bab iii profilsanitasikota

(1)

BAB III PFOFIL SANITASI KOTA

3.1. Kondisi Umum Sanitasi Kota

3.1.1. Kesehatan

Lingkungan

Lingkungan (rumah, sekolah, tempat kerja dan komunitas) dimana penduduk memperoleh akses terhadap air yang aman dan sanitasi yang layak dan telindung dari risiko polusi, kimia,

kerusakan lingkungan dan bencana ( definisi

lingkungan sehat menurut WHO ).

Beberapa indikator terkait dengan kesehatan

lingkungan meliputi rumah sehat, sarana air bersih, jamban sehat,

sampah, air

limbah, angka bebas

jentik, kesehatan tempat-tempat umum &

pengelolaan makanan, penyakit

berbasis lingkungan.

a. Rumah Sehat1

Pada Tahun 2009, jumlah rumah di Kota Bogor sebanyak 166.619. Dari jumlah rumah yang ada dilakukan

1 Kriteria rumah sehat: memiliki langit-langit bersih, dinding permanen, memiliki lantai, ada jendela kamar tidur,ada jendela ruang keluarga, ada ventilasi, ada lubang asap dapur, pencahayaan baik, bebas tikus, tersedia sarana air bersih, ada jamban, ada sarana pembuangan air limbah.


(2)

pemeriksaan terhadap 166.117 rumah ( 99 % ). Berdasarkan hasil

pemeriksaan tersebut ditemukan rumah sehat sebanyak 73,53% dimana angka capaian ini masih dibawah target yang ditetapkan dalam SPM yaitu 80 %. Dari angka capaian tersebut apabila dilihat angka capaian terbanyak rumah sehatnya adalah wilayah kerja Puskesmas Tegal Gundil ( 95,53 % ) yang membawahi 2 wilayah kelurahan yaitu Kelurahan Tegal Gundil dan

Kelurahan Bantarjati sedangkan angka capaian rumah sehat terkecil adalah wilayah kerja Puskesmas Gang Aut ( 52,87 % ) yang membawahi 2 wilayah kelurahan yaitu Kelurahan Gudang dan Kelurahan Paledang.

b. Sarana Ibadah Sehat

Jumlah sarana ibadah yang ada di Kota Bogor sebanyak 1.343 sarana. Dari jumlah yang ada yang sudah dilakukan pemeriksaan sebanyak 945 sarana ( 70,36%) dengan hasil yang telah memenuhi syarat kesehatan sebanyak 720 sarana (76,19%).

c. Tempat-Tempat Umum (TTU) dan Tempat Pengelolaan Makanan sehat Tempat-Tempat Umum dan Tempat Pengelolaan Makanan yang ada di Kota Bogor meliputi sarana pelayanan kesehatan, sarana pendidikan, sarana ibadah, pondok pesantren, perkantoran, hotel, kolam renang, pasar/pusat perbelanjaan,industri, pemandian umum, obyek wisata, bioskop, terminal, salon,jasaboga, restoran, rumah makan, snack bar, warung makan, kantin, makanan jajanan, depot air minum dan lain-lain. Pada tahun 2009 dari 7.643 TTU/TPM yang ada 63 % dilakukan pemeriksaan dan dari hasil pemeriksaan yang memenuhi syarat kesehatan sebanyak 69,64 %.

d. Sekolah Sehat2

Tabel 3.1 Data Kesehatan Sekolah Dasar Kota Bogor Tahun 2009

No Indikator Persentase

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Sekolah Dasar Sehat

Sekolah Dasar Kurang Sehat

Murid SD dengan status gizi kurang Murid SD dengan status gizi baik Murid SD dengan status gizi lebih Murid SD dengan penyakit gigi Murid SD dengan penyakit THT Murid SD dengan penyakit ISPA

25,7 % 74,3 % 6 % 87,3 %

6,7 % 42,1 %

8,6 % 6,5 % 2 Kriteria sekolah sehat: ruangan sekolah yang tertata dan bersih, mempunyai kantin sekolah, tersedianya jamban septik serta tempat cuci tangan, tersedianya air bersih untuk murid dan guru, memelihara apotik hidup, memiliki tempat sampah di setiap ruang kelas, Usaha Kesehatan Sekolah dikelola dengan baik dan rutin serta sikap prilaku murid yang mengedepankan kesehtan hygiene dan lingkungan.


(3)

9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.

Murid SD dengan penyakit Kulit Murid SD dengan kelainan visus SD dengan kepemilikan dana sehat SD dengan fasilitas sarana air bersih SD dengan fasilitas jamban/WC sehat SD dengan Kantin Sehat

SD dengan strata UKS minimal SD dengan strata UKS standart SD dengan strata UKS optimal SD dengan strata UKS paripurna

2,9 % 1,4 % 20 % 89,7 % 70,7 % 24,8 % 37,5 % 38,3 % 17,4 % 6,8 % Sumber : Dinas Kesehatan Kota Bogor Tahun 2009

e. Kepemilikan Sarana Jamban Keluarga/WC

Dari jumlah rumah yang ada di Kota Bogor yaitu sebanyak 166.619 rumah, yang memiliki sarana jamban keluarga adalah sebanyak 124.951 rumah (74,9 %). Angka capaian tersebut diatas masih di bawah target SPM yaitu 80 %. Angka capaian tertinggi kepemilikan sarana jamban keluarga ada di wilayah kerja Puskesmas Tegal Gundil ( 97,56 % ) yang membawahi 2 wilayah

kelurahan yaitu Kelurahan Tegal Gundil dan Kelurahan Bantarjati. Sedangkan angka capaian terkecil kepemilikan sarana jamban keluarga ada di wilayah kerja Puskesmas Belong ( 38,9 % ) yang membawahi 1 wilayah kelurahan yaitu Kelurahan Babakan Pasar.Angka capaian ini masih bersifat kuantitatif yaitu jamban yang di data masih meliputi jamban yang mempunyai septik tank maupun jamban yang tidak mempunyai septik tank (plengsengan ). f. Kepemilikan Sarana Air Bersih

Sumber air bersih meliputi : PDAM, Sumur Gali, Sumur Pompa Tangan, Sumur Pompa Listrik, Terminal Air, Hydrant Umum, Penampungan Air Hujan dan Mata Air. Data kepemilikan air bersih dapat dilihat pada Tabel 3.2 dibawah ini

Tabel. 3.2

Persentase Kepemilikan SAB per Kecamatan di Kota Bogor Tahun 2009

No Kecamatan PDA M

SG SPT SL TAH

U

Kran Kelom p.

PM A

MA

1. 2.

Bgr Utara Bgr Timur

53,4 46,3

10,1 11,1

1,4 4,6

34,4 34,2

-0,7 3,8


(4)

3. 4. 5. 6 Bgr Selatan Bgr Barat Bgr Tengah Tanah Sareal 48 39,8 90,5 37,8 20,5 14 2,9 14 1,3 8 0,9 2,1 29,9 36,9 2,1 44,2 0,04 -0,02 1,9 -0,01 0,04 0,5 3,5 -0,3 0,7 -0,01 Sumber : Dinas Kesehatan Kota Bogor Tahun 2009

Dari tabel diatas terlihat bahwa masih ada masyarakat yang menggunakan sarana air bersih dari mata air yang tidak terlindungi meskipun jumlahnya tidak besar.Jumlah rumah yang menggunakan sumber air bersih dari mata air yang tidak terlindungi terbanyak ada di Kelurahan Katulampa yaitu sebanyak 375 rumah.

g. Rumah Bebas Jentik

Tabel 3.3

Angka Bebas Jentik per Kecamatan Tahun 2009

No Kecamatan Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV 1. 2. 3. 4. 5. 6. Bogor Utara Bogor Timur Bogor Selatan Bogor Barat Bogor Tengah Tanah Sareal 90 % 91 % 93 % 93 % 91 % 92 % 87, % 91 % 92 % 94 % 94 % 92 % 91, % 93 % 92 % 94 % 95 % 93 % 94 % 93 % 94 % 94 % 94 % 92 % Sumber : Dinas Kesehatan Kota Bogor Tahun 2009

Dari tabel diatas terlihat bahwa angka bebas jentik seluruh Kecamatan di Kota Bogor belum mencapai target yang ditetapkan yaitu 95 %, hal ini mengakibatkan tingginya kasus Demam Berdarah Dengue di Kota Bogor. 3.1.2. Kesehatan dan Pola Hidup Masyarakat

Derajat Kesehatan menurut HL.Blum dipengaruhi oleh empat faktor yaitu : Faktor Lingkungan, Faktor Perilaku, Faktor Pelayanan Kesehatan dan Faktor Genetik. Dari keempat faktor tersebut di atas faktor lingkungan mempunyai pengaruh paling besar untuk meningkan derajat kesehatan diikuti dengan faktor perilaku, faktor pelayanan kesehatan dan faktor genetik. Beberapa indikator derajat kesehatan di Kota Bogor dapat dilihat melalui Tabel 3.4 Berikut ini.

Tabel : 3.4 Indikator Derajat Kesehatan Kota Bogor Tahun 2009

NO Indikator Tahun 2008 Tahun 2009

1. Jumlah Kematian Bayi Lahir 95 47


(5)

2. Jumlah Kematian Ibu 8 13 Sumber : Dinas Kesehatan Kota Bogor Tahun 2009

Perkembangan jumlah kematian bayi sendiri sangat berfluktuatif namun data yang tersedia adalah data pencatatan jumlah kematian bayi sehingga angka kematiannya sendiri kemungkinan sangat lebih rendah mengingat pertumbuhan populasi penduduk yang terus meningkat. Berikut ini perkembangan jumlah kematian bayi dari tahun 2000 hingga 2008.

Gambar 3.1 Jumlah Kematian bayi dari tahun 2000 sampai dengan 2008

Sumber : Kesga (pendataan kematian Ibu Bayi 2008)

Bila dilihat dari penyebab kematian bayi dapat dilihat dari tabel sebagai berikut:

Tabel 3.5

Distribusi Kematian Bayi Menurut Penyebab Kematian Tahun 2008

No Penyebab Jumlah %

1 BBLR 26 27,37

2 Asfiksia 22 23,16

3 Tetanus 1 1,05

4 Ispa 4 4,21

5 Diare 2 2,11

6 Infeksi 6 6,32

7 Mslh Laktasi 1 1,05

8 Lain-lain 33 34,74

Total 95

Sumber : Kesga tahun 2008

Dari tabel diatas menunjukkan bahwa kematian bayi terbesar terjadi karena BBLR, hal ini menjunjukkan bermasalahnya bayi sejak dalam kandungan ibu yang kurang gizi (KEK=Kurang Energi Kronis), oleh karena itu Pemeriksaan Antenatal Care sangat penting untuk mencegahnya. Pada urutan rangking

penyebab kematian bayi, Diare dan Ispa menduduki perigkat ke-4 dan 5 dimana hal ini menunjukkan bahwa masalah kesehatan lingkungan juga masih menjadi salah satu factor penyebab.

Dari Table 3.4 terlihat adanya kenaikan derjat kesehatan di Kota Bogor dari Tahun 2008 terlihat dengan menurunnya jumlah kematian baik jumlah kematian bayi, ibu maupun balita.Kenaikan derajat kesehatan merupakan hasil dari berbagai upaya yang telah dilakukan oleh berbagai pihak baik pemerintah, swasta dan masyarakat. Berbagai upaya tersebut meliputi upaya perbaikan sarana sanitasi, upaya peningkatan perilaku hidup bersih sehat dan upaya peningkatan pelayanan kesehatan. Terkait dengan upaya peningkatan Perilaku Hidup Bersih Sehat, Kota Bogor melalui Dinas Kesehatan telah melakukan survey setiap tahun di tatanan rumah tangga sejak tahun 2007. Ada 10 Indikator yang dinilai dalam Perilaku Hidup Bersih Sehat yaitu : Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan,


(6)

Memberi bayi Asi Eksklusif, Menimbang balita setiap bulan, Menggunakan air bersih, Mencuci tangan dengan air bersih dan sabun, Menggunakan jamban sehat, Memberantas jentik di rumah sekali seminggu, Makan sayur dan buah setiap hari, Melakukan aktivitas fisik setiap hari dan Tidak merokok di dalam rumah. Adapun hasil survey PHBS di Kota Bogor dapat dilihat pada Tabel 3.6 berikut ini.

Tabel 3.6

Hasil Survey PHBS di Tatanan Rumah Tangga Kota Bogor No Tahun Persentase Rumah Tangga Sehat

1. 2. 3.

Tahun 2007 Tahun 2008 Tahun 2009

24,97 % 32,86 % 44,70 % Sumber : Dinas Kesehatan Kota Bogor Tahun 2009

Dari tabel tersebut di atas terlihat bahwa setiap tahun terdapat peningkatan rumah tangga yang berperilaku hidup bersih dan sehat, meskipun angka yang dicapai masih dibawah angka SPM yang ditetapkan yaitu 65 %.Dari angka yang telah dicapai didapatkan data bahwa pada tahun 2007 untuk pencapaian rumah tangga sehat tertinggi ada pada wilayah kerja Puskesmas Bondongan ( 58,20 % ) yang membawahi 3 wilayah kelurahan yaitu Kelurahan Bondongan, Kelurahan Empang dan Kelurahan Cikaret sedangkan jumlah rumah tangga sehat terkecil ada pada wilayah kerja Puskesmas Cipaku ( 7,28 % ) yang membawahi 5 wilayah kelurahan yaitu Kelurahan Cipaku, Kelurahan Genteng, Kelurahan Rancamaya, Kelurahan Kertamaya dan Kelurahan Bojongkerta. Untuk Tahun 2008 jumlah rumah tangga sehat tertinggi ada pada wilayah kerja Puskesmas Bondongan ( 57,14 % ) yang membawahi 3 wilayah kelurahan yaitu Kelurahan Bondongan, Kelurahan Empang dan Kelurahan Cikaret sedangkan jumlah rumah tangga sehat terkecil ada pada wilayah kerja Puskesmas Warung Jambu ( 9,52 % ) yang

membawahi 3 wilayah kelurahan yaitu Kelurahan Kedung Halang, Kelurahan Ciparigi dan Kelurahan Ciluar Tahun 2009 jumlah rumah tangga sehat tertinggi ada pada wilayah kerja Puskesmas Tegal Gundil ( 78,92 % ) yang membawahi 2 wilayah kelurahan yaitu Kelurahan Tegal Gundil dan Kelurahan Bantarjati sedangkan jumlah rumah tangga sehat terkecil ada pada wilayah kerja Puskesmas Sempur ( 14,90 % ) yang membawahi 3 wilayah kelurahan yaitu Kelurahan Sempur, Kelurahan Tegallega dan Kelurahan Babakan.

Penyakit Berbasis Lingkungan

Pengaruh lingkungan yang belum memenuhi syarat kesehatan memberikan dampak terjadinya berbagai penyakit yang banyak terjangkit di masyarakat. Penyakit yang disebabkan karena kondisi lingkungan yang kurang memenuhi syarat kesehatan disebut Penyakit Berbasis Lingkungan ( PBL ). Beberapa

penyakit PBL yang sering terjadi di Kota Bogor seperti Demam Berdarah Dengue, Diare, TBC Paru, Infeksi Saluran Pernafasan Akut, Penyakit Kulit, Demam

Thypoid, Filariasis dan Penyakit Kecacingan. Data terkait dengan jumlah kasus penyakit berbasis lingkungan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 3.7

Data Kasus DBD per Kecamatan di Kota Bogor

No Kecamatan Tahun 2008 Tahun 2009


(7)

1. 2. 3. 4. 5. 6. Bogor Utara Bogor Timur Bogor Selatan Bogor Barat Bogor Tengah Tanah Sareal 299 kasus 132 kasus 126 kasus 299 kasus 225 kasus 263 kasus 319 kasus 128 kasus 157 kasus 361 kasus 251 kasus 288 kasus TOTAL KOTA BOGOR 1.344 kasus 1.504 kasus

Sumber : Dinas Kesehatan Kota Bogor Tahun 2009

Dari data tersebut diatas terlihat ada kenaikan kasus yang cukup besar dari tahun 2008 hampir di semua Kecamatan. Adapun distribusi kasus tertinggi tahun 2009 yaitu Kelurahan Bantarjati (79 kasus), diikuti Kelurahan Menteng (73 kasus) dan yang ketiga Kelurahan Gunung Batu (66 kasus). Sedangkan jumlah kasus terkecil adalah Kelurahan Genteng, Kelurahan Kertamaya dan Kelurahan

Bojongkerta masing-masing 1 kasus. Tingginya kasus DBD di Kota Bogor banyak dipengaruhi oleh keadaan curah hujan yang cukup tinggi, tingginya mobilitas penduduk dan faktor lingkungan yang memungkinkan timbulnya perindukan nyamuk.

Tabel 3.8

Data Kasus TBC Paru BTA (+) per Kecamatan di Kota Bogor

No Kecamatan Tahun 2008 Tahun 2009

1. 2. 3. 4. 5. 6. Bogor Utara Bogor Timur Bogor Selatan Bogor Barat Bogor Tengah Tanah Sareal 191 kasus 96 kasus 232 kasus 202 kasus 113 kasus 193 kasus 184 kasus 97 kasus 163 kasus 199 kasus 108 kasus 209 kasus TOTAL KOTA BOGOR 1.027 kasus 960 kasus

Sumber : Dinas Kesehatan Kota Bogor Tahun 2009

Dari tabel diatas terlihat bahwa jumlah kasus TBC Paru BTA (+) pada tahun 2009 mengalami penurunan dibanding tahun 2008, dimana sebaran kasus tertinggi ada pada kelurahan Kedung Badak ( 33 kasus ) dan kasus terkecil ada pada Kelurahan Harjasari (1kasus). TBC BTA (+) adalah penderita TBC Paru yang pada pemeriksaan dahak SPS (Sewaktu – Pagi – Sewaktu ) ditemukan kuman mycobakterium tuberculose yang mana penderita TBC Paru BTA (+) tersebut sangat menularkan.Penyakit TBC Paru sangat dipengaruhi kondisi lingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan seperti rumah yang tidak memiliki ventilasi, kurang pencahayaan, penghuni yang terlalu padat, lantai rumah dari tanah termasuk perilaku yang tidak sehat seperti kebiasaan meludah sembarangan, tidak menutup mulut pada saat batuk dan merokok.

Tabel. 3.9

Data Kasus Diare per Kecamatan di Kota Bogor

No Kecamatan Tahun 2008 Tahun 2009

1. 2. 3. 4. Bogor Utara Bogor Timur Bogor Selatan Bogor Barat 5.765 kasus 1.661 kasus 4364 kasus 6.421 kasus 4.469 kasus 1.957 kasus 3.305 kasus 3.525 kasus


(8)

5. 6. Bogor Tengah Tanah Sareal 8.372 kasus 7.084 kasus 2.598 kasus 4.162 kasus TOTAL KOTA BOGOR 33.667 kasus 20.016 kasus

Sumber : Dinas Kesehatan Kota Bogor Tahun 2009

Dari tabel diatas terlihat bahwa jumlah kasus diare pada tahun 2009 mengalami penurunan dibanding tahun 2008. Untuk tahun 2009 jumlah kasus tertinggi ada di wilayah kerja Puskesmas Bogor Utara (2.286) yang membawahi 3 wilayah kelurahan yaitu Kelurahan Tanah Baru, Kelurahan Cimahpar dan

Kelurahan Cibuluh.Penyakit diare sangat berhubungan dengan kondisi lingkungan yang kurang memadai dan perilaku hidup tidak sehat seperti penggunaan sumber air yang tercemar terutama oleh bakteri E.Colli, buang air besar sembarangan, kebiasaan tidak mencuci tangan pada saat berhubungan dengan makanan, kebiasaan minum air yang belum dimasak, tidak menutup makanan dengan tudung saji, mencuci alat makan dengan air yang tercemar dan makan makanan yang tidak aman.

Tabel. 3.10

Data Kasus ISPA per Kecamatan di Kota Bogor

No Kecamatan Tahun 2008 Tahun 2009

1. 2. 3. 4. 5. 6. Bogor Utara Bogor Timur Bogor Selatan Bogor Barat Bogor Tengah Tanah Sareal 36.814 kasus 20.341 kasus 64.987 kasus 53.886 kasus 95.299 kasus 41.343 kasus 26.196 kasus 20.660 kasus 27.998 kasus 35.749 kasus 22.249 kasus 35.089 kasus TOTAL KOTA BOGOR 312.670 kasus 167.941 kasus

Sumber : Dinas Kesehatan Kota Bogor Tahun 2009

Dari tabel diatas terlihat bahwa kasus ISPA di tahun 2009 mengalami penurunan dibanding tahun 2008. Sedangkan untuk kasus ISPA tertinggi ada di wilayah kerja Puskesmas Kedung Badak ( 12.990 kasus ) yang membawahi 3 wilayah kelurahan yaitu Kelurahan Kedung Badak, Kelurahan Kedung Waringin dan Kelurahan Kedung Jaya. Seperti halnya penyakit PBL lainnya ISPA juga sangat dipengaruhi kondisi lingkungan dan perilaku hidup bersih sehat seperti kondisi rumah yang kurang sehat dimana ventilasi dan pencahayaannya kurang, rumah yang lantainya masih dari tanah, rumah dengan penghuni yang padat, kebiasaan buang dahak sembarangan, tidak menutup mulut pada waktu batuk dan merokok.

Tabel. 3.11

Data Kasus Demam Thypoid per Kecamatan di Kota Bogor No

Kecamatan Tahun 2008 Tahun 2009

1. 2. 3. 4. 5. 6. Bogor Utara Bogor Timur Bogor Selatan Bogor Barat Bogor Tengah Tanah Sareal 2.766 kasus 1.160 kasus 2.146 kasus 1.723 kasus 1.258 kasus 1.409 kasus 1.256 kasus 1.004 kasus 693 kasus 890 kasus 394 kasus 594 kasus


(9)

TOTAL KOTA BOGOR 10.462 kasus 4.831 kasus Sumber : Dinas Kesehatan Kota Bogor Tahun 2009

Dari Tabel diatas terlihat ada penurunan jumlah kasus yang cukup besar dari tahun 2008. Adapun sebaran kasus tertinggi ada di wilayah kerja Puskesmas Bogor Utara ( 775 kasus ) yang membawahi 3 kelurahan yaitu Kelurahan Tanah Baru, Kelurahan Cimahpar dan Kelurahan Cibuluh.Demam Thypoid di sebabkan karena masuknya kuman salmonella thypi kedalam tubuh. Kuman Salmonella thypi banyak terdapat di dalam bahan makanan, air dan tanah. Sehingga kondisi sanitasi yang kurang memadai dan perilaku hidup yang tidak sehat menjadi salah satu penyebab terjangkitnya penyakit demam thypoid.

Tabel. 3.12

Data Kasus Penyakit Kulit per Kecamatan di Kota Bogor

No Kecamatan Tahun 2008 Tahun 2009

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Bogor Utara Bogor Timur Bogor Selatan Bogor Barat Bogor Tengah Tanah Sareal

3.116 kasus 2.508 kasus 4.347 kasus 6.080 kasus 5.281 kasus 3.393 kasus

1.968 kasus 2.128 kasus 1.797 kasus 3.259 kasus 797 kasus 1.512 kasus TOTAL KOTA BOGOR 24.725 kasus 11.461 kasus

Sumber : Dinas Kesehatan Kota Bogor Tahun 2009

Dari tabel di atas terlihat bahwa jumlah kasus penyakit kulit pada tahu 2009 mengalami penurunan yang cukup signifikan dibanding tahun 2008. Adapun sebarab kasus tertinngi ada di wilayah kerja Puskesmas Bogor Utara ( 1.599 kasus ) yang membawahi 3 kelurahan yaitu Kelurahan Tanah Baru, Kelurahan Cibuluh dan Kelurahan Cimahpar. Penyakit Kulit sangat identik dengan lingkungan yang kurang sehat dan perilaku yang tidak sehat seperti penggunaan sarana air bersih yang tidak memenuhi syarat kesehatan, rumah yang bersebelahan dengan

kandang, sampah yang tidak dikelola dengan benar, saluran limbah rumah tangga yang menggenang, kebiasaan mandi yang tidak benar,memakai baju yang jarang dicuci, menggunakan handuk secara bersama, tempat tidur yang tidak pernah dijemur dan kuku yang tidak dipotong secara rutin.

Tabel. 3.13

Data Kasus Penyakit Kecacingan per Kecamatan di Kota Bogor

No Kecamatan Tahun 2008 Tahun 2009

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Bogor Utara Bogor Timur Bogor Selatan Bogor Barat Bogor Tengah Tanah Sareal

4 kasus 1 kasus 43 kasus 39 kasus 20 kasus 4 kasus

1 kasus -1 kasus 1 kasus 3 kasus 16 kasus

TOTAL KOTA BOGOR 111 kasus 19 kasus

Sumber : Dinas Kesehatan Kota Bogor Tahun 2009

Kasus kecacingan di Kota Bogor pada dua tahun terakhir cukup kecil dimana kasus tertinggi ada di wilayah kerja Puskesmas Kedung Badak ( 15


(10)

kasus ) yang membawahi 3 kelurahan yaitu Kelurahan Kedung Badak, Kelurahan Kedung Jaya dan Kelurahan Kedung Waringin. Kecacingan juga sangat

berhubungan dengan kondisi lingkungan yang kurang bersih dan juga perilaku hidup kurang bersih dan sehat.Salah satu penyebab penurunan kasus kecacingan yang cukup tajam pada dua tahun terakhir dikarenakan sejak tahun 2007 Kota Bogor melaksanakan kegiatan meminum obat cacing secara massal selama 5 tahun berturut-turut.Upaya ini sebagai langkah untuk melaksanakan

pemberantasan penyakit Filariasis. Pada tahun 2005 Kota Bogor dinyatakan sebagai daerah endemis Filariasis. Penetapan Kota Bogor sebagai daerah endemis Filariasis adalah dengan ditemukannya 6 penderita Filariasis ( 1,2 % ) pada saat pemeriksaan survey darah jari di 500 penduduk di Kelurahan Sukadamai.Penyakit Filariasis disebabkan oleh cacing mikrofilaria yang ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk. Tentunya penyakit Filariasis juga erat hubungannya dengan kondisi lingkungan yang kurang bersih dimana banyak terjadi perindukan nyamuk.

3.1.3. Kuantitas dan Kualitas Air

Dalam rangka pelaksanaan kegiatan pengujian kualitas air sungai, situ dan sumur di wilayah Kota Bogor pada tahun 2010, telah dilakukan pengambilan contoh air sungai masing-masing dari S. Ciliwung dan S. Cisadane beserta anak-anak sungainya, air situ dan air sumur pada 6 (enam) wilayah kecamatan di kota Bogor.

Pemeriksaan kualitas air dilakukan secara lengkap di Laboratorium Kualitas Lingkungan Keairan (Terakreditasi),

dengan parameter kualitas sumber-sumber air sesuai ketentuan yang berlaku, dimana untuk mengevaluasi kualitas air sungai dan situ digunakan kriteria yang berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 yaitu parameter kualitas sumber air

klasifikasi II yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum dan atau peruntukan lain yang memper-syaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. Sedangkan, untuk penilaian kualitas air sumur penduduk digunakan kriteria kualitas air sesuai baku mutu air minum pada Peraturan Menteri Kesehatan No. 416/Menkes/PER/IX/1990.

3.1.3.1. Kualitas Air Sungai

Sebagaimana diuraikan di atas, untuk mengevaluasi kualitas air sungai digunakan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001, tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran air, Kelas II (dua), yaitu air yang peruntukkannya dapat digunakan untuk sumber baku air minum dan atau peruntukkan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. Contoh air sungai yang telah diambil, berasal dari 9 lokasi sungai dan anak sungai, dimana


(11)

pada tiap-tiap sungai dan anak sungai diambil contoh airnya pada 3 (tiga) lokasi, masing-masing dibagian hulu, tengah dan hilir sungainya.

Selain itu contoh kualitas air, diambil pula dari 2 lokasi situ dan masing-masing situ diambil contoh airnya pada lokasi Inlet dan Outlet. Sedangkan contoh air sumur diambil dari 6 lokasi sumur penduduk dari 6 wilayah kecamatan Kota Bogor masing-masing 1 lokasi sumur dari kecamatan Bogor Utara, Tanah Sareal, Bogor Timur, Bogor Barat, Bogor Selatan dan Bogor Tengah.

Dalam pelaksanaannya evaluasi kualitas air akan mengacu pada baku mutu air yang bersifat dinamis, yaitu akan

disesuaikan dengan kondisi dan situasi saat itu, seperti halnya kualitas air alamiah yaitu sumber air di bagian hulu daerah industri dan permukiman secara umum sebelumnya tidak dikaji dalam kriteria tersebut, karena berdasarkan pada hasil penelitian persyaratan mutu air hanya ditujukan untuk pemanfaatannya. Oleh karena itu kriteria air tercemar pada setiap sumber air apabila perlu dapat ditinjau kembali, dikarenakan kualitas air alamiah tersebut tidak diperhitungkan atau tidak menjadi acuan dalam kriteria. Sehingga sesuai dengan sasaran kegiatan. Untuk air alamiah diperlukan suatu pedoman dari hasil penelitian

berupa besaran, tolok ukur atau acuan kualitas air alamiah di Indonesia yang dapat dikelompokan berdasarkan daerah atau pulau, karena setiap daerah aliran sungai secara spesifik mempunyai karakteristik tersendiri

Dalam program pemantauan kualitas lingkungan kegiatan pengujian kualitas air sungai, situ dan sumur di Kota Bogor tahun 2010, telah dilakukan pengujian air beberapa lokasi pada DAS Ciliwung dan DAS Cisadane dan beberapa Sub DAS sebagai anak sungai dari sungai Cisadane dan Ciliwung. Sungai yang diperiksa kualitas airnya tersebut adalah S. Ciliwung dan S. Cisadane

beserta anak-anak sungai yang diantaranya sungai Ciluar, Cipakancilan dan lain-lainnya. Sedangkan lokasi pengujian kualitas air situ (2 Lokasi), adalah di lokasi Situ Gede dan Situ Panjang. Selain daripada itu, lokasi pengujian kualitas air sumur yang masing-masing 1 lokasi setiap kecamatan (6 kecamatan di Kota Bogor), ditentukan secara acak dan refresentatif yang kemudian diidentifikasi secara geografis..

Untuk mengevaluasi kualitas air hasil pengujiannya digunakan kriteria baku mutu air pada Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan

Pengendalian Pencemaran Air dengan klasifikasi air Kelas II, yaitu air yang diperuntukannya dapat digunakan untuk air baku air


(12)

minum dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air sama dengan kegunaan tersebut.

3.1.3.1.1. Kualitas Air Sungai dan Anak Sungai Ciliwung Berdasarkan data hasil analisis kualitas air sungai Ciliwung tahun 2010, dapat diketahui bahwa kualitas air di lokasi bagian hulu, tengah dan hilir S. Ciliwung kurang memenuhi persyaratan untuk pemanfaatan air kelas dua pada Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001. Karena tingginya total bakteri colie dengan jumlah yang melampaui persyaratan kriteria baku mutu tersebut, baik di bagian hulu, tengah, maupun hilir Sungai

Ciliwung diperlihatkan dalam tabel 3.14. berikut ini. Tabel 3.14.

Parameter yang melebihi Krtieria BMA Kelas II pada S. Ciliwung

Lokasi Parameter

BOD (mg/L)

OT (mg/

L)

Sulfat (mg/L)

Amonia total (mg/L)

NO2

-total (mg/L)

Total Koliform (Jml/100mL) S. Ciliwung -

Hulu

1.8 – 2.2

- tt - 7.3 tt – 0.017 - 26.000-37.000 S. Ciliwung-

Tengah

2.4 – 2.7

- 4.6 – 7.9

tt - 0.266 tt - 0.042

54.000-63.000 S. Ciliwung -

Hilir

2.9 - 3.8

- 4.6 – 11.3

tt - 0.131 - 110.000-120.000 Persyaratan ≤ 3 ≥ 4 neg ned ≤ 0,05 ≤ 5.000* Keterangan (-) : memenuhi persyaratan

: *untuk pengelolaan air minum secara konvensional, total koliform < 10.000 / 100 mL

Selain daripada itu di lokasi bagian tengah Sungai Ciliwung, juga terindikasi kecenderungan kadar BOD yang kurang

memenuhi persyaratan. Di bagian hilir Sungai Ciliwung selain BOD dan jumlah bakteri total koliform yang tinggi, juga

mengandung fosfat total dan amonia total yang melampaui persyaratan.

a) Kualitas Air Sungai Cibalok

Berdasarkan data hasil analisis kualitas air, diketahui bahwa kualitas air dilokasi bagian hulu, tengah dan hilir S. Cibalok

kurang memenuhi persyaratan untuk pemanfaatan kelas dua. Pada lokasi Sungai Cibalok hulu, parameter yang melebihi persyaratan adalah kadar sulfat dan amonia total serta jumlah bakteri total colie. Di bagian tengah Sungai Cibalok selain kadar


(13)

BOD, sulfat, amonia serta jumlah bakteri total koliform yang

melebihi persyaratan, sedangkan di bagian hilir kadar BOD, sulfat dan amonia total juga terdapat kecenderungan meningkatnya kadar deterjen dan jumlah bakteri total koli yang melebihi persyaratan untuk kelas dua. Pada tabel 2. di bawah ini dapat dilihat parameter-parameter yang melebihi persyaratan untuk kelas dua pada Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001.

Tabel 3.15.

Parameter yang melebihi Krtieria BMA Kelas II pada S. Cibalok

Lokasi Parameter

BOD (mg/L)

Sulfat (mg/L)

Amonia total (mg/L)

MBAS (mg/L)

Total Koliform (Jml/100mL) S. Cibalok -

Hulu

- 2.4 – 13.1

tt – 0.01

tt - 0.076

14.000-18.000 S. Cibalok -

Tengah

3.4 – 18.8

12.2 – 18.8

tt – 0.89

tt - 0.086

21.000-260.000 S. Cibalok -

Hilir

3.6 – 19.4

13.2 – 19.4

tt – 0.58

tt - 0.183

47.000-170.000 Persyaratan ≤ 3 neg neg ≤ 0.2 ≤ 5.000* Keterangan (-) : memenuhi persyaratan

: *untuk pengelolaan air minum secara konvensional, total koliform < 10.000 / 100 mL

b) Kualitas Air Sungai Ciparigi

Berdasarkan data hasil analisis kualitas air, diketahui bahwa kualitas air dilokasi bagian hulu, tengah dan hilir S. Ciparigi kurang memenuhi persyaratan untuk pemanfaatan kelas dua, karena tingginya bakteri total koli. Selain daripada itu semua lokasi baik bagian hulu, tengah dan hilir Sungai Ciparigi

mengandung kadar BOD, sulfat, deterjen, amonia, nitrit dan jumlah bakteri total koliform yang tidak memenuhi persyaratan. Selain itu di lokasi bagian tengah juga mengandung total bakteri yang relatif tinggi diantara lokasi sungai Ciparigi.

Pada tabel 3.16 di bawah ini dapat dilihat parameter-parameter yang melebihi persyaratan untuk kelas dua pada Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001.

Tabel 3.16.

Parameter yang melebihi Krtieria BMA Kelas II pada S. Ciparigi

Lokasi Parameter

BOD Sulfat Amoni a


(14)

(mg/L) (mg/L) (mg/L) (mg/L) (mg/L) Koliform (Jml/100mL) S. Ciparigi -

Hulu 3.2 - 5.2 4.2 – 6.8 tt - 0.098

tt – 0.086 0.004 – 0.030

21.000 - 36.000 S.

Ciparigi-Tengah 4.3 - 5.9 8.4 – 9.4 tt - 0.067 0.075 – 0.138 0.131 – 0.279 52.000 - 130.000 S. Ciparigi -

Hilir 4.5 - 6.2 5.4 – 8.5 tt - 0.112

tt – 0.143 tt – 0.208 32.000 - 170.000 Persyaratan ≤ 3 neg neg ≤ 0.2 ≤ 0.05 ≤ 5.000* Keterangan (-) : memenuhi persyaratan

: *untuk pengelolaan air minum secara konvensional, total koliform < 10.000 / 100 mL

c) Kualitas air Sungai Ciluar

Berdasarkan data hasil analisis kualitas air, diketahui bahwa kualitas air dilokasi bagian hulu, tengah dan hilir S. Ciluar kurang memenuhi persyaratan untuk pemanfaatan kelas dua. Pada ketiga lokasi baik dibagian hulu, tengah dan hilir Sungai Ciluar tersebut selain mengandung kadar BOD, jumlah bakteri total koliform melebihi persyaratan juga parameter sulfat, deterjen dan amonia serta nitrit di bagian hilir sungai. Sedangkan kecenderungan lokasi hilir sungai mengandung kadar bahan pencemar yang relatif lebih tinggi daripada lokasi sungai Ciluar lainnya. Pada tabel 4. dapat dilihat parameter yang melebihi persyaratan kriteria baku mutu air kelas II pada PP 82 Tahun 2001.

Tabel 3.17.

Parameter yang melebihi Krtieria BMA Kelas II pada S. Ciluar Lokasi Parameter BOD (mg/ L) Sulfa t (mg/ L) MBAS (mg/L )

NH3

-total (mg/L)

NO2-N

(mg/L)

Total Koliform (Jml/100mL

) S. Ciluar -

Hulu 3.7-4.2 1.9-5.7 tt-0.117

tt-0.101 - 26.000-27.000 S.Ciluar- Tengah 4.8-5.0 tt-4.90 tt-0.526 0.069-1.04 - 44.000-90.000 S. Ciluar -

Hilir 5.4-5.6 tt-5.6 tt-0.100 tt-0.08 0.04-0.26 67.000-130.000 Persyaratan ≤ 3 neg 0.20 neg ≤ 0.05 ≤ 5.000* Keterangan (-) : memenuhi persyaratan

: *untuk pengelolaan air minum secara konvensional, total koliform < 10.000 / 100 mL


(15)

3.1.3.1.2. Kualitas Air Sungai dan Anak Sungai Cisadane Pada DAS Cisadane dilakukan pemeriksaan kualitas air sebanyak 15 contoh air, pengambilan contoh dari masing-masing sungai/anak sungai adalah 3 contoh air dyang iambil dari lokasi-lokasi hulu, tengah dan hilir :

• S. Cisadane sebanyak 3 contoh

• S. Cisindangbarang sebanyak 3 contoh

• S. Cipakancilan sebanyak 3 contoh

• S. Cianten sebanyak 3 contoh

• S. Cidepit sebanyak 3 contoh

Berdasarkan data hasil analisis kualitas air, dapat diketahui bahwa kualitas air di lokasi bagian hulu, tengah dan hilir S.

Cisadane kurang memenuhi persyaratan untuk pemanfaatan kelas dua. Pada ketiga lokasi tersebut mengandung kadar Biochemical Oxygen Demand (BOD) dam jumlah total koli yang melebihi kriteria, disamping itu pada lokasi S. Cisadane tengah dan Hilir, kadar amonia dan detrejen melebihi kadar maksimum yang dipersyaratkan. Pada lokasi hulu dan hilir kadar sulfat juga melampaui kriteria, pada tabel 5 di bawah ini dapat dilihat parameter-parameter yang melebihi persyaratan untuk kelas dua.

Tabel 3.18.

Parameter yang melebihi Krtieria BMA Kelas II pada S. Cisadane

Lokasi

Parameter BOD

(mg/ L)

Sulfa t (mg/

L)

Amonia total (mg/L)

MBA S (mg/

L)

Total Koliform (Jml/100mL) S. Cisadane -

Hulu

2.3-2.6

tt-3.2 0.02-0.374

- 26.000-46.000 S. Cisadane -

Tengah

3.8-4.2

2.0-3.9

0.051-0.123

- 56.000-76.000 S. Cisadane -

Hilir

3.6-6.8

tt-6.3 tt-0.017 tt-0.20

72.000-120.000 Persyaratan ≤ 3 neg neg ≤ 0.2 ≤ 5.000* Keterangan (-) : memenuhi persyaratan

: *untuk pengelolaan air minum secara konvensional, total koliform < 10.000 / 100 mL

a) Kualitas air Sungai Cisindang Barang

Berdasarkan data hasil analisis kualitas airCisindangbarang, dapat diketahui bahwa kualitas air dilokasi bagian hulu, tengah dan hilir S. Cisindang Barang kurang memenuhi persyaratan


(16)

untuk pemanfaatan kelas dua. Pada ketiga lokasi tersebut

mengandung kadar BOD, sulfat, total amonia dan jumlah bakteri total koliform yang melebihi persyaratan. Pada Tabel 3.19. di bawah ini dapat dilihat parameter-parameter yang melebihi persyaratan untuk kelas dua.

Tabel 3.19.

Parameter yang melebihi Krtieria BMA Kelas II pada S. Cisindangbarang Lokasi Parameter BOD (mg/ L) Amonia total (mg/L) Sulfa t (mg/ L) Total Koliform (Jml/100mL) S. Cisindangbarang -

Hulu 2.6-3.6 0.021-0.052 tt-5.1 31.000-47.000 S. Cisindangbarang -

Tengah 2.9-3.8 0.053-0.458 6.4-7.9 47.000-100.000 S. Cisindangbarang -

Hilir 3.6-5.6 0.09-0.40 5.6-6.3 90.000-170.000 Persyaratan ≤ 3 neg neg ≤ 5.000* Keterangan (-) : memenuhi persyaratan

: *untuk pengelolaan air minum secara konvensional, total koliform < 10.000 / 100 mL

b) Kualitas air Sungai Cipakancilan

Berdasarkan data hasil analisis kualitas air, diketahui bahwa kualitas air dilokasi bagian hulu, tengah dan hilir S. Cipakancilan kurang memenuhi persyaratan untuk pemanfaatan kelas dua. Pada semua lokasi di bagian hulu, tengah, dan hilir Sungai Cipakancilan mengandung kadar BOD dan jumlah bakteri total koliform yang melebihi persyaratan. Sedangkan untuk lokasi hulu selain mengandung kadar BOD yang melebihi persyaratan juga mempunyai kadar sulfat dan amonia yang kurang

memenuhi kriteria yaitu harus negatif, sedangkan di bagian hilir selain BOD, sulfat, total fosfat dan deterjen yang tidak memenuhi kriteria baku mutu air. Pada Tabel 3.20. di bawah ini dapat

dilihat parameter-parameter yang melebihi persyaratan untuk kelas dua.

Tabel 3.20.

Parameter yang melebihi Krtieria BMA Kelas II pada S. Cipakancilan Lokasi Parameter BOD (mg/ L) Fosfat (mg/L) Amonia (mg/L) MBAS (mg/L) Sulfa t (mg/ L) Total Koliform (Jml/100mL )


(17)

S. Cipakancilan- Hulu 2.9-3.6 0.044-0.187 0.059-0.509 tt-0.083 2.4-3.6 23.000-33.000 S.Cipakancilan- Tengah 2.9-3.8 0.048-0.226 0.101-0.36

tt-0.165 tt-5.6 35.000-48.000 S. Cipakancilan -

Hilir 4.0-4.8 0.073-0.339 0.072-0.492 0.205-0.208 tt-5.3 51.000-94.000 Persyaratan ≤ 3 0.20 neg ≤ 0.2 neg ≤ 5.000* Keterangan (-) : memenuhi persyaratan

: *untuk pengelolaan air minum secara konvensional, total koliform < 10.000 / 100 mL

c) Kualitas air Sungai Cidepit

Berdasarkan data hasil analisis kualitas air, diketahui bahwa kualitas air dilokasi bagian hulu, tengah dan hilir S. Cidepit

kurang memenuhi persyaratan untuk pemanfaatan kelas dua. Pada lokasi bagian hulu parameter yang melebihi persyaratan adalah BOD, deterjen dan jumlah bakteri total koliform,

sedangkan di bagian tengah, parameter yang melebihi persyaratan adalah BOD, fosfat total, jumlah bakteri total koliform serta amonia. Di bagian hilir sungai, parameter yang melebihi persyaratan adalah BOD, fosfat, amonia, deterjen dan jumlah bakteri total koliform. Pada tabel 3.21. di bawah ini dapat dilihat parameter-parameter yang melebihi persyaratan untuk kelas dua.

Tabel 3.21.

Parameter yang melebihi Krtieria BMA Kelas II pada S. Cidepit Lokasi Parameter BOD (mg/ L) Fosfat (mg/L) Amonia (mg/L) MBAS (mg/L ) Total Koliform (Jml/100mL) S. Cidepit -

Hulu 2.6-3.5 0.045-0.187 0.011-0.445 tt-0.209 30.000-37.000 S. Cidepit -

Tengah 3.8-4.2 0.26-0.53 0.154-0.485 tt-0.167 42.000-42.000 S. Cidepit -

Hilir 4.3-4.4 0.045-0.226 0.007-0.618 tt-0.153 66.000-170.000 Persyaratan ≤ 3 0.20 neg ≤ 0.2 ≤ 5.000* Keterangan (-) : memenuhi persyaratan

: *untuk pengelolaan air minum secara konvensional, total koliform < 10.000 / 100 mL

d) Kualitas air Sungai Cianten

Berdasarkan data hasil analisis kualitas air, diketahui bahwa kualitas air dilokasi bagian hulu, tengah dan hilir S. Cianten


(18)

kurang memenuhi persyaratan untuk pemanfaatan air kelas dua. Pada semua lokasi di bagian hulu, tengah dan hilir sungai

mengandung kadar BOD, deterjen dan jumlah bakteri total koliform yang melebihi persyaratan. Adapun pada bagian hulu, tengah dan hiir kadar oksigen terlarut, berada pada batas yang perlu mendapat perhatian karena berada pada ambang batas kriteria baku mutu air yaitu ≥ 4 mg/L. Pada lokasi tengah dan hilir mengandung total fosfat yang melebihi persyaratan, tapi lokasi tengah dan hilir sungai terdeteksi amonia total yang melebihi persyaratan,Tabel 3.22. di bawah menunjukan parameter yang melebihi persyaratan kelas dua.

Tabel 3.22. Parameter yang melebihi Krtieria BMA Kelas II pada S. Cianten

Lokasi Parameter BOD (mg/ L) Fosfat (mg/L) Sulfa t (mg/ L) MBAS (mg/L ) NH3-total (mg/L) Total Koliform (Jml/100mL)

S. Cianten - Hulu 3.2-4.4 0.117-0.686 tt-4.8 tt-0.238 0.043-0.535 12.000-17.000 S. Cianten -

Tengah 3.9-5.5 0.148-0.561 4.8-5.9 tt-0.098 0.439-0.482 67.000-460.000 S. Cianten -

Hilir 5.1-6.2 0.039-0.176 3.8-3.9 tt-0.151 0.502-0.815 140.000-540.000 Persyaratan ≤ 3 0.20 neg ≤ 0.2 neg ≤ 5.000* Keterangan (-) : memenuhi persyaratan

: *untuk pengelolaan air minum secara konvensional, total koliform < 10.000 / 100 mL

3.1.3.2. Kualitas Air Situ

Sejalan dengan pengambilan contoh air sungai, dilakukan pula pengambilan contoh air dari lokasi situ yang berada di Kota Bogor, sebanyak dua situ telah diperiksa kualitas airnya, yaitu di Situ Gede dan Situ Panjang. Pada lokasi situ ini pengambilan contoh air masing-masing dilakukan pada inlet dan outlet situ. Untuk mengevaluasi kualitas air situ juga digunakan Kriteria Baku Mutu Air Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 untuk

klasifikasi pemanfaatan air kelas II.

Evaluasi terhadap Situ Panjang dan Situ Gede sebagai sumbet air baku air minum dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama. Berdasarkan data hasil analisis ternyata kedua kualitas sumber air tersebut yaitu Situ Panjang dan Situ Gede kualitas airnya masih kurang memenuhi persyaratan pada masing-masing inlet maupun outletnya,


(19)

Fluktuasi pH Periode Juni 2010 0 2 4 6 8 10

CLW CBL CPG CLR CSD CSB CPK CTN CDP

N

ila

i

p

H

Fluktuasi TSS Periode Juni 2010

0 10 20 30 40 50 60 70

CLW CBL CPG CLR CSD CSB CPK CTN CDP

K a d a r T S S ( m g /L )

Fluktuasi DO Periode Juni 2010

0 1 2 3 4 5 6 7 8

CLW CBL CPG CLR CSD CSB CPK CTN CDP

K a d a r D O ( m g /L )

Fluktuasi BOD Periode Juni 2010

0 1 2 3 4 5 6 K a d a r B O D ( m g /L

parameter yang melebihi persyaratan tersebut dapat dilihat pada tabel 3.23. dibawah ini.

Tabel 3.23. Parameter Kualitas Air Situ yang Melebihi Kriteria Kelas III

No . Lokasi Parameter BOD (mg/ L) MBAS (mg/L ) Sulfa t (mg/ L) Total Koliform (Jml/100mL) 1. Inlet Situ

Panjang 5.1-6.6 tt-0.273 2.0-4.7 32.000-63.000 2. Outlet Situ

Panjang 4.0-6.9 tt-0.186 3.6-8.3 21.000-45.000 3. Inlet Situ Gede

4.6-5.9

tt-0.184

tt-3.1 42.000-110.000 4. Outlet Situ

Gede 4.2-5.9 tt-0.261 2.9-3.2 26.000-140.000 Persyaratan ≤ 3.0 ≥ 0.2 neg ≤ 5.000* Keterangan (-) : memenuhi persyaratan

: *untuk pengelolaan air minum secara konvensional, total koliform < 10.000 / 100 mL

3.1.3.3. Kualitas Air Sumur

Dari 6 sampel air sumur yang diuji ternyata hanya 1 (satu) lokasi sumur yang tidak memenuhi kriteria baku mutu air bersih sesuai PERMENKES No. 416 / MENKES / PER / IX / 1990. Adapun 6 sumur yang diperiksa kalitas airnya adalah :

(i) sumur Bapak Agus S (Kecamatan Bogor Tengah);

(ii) sumur Bapak Agus Yusuf (Kecamatan Tanah Sareal);

(iii) sumur Bapak H. Halim (Kecamatan Bogor Timur);

(iv) sumur Ibu Eroh (Kecamatan Bogor Barat);

(v) sumur Bapak Erwin (Kecamatan Bogor Utara) dan

(vi) sumur Bapak Dadang (Kecamatan Bogor Selatan). Lokasi sumur yang lain pada umumnya tidak memenuhi syarat karena nilai pH yang cenderung fluktuatif pada ambang batas kriteria baku mutu air bersih. Sedangkan, lokasi sumur Bapak Halim (Kecamatan Bogor Timur) tidak memenuhi kriteria mutu air bersih, dikarenakan selain pH juga nilai deterjen dan bakteri coli relatif tinggi.

Gambar 3.2 Fluktuasi Parameter Kualitas Air

BAPPEDA KOTA BOGOR| POKJA SANITASI


(20)

Fluktuasi PO4 Periode Juni 2010

0 0,02 0,04 0,06 0,08 0,1 0,12 0,14 0,16

CLW CBL CPG CLR CSD CSB CPK CTN CDP Sunga-Anak Sungai

K

a

d

a

r

P

O

4

(

m

g

/L

Hulu Tengah Hilir Fluktuasi COD Periode Juni 2010

0 2 4 6 8 10 12 14 16

CLW CBL CPG CLR CSD CSB CPK CTN CDP Sungai-Anak Sungai

K

a

d

a

r

C

O

D

(

m

g

/L

Hulu Tengah Hilir


(21)

Fluktuasi SO4 Periode Juni 2010

0 2 4 6 8 10 12 14

CLW CBL CPG CLR CSD CSB CPK CTN CDP Sungai-Anak Sungai

K

a

d

a

r

S

O

4

(

m

g

/L

)

Hulu Tengah Hilir

Gambar 1a.

Grafik Fluktuasi Parameter Kualitas Air

(pH,TSS,DO,BOD,COD,PO4,SO4)

Sungai / Anak Sungai - Juni 2010 Catatan :

S.Ciliwung (CLW), S.Cibalok (CBL), S.Ciparigi (CPG), S.Ciluar (CLR),

S.Cisadane (CSD),

S.Cisindangbarang (CSB),

S.Cianten (CTN), S.Cipakancilan (CPK), S.Cidepit (CDP)

Gambar 1b.

Grafik Fluktuasi Parameter Kualitas Air (NH3,NO2,NO3,MBAS,Fe,Zn,E.colie)

Sungai / Anak Sungai - Juni 2010

Catatan :

S.Ciliwung (CLW), S.Cibalok (CBL), S.Ciparigi (CPG), S.Ciluar (CLR),


(22)

S.Cisadane (CSD), S.Cisindangbarang (CSB), S.Cianten (CTN), S.Cipakancilan (CPK), S.Cidepit (CDP)

Gambar 2a.

Grafik Fluktuasi Parameter Kualitas Air

(pH,TSS,DO,BOD,COD,PO4,SO4)

Sungai / Anak Sungai - Agustus 2010

Catatan :

S.Ciliwung (CLW), S.Cibalok (CBL), S.Ciparigi (CPG), S.Ciluar (CLR),

S.Cisadane (CSD),

S.Cisindangbarang (CSB), S.Cianten

(CTN), S.Cipakancilan (CPK),

S.Cidepit (CDP)


(23)

Gambar 2b.

Grafik Fluktuasi Parameter Kualitas Air (NO2,NO3,MBAS,Fenol,Fe,Zn,E.colie) Sungai / Anak Sungai - Agustus 2010

Catatan :

S.Ciliwung (CLW), S.Cibalok (CBL), S.Ciparigi (CPG), S.Ciluar (CLR), S.Cisadane (CSD), S.Cisindangbarang (CSB), S.Cianten (CTN), S.Cipakancilan (CPK), S.Cidepit (CDP)

3.1.4. Limbah Cair Rumah Tangga

Sebagian besar pembuangan limbah cair rumah tangga di Kota Bogor dalam pengolahannya menggunakan septic tank dengan peresapan ke dalam tanah dan sebagian kecil dengan penyedotan oleh truk tinja yang kemudian dilakukan pengolahan akhir di IPAL Tegal Gundil. Hanya sedikit saja pengolahan akhir limbah rumah tangga yang menggunakan instalasi pengolahan yaitu IPAL Tegal Gundil sekitar ±300 SR yang melayani perumahan Perumnas Bantarjati kelurahan Tegal Gundil. Namun meskipun demikian masih banyak area permukiman yang belum terlayani dengan pengolahan akhir limbah cair rumah tangga yang layak yang umumnya merupakan area permukiman kumuh yang berada pada bantaran sungai dimana pembuangan akhir limbah cair rumah tangga langsung dibuang ke sungai seperti : kawasan kumuh di RT 03 RW 04 kelurahan Cimahpar kecamatan Bogor Utara yang berada pada bantaran sungai cimaridin dimana terdapat 9 unit rumah yang dihuni oleh 14 KK yang belum memiliki fasilitas jamban; kawasan kumuh RT 01 RW 02 kelurahan Cibuluh kecamatan Bogor Utara dimana 97%


(24)

rumah belum memiliki jamban keluarga; kawasan kumuh RT 01 RW 07 kelurahan Batu Tulis kecamatan Bogor Selatan; RT 02 RW 07 kelurahan Situ Gede

kecamatan Bogor Barat; RT 02 RW 08 kelurahan Menteng kecamatan Bogor Barat; RT 03 RW 04 kelurahan Pabaton kecamatan Bogor Tengah; RT 02 RW 03 kelurahan Sukasari kecamatan Bogor Timur; dan RT 02 RW 07 kelurahan Kencana kecamatan Tanah Sareal. Lokasi-lokasi tersebut merupakan kawasan kumuh, padat penduduk serta belum memiliki fasilitas sanitasi yang layak dan sehat. Secara umum tingkat kepemilikan jamban di Kota Bogor pada tahun 2009 baru mencapai 74,27%. Untuk pengolahan akhir limbah rumah tangga yang menggunakan septic tank dimana penyedotannya menggunakan truk tinja milik swasta umumnya tidak diolah dan langsung dibuang ke sungai sehingga

mencemari sungai.

3.1.5. Limbah Padat (Sampah)

a) Timbulan Sampah Kota Bogor

Sampah Kota Bogor adalah sampah yang berasal dari 1) perumahan 2) kantor, sekolah, rumah sakit dan sejenisnya (non patogen), gedung umum lainnya 3) pasar, pertokoan, bioskop, restoran 4) pabrik/industri yang sejenisnya dengan sampah permukiman (tidak berbahaya dan beracun), 5) penyapuan jalan, taman, lapangan 6) pemotongan hewan, kandang hewan, 7) bongkaran bangunan 8) instalasi pengolahan sampah.

Berdasarkan data DLHK Kota Bogor Rata-rata produksi sampah tiap orangnya adalah 2,66 liter/orang/hari, data ini tidak begitu jauh dari hasil survey lapangan konsultan, yang menghasilkan produksi sampah tiap orangnya sebesar 2.50. Dengan mengalikan data tersebut terhadap jumlah penduduk, maka perkiraan potensi sampah di Kota Bogor pada tahun 2005 yaitu sekitar 2,137.71 M3/hari. Lebih lengkapnya dapat dilihat tabel berikut.

Tabel 3.24

Timbulan Sampah Kota Bogor Tahun 2001 – 2005

N o

Kecamatan / Kelurahan

Jumlah Timbunan Sampah (M3/Hari)

2001 2002 2003 2004 2005

1 BOGOR UTARA 340,74 345,93 361,48 370,27

373,9 5 2 BOGOR TIMUR 192,56 201,87 209,81 209,77

217,4 5 3

BOGOR

SELATAN 375,75 386,56 400,01 408,24

416,8 6 4 BOGOR TENGAH 231,09 239,23 249,48 252,91

257,9 4 5 BOGOR BARAT 417,13 438,36 454,99 461,16

476,0 5 6 TANAH SAREAL 343,64 361,63 376,00 376,59

395,4 7 TOTAL (KOTA

BOGOR)

1.900,9 1

1.973,5 6

2.051,7 7

2.078,9 3

2.137,7 1

Sumber : DLHK Kota Bogor

Jumlah timbulan sampah Kota Bogor pada lima tahun terakhir menunjukan angka yang terus meningkat yaitu dari 2.078,93 M3/hari pada tahun 2004 bertambah menjadi

2.131,71 M3/hari pada tahun 2005, berbanding lurus dengan pertambahan jumlah penduduk setiap tahunnya.


(25)

b) Komposisi dan Kandungan Sampah

Secara umum, jenis sampah dapat dibagi 2 yaitu sampah organik (biasa disebut sebagai sampah basah) dan sampah anorganik (sampah kering). Sampah basah adalah sampah yang berasal dari makhluk hidup, seperti daun-daunan, sampah dapur, dll.

Sampah jenis ini dapat terdegradasi (membusuk/hancur) secara alami. Sebaliknya sampah kering, seperti kertas, plastik, kaleng, dan lain-lain tidak dapat terdegradasi secara alami.

Menurut data dari DLHK, sampah terbanyak dihasilkan oleh permukiman dan pasar tradisional. Sampah pasar khusus seperti sayur mayur dan pasar buah, jenisnya relatif seragam, sebagian besar (95%) berupa sampah organik sehingga lebih mudah ditangani. Sampah yang berasal dari permukiman umumnya sangat beragam, secara umum komponen organik yang ada adalah 58% didalam sampah yang dibawa ke TPA Galuga. Sedangkan 27,1% lainnya adalah komponen anorganik yang karakteristiknyan berupa bahan-bahan seperti yang disajikan pada tabel berikut.

Tabel 3.25.

Perbandingan Sumber Timbulan Sampah Kota Bogor Tahun 2005

No Sumber Timbulan Volume Sampah / Hari (M3)

Jumlah Prosentase

1 Permukiman 1.340 63,09

2 Komersial & Jalan 308 14,50

3 Pasar 282 13,28

4 Industri, dlll 201 9,13

5 Total 2.131 100

Rata-rata sampah liter/orang/hari

2,66

Sumber : DLHK Kota Bogor, Tahun 2005

Berdasarkan data dari DLHK pada Tahun 2007, rata-rata komposisi sampah Kota Bogor adalah sebagai berikut sebagai berikut :

Volume Sampah : 2 – 3 lt/kapita/hari Berat Sampah : 0,5 kg/kapita/hari

Sampah Organik : 75 – 95 % Komponen lain :

• Kertas : 7 %

• Kayu : 1 %

• Plastik : 13 %

• Gelas : 2 %

• Lainnya : 3 %

Tabel 3.26.

Komposisi karakteristik Sampah Kota Bogor, Tahun 2005

No Komposisi Volume (M3)/

Hari

Presentas e

A Organik 1.492,20 70

1 Sisa Makanan, sayur, dll 1.470,

88

69

2 Sampah Pohon 21,

32


(26)

B Anorganik 639, 51

30

1 Plastik 277,

12

13

2 Kertas 149,

22

7

3 Baju, Tekstil 21,

32

1

4 Logam 42,

63

2

5 Gelas 42,

63

2

6 Karet, Kulit 42,

63

2

7 Lain-lain 63,

95

3

Jumlah 2.131,

71

100

Sumber : DLHK Kota Bogor, Tahun 2005

c) Pola Pengumpulan

Tempat Pembuangan sampah Sementara (TPS)

TPS adalah tempat pembuangan sampah sementara yang disediakan oleh pemerintah daerah atau partisipasi masyarakat untuk menampung sampah buangan dari masyarakat. Sampah dari TPS berasal dari sampah hasil pengangkutan gerobak yang kemudian dimuat kedalam menuju TPA.

Pada beberapa daerah yang padat penduduknya TPS sangat kecil dan tidak cukup untuk menampung sampah yang ditimbulkan. Hal tersebut akan mengakibatkan timbulan sampah yang tidak terangkat, dan bila terdekomposisi akan menimbulkan bau dan akan mengundang lalat.

TPS yang tersedia di Kota Bogor berjumlah 516 unit, umumnya kondisinya memerlukan perbaikan fisik dan peningkatan operasional berupa pengaturan jadwal pembuangan dan pengangkutan, sehingga jangka waktu penumpukan sampahnya tertentu dan tidak lebih dari 1 hari. Hampir seluruh TPS yang terbuat dari bata tidak mempunyai penutup, sehingga saat hujan sampah tercampur dengan air, yang dapat menimbulkan bau dan terjadi kontaminasi air hujan oleh sampah, yang mengalir di sepanjang jalan.

Tabel 3.27.

Jumlah Tempat Penampungan Sementara (TPS) Bak Container

No .

Kecamatan Vol/M3 Jumlah Baik

1 Bogor Selatan 138 23 23

2 Bogor Timur 60 10 10

3 Bogor Utara 48 8 8

4 Bogor Tengah 162 27 27

5 Bogor Barat 66 11 11


(27)

6 Tanah Sareal 42 7 7

Jumlah 516 86 86

Sumber : DLHK Kota Bogor, Tahun 2005

Depo Pengalihan

Depo pengalihan atau transfer depo adalah tempat gerobak memindahkan sampahnya langsung ke truk sampah untuk dibawa ke TPA. Jumlah transfer depo di Kota Bogor adalah 8 unit. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 3.28.

Lokasi Transfer Depo di Kota Bogor

No Transfer Depo Lokasi

1 Depo Sempur Kel. Sempur

Kec. Bogor Tengah 2 Depo Bantar Kemang Kel. Baranangsian

Kec. Bogor Timur 3 Depo Tegal Gundil 1 Kel. Tegal Gundil

Kec. Bogor Utara 4 Depo Tegal Gundil 2 Kel. Tegal Gundil Kec. Bogor Utara 5 Depo Tegalega Kel. Tegalega

Kec. Bogor Tengah 6 Depo Cibogor Kel. Cibogor

Kec. Bogor Tengah 7 Depo Menteng Asri Kel. Menteng

Kec. Bogor Barat

8 Depo Cipaku Kel. Cipaku

Kec. Bogor Selatan

Sumber : JABODETABEK Waste Management Corporation (JWMC) Consultan Suport,2006

Pembuangan Akhir

TPA Galuga yang berlokasi di Galuga, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor merupakan Tempat Pembuangan Akhir sampah yang dihasilkan oleh Kota Bogor. Lokasi TPA Galuga kurang lebih 2 Km dari jalan raya antara Bogor – Leuwiliang dan kurang lebih 15 Km dari Kota Bogor. Kondisi jalan menuju lokasi datar dan baik, lebar 4 m, serta ada pemutaran truck. Luasan TPA, 13.6 ha, metode pengolahannya melalui Control landfil dengan cara penumpukan/penutupan sampah dengan tanah di lahan yang telah disediakan untuk dibiarkan sampai dengan membusuk. Namun karena curah hujan yang tinggi, maka sampah memerlukan waktu yang lama untuk pembusukannya. Penanganan TPA dengan open dumping tersebut menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan karena bau yang ditimbulkan dari sampah yang terdekomposisi, sehingga bau tersebut mengundang lalat yang dapat menyebabkan berbagai penyakit menular. Selain hal tersebut tanah maupun air permukaan dan air bawah tanah terkontaminasi oleh cairan lindi yang timbul karena kolam lindi di TPA tidak berfungsi dengan baik sehingga masih ada cairan lindi yang tidak masuk ke kolam lindi.

Pengangkutan

Kegiatan selanjutnya adalah berkaitan dengan pengangkutan sampah dari tempat timbulan sampah ke Tempat Pembuangan Sementara (TPS). Pengangkutan sampah Kota Bogor umumnya dilakukan dengan mengunakan gerobak atau truk sampah yang dikelola oleh kelompok masyarakat maupun petugas DLHK. Berdasarkan hasil


(28)

pengamatan hal-hal yang terjadi pada pengangkutan sampah tersebut adalah ceceran sampah maupun cairannya sepanjang rute pengangkutan. Memindahkan sampah dari tempat pembuangan sampah sementara yang hanya ditimbun dan tidak ditempatkan pada tempat penampungan akan menyebabkan kesulitan pada saat memindahkan sampah tersebut. Proses pemindahan tersebut harus dilakukan cepat agar tidak menggangu kelancaran lalulintas dan penggunaan truk pengangkut menjadi efisien.

Banyaknya sampah yang harus diangkut akan memerlukan banyak truk pengangkut, dengan keterbatasan jumlah truk yang dimiliki oleh DLHK, ritasi truk pengangkut menjadi lebih tinggi. Kondisi tersebut menyebabkan biaya perawatan truk pengankut akan meningkat dan masa pakai kendaraan pengangkut akan semakin pendek.

Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah waktu tempuh ke TPA, jarak tempuh dan kondisi jalan yang kurang memadai menyebabkan waktu tempuh menjadi lama, sulitnya memperoleh lahan yang sesuai untuk TPA pada kawasan perkotaan menyebabkan waktu dan jarak tempuh ke TPA menjadi lebih lama dan lebih panjang. Fasilitas transfer dan transport yang digunakan oleh DLHK Kota Bogor dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3.29.

Potensi Armada Penanggulangan Sampah Di Kota Bogor

No. Kecamatan Dump

Truck

Arm Roll

Bak Containe

r

Pick Up

Motor/ gerobak

1 Bogor Selatan 6 - 23 -

-2 Bogor Timur 10 - 10 -

-3 Bogor Utara 7 - 8 -

-4 Bogor Tengah 15 - 27 -

-5 Bogor Barat 8 - 11 -

-6 Tanah Sareal 9 - 7 -

-Jumlah 63 22 86 5 5

Sumber : DLHK Kota Bogor, Tahun 2005 Keterangan :

• Untuk route arm roll tidak dibagi wilayah

• Untuk route kijang pick up dan motor gerobak tidak dibagi perwilayah (keliling)

Perkembangan kondisi penanganan persampahan di Kota Bogor secara mendetil dan lebih update disajikan pada sub-bab 3.3

3.1.6. Drainase Lingkungan

Kota Bogor merupakan daerah yang bervariasi atau bergelombang dengan perbedaan ketinggian yang cukup besar, bervariasi antara 200 – 350 m diatas permukaan laut, titik tertinggi berada di sebelah Selatan dengan ketinggian 350 meter di atas

permukaan laut dan titik terendah berada di sebelah Utara dengan ketinggian 190 meter di atas permukaan laut. Morfologi tanahnya terbagi dalam dua hamparan, di sebelah Selatan relatif berbukit-bukit kecil dan di sebelah Utara merupakan daerah dataran dengan kemiringan lereng dapat dilihat pada Sub-bab sebelumnya.

Dilihat dari proporsinya, pada tahun 2009 permukiman mendominasi peningkatan penggunaan lahan mencapai ± 36 % dari tata guna lahan permukiman tahun 2005. Hal ini dapat dipahami karena setiap tahunnya sektor permukiman terus mengalami peningkatan karena adanya tuntutan kebutuhan yang tinggi dari masyarakat Kota Bogor. Pada kondisi eksisting, penggunaan lahan lainnya terdistribusi dengan proporsi rata-rata dibawah ± 5


(29)

% kecuali untuk pertanian, ruang terbuka hijau dan lapangan olahraga masing-masing mencapai ± 27 %, 15% dan 7%.

Dengan meningkatnya penggunaan lahan permukiman sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah 2009, maka dalam perencanaan sarana drainase perlu diperhatikan meningkatnya koefisien tutupan lahan. Peningkatan koefisien tutupan lahan akan menyebabkan meningkatnya debit run off yang terjadi ketika banjir.

Dari hasil analisis perhitungan dan laporan WJEMP tahun 2004, diperoleh kesimpulan bahwa erosi tanah tergantung dari kondisi daerah aliran sungai antara lain; cuaca, kemiringan lereng, geologi dan tataguna lahan. Walaupun data akurat tentang laju erosi di wilayah Kota Bogor sangat terbatas tetapi berdasarkan analogi dengan laporan terdahulu diperkirakan bahwa laju erosi daerah aliran sungai di Kota Bogor tidak jauh berbeda dengan di wilayah Jabodetabek sebesar 100 ton/ha/tahun.

Partikel tanah yang tererosi dikelompokkan berdasarkan ukuran butiran yang meliputi, lempung, lanau, pasir dan batu kerikil. Berdasarkan laporan WJEMP dinyatakan bahwa ukuran partikel (D50), dari material dasar sungai berkisar antara 0,18 mm dan 2,05 mm atau pasir halus sampai pasir agak kasar.

Material tersuspensi menunjukkan ukuran partikel dengan kisaran D50 dari 0,002 mm - 0,15 mm atau lempung sampai lanau. Dengan menggunakan cara analogi

diperkirakan ukuran partikel tanah yang tererosi dihulu daerah aliran sungai di Kota Bogor tidak jauh berbeda dengan di wilayah Jabodetabek dan saat ini mendekati nilai diatas. Pengerukan sedimen perlu dilakukan sedini mungkin untuk menekan resiko banjir karena menurunnya kapasitas hidrolik dari sungai, drainase utama, waduk dan situ. Pengelolaan DAS secara terpadu dan pengendalian erosi selama kegiatan pembangunan perlu ditingkatkan di wilayah Bogor untuk mengurangi sedimentasi pada sungai dan drainase utama.

Upaya meningkatkan kesadaran penduduk perlu dilakukan terutama dalam hubungannya dengan penanganan sampah agar tidak dibuang ke badan air. Hal tersebut diperlukan pengadaan fasilitas yang memadai yaitu: transportasi, tempat pembuangan sementara (TPS) dan tempat pembuangan akhir (TPA) yang memenuhi persyaratan. Pengawasan terhadap limbah industri perlu ditingkatkan terutama dalam kaitannya dengan pemenuhan standar limbah. Upaya tersebut akan dapat menekan tingkat kontaminasi sedimen. Kajian dampak lingkungan dari rencana kegiatan pengerukan sedimen diperlukan untuk merumuskan upaya penanganan dampak negatif yang mungkin timbul.

Dari hasil perhitungan erosi, terlihat bahwa laju erosi per satu hektar lahan di Bogor adalah sebesar 42 ton/tahun. Oleh karena itu pengerukan di situ maupun saluran harus dilakukan setiap tahun dengan kedalaman pengerukan 30 mm atau untuk situ minimal 5 tahun sekali dengan kedalaman pengerukan minimal 1 m.

Sistem drainase di Kota Bogor belum terencana dengan baik. Sebagian besar masih mengikuti pola alamiah, sebagian lagi berupa sistem drainase jalan. Secara umum, sistem drainase di Kota Bogor terbagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu drainase makro dan drainase mikro.

Saluran pembuangan makro adalah saluran pembuangan yang secara alami sudah ada di Kota Bogor yang terdiri dari dua sungai besar, yaitu Sungai Ciliwung dan Cisadane yang mengalir dari arah Selatan ke Utara serta beberapa sungai kecil seperti Sungai Cipakancilan, Sungai Cipinanggading, Sungai Ciluar, Sungai Cikalibaru, Sungai

Ciheuleut, Sungai Ciapus, Sungai Cisindangbarang, Sungai Cigede Wetan, Sungai Cigede Kulon, Sungai Cileungsir, Sungai Cipalayangan, Sungai Cibeureum, Sungai Cikaret, Sungai Cigenteng, Sungai Cinyangkokot, Sungai Cileuwibangke, Sungai Cipaku dan Sungai Cijeruk.


(30)

Saluran pembuangan mikro adalah saluran yang sengaja dibuat mengikuti pola jaringan jalan. Pada akhirnya saluran ini bermuara pada saluran makro yang dekat dengan saluran mikro tersebut.

Wilayah Kota Bogor terdiri atas jaringan-jaringan drainase yang rumit. Beberapa di antaranya adalah jaringan saluran drainase yang secara hidrolik berdiri sendiri namun terdapat jaringan saluran drainase yang saling berhubungan satu sama lain. Selain itu masih terdapat pula jaringan irigasi yang mempunyai fungsi berbeda dengan jaringan drainase. Jaringan irigasi yang berubah menjadi jaringan drainase, yaitu di saluran induk Ciliwung Katulampa, Saluran Cibalok, Saluran Bantarjati (Cibagolo), Saluran induk Cisadane Empang, Saluran sekunder Cibuluh, Saluran sekunder Cidepit dan Saluran sekunder Ciereng

Saluran drainase yang secara hidrolik saling berkaitan tersebut harus

dikembangkan sebagai sebuah sistem yang konsisten secara hidrolik, misalnya dengan sistem polder. Pada hakekatnya setiap daerah genangan memiliki saluran drainase lokal. Wilayah Kota Bogor dilewati oleh dua sungai besar dengan aliran dari selatan ke utara yaitu Sungai Ciliwung dan Cisadane. Sungai-sungai tersebut selain dipergunakan sebagai saluran induk dalam pengaliran air hujan, juga oleh sebagian kecil penduduk masih dipergunakan untuk keperluan MCK. Potensi air lainnya adalah terdapatnya sumber air tanah berupa mata air yang sebagian telah dipergunakan oleh masyarakat sebagai sumber supply air bersih.

Pada gambar berikut diperlihatkan skema tata air di Kota Bogor. Skema tata air ini merupakan skema tata air termutakhir dibandingkan dengan studi-studi sebelumnya. Kajian dan Analisis mengenai tata air di Kota Bogor selanjutnya akan mengacu kepada skema tata air ini dengan penyesuaian dan verifikasi di lapangan.

Gambar 3.3.

Skema Tata Air dalam WJEMP 2004

Situ-situ yang berada di wilayah kota Bogor sejumlah 6 (enam) situ eksisting dan 2 (dua) lokasi potensial untuk kolam retensi dan hampir seluruhnya akan ditangani oleh Pusat melalui PIPWS-CC.yaitu :

Tabel 3.30.

Sebaran Situ-situ di Kota Bogor Tahun 2007 N

o

Nama Situ Desa Kecam

atan

Luas Areal

(ha)

Fungsi

1 Situ Gede Situ Gede Bogor

Barat

4.0 Irigasi, Retensi BAPPEDA KOTA BOGOR| POKJA SANITASI


(31)

N o

Nama Situ Desa Kecam

atan

Luas Areal

(ha)

Fungsi

2 Situ Kecil Situ Gede Bogor

Barat

1.0 Irigasi 3 Situ Panjang Situ Gede Bogor

Barat

2.5 Irigasi

4 Situ Curug Curug Bogor

Barat

2.0 Irigasi, Retensi 5 Situ Anggalena Ciparigi Bogor

Utara

1.0 Rekreasi ,

Retensi 6 Situ Danau

Bogor Ray

Katulampa Bogor Timur

1.04 Retensi, Rekreasi 7 Kolam Retensi

Cimanggu Kedungwari ngin Tanah Sareal 1.0 Retensi 8 Kolam Retensi

Taman Persada

Cibadak Tanah

Sareal

0.5 Potensia l

Sumber : Dinas Bina Marga dan Pengairan Kota Bogor Tahun 2009

Berdasarkan data dari Dinas PSDA Propinsi Jawa Barat, berikut disampaikan volume efektif situ dan volume netto dari tiap situ.

Tabel 3.31

Luas Layanan dan Volume Situ di Kota Bogor Tahun 2007

N o Nama Situ Lokasi Luas Laya nan (Ha) Volu me Efekt if (m3) Kehilan gan Air (juta m3) Dihitun g 20% Volu me Nett o (m3) Desa Kecam atan 1 Asem Cibada k Bogor

Barat 3 0 0 0

2 Curug Curug

Bogor Barat 2 60.00 0 12.000 48.00 0 3 Gede Situ Gede Bogor Barat 4 200.0 00 40.000 160.0 00 4 Kecil Situ Gede Bogor Barat 1 30.00 0 6.000 24.00 0 5 Panjang Situ Gede Bogor Barat 2,5 60.00 0 12.000 48.00 0 6 Salam Ciparig i Bogor

Utara 1 0 0 0

7 Bogor Raya Cimah par Bogor Utara 7,5 75.00 0 15.000 60.00 0 Total Potensi

Situ 7 buah 21

425.0

00 85.000

340.0 00

Sementara permasalahan Situ yang meliputi masalah fisik dan nonfisik dapat dilihat pada tabel berikut.


(32)

Tabel 3.32.

Identifikasi Permasalahan Situ dan Usulan Solusi

Permasalahan Cara Mengatasi

Fi si k

Pengurangan luas situ

1.Peroleh informasi luas situ semula, kembalikan luasan situ seperi semula dengan pembebasan tanah

2.Tetapkan luas situ sesuai yang ada dan lestarikan

3.Keikutsertaan masyarakat sekeliling situ untuk pelestarian situ

Sedimentasi 1.Pengerukan situ dengan

mempertimbangkan fungsi pengendali banjir dan penyediaan air

2.Pencegahan sedimen masuk situ misal dengan perangkap sedimen

Tumbuhan air dan rumput

Pemeliharaan khusus dan pemeliharaan rutin

Kerusakan sarana situ

Perbaiki dengan pemeliharaan khusus N

o n Fi si k

Ketidakjelasan penguasaan

Pemerintah Pusat agar memutuskan penguasaan situ (Pusat atau Kabupaten/ Kota) dan pensertifikatan situ dengan melibatkan BPN

Ketidakjelasan instansi

pengelola

Pelimpahan wewenang pengelolaan dari Pusat ke Kabupaten/ Kota diteruskan penunjukan instansi yang berwenang mengelola

Penurunan kualitas lingkungan

1.Keikutsertaan masyarakat sekeliling situ dalam kepedulian lingkungan (tidak membuang sampah dan limbah rumah tangga ke situ)

2.Jika terpaksa air limbah diolah dulu dengan kolam pembersih limbah alami (wet land) dan atau tangki UASB (Upflow Aerobic Sludge Blanket)

Untuk mempermudah penanganan sistem drainase dalam perencanaan dan dalam pengelolaannya akan di buat beberapa sistem situ dan sistem drainase lokal telah

dikelompokkan kedalam beberapa Zona Drainase dimana Kota Bogor memiliki 15 zona drainase Pengelompokan didasarkan atas kesamaan daerah dipandang dari sudut topografi, saluran atau sungai pembatas yang ada, dan daerah aliran sungai tertentu


(33)

sebagai saluran makro dari jaringan drainase. Berikut adalah gambaran Daerah Aliran Sungai dan gambaran zona drainase Kota Bogor.

Gambar 3.4 Hasil Delianasi Daerah Aliran Sungai Kota Bogor Gambar 3.5 Peta Zona Drainase Kota Bogor

3.1.7. Pencemaran Udara

Pemantauan kualitas udara ambien di Kota Bogor dilakukan secara kontinu setiap tahun pada titik-titik tertentu yang dianggap dapat merepresentasikan keadaan kualitas udara di Kota Bogor. Pemantauan kualitas udara pada tahun 2007 dilaksanakan di 15 (lima belas) titik lokasi (Gambar 3.6).

Kelima belas lokasi pemantauan kualitas udara pemantauan sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 3.6 adalah :

1. Pertigaan Empang 2. Jalan Pajajaran 3. SD Pengadilan V 4. Taman Topi

5. Pertigaan Jembatan Merah 6. Pertigaan Mawar

7. Warung Jambu 8. Ciawi

9. Ciluar

10. Jalan Baru Kemang 11. Pertigaan Bubulak 12. Darmaga

13. Pertigaan Pancasan 14. Pertigaan Tugu Kujang

1

2

3


(34)

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

Pertigaan Plaza Bogor

Gambar 3.1. Lokasi pemantauan kualitas udara ambien Delapan titik sampel diambil mewakili lokasi di pusat kota (Pertigaan Empang, Jalan Pajajaran, SD Pengadilan V, Taman Topi, Pertigaan Jembatan Merah, Pertigaan Pancasan, Pertigaan Tugu Kujang dan Pertigaan Plaza Bogor). Tujuh titik sampel lainnya diambil mewakili lokasi pinggiran Kota Bogor


(35)

yakni (Warung Jambu, Ciawi, Ciluar, Jalan Baru Kemang, Pertigaan Bubulak, Darmaga). Sampel diambil pada Bulan Juni 2007. Kondisi kualitas udara Kota Bogor Berdasarkan hasil pemantauan tersebut menunjukkan sebagian besar parameter yang diukur masih belum melebihi baku mutu lingkungan. Parameter yang telah melampaui baku mutu yakni parameter timbal (Pb), debu (TSP) dan Kebisingan. Parameter Pb ditemukan telah melampaui baku mutu di lokasi pengukuran Pertigaan SD Pengadilan V, Ciawi, Pertigaan Bubulak dan Pertigaan Tugu Kujang, sedangkan parameter TSP ditemukan telah melampaui baku mutu di lokasi pengukuran Pertigaan SD Pengadilan V, Warung Jambu, Ciawi, Ciluar, Pertigaan Bubulak, Pertigaan Pancasan dan Pertigaan Plaza Bogor. Parameter tingkat kebisingan ditemukan telah melampaui baku mutu di semua lokasi pengukuran, kisaran tingkat kebisingan yakni antara 61,0 - 80,3 dBA.

Dibandingkan dengan hasil pengukuran pada Tahun 2005 dilokasi yang sama tidak ditemukan perbedaan yang signifikan. Pada tahun 2005 parameter debu (TSP) yang melampaui baku mutu hanya ditemukan di tiga satu lokasi pengukuran, yakni di Warung Jambu (286,6 µg/Nm3) sementara pada Tahun 2007 parameter debu yang melampaui baku mutu bertambah menjadi tujuh lokasi.

3.1.8. Limbah Industri (kondisi umum penanganan limbah industri) Berdasarkan laporan BPLHD Jawa Barat Tahun 2007 jumlah industri potensi penghasil limbah B3 mencapai 45 % dari jumlah total industri yang terdaftar. Industri terbanyak adalah industri garmen, yang jumlahnya mencapai 15 industri. Beberapa bidang usaha lainnya yang mempunyai jumlah lebih dari 3 antara lain industri tekstil, karoseri mobil, keramik, kimia, komponen elektronik dan jasa laundry. Persentase jenis bidang usaha yang terdapat di Kota Bogor dapat dilihat pada Gambar berikut :


(36)

Gambar 3.7 Persentase Bidang Usaha Dihasilkan di Kota Bogor

Berdasarkan PotensiLimbah B3

Tabel 3.33.

Jumlah Bidang Usaha di Kota Bogor Berdasarkan Kategori Limbah yang Dihasilkan

Bila dilihat berdasarkan jumlah industri keseluruhan, maka industri potensi penghasil limbah B3 diperkirakan mencapai 179 buah. Pengkategorian ini didasarkan pada daftar jenis bidang usaha yang dinyatakan industri penghasil limbah B3 di PP No 85 tahun 1999.

Gambar 3.8 Kelengkapan Dokumen Bidang Usaha Terdaftar di Kota Bogor Dari keseluruhan industri yang terdaftar, hanya sekitar 61 % industri telah

melengkapi kegiatan uasahanya dengan dokumen pengelolaan lingkungan. Sisanya, sekitar 39 % masih belum mempunyai pernyataan mengenai tanggung jawab terhadap lingkungan, yang dituangkan dalam dokumen UKL – UPL maupun RKL – RPL.

3.1.9. Limbah Medis

Kegiatan rumah sakit merupakan suatu kegiatan spesifik untuk pelayanan medis masyarakat yang menderita gangguan kesehatan. Akibat dari kegiatan tersebut, limbah rumah sakit merupakan limbah yang berbahaya bagi lingkungan. Jenis limbah yang dikeluarkan oleh kegiatan rumah sakit terdiri dari limbah padat limbah cair, dan gas. Sifat limbah yang spesifik disini misalnya limbah yang bersifat infeksius dan limbah radioaktif. Limbah padat merupakan limbah yang dihasilkan dari bekas tempat obat, jarum suntik, perban, kapas, potongan bagian operasi, dll. Limbah ini harus dimusnahkan dengan cara dibakar dalam incenerator pada suhu tertentu yaitu diatas 1000 0C-1200 0C. Pada kondisi suhu pembakaran ini, maka benda-benda yang dibakar tersebut menjadi abu yang siap dilandfill-kan. Sedangkan limbah cair yang berasal dari ruang operasi, ruang laboratorium, kamar mandi, dan dapur, serta laundry harus diolah tersendiri dengan menggunakan sistem fisik, kimia dan biologi hingga memenuhi standar kualitas yang ditentukan. Kualitas air limbah yang dikeluarkan dari sistem harus sesuai dengan baku mutu dan tidak mengandung bakteri patogen. Kota Bogor mempunyai 9 rumah sakit. Untuk lebih jelasnya tentang limbah medis di Kota Bogor, adalah sebagai berikut:

1..a. Limbah Cair

Limbah cair yang dihasilkan umumnya mengandung bakteri, virus, senyawa kimia, dan obat-obatan yang dapat membahayakan lingkungan. Sumber limbah cair dapat berasal dari kegiatan :


(37)

 Pelayanan pasien berupa limbah cair dalam kamar mandi dan pencucian peralatan yang digunakan

 Laboratorium klinis : air limbah dari pencucian peralatan laboratorium dan sejenisnya.

 Ruang operasi

 Laundry dan pembersihan ruang infeksius  Radiologi

 Pembersihan ruangan-ruangan non infeksius  Laboratorium obat

Berdasarkan data hasil analisis kualitas air limbah terhadap 9 (sembilan) contoh limbah cair dari 9 (sembilan) lokasi Rumah Sakit di Kota Bogor, sebanyak 4 (empat) contoh air limbah dari 4 (empat) limbah cair rumah sakit kualitas air limbahnya memenuhi kadar maksimum yang

dipersyaratkan kriteria baku mutu limbah cair kegiatan rumah sakit pada KEPMEN LH Nomor KEP-58/MENLH/12/1995. Keempat contoh air limbah tersebut berasal dari RS Islam, RS Azra, RS PMI dan RS Marzuki Mahdi.

Namun demikian, sebanyak 5 (lima) contoh air limbah dari kegiatan rumah sakit Karya Bakti, Salak, Hermina, BMC dan Melania kurang memenuhi persyaratan. Hal ini dikarenakan, terdapat parameter kualitas limbah cair tidak memenuhi kadar maksimum yang dipersyaratkan pada baku mutu limbah cair kegiatan rumah sakit. Parameter dengan kadar yang melebihi baku mutu limbah cair tersebut diperlihatkan dalam tabel berikut ini.

Tabel 3.34.

Parameter Kualitas Limbah Cair Kegiatan Rumah Sakit Yang Melebihi Persyaratan Kriteria Baku Mutu Limbah Cair

(KEPMEN LH Nomor KEP-58/MENLH/12/1995)

Lokasi Sungai pH TSS BO

D

CO D

P-total

NH3 -N

T-Coli

- mg/

L

mg/ L

mg/ L

mg/L mg/ L

Jml/100 mL

RS Karya Bhakti + + + 88 + + +

RS Salak + 126 45 83 + 0.79

2

+

RS Hermina + + + + 2.29 + +

RS BMC + + + + + 0.17

5

+

RS Melania + 184 + + + + +

Kriteria Baku Mutu Limbah Cair

6.0 - 9.0

30 30 80 2.0 0.10 10000

+ memenuhi kriteria baku mutu limbah cair

1..b. Limbah Padat

Jenis limbah padat yang dihasilkan dapat berupa ; limbah medis (bersifat infeksius) dan limbah domestik (non infeksius). Limbah domestik berasal dari


(1)

Sesuai dengan semangat otonomi daerah maka pengaturan keuangan daerah juga mengikuti fungsi dan urusannya atau biasa disebut juga “money follow function”, sesuai hal tersebut mengacu pada Permendagri 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah salah satu instrument pemerintah dalam kebijakan fiskal dalam rangka mewujudkan pelayanan kepada masyarakat untuk tercapainya tujuan bernegara adalah APBD. APBD juga memiliki fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Kekuatan dan efektifitas anggaran sangatlah penting untuk men-derive sector-sektor dan sub sector pembangunan dalam upaya pencapaian kesejahteraan masyarakat, akan tetapi biasanya APBD memiliki banyak keterbatasan sehingga Pemerintah juga harus dapat menderive pembangunan dengan suatu kebijakan dalam bentu regulasi sehingga dapat memunculkan pembiayaan-pembiayaan pembangunan dari pihak lain non-pemerintah.

3.7.1. Gambaran Umum APBD Kota Bogor A. Pendapatan

Sumber pendapatan daerah Kota Bogor terdiri atas :

1) Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang terdiri dari kelompok Pajak Daerah, Retribusi Daerah, Bagian Laba Usaha Daerah dan Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah. Dana Perimbangan yang meliputi Bagi Hasil Pajak, Bagi Hasil Bukan Pajak, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus 2) Lain-lain Pendapatan yang sah yang meliputi Bantuan Dana

Penyeimbang dari Pemerintah, dan Bantuan Keuangan dari Provinsi atau Pemerintah Daerah Lainnya.

3) Pendapatan dari dana perimbangan sebenarnya diluar kendali pemerintah Daerah karena alokasi dan tersebut ditentukan oleh Pemerintah Pusat berdasarkan formula yang telah ditetapkan. Penerimaan dari dana perimbangan sangat bergantung dari penerimaan Negara dan formula dana alokasi umum.

Dengan demikian untuk menjamin pendapatan daerah, Pemerintah Daerah memfokuskan pada pengembangan pendapatan asli daerah.

Perkembangan Pendapatan Daerah Kota Bogor sendiri dari tahun ke-tahun menunjukkan peningkatan dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 14,54% dan pencapaian terhadap target rata-rata melampaui 109,22%, namun perlu diwaspadai bahwa pertumbuhan ini bersifat semu karena lebih ditopang oleh Pendapatan Transfer yang kurang lebih rata-rata 82,88% dari total pendapatan. Hal ini menunjukkan bahwa Pendapatan Asli Daerah Kota Bogor sendiri masih relative rendah. Perkembangan PAD dan Proporsi PAD dalam Total Pendapatan Daerah tersebut dapat dilihat dalam table dan grafik dibawah ini.

Tabel. 3.64.

Perkembangan Rencana dan Realisasi PAD Kota Bogor Tahun 2004 – 2008 Tah

un

Target Realisasi Pencapaian

PAD terhadap Target

PAD Pertumbu

han %

PAD Pertumbu


(2)

%

200 4

Rp

49,431,543,975

-Rp

50,644,041,397 - 102,45 200

5

Rp

63,830,553,398 29.129

Rp

66,707,298,215 31.72 105,25 200

6

Rp

63,353,915,442 -0.747

Rp

69,300,010,034 3.89 109,39 200

7

Rp

71,687,047,669 13.153

Rp

79,819,169,545 15.18 111,34 200

8

Rp

83,098,271,499 15.918

Rp

97,768,134,591 22.49 117,65

Rata-rata Per Tahun 14.36 18.32 109,22

Sumber : Laporan Keuangan Pemerintah Kota Bogor Tahun 2004 s/d 2008 Gambar 3.21

Sumber : LKPJ Walikota Bogor 2009 dan RPJMD Kota Bogor 2010-2014 (diolah)

Sementara apabila dilihat dari tingkat pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Berlaku maka dapat di interpretasikan bahwa pertumbuhan PAD Kota Bogor sudah cukup maksimal karena tingkat rata-rata pertumbuhan PAD berkisar 18,32% sudah lebih tinggi dari rata-rata tingkat pertumbuhan PDRB ADHB berkisar 17,77%. Akan tetapi hal ini bukan berarti nilai PAD Kota Bogor sudah maksimal karena apabila dilihat dari tingkat pencapaian target PAD Kota Bogor mencapai rata-rata 109,22% atau rata-rata 9,22% lebih tinggi setiap tahunnya dengan tingkat kecenderungan pertumbuhan pencapaian yang terus meningkat dan belum mencapai angka konstan. Hal ini juga dapat di interpretasikan bahwa kemungkinan potensi PAD Kota Bogor yang bersumber dari Pajak dan Retribusi Daerah masih lebih besar lagi atau juga dapat dimaknai masih terdapat

kemungkinan Pajak dan Retribusi Daerah yang belum terpungut namun tingkat pertumbuhan realisai PAD tersebut yang cenderung meningkat menyatakan adanya peningkatan kesadaran masyarakat dalam memenuhi kewajiban Pajak dan Retribusi Daerah.

Tabel. 3.65.

Tingkat Pertumbuhan Realisasi PAD dan PDRB ADHK Kota Bogor

TAH UN

(Realisasi) PAD

% Pertumbuh

an

PDRB ADHB (Jutaan Rp)

% Pertumbuha

n

2004

50.644.041.39

7 5.245.746,82

2005

66.707.298.21

5 31,72 6.191.918,90 18,04

2006

69.300.010.03

4 3,89 7.257.742,09 17,21

2007

79.819.169.54

5 15,18 8.558.035,70 17,92

2008

97.768.134.59

1 22,49 10.089.943,96 17,90

Rata-rata 18,32 17,77


(3)

B. Belanja Daerah

Belanja daerah merupakan salah satu instrument kebijakan fiscal

pemerintah dalam upaya pencapaian kesejahteraan masyarakat melalui beberapa indicator utama yaitu laju pertumbuhan ekonomi (LPE) dan indeks pembangunan manusia (IPM), dimana indicator tersebut diasumsikan sebagai muara dari

indicator-indikator yang menggambarkan kondisi masyarakat seperti tingkat pendapatan, angka pengangguran, kualitas kehidupan masyarakat (kesehatan, pendidikan dan daya beli). Dalam pengalokasiannya sendiri memperhatikan kemampuan pendapatan daerah dan mempertimbangkan sektor-sektor yang menjadi kunci terhadap perubahan kondisi untuk peningkatan kesejahteraan dan sesuai dengan permasalahan yang dihadapi oleh masing-masing daerah yang diterjemahkan dalam program dasar dan program prioritas.

Diantaranya yang menjadi program prioritas di Kota Bogor yaitu : Transportasi, Kebersihan, Penanganan Pedagang Kaki Lima (PKL) dan Penanganan

Kemiskinan. Seiring dengan prinsip “money follow function”, maka selain program dasar maka program-program prioritas tersebut menjadi titik berat dominan dalam pengalokasian anggaran daerah. Ditinjau dari proporsi realisasi belanja daerah terhadap PDRB ADHB yang rata-rata konstan dengan prosentase sekitar 6,76%, maka kemungkinan besar PDRB Kota Bogor lebih dominan berasal dari driven konsumsi dan investasi serta net-export. Dan dengan melihat pola aktivitas pembangunan fisik yang terjadi di Kota Bogor kemungkinan besar PDRB Kota Bogor lebih didorong oleh konsumsi.

Tabel. 3.66.

PERBANDINGAN REALISAI BELANJA DAERAH TERHADAP PDRB ADHB

TAHUN

Realisasi

Belanja PDRB ADHB

% Belanja thdp PDRB ADHB

2004 369.837.726.958

5.245.746.820.

000 7,050

2005 388.609.703.293

6.191.918.900.

000 6,276

2006 507.874.855.144

7.257.742.090.

000 6,998

2007 582.735.392.917

8.558.035.700.

000 6,809

2008 673.652.885.683

10.089.943.960.

000 6,676

Rata-rata 6,762

3.7.2. Pembiyaan Langsung

A. Pendapatan Perolehan dari Sektor Sanitasi Kota Bogor

Sumber Pendapatan yang diperoleh dari sector sanitasi di Kota Bogor sangat terbatas yang teridentifikasi saat ini sebagai sumber pendapatan langsung dari sector sanitasi adalah berupa retribusi yang terdiri dari retribusi persampahan, retribusi penggunaan jaringan pipa limbah cair dan retribusi penyediaan dan/atau penyedotan kakus. Berdasarkan pengamatan terhadap penerimaan retribusi tersebut terlihat bahwa untuk retribusi persampahan dalam kurun waktu 3 (tiga)


(4)

tahun terakhir Tahun 2007 hingga akhir Tahun 2009 (Tabel. 3.68) menunjukkan kenaikan yang cukup signifikan mencapai 123,90%, akan tetapi untuk sub sector air limbah menunjukkan angka yang cenderung konstan (hampir tidak ada kenaikan). Apabila penerimaan dari sub sector air limbah tersebut dikaitkan dengan nilai uang maka dapat disimpulkan juga kecenderungannya mengalami penurunan. Hal ini dapat terindikasikan terhadap beberapa kemungkinan seperti penurunan keinginan membayar (willingness to pay) dari pelanggan yang dapat disebabkan beberapa hal seperti tingkat kesadaran para pelanggan yang masih rendah, penurunan tingkat kepuasan akan pelayanan, atau juga terindikasikan dengan kemungkinan penurunan kemampuan membayar (affordability to pay) pelanggan yang kemungkinan dapat disebabkan dari penurunan pendapatan (income) atau daya beli, atau juga dapat terindikasikan dengan kinerja pemungutan retribusi yang masih rendah.

Tabel. 3.67.

PENDAPATAN KOTA BOGOR DARI SUB-SEKTOR SANITASI (AIR LIMBAH & PERSAMPAHAN)

N

o. Sumber Pendapatan 2007 2008 2009

1 Retribusi Persampahan Rp 2.626.184.550

Rp 3.266.200.600

Rp 5.880.138.750

2 Retribusi Penggunaan Jaringan Pipa Limbah Cair

Rp 16.791.500

Rp 15.076.500

Rp 16.650.844

3 Retribusi Penyediaan dan/atau Penyedotan Kakus

Rp 92.000.000

Rp 94.456.000

Rp 91.900.000

JUMLAH

Rp

2.734.976.050 Rp

3.375.733.100 Rp

5.988.689.59 4

Sumber : laporan rekapitulasi keuangan Kota Bogor 2007 - 2009 (diolah)

B. Belanja Terkait Sektor Sanitasi Kota Bogor 1. Pembiayaan Sektor Air Limbah

Hasil identifikasi pembiayaan di sub-sector air limbah kondisi 3 tahun terakhir hingga saat ini dan dikaitkan dengan tingkat cakupan pelayanannya menunjukkan masih kurang terperhatikan bahkan tidak mencapai 0,1%.

Tabel. 3.68.

ANGGARAN BELANJA SEKTOR PELAYANAN AIR LIMBAH KOTA BOGOR TAHUN 2007

No

. Kegiatan Belanja

1 BOP IPAL Tegal Gundil

Rp 68.680.477,00

2 Penyusunan DED IPLT

Rp 46.445.000,00

3 Pengadaan Sarana dan Prasarana Pencegahan Pencemaran Lingkungan

Rp

145.404.600,00

4 Perbaikan Sarana IPAL Tegal Gundil

Rp

63.730.000,00

5

Replikasi Program Sanitasi Berbasis Masyarakat (SANIMAS) Kota Bogor

Rp

185.402.237,00

JUMLAH

Rp

509.662.314,00 Tabel. 3.69.

ANGGARAN BELANJA SEKTOR PELAYANAN AIR LIMBAH KOTA BOGOR TAHUN 2008


(5)

.

1 BOP IPAL Tegal Gundil

Rp 58.858.972,00

2

Replikasi Program Sanitasi Berbasis Masyarakat (SANIMAS) Kota Bogor

Rp 149.227.016,00

3 Optimalisasi IPAL Tegal Gundil

Rp 73.525.000,00 JUMLAH

Rp 281.610.988,00 Tabel. 3.70

ANGGARAN BELANJA SEKTOR PELAYANAN AIR LIMBAH KOTA BOGOR TAHUN 2009

No

. Kegiatan Belanja

1 Penyelenggaraan IPAL Tegal Gundil Rp 63.761.038,00

2

Replikasi Program Sanitasi Berbasis Masyarakat (SANIMAS) Kota

Bogor Rp 195.934.769,00

JUMLAH

Rp 259.695.807,00 2. Pembiayaan Sektor Persampahan

Berbeda kondisi dengan sector air limbah dimana sector persampahan merupakan bagian dari program prioritas sehingga menjadi bagian dari prioritas anggaran. Akan tetapi alokasinya sendiri masih rendah yaitu tidak mencapai 3% APBD Kota Bogor.

Tabel. 3.71

ANGGARAN BELANJA PERSAMPAHAN 2007 -2009

TAH UN

ANGGARAN BELANJA PERSAMPAHAN

2007

Rp

17.205.012.208,00 2008

Rp

18.060.370.530,00 2009

Rp

22.129.374.946,00 3. Pembiayaan Sektor Air Bersih

Untuk pembiayaan air bersih Pemerintah Kota Bogor melakukan intervensi melalui dua jenis mata anggaran yaitu :

a.A. Penyertaan modal terhadap PDAM Tirta Pakuan Kota Bogor a.B. Dana Alokasi Khusus untuk mensuport Pelayanan air bersih

non-perpipaan non-PDAM.

Tabel. 3.72

Belanja Pembangunan Penyediaan Air Bersih Non-PDAM No

. Kegiatan 2007 2008 2009

1

DAK Air Bersih dan Dana

Pendamping Rp 604.086.000 Rp 756.200.000 Rp 2.634.621.474


(6)

JUMLAH

Rp 647.488.600

Rp 839.042.200

Rp 2.724.871.474 4. Pembiayaan Sektor Drainase Lingkungan

Pembiayaan untuk sector drainase lingkungan sulit di identifikasi secara jelas yang dikarenakan sector drainase lingkungan secara teknis terkait erat dengan sector-sektor lainnya, seperti : Drainase Utama (major drainage), drainase jalan, daerah irigasi, komponen sumber daya air lainnya.

C. Kinerja Keuangan dan Pembiayaan Sektor Sanitasi Kota Bogor

Dengan perbandingan tingkat pendapatan dan pengeluaran pada sub-sektor persampahan di Tahun 2009 maka dapat disimpulkan bahwa subsidi yang

diberikan dalam upaya pemenuhan cakupan pelayanan di tahun tersebut masih cukup tinggi yaitu berkisar 73,43%. Dengan tingkat rasio demikian maka untuk meningkatkan cakupan pelayanan persampahan yang lebih tinggi lagi tentu akan semakin menambah beban anggaran. Pada bagian lain penambahan dan

peningkatan dalam pelayanan persampahan tentunya berkorelasi dengan penurunan subsidi kesehatan terutama subsidi dalam pelayanan penanganan penyakit yang sering muncul akibat masalah persampahan, akan tetapi hal ini cukup sulit untuk di analisis. Meskipun demikian dengan memperhatikan

kemampuan anggaran Pemerintah Kota Bogor yang terbatas maka perlu menekan besaran subsidi tetapi juga tetap harus dapat meningkatkan cakupan dan kualitas pelayanan persampahan itu juga.

Sementara pada sub-sektor air limbah kondisi yang terjadi tidak jauh berbeda tingkat pendapatannya berkisar 41,80% atau dapat diartikan juga subsidi yang diberikan Pemerintah adalah sekitar 58,20%. Namun dengan kondisi pembiayaan yang demikian menyebakan cakupan pelayanan air limbah di Kota Bogor masih cukup membutuhkan perhatian dan penanganan lebih.