140
dimensi religius pendidikan di SMA Santa Maria Yogyakarta dari sisi pendidik pemimpin sekolah dan guru dan peserta didik. Kedua, contoh program yang
dapat mendukung upaya tersebut. Ketiga, penulis akan menjelaskan rincian usulan program dalam bentuk satuan program camping rohani dan rekoleksi
bagi pendidik.
A. Urgensi Kerjasama antara Pendidik dan Peserta Didik dalam
Mengupayakan Dimensi Religius Pendidikan
Dimensi religius pendidikan berarti ukuran nilai-nilai katolisitas yang dihayati oleh sekolah Katolik dalam usahanya mendidik peserta didiknya.
Aspek yang menunjukkan katolisitas menjadi ciri khas sekolah Katolik berupa koinonia, diakonia, leiturgia, kerygma
dan marturia. Berdasarkan hasil penelitian, aspek koinonia di sekolah ini
menunjukkan kecenderungan yang kurang positif. Buktinya dapat dilihat pada jawaban angket pada pernyataan nomor 5 dan 7 serta pada kuesioner nomor 1.
Hal yang muncul dari angket dan kuesioner bagian tersebut adalah pentingnya membangun kerjasama dan suasana yang membuat setiap warga merasa
diterima serta dicintai sehingga mereka merasa kerasan. Koinonia
mempunyai posisi penting bagi sekolah Katolik, sebab aspek ini merupakan pembahasan yang strategis dalam rangka pembaruan Gereja
sejak Konsili Vatikan II. Sekolah Katolik sebagai sarana Gereja mewujudkan pendidikan seyogyanya juga menempatkan aspek ini sebagai salah satu
perhatiannya. Go 1995: 11 menunjukkan diagram mengenai pentingnya koinonia
persekutuan dalam hubungannya dengan tri tugas Kristus. Diagram tersebut sebagai berikut:
141
Pewartaankerygma Persekutuankoinonia
Kesaksianmarturia pelayanandiakonia
Pengudusanleiturgia Menurut penulis, diagram di atas menunjukkan bahwa aspek koinonia
merupakan titik awal yang mengarah pada tiga aspek berikutnya kerygma, marturia,
dan leiturgia. Titik awal dapat diartikan sebagai pangkal, asal mula, modal dasar atau sumber semangat bagi hal-hal yang kemudian. Penghayatan
akan aspek koinonia ini menjadi dasar dalam aspek-aspek berikutnya dan diwujudnyatakan melalui aspek diakonia.
Dari keterangan di atas dapat dikatakan, jika aspek koinonia kurang dihayati maka berdampak pada aspek yang lain. Guna mengusahakan
terpenuhinya aspek tersebut diperlukan kerjasama antara warga sekolah pemimpin sekolah, gurukaryawan dan peserta didik. Kerjasama merupakan
salah satu pokok penting dari aspek koinonia. Bagi sekolah Katolik, aspek koinonia berarti hal ikhwal yang
diusahakan agar sekolah dapat mengembangkan persekutuan. Persekutuan yang menjadi sumber inspirasi adalah kehidupan Jemaat Perdana Kis 2: 41-
47 di mana unsur sehati dan sejiwa melekat pada jemaat. Adanya perasaan sehati dan sejiwa tersebut menjadikan sekolah Katolik sebagai satu komunitas
di mana antar warganya tidak saling memisahkan diri satu sama lain, maka diperlukan kerja sama. Berkaitan dengan hal ini, Groome 1998:406 memberi
pendapat bahwa “untuk menjadi Katolik, kita tidak dapat memisahkan diri dari komunitas.” Hal ini pun menjadi nyata dalam sekolah Katolik. Lantieri 2001:
142
8 menggambarkan kerjasama ini seperti kerja sama dalam sebuah kelompok sepakbola, yaitu kemitraan untuk mencapai tujuan bersama.
Kerjasama dalam sekolah Katolik sebenarnya juga berhubungan dengan masyarakat dan orang tua peserta didik. Namun dalam bagian ini penulis lebih
memfokuskan diri pada kerjasama antara pemimpin sekolah, guru, dan peserta didik. Hal ini disesuaikan dengan hasil penelitian dan visi SMA Santa Maria
Yogyakarta di mana sekolah ini mengusahakan pendidikan yang terpadu berdasarkan nilai-nilai Kristiani. Untuk mencapai keterpaduan tersebut
diperlukan kerjasama di antara warga sekolah.
1. Pemimpin Sekolah dan Guru sebagai Pendidik
Pemimpin sekolah dan guru dalam hal ini diklasifikasikan menjadi pendidik sebab Pemimpin Sekolah berdasarkan surat dari Yayasan Marsudirini
tertanggal 13 Juni 2015 juga memiliki alokasi mengajar sebanyak 6 JP. Berdasarkan hasil penelitian pada bab sebelumnya, pendidik memiliki peran
yang penting. Peserta didik tidak hanya mengenal mereka dalam hal metode mengajar di kelas angket nomor 32, namun pendidik juga turut andil dalam
menciptakan kesesuaian yang diajarkan dengan kenyataan angket nomor 25. Mereka juga menjadi sosok orang tua bagi peserta didik angket nomor 3 dan
mereka turut membangun pola pikir peserta didik angket nomor 10. Pendidik bahkan dapat mengantar peserta didik pada Kristus jika pelayanan mereka
maksimal angket nomor 6 atau sebaliknya membuat peserta didik kurang bergairah karena kurangnya penghayatan nilai Kristiani dalam diri pendidik
kuesioner nomor 7.
143
Mengenai hal tersebut, Groome melihat pentingnya sosok pendidik dalam hubungannya dengan pelayanan. Groome menyebut pendidik sebagai
didaskaloi atau pelayan-pelayan di antara pelbagai jabatan 1 Kor 12:28 dan
Ef 4:11. Dia menyatakan bahwa pendidik agama Kristiani harus menghadirkan sosok pribadi Yesus Kristus ketika melayani komunitas dengan
pewartaan Sabda Allah Groome, 2010: 390. Dalam konteks pembelajaran di sekolah, pendidik bukan hanya mentransfer ilmu secara kognitif, tetapi dia
hadir sebagai pewarta Sabda Allah dan mengantar peserta didik kepada tujuan keselamatan, yaitu demi terwujudnya Kerajaan Allah. Dengan demikian, peran
pendidik sangat strategis bagi sekolah dan terlebih bagi pembentukan pribadi siswa.
Untuk menjadi pendidik diperlukan kualifikasi tertentu supaya menunjang posisinya yang penting seperti diungkapkan di atas. Kualifikasi
tersebut secara implisit dinyatakan dalam GE art.5 yaitu , “memang sungguh
indah dan beratlah panggilan sebagai pendidik. Panggilan itu memerlukan bakat-bakat khas, budi, maupun hati, menuntut persiapan yang amat seksama
dan kesediaan untuk terus menerus membarui dan menyesuaikan diri.” Berdasarkan pernyataan tersebut, kualifikasi untuk menjadi pendidik sudah
dapat kita lihat. Pertama, secara alami pendidik diharapkan memiliki bakat, kemampuan kognitif dan hati untuk mendidik. Kedua, secara keterampilan
pendidik hendaknya memiliki kesadaran untuk melakukan persiapan diri dan materi yang hendak diajarkan. Ketiga, secara sosial pendidik hendaknya mau
144
memperbarui dan mampu menyesuaikan diri. Pada akhirnya pendidik hendaknya menghayati profesinya sebagai panggilan.
Kualifikasi yang disebut di atas menjadi penunjang tujuan pendidikan yang diharapkan oleh sekolah dan terlebih lagi oleh Gereja. GE art.8
menyatakan, “hendaknya para guru menyadari bahwa terutama peranan merekalah yang menentukan bagi sekolah Katolik, untuk dapat melaksanakan
rencana- rencana dan segala usaha yang hendak dicapai sekolah.” Oleh karena
itu, diperlukan usaha agar para pendidik mampu mengolah kualifikasi yang telah disebut di atas.
2. Peserta Didik
Menurut Groome 2010: 385, peserta didik adalah anak-anak didik yang belajar dan memiliki sejarah cerita dan visi. Berdasarkan pernyataan
tersebut dapat kita lihat dua hal. Pertama, peserta didik adalah subjek, bukan objek. Dia diperlakukan sebagai manusia, bukan dari kemurahan hati pendidik
melainkan karena dia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Kedua, peserta didik walaupun dibentuk dari sejarah masing-masing, namun mereka
mampu membuat pilihan-pilihannya dan bertindak untuk mempengaruhi masa depan masing-masing.
3. Kerjasama antara Pendidik dan Peserta Didik
Kerjasama erat kaitannya dengan kekompakkan. M. Ali Nashir 1979: 61 menyatakan kekompakkan sebagai salah satu kualitas seorang pendidik.
Istilah lain dari kekompakkan adalah team work, yang artinya keserasian yang
145
terjadi pada beberapa orang yang terikat dalam suatu tugas yang sama. Teamwork
ini dimaksudkan untuk memperlancar jalannya fungsi mendidik. Kemampuan berkomunikasi menjadi penting dalam hal ini.
Sehubungan dengan konteks kerjasama antara pendidik dan peserta didik, dilihat dari dua segi. Dari segi pendidik berarti bagaimana pendidik
mampu memandang peserta didik sebagai pribadi yang utuh dan melayani mereka yang sepenuh hati. Dari segi peserta didik berarti bagaimana peserta
didik mampu menempatkan diri untuk menghormati pendidik dan ikut serta dalam usaha pendidik mendewasakan dirinya. Bagi penulis, titik temu dua hal
ini adalah pada pandangan antropologi Kristiani Kej 1:31. Kerjasama terjalin jika pendidik dan peserta didik mampu melihat adanya kesecitraan dengan
Allah dalam diri yang dilayani maupun yang melayani. Konsekuensi bagi pendidik dalam menghayati antropologi Kristiani
tersebut, dia akan menghadapi kenyataan di mana peserta didik sulit diatur, sulit memahami substansi pengajaran yang disampaikan. Pendidik juga
disyaratkan memenuhi target tertentu dari sekolah maupun negara dengan jaminan kesejahteraan yang minim. Oleh karena itu pendidik perlu menghayati
profesinya sebagai sebuah panggilan GE, art.5. Apa yang mereka lakukan tidak semata merupakan pelaksanaan tugas profesinya melainkan juga
kesadaran hati bahwa dirinya turut serta dalam usaha Kristus mendidik. Akhirnya, kerjasama pendidik dan peserta didik sebagai salah satu
intisari aspek koinonia akan terlihat dalam totalitas pelayanan pendidik dan dalam kemampuan peserta didik untuk ikut serta dalam usaha para pendidik
146
mendewasakan dirinya. Hal ini sesuai dengan diagram yang telah dijelaskan di atas.
B. Upaya Meningkatkan Kerjasama antara Pendidik dan Peserta Didik