52 terhiba-hiba. Sesudah itu rombongan pulang ke kampung orang tua si bayi. Lalu
dibawa pula dengan meninggalkan ngarngar berisi api tadi ditepi pancuran sebagai tanda kepada setiap orang bahwa baru saja ada bayi yang untuk pertama
kali dipermandikan Siahaan, 1992: 70. Sering juga upacara martutuaek dinamakan upacara mencuri jalan
manangko dalan, karena dianggap telah menipu dewa tanah tersebut. Dipercayai bahwa dewa tanah asik memakan tepung baras di atas daun yang gatal sehingga
lupa kepada bayi. Dengan demikian si bayi selamat sampai ke pancuran dan juga selamat sampai kembali ke rumah Simanjuntak dalam Koentjaraningrat, 1985:
62.
3.1.3 Mampe Goar
Upacara ini erat bersangkut paut dengan upacara martutuaek adalah upacara pemberian nama atau mampe goar, karena nama si bayi diberikan setelah
kembali dari tempat permandian dimana si bayi dibersihkan dan disucikan sebelum menerima nama. Istilah mampe goar artinya meletakkan nama, berasal
dari kata ampe appe artinya letak atau terletak, sehingga arti dari istilah tersebut adalah “ meletakkan nama”.
Cara-cara yang ditempuh dalam penetapan nama itu, pada saat bayi sedang mengalami martutuaek, pada saat itu kaum kerabatnya memilih nama untuk
dipimpin oleh seorang datu. Sistem pemilihan nama itu dengan cara mengajukan nama-nama si bayi kepada datu baik dari ayah dan ibu si bayi, maupun nenek atau
kakeknya atau juga kerabat dekat lainnya. Satu demi satu nama-nama tadi disampaikan kepada datu, kemudian sang datu yang menilainya dengan cara
Universitas Sumatera Utara
53 menghitung jumlah huruf dan memperhitungkannya kembali jumlah itu kepada
jari tangannya. Apabila hitungan terakhir nilai total huruf itu jatuh kesalah satu jari yang berarti nama itu kurang baik, nama itu kurang menguntungkan, atau
nama itu kurang memberi rejeki, terutama berkaitan dengan panjang umur dan jumlah anak, maka nama itu ditolak; demikian seterusnya sampai suatu nama
yang cocok ditemukan. Nama itu yang kemudian dinilai dengan berpedoman kepada buku pedoman ilmu gaib, pustaha yang juga berisi cara-cara menentukan
hari baik dan hari buruk sampai orang yakin bahwa nama yang dipilih mengandung arti baik, panjang umur, murah rejeki, banyak anak, kesehatan badan
dan kebahagiaan dari si bayi yang akan memakai nama itu Simanjuntak dalam Koentjaraningrat, 1985: 63-64.
Bila orang yang pergi memandikan bayi, kembali dari tepian mereka langsung menanyakan kepada datu siapakah nama yang dipilih diririt untuk si
bayi. Apabila datu memberitahukannya, maka mereka menyatakan persetujuannya dengan mengatakan kearah si bayi:
“sai goar tulut mai sai goar sipajou-jouon
goar si paehet-eheton donganna sari matua”
Artinya: “semoga nama yang sebenarnyalah itu,
nama yang selalu dipanggil, nama yang selalu disebut-sebut,
temannya hingga masa tua” Biasanya dalam pemilihan nama, orang Batak memilih nama nenek
moyang yang mempunyai keunggulan dan sifat kepahlawanan. Atau nama-nama tumbuhan-tumbuhan atau tempat yang berarti sangat baik, yang bisa mengangkat
si pemakai nama kederajat yang tinggi, menjadi pembesar, orang terkenal, orang
Universitas Sumatera Utara
54 kaya, dan orang yang mempunyai banyak anak gabe. Menurut mereka nama itu
mempunyai arti yang menetukan nasib si pemilik nama di hari depan. Demikian menurut keyakinan dan pengalaman-pengalaman orang-orang tua sering nama itu
sesuai sekali dengan si pemakai, dengan melihat kehidupan sehari-hari atau sifat peragainya Simanjuntak dalam Koentjaraningrat, 1985: 64.
Sering nama itu dinilai terlalu tinggi bagi pemilik, sehingga dia dianggap tidak mampu memakainya. Bila keadaan seperti itu terjadi maka si pemilik nama
sering sakit, atau hidupnya sengsara atau ia akan mati muda. Lalu diambil jalan keluar dari nasib malang itu, dengan cara mengganti namanya dengan nama yang
dinilai lebih sesuai atau lebih rendah nilainya dari nama pertama. Misalnya, nama yang diberikan pada masa bayi ialah Bungaran, tetapi sejak nama itu diberikan
kepadanya dia sering sakit; bahkan ia sesudah besar dan telah kawin, namun hidupnya tetap sengsara. Maka orang-orang tua menganjurkan agar ia
mengadakan pergantian nama dengan upacara. Karena nama Bungaran artinya terkenal, popular, jaya, hebat, mungkin nama itu tidak cocok baginya, karena
ternyata dia tidak menjadi orang yang terkenal itu, tetapi malah sakit-sakitan, miskin, dan sama sekali tidak terkenal atau tenar. Karena nama itu dianggap
terlalu tinggi untuknya, lalu oleh orang-orang tua diganti menjadi nama Sabam yang artinya sabar, rendah hati, lapang dada Simanjuntak dalam
Koentjarangingrat, 1985: 64-65. Peresmian nama yang dipilih dilakukan diruang tengah rumah tonga
dengan suatu upacara dimana 3 ekor ikan mas yang dimasak tanpa dipotong- potong dan disajikan diatas piring yang berisi nasi putih, di depan si bayi dengan
Universitas Sumatera Utara
55 kepala mengarah kepadanya. Kata-kata doa diucapkan orang-orang tua si anak
pada saat itu adalah: “on ma ale ompung upaupa ni anak nami on, ale ompung parsinangotan;
ba sai horas ma ibana gonggomonnami horas hani manggomgom” artinya:
“inilah upaupa anak kami wahai Tuhan kiranya dia sehat selamat dalam asuhan kami dan kami selamat
mengasuhnya”.
Suatu upacara besar diadakan bila seoarang ayah hendak memilih nama salah seorang nenek moyangnya bagi bayinya. Upacara ini dinamakan membuat
goar niompu atau mampe gaor. Pelaksanaannya harus mendapat persetujuan dari seluruh keturunan nenek moyang yang namanya dipilih tadi dan pesta besar-
besaran yang diadakan setelah upacara menyaratkan memotong kerbau, menari manortor dan kehadiran semua unsur sosial dalihan na tolu boru, hula-hula,
dongan sabutuha. Alasan untuk mengambil kembali nama nenek moyang adalah karena kebesaran, ketenaran, kepahlawanan, kebijakan, kekayaan, serta banyak
keturunan hagabeon, sehingga anak yang akan memakai nama itu, diharapkan bernasib sama dengan nenek moyang tersebut Simanjuntak dalam
Koentjaraningrat, 1985: 65.
3.1.4 Mangebang