Bentuk Pemerintahan Sistem Kekerabatan pada Masyarakat Batak Toba

40

2.6 Bentuk Pemerintahan

Desa Pollung merupakan wilayah Kecamaatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, Provinsi Sumatera Utara. Propinsi Sumatera Utara berada diwilayah pimpinan seorang Gubernur, Kabupaten Humbang Hasundutan dipimpin oleh seorang Bupati, Kecamatan Pollung dibawah pimpinan seorang Camat, Desa Pollung berada dibawah pimpinan Kepala Desa. Keseluruhan dari hal-hal yang menyangkut keadaaan desa merupakan pertanggung jawaban bersama dibawah pimpinan kepala desa. Desa ini berjumlah 1647 jiwa yang terdiri dari 347 rumah tangga. Mereka dibawah pimpinan seorang kepala desa. Desa Pollung terbagi dalam 3 Dusun, yang masing-masing berada dibawah seorang kepala Dusun. Administrasi desa atau administrasi pemerintahan Dusun dirasakan fungsinya apabila menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan penduduk sebagai warga masyarakat misalnya, untuk mengurus masalah kartu tanda penduduk KTP, akta kelahiran, organisasi pendidikan kesejahteraan keluarga PKK, Posyandu, surat keterangan pindah, surat pengantar kepada kepala desa atau kepada camat untuk berbagai keperluan.

2.7 Sistem Kekerabatan pada Masyarakat Batak Toba

Prinsip keturunan suku bangsa Batak Toba berdasarkan prinsip patrilineal. Prinsip patrilineal memperhitungkan garis keturunan melalalui laki-laki, dihitung dengan satu ayah satu kakek, serta satu nenek moyang. Sistem perkawinannya bersifat eksogami atau kawin dengan orang di luar suku. Masyarakat di Desa Pollung dapat mengikat segala aktivitas hidup bersama. Aktivitas hidup bersama Universitas Sumatera Utara 41 itu khususnya bertalian dengan adat, aktivitas hidup bersamanya itu terlihat pada pesta-pesta, seperti kehamilan manyulangi, pemberian nama mampe goar, menikah marhajabuan, kematian hamatean, menggali tulang belulang mangongkal holi. Sesuatu pekerjaan atau horja suku bangsa Batak Toba mengenal adanya tiga kelompok kerabat yang ikut. Kelompok kerabat tersebut meliputi dongan sabutuha, yang merupakan kelompok kekerabatan saudara laki-laki seayah , saudara laki-laki senenek, saudara laki-laki senenek moyang, saudara laki-laki semarga berdasarkan sistem keturunan kekeluargaan garis laki-laki atau patrilineal. Kelompok kedua merupakan kelompok boru, yaitu kelompok kerabat pengambil istri dari pihak hula-hula. Kelompok ketiga merupakan kelompok kerabat ini merupakan pemberi istri. Ketiga kelompok kerabat ini merupakan simbol dengan Dalihan Na tolu, yang artinya tiga tiang tungku. Dalihan artinya tungku, Na artinya yang, Tolu artinya tiga. Dalihan Na Tolu berarti tempat memasak. Di atas tugku inilah ditempatkan alat memasak, bahwa masing-masing dalihan berdiri sendiri ditahan sedemikian rupa pada satu tempat dan di atas agar ketiga tungku itu tetap harmonis. Demikianlah keadaan kekerabatan suku Batak Toba dan pandangan hidupnya, bahwa suhut, hula- hula,boru masing-masing mempunyai pribadi dan harga diri tahu akan hak dan kewajiban sebagai pelaksana tanggung jawab pada kedudukannya pada satu saat. Pada saat mereka melihat tiang tungku yang tiga atau Dalihan Na tolu sebagai tungku pemasak, mereka melihat bahwa, apa saja yang dapat dimasak di atas tungku yang baik dan masakan itu adalah untuk dimakan perseorangan atau bersama. Masakan yang baik apabila tungku atau dalihan yang baik. Tungku yang Universitas Sumatera Utara 42 baik atau sempurna apabila terdiri dari tiga dalihan. Dalihan harus sama tinggi, ruang pembakar tempat kayu api baik, jarak antara tiga tungku sama. Dalihan Na Tolu ini suku Batak Toba, melihat kehidupan manusia baik sebagai individu maupun sebagai keluarga tidak ada ubahnya seperti keadaan Dalihan Na Tolu. Bahwa segala sesuatu yang perlu demi kepentingan manusia dan keluarga yang menjadi sumber sikap prilaku seseorang dalam kehidupan sosial budaya haruslah bersumber dari tiga unsur kekerabatan ibarat tiga tiang tungku. Yang berdiri sendiri tetapi saling berkaitan dalam bentuk kerja sama atau sama-sama diamanfaatkan. Ketiga unsur yang berdiri sendiri tidak akan ada artinya, tetapi harus kerja sama satu sama lain baru bermanfaat. Demikianlah sistem kekerabatan suku Batak berdasarkan Dalihan Na tolu, tiga kelompok kekerabatn yaitu dongan sabutuha, hula-huladan boru yang harus berkaitan dalam usaha melaksanakan kegiatan-kegiatan didalam sikap prilakunya. Segala kegiatan masyarakat Batak Toba dalam hubungan sosial budaya baru dikatakan sempurna apabila telah didukung ketiga kelompok kekerabatan tadi. Dongan sabutuha, hula-hula, dan boru ibarat tiga dalihan tungku yang mendukung periuk, belanga tempat memasak nasi, lauk-pauk dan minuman. Yang dimasak atau diciptakan oleh dongan sabutuha, hula-hula, dan boru ini adalah budaya untuk turunan-turunan mereka ibarat nasi, lauk-pauk dan minuman merupakan bekal bagi kelanjutan hidup para turunannya. Sebagai contoh terlihat pada bagan dibawah ini: Universitas Sumatera Utara 43 Bagan I : Hubungan Dalihan Na Tolu Keterangan: A : Kerabat satu keturunan dongan sabutuha B : Karabat pemberi istri hula-hula C : Kerabat pengambil istri boru Bagan ini memperlihatkan A, sebagai kelompok kerabat satu garis keturunan secara harfiah kawan satu perut dongan sabutuha, adalah kelompok satu garis keturunan. B kelompok kerabat pemberi istri hula-hula, dan C kelompok kerabat penerima gadis boru. Dalam masyarakat Batak Toba, ditemukan kelompok kekerabatan. Kelompok kekerabatan yang terkecil adalah keluarga inti, keluarga suami-istri dan anak-anaknya dinamai saripe. Nasaripe artinya sekeluarga. Mereka menyebutnya dengan Nasaripe. Ripe adalah merupakan dasar perkembangan menuju keluarga luas. Dalam keluarga luas, kelompok keluarga semakin luas disebuat marga. Dan yang paling luas adalah ompu parsadaan atau nenek moyang. Inilah kelompok kekerabatan pada masyarakat Batak Toba. Universitas Sumatera Utara 44

BAB III PROSES PEMBERIAN NAMA ORANG PADA MASYARAKAT BATAK

TOBA 3.1 Tata Cara Pemberian Nama Sewaktu Memeluk Agama Lokal 3.1.1 Mangharoan Mangharoan adalah kelahiran. Saat seorang wanita melahirkan, maka seorang suami akan menjatuhkan sebatang kayu besar dari atas atap rumah ke halaman, lalu si suami memotong-motongnya menjadi batang-batang kecil dengan menggunakan kapak. Dimana batang kayu tadi kemudian dibakar di tungku perapian tataring. Suara kapak yang untuk memotong kayu-kayu tersebut yang dilakukan oleh si suami tersebut merupakan tanda pengumumuman kepada seisi huta kampung bahwa seorang bayi telah lahir. Orang-orang sekampung akan bertanya kepada si suami songon dia? yang artinya “jenis kelaminnya apa? Maka si suami akan menjawab “si Butet” kalau bayi yang lahir adalah perempuan dan ‘si unsok” atau “si bursok” kalau bayi yang lahir adalah laki-laki. Jawaban yang diberikan oleh si suami tadi merupakan nama panggilan sementara menunggu adanya nama tetap yang akan ditentukan melalui upacara. Si suami kemudian mengambil beberapa tangkai daun jeruk yang disangkutkan disetiap sudut rumah yang didatangi sambil memberitahukan kelahiran sang bayi. Pada saat itu, para penghuni rumah juga akan menanyakan jenis kelamin si bayi. Kemudian orang-orang sekampung yang mendengar tentang kelahiran itu segera mengunjungi ibu yang baru melahirkan Simanjuntak dalam Koentjaraningrat, 1985: 57. Universitas Sumatera Utara