riwayat penyakit keluarga Faktor resiko tunggal
Faktor resiko yang dapat dikontrol
Hipertensi Penyakit jantung TIA
Diabetes
Hiperkolesterolemia Merokok
Atrial fibrilation
Stenosis karotid asimptomatis Sickle cell disease
Faktor gaya hidup Kontrasepsi oral dan obat
lainnya Homosistein
Infeksi virus dan bakteri Penyakit subklinik Faktor resiko ganda Profil Framingham Tekanan darah sistolik
Serum kolesterol
Gangguan toleran glukosa Merokok
(34)
6. Gambaran klinis
Secara umum gambaran klinis yang sering dijumpai pada penderita
stroke akut adalah sebagai berikut :
a. hemiparesis yaitu pasien akan mengalami kelemahan pada salah satu bagian
tubuh,
b. aphasia yaitu tidak dapat berbicara,
c. hemianopsia yaitu penglihatan terganggu yaitu penglihatan gelap atau ganda
sesaat,
d. vertigo yaitu pusing yang menetap dan terjatuh (Fagan dan Hess, 2005)
7. Diagnosis
Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan perjalanan penyakit dan
hasil pemeriksaan fisik. Perjalanan penyakit yang dimaksud adalah riwayat
penyakit pasien sedangkan pemeriksaan fisik berfungsi untuk membantu
menentukan lokasi kerusakan otak. Pemeriksaan fisik yang dilakukan antara lain
tersebut di bawah ini.
a. Pemeriksaan neurologis, meliputi :
1) glasgow coma scale (GCS), 2) respon pupil,
3) denyut nadi,
4) tekanan darah,
5) frekuensi pernapasan, dan
(35)
14
b. Pemeriksaan rutin, meliputi :
1) jumlah sel darah total (full blood count): hemoglobin, hematokrit, eritrosit, lekosit, hitung jenis
2) trombosit, waktu perdarahan dan waktu pembekuan, laju endap darah
3) glukosa darah sewaktu, puasa, 2 jam setelah makan, kolesterol total, HDL,
LDL, trigliserida
4) urea, protein darah, asam urat, kreatinin, fungsi hati, urin lengkap
5) elektrolit (bila perlu)
6) foto thorax
7) tes serologik untuk sifilis, AIDS, TBC, autoimun, dan lain-lain (Junaidi,
2004; Anonim, 2005a).
c. Computerized Tomography scanning (CT scan), merupakan tehnik
pemeriksaan yang utama untuk deteksi proses patologis di otak secara langsung.
CT scan mampu membedakan stroke iskemik dan stroke perdarahan dan dapat menilai letak, besar, luas dari area infark setelah 24 jam (Anonim, 2005a;
Fagan danHess, 2005).
d. Angiografi, dilakukan pada pembuluh darah diotak yang mengalami ruptur
jika perdarahan yang terjadi berasal dari aneurisme dan malformation pembuluh arteriovenous (Anonim, 2005c).
e. Magnetic Resonance Imaging (MRI), dapat memperlihatkan area iskemik atau mendiagnosa stroke iskemik lebih dini (Junaidi, 2004).
(36)
f. Electro cardiography (ECG), harus dibuat pada saat pasien datang dan perlu
dilakukan pada semua pasien yang dicurigai mengalami stroke embolik
(Anonim, 2005b; Anonim, 2005c; Junaidi, 2004).
9. Penatalaksanaan terapi
Penatalaksanaan terapi pada stroke akut dapat dilihat sebagai berikut. a. Tujuan terapi
Tujuan terapi stroke akut adalah untuk mengurangi kerusakan neurologis secara terus menerus, mengurangi mortalitas dan kecacatan dalam waktu yang
lama; mencegah komplikasi sekunder pada imobilitas dan disfungsi neurologis;
mencegah kekambuhan stroke atau stroke ulang (Fagan dan Hess, 2005). b. Sasaran terapi
Sasaran terapi pada stroke akut difokuskan pada pernapasan dan fungsi jantung serta secara cepat mengetahui kerusakan akibat iskemik maupun hemoragi
berdasarkan CT scan kepala. Gangguan sel otak dibatasi oleh periode waktu
berkisar antara 3-6 jam yang disebut golden periode atau golden hours
(Pepe, 2005; Thiruvananthapuram, 2006). Periode waktu ini bervariasi tergantung
kondisi, usia, gizi dan beratnya penyakit penderita. Daerah yang menjadi target
utama berbagai terapi stroke adalah daerah penumbra iskemik. Terapi
farmakologis yang dapat memberikan hasil optimal apabila stroke iskemik
diobati sebelum golden periode dengan kombinasi neuroproteksi dan trombolitik. Pengobatan yang tidak melebihi golden periode akan memberikan outcome yang menguntungkan pasien ((Wibowo dan Gofir, 2001; Junaidi, 2004; Pepe, 2005).
(37)
16
Selain itu, perlu diperhatikan peningkatan tekanan darah mencapai
220/120 mmHg, aortic dissection, infark miokard akut, edema pulmo dan
hipertensive encephalopathy. Pada pasien dengan stroke hemoragi dilakukan bedah dengan endovaskuler atau kranioktomi. Pada fase hiperakut kurangi
komplikasi dan gunakan strategi pencegahan yang sesuai (Fagan dan Hess, 2005;
Wibowo dan Gofir, 2001).
c. Strategi terapi
Strategi terapi pada stroke akut meliputi terapi farmakologis dan terapi non farmakologis.
1) Terapi non farmakologis
Terapi non farmakologis pada pasien stroke akut dibedakan berdasarkan jenis strokenya yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragi.
a) Stroke iskemik
Adanya edema iskemik menyebabkan infark meluas dan meningkatkan
tekanan darah. Pembedahan pada pasien stroke iskemik dapat meningkatkan hasil terapi (EUSI, 2003) selain rehabilitasi yang cepat seperti adanya unit stroke sangat
efektif sebagai tahap akhir untuk mengurangi stroke iskemik. Pencegahan
sekunder yang juga efektif adalah carotid endarterectomy pada bagian yang luka dan stenotic carotid artery. Resiko kambuhnya stroke dapat dikurangi hingga mencapai 48% bila dibandingkan dengan terapi farmakologis dengan penggunaan
aspirin 325 mg per hari. Hal ini diduga karena sekitar 70-90% pasien stroke mengalami stenosis pada arteri interna karotid ipsilateral. Tetapi penelitian ini
(38)
masih kontroversial dan perlu metode yang optimal dalam penanganan pasien
stroke (Fagan dan Hess, 2005). b) Stroke hemoragi
Indikasi bedah dilakukan hanya pada perdarahan serebelum dengan
volume >50 cc, hidrosefalus akut akibat perdarahan intraventrikel atau hematoma
serebelum yang besar dan perdarahan subarakhnoid karena ruptur aneurisma
Berry (jarang terjadi). Tindakan bedah yang dilakukan, misalnya hemicraniectomy dan cerebral angioplasty (Junaidi, 2004). Pembedahan pada pasien dengan subarakhnoid dilakukan dengan menjepit atau membuang pembuluh darah yang
abnormal untuk mengurangi ruptur intracranial aneurysm (AVM) dan
menurunkan mortalitas dengan mengurangi kemungkinan perdarahan kembali
(rebleeding). Pada pasien stroke hemoragi intraserebral prosedur pembedahan belum diuji dengan percobaan klinik. Hal yang paling sering dilakukan pada
pasien ini adalah memasukkan extraventriculair drain (EVD) dan memantau
tekanan intrakranial sedangkan pembedahan masih kontroversial kecuali sebagai
pilihan terakhir pada situasi darurat. Beberapa Guidelines sudah menyarankan terapi bedah ini tetapi masih menemui kendala akibat kurangnya dilakukan
percobaan yang mendukung.
2) Terapi farmakologis
Secara garis besar terapi farmakologis pada pasien stroke juga dibahas berdasarkan jenis strokenya.
(39)
18
a) Stroke iskemik
Terapi umum pada stroke iskemik adalah terapi pada penyakit
komplikasi yang merupakan faktor resiko terjadinya stroke dan terapi untuk
menstabilkan keadaan pasien.
(1) Penyakit sistemik, yaitu dengan deteksi dan terapi lebih dini penyakit sistemik
seperti infark miokard, fibrilasi atrial, diabetes melitus dan gangguan fungsi ginjal
akan sangat bermanfaat untuk mencegah komplikasi penyakit lain waktu
melakukan pengobatan stroke (Junaidi, 2004). (2) Jalan nafas, oksigenasi dan fungsi jantung.
Masalah jalan nafas umumnya terjadi pada pasien dengan stroke
perdarahan. Bagi pasien stroke iskemik, jalan nafas biasanya lebih stabil kecuali pada infark batang otak atau kejang yang berulang. Oksigenasi dilakukan dengan
memberikan oksigen 1 – 2 liter/menit melalui hidung sampai ada analisis gas
darah kemudian disesuaikan dengan target Pa O2 diatas 80 mmHg sampai
100 mmHg. Selain tindakan jalan nafas dan oksigenasi maka tindakan selanjutnya
yang penting juga adalah mempertahankan curah jantung untuk pengaturan
sirkulasi darah. Bantuan sirkulasi harus diusahakan euvolemik karena ± sepertiga
penderita stroke menderita dehidrasi. Adanya dehidrasi akan meningkatkan
viskositas darah sehinga tekanan darah meningkat. Untuk mengatasi hal tersebut
maka diberikan cairan salin 10-15 ml/kg secara bolus kecuali bila ada
kontraindikasi (misal, udem dan payah jantung). Selain itu dapat juga diberikan
(40)
NaCl, KCl, CaCl2, Na-laktat dan maltosa dengan maksimum batas cairan
1500 cc/hari (Junaidi, 2004).
(3) Hipertensi
Tekanan darah naik sewaktu terjadi serangan stroke iskemik dan dapat bertahan sampai beberapa hari. Kenaikan tekanan darah dibutuhkan untuk
mempertahankan aliran darah otak setelah serangan stroke dan akan turun
perlahan-lahan dengan sendirinya tanpa pengobatan pada hari ke 3-7. Namun
demikian tekanan darah mencapai 220/120 mmHg perlu diterapi. Menurut EUSI
(2003) penanganan hipertensi pada stroke iskemik akut disajikan pada tabel IV. Tabel IV. Penanganan hipertensi pada stroke iskemik akut (EUSI, 2003)
TD Sistolik 180-220 mmHg dan atau TD diastolik 105-140 mmHg
Tidak perlu penanganan
TD Sistolik >220 mmHg dan atau TD diastolik 120-140 mmHg pada pengukuran berulang
Kaptopril 6,25-12,5 mg secara po/im Labetalol 5 – 20 mg secara iv
Urapidil 10-50 mg secara iv, dilanjutkan 4-8 mg/jam secara iv
Klonidin 0,15-0,3 mg secara iv atau sc
Dihidralazin 5 mg secara iv ditambah Metoprolol 10 mg
TD Diastolik > 140 mmHg Nitrogliserin 5 mg secara iv dilanjutkan 1-4 mg/jam secara iv
Sodium nitroprusid 1-2 mg * TD : Tekanan darah
* Hindari penggunaan Labetalol pada pasien asma, gagal jantung, bradikardi. * Pada pasien dengan kondisi tidak stabil dan fluktuasi tekanan darah yang sangat cepat, dapat digunakan urapidil/labetalol dan arterenol.
(4) Diabetes melitus
Sebagian besar penderita stroke juga menderita diabetes melitus. Pada diabetes melitus terjadi hiperglikemia. Hiperglikemi terjadi pada 2-3 hari pertama
stroke. Hiperglikemi dapat memperluas area infark karena terbentuknya asam
(41)
20
terapi insulin (Junaidi, 2004). Tetapi, penggunaan insulin yang berlebihan akan
menyebabkan keadaan hipoglikemi yang akan menimbulkan gejala neurologis dan
menyerupai stroke (Adams, et al., 2003). Menurut Kelompok Studi
Serebrovaskuler dan Neurogeriatri Perdossi (2000) penanganan hiperglikemi
dapat diatasi dengan insulin seperti disajikan dalam Tabel V.
Tabel V. Insulin regular dengan cara skala luncur (Kelompok Studi Serebrovaskuler dan Neurogeriatri Perdossi, 2000)
Glukosa (mg/dL) Insulin tiap 6 jam subkutan/sebelum makan
<80 80-150 150-200 201-250 251-300 301-350 351-400 >400
Tidak diberikan insulin Tidak diberikan insulin
2 unit 4 unit 6 unit 8 unit 10 unit 12 unit
(5) Jantung
Stroke iskemik dapat menyebabkan terjadinya gangguan fungsi jantung, bersama-sama dengan perubahan gambaran EKG, aritmia jantung, kadang-
kadang dapat menaikkan kadar enzim jantung. Dalam penangananannya
direkomendasikan digitalisasi jantung apabila betul-betul ada tanda payah jantung
(EUSI, 2003).
(6) Kejang
Kejang biasanya terjadi dalam 2 minggu onset stroke yang biasanya
disebut dengan early seizure atau kejang dini. Insidennya antara 2,5-5,7%. Untuk mengatasi kejang dapat diberikan injeksi diazepam (0,2-0,3 mg/kgBB) atau obat
lain yang sejenis. Bila kejang belum berhenti, berikan dilantin secara intravena
(42)
<50 mg/menit atau secara oral 2-3 x 100 mg/hari dan selama pemberian perlu
monitoring jantung. Apabila masih belum terkontrol perlu diberikan anastesi
golongan barbiturat (Junaidi, 2004).
(7) Demam
Peningkatan suhu tubuh akan menyebabkan outcome yang buruk pada
pasien stroke. Suatu studi meta analisis menyebutkan demam setelah onset stroke akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas sehingga harus diberikan antipiretik
antara lain parasetamol (evidence based level 1) (Adams, et al, 2003). Menurut Lacy, et al. (2003), dosis parasetamol yang dianjurkan sebagai antipiretik adalah 0,5-1 g tiap 4-6 jam, maksimal 4 g per hari dengan cara pemberian secara oral.
Selain itu, pasien juga dapat diterapi dengan kompres air hangat jika peningkatan
suhu tidak terlalu tinggi.
(8) Hiperlipidemia
Peningkatan lipid di dalam darah merupakan faktor resiko terjadinya
stroke iskemik. Pada pasien stroke dengan komplikasi jantung koroner diberikan terapi statin (Solenski, 2004). Penelitian lain juga menyebutkan antihiperlipidemik
yang paling banyak dianjurkan adalah simvastatin 40 mg pada pasien stroke
iskemik dengan kolesterol total lebih dari 3,5 mmol/L (Evidence based medicine Level I) (ISWP, 2004). Demikian pula seperti yang dianjurkan oleh Anonim (2005f) dan Genest (2006) golongan statin merupakan pilihan pertama
penanganan hiperlipidemia. Tetapi, statin bukan satu-satunya antihiperlipidemik
(43)
22
pilihan obat yang secara umum dapat digunakan pada terapi lipid dan lipoprotein
dengan komplikasi stroke maupun non komplikasi disajikan pada tabel VI.
Tabel VI. Pilihan Obat yang Digunakan pada Terapi Lipid dan Lipoprotein Anonim (2005f)
Golongan
obat Jenis Obat
Mekanisme Aksi Efek pada Lipid Efek pada Lipoprotein Kontra- indikasi
Bile Acid Resin (resin penukar anion) Choles tyramin, colestipol, colesevelam ↑ katabolisme LDL ↓ absorpsi kolesterol
↓ kolesterol ↓ LDL 15-30%, ↑ HDL 5-15%, trigliserida tidak berubah atau naik Disbetalipo protein, trigliserida >400mg/dl Niacin atau asam
nikotinat
Niacin ↓ sintesis LDL dan VLDL
↓ trigliserida dan kolesterol
↓LDL 5-25%, ↑ HDL 15-35% ↓trigliserida 20-50%
Penyakit hati kronik, gout berat Fibrat atau turunan
Asam fibrat Gemfibrozil, Fenofibrat, Klofibrat ↑VLDL kliren ↓VLDL kliren
↓ trigliserida dan kolesterol
↓LDL 5-20%, ↓HDL 10-20% ↓trigliserida 20-50%
Penyakit hati dan ginjal berat Statin Lovastatin,
Pravastatin, Simvastatin, Fluvastatin, Atorvastatin, Rosuvastatin
↑ LDL katabolisme; menghambat sintesis LDL
↓ kolesterol ↓LDL 28-55% ↑ HDL 5-15% ↓Trigliserida 7-30%
Penyakit hati kronik atau aktif
2-Azetidinon Ezetimibe Menghambat absorpsi kolesterol yang melintasi batas intestinal
↓ kolesterol ↓LDL 15-20% ↑ HDL 1-4% ↓Trigliserida 5-10% Dikombinsi dengan statin, penyakit hati aktif atau kronik
Menurut Junaidi (2004) terapi khusus pada stroke iskemik adalah
reperfusi dan neuroproteksi.
(1). Reperfusi, yaitu mengembalikan aliran darah ke otak secara adekuat sehingga
perfusi meningkat, obat-obat yang dapat diberikan antara lain :
(a) Thrombolytic agent
Menurut Fagan and Hess (2005) indikasi dan kontraindikasi penggunaan trombolitik disajikan pada Tabel VII. Termasuk dalam kelas terapi ini diantaranya
tPA (tissue plasminogen activator) dan urokinase. Salah satu contoh tPA adalah alteplase yang diberikan dalam waktu kurang dari 3 jam setelah onset dengan
(44)
dosis 0,9 mg/kg BB (maksimum 90 mg) melalui infus lebih dari 60 menit dimana
10 % dari dosis total diberikan sebagai dosis inisial secara bolus iv
selama 1 menit. Pemberian yang terlambat (lebih dari 3 jam setelah onset atau bila
waktu onsetnya tidak bisa dipercaya) tidak dianjurkan karena risiko komplikasi
trombolitik. Setelah penggunaan alteplase, dalam waktu 24 jam pasien tidak boleh
diberikan antiplatelet atau antikoagulan (Anonim, 2004).
Tabel VII. Indikasi dan kontraindikasi penggunaan tPA secara intravena pada stroke iskemik akut (Fagan and Hess, 2005)
Indikasi Kontraindikasi
1). Pasien berumur 18 tahun atau lebih
2). Hasil diagnosis menderita stroke iskemik yang disebabkan defisit neurologik
3). Onset terjadinya simptom kurang dari 180 menit sebelum pengobatan dimulai
1). Didahului perdarahan intrakranial
2). Secara klinik menunjukkan perdarahan subarakhnoid walaupun secara CT scan normal
3). Punya riwayat perdarahan intrakranial, malformasi arteriovenosus atau aneurisma
4). Penggunaan heparin dalam 48 jam sebelumnya 5). Jumlah pletelet kurang dari 100.000/mm3 6). Bukan stroke atau cedera kepala berat 3 bulan
sebelumnya
7). Defisit neurologik terpisah dan ringan seperti ataksia, hanya kehilangan sensoris, disartri, atau kelemahan minimal
8). Mengalami operasi besar dalam 14 hari sebelumnya 9). Tekanan darah sistolik (sistolic blood presure) > 185 mmHg atau tekanan diastolik (diastole blood presure) > 110 mmHg,
10).Sedang menggunakan antikoagulan oral, waktu protrombin > 15 detik, atau INR (International Normalized Ratio) waktu protrombin < 1,7 11).Kadar gula darah < 50 mg/dL
12).Terjadi kejang pada onset stroke 13).Sedang menderita infark miokard
14).Terjadi perdarahan gastrointestinal atau uriner dalam 21 hari sebelumnya
(b) Inhibitor platelet
Obat ini merupakan pilihan utama dalam penanganan stroke iskemik.
Inhibitor pletelet mencegah terbentuknya trombus karena penggumpalan
trombosit darah. Beberapa contoh obat ini adalah pertama asam asetil salisilat
(45)
24
setelah onset stroke dianjurkan dengan dosis 300 mg. Aspirin Mengurangi
iskemik dengan cara menghambat prostaglandin sehingga menurunkan sintesis
tromboksan A2 yang berefek sebagai vasokonstriktor (ISWP, 2004;
Fagan dan Hess, 2005).
Kedua, tiklopidin dengan dosis 2 x 250 mg sehari. Tiklopidin dapat
digunakan sebagai alternatif bagi pasien yang tidak dapat mentoleransi aspirin
atau pada individu yang tidak efektif jika menggunakan aspirin. Tiklopidin
memiliki efek samping yang sangat mengganggu seperti keluhan gastrointestinal,
penekanan sumsum tulang, diare, perdarahan, gatal dan peningkatan kolesterol
serum. Pada lebih dari 2% individu terjadi neutropeni yang bersifat reversibel
dalam waktu 3 minggu sampai 3 bulan sejak pengobatan dimulai (Junaidi, 2004;
Rambe, 2004; Fagan dan Hess, 2005).
Ketiga, pentoksifilin dengan dosis 200 mg dalam 500 cc cairan infus/hari
selama fase akut, lalu dilanjutkan 2-3 x 400 mg peroral/hari (Junaidi, 2004).
Keempat, klopidogrel dengan dosis 75 mg sehari. Pada penggunaan klopidogrel
tidak terjadi neutropenia seperti pada tiklopidin. klopidogrel lebih efektif daripada
aspirin untuk penggunaan jangka panjang (EUSI, 2003). Kelima, kombinasi
50 mg aspirin dan dipiridamol extended released 400 mg dapat menjadi pilihan pertama dalam pengobatan stroke untuk mencegah toleransi aspirin pada pasien (EUSI, 2003). Penggunaan kombinasi ini lebih efektif (37,0%) daripada aspirin
(18,1%) dan dipiridamol extended released sebagai monoterapi (Christoph, 2005). Antiplatelet lainnya adalah cilostazol, merupakan antiplatelet yang digunakan
(46)
untuk mengobati gejala iskemik misalnya ulkus, nyeri, sensasi dingin yang
disebabkan oklusi arteri kronik (Anonim, 2004; Anonim, 2005e).
(c) Antikoagulan
Penggunaan antikoagulan pada stroke akut bertujuan untuk mencegah
perluasan trombus yang menyebabkan bertambahnya defisit neurologik, serta
untuk mencegah kambuhnya episode serebrovaskular.
Beberapa contoh antikoagulan adalah heparin dan warfarin. Heparin
dengan dosis yang rendah berfungsi sebagai profilaksis setelah operasi
tromboemboli. Dosis yang dianjurkan pada Whole Blood Clotting Time (WBCT) adalah 2,5-3 kali hasil kontrol yang diberikan melalui infus intravena. Tetapi,
heparin dapat menyebabkan hemoragik karena heparin akan berkombinasi dengan
antitrombin III (ATIII) menyebabkan inaktivasi faktor X yang menghambat
perubahan protrombin menjadi trombin (Anonim, 2004).
Warfarin sebaiknya diberikan overlap dengan heparin selama 4-5 hari
sampai tercapai target International Normalized Ratio (INR) 2,0-3,0. Hal ini karena efek warfarin delayed selama 3-6 hari (Anonim, 2004).
(2). Neuroproteksi, yaitu penggunaan obat-obat yang berfungsi melindungi otak,
obat-obat yang dapat diberikan antara lain antagonis kalsium (misalnya:
nimodipin) yang bekerja dengan menghambat influks kalsium yang berlebihan ke
dalam neuron, inhibitor trombosit atau inhibitor platelet (misalnya tiklopidin,
cilostazol, indobufen dan dipiridamol), Nootropik (misalnya: pirasetam,
nisergolin, dan co-dergokrin mesilat), cerebral activator (misalnya: sitikolin) yang diberikan selama fase akut tiap 8 jam 250 mg intravena (Junaidi, 2004).
(47)
26
b) Stroke hemoragi
Terapi umum kedaruratan stroke hemoragi sama dengan terapi umum
pada stroke iskemik. Untuk mengatasi nyeri pada stroke iskemik maupun stroke hemoragi diberikan analgesik non opioid. Jika nyeri berat dapat diberikan
analgesik opioid seperti morfin secara intravena. Tetapi perlu diperhatikan pada
stroke perdarahan subarakhnoid tidak boleh diberikan petidin untuk mengatasi nyeri karena dapat mendepresi pernapasan dan menyebabkan hipoksia serebral.
Selain itu, pemberian antikoagulan dan antitrombotik yang merupakan terapi
utama pada stroke iskemik tidak dapat dilakukan pada stroke hemoragi
(Anonim, 2005a; Wibowo dan Gofir, 2001; Junaidi, 2004).
Terapi khusus pada stroke hemoragi meliputi : (1) Antifibrinolitik
Obat ini digunakan sebagai pencegahan kemungkinan komplikasi setelah
pembedahan. Obat yang digunakan adalah aminocaproic acid 5 g dan diikuti
dengan infus konstan 1-1,5 g/jam, atau dengan asam traneksamat. Obat-obat
tersebut menghambat aktivasi plasminogen oleh plasmin sehingga menstabilkan
jendalan fibrin (Wibowo dan Gofir, 2001).
(2) Obat untuk mencegah vasopasmus
Obat yang digunakan adalah obat antagonis selektif untuk sintesis
tromboksan A2. Selain itu, juga digunakan nimodipin dan nikardipin. Keduanya
berfungsi sebagai profilaksis untuk mencegah spasme dan terbukti bermanfaat
selama pengobatan akut perdarahan subarakhnoid. Penggunaan obat ini untuk
(48)
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian mengenai evaluasi drug related problems pada pengobatan pasien stroke di instalasi rawat inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005 merupakan jenis penelitian non eksperimental dengan rancangan deskriptif
evaluatif yang bersifat retrospektif. Penelitian ini termasuk penelitian non
eksperimental karena tidak ada perlakuan pada subyek penelitian. Rancangan
penelitian deskriptif evaluatif karena penelitian hanya bertujuan melakukan
eksplorasi deskriptif terhadap fenomena kesehatan yang terjadi kemudian
mengevaluasi data dari rekam medik. Penelitian ini menggunakan data secara
retrospektif dengan melakukan penelusuran dokumen terdahulu, yaitu pada
lembar rekam medis pasien stroke dengan komplikasi maupun non komplikasi di instalasi rawat inap RSPR tahun 2005.
B. Definisi operasional
1. Pasien dalam penelitian ini adalah pasien stroke dengan komplikasi dan non komplikasi di instalasi rawat inap RSPR Yogyakarta pada tahun 2005.
2. Tipe drug related problems dalam penelitian ini adalah: a. butuh obat (need for additional drug therapy), b. tidak butuh obat (unnecessary drug therapy), c. obat salah (wrong drug),
(49)
28
d. pasien mendapat obat yang tidak mencukupi atau kurang (dosage too low), e. pasien mendapat dosis obat yang berlebih (dosage too high),
f. munculnya efek yang tidak diinginkan atau efek samping obat (adverse
drug reaction) dan adanya interaksi obat (drug interaction).
3. Pola pengobatan adalah terapi farmakologis yang digunakan dalam terapi
pasien stroke selama berada di instalasi rawat inap RSPR Yogyakarta tahun 2005.
4. Outcome adalah hasil/dampak terapi dari pasien stroke setelah menjalani rawat inap di Rumah Sakit Panti Rapih.
C. Subjek Penelitian
Subjek penelitian yang digunakan adalah pasien stroke komplikasi dan non komplikasi yang menjalani rawat inap di Rumah Sakit Panti Rapih pada tahun
2005.
D. Bahan Penelitian dan Lokasi Penelitian
Bahan penelitian yang digunakan adalah lembar rekam medik (medical
record) pasien stroke dengan komplikasi maupun non komplikasi tahun 2005 yang diambil berdasarkan data komputer di bagian rekam medik Rumah Sakit
Panti Rapih. Lokasi penelitian yaitu di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta
(50)
E. Jalannya penelitian
Dalam menyelesaikan penelitian ini dibagi dalam 4 tahap, yaitu :
1. Persiapan
Dimulai dengan survey jumlah pasien stroke yang ada di instalasi rawat inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005 di bagian rekam medik.
Dari hasil survey diperoleh jumlah pasien stroke dengan komplikasi maupun non komplikasi sebanyak 255 data pasien. Setelah dilakukan pengecekan nomor
rekam medis, ditemukan ada 5 pasang nomor rekam medis dengan nama pasien
yang sama sehingga diperoleh 245 data. Dari 245 data, sebanyak 7 rekam medis
tidak dapat digunakan karena pasien menjalani rawat inap tahun 2004 sedangkan
tahun 2005 sebagai pasien rawat jalan. Penelitian ini menganalisis data pada
pasien di instalasi rawat inap sehingga 7 rekam medis tersebut tidak digunakan.
Oleh karena itu diperoleh jumlah data pasien stroke tahun 2005 sebanyak 238 data.
2. Pengumpulan data
Tahap ini adalah tahap pengumpulan data dari sampel pasien stroke
dengan komplikasi dan non komplikasi yang dirawat di Rumah Sakit Panti Rapih
tahun 2005. Adapun data yang dikumpulkan terdiri atas: identitas pasien,
diagnosis, riwayat penyakit, riwayat obat, riwayat alergi, riwayat penyakit
keluarga, pemeriksaan fisik, catatan perkembangan pasien serta terapi yang
diberikan. Data yang dikumpulkan sebanyak 71 data yang diambil secara non
random dari daftar pasien stroke pada bagian rekam medik. Teknik pengambilan
(51)
30
convenience sampling. Pengambilan sampel dengan cara ini karena hanya rekam medik tertentu saja yang tersedia untuk diteliti.
Jumlah sampel yang diambil diperhitungkan berdasarkan rumus:
N
n =
1 + N(e)
2 Dimana, n = jumlah sampel yang diambil,N = banyaknya populasi (238 orang),
e = persen kesalahan sebesar 10% (Notoadmojo, 2002)
sehingga, 238
n = = 70,41 = 71 1 + 238(0,1)2
Jadi, sampel yang diambil sebanyak 71 sampel.
3. Analisis data
Data dianalisis dengan mengelompokkan obat yang digunakan dalam
pengobatan stroke berdasarkan kelas terapi obat, mengelompokkan pasien
berdasarkan umur, jenis kelamin, jenis stroke yang terjadi, pemeriksaan CT scan kepala, dan melihat outcome pasien.
Evaluasi DRPs yang terjadi dalam pengobatan stroke dilakukan
berdasarkan standar pengobatan stroke, yaitu menggunakan:
a. Standar Pelayanan Medis Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 1998,
b. European Stroke Initiative (EUSI) Recommendations for stroke management-update 2003,
(52)
Kemudian dihitung jumlah kasus yang terjadi DRPs dan dikelompokkan berdasarkan jenis DRPs dan dihitung persentasenya. Ketidakpatuhan pasien dalam menggunakan obat tidak dapat diamati, karena penelitian ini bersifat retrospektif.
4. Pembahasan kasus
Kasus yang didapat dibahas dengan metode SOAP (Subjective,
Objective, Assessment, Plan) berdasarkan standar pengobatan stroke dan pustaka
yang sesuai. Sebanyak 6 kasus diambil sebagai contoh evaluasi DRPs yang
mewakili ke-6 tipe DRPs yang terjadi dalam pengobatan stroke pada penelitian ini.
F. Kesulitan
Penelitian retrospektif mempunyai banyak kelemahan bila dibandingkan
penelitian prospektif. Pada penelitian retrospektif, peneliti tidak dapat mengamati
perkembangan kondisi pasien yang sebenarnya berkaitan dengan analisis tipe
DRPs, yaitu tentang terjadinya efek samping obat, interaksi obat, dan kepatuhan terapi. Selain itu peneliti juga mengalami kesulitan dalam membaca catatan terapi
dengan penulisan yang kurang jelas, penggunaan bahasa daerah dalam penulisan
keluhan pasien dalam catatan perkembangan, bahkan ada beberapa rekam medis
tidak mencantumkan keluhan pasien dan terjadi kesalahan penulisan nama
(53)
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Pasien Stroke
Karakteristik pasien stroke di instalasi rawat inap Rumah Sakit Panti Rapih (RSPR) Yogyakarta pada tahun 2005 dapat dilihat berdasarkan kelompok
umur, jenis kelamin dan jenis stroke yang disajikan pada gambar 1, gambar 2 dan gambar 3. Berdasarkan data yang diperoleh pada tempat penelitian, pasien stroke berusia antara 35 hingga 90 tahun dan mulai meningkat pada kelompok usia 55
tahun. Hal ini tidak jauh berbeda dengan teori yang dikemukakan oleh Fagan dan
Hess dalam Dipiro, et al (2005) bahwa prevalensi stroke akan meningkat setelah umur 55 tahun.
Persentase pasien stroke berdasarkan kelompok umur
6% 16%
31% 31%
10% 7%
0% 5% 10% 15% 20% 25% 30% 35%
Kelompok umur
P
er
s
en
tase
k
e
lom
pok
um
ur 35-44 tahun
45-54 tahun 55-64 tahun 65-74 tahun 75-84 tahun 85-94 tahun
Gambar 1. Persentase pasien stroke di instalasi rawat inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005 berdasarkan kelompok umur
Berdasarkan jenis kelamin, prevalensi stroke pada pria sebesar 63% dan wanita sebesar 37% yang disajikan pada gambar 2. Hal ini sesuai dengan
(54)
American Heart Association pada tahun 2006 yang menyebutkan prevalensi stroke pada pria 1,25 kali lebih besar dibandingkan wanita.
Persentase pasien stroke berdasarkan jenis kelamin
63% 37%
Laki-laki Perempuan
Gambar 2. Persentase pasien stroke di instalasi rawat inap RSPR Yogyakarta tahun 2005 berdasarkan jenis kelamin
Jenis stroke yang dialami oleh pasien stroke adalah hemoragi sebesar 9% dan iskemik sebesar 91% seperti tersaji pada gambar 3. Hasil penelitian ini
mendekati pernyataan Junaidi (2004) yang menyebutkan bahwa di negara-negara
berkembang atau Asia prevalensi stroke hemoragi sekitar 30 % dan iskemik 70 %. Dengan kata lain prevalensi stroke hemoragi lebih kecil daripada stroke iskemik.
Persentase pasien stroke berdasarkan jenis
stroke
92% 8%
Stroke hemoragi Stroke iskemik
(55)
34
B. Pemeriksaan Fisik CT Scan Kepala
CT scan kepala merupakan merupakan tehnik pemeriksaan fisik yang utama untuk deteksi proses patologis di otak secara langsung sehingga dapat
membedakan stroke hemoragi dan stroke iskemik. Sebesar 89% pasien melakukan CT scan kepala. Akan tetapi, karena alasan ekonomis sebanyak 11% tidak melakukan CT scan kepala. Apabila tidak dilakukan CT scan kepala, penentuan
jenis stroke dengan melihat gambaran klinis stroke seperti pada tabel I.
Pemeriksaan fisik CT scan kepala pada pasien stroke tersaji pada gambar 4.
Pemeriksaan CT scan kepala pada pasien stroke
89% 11%
Melakukan CT scan kepala tidak melakukan CT scan kepala
Gambar 4. Pemeriksaan fisik CT scan kepala pada pasien stroke di instalasi rawat inap RSPR Yogyakarta tahun 2005.
C. Pola Pengobatan Stroke
Stroke akan mempengaruhi fungsi normal tubuh sehingga terapi pada stroke menggunakan berbagai macam obat yang berfungsi untuk mengatasi faktor risiko stroke, gejala yang muncul dan rehabilitasi setelah onset stroke. Pola
pengobatan pada pasien stroke merupakan gambaran pengobatan yang diberikan
(56)
disajikan dalam bentuk tabel yang disertai penjelasan. Gambaran secara umum
distribusi penggunaan obat-obat pada pasien stroke di RSPR Yogyakarta tahun 2005 menurut kelas terapinya disajikan pada tabel VIII.
Tabel VIII. Distribusi penggunaan obat-obat pada pasien stroke di instalasi rawat inap RSPR Yogyakarta tahun 2005 berdasarkan kelas terapi obat
No Kelas terapi obat Jumlah kasus Persentase
(%)
1 Obat yang bekerja pada sistem saluran cerna 26 36,62
2 Obat yang digunakan untuk penyakit pada sistem kardiovaskuler
71 100*
3 Obat yang bekerja pada sistem saluran pernafasan
17 23,94
4 Obat yang bekerja pada sistem saraf pusat 18 25,35
5 Obat yang bekerja sebagai analgesik 25 35,21
6 Obat yang digunakan untuk pengobatan
infeksi
35 49,30
7 Obat-obat hormonal 12 16,90
8 Obat-obat yang mempengaruhi gizi dan darah
62 87,32**
9 Obat-obat untuk penyakit otot skelet dan sendi
9 12,68
10 Obat lain-lain (antidotum parasetamol, antitetanus)
2 2,82
Pada tabel diatas terlihat bahwa berdasarkan kelas terapi, obat yang
paling banyak penggunaannya adalah obat yang digunakan untuk penyakit pada
sistem kardiovaskuler. Penggunaan obat pada kelas terapi ini karena subjek
penelitian ini adalah pasien stroke yang masuk dalam penggolongan penyakit
kardiovaskuler. Penggunaan obat-obat yang mempengaruhi gizi dan darah
menempati urutan kedua terbanyak karena hal yang menjadi perhatian pertama
pada pasien stroke adalah sirkulasi. Bantuan sirkulasi harus diusahakan
(57)
36
itu, untuk mengatasi dehidrasi sangat diperlukan penggunaan obat yang
mempengaruhi gizi dan darah, misalnya cairan dan elektrolit parenteral.
Secara lebih terperinci kelompok, golongan obat dan jenis obat yang
digunakan pada pasien stroke diuraikan sebagai berikut.
1. Obat yang bekerja pada sistem saluran cerna
Tabel IX. Golongan, kelompok dan jenis obat pada sistem saluran cerna yang digunakan pada pengobatan pasien stroke di instalasi rawat inap RSPR Yogyakarta tahun 2005
No Golongan Kelompok Jenis obat Jumlah kasus Prosentase (%)
Antasida Aluminium
hidroksida
5 7,04
Antagonis reseptor -H2 Ranitidin 10 14,08**
Penghambat pompa proton
Omeprazol 4 5,63
Sukralfat 3 4,23
1 Antitukak
Khelator dan senyawa
kompleks teprenon 3 4,23
Na-pikosulfat 1 3,38
Pencahar pembentuk
massa Bisakodil 11 15,49*
Pelunak tinja Paraffin cair 1 1,41
2 Pencahar
Pencahar osmotik Laktulosa 1 1,41
Amilase 1 1,41
Enzim pencernaan
Asam amino 1 1,41
3 Obat gangguan sekresi
pencernaan Obat lain gangguan pencernaan
Kurkumin 1 1,41
Obat saluran pencernaan yang digunakan adalah antitukak, pencahar dan
obat gangguan sekresi pencernaan. Golongan obat yang paling banyak digunakan
adalah pencahar dengan jenis obat bisakodil sebesar 15,49%. Pencahar banyak
digunakan karena pasien stroke juga sering mengalami keluhan susah buang air
besar, hal ini dikarenakan pasien stroke tidak banyak melakukan aktivitas, lebih
banyak berbaring ditempat tidur sehingga gerak peristaltik usus juga lambat. Obat
pencahar digunakan untuk memudahkan pengeluaran tinja.
Golongan lain yang juga banyak digunakan oleh pasien adalah
antitukak. Hal tersebut diindikasikan untuk mengatasi nyeri pada lambung yang
(58)
banyak digunakan pada pasien adalah antagonis reseptor-H2. Antagonis
reseptor-H2 dapat meringankan gejala yang muncul pada penyakit dispepsia tukak
maupun bukan tukak, serta penyakit refluks gastroesofagitis sehingga mengatasi
keluhan nyeri perut serta mual dan rasa tidak nyaman pada perut.
2. Obat yang digunakan untuk penyakit pada sistem kardiovaskuler
Penggunaan obat sistem kardiovaskular memiliki peranan penting dalam
pengobatan pasien stroke. Penggunaannya paling tinggi dalam penelitian ini
terutama golongan obat yang mempengaruhi sistem koagulasi darah dan obat
untuk gangguan sirkulasi darah. Hal ini karena stroke merupakan penyakit yang berhubungan dengan sirkulasi darah khususnya sirkulasi darah di otak. Dalam
patofisiologi stroke adanya embolus, trombus dan perdarahan merupakan faktor penyebab terjadinya stroke. Jika ketiga hal tersebut dapat diatasi maka akan memberikan hasil terapi yang baik yang ditandai dengan tingginya angka
kesembuhan pasien. Pengatasannya adalah dengan menggunakan obat
mempengaruhi sistem koagulasi darah seperti cilostazol dan obat untuk gangguan
sirkulasi darah seperti pirasetam. Mekanisme aksi cilostazol adalah menghambat
posfodiesterase III sehingga CAMP meningkat. Peningkatan CAMP akan
menyebabkan penghambatan agregasi trombosit (platelet) dan vasodilatasi.
Penghambatan platelet ini mencegah terbentuknya trombus yang lebih banyak
lagi. Sedangkan, mekanisme aksi pirasetam adalah berikatan pada kepala polar
dari fosfolipid untuk menormalisir fungsi membran.
Selain itu juga digunakan obat golongan antihipertensi. Antihipertensi
(59)
38
antihipertensi pada pasien stroke yang sebelumnya sudah menderita hipertensi target tekanan darah sistolik adalah 180 mmHg dan diastolik 100-105 mmHg,
sedangkan yang sebelumnya bukan penderita hipertensi target tekanan darah
sistoliknya adalah 160-180 mmHg dan diastolik 90-100 mmHg (EUSI, 2003).
Tabel X. Golongan, kelompok dan jenis obat pada sistem kardiovaskuler yang digunakan pada pengobatan pasien stroke di instalasi rawat inap RSPR Yogyakarta tahun 2005
No Golongan Kelompok Jenis obat Jumlah kasus Prosentase (%)
Simvastatin 7 9,86
Atorvastatin 6 8,45
Statin
Fluvastatin 2 2,82
Gemfibrozil 1 1,41
Bezafibrat 1 1,41
Klofibrat
Fenofibrat 2 1,41
1 Antihiperlipidemik
Ezetimibe Ezetimibe 1 1,41
Kaptopril 9 12,68
ACEI
Ramipril 3 4,23
Doksazosin 1 1,41
Alfa blocker
Prazosin hidroklorida
1 1,41
Antagonis reseptor angiotensin II
Valsartan 17 23,94
Metildopa 1 1,41
2 Antihipertensi
Antihipertensi yang bekerja sentral Klonidin
hidroklorida
9 12,68
Amlodipin besilat 9 12,68
Nifedipin 7 9,86
Diltiazem hidroklorida
7 9,86
Antagonis kalsium
Nimodipin 5 7,04
Beta blocker Bisoprolol 1 1,41
Karvedilol 1 1,41
3 Antiangina
Nitrat Isosorbid dinitrat 5 7,04
Diuretik kuat Furosemid 9 12,68
Hidroklortiazid 3 4,23
Thiazid
Indapamid 1 1,41
4 Diuretik
Diuretik osmotik Manitol 2 2,82
Dipiridamol 2 2,82
Asetosal 3 4,23
Cilostazol 36 50,70**
Klopidogrel 8 11,27
Antiplatelet
Kombinasi dipiridamol dan asetosal
1 1,41
Asam traneksamat 6 8,45
5 Obat yang mempengaruhi sistem koagulasi darah
Hemostatik dan
antifibrinolitik Karbazokrom natrium sulfonat
1 1,41
Nisergolin 17 23,94
Flunarisin 8 11,27
Pirasetam 65 91,55*
Mekobalamin 12 16,90
Vasodilator perifer
Piritinol 14 19,72
6 Obat untuk gangguan sirkulasi darah
Vasodilator serebral Co-degokrin mesilat 13 18,31 Aritmia supraventrikel
dan ventrikel
Amiodaron hidroklorida
7 9,86
7 Antiaritmia
Aritmia ventrikel Fenitoin natrium 2 2,82
(1)
KASUS 20
Tgl GCS Jam Tekanan Darah (mmHg)
Nadi (per menit) Suhu (0C) Pernapasan (kali/menit) Keterangan
07.00 130/80 92
07.30 144/90 64 36 11.00 150/90
14.00 130/80 88 36 20 21.00 110/80 80 37,8 24 25/
07
CM aphasia
24.00 130/90 80 05.00 120/70
07.00 130/80 77 36,4 19 26/
07
Som
12.00 120/60 64 37,3 21
KASUS 22
Tgl GCS Jam Tekanan Darah (mmHg) Nadi (kali/menit)
Suhu (0C) Pernapasan(kali/menit) Keterangan
20/ 11
Som 22.30 127/103 76 36,7 28 Slym produktif, kejang pada tangan kiri, gelisah
05.00 135/96 97 37,5 28
07.00 133/92 84 36 20
Sop
17.00 125/75 80 37,6 28
21/ 11
Som 24.00 135/85 108 38,6 28
Nadi tidak teratur
05.00 121/84 107 38,7
11.30 134/84 107 38,7 36
21.00 107/74 85 37,2
22/ 11
Som
24.00 110/74 84
02.00 122/87 86
12.00 120/80 82 36,6
23/ 11
Som
17.00 130/80 80 36
07.00 120/90 88 36,8
(2)
14.00 60 36,8 24
16.30 130/70 20
07.00 130/90 80 37,1 24
14.00 140/90 84 37,5 24
27/ 11
CM
21.00 140/90 60 26
05.00 120/80 72 36 22
08.00 130/80 68 36,9 28
14.00 84 36,5
28/ 11
CM
21.00 130/90 24
05.00 130/80 24
08.00 130/90 90 37,5
11.00 140/80 30
14.00 88 37
17.30 110/70 90 36,7 36
29/ 11
CM
21.00 120/90 24
05.00 130/90 24
07.00 130/90 64 37 24
30/ 11
CM
16.30 120/80 98 36,8
Napas sudah teratur
05.00 110/70
07.00 120/80 60 36,7 24
14.00 60
01/
37,7 11
CM
17.00 110/66
07.00 120/80 86 36,9 07.00
11.00 120/70
14.00 80 37
02/ 11
CM
17.00 130/70 88 20
(3)
KASUS 39
Tgl GCS Jam Tekanan Darah (mmHg)
Nadi (per menit)
Suhu (0C) Pernapasan (kali/menit) Keterangan
06.45 140/100 80 37,5
12.00 150/90 70 36,2
07/02 CM
18.00 150/90 80 24
Pasien mual dan muntah
05.00 160/90 82 36,7
12.00 140/90 78 38
18.00 125/80 76 38,6
08/ 02
CM
24.00 120/80
05.00 140/90 88 37,5
12.00 130/89 56 38
18.00 120/70 60 37,8
09/ 02
CM
21.00 120/80 64 37,5
Amoxan dihentikan karena pasien resisten
Pasien mengeluh pusing berat
05.00 120/75 62 36 20
10/ 02
CM
12.00 140/80 54 37,2
05.00 115/80 56 36
12.00 110/70 50 37
18.00 115/80 76 36,3
11/ 02
CM
24.00 140/100 16
05.00 130/90 90 36,8
12.00 130/80 74 36,5
12/ 02
CM
24.00 120/80
05.00 130/70 90 36,8
13/02 CM
12.00 140/80 74 36,5
05.00 130/90 76 36,7 20
12.00 130/90 84 37,0
14/02 CM
18.00 130/90 64 37,5 20
05.00 130/80 74 37,7
15/02 CM
(4)
KASUS 53
0
Tgl GCS Jam Tekanan Darah Nadi Suhu ( C) Pernapasan Keterangan (per menit) (k menit)
22.30 240/140 82 37 Diberikan herbesser infus kemudian bolus 10 mg
sampai tensi 180/100 mmHg 23/ CM
05
24.00 206/110
05.00 194/86 69 37,5
06.30 200/102 72
24/ CM
13.00 195/103 73
05
Pasien mual dan muntah 20.00 176/106
01.00 151/67 61
11.00 185/84 25/ CM
18.00 208/94 05
14.00 190/76 84 37,4
24.00 182/92 80
05.00 169/70 115 36
12.00 177/75 78
27/ CM
18.00 150/80 68 36,6
Pasien mengeluh pusing dan extremitas masih terasa nyeri
05
Pasien tidak bisa BAB 21.00 212/84
02.30 191/83 99
05.00 199/93 98 37,7
28/ CM
12.00 157/88 88 37,3
05
24.00 130/80 80 22
05.00 130/80 80 36
18.00 140/100 20
29/ CM Badan dan rambut gatal
05
21.00 150/90 76
05.00 165/100 80 36
30/ CM
05 12.00 150/100 80 37,1
31/ CM 05.00 160/100 80 36,7
05
(5)
(6)