Pola perawatan Penduduk Lansia Pada Masyarakat Bali.

(1)

Bidang unggulan: Sosial, Ekonomi, dan Bahasa Kode/Nama Bidang Ilmu: 561/Ekonomi Pembangunan

LAPORAN AKHIR PENELITIAN

HIBAH GRUP RISET UDAYANA

JUDUL PENELITIAN

POLA PERAWATAN PENDUDUK LANJUT USIA (LANSIA)

PADA MASYARAKAT BALI

NAMA GRUP RISET: KEPENDUDUKAN

Prof. Dr. Drs. I Ketut Sudibia, SU (0031124819) Dr. A.A. I. N. Marhaeni, SE., MS (0031126264) Dr. I G A Manuati Dewi, SE., MA (0027046203) Dr. Ni Nyoman Yuliarmi, SE., MP (0006076003)

Dibiayai oleh


(2)

(3)

DAFTAR ISI

Halaman sampul... i

Halaman pengesahan ... ii

Daftar isi ... iii

Daftar tabel&gambar ... iv

Ringkasan ... vii

Abstrak ... viii

BAB I. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan Penelitian ... 9

1.3. Tujuan Penelitian ... 9

1.4. Manfaat Penelitian ... 10

1.5. Urgensi Penelitian... 10

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA... 13

2.1. Keberadaan Penduduk Lansia... 13

2.2. Usia Harapan Hidup dan Penduduk Lanjut Usia ... 16

2.3. Lansia dan Dukungan Sosial ... 19

2.4. Pendekatan dan Nilai-nilai Agama Hindu dalam Perawatan Lansia ... 24

2.5. Teori tentang Lansia ... 27

BAB III. METODE PENELITIAN... 30

3.1. Rancangan Penelitian... 30

3.2. Lokasi Penelitian ... 30

3.3. Variabel Penelitian... 31

3.4. Populasi, Sampel, Responden, dan Informan ... 31

3.5. Instrumen Penelitian ... 33

3.6. Metode Pengumpulan Data... 33

3.7.Teknik Analisis Data ... 34

BAB IV. KARAKTERISTIK RESPONDEN PENELITIAN... 35

4.1. Gambaran Umum Daerah Penelitian ... 35

4.2. Karakteristik Responden... 38

4.2.1. Karakteristik responden lansia ... 38

4.2.2. Karakteristik responden keluarga lansia ... 47

4.3. Pola Perawatan Penduduk Lansia ... 54

4.3.1. Pola perawatan yang dilakukan oleh lansia ... 54

4.3.2. Pola perawatan yang dirasakan oleh lansia... 76

4.3.3. Pola perawatan yang diinginkan oleh lansia ... 89

4.3.4. Pola perawatan penduduk lansia yang dilakukan oleh keluarganya ... 99

4.3.5. Pola perawatan penduduk lansia yang diinginkan oleh keluarganya di Masa Depan ... 124

BAB V. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN... 128

5.1. Simpulan... 128

5.2. Implikasi Kebijakan... 129

DAFTAR PUSTAKA... 131


(4)

Daftar Tabel

Tabel Judul Halaman

1.1 Perkembangan Angka Mortalitas Bayi dan Angka Harapan Hidup Penduduk di Provinsi Bali Menurut Hasil Sensus Penduduk (SP) 1971, 1980, 1990, 2000, dan 2010

4

1.2 Perkembangan Jumlah dan Distribusi Penduduk Lansia di Provinsi BaliBerdasarkan Hasil SP 1971, 1980, 1990, 2000, dan 2010

5

3.1 Jumlah Responden Dirinci Menurut Lokasi Penelitian (Kabupaten/Kota, Kecamatan, dan Desa/Kelurahan)

32 4.1 Distribusi Responden Lansia Menurut Pendidikan (%) 40 4.2 Distribusi Responden Lansia Menurut Umur Lima

Tahunan (%)

42 4.3 Distribusi Responden Keluarga Lansia Menurut Umur,

Pada Studi Pola Perawatan Penduduk Lanjut Usia Pada Masyarakat Bali di Kota Denpasar dan Kabupaten Tabanan, 2015

49

4.4 Distribusi Pendidikan Responden Keluarga Lansia, Pada Pola Perawatan Penduduk Lanjut Usia Pada Masyarakat Bali di Kota Denpasar dan Kabupaten Tabanan, 2015

50

4.5 Distribusi Status Perkawinan Responden Keluarga Lansia Pada Pola Perawatan Penduduk Lanjut Usia Pada Masyarakat Bali di Kota Denpasar dan Kabupaten Tabanan, 2015

51

4.6 Distribusi Umur Anak Terakhir Responden Keluarga Lansia,Studi Pola Perawatan Penduduk Lanjut Usia Pada Masyarakat Bali di Kota Denpasar dan Kabupaten Tabanan, 2015

53

4.7 Kegiatan yang dilakukan oleh Lansia agar tetap sehat secara Fisik

57 4.8 Kegiatan yang dilakukan oleh Lansia agar tetap sehat

secara Fisik di Kedua Wilayah Penelitian

59 4.9 Usaha yang Dilakukan oleh Lansia Agar Tetap Sehat

Secara Fisik Menurut Pendidikan (%)

60 4.10 Kegiatan yang dilakukan oleh Lansia agar tetap sehat

secara Psikis

63 4.11 Kegiatan yang dilakukan oleh Lansia agar tetap sehat

secara Psikis Menurut Daerah Tempat Tinggal

64 4.12 Usaha yang Dilakukan oleh Lansia Agar Tetap Sehat

Secara Psikis Menurut Pendidikan (%)

66 4.13 Kegiatan yang Dilakukan oleh Lansia Agar Tetap Sehat

Secara Sosial/Ekonomi


(5)

Tabel Judul Halaman 4.14 Kegiatan yang Dilakukan oleh Lansia Agar Tetap Sehat

Secara Sosial/Ekonomi Menurut Daerah Tempat Tinggal

70

4.15 Usaha yang Dilakukan oleh Lansia Agar Tetap Sehat dari Aspek Sosial Ekonomi menurut Pendidikan (%)

71

4.16 Kegiatan yang dilakukan oleh Lansia agar tetap sehat secara Spiritual

74 4.17 Kegiatan yang dilakukan oleh Lansia agar tetap sehat

secara Spiritual menurut Daerah Tempat Tinggal

74 4.18 Usaha yang Dilakukan oleh Lansia Agar Tetap Sehat

Secara Spiritual menurut Pendidikan (%)

75 4.19 Jenis Perawatan yang Dipersepsikan Oleh Lansia

dari Keluarganya Selama ini

78 4.20 Jenis Perawatan yang Dipersepsikan Oleh Lansia

Menurut Kabupaten/Kota

81 4.21 Persepsi Lansia Terhadap Perawatan dari Keluarga 82 4.22 Persepsi Lansia Terhadap Perawatan dari Keluarga

Menurut Kabupaten/Kota

84 4.23 Distribusi Responden Menurut Upaya-upaya yang

Dilakukan Dalam Perawatan Fisik Penduduk Lansia, Studi Pola Perawatan Penduduk Lansia Pada

Masyarakat Bali

102

4.24 Hubungan Antara Daerah Tempat Tinggal Dengan Upaya-upaya yang Dilakukan Responden Dalam Perawatan Penduduk Lansia Secara Fisik

105

4.25 Hubungan Antara Tingkat Pendidikan Dengan Upaya-upaya yang Dlakukan Responden Dalam Perawatan Penduduk Lansia Secara Fisik

108

4.26 Hubungan Antara Status Pekerjaan Dengan Upaya-upaya yang Dlakukan Responden Dalam Perawatan Penduduk Lansia Secara Fisik

111

4.27 Hubungan Antara Penghasilan Dengan Upaya-upaya yang Dlakukan Responden Dalam Perawatan Penduduk Lansia Secara Fisik

112

4.28 Distribusi Responden Menurut Upaya-upaya yang Dilakukan Dalam Perawatan Psikis Penduduk Lansia, Studi Pola Perawatan Penduduk Lansia Pada

Masyarakat Bali

115

4.29 Hubungan Antara Daerah Tempat Tinggal Dengan Upaya-upaya yang Dilakukan Responden Dalam Perawatan Penduduk Lansia Secara Psikis


(6)

Tabel Judul Halaman 4.30 Hubungan Antara Tingkat Pendidikan Dengan

Upaya-upaya yang Dilakukan Responden Dalam Perawatan Penduduk Lansia Secara Psikis

118

4.31 Hubungan Antara Status Pekerjaan Dengan Upaya-upaya yang Dilakukan Responden Dalam Perawatan Penduduk Lansia Secara Psikis

119

4.32 Hubungan Antara Penghasilan Dengan Upaya-upaya yang Dilakukan Responden Dalam Perawatan Penduduk Lansia Secara Psikis

121

4.33 Distribusi Responden Menurut Upaya-upaya yang Dilakukan Dalam Perawatan Penduduk Lansia dari Segi Sosial/Ekonomi

122

Daftar Gambar


(7)

RINGKASAN

Penelitian tentang “Pola Perawatan Penduduk Lanjut Usia (Lansia) Pada Masyarakat Bali” bertujuan untuk (1) mengetahui pola perawatan penduduk lansia yang dilakukan oleh anaknya selama ini; (2) merumuskan pola perawatan penduduk lansia yang diinginkan oleh anaknya di masa depan; (3) mengetahui pola perawatan yang dirasakan oleh penduduk lansia selama ini; dan (4) merumuskan pola perawatan yang diinginkan oleh penduduk lansia di masa depan. Lokasi penelitian dipilih di dua tempat, yang memiliki ciri yang kontras yaitu di daerah perkotaan dan daerah perdesaan. Daerah perkotaan diwakili oleh Kota Denpasar, sedangkan daerah perdesaan diwakili oleh Kabupaten Tabanan. Dengan memilih lokasi penelitian yang berlatar belakang perkotaan dan perdesaan diharapkan dapat diperoleh gambaran yang lebih komprehensif tentang pola perawatan penduduk lansia pada masyarakat Bali. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian campuran, antara pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pengambilan sampel dilakukan secara probability sampling, yang diawali dengan melakukan pendataan (listing) terhadap kepala keluarga yang orang tuanya sudah lansia (KK lansia). Jumlah sampel yang diambil sebanyak 150 KK lansia, dan dalam setiap KK lansia akan diambil 2 orang responden, yaitu kepala keluarga dan orang tuanya yang lansia. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara terstruktur, baik kepada KK maupun orang tuanya yang lansia. Sementara itu data kualitatif tentang perawatan lansia juga dikumpulkan melalui diskusi kelompok terfokus dengan para pemuka adat dan pemuka agama Hindu. Data yang sudah dikumpulkan akan dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi tunggal dan tabel silang.


(8)

POLA PERAWATAN PENDUDUK LANJUT USIA (LANSIA)

PADA MASYARAKAT BALI

Oleh:

I G A Manuati Dewi, Ketut Sudibia, A A I N Marhaeni, Ni Nyoman Yuliarmi Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Udayana, Denpasar, 80232,Telp/Fax : 0361

229508,

Email:ppk_psdm@yahoo.co.id

Abstrak

Perkembangan penduduk lansia di Provinsi Bali selama empat dasawarsa terakhir (1971-2010) menunjukkan peningkatan hampir tiga kali lipat (380.114/ 137.619), padahal peningkatan jumlah penduduk kurang dari dua kali lipat (3.890.757/ 2.120.091). Salah satu masalah yang muncul dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk lansia adalah terkait dengan perawatan penduduk lansia. Sehubungan dengan permasalahan di atas, dapat dikemukakan tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) mengetahui pola perawatan penduduk lansia oleh anaknya selama ini; (2) merumuskan pola perawatan penduduk lansia yang diinginkan anaknya di masa depan; (3) mengetahui pola perawatan yang dirasakan oleh penduduk lansia selama ini; dan (4) merumuskan pola perawatan yang diinginkan oleh penduduk lansia di masa depan.

Populasi penelitian ini adalah seluruh kepala keluarga (KK) yang salah satu anggota keluarganya adalah orang tua yang sudah lansia. Orang tua lansia adalah orang tua yang pada saat penelitian ini dilakukan sudah berumur 60 tahun ke atas. Proses penentuan jumlah populasi diawali dengan melakukan listing KK lansia di empat desa, masing-masing dua desa di Kota Denpasar dan dua desa di Kabupaten Tabanan. Berdasarkan hasil listing KK lansia, selanjutnya diambil sampel secara acak yaitu sebanyak 75 KK lansia di Kota Denpasar dan 75 KK lansia di Kabupaten Tabanan. Di setiap sampel KK lansia dipilih dua orang responden, yaitu kepala keluarga (KK) dan penduduk lansia. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara terstruktur dan diskusi kelompok terfokus atau focus group discussion (FGD). Data yang telah dikumpulkan dan diedit selanjutnya diproses melalui komputer dan analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif.

Temuan-temuan penelitian ini dapat dikemukakan sebagai berikut: 1). Pola perawatan yang dilakukan oleh keluarga lansia selama ini antara lain berkaitan dengan aspek psikis seperti selalu menjaga perasaan lansia, dari aspek sosial ekonomi seperti menjaga komunikasi yang intens dengan lansia, dari aspek fisik seperti memeriksakan kesehatan lansia jika sakit, dari aspek spiritual yaitu mengajak bersembahyang secara rutin; 2). Pada masa yang akan datang anak tetap menginginkan untuk merawat orang tuanya sebagai bagian dari kewajiban anak kepada orang tua dan anak masih merasa membutuhkan bimbingan orang tua; 3). Lansia merasakan pola perawatan yang diterimanya selama ini sangat memadai antara lain berkaitan dengan perawatan kesehatan, perhatian, cinta kasih, dan dari pemenuhan kebutuhan secara ekonomi; 4). Lansia tetap menginginkan dirinya dirawat oleh keluarga pada masa yang akan datang, karena orang tua merasa nyaman jika dirawat oleh keluarganya dan orang tua menganggap hal itu adalah sebuah bentuk tanggung jawab anak terhadap orang tua. Hasil penelitian memberikan implikasi bahwa pada masa yang akan datang institusi yang terkait diharapkan ikut berperan lebih aktif dalam memberikan KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) tetang pola perawatan lansia yang lebih berkualitas baik dari segi kesehatan fisik, kesehatan non fisik, maupun peningkatan kepedulian masyarakat terhadap kelompok penduduk lansia tersebut.


(9)

THE CARETAKING PATTERNS OF THE ELDERLY

POPULATION IN THE COMMUNITY OF BALI

By:

I G A Manuati Dewi, Ketut Sudibia, A A I N Marhaeni, Ni Nyoman Yuliarmi The Faculty of Economics and Business, University of Udayana, Denpasar,80232,

Phone/Fax : 0361 229508, email:ppk_psdm@yahoo.co.id

Abstract

The development of the elderly or senior citizens in the Province of Bali over the past four decades (1971-2010) showed an increase almost three-fold (380, 114/137, 619), whereas the increase in population was less than two-fold (3,890,757 / 2,120,091). One of the problems that arise with the increasing number of elderly people is related to the caretaking of the elderly population. In connection with the above problems, it can be stated the objectives of this study, i.e. to: (1) determine the pattern of caretaking of the elderly population by their children all this time; (2) formulate a caretaking patterns of the elderly population which is desired by their children in the future; (3) determine the patterns of care experienced by the elderly population far; and (4) formulate a treatment pattern desired by the elderly population in the future.

The study population was the whole heads of the family (KK) whose ones of their family members are the elderly parents. An elderly parent is a parent who is at the time of this research have been aged 60 years old and above. The process of determining the amount of the population was started with a listing of elderly households in four villages, respectively, two villages in Denpasar and two villages in Tabanan. Based on the results of listing of the elderly households, samples were further taken randomly as many as 75 families of elderly in the city of Denpasar and 75 families of elderly in Tabanan. In each sample of the elderly households, it has been selected two respondents, namely the head of families (KK) and the elderly population. Data collection was conducted by using structured interviews and focus group discussion (FGD). The data that have been collected and edited, then processed by a computer and the data analysis was conducted by descriptive qualitative methods.

The findings of the study can be stated as follows: 1). Patterns of caretaking by the families of the elderly people during this time, among others, related to the psychological aspect, for example, always keep the feeling of the elderly, the social and economic aspects such as keeping the intense communication with the elderly, the physical aspects such as health check if the elderly are sick, the spiritual aspects such as praying together regularly; 2). In the future, the children still want to take care for their parents as part of the obligation of children to parents and they still feel the need for parental guidance; 3). The elderly people feel that the patterns of caretaking they had so far was good enough in terms of health care, attention, love, and of the fulfillment of economic needs; 4). The elderly still wanted to be cared for by their families in the future, because the parents feel comfortable if they are taken care by their own families and the parents think that it is the responsibility of children to their parents. Results of the study implies that in future the relevant institutions are expected to participate more actively in providing CIE (Communication, Information, and Education) to provide good quality patterns of care for the elderly in terms of physical health, non-physical health, as well as awareness-raising society towards the elderly population group.


(10)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masalah kependudukan tidak hanya dihadapi oleh negara-negara yang sedang berkembang, namun juga dihadapi oleh negara-negara maju. Negara-negara sedang berkembang menghadapi persoalan kependudukan yang terkait dengan angka kelahiran dan kematian yang tinggi, bahkan ada pula yang menghadapi laju pertumbuhan penduduk yang tinggi, dan jumlah penduduk yang besar. Di sisi lain, negara-negara maju yang telah berhasil menurunkan angka kelahiran, angka kematian, dan laju pertumbuhan penduduknya, ternyata tidak luput dari masalah kependudukan. Menurunnya angka kematian memberi petunjuk bahwa angka harapan hidup (life expectancy) penduduk cenderung mengalami peningkatan. Dampak dari angka harapan hidup yang cenderung meningkat akan berpengaruh terhadap semakin besarnya jumlah penduduk lanjut usia (lansia). Meningkatnya proporsi penduduk lansia di negara-negara maju akan memunculkan masalah baru, karena mereka yang selama ini bekerja di sektor pemerintah atau swasta sudah pensiun dari pekerjaannya atau produktivitasnya sudah mulai menurun. Secara alamiah kekuatan fisik mereka mulai menurun, dan berbagai jenis penyakit akibat penuaan mulai menggerogotinya, seperti ingatannya mulai menurun, kemampuan penglihatannya mulai berkurang, dan sebagainya. Mereka akan menjadi orang-orang yang tergantung. Beban


(11)

ketergantungan (age dependency burden ratio) mulai bergeser dari anak-anak ke penduduk lansia.

Indonesia sebagai salah satu negara yang sedang berkembang, sebetulnya sudah menyadari adanya persoalan kependudukan sejak Indonesia merdeka, meskipun dalam lingkup yang relatif terbatas. Penggarapan masalah kependudukan yang lebih komprehensif dilakukan pada era Orde Baru. Pada masa itu pemecahan masalah kependudukan dilakukan melalui pendekatan pembangunan integratif, baik secara regional maupun sektoral, terarah, dan berkesinambungan. Provinsi Bali yang merupakan salah satu provinsi di Indonesia juga tidak tinggal diam, melainkan ikut secara aktif ambil bagian dalam memecahkan berbagai masalah kependudukan yang terjadi di Provinsi Bali. Di antara berbagai program kependudukan yang diprogramkan pemerintah pada masa itu, program kependudukan yang akan disoroti pada uraian ini adalah program keluarga berencana (KB).

Program KB secara resmi mulai dilaksanakan di Indonesia, dan demikian pula di Provinsi Bali adalah pada awal tahun 1970-an. Pada periode tersebut tingkat kelahiran penduduk di Provinsi Bali relatif tinggi, yaitu sekitar 6 kelahiran per wanita (Sudibia, 1992). Angka kelahiran ini menurun dengan tajam selama dua dasawarsa (1967/1970 – 1987/1990), yaitu dari sekitar 6 menjadi 2,3 kelahiran per wanita. Atau selama 20 tahun terakhir telah terjadi penurunan angka kelahiran sebesar 61,7 persen di Provinsi Bali. Penurunan angka kelahiran yang dicapai oleh Provinsi Bali ternyata melebihi target nasional, yang mencanangkan penurunan angka kelahiran sebesar 50 persen selama periode 1970-1990.


(12)

Penurunan angka kelahiran yang demikian tinggi di Provinsi Bali terutama didukung oleh tingginya partisipasi masyarakat dalam program KB. Hal ini terlihat dari peningkatan proporsi peserta KB aktif dari 35,08 persen (1976/1977) menjadi 46,01 persen (1979/1980), dan naik lagi secara tajam menjadi 84,82 persen (1969/1990) (Laporan tahunan BKKBN Provinsi Bali). Keberhasilan Bali meraih partisipasi masyarakat untuk mengikuti program KB tidak terlepas dari pendekatan yang digunakan oleh pemerintah, yang populer dengan sebutan “KB

Sistem Banjar”.

Berbeda dengan sistem pemerintahan pada era Orde Baru yang lebih dikenal dengan sistem pemerintahan sentralistis, maka pada era Reformasi dikenal dengan sistem pemerintahan desentralisasi. Pada era desentralisasi, pelaksanaan program KB mengalami pengendoran, karena kelembagaan program KB sudah berubah dengan berbagai variasi. Ada yang berbentuk kantor KB tersendiri, ada yang digabung dengan instansi pemberdayaan perempuan, ada yang digabung dengan instansi kependudukan dan catatan sipil, ada pula yang digabung dengan beberapa instansi lain seperti instansi tenaga kerja dan transmigrasi, kependudukan dan catatan sipil, serta pemberdayaan perempuan. Dengan adanya kelembagaan KB yang sangat bervariasi pada tingkat kabupaten/kota, telah mengakibatkan terjadinya kesulitan koordinasi dalam pelaksanaan program KB. Pada akhirnya hal ini berdampak pada sulitnya menurunkan angka kelahiran pada era desentralisasi, sehingga hasil SDKI 2002/2003 dan SDKI 2007 menunjukkan angka kelahiran yang stagnan pada angka 2,1 kelahiran per wanita (BPS, 2003;


(13)

BPS, 2008). Bahkan yang lebih parah adalah meningkatnya angka kelahiran menjadi 2,3 kelahiran per wanita pada hasil SDKI 2012 (BPS, 2013).

Pembicaraan di atas, lebih banyak mengupas tentang kelahiran atau fertilitas, dan sama sekali belum menyentuh tentang mortalitas. Ukuran mortalitas yang akan dibahas berikut ini adalah angka mortalitas bayi (infant mortality rate), yang menggambarkan banyaknya kematian anak yang berumur kurang dari satu tahun per 1000 kelahiran hidup pada tahun tertentu. Angka mortalitas bayi umumnya berkorelasi negatif dengan usia harapan hidup; artinya makin rendah angka mortalitas bayi suatu daerah akan makin panjang usia harapan hidup penduduk di daerah tersebut, dan demikian pula sebaliknya. Hubungan antara angka mortalitas bayi dan usia harapan hidup penduduk Provinsi Bali dapat diikuti pada Tabel 1.1.

Tabel 1.1

Perkembangan Angka Mortalitas Bayi dan Angka Harapan Hidup Penduduk di Provinsi Bali Menurut Hasil Sensus Penduduk

(SP) 1971, 1980, 1990, 2000, dan 2010

Sensus Penduduk Angka Mortalitas Bayi Angka Harapan Hidup

SP 1971 130 48,27

SP 1980 92 55,37

SP 1990 51 64,33

SP 2000 36 68,05

SP 2010 20 72,67

Sumber: Putrawan (2012).

Berdasarkan hasil SP 1971 diperoleh bahwa angka mortalitas bayi sebesar 130 kematian per 1000 kelahiran hidup, dan pada periode yang sama angka


(14)

terungkap bahwa angka mortalitas bayi mengalami penurunan dari 130 menjadi 92 kematian per 1000 kelahiran hidup. Pada periode yang sama, angka harapan hidup justru menunjukkan peningkatan dari 48,27 tahun menjadi 55,37 tahun. Selanjutnya jika diperhatikan hasil SP 2010, terungkap bahwa angka kematian bayi cenderung turun menjadi 20 kematian per 1000 kelahiran hidup. Sementara itu, di pihak lain angka harapan hidup cenderung semakin meningkat menjadi 72,67 tahun. Berdasarkan hasil pembahasan singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa antara angka mortalitas bayi dan angka harapan hidup.terdapat hubungan yang negatif.

Semakin meningkatnya angka harapan hidup penduduk akan membawa konsekuensi bertambah besarnya jumlah maupun proporsi penduduk yang tergolong lansia. Batasan penduduk lansia yang digunakan dalam penelitian ini adalah penduduk yang berumur 60 tahun ke atas. Penduduk lansia dapat dirinci ke dalam kelompok-kelompok umur berikut ini: 60-64, 65-69, 70-74, dan≥75 tahun. Gambaran tentang jumlah dan distribusi penduduk lansia menurut kelompok umur dapat diikuti pada Tabel 1.2.

Tabel 1.2

Perkembangan Jumlah dan Distribusi Penduduk Lansia di Provinsi Bali Berdasarkan Hasil SP 1971, 1980, 1990, 2000, dan 2010

Umur SP 1971 SP 1980 SP 1990 SP 2000 SP 2010 60-64 59,062 71,942 80,590 95,239 123,214 65-69 29,235 37,995 51,669 69,864 101,301 70 -74 26,590 39,006 46,359 54,631 70,608

≥75 22,732 41,029 51,896 56,140 84,991


(15)

Data pada Tabel 1.2 memberikan informasi bahwa jumlah penduduk lansia pada tahun 2010 berlipat ganda hampir tiga lipat (380.114/137.619), sementara jumlah penduduk Bali hanya berlipat ganda hampir dua kali lipat (3.890.757/ 2.120.091). Semakin cepatnya peningkatan jumlah penduduk lansia di Provinsi Bali akan menimbulkan berbagai masalah tidak semata-mata terkait dengan pemenuhan kebutuhan yang bersifat konsumtif atau kegiatan-kegiatan yang bersifat produktif atau sosial. Namun demikian yang lebih penting adalah pemeliharaan atau perawatan penduduk lansia agar mereka tetap sehat dan berumur panjang, serta dapat menjalani sisa kehidupan dengan aman dan nyaman. Secara grafis perkembangan jumlah penduduk lansia di Provinsi Bali selama periode 1971-2010 dapat diikuti pada Gambar 1.1.

Dalam masyarakat Bali dikenal adanya ajaran “catur guru”, yang meliputi (1) guru swadhyaya; (2) guru wisesa; (3) guru pengajian; dan (4) guru rupaka

yang wajib dihormati oleh setiap orang.Guru swadhyayaadalah bakti atau hormat kepada Tuhan Yang Maha Esa, sementara guru wisesa adalah bakti atau hormat kepada pemerintah, guru pengajian adalah bakti atau hormat kepada guru di sekolah, dan guru rupakaadalah bakti atau hormat kepada orang tua (Sudarsana, 2005). Terkait dengan penelitian ini, pembahasan “catur guru” akan difokuskan padaguru rupaka. Setiap orang/anak tidak hanya bakti atau hormat kepada orang tuanya, akan tetapi juga berkewajiban untuk memelihara/merawat orang tuanya, bahkan sampai orang tua meninggal pun tetap menjadi tanggung jawabnya.


(16)

Gambar 1.1 Jum

Kondisi yang di dalam kitabUpanisad

rumah tangga, sehingg dan bakti dari anak-a 2008). Demikian besa akan diperoleh bila sesungguhnya bakti moral.

Bakti seorang tercantum pula dalam seorang putra yang di

0 50 100 150 200 250 300 350 400

SP 1971 SP 1980

PENDUDUK LANSIA (RIBUAN ORANG)

umlah Penduduk Lansia Hasil SP 1971-2010 di

g digambarkan di atas sejalan dengan salah

sadbahwa ibu dan ayah sebagai leluhur adalah si hingga dengan demikian ibu dan ayah patut me

-anak atau keturunannya (Suprapti dkk, 2014; esarnya jasa orang tua dan leluhur serta banyakn bila anak berbakti kepada orang tua atau

kti kepada orang tua atau leluhur sudah merupa

g anak kepada orang tua atau leluhurnya lam kitab Manawa Dharmasastra yang meny

dilahirkan dari perkawinan terhormat, dan jika

SP 1980 SP 1990 SP 2000 SP 2010

PENDUDUK LANSIA (RIBUAN ORANG)

2010 di Provinsi Bali.

ah satu ketentuan h sinar suci dalam mendapatkan puji 14; Radhakrihnan, aknya pahala yang u leluhur, maka upakan kewajiban

a secara eksplisit nyebutkan bahwa jika putra tersebut SP 2010 75 70 -74 65-69 60-64 UMUR


(17)

melakukan hal-hal yang berguna maka akan dapat menebus dosa-dosa 10 tingkat leluhurnya dan 10 tingkat keturunannya (Puja dan Rai Sudharta, 2004). Keturunan wajib berbakti kepada leluhurnya dan leluhur wajib mencurahkan kasih sayang kepada keturunannya. Kalau keturunan berbakti kepada leluhurnya maka bakti itu juga akan dapat mengurangi dosa-dosa leluhurnya. Begitu pula, kalau leluhur mencurahkan kasih sayang dan kepada keturunannya maka hal itu akan menebus dosa-dosa keturunannya. Akhirnya dapat disimpulkan bahwa antara leluhur dan keturunannya.terdapat jalinan hubungan yang sangat erat.

Sementara itu, sejalan dengan keberhasilan program KB yang digambarkan di atas maka ukuran besarnya keluarga mengalami pergeseran dari keluarga besar menjadi keluarga kecil. Di samping itu keberhasilan pembangunan serta merta membawa perubahan pada pengetahuan, sikap, dan perilaku dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern. Berbagai perubahan yang dipaparkan di atas berpengaruh pula terhadap pandangan yang selama ini mengutamakan pendidikan anak laki-laki, kini juga memberikan peluang yang sama terhadap pendidikan anak-anak perempuan. Kemajuan pendidikan generasi muda ternyata berdampak pula terhadap pekerjaan yang mereka inginkan; mereka bukannya melanjutkan kegiatan yang selama ini digeluti orang tuanya, melainkan berusaha untuk mendapatkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih menjanjikan di tempat lain (Sudibia, 2004). Dengan adanya berbagai pergeseran di atas, baik pengetahuan, sikap, perilaku, maupun pekerjaan tentunya akan berpengaruh pula terhadap pola perawatan penduduk lanjut usia dikaitkan dengan azas “catur guru”, khususnya “guru rupaka”.


(18)

Kondisi yang disebutkan terakhir tentunya akan menyebabkan persoalan-persoalan dilematis, antara kewajiban untuk memelihara/merawat orang tuanya dan di sisi lain mereka juga harus bekerja di tempat lain untuk menghidupi diri atau keluarganya. Hal ini bukanlah masalah sederhana, karena berkaitan erat dengan kelangsungan hidup orang tuanya maupun keluarga anak itu sendiri (jika sudah berkeluarga). Untuk memecahkan masalah-masalah dilematis seperti diungkapkan di atas, maka penelitian tentang “Pola Perawatan Penduduk Lanjut Usia (Lansia) Pada Masyarakat Bali’ sangat mendesak untuk dilakukan.

1.2 Permasalahan Penelitian

Bertolak dari uraian pada latar belakang dapat dirumuskan beberapa masalah penelitian sebagai berikut.

1) Bagaimanakah pola perawatan penduduk lansia yang dilakukan oleh anaknya selama ini?

2) Bagaimanakah pola perawatan penduduk lansia yang diiinginkan anaknya di masa depan?

3) Bagaimanakah pola perawatan yang dirasakan oleh penduduk lansia selama ini?

4) Bagaimanakah pola perawatan yang diinginkan oleh penduduk lansia di masa depan?

1.3 Tujuan Penelitian

1) Untuk mengetahui pola perawatan penduduk lansia yang dilakukan oleh anaknya selama ini.


(19)

2) Untuk merumuskan pola perawatan penduduk lansia yang diinginkan oleh anaknya di masa depan.

3) Untuk mengetahui pola perawatan yang dirasakan oleh penduduk lansia selama ini.

4) Untuk merumuskan pola perawatan yang diinginkan oleh penduduk lansia di masa depan.

1.4 Manfaat Penelitian 1) Manfaat Akademik

Manfaat penelitian ini tidak hanya dimaksudkan untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan terkait dengan pola perawatan penduduk lansia, akan tetapi juga untuk menganalisis nilai-nilai kearifan lokal yang selama memiliki peranan penting dalam perawatan penduduk lansia pada masyarakat Bali.

2) Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan yang sangat berharga bagi para pembuat kebijakan (policy maker) dalam menyusun kebijakan-kebijakan sosial terutama yang terkait dengan pola perawatan penduduk lansia pada masyarakat Bali di masa depan.

1.5 Urgensi Penelitian

Kemajuan pembangunan yang dicapai oleh pemerintah pada masa yang lalu juga tercermin dari keberhasilan pelaksanaan dalam bidang kependudukan,


(20)

khususnya program KB. Pelaksanaan program KB di Provinsi Bali telah berhasil menurunkan fertilitas dan mortalitas bayi. Angka fertilitas total berhasil diturunkan dari sekitar 6 kelahiran menjadi 2,3 kelahiran per wanita selama periode 1970-2012. Begitu pula angka mortalitas bayi berhasil diturunkan dari 130 kematian menjadi 20 kematian per 1000 kelahiran hidup selama periode 1971-2010. Sementara itu, di pihak lain angka harapan hidup penduduk mengalami peningkatan secara signifikan, dari sekitar 46,27 tahun menjadi 72,67 tahun selama periode 1971-2010. Sebagai konsekuensi dari meningkatnya angka harapan penduduk, maka jumlah penduduk lanjut usia (60 tahun ke atas) juga meningkat pesat. Selama kurun waktu sekitar 40 tahun (1971-2010), penduduk lanjut usia (lansia) telah meningkat hampir tiga kali lipat, yaitu dari 137.619 orang pada tahun 1971 menjadi 380.114 orang pada tahun 2010.

Meningkatnya jumlah penduduk lansia, akan menimbulkan berbagai permasalahan, karena peningkatan jumlah lansia tidak sekedar hanya terkait dengan kebutuhan yang bersifat fisik, tetapi juga kebutuhan psikis, sosial, maupun spiritual. Apalagi penduduk lansia adalah tergolong penduduk rentan, berbagai penyakit mulai menghampirinya seperti tulang keropos (osteoporosis), kelumpuhan, darah tinggi, jantung koroner, stroke, demikian pula pendengaran dan penglihatannya mulai terganggu.

Kemajuan pembangunan telah serta merta mengubah pola kehidupan dalam masyarakat, dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern. Masyarakat dengan banyak anak (keluarga besar) berubah menjadi keluarga kecil. Mereka akan lebih mampu meningkatkan pendidikan anak-anaknya, dan setelah tamat


(21)

anak-anak cenderung bekerja sesuai dengan aspirasi mereka. Bahkan kemungkinan besar mereka akan bekerja jauh dari tempat tinggal orang tuanya. Sementara itu, orang tuanya yang selama ini telah melahirkan, memelihara, membesarkan, dan mendidiknya, telah menjadi penduduk lansia dengan berbagai permasalahan hidup. Padahal dalam masyarakat Bali dikenal adanya ajaran “catur guru”, yang salah satunya adalah guru rupaka (orang tua), artinya anak wajib bakti atau hormat pada orang tuanya. Bakti atau hormat pada orang tua bukan semata-mata pada saat orang tuanya masih hidup, namun juga setelah orang tuanya meninggal (menjadi leluhur) kewajiban bakti tersebut tetap dilakukan. Berangkat dari fenomena dilematis seperti di atas, maka sangat mendesak dilakukan penelitian tentang pola perawatan penduduk lansia pada masyarakat Bali agar harmoni kehidupan dalam masyarakat Bali tetap terjaga keberlanjutannya.


(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Keberadaan Penduduk Lanjut Usia

Penduduk lanjut usia (lansia) muncul sebagai tantangan sosial-ekonomi terbesar di seluruh belahan dunia (Novak et al., 2015). Pengaruh keberadaan lansia terhadap kondisi dan kebijakan sosial-ekonomi serta luaran individu merupakan salah satu isu penting di sebagian besar negara-negara sedang berkembang (Tae-jeong & Hewings, 2013; Vidovicova, 2014). Hal ini disebabkan pertumbuhan penduduk lansia di negara-negara sedang berkembang semakin cepat─pada tahun 2050 penduduk lansia di dunia diproyeksikan mencapai 2 milyar orang, dua pertiganya terdapat di kelompok negara ini, seperti yang dikemukakan oleh Chand dan Tung (2014). Oleh karena itu, menurut kelompok penulis ini, negara-negara sedang berkembang akan memiliki waktu yang lebih pendek untuk melakukan penyesuaian dan pengembangan infrastruktur serta kebijakan yang diperlukan untuk menanggulangi pertumbuhan penduduk lansianya.

Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan menyatakan bahwa lansia adalah seseorang yang karena usianya mengalami perubahan biologis, fisik, kejiwaan, dan sosial. Keberadaan penduduk lansia erat kaitannya dengan terminologi proses penuaan (aging). Dalam kaitan dengan itu, Geller dan Simpson (1999) (dalam Halme & Moilanen, 2004) memandang penuaan sebagai suatu proses kronologis umur atau penurunan kapasitas fungsi-fungsi fisik,


(23)

mental, dan sosial. Arking (2006) (dalam Dalgaard & Strulik, 2014) menyatakan bahwa penuaan didefinisi sebagai hilangnya fungsi intrinsik, kumulatif, dan progresif yang pada akhirnya mengarah pada kematian. Dijelaskan bahwa penuaan individu sebaiknya lebih dipandang sebagai kejadian yang tergantung pada proses, dibanding kejadian, yang tergantung pada waktu. Artinya, bisa jadi seseorang yang berumur 65 tahun berada pada kondisi kesehatan yang lebih baik dibandingkan dengan orang lain yang berusia 50 tahun. Studi tentang lansia menjadi menarik karena adanya diversitas pada kelompok penduduk ini (http://us.sagepub.com). Diberikan contoh bahwa para peneliti tertarik untuk mengetahui mengapa seseorang yang telah berumur 70 masih bisa menduduki jabatan presiden, sedangkan orang lain yang berusia sama sudah menjalani perawatan di tempat penitipan lansia. Dengan demikian, disimpulkan bahwa penuaan tidak berkaitan dengan “jam biologis” (biological clock) sebagai mekanisme yang mengendalikan aktivitas fisiologis organisme yang berubah secara harian, mingguan, tahunan, atau siklus reguler lainnya.

Saat ini, Indonesia termasuk dalam lima besar negara dengan jumlah penduduk lansia terbanyak di dunia, yakni mencapai 18,1 juta jiwa atau 7,6 persen dari jumlah penduduk, dan diproyeksikan oleh Bappenas akan mencapai 36 juta orang pada tahun 2025 (http://www.buk.kemkes.go.id). Kondisi ini menyebabkan Indonesia dikategorikan sebagai negara berstruktur penduduk tua yang pada akhirnya membawa konsekuensi pada peningkatan kebutuhan pelayanan terhadap lansia (Departemen Sosiologi, Fisip, Universitas Airlangga, 2013).


(24)

Menurut Sutikno (2011), jumlah penduduk lansia di Indonesia pada tahun 2025 dibandingkan dengan keadaan pada tahun 1990 akan mengalami kenaikan sebesar 414 persen, yang mana kondisi ini merupakan kenaikan paling tinggi di seluruh dunia. Mengacu pada Departemen Kesehatan (2003) peneliti ini mengadakan komparasi antar negara-negara di dunia tentang kenaikan tersebut pada periode yang sama yaitu Kenya (347%); Brazil (255%); India (242%); China (220%); Jepang (129%); Jerman (66%); dan Swedia (33%). Jika diadakan komparasi antar provinsi di Indonesia, dari kelompok tiga besar provinsi yang memiliki proporsi penduduk lansia tertinggi, Bali menempati urutan kedua yaitu mencapai 10,51 persen, disusul oleh Provinsi Jawa Timur (10,35%), sedangkan Daerah Istimewa Yogyakarta berada pada urutan teratas (13,65%) (BPS Indonesia, 2005).

Prosespenuaan penduduk dapat diukur melalui tiga besaran yakni pertumbuhan umur median penduduk, pertumbuhan indeks penuaan, dan pertumbuhan persentase penduduk lansia (Novak et al., 2015). Pertama, umur median merupakan umur yang membagi penduduk menjadi dua kelompok sama besar─separuh penduduk lebih muda dan separuh lebih tua dari umur median. Kedua, indeks penuaan merupakan rasio antara penduduk yang lebih tua (umur 65 tahun atau lebih) dengan penduduk yang lebih muda (umur 0-14 tahun) dikalikan dengan 100. Ketiga, persentase penduduk lansia adalah jumlah penduduk umur 65 tahun atau lebih, dari total penduduk dikalikan 100 persen.


(25)

2.2. Usia Harapan Hidup dan Penduduk Lanjut Usia

Angka harapan hidup global meningkat hampir sebesar 20 persen selama 50 tahun belakangan ini (Oster et al., 2013). Naiknya angka harapan hidup merupakan faktor utama penuaan penduduk (Novak et al., 2015). Tingginya proporsi penduduk lansia di suatu wilayah sejalan dengan naiknya usia harapan hidup (life expectancy). Semakin tinggi usia harapan hidup, terdapat kecenderungan semakin besar proporsi penduduk lansia di suatu wilayah. Salah satu sebab utama meningkatnya usia harapan hidup di suatu wilayah/negara adalah meningkatnya pendapatan perkapita penduduknya (Dalgaard & Strulik, 2014). Selanjutnya dijelaskan bahwa kondisi ini memunculkan gagasan “kemakmuran mengarah pada umur panjang” (prosperity leads to greater longevity). Selain itu, usia harapan yang tinggi adalah sebagai konsekuensi dari meningkatnya kondisi kesehatan masyarakatnya. Kondisi kesehatan masyarakat yang tinggi menyebabkan penduduknya dapat bertahan hidup relatif lebih lama dibandingkan dengan kelompok masyarakat dengan taraf kesehatan yang lebih rendah.

Jika dikaitkan dengan proporsi penduduk lansia di Indonesia, hal ini dapat mencerminkan bahwa kondisi kesehatan penduduk Indonesia relatif lebih baik dibandingkan dengan negara-negara yang memiliki proporsi penduduk lansia yang lebih rendah. Sejalan dengan itu, dapat juga dinyatakan bahwa kondisi kesehatan penduduk Provinsi Bali lebih baik dari pada provinsi lain di Indonesia dengan proporsi penduduk lansia yang relatif lebih kecil.


(26)

Secara umum, kondisi di berbagai negara menunjukkan bahwa terdapat berbedaan angka harapan hidup menurut jenis kelamin, dimana perempuan berumur lebih panjang dibandingkan dengan laki-laki (Clark & Peck, 2012). Dijelaskan bahwa perbedaan gaya hidup menjadi salah satu penyebab terjadinya kondisi ini. Merokok dan mengkonsumsi minuman keras, menyebabkan laki-laki cenderung lebih pendek umurnya dibandingkan dengan perempuan karena perilaku tersebut dapat menyebabkan berbagai penyakit seperti kanker, kerusakan paru-paru, dan sakit jantung. Laki-laki juga dikatakan lebih terpengaruh secara emosional oleh tekanan sosial-ekonomi dibandingkan perempuan. Jika laki-laki mengalami masalah dalam hidupnya, mereka cenderung menyimpannya sendiri─tidak berbagi dengan orang lain untuk meringankan beban tersebut. Selain itu, perempuan memiliki keunggulan secara biologis dibandingkan laki-laki karena pengalaman menstruasi dan reproduksi.

Selain meningkatnya angka harapan hidup, menurut Chand dan Tung (2014), meningkatnya jumlah penduduk lansia juga disebabkan oleh penurunan angka kelahiran dan penurunan angka kematian yang menggantikan penurunan kelahiran. Dijelaskan bahwa penyebab turunnya angka kelahiran antara lain disebabkan oleh meningkatnya status sosial perempuan, perluasan ketersediaan mekanisme pengendalian kelahiran, meningkatnya akses terhadap pendidikan tinggi untuk kaum perempuan, meningkatnya biaya perawatan anak, serta melemahnya norma atau nilai yang menekankan pentingnya keluarga besar. Meningkatnya status sosial perempuan antara lain direfleksikan dengan meningkatnya tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan (Novak et al., 2015).


(27)

Perempuan yang bekerja cenderung memiliki akses yang lebih luas terhadap pengetahuan tentang kesehatan dan upaya meningkatkan kesejahteraan hidup. Sementara itu, “baby boom” kohor, terutama di negara maju, yang saat ini mencapai usia sekitar 65 tahun, tidak diikuti oleh kohor yang lebih muda, sehingga proporsi mereka menjadi besar. Usia harapan hidup mereka tinggi karena pada fase awal transisi demografi saat mana mereka dilahirkan, angka kematian bayi cenderung turun sebelum angka kelahiran, mengalami menurun.

Jumlah penduduk lansia yang relatif tinggi, terutama yang berada pada kelompok tidak potensial, memerlukan penanganan secara “lebih mengkhusus” dibandingkan dengan mereka yang termasuk ke dalam kategori potensial. Berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Penduduk Lanjut Usia, dinyatakan bahwa penduduk lansia (seseorang berusia 60 tahun ke atas) dibedakan menjadi dua kelompok yaitu Lanjut Usia Potensial dan Lanjut Usia Tidak Potensial (Suprapti, dkk, 2014). Lanjut Usia potensial adalah lanjut usia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan/atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang dan/atau jasa, sedangkan Lanjut Usia Tidak Potensial adalah lanjut usia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain. Sementara itu, mengacu pada Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Notoatmojo (2007) (dalam Sutikno, 2011), lansia meliputi:

1. Usia pertengahan (middle age), kelompok usia 45-59 tahun. 2. Usia lanjut (elderly), kelompok usia 60-70 tahun.

3. Usia lanjut tua (old), kelompok usia 75-90 tahun.


(28)

Pada hakikatnya, menjadi tua merupakan proses alamiah, yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya yaitu masa kanak-kanak, masa dewasa, dan masa tua, yang mana ketiga tahap tersebut berbeda baik secara biologis maupun psikologis (http://repository.usu.ac.id). Secara biologis, pada masa tuanya, seseorang akan mengalami kemunduran secara fisik, misalnya pada pendengaran, penglihatan, serta organ tubuh yang lain. Secara psikologis, hambatan akan dialami akibat kemunduran daya ingat (fungsi kognitif). Menurut Dalgaard dan Strulik (2014), kondisi ini disebut sebagai proses akumulasi defisit (process of deficit accumulation) yang mengacu pada pendekatan reduksionis yang menyatakan bahwa organisme menua karena terjadinya proses penuaan organ tubuh yang diakibatkan oleh penuaan jaringan dan sel tubuh. Secara umum Nugroho (2002) (dalam Sutikno, 2011) mengemukakan bahwa perubahan-perubahan yang terjadi pada lansia meliputi perubahan-perubahan fisik, mental, psikososial, dan spiritual.

2.3. Lansia dan Dukungan Sosial

Kemunduran kondisi fisik dan psikologis, khususnya, dapat mempengaruhi aktivitas sehari-hari (activity of daily living) para lansia.Activity of daily living merupakan kegiatan-kegiatan yang dibutuhkan seseorang dalam rangka menyelenggarakan kehidupannya secara mandiri (Bozo et al., 2009). Kelompok peneliti ini juga menjelaskan bahwa para lansia, terutama yang tergolong pada kelompok tidak potensial, cenderung tergantung pada orang lain dalam melakukan aktivitas sehari-harinya. Kegiatan-kegiatan dasar yang tidak


(29)

dapat dilakukan secara mandiri seperti makan, mandi, berpakaian, serta buang air, dapat menjadi pemicu munculnya ketidakberdayaan, sehingga akhirnya dapat menimbulkan stres atau depresi.

Kebutuhan akan bantuan orang lain menyebabkan para lansia perlu memperoleh dukungan secara sosial. Bozo et al. (2012) mengemukakan bahwa dukungan sosial diperlukan terutama dalam kaitannya dengan ketidakberdayaan fungsional lansia dalam melaksanakan kebutuhan fisik sehari-hari. Dukungan semacam ini pada umumnya lebih mudah diperoleh pada masyarakat yang bersifat kolektivis yang dicirikan oleh lebih kentalnya ikatan kekeluargaan/kekerabatan, dibandingkan dengan pada budaya individualis dengan gaya hidup yang cenderung mengutamakan kepentingan individu.

Terdapat variasi antar peneliti tentang definisi dukungan sosial. Secara mendasar, dukungan sosial merefleksikan informasi tentang persepsi terhadap terpenuhinya kebutuhan akan perlindungan, dukungan, dan umpan balik (Dewi, 2013) atau dukungan yang diterima melalui proses komunikasi dan interaksi sosial dengan pihak seperti teman, rekan kerja, dan keluarga/kerabat (Lobburi, 2012). Weiss (1974) (dalam Cutrona & Russel, 1987) mengemukakan bahwa terdapat enam komponen dukungan sosial yakni:

1. Guidance: hubungan yang memungkinkan individu untuk memperoleh nasehat atau informasi yang diperlukan.

2. Reliable alliances: jaminan tentang adanya keberadaan seseorang yang dapat diandalkan bantuannya.


(30)

3. Reassurance of worth: perolehan pengakuan atas kemampuan, keahlian, dan penghargaan dari orang lain.

4. Opportunity of nurturance: perasaan dibutuhkan oleh orang lain (salah satu aspek hubungan interpersonal).

5. Attachment: perolehan rasa aman karena adanya kedekatan emosional. Sumber dukungan ini dapat berasal dari pasangan hidup, kerabat atau teman dekat.

6. Social integration: perasaan tentang keterlibatan dalam suatu kelompok yang memungkinkan dapat membagi minat serta melakukan aktivitas yang sama. Dukungan semacam ini memungkinkan individu memperoleh rasa nyaman, aman, senang, serta rasa memiliki identitas.

Sementara itu, menurut Safrino (2002) dukungan sosial dapat dibedakan menjadi empat bentuk yakni:

1. Dukungan emosional: melibatkan ekspresi rasa simpati dan perhatian terhadap individu yang menyebabkan timbulnya rasa nyaman, dicintai, dan diperhatikan. 2. Dukungan penghargaan: melibatkan ekspresi yang berupa pernyataan setuju

dan penilaian positif terhadap ide-ide, perasaan, dan performa orang lain. 3. Dukungan instrumental: melibatkan bantuan langsung, misalnya bantuan

keuangan atau bantuan dalam mengerjakan tugas-tugas tertentu.

4. Dukungan informasi: dapat berupa saran, pengarahan, atau umpan balik tentang pemecahan masalah.

Menurut Wadsworth dan Owens (2007), dukungan sosial dicirikan oleh tindakan-tindakan yang menunjukkan ketanggapan terhadap kebutuhan orang lain.


(31)

Kelompok peneliti ini mengkategorikan dukungan sosial ke dalam dua kategori umum yakni yang bersumber dari pekerjaan dan nonpekerjaan. Berhubung responden utama dalam studi ini adalah lansia yang notabene tidak bekerja atau tidak lagi bekerja (pensiun), maka dukungan sosial difokuskan pada dukungan yang bersumber dari aspek nonpekerjaan, yaitu teman, pasangan, dan/atau anggota keluarga yang lain.

Dukungan dari pasangan (oleh Watkins et al., 2012 disebut sebagai “the

closest significant other”), atau anggota keluarga lain, akan dapat membantu para lansia dalam menghadapi dan menanggulangi hambatan-hambatan yang dihadapi baik dari segi fisik, fisiologis, maupun psikologis. Dilihat dari dukungan pasanganpun, terdapat beberapa variasi seperti yang dikemukakan oleh Peeters dan Le Blanc (2001). Dijelaskan bahwa dukungan pasangan ini dapat dikategorikan menjadi dukungan emosional (empati, kasih sayang, dan kepercayaan); penilaian (penyaluran informasi yang relevan sebagai evaluasi diri); dan instrumental (bantuan praktis).

Lansia membutuhkan dukungan keluarga akibat penurunan kemandirian mereka yang terutama disebabkan oleh kondisi fisik yang menurun. Dukungan keluarga merupakan informasi verbal, non-verbal, saran, bantuan nyata, dan tingkah laku dari orang-orang yang akrab berupa kehadiran, kepedulian, kesediaan, dan hal-hal yang dapat memberikan keuntungan emosional serta meningkatkan fisik lansia, sehingga mendorong mereka untuk mandiri dalam pemenuhan aktivitas sehari-hari (Kuntjoro, 2002) (dalam Khulaifah, dkk, 2012).Hasil studi kelompok peneliti ini terhadap lansia yang tinggal bersama


(32)

anak-anaknya di Desa Sembayat Timur, Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik, menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara dukungan keluarga dengan kemandirian lansia dalam pemenuhan aktivitas sehari-hari. Berarti, semakin tinggi dukungan yang diberikan oleh keluarga (termasuk anak-anaknya), semakin tinggi pula tingkat kemandirian lansia dalam melaksanakan kegiatan harian mereka. Sebaliknya, semakin rendah dukungan yang diberikan oleh keluarga, maka tingkat kemandirian lansia dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari akan semakin rendah.

Pada studi yang dilakukan oleh Departemen Sosiologi, Universitas Airlangga pada Tahun 2013, disebutkan bahwa terdapat 4 kelompok dukungan keluarga. Pertama, dukungan emosional antara lain berupa ungkapan empati, kasih sayang, dan kepedulian. Kedua, dukungan penghargaan lewat ungkapan hormat dan dorongan untuk hidup sehat dan beraktivitas. Ketiga, dukungan instrumental, meliputi bantuan langsung yang bersifat nyata dan dalam bentuk materi. Keempat, dukungan informatif yang mencakup meminta nasehat, petunjuk, saran/umpan balik dalam menyelesaikan permasalahan keluarga. Dalam definisi lansia dan jenis dukungan ini tersirat bahwa dukungan keluarga direfleksikan melalui upaya perawatan keluarga baik terhadap fisik maupun emosional lansia.

Selain terjadinya defisiensi pada kondisi fisik dan psikologis, lansia juga mengalami perubahan psikososial yang sifatnya beragam bergantung pada kepribadian individu yang bersangkutan (http://repository.usu.ac.id). Tidak jarang seseorang merasa sulit untuk menyesuaikan diri dengan masa pensiun setelah


(33)

sekian lama aktif bekerja, misalnya. Selain itu, menurut Andrioni dan Schmidt (2011), lansia merupakan kelompok rentan yang seringkali mengalami masalah terkait dengan isolasi sosial, kesehatan yang buruk, kondisi keuangan yang buruk, ketersediaan makanan yang tidak layak, dan kesepian. Kesepian biasanya disebabkan oleh meninggalnya pasangan hidup, ketiadaan teman, dan tempat tinggal yang terpisah engan anaak-anak. Sejalan dengan itu, van Marrewijk dan Becker (2004) juga mengemukakan bahwa meningkatnya jumlah penduduk lansia di suatu negara akan menimbulkan masalah selain berhubungan dengan naiknya biaya kesehatan, juga berdampak buruk pada kondisi personal lansia seperti rendahnya rasa percaya diri dan tidak memungkinkannya pencapaian determinasi diri. Maka dari itu, dibutuhkan penanganan atau perawatan dengan pola tertentu agar lansia dapat mencapai kehidupan yang sejahtera seperti yang diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 13 Tahun 1998.

2.4. Pendekatan dan Nilai-nilai Agama Hindu dalam Perawatan Lansia Terdapat wacana bahwa bagi para lansia, perawatan yang tulus ikhlas dari anak-anaknya akan dirasakan jauh lebih berharga dari pada dukungan berupa materi. “Sewaktu kecil, orangtua yang merawat kita, setelah mereka tua, kitalah yang harus merawat mereka” (http://telaga.org/audio), tampak sebagai pernyataan yang menyiratkan bahwa anak memiliki tanggung jawab untuk menjaga kondisi fisik dan psikologis orangtua. Terkait dengan hal ini, terdapat empat pendekatan yang dapat digunakan untuk melakukan perawatan lansia. Meskipun keempat pendekatan ini pada dasarnya digunakan sebagai acuan perawatan bagi lansia


(34)

pada tatanan klinik (keperawatan), tidak tertutup kemungkinan untuk diterapkan di rumah tangga oleh anak-anak dalam merawat orangtuanya. Keempat pendekatan tersebut terdiri dari pendekatan fisik, psikis, sosial, dan spiritual (http://yh4princ3ss.wordpress.com). Dijelaskan lebih lanjut bahwa pada pendekatan fisik, perawatan dilakukan dengan memperhatikan kesehatan, kebutuhan, serta kejadian-kejadian yang dialami oleh lansia semasa hidupnya. Kunci pendekatan psikis terletak pada pendekatan edukatif bagi lansia, misalnya anak berperan sebagai pendukung dan “penterjemah” terhadap sesuatu yang asing. Pendekatan sosial perawatan lansia dilakukan melalui diskusi, tukar pikiran, bercerita, dan rekreasi. Pemberian ketenangan dan kepuasan batin dalam hubungan dengan Tuhan atau agama terkait dengan perawatan melalui pendekatan spiritual. Keempat jenis pendekatan ini dapat membantu lansia dalam mempertahankan serta membesarkan daya hidup atau semangat hidupnya.

Indonesia sendiri merupakan negara yang masih memiliki kultur keluarga besar yakni terdiri dari orang tua, anak dan cucu (Ningsi, 2013). Selanjutnya dinyatakan bahwa keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang didalamnya terdapat kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Jika dikaitkan dengan keberadaan lansia, kondisi ini bermakna bahwa anak (dan cucu) adalah orang terdekat yang secara langsung bertanggungjawab untuk merawat orangtuanya, terlebih pada saat orangtua sudah memasuki usia lanjut.

Berbeda halnya dengan hasil penelitian Khulaifah, dkk (2012), hasil studi Ningsi (2013) terhadap responden lansia yang tinggal di Panti Werdha Dharma


(35)

Bakti, Palembang, menunjukkan adanya pergeseran perilaku anak kandung dalam merawat orangtuanya yang lansia. Hal ini ditunjukkan oleh lansia yang dititipkan di panti werdha tersebut senantiasa meningkat jumlahnya dari tahun ke tahun. Apakah hasil studi ini mencerminkan berkurangnya respek terhadap orangtua seperti yang dinyatakan oleh O’Shea (1994), perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Menurut peneliti ini, respek bisa berkonotasi negatif jika dihubungkan dengan persepsi terhadap meningkatnya ketergantungan ketika seseorang beranjak tua. Kedua hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya kecenderungan perbedaan pola perawatan oleh anak terhadap orangtuanya yang sudah memasuki usia lanjut.

Sebagai Guru Rupaka, orangtua melahirkan dan membesarkan anak-anaknya sebagai manusia, sehingga sudah sepatutnya anak memberi perhatian dan dukungan moral agar orangtua tetap bergairah untuk hidup lebih lama, khususnya bagi orangtua yang telah memasuki usia lanjut (http://bali.kemenag.go.id). Berbakti adalah kewajiban setiap anak terhadap orangtuanya. Dalam pustaka Jawa Kuno berjudulPutra Sasanadiuraikan kewajiban setiap anak untuk menunjukkan sikap hormat atau sujud bhakti terhadap orangtua (gurunya) serta pantangan-pantangan sekaligus keharusan-keharusan yang mesti dilaksanakan (Sudharta, 1993). Dalam Kitab Taittiriya Upanisad I.11 dinyatakan bahwa ayah dan ibu adalah sinar suci dalam rumah tangga, oleh karenanya mereka wajar memperoleh bhakti dari keturunannya (Suprapti, dkk, 2014). Dari pernyataan ini secara implisit dapat tersirat bahwa untuk menunjukkan pengabdian serta baktinya kepada


(36)

orangtua, anak berkewajiban untuk membalas budi orangtua yang mengadakannya di dunia ini melalui ketulusikhlasan untuk merawat mereka di hari tuanya.

2.5. Teori Tentang Lansia

Kegunaan utama teori dalam sebuah studi adalah untuk menjelaskan dan memprediksi (Neuman, 2000). Dijelaskan bahwa secara umum terdapat dua makna tentang kegunaan penjelas dari sebuah teori, yakni penjelasan teoritis (theoretical explanation) sebagai argumen logis yang menjelaskan mengapa sesuatu terjadi dan penjelasan biasa (ordinary explanation) untuk menjelaskan sesuatu, sehingga dapat bermakna keilmuan. Sementara itu memprediksi merupakan suatu kegiatan untuk menyatakan sesuatu akan terjadi. Dalam penelitian ini, teori digunakan untuk menjelaskan guna menyajikan struktur studi dan memedomani pengembangan pertanyaan riset (pokok masalah).

Teori tentang proses penuaan (baca:lansia), pada umumnyaa dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yakni Teori Biologis, Teori Psikologis, dan Teori Sosiologis (National Concil of Elderly, 1994). Teori Biologis dibagi menjadi tiga yakni Teori Radikal Bebas, Teori Cross-Link, dan Teori Imunologis. Pertama, Teori Radikal Bebas menyatakan bahwa proses penuaan diakibatkan oleh adanya pengaruh radikal bebas dimana proses metabolisme oksigen merupakan sumber radikal bebas yang terbesar. Kedua, Teori Cross-Link

menyatakan bahwa rigiditas tubuh disebakan oleh terjadinya reaksi kimia yang menimbulkan senyawa antara molekul-molekul yang normal menjadi terpisah. Ketiga, Teori imunologis menyatakan bahwa penuaan terjadi karena adanya penurunan daya tahan tubuh (imun), sehingga tubuh kehilangan kemampuan


(37)

untuk membedakan proteinnya sendiri dengan protein asing. Akibatnya, sistem imun menyerang dan menghancurkan jaringannya sendiri pada kecepatan yang meningkat secara bertahap.

Teori Psikologis juga dikelompokkan menjadi tiga kategori yakni Teori pembebasan (Disengagement Theory), Teori Aktivitas (Activity Theory); dan Teoi Kontinuitas (Coninuity Theory). Pertama, Teori Pembebasan menyatakan bahwa orang yang menua cenderung menarik diri dari peran yng biasanya dan terikat pada aktivitas yang lebih introspeksi dan berfokus pada diri sendiri. Kedua, Teori Aktivitas mempostulasi bahwa lansia dengan keterlibatan yang lebih besar, memiliki semangat dan kepuasan hidup yang lebih tinggi, penyesuaian serta kesehatan mental yang lebih positif dari pada lansia yang kurang terlibat secara sosial. Ketiga, Teori Kontinuitas adalah merupakan teori perkembangan yang menyatakan bahwa kepribadian seseorang tetap sama dan perilaku akan lebih mudah diprediksi seiring dengan terjadinya proses penuaan. Teori ini juga pada dasarnya dirancang untuk menjelaskan proses penuaan yang berhasil/sukses.

Teori Sosiologis dikelompokkan menjadi Teori Modernisasi, Teori Politikal Ekonomi, dan Teori Stratifikasi Sosial. Pertama, Teori Modernisasi menjelaskan cara dengan mana perubahan sosial mempengaruhi posisi lansia. Masyarakaat yang lebih modern, cenderung meletakkan lansia pada posisi yang lebih periperal yang sedikit banyak diakibatkan oleh keberadaan keluarga luas yang cenderung memisahkan orangtua dengan anak-anaknya. Kedua, Teori Politikal Ekonomi, menjelaskan bagaimana struktur sosial dan ekonomi menyebabkan situasi lingkungan negatif bagi orangtua. Ketiga, Teori Stratifikasi


(38)

Sosial menjelaskan bahwa usia, seperti halnya jenis kelamin dan suku bangsa, bertindak sebagai alat untuk mengatur kehidupan sosial masyarakat. Dalam studi ini, Teori Aktivitas digunakan sebagai acuan. Teori ini dipilih sebagai pedoman karena studi ini dilakukan untuk melakukan pengkajian tentang keberadaan penduduk lansia dalam melakukan aktivitasnya baik secara fisik, psikis, sosial-ekonomi, maupun spiritualnya. Melalui pengkajian ini diharaapkan dapat diketahui pola perawatan yang selama ini dilakukan oleh keluarga dan lansia serta pola perawatan yang diinginkan oleh keluarga dan lansia itu sendiri.


(39)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Secara garis besar rancangan penelitian dapat dibagi menjadi tiga, yaitu rancangan penelitian kuantitatif, kualitatif, dan campuran (mixed methods) (Creswell, 2010). Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan penelitian campuran (mixed methods), yang merupakan kombinasi antara pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Dalam rancangan penelitian campuran ini di samping dikumpulkan data kuantitatif juga dikumpulkan data kualitatif.

Penelitian dengan rancangan penelitian campuran dilakukan secara bersamaan dengan tujuan saling melengkapi gambaran hasil studi mengenai fenomena yang diteliti dan untuk memperkuat analisis penelitian. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif yang merupakan pendekatan utama (metode primer) dan secara bersama-sama dengan metode kualitatif yaitu sebagai pelengkap (metode sekunder). Penelitian campuran seperti yang diungkapkan di atas disebut juga penelitian tidak berimbang atau concurrent embedded

(Sugiyono, 2012).

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian akan dilakukan di dua wilayah, yaitu wilayah perkotaan dan wilayah perdesaan. Wilayah perkotaan diwakili oleh Kota Denpasar, sedangkan


(40)

wilayah perdesaan diwakili oleh Kabupaten Tabanan. Pemilihan kedua wilayah ini dilakukansecara purposive,dengan dasar pertimbangan bahwa kedua wilayah ini memiliki angka harapan hidup yang menduduki peringkat pertama dan kedua. Menurut BPS (2014), angka harapan hidup tertinggi pada tahun 2013 dicapai oleh Kabupaten Tabanan, dengan angka harapan hidup 74,91 tahun, sedangkan Kota Denpasar menduduki tempat kedua dengan angka harapan hidup 73,46 tahun.

3.3 Variabel Penelitian

Secara garis besar variabel penelitiannya mencakup dua jenis variabel, yaitu yang berkaitan dengan (1) karakteristik responden meliputi umur, jenis kelamin, tempat tinggal, pendidikan, status pekerjaan, pekerjaan responden, dan lapangan pekerjaan responden; (2) perawatan lansia, lebih dijabarkan lagi ke dalam variabel-variabel yang menggambarkan kondisi fisik, psikis, sosial, dan spiritual.

3.4 Populasi, Sampel, Responden, dan Informan

Populasi penelitian ini adalah seluruh kepala keluarga (KK) yang salah satu anggota keluarganya adalah orang tuanya yang sudah lansia. Orang tua lansia adalah orang tua yang pada saat penelitian ini dilakukan sudah berumur 60 tahun ke atas. Untuk menyederhanakan istilah KK yang salah satu anggota keluarganya adalah orang tuanya yang sudah lansia, selanjutnya diringkas dengan KK lansia. Dengan demikian sampel penelitian ini adalah bagian dari KK lansia. Persoalannya adalah, kerangka sampel (sampling frame) dari KK lansia tidak


(41)

tersedia, sehingga menyulitkan dalam pengambilan sampel secara acak (random). Cara yang ditempuh untuk mengatasi masalah di atas adalah melakukan listing terhadap KK lansia di dua desa dari satu kecamatan terpilih, untuk Kabupaten Tabanan dan Kota Denpasar. KK lansia yang diambil sebagai sampel berjumlah 150 KK lansia yang didistribusikan secara merata di dua kabupaten/kota, yaitu 75 KK lansia di Kabupaten Tabanan dan 75 KK lansia di Kota Denpasar. Pengambilan sampel KK lansia (di Kabupaten Tabanan dan Kota Denpasar) dilakukan secara random berdasarkan hasil listing di masing-masing lokasi penelitian.

Selanjutnya, berdasarkan sampel terpilih dilakukan wawancara terstruktur terhadap responden penelitian, dari setiap KK yang terpilih sebagai sampel akan diambil dua responden penelitian, yaitu seorang KK dan seorang orang tua lansia. Rincian responden di masing lokasi penelitian dapat diikuti pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1

Jumlah Responden Dirinci Menurut Lokasi Penelitian (Kabupaten/Kota, Kecamatan, dan Desa/Kelurahan)

Lokasi Penelitian Responden Penelitian (Orang) Kabupaten/

Kota Kecamatan Desa/Kelurahan KK Lansia Total

Denpasar Denpasar Timur

Sumerta

75 75 150

Dangin Puri

Tabanan

Penebel Buruan

75 75 150

Jegu


(42)

Selain penentuan responden, dalam penelitian ini juga akan ditentukan informan kunci yang diambil dari tokoh-tokoh masyarakat, seperti pemuka adat dan pemuka agama Hindu. Penentuan informan kunci ini dimaksudkan untuk menggali informasi yang bersifat kualitatif, untuk melengkapi hasil penelitian secara kuantitatif.

3.5 Instrumen Penelitian

Dalam penelitian akan digunakan tiga jenis instrumen penelitian, yaitu daftar pertanyaan, panduan diskusi, dan tape recorder. Daftar pertanyaan atau kuesioner dibuat secara rinci yang ditujukan kepada responden penelitian untuk menggali informasi terkait dengan karakteristik responden, dan informasi tentang pola perawatan lansia yang berkaitan kondsi fisik, psikis, sosial, dan spiritual.

Sementara itu, panduan diskusi dan tape recorder, digunakan pada saat pengumpulan data melalui diskusi kelompok terfokus (focus group discussion). Kegiatan diskusi kelompok terfokus adalah salah satu cara untuk mengumpulkan data penelitian yang bersifat kualitatif.

3.6 Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini digunakan beberapa cara pengumpulan data, yang dimaksudkan agar data yang dikumpulkan betul-betul dapat digunakan untuk memberikan gambaran yang lebih realistis terhadap obyek yang sedang diteliti. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain mencakup metode wawancara terstruktur dan diskusi kelompok terfokus, dengan rincian sebagai berikut:


(43)

1) Wawancara terstruktur, adalah wawancara yang dilakukan melalui tatap muka langsung dengan responden dan menggunakan daftar pertanyaan atau kuesioner yang telah disiapkan sebelumnya.

2) Diskusi Kelompok Terfokus adalah diskusi yang dilakukan dengan menghadirkan para informan kunci, yang terdiri atas pemuka adat, pemuka agama, dan para peneliti. Agar diskusi betul-betul terarah, jumlah peserta diskusi kelompok terfokus berkisar antara 7 sampai dengan 10 orang. Untuk menjamin kelancaran diskusi para peneliti dilengkapi dengan panduan diskusi dan alat perekam diskusi (tape recorder).

3.7 Teknik Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan akan diedit atau diperiksa, untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kesalahan selama pengumpulan data lapangan. Setelah edting data dilakukan, langkah berikutnya adalah melakukan

data entry dengan komputer. Jika semua data sudah dimasukkan dan dinyatakan bersih dari kesalahan, proses selanjutnya adalah pengolahan data dengan SPSS PC+. Melalui beberapa fase pengolahan data seperti di atas, selanjutnya ditentukan teknik analisis data yang digunakan mengupas masalah penelitian. Penelitian ini tergolong penelitian campuran, sehingga analisis yang digunakan adalah teknik analisis deskriptif kualitatif, yaitu menggunakan tabel distribusi tunggal dan tabel silang.


(44)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Daerah Penelitian

Bali yang hanya memiliki luas wilayah 5.636,66 km2 atau0,29 per sen dari luas wilayah Indonesia, sudah cukup dikenal sebagai salah satu destinasi wisata baik untuk wisatawan domestic maupun mancanegara . Wilayah Bali terbagi dalam enam wilayah daratan (pulau), yaitu Pulau Bali sebagai pulau terbesar, Pulau Nusa Penida, Pulau Nusa Ceningan, Pulau Nusa Lembongan, Pulau Serangan, dan PulauMenjangan. Sementara jika dilihat dari posisinya, Provinsi Bali secara astronomis terletak pada 8°03’40” - 8°50’48” Lintang Selatan dan 114°25’53” - 115°42’40” BujurTimur. Berbatasan dengan Laut Bali di sebelah utara, Samudra Indonesia di sebelah selatan, Selat Bali di sebelah barat serta Selat Lombok di sebelah timur.

Secara administrasi, Provinsi Bali terbagi menjadi 8 Kabupaten, 1 Kota, 57 Kecamatan, 716 Desa/Kelurahan, dan secara adat terdiri dari 1.48 8 Desa Pekraman, dan 3.625 Banjar Pekraman. Jika dilihat berdasarkan luas wilayahnya, Kabupaten Buleleng merupakan kabupaten terluas dengan wilayah seluas 1.365,88 km2, diikuti Kabupaten Jembrana 841,80 km2, Karangasem 839,54 km2,Tabanan 839,33 km2, Bangli 520,81 km , Badung 418,52 km2, Gianyar 368,00 km2, Klungkung 315,00 km2 dan terkecil adalah Kota Denpasar dengan luas wilayah sebesar 127,78 km2.


(45)

yang tinggi (pro growth), sehingga mampu menciptakan lapangan kerja (pro job), yang pada gilirannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat/menurunkan tingkat kemiskinan (pro poor) dengan tetap menjaga kualitas lingkungan (pro environment) sehingga dapat mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Untuk itu arah kebijakan pembangunan daerah Bali dijabarkan dalam 8 (delapan) Prioritas pembangunan diantara 8 prioritas pembangunan tersebut antara lain adalah: Penanggulangan kemiskinan dan pengurangan pengangguran, dengan langkah nyata yang telah diambil antara lain program beasiswa masyarakat miskin, Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM), Bedah rumah, dan bursa kerja (job fair). Sedangkan di bidang pendidikan dan kesehatan telah dilakukan peningkatan akses dan mutu layanan pendidikan dan kesehatan masyarakat. Peningkatan mutu layanan pendidikan diwujudkan melalui peningkatan kualitas pendidik, mengembangkan sekolah berbasis teknologi informasi dan komunikasi (ITC) dan pembangunan SMA Bali Mandara yang merupakan sekolah unggulan dengan menampung siswa berprestasi yang berasal dari keluarga kurang mampu (Bali Membangun, 2013).

Lebih lanjut dijelaskan jumlahpenduduk Bali tahun 2010 hasil Sensus Penduduk (SP2010) mencapai 3.890.757 orang atau meningkat rata-rata sebesar 2,14 persen per tahun jika dibandingkan hasil Sensus Penduduk tahun 2000 yang mencapai 3.146.999 orang. Bila dirinci menurut jenis kelamin maka jumlah penduduk laki –laki tahun 2010 sebanyak 1.961.348 orang dan penduduk perempuan sebanyak 1.929.409 orang. Untuk tingkat kabupaten/kota, maka Kota Denpasar merupakan kota dengan total penduduk terbanyak yaitu


(46)

788.589 orang atau 20,27 persen dari total penduduk Bali diikuti Kabupaten Buleleng dengan total penduduk mencapai 624.125 orang atau 16,04 dari total penduduk Bali.

Jumlah penduduk berdasarkan atas umur sebagian besar berada pada distribusi umur 20-59 tahun (58,12%), kemudian diikuti oleh rentang umur 0-19 tahun (33,36%) dan yang paling kecil adalah yang tergolong umur lanjut usia (lansia), yaitu penduduk yang berumur 60 tahun keatas (8,52%) (Tabel 6.7.5, Bali Membangun 2013). Walaupun jumlah penduduk lansia Bali paling sedikit diantara kelompok umur lainnya, namun perhatian terhadap lansia terutama terkait dengan kesejahteraan yang meliputi pemenuhan sandang dan pangan, dan kesehatan serta perhatian keluarga sangat mendukung keberadaaan dari lansia tersebut. Lansia merasa berada dalam kondisi nyaman sangat ditentukan oleh dukungan dari keluarga dan lingkungan serta keiklasan keluarga yang merawat lansia tersebut, terutama bagi lansia yang tidak produktif lagi. Pada lansia yang tergolong masih produktif, untuk memenuhi kebutuhan hidup masih dapat berusaha sendiri dari pekerjaan yang ditekuni selama ini.

Berdasarkan Data Bali Membangun (2013), dari laju pertumbuhan penduduk, ternyata laju pertumbuhan penduduk tertinggi terjadi di Kabupaten Badung, yaitu 4,62 persen diikuti Kota Denpasar 4,01persen, Jembrana 1,22 persen dan Kabupaten Gianyar sebesar 1,80 persen. Kepadatan penduduk Bali tahun 2010 mencapai 690,26 jiwa/km2, dimana kepadatan tertinggi terdapat pada Kota Denpasar yang mencapai 6.171,46 jiwa/km2 dan terendah di Kabupaten Jembrana yang mencapai 310,81 jiwa/km2.. Tingkat kepadatan


(47)

penduduk yang tinggi sudah semestinya diikuti dengan penyediaan infrastruktur yang memadai termasuk pelayanan publik yang memenuhi pelayanan prima seperti layanan kesehatan, pendidikan dan layanan sosial lainnya.

Dilihat dari tingkat pendidikan, secara umum ditunjukkan bahwa jumlah lulusan SD tahun 2013 mencapai 66.115 orang dengan rincian 33.252 orang laki-laki dan 32.863 orang perempuan. Sementara jika dibandingkan dengan tahun 2012, maka jumlah lulusan tahun 2013 mengalami peningkatan hampir 2 kali lipat. Jumlah murid SLTP tahun 2013 sebanyak 193.406 orang atau meningkat hingga 7,96 persen dibandingkan tahun 2012 yang berjumlah 179.152 orang. Peningkatan jumlah anak yang melanjutkan di tingkat SLTP ini berdampak pada capaian APK SLTP, dimana pada tahun 2013 tercatat sebesar 107. Jumlah lulusan SMU pada tahun 201 3 sebanyak 26.234 orang atau meningkat jika dibandingkan tahun 2012 yang mencapai 25.177 orang. Capaian angka partisipasi kasar untuk tingkat SMU/SMK/MA tahun 2013 sebesar 92,40 lebih baik jika dibandingkan dengan tahun 2012 yang hanya 87,44. Angka partisipasi kasar untukt ingkat SMU/SMK/MA diharapkan akan mencapai 100 pada tahun 2015.

4.2. Karakteristik Responden

4.2.1. Karakteristik Responden Lansia

Responden dalam penelitian ini ada 2 jenis yaitu responden lansia dan keluarga lansia. Dalam tulisan ini akan dibahas tentang beberapa karakteristik dari responden tersebut. Data yang digunakan untuk melihat karakteristik responden tersebut adalah data yang telah diperoleh dari sebagian besar responden


(48)

yang telah diteliti sampai perkembangan kemajuan penelitian ini ditulis. Jumlah lansia yang akan diteliti di 2 kabupaten/kota yaitu Kota Denpasar dan Kabupaten Tabanan adalah sebanyak 150 responden lansia dan juga 150 responden keluarga lansia di kedua kabupaten/kota tersebut.

Data hasil penelitian menunjukkan bahwa lasia yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 53 persen dan laki-laki sekitar 47 persen dari data yang telah terkumpul.Jika kondisi ini dibandingkan dengan data secara makro dimana perempuan memiliki harapan hidup yang lebih panjang daripada laki-laki, data hasil penelitian ini sepertinya belum mendukung kondisi data makro tersebut.Hal ini besar kemungkinan akibat data lansia yang direncanakan dicari sebanyak 150 sampel responden lansia belum dapat terkumpul sesuai dengan perencanaan.Kondisi ini dapat menjadi penyebab yang terlihat dari data primer jika dibandingkan dengan kondisi data sekunder khususnya data tentang harapan hidup. Demikian pula jika dibandingkan dengan data secara makro pula yang berkaitan dengan jumlah penduduk lansia misalnya umur 65 ke atas, data sekunder baik kondisi Bali maupun Indonesia menunjukkan bahwa jumlah lansia perempuan lebih banyak dibandingkan dengan lansia laki-laki, dimana hal ini terkait dengan lebih panjangnya harapan hidup penduduk perempuan secara rata-rata dibandingkan dengan penduduk laki-laki. Setelah penelitian secara lengkap terkumpul khususnya tentang data lansia menurut jenis kelamin, maka analisis akan kembali dilakukan untuk melihat persentase penduduk lansia dari segi jenis kelamin jika dibandingkan dengan persentase lansia dari data primer yang dikumpulkan. Demikian juga jika dilihat dari beberapa tayangan televise tentang


(49)

penghuni panti-panti jompo atau panti werda, terlihat sebagian besar penghuninya adalah para lansia perempuan. Kondisi ini juga menjadi sebuah cerminan bahwa penduduk lansia perempuan lebih banyak dibandingkan dengan lansia laki-laki.

Dari data yang terkumpul pendidikan responden lansia secara umum berada pada tingkat pendidikan yang cenderung rendah. Sekitar 58 persen responden lansia berpendidikan sekolah dasar ke bawah, dan sisanya 42 persen berpendidikan SLTP ke atas.Data juga menunjukkan ternyata ada lansia yang berpendidikan perguruan tinggi yaitu 4 persen dari total responden.Mereka juga terlihat hanya 13 persen yang berpendidikan SLTA. Secara rinci tingkat pendidikan penduduk lansia disajikan dalam Tabel 4.1 berikut.

Tabel 4.1

Distribusi Responden Lansia Menurut Pendidikan (%) No Tingkat pendidikan Persentase (%)

1 Tidak pernah sekolah 11,00

2 Tidak tamat SD 14,00

3 SD 33,00

4 SLTP 25,00

5 SLTA 13,00

6 PT 4,00

7 Total 100,00

Sumber: Data Primer, 2015

Data Tabel 4.1 menunjukkan bahwa sebagian besar responden lansia dalam penelitian ini berpendidikan Sekolah Dasar.Kondisi ini juga menunjukkan secara umum kondisi ekonomi lansia. Di Indonesia ataupun di Bali secara umum terlihat bahwa kondisi pendidikan seseorang akan dapat mempengaruhi kondisi ekonomi mereka, demikian sebaliknya kondisi ekonomi dapat juga mempengaruhi kondisi pendidikan yang dapat dicapai. Melihat responden adalah lansia, dapat diperkirakan pada saat mereka usia sekolah kondisi ekonomi keluarga tidak


(50)

mampu untuk membiayai kelanjutan sekolah mereka walaupun hanya untuk melanjutkan di tingkat sekolah menengah pertama. Demikian pula responden lansia yang tidak pernah sekolah dan tidak tamat sekolah dasar kemungkinan besar kondisi ekonomi keluarganya pada saat mereka usia sekolah juga cenderung tidak mampu mendukung kebutuhan mereka untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi.Responden lansia yang tidak pernah sekolah juga dapat mencerminkan bahwa mereka adalah buta huruf (illiteracy), yang tentunya sangat tinggi jika dibandingkan dengan data makro tentang tingkat buta huruf di Provinsi Bali maupun di Indonesia. Memang patut dihargai berbagai usaha pemerintah untuk menurunkan angka buta huruf di Indonesia, sehingga Unesco memberikan penghargaan pada pemerintah Indonesia pada tahun 2009 atas usahanya untuk meningkatkat persentase penduduk yang mampu membaca dan menulis (literacy) sampai pada tingkat 93 persen pada haun 2009, yang hampir menyamai Negara Malaysia. Hal ini berarti pada saat itu tingkat buta huruf (illiteracy) mencapai hanya 7 persen.Jika dibandingkan dengan data primer hasil penelitian ini terlihat data primer ini sangat tinggi tingkat buta hurufnya yang dicerminkan dari mereka yang tidak pernah sekolah.Kondisi ini dapat dipahami mengingat data primer ini adalah semuanya lansia, yang kemungkinannya jauh lebih besar untuk menjadi buta huruf jika dibandingkan dengan mereka yang berumur lebih muda. Dalam perhitungan tingkat buta huruf secara makro adalah menggunakan data penduduk umur 15-44 tahun yang tentu saja kemungkinan untuk menjadi buta huruf akan jauh lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang sudah menjadi lansia saat ini. Namun demikian, tingkat buta huruf pada kelompok umur 15-44 tahun tentu


(1)

kepada orang tuanya, dan anak masih tetap merasakan membutuhkan bimbingan orang tuanya, sehingga anak tetap menginginkan merawat orang tuanya pada masa yang akan dating.

3) Lansia merasakan pola perawatan yang diterimanya selama ini dari keluarganya seperti dari anak, menantu, cucu, maupun keluarga lainnya sangat memadai antara lain berkaitan dengan perawatan kesehatan, perhatian, cinta kasih, dan dari pemenuhan kebutuhan secara ekonomi. Lansia tetap merasakan dihormati oleh keluarganya lansia yang mereka miliki sebagai orang yang patut

4) Lansia tetap menginginkan dirinya dirawat oleh keluarga pada masa yang akan datang, karena orang tua merasa nyaman jika dirawat oleh keluarganya dan orang tua menganggap hal itu adalah sebuah bentuk tanggung jawab anak terhadap orang tua. Lansia yang dirawat selama ini oleh keluarganya atau anak/menantunya merasakan bahwa keluarganya merawatnya dengan baik sehingga mereka tetap berharap baik masa sekarang maupun masa yang akan datang lansia dirawat di rumahnya sendiri.

5.2. Implikasi kebijakan

1) Hasil penelitian memberikan implikasi bahwa pada masa yang akan datang institusi yang terkait diharapkan ikut berperan lebih aktif dalam memberikan KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) tetang pola perawatan lansia yang lebih berkualitas baik dari segi kesehatan fisik,


(2)

kesehatan non fisik, maupun peningkatan kepedulian masyarakat terhadap kelompok penduduk lansia tersebut.

2) BKL (Bina Keluarga Lansia) seyogyanya tetap digalakkan oleh pemerintah dengan lebih mengintensifkan berbagai kegiatan yang dapat dilakukan oleh lansia, sehingga secara psikologis lansia tidak merasa hanya untuk menunggu dipanggil Tuhan, tetapi tetap merasa berguna bagi masyarakatnya.

3) Dengan derajat kesehatan yang semakin baik pada masa yang akan datang, dapat diperkirakan bahwa lansia akan semakin banyak jumlahnya, oleh karenanya perlu diterapkan politik anggaran yang lebih memihak pada kebutuhan lansia, sehingga kualitas kehidupan lansia akan semakin meningkat. Selain itu meningkatkan kepedulian semua pihak terhadap kelompok penduduk lansia ini menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan, termasuk dari perusahaan-perusahaan melalui kebijakan Corporate social responsibility(CSR).

4) Memantapkan pemahaman tentang filosofi budaya Bali terkait dengan konsep “Guru Rupaka” sehingga generasi berikutnya memahami betul tugas-tugas atau kewajiban dari seorang anak terhadap orang tuanya.


(3)

Daftar Pustaka

Andrioni, F., and Schmidt, M.C. 2011. Economic and social problems from the Jiu Valley and the need for development support network for elderly people from Petrosani. Annals of the University of Petrosani, Economics, 11(2): 25-32.

Badan Pusat Statistik Indonesia. 2005. Survei Sosial Ekonomi Nasional: Statistik Penduduk Lanjut Usia 2005. BPS: Jakarta.

Badan Pusat Statistik. 2014. Bali Dalam Angka 2013.BPS Provinsi Bali.

Badan Pusat Statistik (BPS) and Macro International,Inc. 2008. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2007. Calverton, Maryland, USA:BPS and Macro International, Inc.

---,. 2013. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012. Calverton, Maryland, USA:BPS and Macro International, Inc.

Bozo, O., Tokssabay, N.E., and Kurum, O. 2009. Activities of daily living, depression, and social support among elderly Turkish People. The Journal of Psychology, 14(2): 193-205.

Chand, M., and Tung, R.L. 2014. The aging of the world’s population and its effects on global business.The Academy of Management Perspectives, 28(4): 409-429.

Clark, R., and Peck, B.M. 2012. Examining the gender gap in life expectancy: a cross-national analysis, 1980-2005. Social Science Quarterly, 93(3): 820-837.

Creswell, J, W., and Clark, V.P. 2007.Designing and Conducting Mixed Method Research. California: Sage Publications, Inc.

Cutrona, C.E., and Russel, D.W. 1987. The provisions of social relationships and adaptation to stress.Advances in Personal Relationships, 1: 37-67. Dalgard, C., and Strulik, H. 2014. Optimal aging and death: understanding the

Preston Curve.Journal of the European Economic Association, 12(3): 672-701.

Departemen Sosiologi, Fisip, Universitas Airlangga. 2013. Pergeseran nilai dalam hubungan antar generasi serta dampak terhadap lansia (Studi deskriptif lansia yang tinggal di Panti Werdha “Majapahit” Mojokerto.Jurnal Ilmu Sosial dan Politik, 1-18.


(4)

Dewi, I G.A.M. 2013. Anteseden dan konsekuensi konflik pekerjaan-keluarga-budaya. Disertasi. Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Halme, P., and Moilanen, R. 2004. Discussion on responsibility: the aging society, organization, and the individual. EBS Review, Winter 2004/Spring 2005: 31-41.

http://telaga.org/audio/memahami_orangtua_lansia (diunduh tanggal 3 Februari, 2015).

https://yh4princ3ss.wordpress.com/2010/04/17/asuhan (diunduh tanggal 3 Februari 2015).

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26925/5/Chapter. (diunduh tanggal 3 Februari 2015).

http://www.buk.kemkes.go.id/index.php?option=com. (diunduh tanggal 3 Februari 2015.

http://bali.kemenag.go.id/index.php?a=berita&id=212683. (diunduh tanggal 3 Februari 2015).

Khulaifah, S., Haryanto, J., dan Nihayati, H.E. 2012. Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kemandirian Lansia dalam Pemenuhan Activitie Daily Living di Dusun Sembayat Timur, Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik. Program Studi Ners, Fakultas Keperawatan, Universitas Airlangga, 91-98.

Lobburi, P., Maung, K., and Samutsakaron. 2012. The influence of organizational and social support on turnover intention in collectivist contexts.The Journal of Applied Business Research,28(1): 67-78.

National Council of Elderly, 1994. Theories of aging and attitudes to ageing in Ireland.Proceeding of Round Table,Publication, 33: 1-33.

Neuman, W.L. 2000. Social Research Method, Qualitative and Quantitative Approaches. Fourth Edition. Boston: Allyn and Bacon.

Ningsi, H.Y. 2013. Pergeseran perilaku anak kandung dalam memelihara orangtua lanjut usia (studi pada anak anggota Panti Werdha Dharma Bakthi, Palembang). Skripsipada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Fakultas Sosiologi, Universitas Sriwijaya.


(5)

O’Shea, E. 1994. Social integration of older people of Eurobarometer findings. National Council for the Elderly. Proceeding of Round Table, Theories of Ageing and Attitude to Ageing in Ireland. Publication no. 33: 1-28.

Oster, E., Shoulson, I., Dorsey, E.R. 2013. Limited life expectancy, human capital, and health investments.American Economic Review, 103(5): 1977-2002.

Peeters, M.C.W., and Le Blanc, P.M. 2001. Towards a match between job demands and sources of social support: a study among oncology care providers. European Journal of Work and Organizational Psychology, 10 (1): 53-72.

Pudja, G, dan Rai Sudharta, Tjokorda. 2004. Manava Dharmasastra (Manu Dharmasastra) atau Veda Smrti Compendium Hukum Hindu. Surabaya: Penerbit Paramita.

Putrawan, I Wayan. 2012. Perkembangan Kependudukan di Provinsi Bali Hasil Sensus Penduduk 2010, makalah disampaikan dalam Rakerda Kependudukan dan KB Provinsi Bali Tahun 2012.

Radhakrishnan, S. 2008. Upanisad-Upanisad Utama. Surabaya: Penerbit Paramita.

Safarino, E.P. 2002. Health psychology: Healthy Psychology Biopsychosicial Interaction.New York: John Willeyant.

Sudharta, T.R. 1993. Manusia Hindu, Dari Kandungan Sampai Perkawinan. Yayasan Dharma Naradha, Jakarta.

Sudibia, I Ketut. 1992. Penduduk Indonesia Selama Pembangunan Jangka Panjang Tahap I, Bali. Jakarta: Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup.

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Method). Bandung : Penerbit Alfabeta.

Suprapti, N.W.S., Purnawati, N.K., Rastini, N.M., dan Nurcaya, N. 2014. Niat Menitipkan orangtua lansia di panti Lansia: aplikasi theory of planned behavior dipandang dari perspektif Agama Hindu.Paperpada Konferensi Nasional Riset Manajemen, 10-12 Oktober 2014 di Denpasar.

Sutikno, E. 2011. Hubungan antara fungsi keluarga dan kualitas hidup lansia. Jurnal Kedokteran Indonesia, 2(1): 73-79.


(6)

Thae-jeong, K., and Hewings, G.J.D. 2013. Endeogenous growth in an aging economy: evidence and policy measures. Annuals of Regional Science, 50: 705-730.

van Marrewijk, M., and Becker, H.M. 2004. The hidden hand of cultural

governance: the transformation process of humanitas, a community-driven organization providing, cure, care, housing, and well-being to elderly people.Journal of Business Ethics, 55: 205-214.

Vidovicova, L. 2014. Conceptual framework of the active ageing policies in employment in Czech Republic. Warsaw Bishkek Kjiv Tbilisi Chisinau, CASE Network Studies & Analysis, 496: 1-56.

Wadsworth, L.L., and Owens, B.P. 2007. The effects of social support on work-family enhancement and work-work-family conflict in the public sector. Public Administration Review, January-February: 75-87.

Watkins. M.B., Ren, R., Boswell, W.R., Umphress, E.E, delCarmen Triana, M., and Zardkoohi, A. 2012. Your work is interfering with our life! The influence of a significant other on employee job search activity.Journal of Occuptional and Organizational Psychology,85: 531-538.