9
BAB II DIMENSI RELIGIUS PENDIDIKAN DAN MINAT BELAJAR
MATA PELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK
Bab ini merupakan kajian pustaka yang berisi penjelasan mengenai dimensi religius pendidikan dan minat belajar mata pelajaran Pendidikan
Agama Katolik PAK. Pada bagian pertama, penulis akan membahas dimensi religius pendidikan yang meliputi latar belakang keterlibatan Gereja dalam
dunia pendidikan. Berikutnya, penulis akan menjelaskan makna dimensi religius pendidikan bagi sekolah Katolik, yaitu katolisitas dan aspek-aspek
dimensi religius pendidikan. Bagian kedua bab ini berisi pengertian minat belajar dan hal ikhwal
mata pelajaran PAK. Secara rinci, bagian ini berisi pengertian minat belajar, macam minat belajar dan faktor yang mempengaruhi minat belajar.
Berikutnya, penulis akan menjelaskan kajian mengenai mata pelajaran PAK yang meliputi hakikat, tujuan dan konteks PAK.
Pada bagian akhir bab ini, penulis akan menjelaskan hubungan antara dimensi religius pendidikan dengan minat belajar mata pelajaran PAK.
A. Dimensi Religius Pendidikan
1. Pandangan Gereja terhadap Pendidikan
Sejak Konsili Vatikan II, Gereja mulai terbuka pada kenyataan yang dihadapi dunia. Gereja sebagai bagian dari masyarakat dunia tidak dapat
melepaskan diri dari kenyataan dunia, sebagaimana diungkapkan dalam GS art. 1, “kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman
10
sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka, dan kecemasan p
ara murid Kristus juga.” Sebagai salah satu bentuk kepedulian Gereja pada dunia, Gereja memberikan
pandangan tentang prinsip dasar pendidikan melalui dokumen Gravissimum Educationis
GE yang dipublikasikan sejak tanggal 28 Oktober 1965. Pada bagian pendahuluan GE, Gereja menyatakan bahwa pendidikan
dianggap sebagai hal yang mempunyai dampak yang makin besar atas masyarakat zaman sekarang. Pada zaman sekarang, manusia merasa perlu
untuk mencapai kepenuhan dirinya sebagi pribadi agar martabatnya diakui. Kepenuhan pribadi manusia tersebut berhubungan dengan hakikat manusia
yang diciptakan secitra dengan Allah. Sebagai makhluk yang secitra dengan Allah, manusia diciptakan sungguh amat baik Kej 1:31 karena dibekali
dengan daya cipta, rasa dan karsa yang melekat pada manusia. Daya ini perlu dikembangkan dan diarahkan agar manusia mencapai kepenuhan hidup dan
dengan demikian martabatnya diakui. Guna mencapai kepenuhan hidup, pendidikan adalah cara yang tepat
sebab tujuan pendidikan adalah, ”mencapai pembinaan pribadi manusia dalam
perspektif tujuan terakhirnya demi kesejahteraan kelompok-kelompok masyarakat, mengingat bahwa manusia termasuk anggotanya dan bila sudah
dewasa ikut berperan menunaikan tugas kewajibannya ” GE, art. 1.
Berdasarkan pernyataan tersebut, pendidikan bertujuan agar manusia mencapai kepenuhan sebagai pribadi dan agar manusia mampu mengambil bagian dalam
mewujudkan kesejahteraan bersama.
11
Tujuan pendidikan
bersifat umum.
Pendidikan perlu
juga mengembangkan kedalaman hidup manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
GE art. 2 menerangkan mengenai pendidikan Kristen: Pendidikan tidak hanya bertujuan pendewasaan pribadi manusia
seperti telah diuraikan, melainkan terutama hendak mencapai, supaya mereka yang telah dibaptis langkah demi langkah makin mendalami
misteri keselamatan dan menyadari karunia iman yang telah mereka terima... supaya dengan demikian mereka mencapai kedewasaan penuh,
serta tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus, dan ikut serta mengusahakan per
tumbuhan Tubuh Mistik.” Tujuan pendidikan Kristen tidak berlawanan dengan tujuan pendidikan secara
umum melainkan semakin menyempurnakan dan memberi arah khusus pendidikan. Jika tujuan pendidikan secara umum yaitu mencapai kepenuhan
sebagai pribadi dan terlibat dalam usaha membangun kesejahteraan bersama, maka pendidikan Kristen semakin melengkapi tujuan umum tersebut, yaitu
kepenuhan hidup dalam Kristus dan mengusahakan kesejahteraan bersama demi pembangunan Tubuh Mistik Kristus.
Tujuan pendidikan tersebut dapat dicapai dengan melibatkan pihak- pihak tertentu. Mardiatmaja dalam Adisusanto, 1995: 21 mengatakan bahwa
pendidikan adalah “usaha bersama dalam proses terpadu terorganisir untuk membantu manusia mengembangkan diri dan mempersiapkan diri guna
mengambil tempat semestinya dalam pengembangan masyarakat dan dirinya di hadapan manusia.” Berdasarkan pernyataan tersebut pendidikan diwujudkan
melalui sebuah lembaga pendidikan misalnya sekolah sebab dalam lembaga tersebut ada sebuah proses yang sistematis misalnya kurikulum berisi
pembekalan-pembekalan agar manusia mampu mengembangkan dirinya dan
12
terlibat dalam pembangunan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, sekolah merupakan alat yang tepat untuk melaksanakan pendidikan.
Bagi Gereja, keberadaan sekolah dipandang positif, “Gereja mengakui bahwa di antara segala upaya pendidikan, sekolah mempunyai makna yang
istimewa.” Pengakuan Gereja akan pentingnya sekolah ini mendorong Gereja untuk mendirikan sekolah-sekolah. Tujuan Gereja mendirikan sekolah-sekolah
adalah, “untuk memajukan pembentukan manusia seutuhnya, mengingat sekolah adalah pusat pengembangan dan penyampaian konsepsi tertentu
menge nai dunia, manusia, dan sejarah” KWI-MNPK, 1991: 16. Melalui
pernyataan tersebut Gereja menegaskan bahwa sekolah merupakan sarana yang penting sebab dalam sekolah manusia dibentuk melalui proses pendidikan dan
sekolah menyampaikan nilai-nilai tertentu yang memampukan siswa menyadari karya keselamatan Allah yang nyata dalam dunia, manusia, dan
sejarah. “Kehadiran Gereja dalam sekolah nampak melalui sekolah Katolik”
GE, art. 8. Sekolah Katolik tidak membedakan dirinya dari sekolah lain sebab sekolah Katolik juga menyelenggarakan pendidikan bagi kaum muda.
Ciri khusus dari sekolah ini, pertama-tama karena adalah penggunaan kata Katolik. Menurut Go 1992: 11, penggunaan kata Katolik ini merupakan tanda
pengenal dan atribut Gereja. Tanda pengenal dan atribut ini bukan semata-mata karena ada kata Katolik melainkan karena sekolah menampakkan ciri-ciri
tertentu yang dapat melekat pada Gereja sehingga melalui ciri tersebut orang- orang dapat mengetahui bahwa Gereja hadir dalam sekolah tersebut.
13
Ciri khas yang dapat menyebabkan sekolah disebut sekolah Katolik adalah,
“menciptakan lingkungan hidup bersama di sekolah, yang dijiwai oleh semangat Injil kebebasan dan cinta kasih, dan membantu kaum muda
supaya dalam mengembangkan kepribadian mereka sekaligus berkembang
sebagai ciptaan
baru,...... mengarahkan
seluruh kebudayaan manusia akhirnya kepada pewartaan keselamatan sehingga
pengetahuan yang secara berangsur-angsur diperoleh para siswa tentang dunia, kehidupan dan manusia disinari oleh Terang Iman
” GE, art. 8. Secara garis besar, sekolah Katolik dikenal karena iklimnya yang penuh cinta
kasih dan adanya terang iman dalam usaha sekolah untuk mendidik siswanya. Iklim ini menjadi identitas yang menunjukkan bahwa sekolah tersebut adalah
sekolah Katolik. Secara lebih tegas lagi tertulis dalam KWI-MNPK 1991: 83 bahwa “yang membedakan sekolah Katolik dari sekolah lain adalah dimensi
religiusnya.”
2. Pengertian Dimensi Religius Pendidikan
a. Pengertian Umum
Hingga saat ini masih belum ada pandangan resmi mengenai pengertian dimensi religius pendidikan, baik dari kalangan ilmuwan yang bergerak di
bidang pendidikan maupun dari kalangan Gereja. Pengertian dimensi religius pendidikan yang dijelaskan di sini berupa pengertian secara etimologi.
Etimologi adalah “cabang ilmu bahasa yang meneliti asal-usul dan perubahan bentuk kata-kata suatu bahasa atau kelompok bahasa
” Shadily, 1980: 973. Dimensi religius pendidikan akan dibahas berdasarkan asal-usul katanya dan
berdasarkan kata-kata yang menyusunnya.
14
Dimensi, menurut Shadily 1980: 283 berasal dari bahasa Inggris dimension yang berarti ukuran. Pengertian kata ini tergantung dari pilihan
susunan deskriptif kata yang bersangkutan, misalnya dimensi sosial yang berarti ukuran sosial. Kata dimensi juga menyatakan jumlah ukuran, misalnya
sebuah gambar yang disebut tiga dimensi maksudnya gambar tersebut dapat dilihat dari tiga segi yang berbeda.
Kata religius, menurut Groome 2010: 32 berasal dari kata religious bahasa Inggris yang berarti bersifat keagamaan. Kata religius menunjukkan
adanya keterkaitan hal-hal tertentu dengan sebuah agama. Eliade 1987: 283 menggunakan istilah religion sebagai identitas khusus yang menunjukkan
keterikatan dalam sebuah kelompok yang dapat membedakan kelompok tersebut dari kelompok lain dalam hal pemujaan;
“a bound of scruple uniting those who shared it closely to each other. Hence religion suggests both
separation and separative fellowship.” Schleirmacher dalam Eliade, 1987: 283 mengatakan hal yang berbeda,
“religion as a feeling of absolute dependence
– absolute as contrasted to other, relative feelings of dependence.” Hal ini berarti agama sebagai ungkapan kebebasan manusia dalam menanggapi
perwahyuan ilahi. Pada intinya, religius berarti hal yang berhubungan dengan kebebasan manusia dalam menjawab wahyu ilahi dan menunjukkan ciri
keagamaan tertentu. Kata pendidikan, menurut Shadily 1984: 2627 berasal dari kata
educare bahasa Latin yang berarti membimbing ke luar. Pendidikan
merupakan proses membimbing manusia dari kegelapan kebodohan menuju
15
kecerahan pengetahuan. Dalam arti luas, pendidikan baik yang formal maupun informal meliputi segala usaha memperluas pengetahuan manusia tentang
dirinya sendiri dan tentang dunia di mana mereka hidup. Shadily mengklasifikasikan pendidikan menjadi tiga bentuk. Pertama, pendidikan yang
berupa paksaan, disebut presur. Kedua, pendidikan yang dimaksudkan untuk membentuk kebiasaan dan dilakukan secara sadar oleh anak didik, disebut
latihan. Ketiga, pendidikan yang dimaksud untuk membentuk kata hati, di mana anak didik diajar berbuat menurut kesanggupan sendiri, menentukan
kelakuan menurut tanggung jawab sendiri pula. Cremin dalam Groome, 2010: 29 memberikan penjelasan yang lebih
lengkap mengenai pendidikan. Cremin menerangkan pendidikan sebagai usaha yang sengaja, sistematis dan terus menerus untuk menyampaikan,
menimbulkan, atau memperoleh pengetahuan, sikap-sikap, nilai-nilai, keahlian- keahlian, atau kepekaan-kepekaan, juga setiap akibat dari usaha itu. Pendapat
Cremin ini memberikan gambaran mengenai unsur-unsur dalam sebuah pendidikan yang secara riil dapat dilihat di sekolah. Unsur kesengajaan dalam
pendidikan diwujudkan melalui perencanaan pengajaran, unsur sistematika dapat dilihat dari adanya kurikulum, unsur tindakan yang berkesinambungan
dilihat dari adanya penjenjangan tingkat pendidikan dari SD hingga SMA. Akhirnya, secara etimologi, dimensi religius pendidikan dapat diartikan
sebagai berikut: sebuah ukuran yang bersifat keagamaan tertentu dalam konteks usaha mendewasakan manusia. Dimensi dinyatakan melalui aspek-
aspek tertentu yang dapat diukur. Religius dinyatakan melalui ciri khas agama
16
tertentu yang mewarnai lingkungan dan iklim. Pendidikan dinyatakan melalui usaha-usaha yang membimbing siswa menuju kepenuhan kedewasaan sebagai
pribadi.
b. Katolisitas sebagai Esensi Dimensi Religius Pendidikan
Go 1992: 25 mengatakan bahwa, “dimensi religius pendidikan atau aspek religius sekolah Katolik adalah iman Katolik.” Pernyataan ini
mengandung pengertian bahwa iman Katolik diejawantahkan dalam dinamika kehidupan sekolah. Untuk itu, perlu terlebih dahulu dijelaskan makna kata
Katolik itu sendiri agar setelah mengetahui makna kata tersebut, perwujudannya akan semakin mudah ditengarai.
Katolik berasal dari dua kata Yunani, yaitu kata dan holos. Kata berarti setiap, berdasarkan, termasuk, dan seperti. Holos berarti keseluruhan atau
setiap orang. Dengan demikian secara etimologi, Katolik berarti adanya sesuatu yang bersifat menyeluruh dan berlaku bagi semua orang. Karena
berlaku untuk semua orang, maka Katolik juga berarti welcoming everyone seperti yang diungkapkan oleh Groome 1998: 397,
“Catholic is the one closest to its etimology
–welcoming everyone-“ Hal ini menyiratkan adanya unsur penerimaan dan keterbukaan atas setiap pribadi. Unsur ini menjadi salah
satu tanda yang mencirikan sifat Katolik. Keterbukaan dan penerimaan, yang oleh Groome disebut welcoming
everyone sebenarnya sudah menjadi ajaran yang terdapat dalam Kitab Suci.
Pertama, iman Kristiani mengajarkan agar kita mengasihi sesama Groome, 1998: 396. Ajaran ini diberi contoh dalam Yes 58:7, di mana disebutkan
17
bahwa orang beriman yang sejati tidak pernah memalingkan punggung terhadap sesamanya. Orang beriman didorong untuk bersikap terbuka pada
siapa pun, merangkul siapa pun meski berbeda dan mengasihi sesama. Dengan mengasihi sesama, orang beriman telah mengasihi Tuhan 1 Yoh 4:12.
Welcoming everyone di sini berarti tindakan kasih yang tidak membeda-
bedakan. Kedua, tindakan welcoming everyone bersumber dari Amanat Agung
Yesus Mat 28:19, yaitu amanat bagi para Rasul untuk menjadikan semua bangsa murid-Nya. Sesudah kebangkitan Yesus, para rasul memberitakan
Kabar Gembira tidak hanya kepada orang Yahudi, namun kepada bangsa di luar Yahudi pula. Peristiwa Pentakosta Kis 2:1-11 menunjukkan bagaimana
semua bangsa diterima dan diberi karunia Roh Kudus. Peristiwa ini menjadi tonggak berdirinya Gereja. Dengan demikian, Gereja sejak awal berdiri sudah
bersifat terbuka dan menerima semua bangsa. Penggunaan kata Katolik melekat dengan kata Gereja. St. Sirilus dari
Yerusalem dalam Groome, 1998: 398 mengatakan, “Church is Catholic
because its confined to no one place or nation, welcomes every people of every class, forgives every kind of sin, and promotes every kind of virtue.” Pendapat
ini memberikan beberapa tanda bagaimana Gereja itu disebut Katolik. Pertama, Gereja tidak terikat pada tempat atau bangsa tertentu. Kedua, Gereja terbuka
bagi setiap orang dari kelas sosial mana pun. Ketiga, adanya unsur kasih yang memungkinkan adanya pengampunan atas segala kesalahan. Terakhir, Gereja
mendukung kebenaran dan terbuka terhadap perkembangan zaman. Tanda-
18
tanda ini yang terus menerus diperjuangkan oleh Gereja hingga saat ini. Adanya Konsili Vatikan II menjadi tanda bahwa Gereja mulai
memperjuangkan ciri kekatolikannya. St. Vincentius dalam Groome, 1998: 398 mengatakan bahwa Gereja
Katolik itu, “believed everywhere, always and by all.” Pendapat ini
menunjukkan adanya unsur otentisitas yang menyebabkan Gereja itu dipercaya di mana pun; unsur kesinambungan always sehingga ajaran-ajaran, tradisi dan
ritusnya lestari dari zaman ke zaman; juga unsur keterbukaan by all. Maka Gereja Katolik itu dipercayai di mana pun, selalu dan oleh siapa pun. Secara
ringkas, arti kata Katolik memiliki kesepadanan dengan sebuah istilah yang diungkapkan oleh Groome welcoming everyone.
Groome 1998: 394 mengatakan bahwa menjadi Katolik merupakan suatu lifetime journey. Sebagai sebuah perjalanan seumur hidup, ada tanda-
tanda yang
menunjukkan bahwa
seseorangkelompok menghayati
kekatolikannya. Groome 1998: 413 memberikan gambaran berupa tujuh kedalaman seven depth yang berupa:
“...love for all people with commitment to their welfare, rights and justice. It welcomes human diversity, is open to learn from other
traditions, and lives in solidarity with all humankind as brother and sister. A Catholic cherishes her or his particular and roots of identity
while reaching for an open horizon and global consciousness. A Catholic community is radically inclusive of diverse peoples and
perspective; is free of discrimination and sectarian sentiment; and
welcomes “the stranger” with outreach, especially to those most in need.”
Berdasarkan pernyataan di atas, tujuh kedalaman seven depth yang menandakan seorangkelompok yang menghayati kekatolikannya yaitu: adanya
19
rasa cinta yang berlaku untuk semua orang, adanya usaha untuk mewujudkan kesejahteraan bersama, terbuka terhadap berbagai perbedaan, solidaritas
sebagai satu saudara, keterbukaan terhadap kebudayaan global dengan tetap berpegang pada nilai-nilai dasar, merangkul semua terutama yang
membutuhkan dan pada akhirnya hidup mereka menjadi inklusif. Karakter kekatolikan ini mendapat sumber inspirasi dari kehidupan
Jemaat Perdana Kis 2:41-47. Jemaat Perdana ini memberi kesaksian melalui penghayatan dalam hidup mereka yang menunjukkan karakter kekatolikan.
“Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa. Dan
semua orang yang telah menjadi percaya tetap bersatu, dan segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama, dan selalu ada dari
mereka yang membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing. Dengan bertekun dan dengan sehati mereka
berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan
gembira dan dengan tulus hati sambil memuji Allah. Dan mereka disukai semua orang.
” Kisah Jemaat Perdana ini menunjukkan bagaimana iman Katolik itu dihayati
dalam dinamika hidup. Penghayatan tersebut menyebabkan jemaat memiliki sebuah karakter khusus yang memungkinkan orang-orang menyebut mereka
Katolik. Karakter tersebut disebut katolisitas. Go 1995: 10 mengatakan, “isi
katolisitas dapat dilihat dalam seluruh iman dan hidup Gereja Katolik seperti dikonkretkan oleh Jemaat Perdana.”
Jemaat Perdana memberikan gambaran mengenai tanda-tanda katolisitas melalui beberapa bidang. Pertama, bidang koinonia persaudaraan
di mana jemaat bertekun dalam persekutuan, adanya kegiatan berkumpul bersama, bertekun dan sehati, gembira serta tulus hati. Kedua, bidang kerygma
20
pewartaan di mana Jemaat bertekun dalam pengajaran rasul-rasul. Ketiga, bidang leiturgia peribadatan di mana jemaat memecahkan roti secara bergilir.
Keempat, bidang diakonia pelayanan di mana jemaat saling memenuhi kebutuhan dan berbagi. Terakhir, bidang marturia kesaksian, jemaat bersaksi
melalui cara hidup mereka yang disukai semua orang. Katolisitas sebagaimana digambarkan dalam kisah Jemaat Perdana
tersebut menjadi “inspirasi, motivasi dan animasi bagi sekolah Katolik dalam medan baktinya” Go, 1995: 11. Katolisitas tersebut diterjemahkan dalam
dinamika keseharian sekolah Katolik sehingga menjadi sebuah ciri khusus yang memungkinkan orang mengatakan bahwa sekolah tersebut adalah sekolah
Katolik meski kata Katolik tidak disebutkan secara langsung dalam nama sekolah.
Cerita pengalaman Groome dalam Heryatno, 2008: 11 ketika mengunjungi sekolah St. Joseph di Karachi Pakistan memberi ilustrasi
bagaimana sekolah tersebut menghayati katolisitas. Sekolah St. Joseph berada di Pakistan yang mana mayoritas penduduknya adalah kaum Muslim. Sekolah
ini bernaung di bawah Yayasan Katolik namun tidak menampakkan kekatolikan secara lahiriah. Kekatolikan nampak dalam iklim yang dibangun.
Sekolah ini menggarisbawahi martabat setiap pribadi, memberi penghormatan kepada siswa laki-laki maupun perempuan, mendorong mereka
berkembang secara positif, menekankan suasana persaudaraan dan kesetiakawanan. Semua staf menekankan pentingnya setiap siswa untuk
memiliki sikap hidup yang peduli pada kebersamaan, terutama pada usaha
21
mewujudkan kerukunan, menegakkan perdamaian dan keadilan, serta penghormatan kepada mereka yang berbeda. Mereka juga menjunjung tinggi
kedisiplinan dan menjaga mutu akademis. Peserta didik dibekali keutamaan dan kebijaksanaan agar hidup dan
tindakan mereka bermakna bukan hanya bagi diri sendiri namun terlebih bagi sesama. Staf sekolah yakin bahwa itulah spiritualitas Injil yang menjiwai dan
menggerakkan cara hidup mereka bersama. Mereka mengkomunikasikan dan menghayati nilai-nilai Injili di dalam seluruh kegiatan.
Secara singkat, sekolah ini mengusahakan pendidikan yang bersifat utuh dalam bentuk pelayanan yang total kepada semua siswanya sehingga
aspek pelayanandiakonia sungguh nyata. Pelayanan itu didukung dengan suasana persaudaraan yang penuh kasih aspek persekutuankoinonia dengan
berpegang pada nilai Injil aspek pewartaankerygma. Sekolah juga mendorong siswanya untuk berguna bagi sesama aspek kesaksianmarturia.
Aspek leiturgiaperibadatan bagi sekolah ini berlaku bagi mereka yang beriman Katolik karena tidak semua murid di sekolah ini adalah Katolik. Kisah
sekolah St. Joseph ini semakin mempertajam makna katolisitas sebagai esensi dimensi religius pendidikan di sekolah Katolik dan aspek-aspeknya.
3. Aspek-aspek Dimensi Religius Pendidikan Sekolah Katolik
KWI-MNPK 1991: 81 menyatakan aspek dimensi religius pendidikan sekolah Katolik meliputi:
“Lingkungan paguyuban sekolah yang dijiwai semangat kebebasan dan cinta kasih Injili, membantu tunas muda agar dalam mengembangkan
pribadinya serentak pula bertumbuh menurut ciptaan baru, yang
22
merupakan keadaan mereka berdasarkan permandian, mengarahkan seluruh kebudayaan yang perlahan-lahan diperoleh murid tentang dunia,
kehidupan dan manusia diterangi oleh iman. ”
Pernyataan tersebut selaras dengan yang tertulis dalam GE art. 8 tentang ciri khas sekolah Katolik. Hal ini menunjukkan bahwa dimensi religius pendidikan
adalah ciri khas sekolah Katolik, yang disebut katolisitas. Pernyataan di atas menunjukkan hal-hal yang menunjukkan katolisitas tersebut, yaitu: lingkungan
sekolah yang penuh cinta kasih, pelayanan sekolah untuk membantu siswa bertumbuh secara penuh, adanya usaha dari sekolah untuk terbuka pada
kebudayaan dunia dengan tetap berpegang pada iman, dan adanya terang iman dalam segala dinamika. Pernyataan KWI-MNPK ini cenderung bersifat
konseptual. Lantieri mengistilahkan dimensi religius pendidikan dengan schools
with spirit . Schools with spirit merupakan gambaran sekolah yang memiliki
jiwa yang mencirikan katolisitas. Pertama, keunikan setiap individu dihargai dan pendidikan dilihat sebagai proses seumur hidup. Kedua, murid dan guru
terlibat dalam pembelajaran di mana mereka bereksplorasi dan menemukan sendiri yang berarti bagi diri dan sesuai dengan hatinya serta adanya
penghargaan atas perbedaan cara memahami. Ketiga, pemimpin sekolah bukan pusat kekuasaan namun dia terbuka pada setiap individu agar setiap individu
mampu menolong dan menata dirinya sendiri. Keempat, schools with spirit diibaratkan permainan sepakbola dengan adanya pengakuan akan kerja sama
serta penghargaan atas sesama anggota komunitas sekolah. Kelima, sekolah peduli akan ekologi dan tanggung jawab sosial. Keenam, sekolah
23
mengusahakan perluasan kemampuan dengan intuisi, imajinasi, dan kreativitas. Ketujuh, sekolah menyediakan tempat dan saat untuk diam dan tenang yang
memungkinkan setiap individu tertolong untuk menghadapi kekacauan kompleksitas kehidupan sekolah dan mendorong individu mengalami
persentuhan dengan kedalaman jiwa. Terakhir, sekolah memberi perhatian akan keunikan siswanya dalam menghadapi tujuan hidupnya.
Pendapat Lantieri di atas, bersifat lebih operasional. Dia juga melihat bahwa dimensi religius pendidikan bukan semata bersifat top down namun
lebih berupa kerja sama antara siswa, pemimpin sekolah bahkan lingkungan sekitar.
Aspek dimensi religius pendidikan di sekolah Katolik semakin dipertajam Miller dalam katolisitas.org, 2015 yang mengatakan ciri-ciri khas
sekolah Katolik adalah, “diinspirasikan oleh visi adikodrati, didirikan atas
dasar antropologi Kristiani, dihidupi oleh kesatuan persekutuan dan komunitas, diresapi oleh pandangan Katolik di seluruh kurikulumnya, dan didukung oleh
kesaksian Injil. ” Pendapat Miller ini senada dengan pola hidup Jemaat Perdana
Kis 2:41-47 yang telah dibahas dalam bagian sebelumnya. Pola hidup Jemaat Perdana memberikan gambaran aspek-aspek dari katolisitas.
Berdasarkan berbagai penjelasan di atas, penulis menyimpulkan aspek dimensi religius pendidikan di sekolah Katolik katolisitas adalah: koinonia
persekutuan, diakonia pelayanan, kerygma pewartaan Kabar Gembira, leiturgia
peribadatan, dan marturia kesaksian.
24
a. Aspek Koinonia: Sekolah Mengembangkan Persekutuan
Koinonia menjadi gagasan yang penting dalam rangka pembaruan
Gereja sejak Konsili Vatikan II. Gambaran Jemaat Perdana yang rukun bersatu sehati sejiwa Kis 2:41 ingin diperjuangkan oleh Gereja. Sebagaimana Gereja
memperjuangkan koinonia maka sekolah Katolik yang menghadirkan Gereja selayaknya juga memperjuangkan hal yang sama.
Suasana yang dibangun sekolah Katolik adalah iklim yang didasarkan pada ajaran Yesus sendiri, yaitu cinta kasih dan berpangkal pada penghargaan
atas pribadi manusia. Suasana ini dibangun melalui relasi yang penuh cinta kasih antara guru, siswa, dan warga sekolah yang lain. Suasana yang demikian
memungkinkan siswa untuk “mengalami suatu lingkungan baru, yaitu lingkungan yang dijiwai Roh cinta kasih dan kebebasan Injili” KWI-MNPK,
1991: 81. Sebagai sebuah persekutuan, sekolah Katolik menggambarkan cinta
Bapa yang universal: peduli kepada semua orang. Groome 1998: 400 berpendapat
“the overarching biblical witness, then, is that God takes all humankind into loving partnership.” Allah menghendaki agar semua umat
manusia saling mencintai. Persekutuan dalam sekolah Katolik menjadi nyata ketika semua warganya hidup saling mencintai. Cinta yang dimaksud adalah
seperti cinta Bapa yang tidak membeda-bedakan dan menjadikan warga sekolah sebagai satu keluarga. Sebagai satu keluarga, warga sekolah tidak lagi
memandang apakah seseorang itu termasuk dalam kelompoknya atau bukan namun semua bersikap menerima dan terbuka, sebagaimana dikatakan Groome
25
dalam bagian selanjutnya: “there should never be „us and them‟ but only „we‟
bonded as human family.” Aspek koinonia ini didasarkan pada antropologi Kristiani, di mana
manusia diciptakan secitra dengan Allah dan baik adanya Kej 1:31. Setiap warga sekolah adalah ciptaan Allah yang memiliki kebaikan di balik setiap
keunikannya, maka yang diperlukan adalah pemikiran yang positif. Groome 1998: 403 mengatakan bahwa katolisitas dalam sekolah itu tercermin
“in a positive anthropology that affirms the essential goodness of all people and
engages the whole person in the teachinglearning process.” Proses belajar dan mengajar dalam sekolah menjadi sarana yang mendorong semua siswa untuk
terlibat dengan segala kelebihan dan kekurangan mereka. Suasana yang penuh cinta kasih dalam sekolah ini menjadi sebuah iklim
komunitas. Sebagai sebuah komunitas, Groome 1998: 406 memberi pendapat mengenai aspek komunal, di mana dikatakan “untuk menjadi Katolik, tidak
saling memisahkan dir i dari komunitas.” Pendapat ini dilihat dari berbagai
segi. Pertama, semua warga sekolah menyadari adanya keterikatan satu sama lain di mana semua saling mendukung untuk berkembang dalam iman. Kedua,
sekolah Katolik sendiri tidak dapat melepaskan diri dari pihak-pihak yang mendukungnya stake holder, yaitu orang tua siswa, masyarakat, dan Gereja.
Untuk itu diperlukan kerja sama yang bersifat intern maupun ekstern. Kerja sama ini, sebagaimana digambarkan oleh Lantieri 2001: 8 seperti kerja sama
dalam sebuah kelompok sepakbola, yaitu kemitraan untuk mencapai tujuan bersama.
26
Aspek koinonia ini pada akhirnya bermuara pada sikap inklusif. Sikap inklusif ini dijelaskan oleh Groome 1998: 410 sebagai berikut,
“Catholic Christianity embraces great diversity and brea
dth of perspective.” Katolisitas dalam sekolah Katolik berarti merangkul berbagai keragaman dan memperluas
cara pandang warga sekolah. Dalam sebuah komunitas, pasti terdapat berbagai perbedaan dan kepentingan, demikian pula di sekolah Katolik. Iman Katolik
mengajarkan agar pengikut Yesus bersedia bersikap baik dan terbuka terhadap orang yang berbeda dengan dirinya maupun pandangannya. Kisah orang
Samaria yang murah hati Luk 10:25-37 menjadi landasan sikap inklusif ini. Dapat disimpulkan bahwa aspek koinonia dalam sekolah Katolik
nampak dari beberapa indikator yang disampaikan Kevin Treston dalam Go, 1995: 23-24 sebagai berikut:
“The sense of Christian community in the school forms a context for pastoral care. Some features of school as Christian community include:
sense of belonging, spirit of co-operation, reconciliation, open leadership, atmosphere conducive to learning, optimistic place,
opportunities to share experiences, persons of Jesus to be foundation of its character, respect for the perso
ns who is madein God‟s image, failure is acknowledge, reviews and evaluations of school as
community, ongoing development, celebration times.”
b. Aspek Diakonia: Sekolah Memberikan Pelayanan untuk
Perkembangan Pribadi Siswa secara Utuh
Aspek diakonia dapat dirangkum sebagai sebuah layanan sekolah untuk siswanya agar mengalami perkembangan secara utuh. Aspek diakonia ini
sejalan dengan misi sekolah Katolik seperti diungkapkan dalam KWI-MNPK 1991: 4, yaitu:
27 “Membina bakat-bakat intelektual dengan perawatan yang tekun,
mengembangkan kemampuan menilai dengan tepat, mengantar ke dalam warisan budaya yang diperoleh dari angkatan-angkatan
terdahulu,
mengembangkan kepekaan
terhadap nilai-nilai,
mempersiapkan kehidupan profesi, memupuk antara murid-murid dengan bakat dan dari lapisan yang berbeda-beda, pergaulan yang
akrab, yang melahirkan kesediaan untuk saling memahami.” Berdasarkan pernyataan di atas, sekolah Katolik menyediakan layanan untuk
mewujudkan keterpaduan antara segi kognitif, afektif, dan psikomotorik. Layanan ini merupakan usaha yang memungkinkan siswa mampu melihat diri
dan sesamanya sebagai pribadi, yaitu ciptaan yang mempunyai kodrat fisik dan spiritual. Maka dinamika layanan di sekolah Katolik mempunyai tujuan yang
berdimensi baik fisik maupun spiritual. Layanan sekolah Katolik mempunyai tujuan ganda, yaitu “membina
laki-laki dan wanita ke arah kesempurnaan manusia dan kesempurnaan Kristen serta menolong mereka menjadi matang dalam
iman” KWI-MNPK, 1991: 95. Tujuan ganda ini penting sebab saat ini situasi hidup kaum muda bersifat
mendua. Heryatno 2003: 15 mengatakan bahwa “kaum muda menjadi harapan sekaligus mereka juga dikhawa
tirkan.” Kaum muda, termasuk siswa, saat ini berada dalam zaman yang dibanjiri informasi sekaligus zaman yang
penuh ketidakpastian. Kaum muda hidup dalam kecemasan, kebingungan dan kekhawatiran akan masa depannya.
Sekolah Katolik diharapkan menjadi “pusat pelaksanaan falsafah pendidikan yang memperhatikan kebutuhan kaum muda sekarang, yang
diterangi oleh amanat Injil” KWI-MNPK, 1991: 90. Sekolah Katolik dalam segala pelayanannya berusaha untuk mendukung siswa menemukan kesejatian
28
dirinya sebagai ciptaan Tuhan yang bermartabat. Siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan diri secara kognitif melalui kegiatan belajar
mengajar, afektif melalui hubungan antar pribadi, dan psikomotorik melalui berbagai kegiatan yang bersifat fisik, ekstrakurikuler, out bond, dll. Semua
segi ini merupakan kesatuan yang utuh, maka layanan di sekolah Katolik tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Peranan guru dalam layanan di sekolah Katolik juga penting. Groome 1998: 417 berpendapat,
“real Catholic educators stimulate a insatiable curiosity, a determination to go on mining the inexhaustible mysteries of life.”
Guru Katolik yang sejati merangsang siswanya untuk terus menerus menggali kedalaman kehidupan. Dia akan membawa siswa untuk mengalami keinginan
yang terus menerus untuk memahami misteri kehidupan. Dengan demikian, siswa akan terus menerus belajar seumur hidupnya. Groome mengistilahkan
hal ini sebagai habitus of lifelong learning 1998: 418. Lantieri 2001: 15 mengatakan beberapa poin yang menunjukkan
lembaga sekolah yang dapat memberi kontribusi bagi pembentukan kaum muda. Pertama, adanya pelayanan kepada sesama warga sekitar sejam atau
lebih dalam seminggu. Kedua, komunitas menyediakan waktu sekitar satu jam per minggu untuk kegiatan religius. Ketiga, menyediakan waktu sekitar tiga
sampai empat jam seminggu untuk kegiatan kreatif berlatih musik, teater atau seni. Keempat, adanya nilai-nilai untuk menolong sesama. Kelima, adanya
kesatuan antara tindakan dan iman. Keenam, adanya kejujuran meski sulit untuk dikatakan. Ketujuh, adanya kemampuan untuk meredam kekuatan
29
personal yang meledak-ledak. Kedelapan, adanya kemajuan dalam mencapai tujuan hidup. Terakhir, adanya cara pandang yang positif tentang masa depan.
Pendapat Lantieri tersebut secara tidak langsung menunjukkan bahwa aspek diakonia di sekolah Katolik tidak hanya ditujukan pada warga sekolah
namun juga kepada sesama di sekitarnya. Pelayanan kepada sesama di sekitar sekolah Katolik menjadi tanda bahwa sekolah tersebut menjadi sarana Gereja
untuk hadir di tengah dunia dalam dunia pendidikan dan sejalan dengan tujuan pendidikan secara umum, yaitu agar peserta didik ikut serta dalam
mensejahterakan masyarakat.
c. Aspek Leiturgia: Sekolah Merayakan Iman dan Sakramen
Perayaan Sabda dan Sakramen tidak kalah pentingnya dalam sekolah Katolik sebab salah satu tujuan pendidikan Kristen GE, art.
2 adalah, “supaya mereka belajar bersujud kepada Allah Bapa dalam Roh dan Kebenaran,
terutama dalam perayaan Liturgi.” Selain itu Konsili menyatakan, “Liturgi adalah puncak yang dituju kegiatan Gereja dan sekaligus sumber dari mana
mengalir kekuatannya” SC, art. 10. Berdasarkan pernyataan dalam GE dan SC tersebut, sekolah Katolik hendaknya memberi waktu dan tempat secara
khusus di mana Sabda dan Sakramen dapat dirayakan. Perayaan Sabda dan Sakramen ini secara berangsur-angsur akan membarui hidup rohani warga
sekolah. Liturgi berkaitan dengan pengungkapan iman dan perwujudan iman.
Dalam liturgi, manusia mengungkapkan imannya akan Allah yang menyelamatkan dan memperoleh kekuatan untuk mewujudkan imannya dalam
30
hidup sehari-hari. Dalam liturgi pula, manusia mempersembahkan jerih usahanya dalam hidup selama sepekan dan mempersatukannya dengan kurban
Kristus. Liturgi dalam sekolah Katolik menjadi sarana untuk menyerahkan usaha warga sekolah dalam mendidik kepada Tuhan dan memohon kekuatan
agar warga sekolah mampu mewujudkan imannya melalui pendidikan. Go 1995: 76 berpendapat bahwa perayaan liturgi, khususnya misa
sekolah mempunyai tujuan: menunjukkan cara bersyukur sebagai sekolah Katolik, pembinaan kesalehan siswa, pembinaan religiusitas siswa, sarana
pewartaan, dan pembentukan kebiasaan siswa untuk mencintai Ekaristi. Dengan demikian, dapat dikatakan liturgi dalam sekolah tidak semata-mata
sebagai tanda bakti kepada Tuhan, namun mempunyai tujuan implisit yaitu pembentukan karakter siswa.
d. Aspek Kerygma: Sekolah Mewartakan Kabar Gembira
Jemaat Perdana bertekun dalam pengajaran rasul-rasul Kis 2:41. Pengajaran rasul-rasul bersumber dari Kabar Gembira mengenai Yesus dari
Nazareth yang mewartakan karya keselamatan Allah. Maka aspek kerygma di sini dapat diartikan bagaimana Kabar Gembira itu diwartakan dalam sekolah
dan bagaimana sekolah mampu melihat kebudayaan dari zaman ke zaman dalam terang iman.
Aspek kerygma juga erat berhubungan dengan pendidikan Kristen GE, art. 2 terutama agar
“mereka yang telah dibaptis langkah demi langkah makin mendalami misteri keselamatan dan dari hari ke hari makin menyadari karunia
iman yang telah mereka terima..., supaya mereka dibina untuk
31
menghayati hidup mereka sebagai manusia yang baru dalam kebenaran dan kekudusan sejati.”
Pernyataan tersebut memberikan tempat yang istimewa bagi kegiatan
pewartaan sebab dengan pewartaan, pengalaman hidup manusia diterangi oleh terang iman dan memberi manusia pengalaman iman yang memungkinkan
mereka bertumbuh menuju kedewasaan iman. Untuk
itu, sekolah Katolik “menjembatani iman dan kebudayaan” KWI-MNPK, 1991: 94. Sekolah Katolik berada dalam masyarakat yang
berkembang dari zaman ke zaman, sehingga ia berada dalam suatu kebudayaan manusia. Sekolah Katolik memerlukan “keterbukaan, kemampuan, dan
kesediaan untuk memperkaya dan diperkaya oleh segala dan setiap kebudayaan tanpa ter
ikat hanya pada satu kebudayaan” GS, art. 58. Adanya dialog antara kebudayaan dan Injil sangat diperlukan agar sekolah Katolik tetap Katolik dan
mampu membawa warganya dalam terang iman. Peran terang iman, yaitu Injil sangat penting di sekolah Katolik sebab
“sekolah Katolik menimba inspirasi dan kekuatannya dari Injil tempatnya berakar
” KWI-MNPK, 1991: 100. Proses pendidikan di sekolah adalah sebuah perjalanan bersama Kristus menuju kesempurnaan. Sebagaimana
Kristus mengajar para rasul, demikian pula para guru mengajar para murid. Pengajaran Kristus adalah pengajaran yang berisi Kabar Gembira dalam
masyarakat Yahudi saat itu. Injil bagi sekolah Katolik berfungsi sebagai penafsir dan penata kebudayaan.
Melalui Injil, para guru menemukan karya Allah dalam sejarah manusia sejak zaman Kitab Suci hingga sekarang. Injil pula yang menjadi penuntun
32
para guru dalam mengembangkan rasa estetika dalam mengajar, dan membentuk mereka seturut Sang Guru sejati, yaitu Yesus. Bagi siswa, Injil
memampukan mereka untuk membina suara hati. Suara hati menjadi pegangan dalam menghadapi kebudayaan yang kerap tidak sesuai dengan nilai Injil.
Maka sepantasnya sarana rohani seperti Injil, bacaan rohani, ruang doa, salib dan rosario disediakan sekolah.
Salah satu bentuk pewartaan Injil di sekolah adalah melalui mata pelajaran Pendidikan Agama Katolik PAK. Mengingat fungsinya sebagai
bentuk pewartaan, maka mata pelajaran PAK memiliki kedudukan yang penting dalam sekolah Katolik.
e.
Aspek Marturia: Sekolah Mendorong Warganya untuk Terlibat Memberi Kesaksian
Jemaat Perdana disebut Katolik karena kesaksian hidup mereka. Mereka pun disukai semua orang karena kesaksian hidup mereka Kis 2:47.
Aspek marturia berhubungan dengan bagaimana sekolah Katolik mampu menghadirkan nilai-nilai Kristiani baik bagi warganya maupun untuk
lingkungan sekitar. Kesaksian diberikan oleh sekolah Katolik bukan karena sekolah menyandang nama “Katolik” namun karena kesaksian hidup
warganya; para guru, karyawan, dan siswa. Sekolah Katolik memiliki citra yang positif. Menurut Go 1995: 77,
sekolah Katolik dikenal disiplin dan bermutu. Disiplin berarti pelajaran berlangsung lancar dan berhasil serta memampukan siswa untuk menghadapi
kehidupan di masa depan. Bermutu berarti profesional dan didukung dengan
33
dedikasi yang tinggi. Alasan inilah yang menyebabkan sebuah sekolah dikenal sebagai sekolah Katolik oleh masyarakat.
Lebih dari hal tersebut, “mutu pengajaran agama yang dipadukan ke dalam keseluruhan pendidikan para siswa adalah alasan mengapa orang tua
lebih suka menyekolahkan anaknya di sekolah Katolik ” KWI-MNPKI, 1991:
109. Pernyataan ini berarti bahwa nilai-nilai Kristiani yang diperoleh dalam pelajaran agama dihayati dalam dinamika keseharian di sekolah sehingga
membentuk karakter siswa. Karakter siswa yang dibentuk berdasarkan nilai- nilai Kristiani ini “mendorong cara hidup yang kontras dengan budaya modern
dan tentu saja merelakan diri untuk hidup bagi orang lain ” Groome, 1992: 32.
Hal di atas tidak berarti sekolah Katolik anti terhadap perkembangan dunia modern, sebab “sekolah Katolik memiliki tanggung jawab untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat karena berada di tengah manusia yang berkembang dari zaman ke zaman, di mana kebutuhan manusia semakin
berkembang ” KWI-MNPK, 1991: 22. Sekolah Katolik memenuhi tanggung
jawabnya untuk mendidik manusia muda sesuai dengan kebutuhan masyarakat dengan berpegang pada nilai-nilai Kristiani. Nilai-nilai Kristiani itulah yang
memampukan lulusan sekolah Katolik untuk bersaksi di tengah dunia. Aspek marturia ini juga berhubungan dengan bagaimana yayasan
menampakkan kekatolikannya. Hal ini sehubungan dengan cara yayasan memperlakukan warganya sesuai dengan hukum kasih. Sebagaimana Yesus
memperlakukan Para Rasul sebagai rekan kerja dan sahabat Yoh 15:9-17, demikian pula hendaknya Yayasan Katolik memperlakukan warganya.
34
B. Minat Belajar