Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
2
perubahan-perubahan sosial dan merupakan masa yang digunakan untuk menjalin sebuah relasi dengan lawan jenisnya, meluangkan lebih banyak
waktu dengan teman sebaya dan pacaran bagi remaja seharusnya merupakan suatu bentuk lingkungan untuk belajar tentang relasi yang akrab Santrock,
1995. Salah satu tugas perkembangan yang harus dipenuhi remaja adalah
menjalin hubungan yang lebih matang dengan lawan jenis. Dua individu yang saling tertarik pada umumnya akan melanjutkan hubungan mereka dengan status
yang populer disebut pacaran Yuliandri. R, 2009. Beberapa alasan yang menyebabkan remaja akhirnya memutuskan untuk berpacaran antara lain
pacaran sebagai tempat untuk berbagi perasaan, belajar bergaul dengan lawan jenis, atau tempat untuk menginginkan
perhatian yang lebih. Melalui berpacaran, remaja bisa mengasah kemampuan bersosialisasi. Hubungan kasih
sayang juga semakin terjaga saat saling memberi saran dan bukan menyalahkan. Kemampuan bernegosiasi untuk menyelesaikan konflik dengan pasangan
bermanfaat untuk mempertahankan sebuah hubungan. Melalui pacaran remaja dapat belajar untuk menolerir perbedaan pendapat. Dalam usahanya untuk
mempertahankan sebuah hubungan, remaja putri yang berpacaran mengalami berbagai konflik yang dapat menimbulkan tindak kekerasan baik yang disadari
maupun tidak disadari oleh pelaku Dinastuti, 2008. Bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi dalam berpacaran antara lain,
kekerasan fisik seperti memukul, meninju, menendang, menjambak, mencubit PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
dan lain-lain. Kekerasan dalam hal ekonomi ketika seseorang mulai merasa dieksploitasi secara materi, diatur akses keuangan dan barang-barang.
Pasangan telah melakukan tindak kekerasan seksual apabila pasangan mulai meraba-raba atau mulai memaksa untuk melakukan hubungan seksual
Dinastuti dalam Cosmopolitan, 2005 Dari berbagai tindak kekerasan seperti kekerasan fisik, ekonomi dan
seksual, kekerasan non-fisik yang sering disebut sebagai kekerasan emosi, merupakan tindakan yang paling sering dijumpai dalam hubungan berpacaran
namun biasanya orang yang mengalami tindak kekerasan tersebut cenderung tidak menyadari bahwa mereka telah mengalami suatu tindak kekerasan.
Dimana kekerasan emosi adalah suatu keadaan emosi yang sengaja dibuat untuk mengendalikan pasangannya, dengan mempergunakan kata-kata untuk
menjatuhkan perasaan pasangannya sehingga membuatnya merasa tidak berharga, merasa bersalah, muncul perasaan tertekan, tidak bebas dan tidak
nyaman Kompas, 2008. Terjadi 151 kasus tindak kekerasan dalam pacaran antara tahun 1994-
1998 dan 74 kasus antara tahun 1999-2000 Rifka Annisa Women’s Crisis. Salah satu penelitian di Amerika menyebutkan bahwa dari 77 remaja sekolah
menengah mengaku mengalami tindak kekerasan saat sedang berpacaran, 66 dari mereka mengaku bahwa selain mengalami kekerasan, mereka juga
melakukan tindak kekerasan itu sendiri pada pasangan mereka . Dari sebuah penelitian yang diterbitkan oleh The Journal of Family Violence menemukan
4
bahwa terdapat 72 dari korban yang melaporkan adanya kekerasan emosi, khususnya tindakan mengejek dan mentertawakan pasangannya. PKBI
Yogyakarta mendapati dari bulan Januari hingga Juni tahun 2001 terdapat 47 kasus kekerasan dalam pacaran. 57 kekerasan emosi, 20 kekerasan
seksual, 15 kekerasan fisik dan 8 lainnya kekerasan ekonomi Kompas, 20 Juli 2002 dalam http:www.bkkbn.go.id. Pada tahun 2005 dari total
20.391 korban kekerasan, 16.615 adalah kasus kekerasan dalam keluarga dan relasi personal dan 653 adalah kekerasan dalam pacaran Komnas Perempuan,
2002. Banyak hal atau faktor yang mempengaruhi munculnya tindak
kekerasan emosi antara lain adalah adanya latar belakang seperti kebiasaan dalam keluarga yang berhubungan dengan pola asuh orang tua dimana
kekerasan sudah menjadi suatu perilaku yang dipelajari secara sosial. Teori belajar sosial ini apabila diterapkan pada fenomena kekerasan
dalam pacaran dapat menghasilkan dugaan bahwa pasangan yang melakukan kekerasan terhadap pasangannya kemungkinan pada masa lalu ketika masih
kanak-kanak pernah menyaksikan atau bahkan mengalami suatu tindak kekerasan itu sendiri. Dugaan ini didukung data dari hasil penelitian Geles
dan Sims Nurhayati, 1999 yang menyatakan bahwa perempuan yang menyaksikan penganiayaan terhadap perempuan ada kemungkinan untuk
lebih mentolelir penganiayaan ketika sudah dewasa. Pernyataan tersebut juga didukung oleh Luhulima dalam Goeritno, H., Soeharsono., Arsitasari, A. I,
5
2006 yang menyatakan bahwa anak-anak yang biasa hidup dalam kekerasan akan belajar bahwa kekerasan adalah cara penyelesaian masalah yang wajar
dan diperbolehkan, bahkan mungkin harus dilakukan. Anak laki-laki dapat berkembang menjadi laki-laki dewasa yang juga menganiaya istri dan
anaknya, dan anak perempuan dapat menjadi perempuan dewasa yang kembali terjebak menjadi korban kekerasan.
Berkowitz 1995 mengemukakan bahwa korban kekerasan memiliki kecenderungan pendiam dan kurang memiliki unsur kekuasaan dalam arti
jabatan, baik dalam lingkungan keluarga, tempat kerja dan sebagainya. Kekerasan apapun bentuknya adalah sesuatu hal yang akan mengakar dan
akan terjadi berulang Ridwan, 2006. Dampak kekerasan emosi yang dialami remaja putri apabila remaja
putri mempunyai rasa percaya diri yang rendah, remaja putri yang sering diejek akan merasa segala hinaan terhadap dirinya benar. Akibatnya remaja
putri menjadi minder, merasa tidak berharga dan suka menyendiri. Depresi, berkurangnya motivasi, kebingungan, kesulitan konsentrasi atau membuat
keputusan, rendahnya kepercayaan diri sendiri dan menghancurkan diri sendiri Engel dalam Dinastuti, 2008.
Ketika remaja putri mulai memiliki prasangka buruk terhadap diri sendiri, dan merasa takut untuk menyatakan atau melakukan sesuatu karena
mungkin beranggapan bahwa telah melakukan sesuatu yang salah adalah satu ciri dari korban kekerasan emosi. Apabila tindakan tersebut berlangsung
6
dalam waktu yang cukup lama dan remaja putri mulai terbiasa dengan hal itu, maka timbul keyakinan dalam diri untuk mulai mempercayai kata-kata
pasangan tersebut, yang kemudian berefek pada self estem yaitu munculnya rasa besalah pada diri sendiri, malu dan sebagainya.
Berdasarkan pemikiran diatas, maka peneliti ingin mengetahui lebih lanjut dalam hal ini tentang seberapa besar gambaran tingkat kekerasan emosi
yang dialami remaja putri dalam hubungan berpacaran?